Pangkal masalah Anggaran di Indonesia, baik APBN dan APBD menurut Ahmad Erani Yustik Direktur
Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) adalah:
1. APBN/APBD selalu di desain defisit sehingga memberi kesempatan adanya inefesiensi dan
praktik koruptif.
2. desain APBN/APBD hanya dipahami sebagai proses teknokratis untuk mengalokasikan sumber
daya ekonomi (anggaran), tetapi APBN tidak dimengerti juga sebagai instrumen ideologis untuk
mendekatkan tujuan bernegara sebagai amanat konstitusi.
3. asumsi ekonomi makro yang disusun hanya mendasawrkan kepada tujuan sempit tetapi
mengabaikan semangat keadilan sosial, seperti aspek ketimpangan pendapatan.
4. besaran anggaran tidak mencerminkan permasalahan dan kontekstualisasi dasar pembangunan
nasional. Buktinya, alokasi anggaran ke sektor pertanian dan industri tergolong kecil padahal sebagian
tenaga kerja berada di sektor tersebut.
5. amanah UU tidak semuanya dijalankan dengan baik. Sebagai contoh, alokasi anggaran
kesehatan diharuskan minimal 5 persen dari APBN, namun selama ini mendapatkan porsi kurang dari 2
persen.
6. penerimaan negara dihitung sangat rendah, baik yang bersumber dari pajak maupun Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) sehingga membuka peluang terjadinya korupsi penerimaan negara seperti
yang terus berulang selama ini.
2 (dua) hal yang perlu dicermati sebagai hambatan dalam mewujudkan APBD sebagai bentuk
akuntabilitas kepada masyarakat;
1. berkaitan dengan perlilaku politik dari pejabat politik maupun pejabat publik daerah yang merasa
terganggu atau tidak suka dengan transparansi anggaran, karena hal tersebut secara tidak langsung
akan mengurangi otoritas yang selama ini mereka nikmati.
2. persoalan yang berkaitan dengan aturan-aturan formal yang ada, bahwa masing-masing pihak
dan lembaga memilki batas kewenangan serta prosedurnya sendiri. Kedua kendala inilah yang
menyebabkan alokasi anggaran dalam APBD seringkali tidak mencerminkan keberpihakan kepada
publik. Selama ini, kendala yang seringkali dimunculkan sebagai alasan belum mampunya peemrintah
daerah menyediakan pelayanan dengan kualitas memadai adalah keterbatasan dana, sehingga APBD
lebih terfokus pada optimalisasi penggalian PAD.
Beberapa permasalahan yang mengiringi proses penyusunan APBD itu adalah :
1. waktu penyusunan yang molor. Setiap tahun dijumpai daerah yang lamban dalam
menyusun anggaran keuangan pemerintahannya.
Sebagai contoh, rancangan KUA dan PPAS melebihi waktu dari jadwal yang seharusnya
disampaikan kepala daerah kepada DPRD yakni pertengahan bulan Juni tahun anggaran
berjalan. Demikian pula, draf RAPBD yang semestinya sudah harus diserahkan ke DPRD pada
pekan pertama Oktober untuk dibahas, kenyataannya biasa molor yang akhirnya penetapannya
juga molor.
keterlambatan ini berdampak pada sejumlah kabupaten/kota terlambat juga menyerahkan
RAPBD ke Pemprov untuk dievaluasi.
Padahal, keterlambatan penyusunan APBD jelas merugikan masyarakat. Masyarakat yang
semestinya sudah menerima anggaran pembangunan atau pelayanan publik terpaksa harus
tertunda menunggu selesainya penetapan APBD.
Selain itu, Dana Alokasi Umum (DAU) daerah yang terlambat menetapkan APBD juga akan
dipotong 25% oleh pemerintah pusat.
Dari sudut pandang perencanaan, keterlambatan penyusunan APBD merupakan sesuatu yang
kurang masuk akal.
Logikanya,
bagaimana mungkin pemerintahan bisa berjalan tanpa ada acuan APBD?
APBD yang seharusnya sudah ditetapkan sebelum tahun anggaran berjalan atau paling lambat
tanggal 31 Desember, kenyataannya tak sedikit yang molor hingga berbulan-bulan. Selama
APBD belum ditetapkan, daerah-daerah tersebut berjalan berpedoman pada apa?
