Anda di halaman 1dari 109

MAKALAH

KEARIFAN LOKAL INDONESIA

DOSEN PENGAMPU:

Berti Yolida, S. Pd, M. Pd.


Median Agus Priadi, M.Pd.

Disusun oleh:

Fara Dila Puteri (2013024048)

Nadya Anom Permata (2013024044)

Redhita Maharani A. Kodir (2013024012)

Reny Septina Dewi (2013024004)

PROGRAM STUI PENDIDIKAN BIOLOGI (B)

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tema “Aliran-aliran Pendidikan”
ini tepat pada waktunya.

Seperti yang telah kita ketahui bahwa persoalan pendidikan merupakan proses yang
kompleks karena membutuhkan jalinan teoritis sebagai dasar dalam mengambil keputusan
kependidikan serta pemahaman beragam gejala faktual dan aktual yang melibatkan pembicaraan
berbagai unsur yang terkait langsung di dalam proses pendidikan. Banyak unsur yang terkait
dalam pendidikan seperti pendidik, peserta didik dan aliran-aliran pendidikan.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak Dr.
Riswandi, M.Pd dan ibu Berti Yolida, S. Pd, M. Pd. pada mata kuliah Landasan Kependidikan.
Setelah itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang aliran-aliran yang
terdapat dalam pendidikan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak terutama kepada Bapak Dr.
Riswandi, M.P dan Berti Yolida, S. Pd, M. Pd. selaku Dosen dari mata kuliah Landasan
Kependidikan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. yang telah membagi pengetahuannya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.

Bandar Lampung, 12 Desember 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................................ i
Kata Pengantar ................................................................................................................ ii
Daftar Isi ....................................................................................................................... iii

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 5
1.3 Tujuan .......................................................................................................... 5
II. PEMBAHASAN
2.1Kearifan Lokal Di Pulau Sumatera ................................................................... 6
2.1.1 Kearifan Lokal Aceh ....................................................................... 6
2.1.2 Kearifan Lokal Sumatera Utara ..................................................... 12
2.1.3 Kearifan Lokal Sumatera Barat ..................................................... 22
2.1.4 Kearifan Lokal Riau ...................................................................... 29
2.1.5 Kearifan Lokal Jambi .................................................................... 33
2.1.6 Kearifan Lokal Bengkulu .............................................................. 38
2.1.7 Kearifan Lokal Sumatera Selatan .................................................. 50
2.1.8 Kearifan Lokal Lampung............................................................... 54
2.2 Kearifan Lokal Di Pulau Jawa dan Bali ........................................................ 61
2.2.1 Kearifan Lokal Pulau Jawa ............................................................ 61
2.2.2 Kearifan Lokal Pulau Bali ............................................................. 74
2.3 Kearifan Lokal Di Pulau Sulawesi dan Kalimantan ...................................... 87
2.3.1 Kearifan Lokal Sulawesi ............................................................... 87
2.3.2 Kearifan Lokal Kalimantan ........................................................... 96
2.4 Kearifan Lokal Di Pulau Papua .................................................................... 98
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................ 104
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 105

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kearifan lokal memiliki hubungan yang sangat erat dengan kebudayaan tradisional
yang terdapat pada suatu tempat, dalam kearifan lokal banyak mengandung pandangan
maupun aturan aturan yang telah ditetapkan secara bersama agar masyarakat lebih memiliki
pedoman dan landasan dalam menentukan perilaku perilaku seperti perilaku masyarakat
dalam menjalankan kegiatan sehari hari. Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu
pengetahuan mengenai kehidupan serta berbagai strategi kehidupan yang dapat diwujudkan
dalam beraktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah
yang didapat dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan ciri khas yang telah dimiliki
dan dilakukan dari zaman dahulu dengan kebudayaan secara turun-menurun.

Kearifan lokal dipandang sangat bernilai dan mempunyai manfaat tersendiri dalam
kehidupan masyarakat. Sistem tersebut dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk
menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan hidup sesuai dengan keadaan,
kemampuan, dan tata nilai yang dihayati di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pembentukan dan perkembangan budaya sangat mempengaruhi jati diri bangsa, kesatuan
masyarakat berperan serta dalam pembentukkannya. Identitas masa dan ruang mempunyai
makna penting dalam permasalahan kebudayaan. Bagi Indonesia bukan hanya sebagai
bentuk geopolitik semata dalam kenyataannya senantiasa mengandung keragaman kelompok
sosial dan sistem budaya yang tercermin pada keanekaragaman kebudayaan suku bangsa.

Melalui perjalanan sejarah, berbagai proses kehidupan manusia telah melahirkan ciri
keanekaragaman bentuk budaya. Diperkuat oleh aktivitas silang yang saling mendekatkan di
antara berbagai kelompok etnis dengan pengaruh persebaran budaya budaya yang ada yang
telah datang ke Indonesia. Diakui realitas sosial bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku
bangsa dengan kebudayaannya masingmasing. Sejauh ini masih terjadi perbedaan
pemahaman dalam mengartikan konsep suku bangsa, sehingga berapakah tepatnya jumlah
suku bangsa di Indonesia. kebudayaan Indonesia dari berbagai segi penting artinya dalam
rangka menemukan integrasi sebagai unsur penting dalam usaha persatuan bangsa.
4
Kebudayaan Indonesia berakar dari kebudayaan etnik lokal yang berada di Indonesia
yang memiliki keragaman. Dengan tujuan inilah sangat penting dipupuk rasa persatuan
dalam pembinaan dan pengembangan kebudayaan Indonesia untuk memahaminya lewat
pendekatan kebudayaan se-Indonesia. Setiap daerah di Indonesia memiliki ciri khas budaya
masing-masing yang haru dikembangkan, dijaga dan dilestarikan keberadaannya sebagai
identitas bangsa agar tetap dikenal dan tetap ada diantara masyarakat Indonesia. Dengan
bangsa yang memiliki sejarah yang sangat panjang, sehingga bangsa Indonesia memiliki
kehidupan yang sangat beraneka dengan kebudayaan di dalamnya terdapat berbagai
kebudayaan, seperti: budaya Jawa, Sunda, Madura, Minang, Batak, Makasar, Bugis, Toraja,
Manggarai, Sikka, Sumba, Bali, Sasak dan budaya lain-lain yang hidup dengan saling
berdampingan dan saling melengkapi satu sama lain.

1.2 Rumusan masalah


Berdasarkan pada latar belakang yang telah dijelaskan maka dapat dibuat rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa saja kearifan lokal yang terdapat dipulau Sumatra?
2. Apa saja kearifan lokal diada pulau Jawa dan Bali?
3. Apa saja kearifan lokal yang dimiliki di pulau Sulawesi dan Kaimantan?
4. Apa saja kearifan lokal yang terdapat di pulau Papua?
5. Apa sajakah kearifan lokal yang menjadi hukum adat untuk menjaga alam di
Indonesia?

1.3 Tujuan

Berdasarkan pada latar belakang yang telah dijelaskan maka dapat dibuat rumusan
masalah sebagai berikut:

1. Mengetahui kearifan lokal yang terdapat di Pulau Sumatra.


2. Mengetahui kearifan lokal yang ada di Pulau Jawa dan Bali.
3. Mengetahui kearifan lokal yang dimiliki dimiliki di Pulau Sulawesi dan Kalimantan.
4. Mengetahui kearifan lokal yang terdapat di Pulau Papua.
5. Mengetahui kearifan lokal yang menjadu hukum adat untuk menjaga alam di
Indonesia.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2. 1 Kearifan Lokal di Pulau Sumatera


Sumatera adalah pului keenam terbesar di dunia yang terletak di Indonesia,
dengan luas 473. 481 km2. Penduduk pulau ini sekitar 57.940.351. Pulau ini dikenal dengan
nama lain yaitu Pulau Percha, Andalas, atau Suwarnadwipa. Sumatera terbagi menjadi
beberapa Provinsi dan setiap Provinsi memiliki adat dan budaya khas masing-masing.

2.1.1 Kearifan Lokal Aceh


Aceh memiliki beberapa kearifan lokal daerah yaitu sebagai berikut.

1. Proteksi dan Penghormatan Perempuan

Kedudukan kaum hawa dalam masyarakat Aceh dipandang lebih


tinggi karena kaum hawa merupakan “per-empu-an” atau orang yang
mengampu, memproduksi, atau memiliki. Kaum hawa adalah perempuan
sebagai subjek, bukan wanita yang “wani ditata” dan merupakan objek.
Karena itu, perempuan haruslah diproteks, dilindungi, dan dihormati. Budaya
Aceh memproteksi dan menghormati perempuan sejak lahir hingga ke liang
lahat. Proteksi terhadap perempuan dalam masyarakat Aceh, misalnya
diekspresikan dengan memakaikan perhiasan “Cupeng” pada anak balita
perempuan yang berfungsi juga sebagai penutup auratnya meskipun ia tidak
berpakaian. Di pihak lain, bagi perempuan remaja dan dewasa, melengkapi
pakaian mereka dengan kancing baju emas “Boh Dokma”, sejenis perhiasan
dada seperti gasing telungkup di mana bagian yang runcing menghadap ke
depan yang berfungsi di samping sebagai perhiasan, juga menjadi senjata
kejut kalau-kalau ada lelaki jalang yang mengganggu. Di samping itu, bentuk
ekspresi lain dalam mengangkat martabat perempuan, isteri-isteri dalam
masyarakat Aceh meskipun sudah tidak berpakaian lagi di tempat tidur
bersama suami, masih juga memakai perhiasan berupa tali pinggang yang
melekat pada badannyaguna menimbulkan effeks erotis bagi suaminya.
Kecantikan isteri yang sesungguhnya menurut Islam adalah untuk suami,

6
bukan untuk yang lainnya. Prinsip berpakaian orang Aceh dengan berbagai
tujuan, keadaan, dan fungsinya ditanamkan melaui memori kolektif
masyarakat, misalnya dengan ungkapan:

 “peue ka peulhon aneuk keuh, meusikrek beuneung tan”, yang berarti


“mengapa (ekspresi kemarahan) kamu biarkan anakmu telanjang bulat, tanpat
pakaian seutas benang pun?” Ungkapan ini bermakna bahwa orang Aceh,
meski anak kecil sekalipun harus berpakaian, dan kalaupun terpaksa harus
telanjang, tidaklah boleh telanjang bulat, kecuali melekat pada badannya
walau seutas benang. Prinsip ini dipelihara kelestariannya dengan pernyataan-
pernyataan lain yang mengancam dengan mara yang akan terjadi bila
dilanggar, seperti “bek teulhon abeh, jitamong jen” yang artinya “jangan
telanjang bulat, bisa masuk jin”. Pelestarian prisip keharusan berpakaian
tersebut juga menjadi kearifan masyarakat Aceh dengan menyediakan “ija
rhah” atau kain basahan di kamar mandi, yang berarti dalam keadaan sendiri
dan tertutup sekalipun aurat harus dijaga.
 “Gho bagho, tika eh tika ceumeulho”, yang bermakna “Sembrono (tidak pada
tempatnya), tikar tempat tidur jadi tempat perontokan padi”. Ungkapan ini
bermakna bahwa dalam berpakaian (termasuk memakai perhiasan) seseorang
haruslah sesuai dengan tempat, suasana, dan fungsinya.
 “ngon gob bahie, ngon lakoe khie”, yang berarti “ bersama orang lain (di luar
rumah) cantik, bersama suami bau tengik”. Ungkapan ini bermakna bahwa
perempuan Aceh haruslah cantik (bahie: bahenol) bersama suaminya, guna
menjaga kasih sayang dan kebahagiaan suami isteri.

Demikian juga, proteksi dan penghormatan terhadap perempuan tidak


saja diekspresikan dalam kehidupannya di dunia, tetapi juga sampai ke kuburan.
Hal ini misalnya terlihat pada kuburan putri-putri Pasai, di mana nisan-nisannya
terbuat dari batu pualam yang indah-indah sementara kuburan para raja hanya
bernisan batu biasa.

2. Konservasi Nisan dan Manuskrip

7
Dalam masyarakat Aceh ada kebiasaan orang yang bernazar kapada
Allah mengenai sesuatu yang diharapkan bahwa ia akan memberikan dua hasta
kain putih (dua haih ija puteh) atau lebih untuk membalut nisan pada kuburan
raja, pemimpin, atau ulama yang dianggap keramat kalau harapannya tercapai.
Di samping itu, ada kebiasaan membungkus manuskrip-manuskrip (terutama
manuskrip Al-Quran) dengan kain putih dan kemudian secara berkala
manuskrip-manuskrip tersebut diasap-asapkan (Aceh: hanggang) dengan asap
kemeyan secara berkala, yang dijalankan dengan penuh takzim oleh para
pewarisnya secara turun temurun yang barangkali juga tidak mengerti apa
tujuannya.
Kedua hal tersebut terasa berbau khurafat dan tidak sesuai dengan ajaran
Islam sehingga sering mendapat tantangan dari pemuka-pemuka agama karena
pekerjaan tersebut dianggap syirik. Kalau dilihat dari perlakuannya memang
kedua hal tersebut sepertinya pekerjaan syirik, tetapi di balik semua itu
sesungguhnya terkandung anjuran konservasi artefak-artefak (batu nisan)
penting bagi bukti sejarah dan manuskrip-manuskrip yang berisi berbagai nilai
ruhani, ilmu pengetahuan, dan kearifan yang bernilai up to date bagi kehidupan
dunia dan akhirat dalam rangka mempertahankan keberadaannya.
Batu-batu nisan lama yang dibungkus dengan kain putih sepanjang
umurnya ternyata tidak pernah berjamur, keropos, atau rusak karena pengaruh
cuaca. Demikian juga manuskrip-manuskrip yang dibungkus kain putih dan
secara berkala dihanggang dengan asap kemeyan secara teratur ternyata dapat
melintasi masa berabad-abad, lebih tahan dari kerusakan karena binatang, jamur,
dan cuaca, dan lebih panjang umurnya daripada manuskrip-manuskrip yang
diawetkan dengan bahan-bahan lain atau disimpan begitu saja dan diabaikan.
Konservasi batu nisan dan manuskrip dengan bungkusan kain putih, atau
konservasi manuskrip dengan menghanggangnya dengan asap kemeyan tentu
akan terputus apabila pewaris dari keturunan langsung pemiliknya sudah tidak
ada. Karena itu, agar terjaminnya upaya konservasi perlu pelibatan masyarakat,
dan untuk pelibatan masyarakat dibentuklah wacana umum dengan berbagai
ekspresi, seperti bernazar, atau mengadakan kenduri syukuran yang disertai

8
pembacaan tahlil, doa, dan salawat kepada Rasulullah SAW pada kuburan
orang-orang yang menjadi ikutan masyarakat, yang kemudian menjadi tradisi
yang berefek positif bagi konsevasi artefak-artefak penting bagi sejarah
masyarakat pendukungnya.
Dampak positif dari kedua tradisi konservasi artefak tersebut di atas
dapat ditemukan pada beberapa makam kono yang batu nisannya berbungkus
kain putih atau jiratnya diberi kelambu, seperti kuburan Poteu Meureuhom Daya
(pada batu nisan kuburanya terbaca “As-Suthanu ‘s-Salathin ‘Alau ‘d-Din
Ri’ayat Syah ibnu ‘s-Sulthan ‘Inayat Syah ibnu Abdi ‘l-Lahi ‘l-Maliki ‘l-
Mubin”) di Lamno yang berumur 507 tahun, makam Teungku Syiyah Kuala atau
Syekh Abdurrauf bin Ali Al-Jawy Al-Fansury As-Sinkily (pada batu badan
jiratnya masih terbaca “Al-Waliyyul Mulki Al-Haj Asy-Syeikh Abdurrauf bin
Ali”) di Kuala Aceh yang saat ini berumur 322 tahun, makam Teungku di
Anyong (Sayid Abubakar bin Husein Bil-Faqih) di Gampong Jawa, dan lain-lain
di mana nisannya seakan baru saja selesai dibuat, tanpa cacat, dan manuskrip-
manuskrip dengan kondisi “prima” yang terkumpul di Museum Aceh dari para
pewaris yang mengurusnya dengan cara tersebut di atas.
Kearifan lokal adalah kebijakan adat suatu tempat yang terbentuk dari
kristalisasi kebiasaan baik dan bernilai luhur bagi kemaslahatan masyarakat.
Kearifan lokal diwariskan baik melalui tradisi lisan, seperti pepatah, hadih maja,
pribahasa, ungkapan, dan cerita rakyat, maupun melalui tradisi tulis, seperti
manuskrip dan benda-benda pakai atau etnografika.
Bagi masyarakat Aceh yang menganut Agama Islam, agama, budaya, dan
kearifan lokalnya adalah satu, seperti zat dan sifat, sebagaimana terungkap
dalam semboyan Adat ngon hukom lagee zat ngon sifeuet, tidak dapat dipisah-
pisahkan, dan berlaku bolak balik. Kearifan lokal masyarakat Aceh berazaskan
Al-Quran, hadits, ijmak dan qiyas. Karena itu, keberadaan kearifan lokal
masyarakat Aceh sejalan dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan ajaran
Islam. Sebaliknya, kalau terasa tidak sesuai, maka tentulah ia sudah
mendapatkan legitimasi para ulama yang berakar pada penafsiran keempat
sumber hukum Islam tersebut di atas.

9
Kearifan lokal masyarakat Aceh mencakup segala aspek kehidupannya,
seperti aspek budaya, politik dan pemerintahan, ekonomi dan mata pencaharian,
sosial dan kemasyarakatan, ibadah dan muamalah, pendidikan, konservasi alam dan
lingkungan, dan lain-lain. Dari aspek budaya ada kearifan lokal yang berkaitan
dengan proteksi dan penghormatan terhadap perempuan yang diekspresikan dalam
bentuk memelihara aurat perempuan sejak usia dini (balita) berupa pemakaian
perhiasan Cupeng yang berfungsi ganda dan dimaksukan juga sebagai penutup alat
genitalnya ketika ia tidak berpakaian. Sementara untuk perempuan remaja dan
dewasa melengkapi pekaiannya dengan kancing baju emas Boh Dokma yang
sesungguhnya juga berfungsi ganda sebagai senjata kejut guna menjaga
kehormatannya dari gangguan lelaki jalang. Demikian juga guna mengangkat
martabat perempuan, para isteri menjaga daya tarik dan efek erotis bagi suaminya di
kamar tidur dengan memakai perhiasan tali pinggang yang melekat pada badannya
dengan prinsip kecantikan hanya untuk suami. Ketiga hal tersebut di atas erat
kaitannya dengan prinsip berpakaian orang Aceh, bahwa menutup aurat merupakan
keharusan walau terpaksa dengan seutas benang sekalipun, berpakaian harus sesuai
tempat, suasana, dan fungsinya, dan bagi isteri kecantikan yang utama haruslah
dipersembahkan kepada suaminya. Penghormatan kepada perempuan tidak hanya
diekspresikan di dunia, tetapi juga sampai ke kuburannya, seperti tercermin pada
makam putri-putri Pasai yang berpuasara pualam indah, berbalik dari pusara para raja
yang bernisan batu-batu biasa.

Kearifan lokal masyarakat Aceh lainnya terlihat pada upaya konservasi


nisan dan manuskrip, terutama manuskrip Al-Quran dengan kain putih dan asap
kemeyan yang seakan berbau khurafat dan bertentangan dengan ajaran Islam. Tradisi
bernazar dengan memberi kain putih pada nisan kuburan jika harapannya tercapai
dijalankan oleh masyarakat atas wacana kekeramatan raja, pemimpin, atau ulama,
dan menyimpan menuskrip dalam bungkusan kain putih, serta secara berkala
menghangangnya dengan asap kemeyan merupakan tradisi yang dijalankan oleh para
pewarisnya dengan takzim bahkan tanpa tahu maksudnya. Perlakuan-perlakuan
tersebut sesungguhnya menjadi tradisi karena mengandung maksud terselubung akan

10
pentingnya pelestarian artefak-artefak penting bukti sejarah yang harus menjadi
tanggung jawab bersama. Efek positif dari kearifan lokal ini terbukti hasilnya, di
mana nisan-nisan di Lamno, Syiyah Kuala, dan Gampong Jawa yang dibungkus kain
putih bisa bertahan lintas zaman tanpa kerusakan, dan manuskrip-manuskrip yang
berisi nilai ruhani bangsa dan berbagai ilmu pengetahuan dapat terpelihara secara
baik dan keberadaannya bertahan hingga saat ini.(Drs. Nurdin AR, M.Hum, Majelish
adat Aceh)

1. Rumoh Aceh

Kearifan lokal Aktifitas masyarakat Bentuk pelestarian


Upacara sebelum Bermusyawarah Pengawetan alami komponen
mendirikan bangunan menentukan hari baik bulan tiang rumah tradisional Aceh
rumah tradisional Aceh baik bersama dengan tokoh sehingga mampu bertahan
(perhitungan menentukan adat, tokoh agama dan tokoh 200 tahun
hari baik dan bulan baik pemerintahan
menebang pohon untuk gampong
tiang rumoh Aceh

Pemilihan tiang rumah Upacara kenduri rumah Pelestarian pohon dari


tradisional Aceh (tameh raja Tradisional Aceh ketika kepunahan untuk tiang rumah
dan tameh putroe) mendirikan bangunan Aceh dengan kelas kuat satu
rumoh Aceh yaitu upacara yaitu pohon
tanom kurah dan upacara bak thu bak maneh
peusejuek

Aturan adat (memberikan Penyerahan rumah Pelestarian rumah tradisional


hadiah pernikahan rumah tradisional Aceh dihadapan, Aceh dengan sifat masyarakat
tradisional Aceh untuk tokoh agama dan tokoh yang exualilokal
anak perempuan yang pemerintahan agar melindungi rumah

11
menikah) gampong adat dari kepunahan
.

Aturan adat menanam Menanam pohon sesuai Menanam pohon dan tidak
pohon untuk tiang rumah dengan banyaknya jumlah menebang pohon di hutan
tradisional Aceh (jika satu ruang rumah Aceh yang sehingga ekosisitem hutan
keluarga dikaruniai anak akan dibangun saat si tetap lestari.
perempuan) -anak menikah. Umumnya
Masyarakatmenanam 16
hingga 24 pohon

Pada table menjelaskan kearifan lokal rumah tradisional Aceh pada upacara
adat rumah tradisional Aceh ditemukan nilai-nilai kearifan lokal terdapat pada
upacara sebelum mendirikan bangunan dan saat mendirikan bangunan rumah.
Pengetahuan tradisional yang dimiliki masyarakat telah mengajarkan masyarakat
Aceh beradaptasi dengan alam, dengan tidak merusak ekosistem hutan. Pada table
menunjukan pengetahuan aturan adat pada kearifan lokal membangun rumah
tradisional Aceh. Kekuatan dan keunikan rumah tradisional Aceh telah menjadi
kekayaan budaya yang perlu dijaga dan dilestarikan. Namun, sangat disayangkan
Rumoh Acehyang dijadikan hunian oleh masyarakat tradisional, saat ini
keberadaanya sendiri sudah tidak diminati lagi oleh masyarakat, perubahan budaya
dan ekonomi masyarakat turut mempengaruhi keberadaan rumoh Aceh. Sehingga
rumoh Acehyang fungsinya sudah mulai tergeser dari hunian menjadi warisan
budaya Aceh.

2.1.2 Kearifan lokal Sumatera Utara


Sumatera Utara memiliki beberapa kearifan lokal yaitu sebagai berikut.
1. Mangokal Holi

12
Kearifan yang akan saya ambil adalah kearifan lokal masyarakat
Sumatra Utara. Tradisi unik orang batak beda tipis dengan Orang Toraja, jika
di Toraja jasad yang sudah meninggal dirias disebut Ma nene berbeda dengan
orang batak yang disebut Mangokal Holi, yaitu upacara adat yang ada di
suku batak, tradisi warisan leluhur ini masih dilaksanakan hingga sekarang
oleh masyarakat Batak.Penjelasan dari Mangokal Holi yaitu Mangokal yang
berarti Menggali dan Holi Tulang Belulang / Tengkorak. Jadi tradisi
mangokal holi ialah ritual menggali tulang belulang jasad leluhur yang telah
lama meniggal dan kemudian melalui prosesi upacara adat di pindahkan ke
makam yang lebih besar, makam baru ini biasanya seperti tugu desainnya
identik juga seperti rumah gorga dan bisa di isi lebih dari satu jasad.

https://img.jakpost.net/c/2016/05/15/2016_05_15_4590_1463306617._large.jpg

proses pelaksanaan mangokal holi

1) Tinopot ma aka hula-hula ni si okalon I (raja keluarga dari kelompok


marga istri baik kandung maupun hanya hubungan marga atau klan ).
 ima bona ni arina (yaitu kelompok marga istri yang ingin digali/
tiga tingkatan diatas pihak yang memiliki acaradisebut juga paman
dari nenek yang melakukan acara)

13
 hula-hulana nan i okal(keluarga kandung atau satu marga atau
klan pihak istri yang akan digali).
 Tulang na(pihak paman dari anak atau cucu yang ingin melakukan
upacara).Tujuan dari pemanggilan ketiga pihak ini antara lain
untuk memberitahukan atau meminta restu serta mengundang
mereka turut hadir dalam upacara yang akan dilakukan.
2) Martonggo raja (mengumpulkan pihak yang terkait dalam upacara
ini).Dalam acara ini biasanya mengumpulkan semua para penetuah
kampung, marga yang menjalankan adat, teman sekampung, serta semua
yang terkait hubungan dengan acara adat yang akandilakukan,begitu juga
pihak yang akan melakukan upacara adatuntuk turut serta membantu
pelaksanaan upacara Mangokal Holi.
3) Pihak dari anak atau semua keturunan dari semua orang tua yang akan
digali makamnya dan semua para pihak undangan yang turut membantu
dalam pembagian tugas yang dilakukan pada saat martonggo raja, pada
saat jam yang sudah ditentukan pada malam martonggo rajasatu dari pihak
paman haruslah berdiri sambil membacakan doa guna keselamatan dan
penggalian agar cepat bisa menemukan tulang-belulang yang akan digali.
4) Proses Penggalian Makam, yaitu:
 Pemuka agama yang akan membuka acara dipemakaman dan
pemuka agama berperan untuk memanjatkan doa dan melantunkan
puji-pujian terhadap Tuhan yang Maha Esa guna melancarkan
acara penggalian dan setelah acara kebaktian singkat ini
dilakukan,maka penetuah atau pemuka agama yang layak pertama
kali mencangkul makam yang akan digali setelah itu dilanjutkan
oleh:
 Bona ni ari (paman dari pihak mendiang yang akan digali) sebagi
pembuka dalam penggalian tersebut setelah pihak pemuka agama.
 Setelah itu berdirilah pihak paman dan berbicara seperti yang
diatas setelah itu ikut mencangkul sebanyak 3 kali.

14
 Setelah itu pihak mertua ikut berdiri dan ikut mencangkul
sebanyak 3 kali.
 Setelah pihak mertua barulah pihak anaksatu perut atau anak
kandung serta anak kesayangan atau anak yang terakhir,
selanjutnya mencangkul tanah makam itu sebanyak 3 kali.
 Setelah itu, pihak anak menyampaikan kepada pihak
boru(keturunan perempuan atau suami dari keturunan perempuan)
agar dilanjutkan sampai tulang belulang ditemukan.
 Setelah ditemukan tulang belulangnya, maka diberitahukan
kepadapihakboru hasuhutan(suami dari anak perempuan kandung,
bukan karena marga) untukmengangkat tulang-
belulangnya.h.Dimakam sudah bersedia pihak dari keturunan laki-
laki yang siap menerima tulang-belulang, yang diangkat dari
bawah dandilakukan oleh pihak suami dari saudara
perempuannya,(untuk menjaga agar 5tulang tetap bersih dan dalam
keadaan baik harus disiapkan air yangbercampur karbol).
 Setelah selesai dibersihkan,maka pihak keluarga anak tertuadari
keturunan yang digali tulang-belulangnya,mengumumkan bahwa
penggalian telah selesai dan acara dimakam telah selesai.
 Setelah semua selesai, pihakanak menyampaikan sepatah, dua
patah kata kepada pihak pamanuntukmemberikan ulos timpus(kain
khas Batak yang melapisi atau membungkus tulang-
belulang).(T.M. Sihombing 1989 : 241-242)
5) Upacara Serah Terima TulangSetelah selesai acara baik penggalian,
pembersihan tulang-belulang maupun acara pembungkusan yangdilakukan
oleh pihak paman,maka dilanjutkan dengan acara serah terima tulang-
belulang dari pihak paman kepada pihak keturunan dan dilanjutkan
dengan ucapan terimakasih serta ajakan ke acaramemasukan ke dalam
tugu yang telah disiapkan sebagai bentuk penghormatan terhadap pihak
paman dari kakek.

15
6) Upacara Mangokal Holi Setelah acara di atas, dilanjutkan pada
pengucapan terima kasih serta penghormatan terhadap pihak paman
selakupihak yang paling dihormati pada suku Batak, dilanjutkan pula pada
acara membawa tulang-belulang yang telah dibersihkan dan dibungkus
rapi tadi masuk kedalam peti, kemudiandibawa oleh pihak istri (kalau
masih ada, kalau sudah tiada maka anak perempuan tertua sebagai
pengganti), dengan menaruh di atas kepala.Proses memberikan kata-kata
terakhir ditujukan pada semua keturunan yang hadir dan berlanjut
memasukan tulang belulang ke dalam tugu yang telah disediakan.
Penetuahgereja datang untuk memberikan doa dan berkat, namun ketika
berhalangan hadir dapat digantikan oleh pendeta yang telah diatur oleh
pihak gereja (biasanya pendeta dari gereja Batak atau gereja
kesukuanlebih dikenal dengan HKBP)
a) Fungsi dan makna upacara mangokal holi
Rangkaian upacara mangokal holi merupakan bentuk ekspresi
penghormatan masyarakat Batak Toba terhadap leluhur.Selain itu,
upacara ini bertujuan untuk mengeratkan tali kekerabatandi antara
keluarga atau marga.Tali kekerabatan yang begitu kuat dan erat
tersebut termanifestasikan melalui horja. Tidak kalah pentingnya di
dalam horjaterdapat holongyang memiliki makna kasih sayang.
Hal ini tercermin ketika seluruh keluarga menari tor-tor bersama
serta saling memberikan salam dan memegang pipi.
Upacara mangokal holipun menjadi wadah untuk membahagiakan
orang tua serta tempat berkumpul semua generasi marga, sehingga
memungkinkan untuk saling mengenal satu sama lain,
mengenalkan silsilah keluarga besar, sarana edukasi adat Batak
dan sebagainya.Selain sebagai suatu kewajiban, ternyata upacara
ini pula sebagai sarana untuk mengangkat martabat sebuah marga.
Melalui upacarainilah hasangpondapat tercapai dan sebagai bukti
sah bahwa seseorang telah menjadi suku Batak yang

16
mendatangkan kemuliaan bagi marganya.(Malau Gens G. 2000 :
289)

2. Tradisi Kenduri Laut

Tradisi Kenduri Laut adalah tradisi yang biasa dilakukan oleh


masyarakat pesisir pantai di Pulau Sumatera. Biasanya, tradisi ini dilakukan
sekali setahun yang bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur atas hasil
laut yang telah didapatkan ketika melaut selama setahun belakangan.
Meskipun secara umum tradisi ini dilakukan oleh masyarakat pesisir, tetapi
daerah yang paling terkenal dalam melakukan Kenduri Laut ini adalah
masyarakat yang tinggal di daerah Sibolga, Tapanuli Tengah, Sumatera
Utara.

Selain sebagai ungkapan rasa syukur terhadap seluruh hasil laut yang
telah diperoleh, Kenduri Laut biasanya juga dilakukan dengan niat agar hasil
laut yang didapatkan pada periode selanjutnya tetap berlimpah dan seluruh
nelayan tetap dilindungi ketika melakukan aktivitasnya di laut.

Bagi masyarakat Tapanuli Tengah, Tradisi Kenduri Laut ini lebih


dikenal dengan istilah dengan Upacara Mangure Lawik. Upacara Mengure
Lawik sendiri biasanya akan dilaksanakan pada awal bulan April, bersamaan
dengan Hari Jadi Kota Sibolga, tepatnya sekitar tanggal 2 April. Lokasi yang
biasa dijadikan sebagai tempat Upacara Mengure Lawik ini adalah kawasan
Sibustak-bustak, di Jalan Mojopahit, Aek Habil, Kota Sibolga.

Tradisi Kenduri laut biasanya diawali dengan menyembelih seekor


kerbau. Nantinya, daging hasil sembelihan kerbau ini akan dimakan bersama
oleh masyarakat dan seluruh tamu undangan yang hadir ke dalam upacara
ini.Tapi seperti tradisi pesisir pada umumnya, khusus untuk bagian kepala

17
kerbau yang disembelih tadi akan dilarung sampai ke tengah laut. Menurut
legenda yang diceritakan secara turun menurun, pelarungan kepala kerbau itu
diniatkan agar laut tidak akan mencari korban manusia lagi, sehingga
kegiatan nelayan di laut akan aman dan dapat kembali ke rumah dengan
selamat.

3. Nilai Budaya Dalihan Na Tolu

Salah satu nilai budaya yang menjadi kebanggaan orang Batak Toba
yaitu sistem hubungan sosial dalihan na tolu yang terwujud dalam hubungan
kekerabatan yang sangat kental berdasarkan keturunan darah (genealogis) dan
perkawinan yang berlaku secara turun-temurun hingga sekarang ini. Sebagai
sistem budaya, dalihan natolu atau sering juga diterjemahkan dengan istilah
tungku nan tiga–pengertian tungku nan tiga dalam budaya Batak ini tentu
akan berbeda pengertian dan maknanya dengan nilai budaya lain yang ada di
Sumatera, seperti tungku tiga sejarangan, benang tiga sepilin, payung tiga
sekaki, dan lain sebagainya—berfungsi sebagai pedoman yang mengatur,
mengendalikan dan memberi arah kepada tata laku (perilaku) dan perbuatan
(sikap atau pola tindak) orang Batak Toba. Oleh karena itu dalihan na tolu
merupakan satu sistem budaya yang bagi orang Batak Toba nilai yang
dikandungnya dijadikan tatanan hidup dan sekaligus menjadi sumber
motivasi berperilaku. Orang Batak Toba menghayati dalihan na tolu sebagai
satu sistem nilai budaya yang memberi pedoman bagi orientasi, persepsi, dan
definisi terhadap kenyataan atau realitas (Harahap dan Siahaan, 1987,
Armaidy Armawi, Kearifan Lokal Batak Toba Dalihan Na Tolu...159)
Bagi orang Batak Toba salah satu ciri khas dalihan na toluyang dinilai
tinggi adalah sistem kekerabatan dalam konteks keluarga luas (umbilineal).
Dalam konteks ini dalihan na toluberperan mengatur hubungan sosial di
antara tiga kerabat secara fungsional, yaitu kerabat semarga (dongan tubu),
kerabat penerima isteri atau yang disebut dengan istilah boru, dan kerabat
pemberi isteri atau yang dikenal dengan istilah hula-hula. Perlu kita ketahui
bahwa marga dalam sistem kekerabatan orang Batak Toba,demikian juga

18
orang Minang, berdasarkan keturunan sedarah (genealogis) berbeda dengan
pengertian fam yang ada di daerah lain. Oleh karena itu, perkawinan semarga
bagi orang Batak sangat dilarang meskipun daerah asal mereka berbeda.
Apabila terjadi perkawinan orang Batak dengan orang suku lain mereka akan
melakukan upacara adat untuk orang tersebut agar dapat diberikan marga
tertentu dari salah satu marga orangtuanya.
Secara operasional hubungan sosial yang dibangun dalam sistem
budaya dalihan na tolu dilakukan dalam bentuk perilaku hati-hati kepada
kerabat semarga atau disebut manat mardongan tubu, perilaku membujuk
kepada pihak penerima isteri atau yang dikenal dengan istilah elek marboru,
dan berperilaku bersembah sujud kepada pemberi isteri atau dikatakan juga
sebagai somba marhula-hula. Oleh karena itu, bagi orang Batak Toba
pengejawantahan hubungan sosial yang ada dalam budaya dalihan na tolu
menuntut adanya kewajiban individu untuk bersifat dan berperilaku pemurah
kepada orang yang memiliki hubungan kerabat, yaitu dongan tubu, boru, dan
hula-hula.Orang Batak Toba mempunyai tingkat kepatuhan dan ketaatan
dalam hubungan sosial sebagaimana yang diatur dalam struktur budaya
dalihan na tolu sehingga dipersepsi sebagai salah satu cara atau metode dalam
pencapaian kehidupan. Nilai budaya ini dijadikan sebagai pandangan dan
sekaligus tujuan hidup yang dapat dirumuskan sebagai satu rangkaian tiga
kata, yaitu kekayaan (hamoraon), banyak keturunan atau banyak anak
(hagabeon), dan kehormatan (hasangapon). Rangkaian ketiga kata tersebut
diungkapkan dalam petuah adat yang berbunyi molo naeng ho mamora, elek
ma ho marboru, molo naeng ho gabe, somba maho marhula-hula, molo naeng
ho sangap manta ma ho mardongan tubu. Artinya, jika engkau ingin kaya
berperilakulah membujuk kepada pihak penerima isteri atau boru, apabila
engkau ingin mendapatkan keturunan atau anak bersembah sujudlah kepada
kerabat pemberi isteri, dan jika engkau ingin dihormati berhati-hatilah kepada
kerabat semarga. (Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 2, Agustus 2008160)
Berdasarkan petuah tersebut orang Batak Toba dalam sistem budaya
dalihan na tolu dituntut berperilaku tolong-menolong atau peduli terhadap

19
kerabat pada setiap kesempatan dan perilaku tersebut bagi orang Batak Toba
dipersepsi sebagai nilai yang tinggi dan merupakan pula satu perbuatan yang
mulia serta luhur (Pasaribu, 2004). Dalam kehidupan sehari-hari, secara
umum orang Batak Toba mempunyai komitmen yang tinggi terhadap nilai
budaya dalihan na tolu. Hal ini dapat kita lihat bagaimana mereka secara
konsisten mematuhi nilai budaya yang diwarisi oleh leluhurnya tersebut,
seperti yang terungkap dalam petatah-petitih berikut ini omputta na di jolo
martungkot siala gundi, adat na pinukka ni parjolo ingkon ihuthonon ni
parpudi. Petuah yang terungkap dalam petatah-petitih ini mempunyai makna
yang dalam sekali, yaitu semua tata aturan yang telah ditetapkan oleh leluhur
mereka harus dituruti dan ditaati serta dilaksanakan secara turun-temurun.
Oleh karena itu, seluruh tatanan nilai adat dan budaya dalihan na tolu oleh
orang Batak Toba dianggap suci. Mereka juga beranggapan bahwa budaya ini
mempunyai nilai sakralitas dalam membangun hubungan sosial bagi
kehidupan. Hal ini terungkap dalam petuah adat yang mereka dapat dari
leluhurnya sebagai berikut martagan sipiliton, maransimun so bolaon, adat ni
ama dohot ompu tokka siuban. Nilai yang terkandung dalam petuah adat ini
mengisyaratkan adanya satu kepatuhan dan ketaatan kepada leluhur bahwa
adat yang telah diwarisi oleh leluhur sesunguhnya tidak dapat diubah.

4. Silsilah marga yang beragam


Bukan orang batak namanya jika tidak memiliki marga, namun yang menjadi
unik ialah setiap marga yang melekat di nama orang batak memiliki silsilah yang
panjang gaes.Sebagai contoh marga Saragih, jika di tarik kedalam silsilah marga
maka saragih akan sama dengan sitanggang, simbolon, simarmata dan masih banyak
lagi.
Contoh marga suku batak:
 Simbolon
 Sitanggang
 Purba

20
 Tobing
 Galingging
 Sidauruk
 Simanihuruk
 Situmeang
5. Pemakaman yang megah bentuk Tugu
Ukuran pemakaman yang besar dan megah banyak di temui di tanah batak
Sumatera Utara, jadi kesan horor terasa hilang dan ini adalah pemakaman yang
sangat khas, selain untuk menghormati leluhur bisa jadi perhatian tourist juga.

Kearifan lokal sumatera utara – pemakaman unik mewah di samosir oleh suku batak (img
via caingram.info)

Wisata berbasis kearifan lokal, tradisi dan budayanya tidak hilang tapi bisa
sebagai destinasi berkunjung sekedar mengetahui sejarah budaya di suku batak. Bisa
kita perhatikan gambar ini mewah kali. Bangunan seperti ini banyak di tanah batak
sana tepatnya Pulau Samosir dan Desa yang ada disepanjang pesisir Danau Toba.

21
2.1.3 Kearifan lokal Sumatra Barat
Sumatera Barat memiliki beberapa kearifan lokal yaitu sebagai berikut.
1. Sambah Silek sebagai Cermin Filosofi Adat Basandi Syarak-Syarak
BasandiKitabullah (ABS-SBK)
Seperti halnya kebudayaan dalam suku bangsa lain di berbagai daerah,
kebudayaan di Minangkabau juga terbentuk dari sistem religi, pengetahuan,
sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, mata pencaharian, serta sistem
teknologi peralatan. Hal mendasar dalam ketujuh unsur tersebut dalam
budaya Minangkabau adalah sistem religi. Sistem religi menjadi penopang
sistem pengetahuan dan unsur lain. Kekerabatan Matrilineal yang diterapkan
di Minangkabau juga didasari oleh sistem religi Islam. Oleh karena itu, adat
Minangkabau berjalan dengan pedoman hidup adat basandi syarak-syarak
basandi kitabullah (ABS-SBK). Pengejawantahan nilai-nilai dalam ABS-SBK
tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Syarak yang berarti hukum,
khususnya hukum adat, menjadi landasan yang berjalan beririmgan dengan
hukum Islam (kitabullah). Itu sebabnya setiap aktivitas dalam sosial
kemasyarakatan dan berkesenian di Minangkabau senantiasa berhubungan
dengan penerapan ajaran Islam dan ajaran adat. Selaras dengan hal itu, gerak
randai, pada bagian tertentu adalah cerminan dari sistem religi Islam
(kitabullah) yang dianut oleh masyarakat Minangkabau. Pertunjukan randai di
Minangkabau selalu dibuka dengan sambah silek. Sambah silek adalah gerak
awal untuk sebuah penghormatan yang dilakukan oleh anak-anak randai
(sebutan untuk pemain randai) untuk Tuhan dan kepada penonton. Sambah
silek dilakukan sebelum anak randai membentuk gerak galombang dalam
legaran. Sambah silek yang dipertunjukkan oleh anak randai tergantung pada
aliran silat yang dianut oleh kelompok randai tersebut. Sebagai contoh, gerak
silek kumango (silat Kumango). Gerak silek Kumango dalam sambah silek
berasal dari aliran silek Kumango. Silek kumango adalah salah satu aliran

22
ilmu silat yang berasal dari Kampung Kumango, Kabupaten Tanah Datar.
Aliran ini adalah aliran silat tua yang tumbuh dan berkembang di lingkungan
surau (mushalla), dikembangkan oleh Syekh Abdurahman Al Khalidi yang
dikenal sebagai Syekh Kumango (Saputra, 2011: 75).

Pemain Teater Randai dalam Komposisi Galombang(dokumentasi penulis saat pertunjukkan


Randai kunjungan budaya)

Carito Gerak sambah silek pada masing-masing kelompok randai


tidaklah sama, selalu memiliki ragam gaya dan aliran sendiri, seperti
terungkap dalam pepatah petitih adaik salingka nagari, pusako salingka kaum,
lain guru lain ajaran. Maksudnya, setiap daerah memiliki aturan adat sendiri,
dan setiap guru silat memiliki pelajaran sendiri. Filosofi dari sambah silek
dalam randai mengandung nilai-nilai kearifan lokal budaya Minangkabau
alam takambang jadi guru yang menandakan bahwa adat dan laku masyarakat
Minangkabau tidak bisa dilepaskan dari tuntuan ajaran agama Islam. Kitab
suci Alquran sebagai kitab suci umat Islam menjadi landasan dalam
menetapkan dan menjalankan adat di Minangkabau. Sembah (hormat) yang
ditujukan kepada Tuhan adalah cermin nilai-nilai agama, sedangkan gerak
silat Kumango adalah cermin bahwa manusia di Minangkabau belajar dari
fenomena dan berbagai unsur yang terdapat di alam semesta. Hal ini
menggambarkan bahwa masyarakat Minangkabau adalah suku bangsa yang

23
hidup dalam tuntunan adat basandi syarak-syarak basandi kitabullah (ABS-
SBK).

