Anda di halaman 1dari 10

Permasalahan Umum dan Klasik dalam Penyusunan APBD

Permasalahan Umum dan Klasik dalam Penyusunan APBD


Dalam bulan-bulan ini, pemerintah daerah (Pemda) disibukkan oleh penyusunan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD).
Ada fenomena menarik terkait proses penyusunan APBD tersebut.
Fenomena ini sebenarnya bukan masalah baru. Tapi masalah klasik yang dari tahun ke tahun
seringkali berulang. Karena sebagai suatu masalah dan berpotensi merugikan masyarakat, maka
seharusnya menjadi perhatian bersama, terutama bagi Pemda.

Pangkal masalah Anggaran di Indonesia, baik APBN dan APBD menurut Ahmad Erani Yustik Direktur
Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) adalah:

1. APBN/APBD selalu di desain defisit sehingga memberi kesempatan adanya inefesiensi dan
praktik koruptif. 
2. desain APBN/APBD hanya dipahami sebagai proses teknokratis untuk mengalokasikan sumber
daya ekonomi (anggaran), tetapi APBN tidak dimengerti juga sebagai instrumen ideologis untuk
mendekatkan tujuan bernegara sebagai amanat konstitusi.
3. asumsi ekonomi makro yang disusun hanya mendasawrkan kepada tujuan sempit tetapi
mengabaikan semangat keadilan sosial, seperti aspek ketimpangan pendapatan. 
4. besaran anggaran tidak mencerminkan permasalahan dan kontekstualisasi dasar pembangunan
nasional. Buktinya, alokasi anggaran ke sektor pertanian dan industri tergolong kecil padahal sebagian
tenaga kerja berada di sektor tersebut. 
5. amanah UU tidak semuanya dijalankan dengan baik. Sebagai contoh, alokasi anggaran
kesehatan diharuskan minimal 5 persen dari APBN, namun selama ini mendapatkan porsi kurang dari 2
persen.
6. penerimaan negara dihitung sangat rendah, baik yang bersumber dari pajak maupun Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) sehingga membuka peluang terjadinya korupsi penerimaan negara seperti
yang terus berulang selama ini.
2 (dua) hal yang perlu dicermati sebagai hambatan dalam mewujudkan APBD sebagai bentuk
akuntabilitas kepada masyarakat;
1. berkaitan dengan perlilaku politik dari pejabat politik maupun pejabat publik daerah yang merasa
terganggu atau tidak suka dengan transparansi anggaran, karena hal tersebut secara tidak langsung
akan mengurangi otoritas yang selama ini mereka nikmati. 
2. persoalan yang berkaitan dengan aturan-aturan formal yang ada, bahwa masing-masing pihak
dan lembaga memilki batas kewenangan serta prosedurnya sendiri. Kedua kendala inilah yang
menyebabkan alokasi anggaran dalam APBD seringkali tidak mencerminkan keberpihakan kepada
publik. Selama ini, kendala yang seringkali dimunculkan sebagai alasan belum mampunya peemrintah
daerah menyediakan pelayanan dengan kualitas memadai adalah keterbatasan dana, sehingga APBD
lebih terfokus pada optimalisasi penggalian PAD.
Beberapa permasalahan yang mengiringi proses penyusunan APBD itu adalah :
1. waktu penyusunan yang molor. Setiap tahun dijumpai daerah yang lamban dalam
menyusun anggaran keuangan pemerintahannya.

Sebagai contoh, rancangan KUA dan PPAS melebihi waktu dari jadwal yang seharusnya
disampaikan kepala daerah kepada DPRD yakni pertengahan bulan Juni tahun anggaran
berjalan. Demikian pula, draf RAPBD yang semestinya sudah harus diserahkan ke DPRD pada
pekan pertama Oktober untuk dibahas, kenyataannya biasa molor yang akhirnya penetapannya
juga molor.
keterlambatan ini berdampak pada sejumlah kabupaten/kota terlambat juga menyerahkan
RAPBD  ke Pemprov untuk dievaluasi. 
Padahal, keterlambatan penyusunan APBD jelas merugikan masyarakat. Masyarakat yang
semestinya sudah menerima anggaran pembangunan atau pelayanan publik terpaksa harus
tertunda menunggu selesainya penetapan APBD. 
Selain itu, Dana Alokasi Umum (DAU) daerah yang terlambat menetapkan APBD juga akan
dipotong 25% oleh pemerintah pusat. 
Dari sudut pandang perencanaan, keterlambatan penyusunan APBD merupakan sesuatu yang
kurang masuk akal.
Logikanya,
bagaimana mungkin pemerintahan bisa berjalan tanpa ada acuan APBD?
APBD yang seharusnya sudah ditetapkan sebelum tahun anggaran berjalan atau paling lambat
tanggal 31 Desember, kenyataannya tak sedikit yang molor hingga berbulan-bulan. Selama
APBD belum ditetapkan, daerah-daerah tersebut berjalan berpedoman pada apa?
Secara de-jure maupun formal administratif, landasan daerah yang terlambat menetapkan APBD
itu bisa dikatakan lemah.
Kemungkinan molornya waktu penetapan APBD amat besar disebabkan pelantikan anggota
DPRD. Dasar hukum penyusunan tata tertib dan alat kelengkapan DPRD juga terlambat terbit,
sehingga berdampak pada terlambatnya pembahasan RAPBD.