Secara de-jure maupun formal administratif, landasan daerah yang terlambat menetapkan APBD
itu bisa dikatakan lemah.
Kemungkinan molornya waktu penetapan APBD amat besar disebabkan pelantikan anggota
DPRD. Dasar hukum penyusunan tata tertib dan alat kelengkapan DPRD juga terlambat terbit,
sehingga berdampak pada terlambatnya pembahasan RAPBD.
2. Persoalan anggaran yang tekor atau defisit anggaran. Defisit anggaran terjadi karena
anggaran pendapatan pemerintah tidak mampu menutup anggaran belanjanya.
Daerah yang mengalami defisit anggaran bisa jadi secara faktual memang tidak mampu menutup
besarnya pengeluaran belanja daerah. Ada kemungkinan pula kondisi defisit tersebut
“direkayasa” sebagai sarana untuk menekan pemerintah pusat agar menambah dana
perimbangan atau dana kontingensi.
Tidak mudah menyusun APBD yang benar-benar bebas dari defisit ketika paradigma “besar
pasak daripada tiang” dan terlalu menggantungkan bantuan dari eksternal masih menjadi
pedoman dalam penyusunannya. Kenyataannya, daerah masih amat tergantung kepada sumber
pembiayaan dari pemerintah pusat. Terbukti, sebagian besar penerimaan daerah berasal dari
DAU dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Ketergantungan Pemda terhadap pusat menyebabkan kreativitas daerah terkadang terhambat.
Di Permendagri No 25/2009 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun Anggaran 2010 juga
telah disebutkan guna mencapai sasaran pembangunan, dalam penyusunan program dan
kegiatan daerah wajib menerapkan prinsip-prinsip efisiensi.
Perjalanan dinas dan studi banding agar dibatasi frekuensi dan jumlah pesertanya serta
dilakukan sesuai dengan substansi kebijakan yang sedang dirumuskan, yang hasilnya dilaporkan
secara transparan dan akuntabel. Bahkan ditentukan pula pembatasan penganggaran untuk
penyelenggaraan rapat-rapat yang dilaksanakan di luar kantor, workshop, seminar dan
lokakarya.
Namun, kepatuhan terhadap aturan tertulis tersebut tampaknya masih jauh dari harapan. Lihat
saja, tidak sedikit daerah yang justru melakukan pembahasan RAPBD-nya di luar daerah.
Mungkin anggaran yang dibutuhkan untuk membiayainya relatif kecil dibanding angka-angka
yang dibahas, tapi bagaimana dengan semangat efisiensinya? Kurangnya sense of crisis Pemda
juga terlihat dari tidak pekanya mereka atas kondisi masyarakat dan kondisi keuangan daerah.
Sungguh ironis, meskipun masih banyak masyarakat yang terhimpit kesusahan ekonomi dan
kondisi keuangan daerah yang terbatas, di beberapa daerah justru berencana memborong mobil
dinas hingga miliaran rupiah.
Daerah semestinya memahami dan menempatkan prioritas pengalokasian anggarannya dengan
tepat. Sebagaimana arahan Permendagri No 25/2009, masalah dan tantangan utama yang harus
dipecahkan dan dihadapi pada tahun 2010. Di antaranya adalah upaya untuk menanggulangi
kemiskinan, meningkatkan akses dan kualitas pendidikan, serta meningkatkan kualitas
kesehatan.
Di bidang pendidikan misalnya, Pemda secara konsisten dan berkesinambungan perlu
mengupayakan pengalokasian anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari belanja
daerah.
Hampir semua APBD di Indonesia anggarannya mayoritas dialokasikan guna memenuhi belanja
pegawai. Seperti untuk membayar gaji, tunjangan, honor dan uang lembur.
Biaya untuk belanja barang/jasa, perjalanan dinas, dan pemeliharaan gedung/kendaraan
semakin memperbesar kebutuhan anggaran untuk pegawai. Belanja pegawai yang menyedot
biaya besar berdampak pada kecilnya anggaran untuk publik. Kebanyakan daerah lebih dari 75%
anggarannya digunakan dalam rangka membiayai internal birokrasi, sedangkan anggaran untuk
pembangunan dan pelayanan publik relatif terbatas.
Seberapa jauh anggaran pemerintah berpihak pada publik, bisa diamati dari bagaimana
pelayanan publik; seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur;
diselenggarakan pemerintah.