2. Buah Kato sebagai Cermin Filosofi Kato Nan Ampek


Bagi masyarakat Minangkabau, adat adalah pegangan dalam bergaul
dalam kehidupan sehari-hari. Adat dijadikan sebagai peraturan hidup yang
mengikat orang per orang dan masyarakat untuk tunduk dan mematuhinya
(Amir, 2007: 73).
Selain adat istiadat yang mengatur perihal kebiasaan dan tradisi di tiap
daerah, komponen adat lainnya adalah limbago nan sapuluah. Limbago nan
sapuluah adalah sebuah aturan adat yang khusus dan merupakan ketentuan
yang berlaku umum, baik di ranah Minangkabau maupun di rantau. Bagian
aturan dalam limbago nan sapuluah tersebut adalah kato nan ampek. Kato nan
ampek adalah aturan tata krama dalam berkomunikasi antara sesama
masyarakat Minangkabau dari berbagai usia. Kato nan ampek meliputi kato-
kato mandaki, kato mandata, kato melereang, kato manurun (Amir, 2007: 76).
Dalam permainan randai kurenah kato nan ampek selalu menjadi
bagian tata krama berbicara yang diperankan oleh anak-anak randai. Biasanya
kato nan ampekmengejawantah dalam bentuk dialog dan pantun-pantun. Ciri
khas dialog antartokoh menggunakan bahasa yang santun, mencerminkan
kesopanan dan sikap saling menghormati antarsesama, baik antara orang yang
lebih tua dengan orang yang berusia lebih muda, atau sebaliknya. Hal ini
adalah salah satu ciri identitas manusiaMinangkabau dalam bertutur kata.
Berikut ini adalah contoh dialog berbentuk pantun dalam randai yang
mencerminkan kearifan lokal kato nan ampek.
Taleh karanji urang gagak
Bao barang ka tapian
Nak kanduang kamari tagak
Adoh nan barang dikatokan
Talas Karanji sarang gagak
dibawa ke tepian
Anak kandung mari berdiri

24
Ada sesuatu yang hendak disampaikan

Dialog tersebut adalah pantun yang disampaikan oleh tokoh Ayah


kepada anaknya. Konteks dialog tersebut adalah orang yang lebih tua dengan
yang lebih muda usianya, serta kedudukan orang tua dengan anaknya.
Kurenah kato yang digunakan adalah kato manurun. Dalam kato manurun
biasanya pihak yang berusia lebih tua tetap harus menyampaikan bahasa yang
sifatnya membimbing dan memberi petunjuk tanpa bahasa kasar. Prinsip
kurenah kato manurun saat seseorang yang berusia tua kepada yang lebih
muda tergambar dari bahasa yang halus dan sangat menjunjung sikap
menghargai. Apabila sebuah pertunjukan randai telah menyajikan dialog
tokoh demikian dengan sendirinya telah mengajarkan pada penonton sikap
saling menghormati dan sopan santun dalam berkomunikasi dengan siapa
saja.

3. Budi Bahasa Minang sebagai Cermin Identitas Diri Urang Minang


Bahasa Minangkabau adalah ciri identitas lokalitas Minangkabau.
Bahasa daerah Minangkabau adalah bahasa ibu masyarakat Minangkabau,
digunakan sebagai pengantar dalam komunikasi sehari-hari, di luar dari
penggunaan bahasa nasional. Sebagai bahasa ibu, suku Minangkabau
memperoleh bahasa Minangkabau secara alamiah tanpa proses belajar di
sekolah seperti halnya bahasa kedua. Tentu sebagai bahasa ibu, bahasa
Minangkabau menjadi penciri identitas kolektif suku dan perekat hubungan
kekerabatan. Dalam konteks kultural, bahasa daerah Minangkabau adalah satu
bagian kearifan lokal suku Minangkabau. Dalam penerapannya di tengah
masyarakat Minangkabau, bahasa tersebut mengandung banyak ajaran
falsafah kehidupan, khususnya tentang tata cara berkomunikasi antarindividu
dan antarkelompok yang dilandasi kebijakan dan kearifan adat.
Randai Minangkabau adalah seni tradisi yang menggunakan bahasa
Minangkabau sebagai pengantar dalam naskah cerita. Dalam sejarah
performansi randai, pertama kali ditampilkan pada tahun 1930-an telah
menggunakan bahasa daerah Minangkabau. Sampai saat ini randai yang

25
berkembang di Sumatera Barat tetap menggunakan bahasa Minangkabau.
Berdasarkan fakta tersebut dapat dianalisis bahwa terdapat nilai kearifan lokal
yang diajarkan dalam setiap pertunjukan randai. Nilai kearifan tersebut adalah
agar masyarakat Minangkabau senantiasa menjaga kelestarian bahasa daerah
sendiri, menggunakan untuk komunikasi antarsesama orang suku
Minangkabau, serta menyebarluaskannya untuk berbagai kepentingan
bersama.
4. Hidup Alam Takambang Jadi Guru sebagai Pedoman Hidup
Falsafah alam Minangkabau menempatkan manusia sebagai salah satu
unsur yang statusnya sama dengan unsur lainnya, seperti tanah, rumah, suku,
dan nagari. Persamaan status tersebut dilihat dari keperluan budi daya
manusia itu sendiri. Setiap manusia secara bersama-sama atau sendiri-sendiri
memerlukan tamah, rumah, suku, dan nagari sebagaimana mereka
memerlukan manusia atau orang lain untuk kepentingan lahir dan batinnya
(Navis, 2015: 59).
Filosofi inilah yang disebut dengan alam takambang jadi guru. Makna
dari falsafah ini adalah kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari alam
dan segala unsurnya. Kehidupan manusia selalu berpasang-pasangan, seperti
halnya unsur-unsur di alam semesta yang selalu berpasangan; siang-malam,
laut-udara, langit-bumi, air-api, kehidupan-kematian, dan sebagainya. Sebagai
bagian dari ekosistem alam, manusia dituntut mampu bertahan dalam
kehidupan dan menjaga alam. Manusia juga dituntut cakap dalam membaca
dan mempelajari semua tanda-tanda alam. Demikian masyarakat
Minangkabau memaknai alam dan kehidupan. Dalam pertunjukan randai
Minangkabau juga termuat falsafah alam takambang jadi guru tersebut.
Berbagai gerak silat dan galombang yang diperagakan oleh anak randai
merupakan bagian dari hasil olahan guru tuo silek dalam kelompok randai
setelah mempelajari berbagai fenomena kejadian alam beserta aktivitas
makhluk hidup lainnya. Hal ini menguatkan alasan munculnya berbagai aliran
ilmu silat yang menjadi dasar dalam gerak galombang randai. Seperti halnya

26
gerak silat aliran Kumango, salah satu gerak silat yang digunakan dalam
randai, sedikit banyaknya terinspirasi dari alam.

5. Gerak Silek dalam Randai sebagai Cermin Identitas Anak Nagari


Gerakan-gerakan galombang dan legaran dalam randai merupakan
bagian dari gerakan pencak silat. Gerakan pembuka yang disebut sambah
silek, gerakan langkah silek (balabek) dan gerakan akhir langkah silek pada
dasarnya adalah representasi dari gerakan dalam silat yang terus berkembang
dengan memadukan pertunjukan jurus silat yang dilengkapi dengan dendang
dan musik. Melalui bentuk ini secara langsung randai telah mencerminkan
kearifan lokal masyarakat Minangkabau sebagai masyarakat yang identik
dengan silat.

Komposisi Anak Randai dalam GerakSilekdan Lakon


(Sumber: dokumentasi antaranews.comsaatpertunjukkan randai SMA di Banuhampu)

6. Bakaba dalam Randai sebagai Identitas Sosial Masyarakat Minangkabau


Sebelum tradisi tulis masuk ke dalam masyarakat Minangkabau,
masyarakat tradisional identik dengan tradisi lisan. Kaba (kabar) adalah
tradisi lisan di Minangkabau, dijadikan sebagai alat komunikasi, penyampai
berbagai informasi berita di nagari. Kaba pada masa tradisional berbentuk
pantun dan berbahasa daerah Minangkabau. Dalam ranah kesusasteraan lisan
milik Minangkabau, kaba juga memiliki fungsi sebagai pelipur lara. Fungsi
27
tersebut sudah ada sejak kemunculan kaba di rantau pesisir dan selanjutnya
sampai ke daerah darek (darat).
Hal yang cukup unik di masa awal kemunculan kaba adalah hadirnya figur
mamak dalam hampir semua teks kaba. Figur mamak dalam setiap kaba
menjadi sosok yang membawa pesan-pesan kemuliaan sistem adat. Hal
tersebut menjadi sebuah cerminan bahwa kaba memang didukung oleh sistem
sosial Minangkabau. Fakta-fakta tentang substansi dan fungsi kaba di masa
tradisional ternyata juga menjadi bagian penting dalam randai. Unsur teks
lisan, figur mamak, pesan-pesan budaya dan agama yang semula terdapat
dalam kaba saat ini juga menjadi unsur pembentuk keutuhan dalam
pertunjukkan randai. Bakaba dalam pertunjukan randai dapat ditemukan
dalam bagian dendang dan carito kato. Susunan bait-bait dendang dalam
randai yang sarat dengan pantun serta dialog antartokoh, juga berbentuk
pantun merupakan bagian dari kaba. Dikaitkan dengan fungsi kaba dalam
masyarakat tradisional Minangkabau, maka kearifan lokal yang termaktub
dalam kaba berkonteks randai adalah pesan moral agar masyarakat
Minangkabau selalu saling berkomunikasi dengan sesama etnis
Minangkabau. Hal itu selaras dengan mamangan orang Minangkabau yang
berbunyi, kaba baik bahimbauan, kaba buruak bahambauan.

Anak randai dalam komposisi berdialog (Sumber:dokumentasipenulis)

28
Apabila di masa awal pertumbuhannya teks kaba dalam randai tidak
dituliskan, pada masa selanjutnya naskah pertunjukan randai yang berbentuk
kaba telah dituliskan. Meskipun demikian, patut dipahami bahwa secara tidak
langsung unsur kaba dalam randai menjadi bagian dari kearifan lokal
masyarakat Minangkabau yang mencerminkan identitas setempat

2.1.4 Kearifan Lokal Riau


Riau memiliki beberapa kealrifan lokal yaitu sebagai berikut.
1. Lampu Colok

Lampu colok merupakan sebuah tradisi masyarakat Bengkalis turun


temurun. Lampu colok ini biasanya dipasang serentak tiap-tiap 27 Ramadan
atau sering disebut malam 7 likur jelang hari raya Idul Fitri. Lampu colok
memiliki arti tersendiri bagi warga Bengkalis. Dahulunya, lampu colok
merupakan sarana penerang jalan bagi warga yang ingin membayar Fitrah
tiap malam 27 Ramadan ke rumah masyarakat atau pak Lebai.

Kenapa 27 Ramadan pemasangan lampu colok? Itu karena pada hari


itu merupakan hari menyerahkan zakay fitrah kepada masyarakat atau kepada
pak Lebai. Dulunya jalan tidak seperti ini, jalan hanya lorong saja, semak,
jadi lampu colok inilah sebagai penerangnya untuk menghindar dari bahaya.

29
Colok terbuat dari bambu atau buluh, namanya waktu itu disebut dengan
obor.Misalnya masyarakat ingin membayar fitrah, obor ini juga saya bawa
untuk penerangan. Sebagian warga yang mampu, memasang obor lebih dari
10 di perkarangan rumah masing-masing hingga membuat 27 Ramadan jadi
terang.Kemajuan tradisi colok saat ini sudah sangat luar biasa. Apalagi,
Pemerintah Kabupaten Bengkalis setiap tahunnya menggelar festival colok
agar pelestarian lampu tetap terjaga.

2. Kenduri Air
Kenduri air merupakan agenda tahunan yang digelar setiap tahun
menyongsong peringatan HARI AIR DUNIA (WORLD WATER DAY)
setiap tanggal 22 Maret. Kenduri Air merupakan wujud rasa syukur atas
nikmat Air yang telah Allah, Tuhan Yang Maha Esa berikan kepada kita
semua. Kenduri Air adalah Kearifan lokal masyarakat Kepri dalam
memperlakukan.
3. Tradisi Batobo Mancokau
Tradi ini merupakan suatu tradisi panen ikan di Lubuk Larangan.
Tradisi ini merupakan saat-saat yang sangat ditunggu warga di sana. Tidak
jarang pula warga luar daerah juga hadir untuk melihat arifnya warga di sana
melestarikan sungainya. Tradisi Batobo Mancokau akan diselenggarakan
berdasarkan kesepakatan ninik mamak dengan memperhatikan kondisi cuaca,
yakni pada saat memasuki musim kemarau.
Perlombaan dayung di sungai menggunakan perahu panjang yang
terbuat dari kayu pohon yang ada di Riau dinamakan Pacu Jalur. Panjang
perahu pacu jalur bisa mencapai 25 hingga 40 meter dan lebar bagian tengah
kir-kira 1,3 m sampai dengan 1,5 m, dalam bahasa penduduk setempat, kata
Jalur memiliki arti Perahu. Perlombaan pacu jalurSetiap tahunnya diadakan
sekitar tanggal 23-26 Agustus, diadakan Festival Pacu Jalur sebagai sebuah
acara budaya masyarakat tradisional Kabupaten Kuantan Singingi,Riau
bertepatan dengan perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
4. Koba

30
Koba adalah tradisi lisan jenis cerita yang disampaikan dengan gaya
dinyanyikan. Pelaku Koba disebut sebagai “tukang koba”. Koba dapat
ditampilkan baik oleh laki-laki atau perempuan. Koba berkembang di negeri-
negeri di sepanjang pesisir dan pedalaman Sungai Rokan atau pada jaman
sekarang secara administratif menjadi Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten
Rokan Hilir yang memakai bahasa Melayu logat Rokan, dan di Mandau yang
sekarang secara administratif menjadi Kabupaten Bengkalis yang memakai
bahasa Melayu logat Sakai.
5. Melestarian Ikan dengan Lesung Batu
Aur Kuning, Kec. Kampar Kiri Hulu, Kampar, Riau. Masyarakat Adat
Kenegerian Aur Kuning memiliki kearifan lokal yang menjadi adat dan
pandandan hidup mereka sehari-hari. Salah satu kearifan lokal mereka yakni
adanya lesung batu.Lesung batu ini berada di Sungai Biawik yang bermuara
di Sungai Subayang. Lesung batu menyimpan cerita dan tradisi turun-
temurun dan masih dijalankan hingga saat ini.
Sebagaimana namanya, lesung tersebut terbuat dari batu. Leluhur
Masyarakat Adat Aur Kuning memahat batu tersebut sedemikian rupa hingga
tercipta suatu lesung. Hebatnya, pahat yang diyakini menjadi alat pembuat
lesung itu masih ada dan disimpan sampai sekarang. Lesung ini diletakkan di
pinggir sungai persis di kaki air terjun setinggi dua meter di Sungai Biawik.
Lesung juga diposisikan mendapat aliran air terjun sehingga otomatis terisi
air. Lokasi ini juga merupakan tempat warga menangkap ikan. Tidak persis
dekat dengan pemukiman. Untuk mencapai lokasi sekitar lesung, warga
memerlukan waktu setengah jam naik “robin” dalam penyebutan setempat
(sampan bermotor) atau jalan kaki satu jam.
Sejak dahulu kala, beragam spesies ikan sudah ada di Sungai Biawik.
Ikan-ikan tersebut terdapat di sepanjang sungai dari hulu hingga hilir. Ikan-
ikan terus berkembang biak. Sebagaimana tinggal di sungai, di tengah arus,
ikan-ikan tentu bergerak hilir mudik. Namun, anak-anak ikan menjadi
persoalan ketika terbawa arus.Saat terbawa arus dan melewati air terjun tadi,
sejak saat itu anak-anak ikan terancam tidak bisa kembali ke hulu. Selain

31
faktor arus sungai yang deras, paling sulit dielakkan adalah penangkap ikan.
Menjadi soal adalah bagaimana mengendalikan orang yang ingin berburu
ikan.
Untuk itulah, leluhur Masyarakat Adat Aur Kuning mengambil
inisiatif untuk menyelamatkan anak-anak ikan yang melewati air terjun. Di
sinilah mereka memikirkan lesung sebagai jalan keluarnya. Saat lesung sudah
dipenuhi anakan ikan, Masyarakat Adat Aur Kuning membawa ikan-ikan
tersebut kembali ke hulu. Ini dilakukan seturut musim ikan bertelur yakni
sekali setahun.
Penyelamatan ikan ini berangkat dari pertimbangan leluhur yang tidak
hanya memikirkan kepentingannya sendiri, tapi juga memikirkan bagaimana
anak cucunya kelak bisa menikmati ikan sungai untuk keberlanjutan hidup
keturunannya. Pemindahan anak-anak ikan ke hulu sungai juga bermakna
agar kehidupan masyrakat bisa bertahan dan juga membantu kesediaan
makanan meraka dalam kehidupan sehari-hari.
6. Sastra Masyarakat Riau
Masyarakat Melayu sarat dengan nilai-nilai kearifan budaya dalam
memelihara lingkungan. Ini dapat di lihat dari ungkapan-ungkapan mantera,
petuah, bekoba, syair, dan petatah-petitih yang terdapat dalam tradisi
kehidupan mereka sehari-hari. Kearifan pemeliharaan lingkungan
berkelanjutan juga dapat dilihat dalam sistem sosial ekonomi mereka
misalnya dalam pemeliharaan hutan tanah ulayat berladang, menangkap ikan,
mengambil madu, pemeliharaan sungai, pemeliharaan hutan, ekosisteim air,
dan darat.Dalam budaya Melayu terjadi simbiosisme antara nilai-nilai adat
dan agama dalam pelestarian lingkungan. Dalam masyarakat Melayu sangat
sarat dengan ungkapan ungkapan pemeliharaan hutan, sungai. Flora, fauna,
dan keseimbangan alam. Namun, nilai-nilai kearifan ini banyak terabaikan,
baik oleh internal orang Melayu maupun faktor struktural kebijakan yang
kurang memperhatikan penerapan nilai nilai kearifan lingkungan hidup dalam
menyelamakan planet yang kita huni ini.

32
2.1.5 Kearifan Lokal Jambi
Jambi memiliki beberapa kearifan lokal yaitu sebagai berikut.
1. Seloko
Seloko merupakan sastra lisan masyarakat Jambi yang memiliki nilai-
nilai sosial. Nilai-nilai yang ideal kemudian dijunjung tinggi menjadi sebuah
norma yang pada akhirnya menjadi sebuah aturan yang mengatur tingkah laku
masyarakatnya. Pada hakikatnya seloko menjadi cara hidup tertentu yang
menjadi sebuah identitas masyarakat melayu Jambi dan kemudian menjadi
sebuah kearifan lokal. Idealnya, seloko harus terus hidup dan berkembang di
tengah masyarakat Kota Jambi yang semakin majemuk. Seloko harus
dipahami sebagai warisan budaya yang berorientasi ke depan. Pelestarian
seloko harus ditujukan untuk menghadapi masa depan masyarakat dengan
segala problem dan tantangannya, sehingga seloko sebagai kearifan lokal
mampu menjadi seperti kegiatan spiritual yang memberikan pedoman manusia
dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks sosial atau kehidupan
sehari-hari maupun dalam menentukan peradaban manusia yang lebih jauh.
2. Sistem Perladangan Suku Anak Dalam
Perladangan yang dilakukan Suku Anak Dalam adalah mengolah
hutan. Di ladang tersebut, Suku Anak Dalam menanam ubi kayu, ubi jalar,
padi ladang, pisang, tebu, rambutan, jengkol, petai, duku, durian, pepaya,
yang semuanya ini terutama tidak untuk dikonsumsi sendiri, tetapi hasilnya
dijual kepasar. Dalam hal pengelolaan sumber daya hutan, Suku Anak Dalam
mengenal wilayah peruntukanseperti :
a) Mancah, merupakan kegiatan awal yang dilakukan Suku Anak
Dalam dalam melakukan perladangan. Tanaman perdu, belukar
dan akar-akar dari tanaman lain dan ditebas Suku Anak Dalam
dengan menggunakan parang.

33
b) Matiko ukor, merupakan kegiatan mematikan akar atau
pengeringan, serta tanaman-tanaman perdu dan belukar. Setelah
melakukan mancah, Suku Anak Dalam membiarkan akar-akar,
tanaman perdu dan belukar yang telah ditebas selama satu bulan di
lahan yang akan digunakan untuk berladang.

kegiatan Matiko Ukor

c) Nobong, merupakan penebangan. Setelah satu bulan dilakukan


matiko ukor, Suku Anak Dalam melakukan nobong. Nobong
bertujuan untuk menebang akar-akar, tanaman perdu dan belukar
yang telah kering.
d) Ngengong totobongon, merupakan aktivitas penebangan pada
pohon-pohon yang telah kering pada aktivitas matiko ukor.
e) Bekor, merupakan aktivitas pembakaran. Setelah dilakukan
pengeringan dan penebangan, Suku Anak Dalam membakar akar-
akar, tanaman perdu, belukar, dan pohon. Aktivitas ini dilakukan
para pria dan dibantu oleh perempuan dengan berjaga-jaga agar api
tidak merembes keluar lahan. yang akan digunakan. Setelah itu,
Suku Anak Dalam mencangkul lahan dan memasukkan sisa
pembakaran agar tercampur dengan tanah.
f) Menugal, merupakan aktivitas melubangi. Para pria melubangi
lahan untuk ditanami benih tanaman yang dilakukan perempuan.

34
Pada aktivitas ini, Suku Anak Dalam juga menanami jenis tanaman
lain di dekat tanaman pokok.
g) Perawatan dan penyiangan, dua bulan setelah dilakukan menugal,
Suku Anak Dalam membersihkan tanaman-tanaman pengganggu.
Penyiangan tidak diperkenankan menggunakan parang atau
cangkul. h.Manen, merupakan aktivitas panen. Pada saat memanen,
Suku Anak Dalam tidak menggunakan parang atau cangkul.
Aktivitas ini diikuti dengan makan bersama dan ritual yang
dipimpin oleh tumenggung.

Makna kearifan lokal aktivitas perladangan Suku Anak Dalam. Nilai


Keselarasan, Nilai Keseimbangan Nilai Pelestarian Lingkungan Nilai
Kesinambungan (sustainable)Nilai Gotong royong.

3. Lubuk Larangan
Lubuk Larangan adalah salah satu bentuk kearifan lokal yang
diwariskan oleh nenek moyang dalam bidang perairan (sungai) yang ada
dalam masyarakat Sumatera umumnya dan Tabir khususnya. Hal ini
dilakukan dengan cara menetapkan zona-zona tertentu di sepanjang aliran
sungai yang tidak boleh ada masyarakat yang melakukan aktivitas apapun di
tempat itu. Segala sumberdaya (resources) yang ada dalam zona-zona
tersebut, seperti ikan, dilarang untuk dimanfaatkan oleh masyarakat kecuali
pada waktu-waktu tertentu yang telah ditetapkan.
Dalam konteks masyarakat Tabir Ilir, Lubuk Larangan diterapkan pada
bagian-bagian sungai yang dianggap memiliki sumberdaya ikan yang
melimpah, yaitu bagian sungai yang memiliki kedalaman lebih dibandingkan
yang lain atau dalam bahasa lokal dikenal dengan ‘lubuk’. Untuk menjaga
agar kearifan lokal ini tetap eksis di tengah masyarakat, maka diciptakanlah
beragam mitos yang bertujuan untuk menghindarkan masyarakat dari zona-
zona tersebut. Mitos yang biasanya mengemuka adalah bagi yang menangkap
ikan di tempat tersebut akan terserang gila, dan bagi yang memakannya akan
sakit perut serta ada sejenis makhluk halus yang selalu menjaganya.

35
Sumberdaya yang ada di Lubuk Larangan hanya dapat dimanfaatkan
masyarakat pada waktu-waktu tertentu yang ditetapkan. Biasanya waktu
‘memanen’ sumberdaya Lubuk Larangan adalah pada perayaan Hari Raya
Idul Fitri, dimana masyarakat bersama-sama mengambil ikan yang ada di
dalamnya dan membagi-bagikannya. Penetapan zona-zona Lubuk Larangan
terbukti mampu menghindarkan sungai dari ancaman degradasi sebagaimana
yang akhir-akhir ini marak dilakukan. Di samping itu, secara ekonomi
masyarakat juga terbantu dengan ‘panenan’ Lubuk Larangan yang dapat
dikonsumsi oleh masyarakat di saat perayaan Lebaran.
4. Kumpul Waris
Kumpul Waris adalah kearifan lokal atau tradisi yang berkaitan
dengan pernikahan yang ada dalam masyarakat Tabir Ilir yang berasal dari
dua kata ‘kumpul’ dan ‘waris’. Kumpul adalah mengumpulkan atau
menghimpun, sedangkan ‘waris’ adalah keluarga atau orang-orang yang
memiliki hubungan kekerabatan. Kumpul Waris dilakukan menjelang
pelaksanaan pernikahan seseorang yang ada di kawasan ini yang dilakukan
dengan cara mengundang keluarga dan orang-orang yang memiliki hubungan
keluarga dengan calon mempelai. Namun demikian, dewasa ini tradisi
Kumpul Waris tidak hanya dilakukan dengan cara mengumpulkan orang-
orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan calon pengantin, tetapi
juga seluruh orang-orang yang tinggal dan ada di desa tersebut. Perubahan ini
terjadi karena penduduk desa tidak lagi hanya terdiri dari orang-orang yang
memiliki hubungan saudara, tetapi seiring dengan perkembangan zaman maka
banyak orang-orang luar yang menetap.
Setelah undangan kumpul, maka dilakukan pemberitahuan mengenai
rencana pernikahan calon mempelai. Dalam acara ini juga dipaparkan
mengenai calon mempelai, latar belakang keluarga, pendidikan dan lain
sebagainya. Selanjutnya, para undangan, terutama yang memiliki hubungan
kekerabatan terdekat, menyampaikan rencana waktu pelaksanaan pernikahan
agar dapat disesuaikan dengan rencana pernikahan lainnya di desa tersebut.
Terakhir, inilah yang menjadi inti tradisi Kumpul Waris, yaitu memberikan

36
bantuan finansial semampunya untuk digunakan keluarga calon pengantin
dalam rangkain pernikahan. Setiap orang dapat memberikan bantuan
keuangan berapa saja, sesuai dengan kemampuan dan keikhlasannya. Di akhir
acara, tuan rumah akan mengumumkan jumlah total sumbangan yang berhasil
dikumpulkan dalam acara Kumpul Waris tersebut.
Tradisi ini cukup menarik untuk dipahami karena merupakan cara atau
metode untuk membantu sebuah keluarga dalam melaksanakan pernikahan
anggota keluarganya. Setiap orang yang sudah berkeluarga di desa, terutama
yang sudah memiliki anak, harus datang ke acara Kumpul Waris sebagai
bentuk solidaritas sesama warga. Di samping itu, tradisi ini juga dilakukan
semacam arisan, yaitu saat ini kita membantu orang lain dan ketika tiba giliran
kita maka orang lain pun akan datang membantu kita, yaitu ketika kita akan
melangsungkan pernikahan anak-anak kita. Tradisi ini dilakukan tanpa
mengenal status sosial seseorang, baik ia seorang yang miskin maupun
seorang kaya sekalipun.
5. Gawal
Gawal adalah kearifan lokal yang ada dalam masyarakat Tabir Ilir
yang berkaitan dengan hubungan remaja atau hubungan asmara. Tradisi
adalah menikahkan dua orang remaja berlainan jenis yang terbukti bertemu di
tempat yang asing, sepi, terpencil, gelap dan tanpa ditemani oleh orang lain
selain mereka berdua. Gawal dilakukan untuk menjaga agar hubungan asmara
(pacaran) yang dilakukan oleh remaja di desa tetap berada dalam koridor
aturan setempat yang berasal dari ajaran agama Islam.
Ketika seseorang mendapati dua sepasang remaja sedang bertemu,
apalagi melakukan sesuatu yang dilarang agama, di tempat yang sepi dan
gelap maka ia akan menangkap keduanya dan mengambil barang-barang milik
keduanya, kemudian dibawa ke rumah Imam Masjid desa sebagai bukti bahwa
keduanya telah di ‘gawal’. Selanjutnya, Imam Masjid akan memberitahukan
keluarga kedua remaja tersebut mengenai peristiwa tersebut dan
mempersiapkan pelaksanaan pernikahan. Sebagian besar peristiwa ‘gawal’
selalu berujung pada pernikahan, meskipun tidak jarang juga ada yang

37
membayar denda, terutama karena tidak direstui oleh keluarga sehingga tidak
sampai pada pernikahan.
6. Batandang
Untuk mengatur hubungan asmara yang terjalin antara dua insan di
Tabir Ilir, maka terdapat sebuah kearifan lokal yang bernama Batandang.
Tradisi ini dalam terminologi lain dikenal dengan ‘apel’ atau ‘ngapel’, yaitu
kunjungan yang dilakukan seorang remaja putra ke rumah remaja putri yang
menjadi pacarnya. Batandang harus dilakukan di rumah pacar atau di rumah
keluarga terdekatnya dengan diketahui oleh kedua orang tuanya.
Di masa lalu, tradisi Batandang dilakukan dengan cara datang ke tempat
sang pacar dengan membawa beragam perlengkapan makan dan minum,
seperti gula, kopi dan lain sebagainya. Namun demikian, saat ini membawa
perlengkapan tersebut sudah tidak banyak dilakukan seiring dengan era
modernisasi yang menerjang setiap sendi kehidupan masyarakat. Meskipun
demikian, satu hal yang menjadi ciri Batandang selalu tetap ada, yaitu
berpantun. Di beberapa tempat di Tabir Ilir, seorang laki-laki yang akan
mengunjungi pacarnya harus melantunkan pantun kepada tuan rumah dan
berlanjut kemudian dengan saling berbalas pantun. Setelah berbalas pantun
selesai barulah sang pacar diperbolehkan keluarganya untuk bertemu dan
mengobrol dengan tamu yang datang tersebut.

2.1.6 Kearifan Lokal Bengkulu


Bengkulu emiliki beberapa kearifan lokal yaitu sebagai berikut.
1. Proses Bercocok Tanam Adat Rejang

38
Prosesi bercocok tanam pada ladang menurut hukum adat Rejang,
dimulai dengan proses memilih tanah untuk berladang, membuka hutan dan
ritual sebelum membuka hutan. Ritual dipimpin oleh seorang tetua adat
(dukun), ritual berfungsi sebagai ungkapan permisi atau mohon izin kepada
para leluhur nenek moyang untuk membuka tanah marga. Dalam bahasa
Rejang ritual membuka hutan ini dinamakan kedurai ketan uban. Untuk
mengetahui prosesi, subjek bercocok tanam ladang dan akibat apabila tidak
melakukan prosesi upacara bercocok tanam menurut hukum adat Rejang di
Kabupaten Lebong.
Prosesi bercocok tanam di lading menurut hukum adat Rejang di
Kabupaten Lebong masih di pakai sampai sekarang dari tradisi nenek
moyang, dengan meyakini prosesi sebelum membuka ladang akan terhindari
dari segala hal yang tidak diingginkan.Adapun yang terlibat dalam prosesi
bercocok tanam di ladang menurut hukum adat Rejang di Kabupaten Lebong
adalah untuk menjalankan prosesi bercocok tanam di ladang dan yang
dilibatkan atau untuk menjalankan prosesi itu ialah dukun dan keluarga yang
bersangkutan serta orang yang me mbantu dalam membersihkan ladang
tersebut. Akibatnya bagi masyarakat yang tidak melakukan prosesi bercocok
tanam ladang menurut hukum adat Rejang di Kabupaten Lebong yaitu
biasanya mendapat kesulitan dalam berladang ataupun mendapat musibah,
seperti hasil tanamannya kurang baik, diganggu makhluk halus. kegiatan
prosesi sebelum berladang untuk menghindari kejadian‐kejadian yang tidak di
kehendaki.

39
2. Pemetaan Wilayah Hutan Adat Rejang dan Serawai
Sukku Rejang memiliki kearifan dengan mengetahui zonasi hutan,
mereka sudah menentukan imbo lem (hutan dalam), imbo u'ai (hutan muda)
dan pinggea imbo (hutan pinggiran). Dengan zonasi yang mereka buat, maka
ada aturan-aturan tentang penanaman dan penebangan kayu. Hampir mirip
dengan Suku Rejang, Suku Serawai yang dikenal sebagai tipikal masyarakat
peladang telah mengembangkan kearifan lokal dalam pembukaan ladang yaitu
"celako humo" atau "cacat humo", dimana dalam pembukaan ladang mereka
melihat tanda-tanda alam dulu sebelum membuka ladang dimana ada tujuh
pantangan, ketujuh pantangan ini jika dilanggar salah satunya akan berakibat
alam dan penunggunya (makhluk gaib) akan marah dan menebar penyakit.
Tujuh pantangan tersebut yaitu:

 ulu tulung buntu, dilarang membuka ladang di hutan tempat


mata air
 sepelancar perahu
 kijang ngulangi tai
 macan merunggu
 sepit panggang
 bapak menunggu anak
 dan nunggu sangkup

3. Pengolahan Lahan Rawa Untuk Usahatani Padi

Metode pengolahan lahan rawa yang saya tuliskan ini sebenarnya hasil
pengamatan pada sekitar tahun 1985. Ketika itu sawah irigasi belum banyak
terbangun di daerah transmigrasi kurotidur kabupaten Bengkulu Utara, yang
saat ini masuk dalam wilayah administrasi kecamatan Padang Jaya.Pendorong
untuk dimuat pada tugas ini adalah adanya kesesuaiaan dengan hasil
penelitian Isdijanto Ar-Riza, Nurul Fauziati dan Hidayat D.Noor yang
berjudul Kearifan Lokal Sumber Inovasi dalam Mewarnai Teknologi

40
Budidaya Pada Lahan Rawa Lebak, dari Balai Penelitian Lahan Rawa Lebak.
Usaha tani pada lahan rawa lebak sampai dengan saat ini belum ada teknologi
yang mampu mengatasinya. Pemilihan lokasi dan penentuan saat tanam yang
tidak tepat utamanya untuk pertanaman padi surung akan membawa resiko
gagal panen akibat terkena cekaman redaman air akibat air rawa yang terus
meninggi.Teknologi yang dapat dibilang menarik dan merupakan kearifan
lokal dari masyarakat Rejang pada saat itu. Kegiatan Tanam yang merupakan
teknologi kearifan lokal sebagai berikut:

a) Pemilihan lahan subur Dalam melaksanakan kegiatan usaha tani di


lahan rawa, petani memilih lahan tanjung atau lahan yang dekat
dengan sungai, karena wilayah tersebut selalu mendapat kiriman
lumpur subur, yang ditandai warna tanah hitam gembur, dan telah
banyak ditumbuhi oleh jenis tubuhan air, seperti Kiambang
(Salvinia sp) Enceg gondok (Elchornia sp) dan tanda-tanda khas
lainnya.
b) Pola Tanam, Pola tanam, pada awalnya padi-bera karena varitas
yang ditanam adalah varitas dalam. Saat ini pola tanam padi-padi-
bera. Masyarakat telah banyak kehilangan padi lokal dan
digantikan dengan benih unggul nasional yang berumur pendek.
Akan tetapi dengan banyaknya program intensifikasi yang
diintroduksikan sebagian hamparan yang luas telah menerapkan
pola tanam padi-padi-padi. Pada areal ini agak kesulitan untuk
merubah ke padi-padi-palawija. Musim tanam diawali pada musim
penghujan.
c) Persiapan Lahan, Lahan dipersiapkan dengan cara menebas dengan
menggunakan rimbe. Yaitu alat tebas yang diayunkan seperti
mencangkul, arah ayunan dari kanan ke kiri. Penggunaan alat ini
tidak ditemui lagi saat ini, telah kalah dengan herbisida.
d) Kegiatan Bertanam, Ada dua cara pada kegiatan bertanam padi,
pertama dengan menggunakan persemaian, kemudian dipindah
tanamkan. Kedua tidak menggunakan persemaian tetapi tanam

41
benih langsung pada lahan dengan cara menugal untuk rawa yang
tidak terlalu dalam. Cara pertama yang lebih banyak digunakan.
e) Populasi Tanam, Bertanam padi di lahan lebak yang telah sangat
eksis adalah menggunakan varietas unggul lokal, yaitu varietas
yang sudah beradaptasi sangat baik di lahan lebak, karena sudah
dibudidayakan sejak lama. Varietas ini umumnya berumur dalam,
dan tinggi tanaman umumnya 90cm-120 cm atau ada yang lebih.

4. Subak di Kabupaten Bengkulu Utara


Subak ini berkaitan erat dengan kegiatan keagamaan hindu dan
aktivitas pengelolaan air. Sehingga akan melekat erat dalam pengelolaan air
dimana ada orang yang beragama hindu bali melakukan kegiatan yang
memanfaatkan pertanian. Membahas subak akan menjadi menarik untuk
diamati jika ternyata dapat tetap tumbuh di daerah yang jauh dari tempat
asalnya. Di Kabupaten Bengkulu Utara terdapat daerah transmigrasi yang
berasal dari Bali pada tahun 70 an. Desa Rama Agung mayoritas
penduduknya berasal dari Bali yang beragama Hindu. Desa Sumber Agung
hanya sebagian penduduk dari Bali, ada juga dari Jawa Barat dan Jawa
Tengah. Keduanya berada di Kecamatan Arga Makmur, yaitu di Ibu Kota
Kabupaten Bengkulu Utara. Desa Rama Agung berada pada pusat Kota Arga
Makmur, sebagian perkantoran dan Rumah Dinas Pejabat Kabupaten ada di
sana. Sedangkan Desa Suber Agung masih berada di pinggiran kecamatan
berjarak sekitar 15 km dari pusat kota.
Saat ini di Desa Rama Agung telah bercampur berbagai etnis dan
agama. Masjid, Gereja, Pura dan Vihara ada di sana dengan jarak yang
berdekatan. Selain suku Bali, juga terdapat jawa, batak dan juga masyarakat
yang berasal dari sekitar Arga Makmur. Letak rumah juga sudah berbaur,
mudah untuk menandai masyarakat Bali yaitu dengan adanya tempat sesaji
yang dibangun di depan rumah. Sementara untuk agama lain selain umat
Hindu tidak ada bangunan ini.Berbeda di Desa sumber Agung, mereka masih
mengelompok sesuai dengan penempatan pada saat transmigrasi. Belum

42
banyak pencampuran karena daerah ini cukup jauh dari pusat kota. Jika
sepintas dilihat di sana akan tampak blok area Jawa, Sunda dan Bali dengan
ciri khas pekarangan dan bentuk rumah masing-masing. Pembauran di
pemukiman tidak terlalu menonjol.
Menariknya, meskipun sudah berbaur dan telah lama meninggalkan
kampung halaman, kegiatan Subak tetap dilestarikan. Anggota Subak tidak
semuanya orang Bali, siapapun yang memiliki lahan di areal tersebut. Bahkan
ada salah seorang ketuanya berasal dari suku Sunda dan beragama Islam.
Wilayah kegiatan Subak ditentukan berdasarkan luasan areal yang dapat diairi
oleh bendung irigasi. Dalam satu bendung dibangun satu Bedugul sebagai
tempat pemujaan terhadap dewa Baruna yang memelihara dan menjaga air.
Bendung yang ada di daerah ini berasal dari sungai-sungai kecil yang
dibangun cek dam. Terdapat 3 subak di Kecamatan Arga Makmur. Subak
Tirta Gangga di Desa Sido Urip – Rama Agung, Subak Rama Dewata di Desa
Rama Agung, Subak Tripugar Baru di Desa Taba Tembilang. Kelompok
Subak terbesar adalah Subak Tirta Gangga. Masing-masing Subak ini
dipimpin oleh seorang Klian Subak (ketua/imam).
5. Adat Cuci Kampung
Cuci kampung merupakan upacara ritual tolak balak yang bertujuan
agar semua warga kampung terhindar dari bencana. Dalam kehidupan sehari-
hari upacara cuci kampung sering ditemukan ketika ada salah seorang warga
kedapatan berbuat aib berupa perzinahan di suatu kampung. Cuci kampung
merupakan acara ritual tolak balak yang bertujuan agar semua warga
kampung terhindar dari bencana. Dalam kehidupan sehari-hari acara cuci
kampung sering kita temukan ketika ada salah seorang warga kampung
kedapatan sedang berbuat aib di kampung tersebut, terutama aib di kampung
tersebut, terutama aib yang berbau perzinahan.Cuci kampung yang marak
dewasa ini dianggap masyarakat desa untuk upaya melestarikan adat, akan
tetapi jika kita pahami orang yang terkena adat cuci kampung ini sangat
berdampak negatif bagi kehidupan sosialnya, karena menyebarkan aibnya

43
sendiri begitu juga dengan warga desa yang melaksanakan adat cuci kampung
tersebut akan menjadi malu jika dilihat warga desa lain.

Poses cuci kampung ini tidak lagi berjalan sebagai mana dulu, saat ini
telah mengalami penurunan. Ada beberapa hal penyebabnya:

 Banyaknya masyarakat pendatang yang tidak tahu tentang


peraturan dan hukum adat yang berlaku disuatu desa.
 Rendahnya kesadaran hukum masyarakat suatu tempat.
 Pelaku telah melarikan diri atau pergi dari tempat tinggalnya
 Adanya ancaman dari pelaku sehingga perangkat desa tidak
berani untuk menjatuhkan hukuman atau sanksi.
 Kurangnya sosialisasi dari perangkat desa akan batasan hukum
adat yang berlaku, sehingga masyarakat setempat tidak
mengetahui batasan hukum adat yang berlaku tersebut.
 Sudah terlau seringnya pelanggaran adat tersebut, sehingga
menjadi hal yang biasa.

Masyarakat tidak lagi mengganggap perbuatan yang mendekati


perzinaan sebagai aib yang akan mendatangkan malapetaka bagi desa tersebut.

6. Teknologi Rumah Tradisional Bengkulu yang tahan Gempa.

Ternyata rumah yang dibangun oleh masyarakat Bengkulu yang


merupakan rumah panggung yang dominan struktur kayu. Rumah tahan
gempa dengan teknologi yang luar biasa. Tulisan ini saya kutipkan dari hasil
penelitian Triyadi dkk. (2010) tentang Bangunan Rumah Vernakular
Bengkulu dalam merespon gempa. Penelitian dilakukan di Desa Duku Ulu
Kecamatan Curup Timur Kabupaten Rejang Lebong. Penelitian ini
dilatarbelakangi dengan mampu bertahannya rumah tradisional Bengkulu
terhadap gangguan gempa pada tahun 2000 dan 2007 lalu. Sehingga
diharapkan teknologi ini dapat dilestarikan dan dapat dimasukkan dalam
desain pembangunan rumah di Provinsi Bengkulu.

44
Gambar Rumah Vernakular Rejang.(https://antonsutrisno.webs.com/photos/rumah2a.JPG)

Rumah tradisional Bengkulu yang mendasari munculnya bangunan


rumah vernakular Bengkulu pada prinsipnya ada 2 (dua) macam, yaitu rumah
vernakular Rejang dan Rumah vernakular Melayu. Rumah vernakular Rejang
yang berasal atau bersumber dari rumah tradisional Rejang (Umeak Potong
Jang atau Umeakan) yang sudah dipengaruhi oleh bentuk rumah Meranjat
(bentuk rumah suku bangsa yang ada di Ogan Komering Ulu, Sumatera
Selatan).

7. Hukum Sumber Cayo

Hukum sumber cayo yang banyak diterapkan di Bengkulu, mulai dari


suku Rejang, Serawai hingga pekal yang ada di sekitar Ketahun, Napal Putih
dan Mukomuko, yaitu tentang persoalan penggembalaan ternak dan juga
pemeliharaan kebun. Kita tentunya sering mendengar salah satu dari hukum
sumber cayo yaitu “Kebun Berkandang Siang dan Ternak Berkandang
Malam”. Pada tahun 80 an, hukum ini sering menjadi pemicu konflik antara
penduduk transmigrasi dan non transmigrasi.

Implementasi dari hukum ini adalah bagi pemilik ternak, wajib


membuat kandang dan mengkandangkan ternaknya pada malam hari.
Demikian juga pemilik kebun wajib membangun kandang (pagar) yang

45
melindungi dari gangguan ternak pada siang hari. Tuntutan kepada pemilik
ternak adalah apabila kerusakan tanaman di kebun terjadi pada malam hari,
maka pemilik ternak terkena ganti rugi akibat perbuatan hewan peliharaannya.
Akan tetapi jika kerusakan yang ditimbulkan pada siang hari, maka pemilik
kebun tidak dapat menuntut ganti rugi, karena dia berkewajiban untuk
menjaga kebunnya dan juga memagarnya.Hukum ini sekarang mulai tidak
dipergunakan, seiring dengan perubahan pola kebun masyarakat. Karet alam
sudah berganti dengan karet unggul, perkebunan sawit. Disamping itu juga
telah diberlakukannya Peraturan Daerah berkaitan dengan kewajiban
mengandangkan ternak, sehingga ternak tidak boleh berkeliaran di jalan yang
membahayakan pengguna jalan.

8. Senamo itu bersaudara

Kesamaan nama, baik nama lengkap maupun nama panggilan, pada


suku Rejang di Kabuapten Bengkulu Utara menjadi dipersaudarakan. Ketika
seseorang berjumpa dengan orang yang namanya sama, maka diteruskan
dengan upacara atau doa selamat untuk menyatakan persaudaraan tersebut.
Persudaraan ini tidak saja peda kedua orang tersebut, akan tetapi juga
menyangkut keluarga kedua belah pihak. Sehingga apabila ada kerja baik
maupaun ada kerja buruk dari kedua belah pihak maka diterapkan
sebagaimana layaknya keluarga dekat.

Hal ini juga terjadi apabila seorang bapak memiliki anak dan nama
anak tersebut sama dengan nama anak orang lain, maka dipersaudarakan.
Seolah anak tersebut menjadi anak angkatnya. Simbol persudaraan ini juga
melekat pada sebutan atau panggilan. Anak-anaknya akan memanggil bapak
pada orang yang senama dengan orang tuanya.

9. Telun dan Mak Somai

Telun atau air terjun juga di larang untuk di kelola oleh warga
komunitas disekitanya karena dipercayai adanya pengaruh gaib di sekitar
wilayah tersebut. Telun dan air terjun merupakan daerah larangan karena

46
terdapat sumber mata air yang harus dijaga.Penebangan Pohon Madu yang
disebut dengan Sialang adalah pantangan berat untuk ditebang, jika ditebang
akan dikenakan denda setengah bangun atau setengah dari denda membunuh
orang, begitu juga dengan menebang pohon-pohon di sekitar pohon sialang
dianggap juga sebagai pantangan adat, sialang dianggap sebagai hak komunal
dan ketika panen maka biasanya diketahui oleh seluruh masyarakat komunitas
dan ada bagian tertentu dari hasil panen yang tidak boleh diambil dan
dibiarkan tinggal di sekitar pohon karena dianggap itu adalah hak penunggu
gaib dari pohon, proses panennya pun diiringi oleh nyayian-nyayian pujian
baik pujian terhadap kayu maupun pujian terhadap penunggunya.

Selain pengaruh gaib juga ada penunggu yang disebut dengan Mak
Somai yang mengawasi kawasan tersebut. Mak Somai merupakan harimau
jadian yang dipercaya sebagai penunggu di wilayah tesebut.

Inilah bentuk kearifan lokal dalam rangka menjada pohon dan daerah
konservasi, seperti daerah mata air dan air terjun yang sangat bermanfaat bagi
kelestarian hutan. Cerita gaib, dan juga cerita legenda sangat efektif pada
jaman dahulu untuk menjaga wilayah tersebut. Tuah cerita tersebut sekarang
sudah mulai luntur. Seiring berkembangnya pengetahuan yang dirasakan oleh
generasi masasyarakat di areal tersebut. Kuatnya dorongan ekonomi yang
harus membuka hutan untuk kegiatan usaha, juga akan semakin menurunkan
kesakralan cerita tersebut.

10. Adat Rejang dalam Pengelolaan Hutan

Suku Rejang yang mendiami daerah penggunungan yang saat ini


berada pada kawasan Kabupaten Lebong, Rejang Lebong, Kepahiang dan
Bengkulu Tengah. Meskipun ada juga suku rejang yang berada di daearh
pesisir di Kabupaten Bengkulu Utara mulai dari Kerkap hingga Serangai.
Suku rejang yang di pengunungan, hidup mereka sangat bergantung dengan
hasil hutan. Secara turun temurun banyak kearifan lokal yang menjadi anutan

47
masyarakat tersebut. Beberapa kearifan lokal dalam pengelolaan hutan adalah
sebagai berikut:

 Taneak Tanai, adalah sebutan untuk hamparan tanah dalam


lingkup komunitas adat yang dimiliki secara komunal dan
biasanya adalah bagian wilayah kelola warga, ada konsewensi
atas kepemilikan individu di wilayah taneak.
 Tanai dimana setiap pihak yang mengelola di kawasan tertentu
di dalam taneak tanai wajib untuk menanam tanaman-tamanan
keras yang bernilai konservasi dan ekonomi seperti petai,
durian dll sebagai tanda wilayah tersebut telah dimiliki oleh
seseorang dan keluarga tertentu.
 Utan atau Imbo Piadan, ini penyebutan untuk hutan yang
dipercayai ada penunggu gaib sehingga ada beberapa prasyarat
untuk membuka kawasan ini jarang ada warga yang berani
membuka hutan larangan ini, kawasan yang dipercayai
mempunyai kekuatan gaib yang memelihara kawasan tersebut.
 Keduruai adalah salah satu tradisi yang dipercayai sebagai
wadah komunikasi antara manusia dengan kekuatan gaib, ada
beberapa jenis kedurai yang sering dilakukan oleh masyarakat
di Jurukalang, kedurai untuk membuka lahan perkebunan di
hutan di suatu wilayah tertentu adalah proses permintaan izin
dan keselamatan bagi yang mengelolanya, Kedurai Agung
biasanya dilakukan ketika ada teguran oleh alam gaib dalam
bentuk Bumai Panes, proses Kedurai ini dilakukan oleh dukun
yang disebut dengan Pawang, sarana-sarana lain yang harus
dipersipakan juga dalam proses ini adalah anyaman bambu
untuk dibuat acak, yaitu wadah untuk sesajen.
 Mengeges adalah kebiasaan masyarakat di Jurukalang
membersihkan lahan garapannya dengan dibakar, mengeges ini
sebenarnya untuk mencegah jangan sampai api tersebut

48
melalap kemana-mana, dalam proses pembakaran lahan
biasanya dilakukan secara gotong royong.
 Ali bilai adalah penyebutan gotong royong dalam
menyelesaikan salah satu pekerjaan warga secara bergiliran.
 Bo atau Silo adalah sejenis tanda larangan atau tanda hendak
memiliki hasil hutan yang masih belum menghasilkan, yaitu
sebatang bamboo yang ditusukkan ke tanah yang bagian
atasnya dipecah dua dan di antara pecahanitu disempitkan
sebatang bamboo lain.
 Sakea tanah garapan yang telah membentuk hutan kembali,
biasanya masyarakat di Jurukalang kembali ke Sakea ketika
tanah garapannya tidak subur, ini sering disebut dengan gilir
balik dan pihak luar yang menganggap sebagai masyarakat
adat sering menyebut ini dengan peladang berpindah.
 Jamai keadaan tanah yang ditingalkan sesudah menuai atau
keadaan tanah yang telah diusahakan dan disengaja
ditinggalkan supaya menjadi hutan kembali.
 Meniken adalah kegiatan ritual atau kenduri untuk pembukaan
lahan yang akan dibuka untuk dijadikan ladang atau lahan
garapan.
 Selain beberapa kearifan lokal dalam mengelola keberlanjutan
lingkungan marganya, ada beberapa larangan lain, kayu yang
jika ditebang kemudian membentuk jembatan di dua sisi mata
air kedua sisi tersebut dilarang untuk digarap, ada kepercayaan
local yang jika di garap akan menimbulkan bahaya dan
bencana bagi pemiliknya, dalam system konservasi modern
kedua sisi in disebut dengan sempadan sungai. Begitu juga
dengan lahan yang ketika kayu-kayunya ditebang akan
meluncur jauh akibat lerengan yang terjal juga di larang untuk
digarap.

49
2.1.7 Kearifan Lokal Sumatera Selatan
Sumatera Selatan memiliki beberapa kearifan lokal yaitu sebagai berikut.

1. Ngobeng
Sebanyak delapan orang duduk bersila dengan membentuk lingkaran
saling berhadapan. Mereka siap menyantap nasi dengan beragam lauknya
yang berada di tengah-tengah.Cara makan tersebut adalah tradisi leluhur
Palembang dengan istilah ngobeng. Dari sumber Wikipedia, ngobeng berarti
tradisi menghubungkan makanan dalam kegiatan adat Palembang seperti
dalam acara pernikahan, khitanan, syukuran, dan perayaan hari-hari
keagamaan.
Sayang, kearifan lokal itu kini nyaris tak pernah lagi ditemui, bahkan
sudah hilang. Masyarakat setempat telah mengubah cara menghidangkan
dengan masa kekinian, ada istilah prasmanan atau juga prancisan.

https://cdns.klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2019/11/27/1129171/content_images/670x335/20
191127161000-1-ngobeng-tradisi-khas-palembang-002-nirmatullah-efendi.jpg

2. Senjang
Senjang merupakan salah satu bentuk puisi rakyat yang terdapat di
daerah Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Senjang secara etimologi berarti
tidak simetris atau tidak sama bagian yang di kiri dan yang di kanan(KBBI,
2008: 1316). Senjang adalah puisi yang berbentuk pantun, hal ini dapat

50
diamati dari jumlah lirik dalam satu bait selalu lebih dari empat baris. Senjang
memiliki keistimewaan dari segi penyampaiannya, dimana sebelum
dilantunkansenjang selalu diiringioleh musikdengan nada yang khas.Pada
masal awal munculnya senjang, alat musikyang digunakan untuk melengkapi
seni ini adalah tanjidor.Namun, kini alat musikyang sering digunakan adalah
organ atau piano yang biasanya menyatu dengan organ tunggal yang
dipentaskan di atas panggung.Dinamakan senjang karenaantara syair dan
musiktidak saling bertemu. Ketika Pesenjang(orang yang melantunkan
senjang) melantunkansyair, maka musikberhenti, kemudian pada
saatmusikdimainkan,orang yang bersenjang diamsehingga keduanya tidak
pernah bertemu, maka dari ituseni tuturini dinamakan “senjang”.Senjang
merupakan salah satu bentuk media seni budaya yang menghubungkan antara
orang tua dengan generasi muda atau dapat juga antara masyarakat dengan
pemerintah di dalam penyampaian aspirasi yang berupa nasihat, kritik
maupun penyampaian ungkapan rasa gembira.
3. Sastra Tutur Guritan
Secara bahasa guritan berasal dari kata gurit yang dalam bahasa
besemah berarti cerita atau kisah.Guritan juga berarti cerita lama.(Yelli &
Parista, 2017)Guritan adalah seni prosalirik berbentuk cerita panjang yang
ditembangkan.Menurut Suhardi Mukmin (60tahun) guritan merupakan sarana
untuk menyampaikan pesan.Isinya falsafah, ajaran moral, nasihat, aturan-
aturan adat, suara-suara hati nurani, sejarah, dan potret karakter manusia dan
kisah-kisah kepahlawanan(Wawancara tanggal 09 Juli 2019).Guritan; (bukan
geguritan, seperti dalam puisi Jawa) adalah salah satujenis sastra lisan yang
eksistensinyaditampilkan dalam bentuk teater tutur. Guritan dituturkan secara
monolog oleh pencerita dengan menggunakan bahasa daerah.Guritanbiasanya
dituturkan dalam acara-acara umum seperti syukuran panen, pesta
pernikahan, pesta khitanan. Penembangan guritan juga diselenggarakan ketika
ada anggota keluarga yang meninggal dunia sebagai penghibur bagi anggota
keluarga yang ditinggalkan. Penuturan guritan dilakukan usai maghrib hingga
lewat tengah malam.Guritan terdiri dari dua jenis, yaitu guritan lama dan

51
guritan baru. Guritan lama berisi kisah-kisah masa silam dan peribahasa-
peribahasa. Bahasayang digunakan dalam penuturan guritan lama adalah
bahasa lama yang masyarakat Besemahsekarang tidak paham.Lain hal dengan
guritan baru, guritan baru berisi kisah-kisah peristiwa selama zaman gerilya
dan bahasa yang digunakan pun dimengerti orang banyak. Di antara guritan
yang terkenal adalah Keriye Rumbang Ngempang Lematangdan Jagad
Besemah.Apabila dibandingkan dengan kesenian lain, guritan mirip pagelaran
wayang kulit, namun tanpa alat peraga.
4. Tadut
Tadut berasal dari bahasaArab tahadut yang artinya penyampaian dan
menghafal perulang-ulang.(Yani, 2017). Kalau kata kuncinya berulang-
ulangmungkin berasal dari akar kata adadyang kemudian mendapat tambahan
huruf ta‟di awal dan penggandaan huruf pada „ain fi‟ilnya(- ‫دّدعتي‬-‫دّدعت‬
‫)ادّدعت‬mengikuti wazan(‫الّعفت‬-‫)لّعفت–لّعفتي‬. Dengan demikian malka arti
ta‟adud, adalahberbilang atau banyak bilangannya, bukan sekali atau dua
kali.Tadut adalah jenis puisi yang digunakan untuk menyampaikan ajaran
agama Islam ketika agama Islam baru masuk di tanah Besemah secara efektif.
Dikatakan secara efektif, karena jauh sebelumnya agama Islam sudah dikenal
di Besemah. Namun ajaran agama Islam yang dikenal sejak zaman purba
(malahan sampai masa pra kesultanan Palembang) di Besemah itu belum
diikuti dengan syariat seperti yang diajarkan Nabi Besar Muhammad
Saw.Masyarakat Besemah (terutama generasi tua) memaparkan bahwa sejak
zaman dahulu(Purba)orang Besemah adalah penganut agama Islam. Mereka
menyebutnya igame Selam Nabi Ibrahim.Adanya istilah peturatyang berarti
petunjuk atau dalam bahasa Besemah disebut pengajaran. Istilah Turatjuga
dapat diidentikkan Toret, Tauratatau Tawarikh,yaitu nama kitab yang
diwahyukan kepada Nabi Musa A.S. Tadutlebih mengarah pada pengajaran
agama Islam menurut syariat Nabi Muhammad Saw. Suhardi (60 tahun)
menerangkan makna dari tadutadalah penyampaian ajaran agama Islam yang
dilakukan dengan berlagu, berlagu maksudnya dengan nada khas
Besemah(wawancara tanggal 09 Juli 2019).

52
5. Jeliheman
Jelihemanyang merupakancerita tutur adalahnama seseorangyang
dijadikan judul dalam cerita jeliheman, yaitu Bujang Jelihem.SaudiBerlian(56
tahun) dalam wawancara tanggal 11 Juli 2019 menjelaskan bahwa,
namajelihemandapat dinobatkan sebagaijudul cerita karena isi dari cerita tutur
tersebut banyak menceritakan tentang seorang tokoh bernama Jelihem, baik
dari segi karakter, watak, maupun dari segi kehidupannya.
6. Dulmuluk
Dulmuluk merupakan salah satu jenis kesenian teater atau seni peran.
Dalam pengertian umum, kata teater diartikan sebagai segala hal yang
dipertunjukkan di depan orang banyak. Adapun secara makna sederhana,
teater adalah pertunjukkan lakon (jenis cerita) yang dimainkan di atas pentas
dan disaksikan oleh penonton.Dulmulukawalnya dari nama Abdul Muluk,
akhirnya lebih dikenal dengan sebutan “Dul Muluk” sebagaimana yang
dikenal saat ini. Seperti halnya teater daerah lain, Dulmuluk adalah salah satu
teater daerah yang hidup dan cukup dikenal oleh masyarakat yang berada
dalam wilayah Sumatera Selatan.
7. Tembang Batanghari Sembilan
Tembang Batanghari Sembilan adalah istilah irama musik dengan
petikan gitar tunggal yang berkembang di daerah Sumatera bagian Selatan
khususnya diKabupaten Ogan Komering Ulu. Tembang Batanghari Sembilan
merupakan tembang (lagu) yang berisi pantun dengan diiringi gitar tunggal
sebagai alat musiknya. Tembang Batanghari Sembilan memang tidak bisa
dipisahkan dari sebuah tradisi pantun dan diiringi dengan gitar tunggal, yang
menjadi ciri khas Batanghari Sembilan itu sendiri. Pengertian yang lebih luas
lagi berkenaan dengan Batanghari Sembilan adalah kebudayaan yang berbasis
pada sungai. Kebudayaan ini merupakan kebudayaan agraris yangselaras
dengan alam dan musikyang diekspresikan dari budaya ini bernuansa
romantik, melonkolik, dan naturalistik.

53
2.1.8 Kearifan Lokal Lampung
Lampung memiliki beberapa kearifan lokal yaitu sebagai berikut.
1. Juluk-Adek
Kata Juluk-adek (gelar adat) secara etimologi terdiri dari buah suku
kata yaitu "juluk" dan "adek", yang masing-masing memiliki makna sebagai
berikut:
 Juluk adalah nama panggilan keluarga dari seorang pria atau
wanita yang diberikan pada waktu mereka masih muda atau
remaja yang belum menikah.
 Adek bermakna gelar atau nama panggilan adat bagi seorang
pria atau wanita yang sudah menikah yang di berikan melalui
sebuah prosesi pemberian gelar adat.

image via instagram@budayasikam

Akan tetapi panggilan tersebut berbeda dengan "Inai" dan "Amai".


Inai adalah sebuah nama panggilan keluarga untuk seorang perempuan yang
sudah menikah, yang diberikan oleh pihak keluarga suami atau laki-laki.
Sementara Amai adalah nama panggilan keluarga untuk seorang laki-laki
yang sudah menikah dari pihak keluarga isteri.Juluk-adek merupakan hak
bagi setiap anggota masyarakat suku Lampung, oleh karena itu juluk-adek
merupakan identitas utama yang melekat pada pribadi yang bersangkutan.

54
Biasanya prosesi penobatan juluk-adek ini dilakukan dalam suatu upacara
adat.
Juluk-adek tersebut biasanya akan mengikuti tatanan yang telah
ditetapkan berdasarkan pada hirarki status pribadi dalam struktur
kepemimpinan adat. Sebagai contoh, misalnya Pengiran, Dalom, Batin,
Temunggung, Radin, Minak, Kimas dan sebagainya. Dalam hal ini masing-
masing kebuwaian tidak selalu sama, demikian pula dengan urutannya karena
tergantung pada adat yang berlaku dalam kelompok masyarakat masing -
masing.
Karena juluk-adek melekat pada pribadi seseorang, maka sudah
sepatutnya agar setiap anggota masyarakat adat Lampung memiliki kewajiban
dan tanggung jawab moral untuk memelihara nama tersebut dengan sebaik-
baiknya dalam wujud perilakunya ketika bergaul dengan masyarakat sehari-
hari. Hal ini berpengaruh pada aspek sosial masyarakat lampung.

2. Nemui-Nyimah

image via instagram@adatsenibudayalampung

Kata "Nemui" berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, dan
kemudian berubah menjadi kata kerja "nemui" yang bermakna mertamu atau
berkunjung (silaturahmi). Sementara kata Nyimah berasal dari kata benda

55
"Simah", yang kemudian berubah menjadi kata kerja "nyimah" yang berarti
suka memberi (pemurah).

Dengan demikian maka nemui-nyimah bisa diartikan sebagai sebuah


sikap santun, pemurah, tangan terbuka, suka memberi dan menerima sesuai
dengan kemampuan. Nemui-nyimah merupakan ungkapan asas kekeluargaan
untuk menciptakan suatu sikap keakraban dan kerukunan. Nemui-nyimah
merupakan kewajiban bagi keluarga dan masyarakat Lampung pada
umumnya untuk selalu menjaga tali silaturahmi, dimana ikatan keluarga tetap
terpelihara dengan adanya prinsip keterbukaan, kepantasan dan kewajaran. Ini
juga merupakan kearifan lokal yang berpengaruh dari segi sosial.

3. Nengah-Nyappur

image via instagram@adatsenibudayalampung

Kata Nengah berasal dari kata benda, yang kemudian berubah menjadi
kata kerja yang berarti berada di tengah. Sementara jata Nyappur berasal dari
kata benda cappur, yang kemudian berubah menjadi kata kerja nyappur yang
bermakna baur atau berbaur.
Maka secara harfiah Nengah-Nyappur dapat diartikan sebagai sebuah
sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleran kepada orang lain. Nengah-
nyappur menggambarkan bahwa anggota masyarakat adat Lampung selalu

56
mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul
dan bersahabat baik dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama,
derajat, asal usul dan golongannya.
Sikap suka bergaul dan bersahabat tersebut telah menumbuhkan
semangat suka bekerjasama dan tenggang rasa (toleransi) yang tinggi diantara
sesama manusia. Oleh sebab itu, maka kemudian kita dapat mengambil
kesimpulan bahwasannya sikap Nengah-Nyappur merujuk kepada nilai
musyawarah untuk mencapai mufakat.
Melihat kondisi kehidupan masyarakat Lampung saat ini yang sangat
plural, maka dapat dipahami bahwa penduduk di wilayah provinsi Lampung
ini telah menjalankan prinsip hidup Nengah-Nyappur dengan sangat
baik.Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi,
sehingga menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran
demikian menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan
bentuk kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih
untuk mencapai tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan.
4. Sakai-Sambaiyan
Kata Sakai bermakna
memberikan sesuatu kepada
seseorang atau sekelompok orang
dalam bentuk benda atau jasa yang
bernilai ekonomis yang dalam
prakteknya cenderung menghendaki
untuk saling berbalas. Sementara
kata Sambaiyan bermakna
memberikan sesuatu kepada
seseorang, sekelompok orang atau
untuk kepentingan umum secara sosial berbentuk benda dan jasa tanpa
mengharapkan adanya balasan.
Artinya, Sakai sambaiyan adalah sikap tolong menolong dan gotong
royong, mampu memahami makna kebersamaan atau guyub dan rukun.

57
Sakai-sambayan pada hakekatnya menunjukkan semangat berpartisipasi serta
rasa solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial
kemasyarakatan pada umumnya.

Dalam prakteknya di masyaraka sendiri, kearifan lokal harus


memiliki keinginan yang membumi untuk memerangi semua bentuk
penyelewengan, ketidakadilan, perlakuan yang melanggar HAM. Dengan
adanya ikatan dari nilai-nilai kearifan lokal Piil pesenggiri tersebut, maka
diharapkan perilaku korupsi, kolusi daan nepotisme dapat di cegah dan
diatasi.

5. Tayuhan

Perayaan adat yang satu ini diadakan oleh keluarga besar dalam
rangka pernikahan, khitan, pembangunan rumah, maupun perayaan
kesuksesan panen. Peralatan yang dibutuhkan saat tayuhan di antaranya
seperti tandang bulung, kecambai, nyani buwak, begulai, nyekhallai siwok,
dan khambak bebukha.Penggunaan alat-alat ini akan disesuaikan dengan
gelar adat. Selain itu, pihak kerabat juga memberikan bantuan seperti
berbagai bahan makanan mentah atau makanan yang sudah siap saji.

58
6. Djujor

Djujor termasuk ritual adat pernikahan di Lampung. Muli atau gadis


akan diambil oleh mekhanai atau pria bujang untuk dijadikan sebagai istri.
Sang mekhanai dan keluarganya harus membayar bandi lunik atau mahar
kepada wali sang muli.

Muli juga memiliki permintaan yang disebut kiluan yang menjadi


haknya dan harus dipenuhi mekhanai.Ada dua cara yang bisa dilakukan untuk
pelaksanaannya, yaitu secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Cara
sembunyi atau sabambangan yaitu ketika si pria melarikan si gadis ke
rumahnya.

Sesampainya di rumah si pria, kepala adat akan melaporkannya pada


keluarga si gadis bahwa anak mereka hilang karena bertujuan untuk
dipersunting.Sedangkan cara tekahang atau terang-terangan, yaitu si pria
langsung mendatangi kediaman si gadis dan melamarnya.Ada pula keharusan
untuk membawa 24 macam kue adat kepada keluarga si gadis. Mahar harus
dibayarkan kepada kepala adat pihak si gadis secara kontan.

59
7. Ngambabekha

Ritual unik ini dilakukan pada saat pembukaan hutan untuk digunakan
sebagai lahan perkebunan atau perkampungan masyarakat. Masyarakat lokal
meyakini bahwa hutan memiliki penunggu. Upacara ini dimaksudkan sebagai
jalur perdamaian dengan penunggu hutan agar masing-masing tidak saling
mengganggu.

8. Nyalau

Bagi masyarakat Lampung Selatan yang memiliki sawah, biasanya 1


bulan setelah masa tanam padi, mereka melakukan “bersih-bersih” pada
sawah mereka, yaitu membuang rumput (gulma) yang tumbuh mengelilingi
tanaman padi mereka. Tumbuhan rumput atau gulma ini tentunya sangat
merugikan padi, karena pertumbuhan padi akan terhambat akibat unsur hara
yang seharusnya dimanfaatkan padi untuk berkembang justru harus dibagi
kemanfaatannya dengan rombongan gulma tersebut. Kegiatan membuang
gulma ini disebut dengan istilah “Nyalau”. Nyalau biasa dilakukan oleh para
petani di Lampung Selatan setiap 1 bulan setelah masa tanam padi dan bisa
saja dilakukan berulang bila dipandang perlu.

Cara nyalau sendiri adalah dengan cara membuang gulma dari petak
sawah atau menenggelamkan gulma tersebut (yang sudah terlebih dahulu
dicabut tentunya) kedasar lumpur sawah yang tujuannya agar gulma-gulma
tersebut mati dan menjadi pupuk bagi tanaman padi tersebut. Yang membantu
nyalau biasanya adalah kerabat/keluarga sendiri (sistem resiprokal, si kerabat
juga nanti akan ditolong si pemilik sawah dalam kegiatan pertanian lainnya),
namun tak jarang pula para pemilik sawah menyewa beberapa tetangga
mereka dengan sistem upah.

Jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan untuk kegiatan nyalau tentunya


bergantung dari kebutuhan si pemilik sawah, kalau luas sawahnya besar,
maka tentunya akan membutuhkan banyak tenaga, oleh karenanya, kegiatan

60
nyalau ini masa akhirnya tentatif. Sebagaimana halnya dengan jenis kearifan
lokal lain dibelahan bumi nusantara lainnya, kegiatan nyalau inipun memiliki
segi positif dalam mengeratkan tali silaturahmi dan tradisi saling tolong-
menolong antar anggota masyarakat. Nyalau adalah suatu kearifan lokal yang
pantas dibanggakan oleh masyarakat di Lampung Selatan.

7. Ngumbai Lawok

Asal muasal tradisi ngumbai lawok di Pesisir Barat


dilatarbelakangikarena terdapat keyakinan masyarakat, dimana laut memiliki
“penguasa”. Sehingga dengan demikian, dilakukan persembahan yang
berbentuk sesajian kepala kerbau juga beberapa hasil tanaman
pertanian.Tujuan pelaksanaan ritual tersebut yaitu agar masyarakat tidak
terkena musibah maupun bencana.Sejarah kapan dan siapa yang pertamakali
melakukan ritual ngumbai lawokmemang sampai kini belum diketahui secara
pasti, akan tetapi pelaksanaan ritual tersebut telah dilakukan secara turun
menurun dari generasi ke generasi berikutnya. Hal ini sebagaimana dijelaskan
oleh Fadly, “kami tidak mengetahui sejak kapan pertama kali tradisi ini
dilaksanakan, sebab bagi kami yang terpenting adalah melestarikan tradisi
tersebut, adapun tujuannya adalah dimana para nelayan yang tersebar di
berbagai tempat (di Kabupaten Pesisir Barat) dapat saling kenal, dan
menyatukan hati dan perasaan. Selain itu para nelayan juga berharap agar
dalam menjalani profesi mereka dalam mencari ikan, akan terhindaridari
bahaya dan bencana (selamat), selain itu para nelayan juga diharapkan dapat
memperoleh hasil yang melimpah agar dapat memberi nafkah bagi keluarga”

2.2 Kearifan Lokal di Pulau Jawa dan Bali


Jawa merupakan sebuah pulau di Indonesia dan merupakkan pulau terluas ke-3 di
dunia. Dengan jumlah penduduk sekitar hampir 160 juta, pulau ini adalh pulau dengan
penduduk terbanyak di dunia dan merupakan salah satu tempat terpadat di dunia.
Bali adalah sebuah pulau di Indonesia yang dinekanl karena memiliki pegunungan
berapi yang hijau, terasering sawah yang unik, panta, dan terumbu karang yang cantik.

61
Pulau Bali adalah bagian dari kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112
km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa.

2.2.1 Kearifan Lokal Jawa


Jawa adalah sebuah pulau di Indonesia dengan penduduk 136 juta. Pulau
ini merupakan pulau berpenduduk terpadat di dunia dan merupakan salah satu
wilayah berpenduduk terpadat di dunia. Pulau ini dihuni oleh 60% penduduk
Indonesia. Ibu kota Indonesia, Jakarta, terletak di Jawa bagian barat. Banyak
catatan sejarah Indonesia bertempat di Jawa, dahulu Jawa merupakan pusat
kerajaan-kerajaan Hindu-Budha, Kesultanan Islam, Jantung Hindia Belanda
Timur kolonial, dan merupakan pusat kampanye kemerdekaan Indonesia. Pulau
ini mendominasi kehidupan sosial, politik, dan ekonomi bangsa Indonesia.

Jawa terbentuk oleh peristiwa-peristiwa vulkanik, Jawa merupakan pulau


ketiga belas terbesar di dunia dan terbesar kelima di Indonesia. Rantai gunung-
gunung vulkanik membentuk tulang belakang yang terbentang sepanjang timur
hingga barat pulau ini. Jawa menggunakan tiga bahasa utama, meskipun bahasa
Jawa dominan dan merupakan bahasa asli dari 60 juta penduduk di Indonesia,
jumlah terbesar yang mendiami Jawa. Sebagian besar dari mereka memahami dua
bahasa, bahasa Indonesia baik sebagai bahasa pertama maupun ke dua. Sementara
itu sebagian besar masyarakat Jawa adalah Muslim. Jawa memiliki percampuran
beragam kepercayaan-kepercayaan religius, kesukuan dan budaya.

Pulau ini dibagi menjadi empat provinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan Banten, serta dua wilayah khusus, Jakarta dan Yogyakarta. Sebagian
besar penduduknya bertutur dalam tiga bahasa utama. Bahasa Jawa merupakan
bahasa ibu dari 100 juta penduduk Indonesia, dan sebagian besar penuturnya
berdiam di Pulau Jawa. Sebagian besar penduduk adalah orang-orang dwibahasa,
yang berbahasa Indonesia baik sebagai bahasa pertama maupun kedua. Dua
bahasa penting lainnya adalah bahasa Sunda dan bahasa Betawi. Sebagian besar
penduduk Pulau Jawa beragama Islam namun tetap terdapat beragam aliran
kepercayaan, agama, kelompok etnis, serta budaya di pulau ini. Wilayah

62
kebudayaannya mempunyai cakupan yang luas, meliputi seluruh wilayah jawa
tengah dan jawa timur sekarang. Persebaran kebudayaan jawa dipengaruhi oleh
masa kekuasaan kerajaan-kerajaan yang menganut kebudayaan jawa dan berkuasa
di tanah jawa. Persebaran kebudayaan ini menghasilkan berbagai variasi yang
berkaitan dengan system tradisi adat, cara hidup maupun bahasa. Berikut
beberapa kebudayaan masyarakat suku jawa:

Sama halnya dengan suku-suku bangsa lain di Indonesia, Suku Jawa juga
memiliki ciri khas tersendiri. Di mana ada 3 ciri khas yang wajib kita ketahui,
yaitu :
1. Bahasa jawa

Orang Jawa memiliki bahasa khusus dengan nama yang sesuai dengan
nama suku bangsanya, yakni Bahasa Jawa. Bahasa ini beda dengan bahasa
daerah lainnya. Di mana ada tingkatan bahasa yang wajib kalian pahami.
Sebagai Bahasa Ibu, orang Jawa harus bisa berbahasa Jawa. Harus bisa
bahasa Krama ketika berbicara dengan orang yang lebih tua dengan baik dan
benar.
2. Falsafah Hidup
Suku Jawa itu memiliki pegangan hidup atau prinsip hidup yang
sangat kuat. Mereka melakukan segala hal dalam hidup berdasarkan pada
falsafah hidup yang mereka miliki. Beberapa diantaranya yang dikenal
adalah:
a) Urip iku amung mampir ngombe ( hidup itu ibarat hanya mampir
minum ). Maknanya adalah dalam menjalani kehidupan yang

63
singkat, kalian harus melakukan banyak kebaikan demi kehidupan
yang nyaman dan juga untuk pegangan di akhirat.
b) Sopo nandur bakalan ngunduh ( siapa yang menanam, pasti akan
panen dari apa yang ditanam ). Kalau yang ditanam hal yang
buruk, maka kan kembali menjadi hal buruk bagi dirinya sendiri.
Begitupun sebaliknya.
c) Aja rumangsa bisa, tapi bisa rumangsa ( jangan bilang mudah atau
selalu bisa, tapi merendahlah ). Itu sebuah peringatan kalau
sombong itu bukan hal yang baik. Karena di atas langit masih ada
langit.
3. Tradisi Jawa
Di dalam lingkungan Suku Jawa, ada banyak tradisi Kejawen,
diantaranya adalah mantu ( pernikahan ), tedhak sinten atau piton-piton ( 7
bulanan bayi ), slametan ( kirim doa ), brokohan ( syukuran untuk ladang,
sawah ), uye ( syukuran untuk kelahiran anak sapi ), tingkepan ( 7 bulanan
kehamilan ), telon-telon ( 3 bulanan kehamilan dan 3 bulanan bayi), dan
masih banyak lagi yang lainnya.

Mengundang tetangga dan sanak saudara ke rumah menjadi tradisi


Jawa yang bisa mempererat tali silaturahmi. Bahkan di hari-hari besar Islam,
seperti 1 Muharram atau Maulud Nabi, ada tradisi selamatan yang dilakukan
orang Jawa.

Tradisi-tradisi Suku Jawa ini pun bahkan dijadikan sebagai salah satu
jenis festival nasional yang mendatangkan banyak wisatawan, seperti Grebeg
Suro di Ponorogo, Tumpeng purak di Jawa Tengah, dan masih banyak lagi
yang lainnya. Ketiga ciri khas Suku Jawa tersebut adalah hal yang unik dan
hanya dimiliki oleh orang Jawa.

64
4. Ritual

Orang Jawa masih kental dengan hal-hal yang berbau mistis. Ada
profesi dukun yang sangat banyak diminati di Jawa. Mereka adalah orang
pintar yang bisa meramal jodoh, menjodohkan, mencari tanggal tepat untuk
mantu, dan juga menyembuhkan penyakit.
Bukan hanya itu saja, dukun untuk mencuci keris pun ada sendiri. Hal tersebut
adalah serba serbi keindahan Pulau Jawa. Di setiap ritual yang dilakukan
orang Jawa harus ada dukun.
Ritual dalam hal ini nggak harus dipandang negatif sebagai suatu
kegiatan yang syirik atau menyekutukan Allah, melainkan bisa diambil sisi
positifnya, yakni lebih dekat dengan alam dan bisa bersedekah (ritual
kenduri).

5. Aksara Jawa

Hanacaraka Datasawala Padhajayanya Magabathanga, adalah 20 huruf


jawa atau dikenal dengan Aksara Jawa yang wajib dihafalkan oleh orang suku

65
jawa. Aksara Jawa merupakan salah satu aksara turunan Brahmi di Indonesia
yang sejarahnya dapat ditelusuri dengan runut karena banyaknya
peninggalan-peninggalan yang memungkinkan penelitian epigrafis secara
mendetail.
Sepanjang sejarahnya, aksara Jawa ditulis dengan sejumlah media
mulai dari batu dan lempengan logam. Aksara Jawa mulai dituliskan dalam
kertas pada abad ke-13. Hal ini berkaitan dengan penyebaran agama Islam
yang tradisi tulisnya didukung oleh penggunaan kertas dan format buku
kodeks. Dari sinilah mulai aksara Jawa Kawi berubah ke arah yang modern.
Pada abad ke-15 aksara Jawa sering digunakan sebagai tulisan sehari-hari.
Aksara Jawa Hanacaraka dikenal juga dengan Carakan yaitu aksara
turunan Brahmi yang populer digunakan sebagai penulisan naskah berbahasa
Jawa, Madura hingga Bali dan Sasak.

6. Tata krama atau Unggah-Ungguh

Hampir semua suku mengajarkan tentang norma kesopanan atau tata


krama, atau anggah-ungguh. Namun untuk orang Jawa, mempunyai khas
keramahtamahannya. Lugu dan sangat lembut adalah ciri khas orang Jawa.
Tetapi tidak semua orang Jawa lemah lembut. Misalnya orang
Madura, Jawa Timur, yang karakternya keras dengan bahasa yang kasar dan
nyablak.

66
Identik dengan Putri Solo, adalah karakter yang banyak dijadikan ikon
wanita Jawa, di mana sosok Putri Solo adalah sosok anak raja yang cantik,
lemah lembut, pintar menari, murah senyum, ramah, dan sangat menarik.
7. Bahasa Jawa
Inilah salah satu dari budaya Jawa yang sangat melekat, sehingga
sudah menajadi image orang Jawa yang ramah tamah dan murah senyum.
Humble dan mudah dalam bersosialisasi, sehingga membuat banyak orang
baru yang langsung akrab dengan orang Jawa. Unggah-Ungguh dari Suku
Jawa ini diterapkan dalam tatanan berbahasa, di mana ada macam-macam
Bahasa Jawa yang dipengaruhi oleh tata krama saat berbicara dengan lawan
bicara, apakah berbicara dengan orang tua, sebaya, atau dengan orang yang
lebih muda.
a) Bahasa Ngoko. Ini adalah bahasa Jawa yang biasa dipakai dalam
kehidupan sehari-hari. Sifatnya simple dan hanya bisa dipakai saat
berbicara dengan orang yang lebih muda atau dengan sebaya.
Bahasa Ngoko ini di setiap daerah pun berbeda-beda, ada Ngoko
Suroboyonan di Surabaya, Ngoko Cilacap, Jawa Tengah, dan lain-
lain. Ada ngoko halus yang ada campuran dengan bahasa yang
lebih santun, dan ada ngoko kasar yang benar-benar menggunakan
bahasa dasar di dalam kosa kata Bahasa Jawa.
b) Bahasa Krama. Terdapat beberapa krama, yaitu Krama Madya,
Krama Inggil, dan Krama Alus. Tinggal memilih mana yang sesuai
dengan lawan bicara. Kalau berbicara dengan orang yang lebih tua,
disarankan memakai Krama Inggil, kalau berbicara dengan sebaya
dan lebih muda, bisa menggunakan krama madya.
c) Budaya Larangan. Masyarakat suku jawa sangat mempercayai
karma atau akibat yang akan didapat jika tidak mematuhi aturan
yang ada. Lusan Besan, adalah salah satunya. Ini adalah istilah
yang berhubungan dengan perkawinan. Di mana jika sebuah
keluarga yang akan bermantu (mengawinkan anaknya) ketiga
kalinya, tidak diperbolehkan menjodohkan dengan anak yang

67
keluarganya masih baru akan mantu. Dipercaya akan membawa
bala (musibah) bagi keluarga. Untuk itulah dalam mencari hari
pernikahan, Suku Jawa memiliki hitungan-hitungan tersendiri. Jika
dilanggar maka mereka akan mendapatkan akibatnya. Bahkan
untuk membangun rumah pun harus ada hitungannya, sehingga
tidak sembarang membangun.
8. Festival Bandeng (Jawa Timur)

Festival ini biasa digelar setiap tahunnya sebelum Hari Raya Idul Fitri
atau dalam rangka menyambut / memperingati hari besar Islam lainnya. Hal
itu karena merupakan sebuah budaya tradisional tahunan dari masyarakat
serta upaya dari Pemerintah Sidoarjo untuk melestarikan ikan bandeng,
karena Sidoarjo terkenal sebagai penghasil ikan jenis ini, itu terbukti dari logo
Kabupaten Sidoarjo.
9. Ganjuran (Jawa Timur)
Ini merupakan sebuah serangkaian acara yang ada/untuk sebuah
pernikahan. Umumnya, di kebanyakan wilayah Indonesia, pihak pria yang
akan melamar, tetapi sebuah budaya/tradisi ganjuran, si pihak wanitalah yang
melamar pria. Tradisi ini biasa dilakukan di Jawa Timur di daerah
Bojonegoro, Gresik, Lamongan dan Tuban.
10. Karapan Sapi (Jawa Timur)
Pulau Madura yang secara administratif masuk dalam Provinsi Jawa
Timur, memiliki sebuah acara dan tradisi unik bernama Karapan Sapi. Yaitu,
sapi untuk beradu kecepatan yang dipasangkan untuk menarik kereta dari
kayu sebagai tempat joki berdiri serta mengendalikan sapi. Acara ini biasa
diselenggarakan pada bulan Agustus-Oktober, dengan bulan terakhir untuk
acara final.Dahulu ini bukanlah sebuah acara perlombaan yang
memperebutkan sebuah piala bergilir yang dulu bernama Piala Presiden dan
berubah menjadi Piala Gubernur sejak tahun 2013. Melainkan, sebuah cara
untuk mencari sapi yang kuat untuk membajak sawah.

68
11. Pingitan (Jawa Timur)
Pingitan berasal dari kata pingit yang berarti mengurung diri di dalam
rumah. Apakah cuma berdiam diri saja di dalam rumah? Justru pingitan
adalah sebuah pendidikan bagi wanita yang beranjak dewasa sampai akan
menikah. Pada saat itulah wanita mulai belajar bekerja membantu ibu di
dapur dan belajar urusan rumah tangga.
Dan khususnya dalam pernikahan, pingitan ini bertujuan untuk
menjaga wanita tetap suci dan terhindar dari marabahaya. Karena, kata Orang
Jawa Kuno, orang yang akan menikah itu rentan oleh penyakit yang nggak
terlihat (sambekala, sarap dan sawan). Dengan kata lain, sesuatu yang bisa
membuat kecemasan dan halangan.

12. Ritual Tumpeng Sewu (Jawa Timur)

Tumpeng Sewu merupakan tradisi adat Suku Osing, suku asli


Banyuwangi yang digelar setiap tahunnya seminggu sebelum Hari Raya Idul
Adha sebagai rasa syukur mereka kepada Yang Maha Kuasa. Sebelum makan
tumpeng sewu, warga melakukan mepe kasur (menjemur kasur) secara masal
di halaman rumah pada pagi hari, kemudian pembacaan doa dan ritual.

13. Upacara Kasada


Upacara Kasada / Sukasada adalah hari raya adat suku Tengger yang
diadakan setiap hari ke-14 pada bulan Kasada dalam kalender Jawa. Upacara
ini dimaksudkan sebagai persembahan untuk Sang Hyang Widhi dan leluhur.
Dalam pelaksanaannya, suku Tengger melempar berbagai sesajen berupa
buah-buahan, produk ternak, sayuran bahkan uang ke kawah Gunung
Bromo.Orang Tengger sendiri adalah pemeluk Hindu lama yang beribadah
di danyang, poten dan punden. Poten inilah yang digunakan sebagai tempat di
mana Upacara Kasada dilangsungkan. Poten adalah sebidang tanah di lautan
pasir di kaki Gunung Bromo dan terdiri dari beberapa bangunan yang disusun
sedemikian rupa.

69
Upacara Kasada juga membawa banyak manfaat bagi masyarakat
suku Tengger itu sendiri. Selain sebagai peringatan pengorbanan Raden
Kesuma (anak Jaka Seger-Lara Anteng) dan juga sarana untuk meminta
keselamatan, Upacara Kasada telah mampu menarik perhatian wisatawan
untuk datang menontonnya, sehingga ada pemasukan lebih untuk kawasan
wisata Gunung Bromo.

Sumber: https://www.google.com/amp/s/www.idntimes.com/hype/fun-fact/amp/riyan-
sumarno/tradisi-jawa-timur-c1c2

14. Upacara Ruwatan (Jawa Tengah)

Upacara adat yang satu ini biasanya dilakukan didataran tinggi Dieng.
Upacara ini ditujukan untuk anak-anak yang berambut gimbal. Dimana
mereka dianggap sebagai keturunan raksasa. Sehingga semua anak yang
berambut gimbal harus disucikan. Agar terhindar dari keburukan dan selalu
selamat.Uniknya beberapa anak disana memang memiliki rambut gimbal
yang tumbuh dengan sendirinya.

15. Tawuran Sego (Jawa Tengah)

Tradisi berikutnya ini berasal dari ibu kota Jawa Tengah, Yaitu
Semarang. Tradisi ini ditujukan untuk mengungkapkan rasa syukur warga.
Biasanya karena hasil panen yang melimpah. Tradisi ini juga dilakukan pada
hari besar penanggalan tahun Jawa.Sebelum melakukan tradisi tawuran sego
ini, masyarakat akan mengumpulkan bungkusan nasi yang disertai lauk
(Sedekah Bumi) hingga membentuk 7 gunung. Kemudian, nasi di putari oleh
warga setempat sambil memanjatkan doa, baru dilempar dengan sesama
warga yang ada di tempat tersebut.

70
16. Mauludan (Jawa Tengah)

Tradisi kali ini merupakan tradisi jawa yang bernafaskan Islam.


Mauludan adalah sebuah acara yang diselenggarakan pada bulan
Rabi’ulawwal tahun Hijriyyah. acara ini dilaksanakan hingga 12 hari
berturut-turut.Diisi dengan bacaan Al-Barzanji atau Situddurar. Acara ini
bertujuan untuk mengenang kelahiran Rosul. Puncaknya pada hari ke-12
dimana itu merupakan tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW.

17. Sekaten (Jawa Tengah)

Tradisi ini pertama kali dilakukan oleh Sunan Bonang. Ini adalah
tradisi menyembunyikan gamelan milik keraton. Dulu, tradisi ini digunakan
untuk menyebarkan agama Islam. Nama sekaten berasal dari Syahadatain.
Nama ini diambil karena setiap kali pergantian pukulan gamelan diselingi
dengan bacaan Syahadatain. Sebelum sekaten, terlebih dahulu diadakan pesta
rakyat.Puncak acara ini, adanya 2 gunungan yang keluar dari Masjid agung
setelah didoakan oleh para Ulama keraton. Warga percaya, bila mendapatkan
makanan dari gunungan tersebut akan mendapat keberkahan dalam hidupnya.

18. Upacara Larung Saji (Jawa Tengah)

Upacara ini digelar di pesisir Pantai Utara dan Selatan. Ini merupakan
perwujudan rasa syukur dari hasil laut yang melimpah. Serta supaya para
nelayan selalu diberikan keselamatan dalam mencari rezeki.Acara ini
dilaksanakan setiap tanggal 1 muharram. Dimana semua bahan pangan dan
hasil hewan sembelihan dihanyutkan atau dilarungkan ke laut.

19. Tedak Siten (Jawa Tengah)

Tradisi Tedak Sinten adalah upacara untuk bayi yang sudah bisa
berjalan. Dimana bayi akan dimasukkan ke dalam sangkar ayam. Ini

71
dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur orang tua bayi.Atas kesehatan sang
anak hingga menapaki tanah. Upacara ini juga bisa ditemukan dibeberapa
daerah lainnya. nama lain dari upacara adat Jawa ini adalah upacara turun
tanah.

Sumber: https://www.google.com/amp/s/jateng.garudacitizen.com/tradisi-unik-jawa-tengah-
mulai-upacara-adat-kehidupan-setiap-hari-dan-perayaan/amp/

20. Tradisi Reuneuh Mundingeun (Jawa Barat)

Tradisi pertama dari masyarakat suku Sunda jawa barat adalah Tradisi
Reuneuh Mundingeun. Tradisi unik ini adalah sebuah tradisi ditujukan kepada
kaum wanita Sunda yang sedang mengandung, namun usia kandungannya telah
mencapai usia 9 bulan 10 hari lebih sebagaimana normalnya usia kehamilan
akan tetapi belum juga melahirkan. Masyarakat suku Sunda menyebut keadaan
yang seperti itu wanita hamil yang belum melahirkan tersebut dijuluki dengan
sebutan Reuneuh Mundingeun atau yang dalam bahasa Indonesianya adalah
Kerbau Bunting.Seorang wanita yang sedang hamil tersebut akan diarak oleh
Indung Beurang (Ibu Siang) dan diharuskan untuk mengelilingi rumah dan
kandang kerbau sebanyak 7 kali dengan di iringi oleh bacaan do'a - do'a.
Kemudian wanita yang sedang hamil tersebut akan dimandikan oleh Indung
Beurang, setelah itu dia akan disuruh masuk kembali kerumahnya. Walaupun
tradisi tersebut sekarang ini sudah jarang di lakukan oleh masyarakat suku
Sunda yang tinggal di kota, namun kita masih bisa menjumpai tradisi unik
tersebut pada masyarakat pedesaan.

Menurut masyarakat suku Sunda, tujuan dari upacara adat dan tradisi
unik ini adalah agar perempuan yang sedang hamil tersebut dapat segera
melahirkan dengan selamat, dan supaya dia dijauhkan dari hal-hal yang tidak
diinginkan.

72
21. Tradisi Puput Pusteur (Jawa Barat)
Tradisi puput pusteur yang satu ini biasanya diadakan dalam bentuk
acara selamatan, yakni ketika tali pusar pada bayi telah terlepas. Selanjutnya
tali pusar tersebut akan dimasukkan kedalam Kanjut Kundang oleh Indung
Beurang, lalu tali pusar itu akan ditimbun dengan uang logam berbalut kapas,
dan diikatkan pada bagian perut si bayi tersebut.Setelah prosesi pemberian
nama pada bayi tersebut, kemudian akan dibacakan doa selamat sambil
disajikan hidangan berupa bubur ketan merah dan bubur ketan putih. Tujuan
dari tradisi unik ini adalah agar kelak nanti bayi atau anak tersebut akan hidup
berdampingan secara rukun dengan semua saudara-saudaranya.
22. Tradisi Nenjrag Bumi (Jawa Barat)

Tradisi Nenjrag Bumi, dimana dalam tradisi unik ini seorang bayi
yang baru lahir akan diletakkan ditanah, kemudian sang Indung Beurang harus
memukulkan palu ketanah dekat si bayi sebanyak 7 kali. Kemudian Indung
Beurang juga akan menghentakkan kakinya ketanah sebanyak 3 kali. Adapun
tujuan dari tradisi Nenjrag Bumi ini adalah agar kelak nanti sang bayi tersebut
tumbuh dan menjadi seorang anak yang dapat menaklukkan kerasnya
kehidupan dunia ini.

23. Tradisi Upacara Ekah (Jawa Barat)

Tradisi ini sebetulnya juga di lakukan oleh suku - suku lain di


Indonesia terutama bagi mereka yang menganut agama Islam. Kata ekah
sendiri adalah sebuah kata yang berasal dari bahasa Arab yakni dari kata
aqiqatun “anak kandung”. Tradisi upacara Ekah ialah upacara menebus jiwa
anak sebagai pemberian Tuhan, atau ungkapan rasa syukur telah dikaruniai
anak oleh Tuhan Yang Maha Kuasa sebagaimana juga di ajarkan dalam agama
Islam.

Tujuan lain dari tradisi Ekah ini adalah mendo'akan anak tersebut
agar kelak menjadi orang yang saleh dan berbakti kepada orang tuanya.
Tradisi upacara Ekah ini biasanya diselenggarakan setelah bayi berusia 7 hari,

73
atau 14 hari, atau kadang - kadang juga berusia 21 hari. Sebagai perlengkapan
tradisi upacara tersebut disediakan domba atau kambing untuk disembelih.
Apabila bayi tersebut adalah laki - laki maka domba yang di sediakan sebanyak
dua ekor, dan jika bayi tersebut adalah perempuan maka domba yang di
sediakan cukup satu ekor saja. Selanjutnya domba tersebut disembelih oleh
ahlinya atau yang di sebut sebagai Ajengan dengan pembacaan doa selamat.
Kemudian domba tersebut di olah dan dimasak lalu dibagikan kepada tetangga
dan kerabat.

24. Tradisi Upacara Nurunkeun (Jawa Barat)

Tradisi unik ini adalah upacara yang di lakukan ketika seorang bayi di
bawa keluar rumah untuk pertama kalinya. Tujuannya adalah mengenalkan
lingkungan dan memberitahukan kepada para tetangga bahwa bayi itu sudah
dapat digendong dan dibawa berjalan-jalan di halaman rumah. Tradisi upacara
Nurunkeun dilaksanakan setelah 7 hari setelah upacara Puput Pusteur. Dalam
tradisi ini biasanya diadakan pengajian yang tujuannya adalah untuk
keselamatan. Sebagai pelengkap tradisi unik ini maka hiburannya biasanya
berupa pohon tebu atau pohon pisang yang digantungi dengan aneka jenis
makanan, dan mainan anak-anak yang diletakan di ruang tamu, untuk
kemudian akan diperebutkan oleh para tamu terutama oleh anak-anak yang
hadir di acara tersebut.

Sumber:https://www.anekabudaya.xyz/2019/12/5-lima-tradisi-unik-suku-sunda-di-
jawa.html?m=1

2.2.2 Kearifan Lokal Bali

Bali adalah nama salah satu provinsi di Indonesia dan juga merupakan
nama pulau terbesar yang menjadi bagian dari provinsi tersebut. Bali terletak di
antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya ialah Denpasar yang
terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk

74
agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan
berbagai hasil seni-budayanya.

Sejumlah tradisi unik yang disuguhkan menjadi sebuah atraksi dan sebagai
suguhan bagi wisatawan yang liburan ke pulau Bali. Budaya serta tradisi unik
tersebut masih bisa berkembang dan dilestarikan sampai sekarang ini sangat
berkaitan dengan keyakinan masyarakat akan ritual atau prosesi yang terbungkus
dalam sebuah tradisi.

Keyakinan masyarakat akan tradisi yang dilakukan oleh warga pada


sebuah tempat, berdasarkan keyakinan warga setempat, seperti keyakinan akan
terjadi musibah jika tradisi atau ritual tersebut tidak dilakukan, atau karena
berhubungan dengan keyakinan beragama untuk penghormatan kepada Tuhan
ataupun pada leluhur, sehingga menjadi sebuah budaya bagi masyarakat di pulau
Bali. Berikut macam-macam tradisi unik yang ada di beberapa tempat di pulau
Bali:

1. Pemakaman Desa Trunyan

Tengkorak manusia di Desa Trunyan pada umumnya orang meninggal


di Bali, terutama bagi umat Hindu selain dikubur bisa dibakar atau dikremasi
langsung, namun demikian suatu tradisi unik dengan budaya yang berbeda bisa
anda temukan di Desa Trunyan Kintamani, kabupaten Bangli, yang juga
merupakan salah satu desa Bali Aga. Pada saat orang meninggal, maka tubuh
atau jasad orang tersebut hanya diletakkan di bawah pohon Menyan, jasad
tersebut diletakkan di atas tanah tanpa dikubur, hanya dipagari oleh bambu
(ancak saji) agar tidak dicari oleh binatang atau hewan liar, anehnya tidak
sedikitpun dari jasad tersebut berbau busuk, sampai akhirnya tinggal tersisa
tulang belulang saja, dan tulang belulang itu nantinya diletakkan pada sebuah
tempat di kawasan tersebut.

75
2. Tradisi Mekare-Kare

Melihat Keunikan Tradisi Perang Pandan Mekare-kare di Desa Tenganan | Info Wisata
Kintamani Bali

Tradisi Mekare-kare di TengananMekare-kare ini dikenal juga dengan


perang pandan, Perang dilakukan berhadap-hadapan satu lawan satu dengan
masing-masing memegang segepok pandan berduri sebagai senjata. Mekare-
kare atau perang Pandan digelar saat Ngusaba kapat (Sasih Sambah) atau
sekitar bulan Juni. Budaya dan tradisi unik tersebut digelar di halaman Bale
Agung dilangsungkan selama 2 hari dan dimulai jam 2 sore, ritual atau prosesi
tersebut bertujuan untuk menghormati Dewa Perang atau Dewa Indra yang
merupakan dewa Tertinggi bagi umat Hindu di Tenganan.

3. Tradisi Omed-Omedan

Tradisi unik ini digelar di tengah kota Denpasar, tepatnya di Banjar


Kaja, Desa Sesetan, Denpasar Selatan. Digelar setahun sekali, bertepatan saat
hari Ngembak Geni atau sehari setelah hari Raya Nyepi, tradisi unik dimulai
sekitar pukul 14.00 selama 2 jam. Prosesi ini hanya diikuti oleh kalangan
muda-mudi atau yang belum menikah dengan umur minimal 13 tahun, omed-
omedan berarti tarik menarik antar pemuda dan pemudi warga banjar dan
terkadang dibarengi dengan adegan ciuman diantara keduanya. Tradisi ini

76
digelar sebagai wujud kegembiraan setelah pelaksanaan Hari Raya Nyepi, ini
sebuah warisan budaya leluhur di pulau Bali, memiliki nilai sakral dan
dipercaya akan mengalami hal buruk jika tradisi ini tidak dilangsungkan.

4. Tradisi Mekotek

Tradisi Adat Bali Sebagai Penolak Bala, Tradisi Mekotek Desa Munggu - Subbali.com

Dikenal juga dengan Gerebeg Mekotek, tradisi unik di pulau Bali ini
digelar setiap 6 bulan (210 hari) sekali, tepatnya saat perayaan Hari Raya
Kuningan (10 hari setelah Galungan). Prosesi ini digelar dengan tujuan tolak
Bala untuk melindungi dari serangan penyakit dan juga memohon keselamatan.
Pada mulanya tradisi Mekotek, menggunakan tongkat besi, untuk menghindari
agar peserta tidak ada yang terluka, maka digunakanlah kayu Pulet sepanjang
2-3.5 meter yang kulitnya sudah dikupas sehingga terlihat halus. Tongkat-
tongkat tersebut dipadukan menjadi satu formasi sebuah kerucut, suara
“tek,tek” kayu berbenturan tersebut sehingga dikenal dengan Mekotek. Budaya
dan tradisi unik di Badung Bali ini masih terjaga lestari sampai sekarang ini.

77
5. Gebug Ende Seraya

Atraksi ini dikenal juga dengan perang rotan, yang mana dua orang
laki-laki berhadap-hadapan dan saling serang dengan sebatang rotan sepanjang
1.5-2 meter kemudian tangan satunya memegang tameng untuk menangkis
serangan lawan, diantara keduanya dibatasi dengan batang rotan (garis tengah)
agar tidak masuk ke wilayah lawan. Perang rotan ini tidak hanya perlu
ketangkasan saja tetapi juga keberanian, karena setiap peserta bisa saja kena
pukulan rotan lawan. Tujuan utama dari prosesi Gebug Ende ini adalah ritual
tradisional untuk memohon hujan, dan ini dilakukan pada musim kemarau
yaitu di bulan Oktober – Nopember setiap tahunnya. Kondisi geografis dari
desa Seraya yang berada di wilayah perbukitan memang rentan dengan
masalah air, itulah sebabnya ritual memohon hujan ini dilangsungkan di desa
ini. Seraya juga memiliki sejumlah destinasi wisata yang bisa dikunjungi saat
tour di pulau Bali.

6. Tradisi Mesbes Bangke

Tradisi Mesbes Bangke ini adalah tradisi yang benar-benar ekstrim


dan unik di pulau Bali. Tradisi Mesbes Bangke atau mencabik-cabik mayat
memang terlihat mengerikan dan menyeramkan, apalagi bagi mereka yang baru
pertama kali ataupun mengenal tradisi tersebut. Yang mana jasad atau mayat
seseorang yang akan dikremasi (ngaben), akan dicabik-cabik oleh warga banjar
Buruan sebelum menuju tempat pembakaran mayat, mayat tersebut akan
ditunggu oleh warga di luar pekarangan rumah, setelah mayat tersebut keluar
dari pintu gerbang rumah, barulah warga mencabik-cabik mayat tersebut,
karena bersemangat, bahkan ada sampai naik ke atas mayat yang sedang
diusung. Tradisi hanya ini berlaku untuk mereka yang ngaben sendiri (pribadi)
tidak berlaku untuk ngaben massal. Budaya dan tradisi unik di Gianyar ini
masih berlangsung sampai sekarang ini.

78
7. Tradisi Makepung

Tradisi Makepung sendiri berarti berkejar-kejaran, menggunakan


sepasang hewan kerbau. Adu kecepatan dengan kerbau dikendalikan oleh
seorang joki atau sais, berlomba mengejar kerbau yang berpacu di depannya,
pemenangnya ditentukan oleh kerbau yang mampu mempersempit atau
memperlonggar jarak pacuan antara dua pasang kerbau yang berkejar-kejaran,
tidak ditentukan siapa yang lebih dulu ke garis finish. ini menjadi tradisi
tahunan yang diikuti oleh kelompok tani di Jembrana. Kerbau pacuan dipilih
dan diperlakukan khusus bak seorang atlet, bahkan sebelum perlombaan
dimulai pemilik tidak lupa melakukan ritual. Digelar setiap Minggu diantara
bulan Juli sampai Nopember setiap tahunnya.

8. Tradisi Mesuryak

Tradisi Mesuryak merupakan warisan budaya leluhur ini hanya bisa


ditemukan di desa Bongan, Kabupaten Tabanan. Budaya dan Tradisi di
Tabanan ini digelar bertujuan untuk penghormatan terhadap para leluhur
dengan secara suka cita, bersorak beramai-ramai dengan memberikan
perbekalan seperti beras dan uang. Tradisi bersorak beramai-ramai ini
kemudian dibarengi dengan melempar uang ke udara dan diperebutkan oleh
warga dinamakan tradisi Mesuryak. Tradisi ini digelar setiap 6 bulan sekali
yaitu pada Hari Raya Kuningan. Rangkaian prosesi ini berkaitan dengan
perayaan Hari Raya Galungan dan Kuningan, setelah leluhur hadir di tengah
keluarga mulai dari hari Raya Galungan, kemudian pada saat Kuningan
diantar kembali ke Nirwana dengan berbagai sesajian dan perbekalan.

9. Pawai Ogoh-Ogoh

Tradisi mengarak ogoh-ogoh di Bali ini digelar tepat sehari sebelum


hari Raya Nyepi, sekitar jam 6-6.30 sore ogoh-ogoh mulai diarak keliling
desa ataupun kota, hampir sebagian besar warga Hindu di pulau Bali ini
menggelar pawai ogoh-ogoh, ini mereka lakukan karena berhubungan dengan
ritual keagamaan. Ogoh-ogoh adalah sebuah boneka raksasa yang merupakan

79
simbol dari Bhuta Kala, dibuat dengan wujud menyeramkan atau simbol
sebuah kejahatan, yang paling dominan berwujud raksasa menyeramkan,
binatang atau bahkan wujud seorang penjahat. Prosesi pawai ogoh-ogoh
tersebut masih dalam rangkaian pelaksanaan Hari Raya Nyepi, setelah
sebelumnya diadakan Tawur Kesanga memberikan upah kepada Bhuta Kala,
kemudian petang harinya diusir dan diarak keliling dalam bentuk pawai, agar
tidak mengganggu kehidupan manusia lagi, terutama esok harinya saat
melaksanakan hari raya Nyepi.

10. Hari Raya Nyepi

Hari raya ini digelar sekali dalam setahun sebagai penyambutan tahun
baru Isaka yang jatuhnya pada bulan mati (Tilem) sasih Kesanga. Sebuah
penyambutan tahun baru yang berbeda, yaitu dengan kesunyian, ketenangan,
lengang dan sepi, itulah sebabnya semua warga pada saat hari raya Nyepi
tersebut tidak boleh bepergian, menghidupkan api, membuat kegaduhan
ataupun bersenang-senang. Termasuk fasilitas umum juga tutup kecuali
rumah sakit. Tujuan dari perayaan ini untuk bisa introspeksi diri atau mulat
sarira dan merenung dalam suasana hening bisa berkonsentrasi lebih
maksimal, seharian tinggal di rumah dan bersembahyang melakukan brata
dan meditasi, agar nantinya bisa memulai kehidupan yang lebih baik pada
bulan berikutnya pada sasih Kedasa, semua kedas, bersih dan suci untuk
memulai lagi kehidupan baru.

11. Upacara Ngaben Di Bali

Saat upacara Ngaben, jasad atau tubuh orang meninggal bisa dikubur
terlebih dahulu ataupun dikremasi langsung. Upacara Ngaben digelar adalah
wujud bakti manusia dan kewajiban suci kepada leluhurnya atau orang yang
telah meninggal. Tujuan upacara Ngaben mengembalikan unsur Panca Maha
Bhuta dari tubuh kasar manusia ke asalnya dan badan halus (atma) yang telah
meninggalkan lebih cepat mendapat penyucian dan kembali kesisi-Nya. Tata
cara pelaksanaan Ngaben pun tidak selalu sama sesuai dengan situasi, kondisi

80
dan tempat Ngaben tersebut berlangsung, namun yang terpenting esensi atau
tujuannya sama, karena Hindu tidak di Bali saja tetapi menyebar di kepulauan
Indonesia.

12. Perang Ketupat Di Kapal

Budaya dan Tradisi unik di Bali ini digelar dalam rangkaian upacara
Aci Rah Pengangon setiap satu tahun sekali yaitu pada hari Purnama (bulan
penuh) sasih Kapat atau sekitar bulan September – Oktober. Namanya juga
perang ketupat, warga menggunakan ketupat untuk berperang, mereka terbagi
menjadi dua kelompok kemudian saling lempar dan saling serang antar
kelompok. Perang Ketupat ini hanya melibatkan kaum laki-laki saja mereka
menggunakan pakaian adat Bali, tapi tanpa baju, begitu ada aba-aba untuk
mulai perang, mereka juga mulai saling serang dan lempar di areal pura,
kemudian merembet ke luar pura sampai di jalan raya agar lebih leluasa, tidak
ada aturan tertentu, mereka bebas menyerang kubu lawan. Namun akhirnya
damai tanpa permusuhan. Sebuah budaya dan tradisi yang juga erat dengan
pesan sosial.