2. Persoalan anggaran yang tekor atau defisit anggaran. Defisit anggaran terjadi karena
anggaran pendapatan pemerintah tidak mampu menutup anggaran belanjanya.

Daerah yang mengalami defisit anggaran bisa jadi secara faktual memang tidak mampu menutup
besarnya pengeluaran belanja daerah. Ada kemungkinan pula kondisi defisit tersebut
“direkayasa” sebagai sarana untuk menekan pemerintah pusat agar menambah dana
perimbangan atau dana kontingensi.
Tidak mudah menyusun APBD yang benar-benar bebas dari defisit ketika paradigma “besar
pasak daripada tiang” dan terlalu menggantungkan bantuan dari eksternal masih menjadi
pedoman dalam penyusunannya. Kenyataannya, daerah masih amat tergantung kepada sumber
pembiayaan dari pemerintah pusat. Terbukti, sebagian besar penerimaan daerah berasal dari
DAU dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Ketergantungan Pemda terhadap pusat menyebabkan kreativitas daerah terkadang terhambat. 

3. Minimnya semangat efisiensi. Berhubungan dengan persoalan defisit anggaran,


pemerintahan yang terlalu boros akan cenderung menciptakan defisit.

Di Permendagri No 25/2009 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2010 juga
telah disebutkan guna mencapai sasaran pembangunan, dalam penyusunan program dan
kegiatan daerah wajib menerapkan prinsip-prinsip efisiensi. 
Perjalanan dinas dan studi banding agar dibatasi frekuensi dan jumlah pesertanya serta
dilakukan sesuai dengan substansi kebijakan yang sedang dirumuskan, yang hasilnya dilaporkan
secara transparan dan akuntabel. Bahkan ditentukan pula pembatasan penganggaran untuk
penyelenggaraan rapat-rapat yang dilaksanakan di luar kantor, workshop, seminar dan
lokakarya.
Namun, kepatuhan terhadap aturan tertulis tersebut tampaknya masih jauh dari harapan. Lihat
saja, tidak sedikit daerah yang justru melakukan pembahasan RAPBD-nya di luar daerah. 
Mungkin anggaran yang dibutuhkan untuk membiayainya relatif kecil dibanding angka-angka
yang dibahas, tapi bagaimana dengan semangat efisiensinya? Kurangnya sense of crisis Pemda
juga terlihat dari tidak pekanya mereka atas kondisi masyarakat dan kondisi keuangan daerah.
Sungguh ironis, meskipun masih banyak masyarakat yang terhimpit kesusahan ekonomi dan
kondisi keuangan daerah yang terbatas, di beberapa daerah justru berencana memborong mobil
dinas hingga miliaran rupiah. 
Daerah semestinya memahami dan menempatkan prioritas pengalokasian anggarannya dengan
tepat. Sebagaimana arahan Permendagri No 25/2009, masalah dan tantangan utama yang harus
dipecahkan dan dihadapi pada tahun 2010. Di antaranya adalah upaya untuk menanggulangi
kemiskinan, meningkatkan akses dan kualitas pendidikan, serta meningkatkan kualitas
kesehatan. 
Di bidang pendidikan misalnya, Pemda secara konsisten dan berkesinambungan perlu
mengupayakan pengalokasian anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari belanja
daerah. 

4. Kurang berpihaknya anggaran pemerintah kepada publik. 

Hampir semua APBD di Indonesia anggarannya mayoritas dialokasikan guna memenuhi belanja
pegawai. Seperti untuk membayar gaji, tunjangan, honor dan uang lembur. 
Biaya untuk belanja barang/jasa, perjalanan dinas, dan pemeliharaan gedung/kendaraan
semakin memperbesar kebutuhan anggaran untuk pegawai. Belanja pegawai yang menyedot
biaya besar berdampak pada kecilnya anggaran untuk publik. Kebanyakan daerah lebih dari 75%
anggarannya digunakan dalam rangka membiayai internal birokrasi, sedangkan anggaran untuk
pembangunan dan pelayanan publik relatif terbatas. 
Seberapa jauh anggaran pemerintah berpihak pada publik, bisa diamati dari bagaimana
pelayanan publik; seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur;
diselenggarakan pemerintah.

Keempat persoalan seputar penyusunan APBD di atas seharusnya tidak sampai terjadi, atau paling tidak
dapat direduksi, seandainya dalam penyusunan APBD memperhatikan prinsip penyusunan APBD yang
sudah digariskan (ada partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas anggaran, disiplin anggaran,
keadilan anggaran, dan taat asas), serta patuh pada kaidah penganggaran sektor publik yang berlaku
(legitimasi hukum, legitimasi finansial, dan legitimasi politik).

APBD sering TERLAMBAT


Ada beberapa kemungkinan mengapa dapat terjadi keterlambatan Pemda dalam menyelesaikan APBD,
yakni:
1. proses perencanaan seringkali hanya bersifat formalitas belaka. Forum yang semestinya
bisa mengakomodasi kepentingan masyarakat (termasuk berbagai kepentingan politik) kurang mendapat
perhatian, karena sebagian besar lebih tertarik pada tahap penganggaran. Mudah dipahami, sebab pada
tahap penganggaran-lah perhitungan biaya (uang) mulai terbahas. Akibatnya rencana kegiatan yang
telah dibuat mesti dibahas ulang di tahap penganggaran yang seringkali bertele-tele karena lahirnya
transaksi politik.
2. keterlambatan penyusunan RAPBD sehingga terlambat diserahkan Kepala Daerah kepada
DPRD. Keterlambatan ini bisa disebabkan karena masalah teknis manajerial, rendahnya kompetensi
birokrasi, atau tidak sinkronnya peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat sebagai
pedoman.
3. DPRD tidak menjalankan fungsi anggaran dengan baik. Penyebabnya hampir sama dengan
apa yang dialami oleh Pemda yakni masalah teknis manajerial dan rendahnya kompetensi anggota
DPRD. Di samping itu keterlibatan DPRD dalam penyusunan APBD terlalu jauh sampai jenis kegiatan,
besaran anggaran, dan lokasi program.
4. terjadinya tarik ulur kepentingan politik lokal. Anggota DPRD yang menghendaki kepentingan
politiknya (dan juga kepentingan pribadinya) terakomodasi mendesak kepada Pemda untuk dimasukkan
dalam APBD. Tak jarang, kepentingan tersebut sebenarnya belum urgen untuk direalisasikan. Pemda
akhirnya menghadapi dilema. Jika  menolak maka terjadilah ketegangan yang mengakibatkan
pembahasan APBD menjadi berlarut-larut. Jika dituruti berarti mengorbankan kepentingan sebagian
rakyat lain.
5. keterlambatan evaluasi oleh Gubernur. Rancangan Perda tentang APBD yang telah disetujui
Bupati/Walikota bersama DPRD, sebelum ditetapkan harus disampaikan kepada Gubernur untuk
dievaluasi. Kemungkinan Gubernur bisa terlambat mengevaluasi.
Masihkah upaya perbaikan kualitas perencanaan APBD bernilai
strategis? 
Upaya perbaikan pengelolaan keuangan daerah, khususnya perencanaan APBD, masih merupakan
agenda strategis bagi percepatan peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah, yang merupakan inti dari
kewajiban Daerah, DPRD, dan Kepala Daerah.

Failing to plan is planning to fail (Alan Lakein). Kegagalan dalam membuat rencana berarti merencanakan
sebuah kegagalan. Kegagalan dalam perencanaan APBD sama dengan merencanakan kegagalan
Daerah tersebut untuk mewujudkan kewajibannya, yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat di wilayahnya.

Beberapa permasalahan pokok yang perlu direspon adalah sebagai berikut:


1. Anggaran belanja cenderung ditetapkan lebih tinggi.
Mengapa penilaian kewajaran belanja harus dilakukan? Salah satu alasannya adalah karena
usulan belanja kegiatan cenderung dimark-up, dibesarkan atau ditinggikan di atas perkiraan yang
sewajarnya (sebenarnya). Bila usulan belanja selalu wajar dan sesuai dengan kebutuhan yang
sebenarnya, maka urgensi dan relevansi analisis standar belanja menjadi rendah.
2. Anggaran pendapatan cenderung ditetapkan lebih rendah.
Bila usulan belanja cenderung dimark-up, sebaliknya usulan pendapatan/penerimaan cenderung
dimark-down; ditetapkan lebih rendah dari target sebenarnya.
3. Kurangnya keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi perencanaan dengan penganggaran.
Secara normatif, perencanaan dan penganggaran harus terpadu, konsisten dan sinkron satu
sama lain. Hal ini sedemikian karena penganggaran adalah media untuk mewujudkan target-
target kinerja yang direncanakan. Tanpa perencanaan, SKPD cenderung tidak fokus serta
cenderung bersifat reaktif yang pada akhirnya bermuara pada inefisiensi dan inefektifitas.
4. Kurangnya keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi perencanaan antar SKPD.
Keterpaduan, konsistensi dan sinkronisasi tidak hanya antara aspek perencanaan dengan
penganggaran, tetapi juga antar SKPD. Hal ini perlu diperhatikan karena target capaian program
dan atau target hasil (outcome) sebuah kegiatan dan atau visi daerah dapat dicapai melalui
sinergi program dan kegiatan antar SKPD.
5. Relevansi Program / Kegiatan: kurang responsif dengan permasalahan dan / atau kurang
relevan dengan peluang yang dihadapi.
Peningkatan relevansi dan responsifitas program adalah agenda utama perencanaan. Relevansi
dan responsifitas akan sangat menentukan kemampuan daerah dalam mewujudkan
kewajibannya. Rendahnya relevansi ini terutama karena rendahnya kemampuan perencanaan
program dan kegiatan serta keterbatasan ketersediaan data dan informasi.
6. Pertanggungjawaban kinerja kegiatan masih tetap cenderung fokus pada pelaporan
penggunaan dana.
Hal ini terjadi terutama karena belum jelasnya aturan dan mekanisme pertanggungjawaban
kinerja kegiatan. Pertanggungjawaban kinerja merupakan kunci dari sistem penganggaran
berbasis kinerja.
Tanpa pertanggungjawaban tersebut, perbaikan kinerja SKPD tidak dapat berlanjut secara
berkesinambungan. Pada titik ekstrimnya, tanpa pertanggungjawaban kinerja, pola
penganggaran pada dasarnya masih belum berubah kecuali istilah dan nomenklatur semata.
7. Spesifikasi indikator kinerja dan target kinerja masih relatif lemah.
Pada beberapa kasus, penetapan besar belanja tidak didasarkan pada target kinerja keluaran
(output) atau hasil (outcome). Volume output diubah, tetapi total belanja tidak berubah. Selain itu,
Indikator kinerja untuk Belanja Administrasi Umum (dahulu disebut sebagai Belanja Rutin) masih
tetap belum jelas.
8. Rendahnya inovasi pendanaan kesejahteraan rakyat.
Bagaimanakah cara terbaik untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat? Jawaban pertanyaan ini
sangat tergantung konteks, potensi dan permasalahan di masing-masing daerah. Hingga saat ini,
inovasi pendanaan kesejahteraan rakyat masih relatif rendah.
disamping hal-hal diatas, ada juga yang berpendapat bahwa permasalahan penyusunan APBD
bersumber pada:
 Intervensi hak budget DPRD terlalu kuat, 
dimana anggota DPRD sering mengusulkan kegiatan-kegiatan yang menyimpang jauh dari usulan
masyarakat yang dihasilkan dalam Musrenbang. Jadwal reses DPRD dengan proses Musrenbang yang
tidak match misalnya Musrenbang sudah dilakukan, baru DPRD reses mengakibatkan banyak usulan
DPRD yang kemudian muncul dan merubah hasil Musrenbang. Intervensi legislative ini kemungkinan
didasari motif politis yakni kepentingan untuk mencari dukungan konstituen sehingga anggota DPRD
berperan seperti sinterklas yang membagi-bagi proyek. Selain itu ada kemungkinan juga didasari motif
ekonomis yakni membuat proyek untuk mendapatkan tambahan income bagi pribadi atau kelompoknya
dengan mengharap bisa intervensi dalam aspek pengadaan barang (procurement) atau pelaksanaan
kegiatan. Intervensi hak budget ini juga seringkali mengakibatkan pembahasan RAPBD memakan waktu
panjang untuk negosiasi antara eksekutif dan legislative. Salah satu strategi dari pihak eksekutif untuk
“menjinakkan” hak budget DPRD ini misalnya dengan memberikan alokasi tertentu untuk DPRD missal
dalam penyaluran Bantuan Sosial (Bansos) ataupun pemberian “Dana Aspirasi” yang bisa digunakan
oleh anggota DPRD secara fleksibel untuk menjawab permintaan masyarakat. Di salah satu kabupaten di
Kaltim, dana aspirasi per anggota DPRD bisa mencapai 2 milyar rupiah per tahun.
Beberapa faktor-faktor intervensi hak budget DPRD yang dapat menjadi penghambat dalam penyusunan
APBD, adalah:
1. Usulan dari DPRD yang terkadang tidak sesuai dengan hasil kesepakatan pada saat
Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang)
2. Unsur politis dalam rangka mewujudkan kepentingan tertentu
3. Motif pada saat pelaksanaan proyek di lapangan dalam rangka mencari keuntungan
pribadi
4. Adanya istilah “sinterklas”(bagi-bagi proyek) kepada oknum anggota DPRD atau pejabat
daerah

 Pendekatan partisipatif dalam perencanaan melalui mekanisme musrenbang masih


menjadi retorika
Perencanaan pembangunan masih didominasi oleh: Kebijakan kepala daerah, hasil reses DPRD dan
Program dari SKPD. Kondisi ini berakibat timbulnya akumulasi kekecewaan di tingkat desa dan
kecamatan yang sudah memenuhi kewajiban membuat rencana tapi realisasinya sangat minim. -------
Perencanaan pembangunan di bidang apapun sebagian besar masih didominasi oleh berbagai
kepentingan yang berkaitan dengan kebijakan kepala daerah, hasil reses DPRD, program dan kegiatan
SKPD itu sendiri bahkan kepentingan dari elemen – elemen masyarakat. Hal ini telah banyak terlihat
buktinya di lapangan, bahwa apa yang sudah di buat perencanaannya sesuai matrix dan usulan yang
berasal dari masayarakat (bottom up) dengan sebelumnya telah melalui proses penyusunan usulan
program dan kegiatan di tingkat kelurahan dan kecamatan misalnya ternyata realisasinya sangatlah
minim. Kondisi ini membuat pelaksanaan musrenbang menjadi acara rutinitas dan formalitas belaka
sehingga menjadi kurang diminati oleh pihak-pihak yang selayaknya mengikuti kegiatan tersebut.
 Proses Perencanaan kegiatan yang terpisah dari penganggaran, 
Karena ketidakjelasan informasi besaran anggaran, proses Musrenbang kebanyakan masih bersifat
menyusun daftar belanja (shopping list) kegiatan. Banyak pihak seringkali membuat usulan sebanyak-
banyaknya agar probabilitas usulan yang disetujui juga semakin banyak. Ibarat memasang banyak
perangkap, agar banyak sasaran yang terjerat.
 Ketersediaan dana yang tidak tepat waktu. 
Terpisahnya proses perencanaan dan anggaran ini juga berlanjut pada saat penyediaan anggaran. APBD
disahkan pada bulan Desember tahun sebelumnya, tapi dana seringkali lambat tersedia. Bukan hal yang
aneh, walau tahun anggaran mulai per 1 Januari tapi sampai bulan Juli-pun anggaran program di tingkat
SKPD masih sulit didapatkan.
 Breakdown RPJPD ke RPJMD dan RPJMD ke RKPD seringkali tidak nyambung (match). 
Ada kecenderungan dokumen RPJP ataupun RPJM/Renstra SKPD seringkali tidak dijadikan acuan
secara serius dalam menyusun RKPD/Renja SKPD. Kondisi ini muncul salah satunya disebabkan oleh
kualitas tenaga perencana di SKPD yang terbatas kuantitas dan kualitasnya. Dalam beberapa kasus
ditemui perencanaan hanya dibuat oleh Pengguna Anggaran dan Bendahara, dan kurang melibatkan staf
program sehingga banyak usulan kegiatan yang sifatnya copy paste dari kegiatan yang lalu dan tidak
visioner.
 Kualitas RPJPD, RPJM Daerah dan Renstra SKPD seringkali belum optimal. 
Beberapa kelemahan yang sering ditemui dalam penyusunan Rencana tersebut adalah; indicator capaian
yang seringkali tidak jelas dan tidak terukur (kalimat berbunga-bunga), data dasar dan asumsi yang
seringkali kurang valid, serta analisis yang kurang mendalam dimana jarang ada analisis mendalam yang
mengarah pada “how to achieve” suatu target.
 Terlalu banyak “order” dalam proses perencanaan 
dan masing-masing ingin menjadi arus utama misalnya gender mainstreaming, poverty mainstreaming,
disaster mainstreaming dll. Perencana di daerah seringkali kesulitan untuk menterjemahkan isu-isu
tersebut. Selain itu “mainstreaming” yang seharusnya dijadikan “prinsip gerakan pembangunan”
seringkali malah disimplifikasi menjadi sector-sektor baru, misalnya isu poverty mainstreaming
melahirkan lembaga Komisi Pemberantasan Kemiskinan padahal yang seharusnya perlu didorong adalah
bagaimana setiap SKPD bisa berkontribusi mengatasi kemiskinan sesuai tupoksinya masing-masing.
Demikian pula isu gender, juga direduksi dengan munculnya embel-embel pada Bagian Sosial menjadi
“Bagian Sosial dan Pemberdayaan Perempuan” misalnya.
 Adanya intervensi pada saat proses penyusunan perencanaan. 
Perencanaan suatu kegiatan terutama yang berkaitan dengan peningkatan pembangunan di semua
sektor dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tentunya diawali dengan perencanaan
yang didasari oleh pedoman – pedoman yang ada termasuk rencana strategis yang telah disusun dalam
jangka waktu 5 (lima) tahun ke depan tanpa mengesampingkan isu-isu strategis yang ada selama masih
berkaitan dan mempunyai output yang jelas. Akan sangat selaras ketika semua bisa mengacu pada
pedoman yang ada dan akan sangat mudah nantinya dalam proses monitoring dan evaluasi. Namun jika
perencanaan keluar dari pedoman-pedoman strategis yang telah ditetapkan maka daerah akan menemui
kesulitan dalam menyusun perencanaan program dan kegiatan satu tahun ke depan.
 Koordinasi antar SKPD untuk proses perencanaan masih lemah 
sehingga kegiatan yang dibangun jarang yang sinergis bahkan tidak jarang muncul egosektoral. Ada
suatu kasus dimana di suatu kawasan Dinas Kehutanan mendorong program reboisasi tapi disisi lain
Dinas Pertambangan memprogramkan ekploitasi batubara di lokasi tersebut.
 SKPD yang mempunyai alokasi anggaran besar seringkali tidak mempunyai tenaga
perencana yang memadai 
Akibatnya proses perencanaan seringkali molor. Hal ini sering diperparah oleh minimnya tenaga Bappeda
yang mampu memberikan asistensi kepada SKPD dalam penyusunan rencana.
 SDM Evaluasi Anggaran pada Pemerintah Provinsi.
APBD Kabupaten/ Kota wajib dievaluasi oleh Pemerintah Provinsi. Disisi lain Pemprop mempunyai
keterbatasan tenaga untuk melakukan evaluasi tersebut. Pelaksanaan evaluasi ini tidak dibarengi dengan
ketersediaan dan kompetensi SDM pada Pemerintah Provinsi yang terlibat saat melakukan evaluasi
anggaran. Hal ini membuat proses penganggaran menjadi tidak efektif dan efisien. Selain itu belum ada
instrument yang praktis yang bisa digunakan untuk evaluasi anggaran tersebut. Hal ini berakibat proses
evaluasi memakan waktu agak lama dan berimbas pada semakin panjangnya proses revisi di daerah
(kabupaten/kota).
 Kualitas hasil Musrenbang Desa/Kecamatan seringkali rendah karena kurangnya
Fasilitator Musrenbang yang berkualitas.
Fasilitasi proses perencanaan tingkat desa yang menurut PP 72 tahun 2005 diamanahkan untuk
dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten (bisa via Pemerintah Kecamatan) seringkali tidak berjalan.
Proses fasilitasi hanya diberikan dalam bentuk surat edaran agar desa melakukan Musrenbang, dan
jarang dalam bentuk bimbingan fasilitasi di lapangan.
 Pedoman untuk Musrenbang atau perencanaan cukup rumit
(misal Permendagri 66 tahun 2007), complicated dan agak sulit untuk diterapkan secara mentah-mentah
di daerah pelosok pedesaan yang sebagian perangkat desa dan masyarakatnya mempunyai banyak
keterbatasan dalam hal pengetahuan, teknologi dll.
 Faktor Team Work dan Komitmen.
Secara normatif, perencanaan dan penganggaran harus terpadu, konsisten dan sinkron satu sama lain.
Hal ini harus dilakukan karena penganggaran merupakan media untuk mewujudkan target-target kinerja
yang direncanakan. Tanpa perencanaan yang baik, SKPD cenderung tidak fokus serta cenderung
bersifat reaktif yang pada akhirnya bermuara pada inefisiensi dan inefektifitas. Saat penyusunan
perencanaan, pimpinan terkadang hanya melibatkan segelintir pegawai saja, sementara perencanaan
program dan kegiatan adalah atas nama organisasi, sehingga akan lebih baik apabila keseluruhan
proses penganggaran mulai dari awal perencanaan sampai pada kegiatan monitoring dan evaluasi
terakhir melibatkan seluruh pegawai sebagai team work dalam rangka mencapai tujuan akhir yang akan
dicapai oleh organisasi. Selain itu, pada penyusunan APBD, pihak-pihak yang terlibat hendaknya memiliki
komitmen yang tinggi untuk melaksanakan penyusunan APBD secara tepat waktu serta melaksanakan
anggaran yang telah ditetapkan dengan efektif dan efisien. Adanya komitmen memberikan gambaran
bagi pihak yang terlibat dalam penyusunan APBD untuk mengetahui secara jelas visi, misi, tujuan, dan
sasaran yang ingin dicapai dalam penyusunan APBD. Selain itu, melalui komitmen dapat menciptakan
motivasi dan kemauan bagi pihak penyusun APBD untuk menyelenggarakan tahapan penyusunan APBD
yang lebih baik, efektif, efisien, dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. 
 Dalam praktek penerapan P3MD,
pendekatan pemecahan masalah yang HANYA melihat ke AKAR MASALAH saja dapat berpotensi
menimbulkan bias dan oversimplifikasi terhadap suatu persoalan. Contoh kasus nyata; di sebuah desa di
Kaltim masyarakat dan pemerintah mengidentifikasi bahwa rendahnya pengetahuan masyarakat
disebabkan tidak adanya fasilitas sumber bacaan di wilayah itu. Sebagai solusinya mereka kemudian
mengusulkan untuk dibangunkan “gedung perpustakaan”. Ternyata setelah gedung perpustakaan
dibangun, sampai beberapa tahun berikutnya perpustakaan tersebut tidak pernah berfungsi bahkan
kemudian dijadikan Posko Pemilu. Mengapa demikian? Hal itu terjadi karena mereka hanya berpikir soal
membangun gedung, tetapi lupa berpikir dan mengusulkan bagaimana menyediakan buku/bahan bacaan
untuk perpustakaan itu, lupa mengusulkan kepengurusan untuk mengelola perpustakaan itu dll. Kondisi
seperti diatas mungkin tidak akan terjadi kalau mereka berpikir dulu soal “outcome” misalnya
meningkatkan minat baca 50 % warga masyarakat. Dari outcome tersebut nantinya bisa diidentifikasi
output yang diperlukan misalnya: adanya gedung perpustakaan, buku atau bahan bacaan, tenaga
pengelola perpustakaan, kesadaran masyarakat untuk datang ke perpustakaan dll. Dari contoh kasus itu
nampaknya untuk pemerintah dan masyarakat memang perlu didorong untuk memahami alur berpikir
logis (logical framework) sebuah perencanaan. Selain itu pola pikir yang ada yang cenderung berorientasi
“Proyek” (yang berorientasi jangka pendek dan berkonotasi duit) menjadi orientasi “Program” (orientasi
jangka panjang dan lebih berkonotasi sebagai gerakan pembangunan).

Meskipun penyusunan APBD rentan dengan berbagai kepentingan politik, namun aturan-aturan formal
tetap harus dijadikan landasan, terutama prinsip dan kaidah normatifnya. Jika hal ini sungguh-sungguh
dipedomani oleh eksekutif dan legislatif, niscaya APBD menjadi “alat intervensi” negara dalam
mensejahterakan masyarakat, dan bukan justru menjadi sumber masalah.

Berdasarkan permasalahan diatas sekurangnya ada tiga praktik tata kelola yang menunjukan buruk
rupa manajemen keuangan daerah saat ini

Pertama, problem proporsi alokasi sebagaimana ditunjukan rasio antara belanja modal


(pembangunan) dan belanja aparatur (rutin). Hingga sewindu pelaksanaan desentralisasi, desain
politik alokasi anggaran di banyak daerah menunjukan minimnya peruntukan bagi masyarakat, baik
berupa dana pelayanan publik maupun investasi Pemda bagi bergeraknya perekonomian. Hanya sekitar
20-30% APBD untuk belanja langsung bagi kepentingan masyarakat dan sisa terbesarnya untuk
membiayai birokrasi.

Kedua, problem kapasitas daya serap anggaran. Saat ini, sekitar 60% dana APBN kita beredar di
daerah (30% lewat skema transfer ditambah 30% berasal dari dana dekonsentrasi, medebewind dan
dana sektoral). Suatu jumlah uang beredar yang tentu amat besar, sekaligus tanggung jawab yang besar
pula. Namun sayang, sejauh ini Pemda masih belum berkekuatan penuh menyerap anggaran yang ada,
bahkan di sebagian daerah, sisa dana ”diparkir” di perbankan berbentuk Sertifikat BI.

Perlu dicatat, adanya dana yang menganggur itu bukan lantaran daerah berkelebihan uang atau pun
sebagai hasil dari penghematan (efisiensi) anggaran. Sebaliknya, hal itu menunjukan adanya dana yang
terbengkelai, karena buruknya sistem perencanaan anggaran, berbelitnya prosedur pengadaan
barang/jasa pemerintah, lemahnya proses legislasi di daerah, atau orientasi sempit pada PAD dari bunga
simpanan SBI. Kinerja instrumen fiskal semacam itu berakibat terbengkelainya pula program layanan
publik dan tentu sulit menjadi stimulan alternatif di tengah masih lesunya investasi sektor swasta.

Ketiga, selain kedua masalah di atas, hari-hari ini media massa juga gencar memberitakan problem
ketiga dalam manajemen keuangan daerah, yakni administrasi pelaporan keuangan. Hal ini tentu tidak
saja menyangkut problem akuntansi dan tata pembukuan, tetapi lebih mendasar lagi mencerminkan
politik kebijakan dan komitmen penegakan good governance di daerah.

Alhasil, merujuk laporan BPK, setiap tahun terdapat tendensi memburuk dalam kualitas pengelolaan dan
laporan keuangan. Data terakhir (2009) menunjukan, hanya ada 21 daerah yang memiliki status laporan
wajar tanpa pengecualian, selebihnya: 249 daerah wajar dengan pengecualian, 7 daerah berstatus
disclaimer (tak memberikan pendapat) dan 10 daerah adverse (tak wajar).

Terkait masalah ini, sumber masalah utama adalah TIDAK EFEKTIFnya PERAN INSPEKTORAT (dulu


bernama Bawasda) di daerah. Institusi yang sejatinya dibentuk sebagai garda depan jaminan tegaknya
good governance dan menjadi instrumen strategis pemberantasan korupsi ini justru mandul.

Institusi ini hanya diposisikan sebagai unsur penunjang, desain kelembagaannya gampang terkooptasi
oleh SKPD lainnya, ruang lingkup pengawasannya terbatas, tidak adanya mekanisme sanksi dalam
pengawasan, dan status aparatnya disinyalir sebagai orang buangan yang mempengaruhi motivasi dan
kapasitas kerja.

Padahal, keberadaan inspektorat ini mestinya bernilai strategis.


1. menjadi lembaga preventif dan jaring pengaman internal sebelum datangnya pihak pengawas
eksternal (BPK, KPK, dll). 
2. sebagai unit pengawas internal yang memiliki peluang terlibat sejak fase perencanaan (input),
pelaksanaan, capaian dan evaluasi kebijakan sehingga memungkinkan deteksi dini dan koreksi langsung
untuk menghindari kerusakan masif. 