Keempat persoalan seputar penyusunan APBD di atas seharusnya tidak sampai terjadi, atau paling tidak
dapat direduksi, seandainya dalam penyusunan APBD memperhatikan prinsip penyusunan APBD yang
sudah digariskan (ada partisipasi masyarakat, transparansi dan akuntabilitas anggaran, disiplin anggaran,
keadilan anggaran, dan taat asas), serta patuh pada kaidah penganggaran sektor publik yang berlaku
(legitimasi hukum, legitimasi finansial, dan legitimasi politik).
Failing to plan is planning to fail (Alan Lakein). Kegagalan dalam membuat rencana berarti merencanakan
sebuah kegagalan. Kegagalan dalam perencanaan APBD sama dengan merencanakan kegagalan
Daerah tersebut untuk mewujudkan kewajibannya, yaitu peningkatan kesejahteraan rakyat di wilayahnya.
Meskipun penyusunan APBD rentan dengan berbagai kepentingan politik, namun aturan-aturan formal
tetap harus dijadikan landasan, terutama prinsip dan kaidah normatifnya. Jika hal ini sungguh-sungguh
dipedomani oleh eksekutif dan legislatif, niscaya APBD menjadi “alat intervensi” negara dalam
mensejahterakan masyarakat, dan bukan justru menjadi sumber masalah.
Berdasarkan permasalahan diatas sekurangnya ada tiga praktik tata kelola yang menunjukan buruk
rupa manajemen keuangan daerah saat ini
Kedua, problem kapasitas daya serap anggaran. Saat ini, sekitar 60% dana APBN kita beredar di
daerah (30% lewat skema transfer ditambah 30% berasal dari dana dekonsentrasi, medebewind dan
dana sektoral). Suatu jumlah uang beredar yang tentu amat besar, sekaligus tanggung jawab yang besar
pula. Namun sayang, sejauh ini Pemda masih belum berkekuatan penuh menyerap anggaran yang ada,
bahkan di sebagian daerah, sisa dana ”diparkir” di perbankan berbentuk Sertifikat BI.
Perlu dicatat, adanya dana yang menganggur itu bukan lantaran daerah berkelebihan uang atau pun
sebagai hasil dari penghematan (efisiensi) anggaran. Sebaliknya, hal itu menunjukan adanya dana yang
terbengkelai, karena buruknya sistem perencanaan anggaran, berbelitnya prosedur pengadaan
barang/jasa pemerintah, lemahnya proses legislasi di daerah, atau orientasi sempit pada PAD dari bunga
simpanan SBI. Kinerja instrumen fiskal semacam itu berakibat terbengkelainya pula program layanan
publik dan tentu sulit menjadi stimulan alternatif di tengah masih lesunya investasi sektor swasta.
Ketiga, selain kedua masalah di atas, hari-hari ini media massa juga gencar memberitakan problem
ketiga dalam manajemen keuangan daerah, yakni administrasi pelaporan keuangan. Hal ini tentu tidak
saja menyangkut problem akuntansi dan tata pembukuan, tetapi lebih mendasar lagi mencerminkan
politik kebijakan dan komitmen penegakan good governance di daerah.
Alhasil, merujuk laporan BPK, setiap tahun terdapat tendensi memburuk dalam kualitas pengelolaan dan
laporan keuangan. Data terakhir (2009) menunjukan, hanya ada 21 daerah yang memiliki status laporan
wajar tanpa pengecualian, selebihnya: 249 daerah wajar dengan pengecualian, 7 daerah berstatus
disclaimer (tak memberikan pendapat) dan 10 daerah adverse (tak wajar).
Institusi ini hanya diposisikan sebagai unsur penunjang, desain kelembagaannya gampang terkooptasi
oleh SKPD lainnya, ruang lingkup pengawasannya terbatas, tidak adanya mekanisme sanksi dalam
pengawasan, dan status aparatnya disinyalir sebagai orang buangan yang mempengaruhi motivasi dan
kapasitas kerja.
Seandainya semua ini dijalankan, bisa dipastikan mutu tata kelola dan tata pembukuan keuangan daerah
tidak lagi menjadi sasaran permanen kritikan publik dan temuan BPK.
demikian Permasalahan Umum dan Klasik dalam Penyusunan APBD ini yang disadur dari berbagai
sumber.
Diposkan oleh Wasat Sryam BudiVera di 13.45
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest