Anda di halaman 1dari 4

Jembatan Mirabeau Milik Treasury

Setiap mengenang Apollinaire, aku akan teringat pada puisinya yang berjudul Jembatan
Mirabeau. Sekilas, kita akan dibawa ke suasana yang ada di jembatan yang membentang di
atas sungai Seine tersebut. Sungai ini juga menjadi salah satu jalur lalu lintas air komersial
yang paling diminati oleh para wisatawan untuk menikmati keindahan kota Paris di Prancis.

Romantisme Prancis dan keterpisahan Apollinaire itu, bolehlah menyeret kita pada
pengetahuan mengenai Francophone Treasury dengan ciri pemisahan kewenangan antara
comptabel dan ordonnateuror, serta sentralisasi dana. Meski dalam isu itu, ada perbedaan
besar karena Indonesia memiliki konsep otonomi daerah dengan desentralisasi fiskalnya.

Bagi awam, konsep tersebut mendegradasi definisi Keuangan Negara, dengan seolah-olah
terpisah dari Keuangan Daerah. Yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat adalah
melakukan transfer dana yang ideal ke daerah, setelah itu sudah, biarlah menjadi tanggung
jawab dan kewenangan daerah. Tak perlu lagi ikut campur.

Tentu saja pandangan tersebut keliru. Tegas di dalam Pasal 2 Undang-undang 17 tahun
2003 tentang Keuangan Negara dan implikasinya di dalam Pasal 3 ayat 1 Undang-undang
15 tahun 2004 soal pemeriksaan oleh BPK, bahwa ruang lingkup Keuangan Negara
mencakup APBN, APBD, dan bahkan BUMN serta BUMD. Dan dalam upaya untuk
menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, maka melalui Undang-Undang (UU) RI No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (yang kemudian diganti dengan UU No. 32
tahun 2004) dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat (yang kemudian direvisi dengan UU No. 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah), pemerintah memberikan amanat kepada daerah untuk melaksanakan
pemerintahan di daerah secara mandiri dan bertanggung jawab.

'Selat' yang terbentang di antara 'pulau-pulau' itulah yang bukan hanya membutuhkan kapal
untuk menyeberanginya, melainkan jembatan laiknya Mirabeau yang mempercepat orang-
orang melewati Seine.

Jembatan-jembatan itu adalah tangan Menteri Keuangan yang punya peran sebagai
pengelola fiskal dan sekaligus Bendahara Umum Negara. Dan frasa Kantor Wilayah Ditjen
Perbendaharaan sebagai representasi Menteri Keuangan di daerah menjadi tampah yang
menampung tanggung jawab itu.

Langkah Kanwil DJPb dalam menginterpretasikan peran tersebut termaktub dalam konsep
Regional Chief Economist. Ada angan-angan panjang di sana. Revolusi peran yang lebih
sentral di daerah harus dimainkan oleh Kanwil Ditjen Perbendaharaan.

Beberapa tahun lalu, kita pernah bangga karena mampu menyajikan data bagaimana
penerimaan dan pengeluaran dilihat secara riil time lewat dashboard MPN G2. Tentu saja,
tuntutan kini lebih tinggi dan Regional Chief Economist (RCE) diminta mengembangkan
sesuatu yang lebih dari itu, dengan mampu menyajikan data dalam level yang lebih detail.
Misalnya, 10 Agustus 2021 lalu, Menteri Keuangan meminta DJPb dapat melaporkan secara
harian penyerapan anggaran bukan hanya dalam penyerapan oleh Kementerian/Lembaga,
tetapi juga TKDD dan dana PEN. Ya, mulai tahun 2021, Kanwil Ditjen Perbendaharaan
mulai mengambil tantangan baru sebagai Regional Chief Economist (RCE). Chief economist
didefinisikan sebagai posisi yang memiliki tanggung jawab utama untuk pengembangan,
koordinasi, dengan ruang lingkup tanggung jawab yang meliputi perencanaan,
pengawasan,dan penyebaran informasi, dan koordinasi penelitian ekonomi.

Peran RCE harusnya mampu mengakomodasi jauh lebih baik dari itu. Tidak hanya uang
yang keluar, tetapi juga uang yang masuk. Sehingga akan diketahui, surplus/defisit harian
per wilayah yang akan berguna dalam pengelolaan kas dan pengambilan kebijakan baik
secara khusus di daerah tersebut maupun secara nasional. Dalam konteks makro, data ini
pun berguna untuk analisis inflasi misalnya. Ketika RCE mengetahui dana total yang
digelontorkan pemerintah besar, mengakibatkan jumlah uang yang beredar juga besar,
risiko inflasi akan terjadi. RCE akan memanggil KPPN sebagai kuasa BUN di daerah untuk
mengatur pengeluarannya agar lebih proporsional. Di sini kepemimpinan RCE (dan KPPN)
akan diuji dalam menciptakan keseimbangan penyerapan anggaran. Bisa jadi, hal ini akan
mengubah proses bisnis yang sudah ada dalam pencairan anggaran, dengan menajamkan
peran bendahara (yang tidak cuma sebagai kasir, tetapi punya kuasa dalam 'menahan' uang
keluar ketika kondisi tidak kondusif).

Tantangan dalam pengelolaan kas ini juga menyangkut soal idle cash di daerah. Hal ini
adalah permasalahan klasik di sejumlah daerah. Salah satu akar masalahnya memang
penyerapan anggaran daerah yang lamban. Penyerapan ini akan melonjak menjelang akhir
tahun anggaran.

Kadangkala ada persepsi bahwa yang yang mengendap tersebut adalah buah dari
penghematan anggaran. Miskonsepsi ini terjadi disengaja untuk menutupi masalah.
Realisasi anggaran yang lebih kecil dari yang direncanakan memang bukan masalah
apabila semua program dan kegiatan pemerintah tetap dilaksanakan dengan output dan
kualitas sesuai target. Hanya saja, penggunaan anggaran yang tidak maksimal itu kerap
terjadi karena belum terlaksananya kegiatan. Padahal apa-apa yang sudah tercantum dalam
anggaran itu adalah janji Pemerintah yang seyogianya harus dilaksanakan. Bahkan sisa
dana akibat penghematan pun harus dipergunakan untuk kegiatan lain.

Hal ini ada hubungannya dengan konsep pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi
menurut pengeluaran memiliki unsur G alias pengeluaran pemerintah. Kasarnya, semakin
besar pengeluaran pemerintah semakin besar pula pertumbuhan ekonominya.

Hal di atas belum cukup karena isu berikutnya adalah tentang kualitas pertumbuhan
ekonomi yang turut dipengaruhi oleh kualitas belanja. Belanja yang berkualitas salah
satunya dilihat dari waktu penyerapan anggaran yang proporsional.

Salah satu hal yang ingin diketahui banyak peneliti adalah tentang kontribusi pengeluaran
pemerintah ke pertumbuhan ekonomi tahun berjalan. Sayangnya, dari sisi waktu
penyerapan, hal ini sulit dilihat. Waktu penyerapan sangat tidak ideal karena 6 bulan
pertama tahun berjalan penyerapan sangat rendah.

RCE diharapkan dapat mengambil peran di sana. Dari sisi Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN), penyerapannya lebih mampu terkontrol dengan berbagai upaya
yang sudah dilakukan. Komunikasi antara KPPN dengan satuan kerja relatif sudah
terbangun dengan baik. Dalam satu dekade terakhir kita dapat melihat perbaikan itu dari sisi
penyerapan hingga ke perencanaan kas yang semakin akurat. Hal ini membantu
pengelolaan kas Pemerintah menjadi lebih tajam. Hal yang sama diharapkan terjadi pula
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Padahal pengelolaan keuangan daerah memegang peranan penting dalam


penyelenggaraan pemerintahan, pelayanan masyarakat dan pembangunan secara
berkelanjutan. Seperti halnya pengelolaan keuangan APBN, melalui pengelolan keuangan
daerah terutama pengelolaan kas daerah yang efektif dan efisien diharapkan mampu meraih
kesempatan dan menciptakan peluan-peluang dalam upaya peningkatan pendapatan asli
daerah (PAD). Dengan PAD yang semakin tinggi, maka daerah mampu memperlebar ruang
fiskal nya guna menciptakan pembangunan yang lebih baik.

Kecepatan dan ketepatan lalu lintas data oleh RCE ini juga akan bisa meminimalisasi
masalah seperti yang terjadi baru-baru ini. Protes seorang kepala daerah dengan cepat
akan mampu dijawab dengan data yang valid, dan bahkan tidak perlu terjadi. Sebab,
penguatan kerja sama dengan Pemda menjadi keniscayaan. Ditambah pula salah satu
strategi penguatan peran RCE adalah harmonisasi kelembagaan yang salah satunya
dengan akademisi. Friksi yang timbul akibat perbedaan pandangan cukup diselesaikan
dalam forum di daerah.

Klaster strategi lain yang menjadi pokok dalam bahasan ini tidak lain adalah penajaman
Kajian Fiskal Regional. Produk inilah yang dapat di kedepankan secara ilmiah dalam forum-
forum bersama akademisi dan pihak lain yang berkepentingan.

Ketika Kajian Fiskal Regional dilahirkan, produknya berupa analisis-analisis serupa yang
dibuat oleh Bank Indonesia maupun Badan Pusat Statistik. Lebih lengkapnya, kajian ini
berisi analisis fiskal dan makroekonomi yang dapat digunakan dalam mencapai tujuan
kebijakan fiskal. Dalam penyusunannya, KFR melibatkan pengolahan dan analisis atas
sederetan data seperti data statistik regional, dana moneter regional, data penerimaan pajak
regional, data penerimaan bea dan cukai regional, data belanja negara baik belanja K/L
maupun Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD), data keuangan daerah baik dari
pemerintah daerah, aplikasi Sistem Informasi Keuangan Republik Indonesia (SIKRI), dan/
atau aplikasi lainnya.
Dalam perjalanannya, analisisnya pun berkembang seiring kritik bahwa kajian yang dibuat
lama setelah kejadian berlangsung tidak berdampak banyak pada proses pembuatan
kebijakan. Inilah sebabnya KFR yang tadinya tahunan menjadi triwulanan. Pemampatan
periodisasi kajian dibuat agar ada dampak yang lebih baik.

Namun periodisasi ini dituntut lebih cepat lagi. Percepatan penyusunan KFR diharapkan
dilakukan tanpa harus menunggu data rilis resmi dengan mampu melakukan
proyeksi/outlook atas data tersebut dengan mengutamakan identifikasi analisis
permasalahan dan solusi. Data yang ada tidak cuma dideskripsikan tetapi mampu dilakukan
analisis terhadap data tersebut.

Hal penting lain terkait penajaman Kajian Fiskal Regional adalah mengenai blok analisis
kajiankajian, termasuk analisis tematik.
Analisis tematik adalah metode untuk menganalisis data kualitatif yang melibatkan
pembacaan melalui sekumpulan data dan mencari pola makna data untuk menemukan
tema. Ini adalah proses refleksivitas aktif di mana pengalaman subjektif peneliti berada di
pusat pemahaman data. Analisis tematik adalah tipikal dalam penelitian kualitatif. Ini
menekankan mengidentifikasi, menganalisis, dan menafsirkan pola data kualitatif.

Dari definisi tersebut, ada satu pekerjaan rumah Ditjen Perbendaharaan yakni mengenai
kualitas sumber daya manusia. Penyiapan sumber daya manusia yang mampu melakukan
analisis tematik dalam penelitian kualitatif menjadi keharusan karena kualitas kajian akan
sangat tergantung pada pengalaman subjektif SDM tersebut dalam menafsirkan pola data.

Jika benar-benar ingin merengkuh peran sebagai RCE ini maka Ditjen Perbendaharaan
harus becermin sebagai organisasi pembelajar. Kabar baiknya itu disadari dengan hadirnya
lokasi-lokasi learning center untuk terus menaikkan kapasitas insan perbendaharaan.

Tidak mudah sukses sebagai RCE sebagaimana tidak mudah membangun jembatan. Ada
sungai, ada selat yang harus dipahami. Ada biaya yang harus dikuantifikasi. Ada tenaga
kerja yang harus bertahan menghadapi segala cuaca.

Namun berapa sulitnya itu semua, kenyataan membuktikan bahwa Jembatan Mirabeau
terbangun dengan indah. Jembatan-jembatan lain juga semakin menantang medan yang
kian sukar dan berhasil dibangun. Ditjen Perbendaharaan berani memulai, menjejakkan
langkah sebagai Regional Chief Economist dan karena itu langkah ini akan sampai ke
tujuannya. Analisis RCE ini yang akan menginisiasi berbagai inovasi dalam pengelolaan
keuangan negara dan memberikan solusi atas setiap permasalahan yang ada.

Sambil mengingat kembali puisi Apollinaire yang menginspirasi penyair lain, salah satunya
penyair Indonesia, Agus Sarjono:

Di bawah jembatan Mirabeau, melaju sungai Seini


juga Bengawan Solo di batinku yang rusuh
penuh mayat yang terapung dan mengalir
sampai jauh, bersama darah
yang tak putus-putus tumpah di banyak tempat dan peristiwa.
Amisnya tercium sampai kemari.

(1999)

Anda mungkin juga menyukai