Upaya Mengatasi Masalah tersebut


Beberapa terobosan perlu dilakukan untuk mengatasi permasalahan yang muncul dalam penyusunan
APBD, yakni:
1. perlu dilakukan inovasi-inovasi dalam proses perencanaan partisipatif sedemikian rupa sehingga
aspirasi-aspirasi politik diyakini benar-benar terserap dalam dokumen perencanaan. Dengan demikian,
pembahasan rancangan APBD dapat lebih terfokus pada besaran dana yang seharusnya dialokasikan
dan tidak lagi terlalu terbebani dengan transaksi-transaksi politik.
2. perlu dikembangkan strategi berupa dialog ataupun sosialisasi mengenai perencanaan dan
penganggaran berbasis kinerja. Tujuan utama dilakukannya langkah ini adalah untuk mengubah
paradigma tradisional yang berfokus pada penganggaran uang menjadi paradigma yang berbasis kinerja
yang menitikberatkan pada perencanaan kegiatan yang menjawab akar permasalahan di masyarakat.
3. perlu penguatan kapasitas dan komitmen, baik bagi kalangan Pemda maupun DPRD. Pada
umumnya Pemda yang mengalami keterlambatan APBD adalah daerah tertinggal, sehingga perlu
fasilitasi dan pengawasan lebih intensif dari Pemprov maupun Pemerintah Pusat. Namun sebenarnya
yang utama adalah komitmen, dan justru inilah yang paling sulit. Proses politik berbiaya tinggi barangkali
menjadi akar masalah kenapa seringkali anggota dewan (begitu pula Kepala Daerah) bernafsu besar
ingin menguasai anggaran.
4. pemberian sanksi sesuai aturan mesti tetap dijalankan namun dengan sanksi yang lebih spesifik.
Pemda wajib menyampaikan Perda kepada Menteri Keuangan maksimal tanggal 20 Maret. Bagi yang
terlambat, penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU)-nya ditunda 25 persen per bulan. atau Sanksi
penghentian pemberian DAU dirubah dengan sanksi penundaan pembayaran tunjangan pejabat
pemerintah dan anggota DPRD.
disamping itu, upaya meminimalkan permasalahan atau setidaknya mengeliminasi polemik/konflik
kepentingan antara pemerintah dan DPRD dalam penyusunan APBD, menurut penulis terdapat sejumlah
alternatif solusi yang dapat dilakukan;
1. proses politik dalam penyusunan APBD jangan hanya menjadi arena interkasi antara DPRD dan
pemerintah, tapi juga sebagai arena publik dimana ada transparansi dan akses bagi masyarakat untuk
memperoleh informasi, berpartisipasi, dan mengkritisi proses tersebut. 
2. para pembuat keputusan yang terlibat dalam proses legislasi APBD (DPRD dan pemerintah
daerah) harus mempunyai sistem evaluasi untuk membandingkan dan memprioritaskan proposal
anggaran. 
3. sebagai konsekuensi dari hak budget yang dimiliki DPRD maka anggota DPRD harus
mengetahui dan memahami prinsip-prinsip pokok siklus anggaran, yang meliputi tahap persiapan dan
penyusunan anggaran, tahap implementasi, serta tahap pelaporan dan evaluasi. 
4. selain memhami proses pengelolaan keuangan daerah, pemerintah daerah dan DPRD perlu
memahami berbagai standar yang digunakan dalam akuntansi, misalnya standar biaya agar dapat
memperhitungkan besaran anggaran yang diperlukan untuk suatu kegiatan. Melalui penerapan standar
ini, praktik-praktik manipulasi atau mark-up angaran dapat diminimalkan. 
5. perlu dilakukan penguatan pada masyarakat sipil misalnya dengan cara mengadvokasikan
berbagai instrumen hukum dan kelembagaan yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk
berpartisipasi, mengakses informasi, dan mengontrol akuntabilitas pemerintahan. Selain itu juga perlu
ditingkatkan kualitas pendidikan, pengorganisasian, dan pendampingan masyarakat agar masyarakat
dapat mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan mereka.

Gambaran SANKSI TERLAMBAT MENETAPKAN APBD


Berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah,
dalam ketentuan Pasal 311 ayat:
1. Kepala daerah wajib mengajukan rancangan Perda tentang APBD disertai penjelasan dan
dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD sesuai dengan waktu yang ditentukan oleh Peraturan
Perundang-undangan untuk memperoleh persetujuan bersama. 
2. Kepala daerah yang tidak mengajukan rancangan Perda tentang APBD sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikenai sanksi administrative berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangannya yang diatur
dalam ketentuan Perundang-undangan selama 6 (enam) bulan.
Sedangkan pada ketentuan Pasal 312, dalam ayat
1. Kepala daerah dan DPRD wajib menyetujui bersama rancangan Perda tentang APBD paling
lambat 1 (satu) bulan sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun. 
2. DPRD dan Kepala daerah yang tidak menyetujui bersama rancangan Perda tentang APBD
sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun sebagaimana dimaksud ayat (1) dikenai sanksi
administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam ketentuan perundang-
undangan selama 6 (enam) bulan. 
3. Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat dikenakan kepada anggota DPRD
apabila keterlambatan penetapan APBD disebabkan oleh Kepala daerah terlambat menyampaikan
rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD dari jadwal yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
Sanksi sebelumnya, diatur oleh PMK No.04/PMK.07/2011 Tentang Tata Cara Penyampaian Informasi
Keuangan Daerah (IKD).
Dalam Pasal 2, disebutkan bahwa
IKD yang disampaikan oleh Pemerintah Daerah kepada Pemerintah mencakup: 
 APBD;
 Perubahan APBD;
 Laporan Realisasi APBD Semester I;
 Laporan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD, terdiri dari:
1. Realisasi APBD;
2. Neraca;
3. Laporan Arus Kas; dan
4. Catatan atas Laporan Keuangan;
 Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan;
 Laporan Keuangan Perusahaan Daerah; dan
 Data yang berkaitan dengan kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal daerah.
Pasal 9;
Dalam hal Pemerintah Daerah tidak menyampaikan IKD dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari
setelah diterbitkannya peringatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Direktur Jenderal
Perimbangan Keuangan atas nama Menteri Keuangan menetapkan sanksi berupa penundaan
penyaluran Dana Perimbangan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri
kemudian dalam Pasal 10 ayat 1, disebutkan bahwa
Sanksi berupa penundaan penyaluran Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
dilakukansebesar 25% dari jumlah DAU yang diberikan setiap bulannya pada tahun anggaran berjalan.

Seandainya semua ini dijalankan, bisa dipastikan mutu tata kelola dan tata pembukuan keuangan daerah
tidak lagi menjadi sasaran permanen kritikan publik dan temuan BPK.
demikian  Permasalahan Umum dan Klasik dalam Penyusunan APBD ini yang disadur dari berbagai
sumber.
Diposkan oleh Wasat Sryam BudiVera di 13.45 
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Anda mungkin juga menyukai