13. Tradisi Ngerebeg Di Tegalalang

Tradisi ini melibatkan anak laki-laki saja, bahkan mulai yang balita
sampai dengan dewasa yang tergabung dalam sekehe Truna (organisasi
pemuda) di desa tersebut. Yang menarik adalah setiap peserta dirias dengan
wajah seram dan menakutkan dengan warna-warna yang dipilih sendiri oleh
peserta. Adapun riasan seram tersebut untuk mewakili wujud wong samar
(makhluk halus) yang sering mengganggu anak-anak. Digelarnya budaya dan
tradisi Ngerebeg ini bertujuan untuk memberikan tempat bagi wong samar
tersebut, sekaligus memberikan persembahan, agar bisa hidup berdampingan
dengan manusia dan tidak saling mengganggu. Tradisi inipun digelar secara
rutin oleh 7 banjar di desa Pekraman Tegalalang, dalam rangkaian pujawali
yang digelar pada Pura Duur Bingin.

81
14. Tradisi Mebuug-Buugan Di Kedonganan

Pada saat tradisi ini berlangsung, peserta akan melumuri tubuh


mereka dengan lumpur, apalagi memang tempatnya di daerah rawa-rawa
berlumpur di desa tersebut, setelah semuanya puas mandi lumpur, mereka
pergi ke pantai Kedonganan untuk membersihkan diri. Tujuan tradisi ini
digelar memiliki makna simbolik sebagai bentuk membersihkan diri atau
badan dari pengaruh negatif yang nantinya setelah dilumuri lumpur akan
dibersihkan lagi di pantai.

15. Tradisi Nyakan Diwang

Nyakan Diwang berarti masak di luar rumah, sehingga saat tradisi ini
berlangsung maka warga desa Banjar akan masak di luar rumah mereka atau
di pinggir jalan. Sebuah tradisi unik yang sudah digelar turun temurun dan
masih bertahan sampai sekarang. Tradisi Nyakan Diwang di Buleleng ini
digelar Dini hari saat perayaan Hari Raya Nyepi, biasanya Nyepi baru buka
pukul 06.00 wita, tetapi di desa Banjar buka lebih awal pada pukul 03.00 wita
dini hari, sehingga jalan raya di kawasan ini masih lengang tidak ada lalu
lalang kendaraan yang melintas, dan saat itulah warga mulai keluar rumah
dan memasak dengan alat tradisional. Tujuan digelar tradisi ini untuk
menyucikan lingkungan rumah dan dapur serta tradisi ini merupakan wujud
dari peningkatan budaya menyama braya atau menjalin hubungan
persaudaraan antar sesama, dan juga sebagai ungkapan syukur setelah catur
Brata Penyepian.

16. Tradisi Megoak-Goakan Di Buleleng

Tradisi Megoak-goakan di desa Panji BulelengSejarah awal berdirinya


Buleleng tentu tidak lepas dengan Ki Barak Panji Sakti yang pernah
memerintah Kerajaan Buleleng, tradisi unik megoak-goakan ini sendiri masih
berlangsung dan bertahan sampai saat ini di desa Panji Buleleng, untuk
menghormati jasa-jasa dari raja Ki Barak Panji yang terkenal sebagai
pemimpin yang terkenal baik hati dan memiliki jiwa kepemimpinan tinggi.

82
Permainan tradisional tersebut muncul, karena raja terinspirasi oleh seekor
goak (gagak) yang sedang mengincar mangsanya, dan gagak tersebut
membuat taktik agar bisa menangkap mangsanya. Hal tersebutlah membuat
raja mempraktekkan cara gagak tersebut dengan mengajak prajuritnya
melakukan sebuah permainan tradisional yang dinamakan megoak-goakan.

17. Tradisi Siat Sampian Di Bedulu

Siat berarti perang sedangkan sampian berarti rangkaian janur sebagai


sarana persembahyangan, sehingga tradisi dalam tradisi ini perang ini
menggunakan sarana sampian baik dilakukan oleh warga laki-laki maupun
perempuan, melalui proses pawintenan, Siat Sampian ini digelar dalam
rangkaian pujawali di Pura Samuan Tiga, yang mana dilakukan oleh
pengayah (peserta) laki-laki yang disebut sebagai Jro Parekan dan pengayah
perempuan disebut Jro Permas, selain bertujuan penghormatan bersatunya
sekte di pulau Bali juga sampian yang digunakan sebagai simbol dari senjata
cakra Dewa Wisnu, yang berarti untuk perlawanan dharma (kebajikan) atas
adharma (kejahatan), budaya lokal ini masih bisa anda temukan sampai saat
ini.

18. Tradisi Mepantigan

Tradisi Mepantigan Batubulan di BaliTradisi ini adalah sebuah aksi


bela diri tradisional, Mepantigan berarti membanting, yang mana dalam
tradisi ini diperlukan kelihaian untuk bisa membanting lawan, permainan bela
diri tradisional ini bisa dilakukan dimana saja, yang penting arealnya
berlumpur, sehingga lawan yang dibanting tidak berbahaya, tetapi akan penuh
balutan lumpur. Peserta bertanding satu lawan satu dengan cara membanting
lawan, kemudian bergulat dan mengunci lawan, tidak hanya sekedar
keberanian, memang diperlukan teknik agar bisa membanting lawan di
lumpur, sehingga terlihat layaknya gulat lumpur, mereka bergumul dan saling
banting di lumpur.Tradisi atau permainan tradisional Mepantigan ini pernah
trend dan dijadikan atraksi budaya yang sering digelar, salah satunya di

83
sebuah hotel di Ubud, namun sekarang atraksi tersebut tidak ada lagi. Dan
sekarang Mepantigan masih bisa anda temukan di Pondok Mepantigan Bali,
lokasinya di Banjar Tubuh, Batubulan, Gianyar.

19. Tradisi Mepeed Di Sukawati

Tradisi Mepeed di Sukawati BaliDesa Sukawati tidak hanya terkenal


sebagai destinasi wisata belanja dengan pasar seni yang menyediakan
keperluan oleh-oleh wisatawan yang liburan ke pulau Bali, tetapi Sukawati
juga memiliki tradisi Mepeed yang merupakan sebuah budaya dan kearifan
lokal yang masih dipertahankan sampai saat ini dan menjadi atraksi yang
menarik juga untuk disaksikan. Mepeed adalah berbaris beriringan sampai
ratusan meter dengan pakaian khas adat Bali, biasanya mereka adalah kaum
ibu yang mengusung banten gebogan yaitu rangkaian buah, jajanan, janur
sebagai sarana upacara keagamaan yang disusun bertingkat. Tetapi Mepeed di
Sukawati diikuti oleh semua kalangan, laki-laki ataupun perempuan dari
anak-anak sampai lansia, dengan pakaian adat Payas Agung dengan pakem
Sukawati, Mepeed ini sebuah warisan budaya yang masih dipertahankan
sampai sekarang. Tradisi ini adalah atraksi wisata yang ada di pulau Bali dan
menjadi hiburan menarik bagi wisatawan.

20. Tradisi Mbed-Mbedan

Tradisi Mbed-mbedanTradisi unik di pulau Bali ini digelar setiap


tahun sekali, tepatnya saat Hari Raya Ngembak Geni (sehari setelah Nyepi) di
desa adat Semate, Kelurahan Abian Base, Kecamatan, Mengwi, Kabupaten
Badung. Pernah vacum beberapa tahun, tapi karena dirasa penting maka
tradisi Mbed-mbedan ini dibangkitkan lagi, tujuan dari tradisi ini digelar
adalah untuk menghormati jasa seorang suci yang berjasa di desa Semate ini,
beliau adalah Rai Mpu Bantas, yang mana dalam perjalanan sucinya bertemu
sebuah hutan yang dipenuhi pohon kayu putih, dan secara tidak sengaja
bertemu keturunan Mpu Gni Jaya dan memerintahkan untuk membuat
pelinggih di hutan tersebut karena angker, setelah pelinggih tersebut selesai

84
terjadi tarik ulur penamaan pura tersebut, dari sinilah (tarik-ulur) cikal bakal
Mbed-mbedan tersebut.

21. Tradisi Dewa Mesraman Di Klungkung

Dewa Mesraman di Paksebali KlungkungTradisi unik di pulau Bali ini


awalnya memang berasal dari desa Panti Timrah Karangasem, karena
sejumlah penduduknya menetap di Paksebali, Klungkung mereka masih
membawa budaya dan tradisi daerah asalnya, maka Dewa Mesraman
tersebutpun wajib digelar setiap Saniscara Kliwon wuku Kuningan atau
bertepatan dengan Hari Raya Kuningan, tradisi unik tersebut juga merupakan
rangkaian ritual di dari Pujawali atau piodalan di Pura Panti Timbrah yang
terletak di Banjar Timbrah, desa adat Paksebali, Kec. Dawan, Klungkung.
Dewa Mesraman, dari filosofi kata Mesraman berasal dari “mesra” yang
berarti bersenang-senang secara lahir batin. Dalam tradisi tersebut Jempana
yang merupakan stana dari Ida Bhatara diusung dan diarak, saling berkejaran
dan tabrak, seolah terjadi perang jempana, luapan kegembiraan terlihat
diantara pengayah. Sebuah tradisi dan warisan budaya leluhur yang terjaga
lestari sampai saat ini.

22. Nikah Massal Di Pengotan

Tradisi Nikah Massal di PengotanTradisi ini memang cukup unik,


walaupun dalam tradisi ini hanya ritual atau upacaranya saja yang dilakukan
bersamaan atau berbarengan, tentu hal tersebut menjadi salah satu budaya
ataupun tradisi yang berbeda dibandingkan upacara pernikahan di pulau Bali,
dan ini akan menjadi pemandangan unik bagi mereka yang menyaksikannya.
Budaya dan tradisi Nganten (Nikah) Massal ini bisa ditemukan di desa
Pengotan – Bangli, desa ini juga merupakan salah satu Desa Bali Aga (desa
Bali Kuno) yang tentunya memiliki warisan budaya yang unik, seperti Tradisi
Nikah Massal yang digelar dua kali dalam setahun yaitu setiap sasih Kapat
(Agustus – September) dan Kedasa (Maret – April). Upacara tersebut tidak

85
hanya berlaku bagi laki-laki saja tetapi juga bagi kaum perempuan yang
menikah ke luar desa Pengotan.

23. Tradisi Perang Air Di Gianyar

Tradisi Perang Air atau Siat Yeh di GianyarTradisi ini dikenal juga
dengan nama Siat Yeh, digelar setiap setahun sekali tepatnya saat tahun baru
Masehi dimulai yaitu tanggal 1 Januari di desa Suwat Gianyar. Ini merupakan
sebuah budaya dan tradisi unik dan berbeda terutama lagi saat hari
perayaannya, sangat jarang sekali ritual di pulau Bali menggunakan kalender
Masehi sebagai patokannya. Tujuan dari digelarnya Tradisi Perang Air di
Gianyar ini adalah sebagai bentuk pembersihan diri dari hal-hal negatif yang
sudah terjadi pada tahun sebelumnya agar di tahun yang baru ini diharapkan
tidak menimpa warga kembali. Menurut warga Suwat di awal tahun yang
baru wajib bagi mereka untuk melakukan pembersihan pada alam sekitar dan
diri sendiri agar pengaruh negatif yang ada di lingkungan sekitar ataupun di
dalam diri kita sendiri dapat segera dimusnahkan.

24. Tradisi Ngedeblag Kemenuh

Riasan wajah peserta Tradisi NgedeblagTradisi unik di pulau Bali


berikutnya adalah Ngedeblag di Kemenuh Gianyar, dari namanya terasa
cukup asing bagi warga luar desa Kemenuh, Gianyar. Ngedeblag adalah
prosesi rutin yang digelar setiap 6 bulan sekali (kalender Bali) tepatnya pada
hari Kajeng Kliwon, pada saat peralihan sasih Kelima (bulan 5) ke sasih
Kanem (bulan 6) dalam kalender Bali atau sekitar bulan September –
Desember kalender masehi. Para pengayah (peserta) laki-laki arus
menggunakan kamben (kain) yang dilapisi dengan saput tanpa menggunakan
baju, mereka juga dibuat menjadi seseram mungkin, dengan cat air warna
warni, dan satu oles pamor yang pada kening. Tujuan digelarnya tradisi
Ngedeblag untuk membersihkan bhuana agung (alam semesta) dan bhuana
alit (diri manusia) agar desa Kemenuh terhindar dari segala bencana.

86
25. Tradisi Siat Yeh Jimbaran

Tradisi Siat Yeh di JimbaranSebuah budaya dan tradisi unik di desa


Jimbaran ini menjadi kegiatan ritual rutin yang digelar setiap sekali dalam
setahun, yaitu pada hari raya Ngembak Geni (sehari setelah Nyepi),
pesertanya pemuda-pemudi banjar Teba. Tradisi Siat Yeh (perang air) ini
dikatakan juga sebagai penglukatan Agung, di awali dengan mendak tirta (air
suci) di dua tempat sumber air berbeda yaitu di sebelah Timur (pantai
Suwung/rawah) dan pesisir Sebelah Barat (pantai Segara), dua sumber mata
air tersebut nantinya akan dijadikan komponen utama dalam Tradisi Siat Yeh
ini. Maraknya pembangunan pariwisata kedua sumber air tersebut yang
dulunya bersatu, kini tidak lagi, sehingga sekarang dilakukan secara simbolis
dalam bentuk ritual.

2. 3 Kearifan Lokal di Pulau Sulawesi dan Kalimantan


Sulawesi dahulu dikenal sebagai Celebes, adalah sebuah pulai di Indonesia.
Sulawesi merupakan salah satu dari empat Kepulauan Sunda Besar dan merupakan pulau
terbesar kesebelas di dunia. Pulau Sulawesi terletak di sebelah timur Kalimantan, sebelah
barat Kepulauan Maluku, dan sebelah selatan Mindanao dan Kepulauan Sulu, Filipina. Di
Indonesia, hanya Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Papua yang lebih besar luas
wilayahnya serta hanya Pulau Jawa dan Sumatera yang memiliki populasi lebih banyak
dari Sulawesi. Nama Sulawesi diperkirakan berasal dari kata dalam bahasa-bahasa di
Sulawesi Tengah yaitu kata sula yang berarti nusa atau pulau dan kata mesi yang berarti
besi atau logam, yang merujuk pada praktik perdagangan biji besi hasil produksi
tambang-tambang yang terdapat di sekitar Danau Matano, dekat Sorowako, Luwu Timur.
Bentang alam di Sulawesi mencakup empat semenanjung, yakni Semenanjung Utara,
Semenanjung Timur, Semenanjung Selatan, dan Semenanjung Tenggara. Ke empat
semenanjung tersebut memiliki kebudayaan, tradisi ataupun kearifan lokal yang tetap
eksis hingga kini. Kearifan lokal tersebut antara lain.

87
Kalimantan juga disebut Bornoe pada zaman colonial, adalah pulau terbesar
ketiga di dunia yang terletak di sebelah utara Pulau Jawa dan di sebelah barat Pulau
Sulawesi. Pulau Kalimantan dibagi menjadi 73% Indonesia, 26% Malaysia, dan 1%
Brunei. Pulai Kalimantan terkenal dengan julukkan “Pulau Seribu Sungai” karena
banyaknya sungai yang mengalir di Pulau ini.

2.3.1 Kearifan Lokal Sulawesi


Sulawesi memiliki beberapa kearifan lokal yaitu sebagai berikut.

1. Kalosara, Sulawesi Tenggara


Kalo adalah suatu benda yang berbentuk lingkaran, cara-cara
mengikat yang melingkar, dan pertemuan atau kegiatan bersama dengan
pelaku membentuk lingkaran. Sebagai benda lingkaran, kalo dibuat dari
rotan, dan ada juga yang terbuat dari bahan lainnya, seperti emas, besi, perak,
benang, kain putih, akar, daun pandan, bambu dan sebagainya (Tarimana,
1993).
Kalosara terdiri atas 3 bagian, yaitu: (1) kalo, berupa lilitan tiga rotan
yang melingkar, (2) kain putih sebagai mengalas, dan (3) siwoleuwa, yaitu
anyaman dari daun palem berbentuk persegi empat (Misran Safar, wawancara
17 Juni 2016). Ketiga wadah ini jika berdiri sendiri tidak memiliki arti dan
fungsi adat, kecuali ketiganya menyatu dalam suatu tatanan dengan struktur
sebagai wadah pengalas paling bawah berupa simoleuwa, kemudian dilapisi
di atasnya dengan kain putih, dan di atas kedua wadah ini diletakkan kalo.
Berdasarkan bahan pembuatan dan pemanfatannya, maka kalo banyak
jenisnya, tetapi dalam tulisan ini hanya membahas kalosara yaitu kalo yang
diguna- kan sebagai alat upacara perkawinan adat, upacara pelantikan raja,
upacara penyambutan tamu penting, upacara perdamaian atas suatu sengketa,
alat bagi sejumlah tokoh untuk menyampaikan sesuatu saran/pendapat kepada
pejabat, alat untuk menyam- paikan undangan pesta keluarga. Kalosara ini
dalam pemanfaatannya dilengkapi dengan wadah anyaman dari tangkai daun
pelem, dan kain putih sebagai alas.

88
2. Mondonduri, Mepuka, Meboso, Mearano, Dan Melupai, Sulawesi
Tenggara
Mondoduri merupakan aktivitas memancing ikan dengan
memanfaatkan rawa, sungai, dan laut. Aktivitas ini biasa dilakukan secara
individu maupun kelompok-kelompok kecil dengan memanfaatkan waktu
senggang atau libur ketika rutinitas pekerjaan sedang rehat. Biasanya warga
memancing ikan pada sore hari atau hari Sabtu dan Minggu. Temuan
penelitian mengungkapkan bahwa aktivitas mondonduri ini telah
dimanfaatkan oleh sebagian warga dengan membuka jasa pemancingan
dengan sistem sewa perjam. Bahkan tak jarang di sejumlah spot-spot
pemancingan dilakukan lomba memancing dengan hadiah yang cukup
menggiurkan, termasuk dimaanfaakan oleh sejumlah pihak untuk kepentingan
sosial dan politik.
Mepuka adalah aktivitas mencari ikan dengan menggunakan pukat
atau jaring yang biasanya dilakukan di rawa atau sungai sekitar pemukiman
penduduk. Saat ini aktivitas mepuka telah memanfaatkan kawasan perairan
laut dengan menggunakan pukat harimau, yang tidak hanya membinasakan
ikan-ikan kecil dan hasil laut lainnya, namun juga melanggar hukum yang
berdampak pada pemidanaan. Namun demikian, aktivitas mepuka dengan
menggunakan pukat harimau, bagi sebagian tokoh masyarakat (toono motuo)
adalah perbuatan tercela karena dapat menganggu atau mengurangi ekosistem
sungai dan laut seperti ikan-ikan kecil sehingga berdampak pada persediaan
ikan pada jangka panjang yang semakin berkurang.
Meboso merupakan pola budidaya hasil laut dengan menampung pada
suatu wadah/tempat di sekitar rawa, laut, dan sungai. Tujuannya selain untuk
menampung hasil-hasil tangkapan agar memiliki ukuran yang lebih besar,
juga menjadi katup pengaman konsumsi penduduk di masa paceklik. Temuan
penelitian menunjukkan bahwa aktivitas meboso dalam konteks budidaya
telah digunakan oleh sebagian penduduk untuk membangun kolam besar
sebagai sarana wisata perikanan dan aktivitas pemancingan. Aktivitas meboso
yang terbuat dari bahan bambu dan batang/daun rumbia (sagu) masih tetap

89
dipertahankan oleh sebagian masyarakat etnik Tolaki di tengah modernisasi
perikanan dengan sistem penampungan yang lebih canggih.
Mearano adalah aktivitas penangkapan ikan dengan memanfaatkan
rawa-rawa buatan manusia dan di musim hujan air yang tergenang.
Masyarakat etnik Tolaki biasanya menggali lobang di sekitar lahan
perladangan atau area persawahan untuk menampung air hujan. Air hujan
selain berfungsi untuk mengairi sawah dan tanaman pertanian lainnya, juga
digunakan untuk menampung ikan yang dipanen ketika musim paceklik tiba.
Aktivitas mearano ini banyak dilakukan oleh kaum perempuan dengan
mengundang rekan-rekannya dengan sistem bagi hasil kepada pemiliknya.
Aktivitas ini mengelaborasi nilai kearifan lokal dalam konteks
medulu/mepokoaso (berkumpul atau bersatu) bagi kaum perempuan, termasuk
menjadi wahana bagi mereka untuk mengkomunikasikan aktivitas
kekeluargaan dan masalah-masalah perempuan dalam spektrum yang lebih
luas.
Melupai, merupakan tradisi atau kebiasaan turun temurun dengan
memanfaatkan air sungai mengalir atau rawa ukuran besar guna meracuni ikan
dengan menggunakan tuba dari akar-akar pohon yang mengandung racun.
Aktivitas ini marak sekitar tahun 70-an hingga 90-an dan biasanya dijadikan
wahana pertemuan saudara atau para kerabat sambil bergembira dan
bercengkrama mencari/mengambil ikan. Namun seiring dengan pelarangan
dan penegakan hukum yang cukup ketat, aktivitas molupai ini sudah jarang
dilakukan terutama kawasan-kawasan aliran sungai yang berhubungan
langsung dengan kawasan irigasi penduduk.
3. Maccerak Tappareng, Sulawesi Selatan

Maccerak tappareng diselenggarakan oleh masyarakat nelayan dalam


mengawali musim penangkapan ikan yang dimaknai sebagai upacara bersaji
untuk sedekah bumi atau tolak bala. Upacara ini bertujuan agar (1) nelayan
dapat terhindar dari bencana dalam aktivitas penengkapan ikan di danau, dan
(2) hasil tangkapan yang diperoleh melimpah ruah sehingga nelayan dapat
lebih sejahtera. Upacara maccerak tappareng dipimpin oleh seorang macoa

90
tappareng dalam bentuk upacara yang menyajikan makanan untuk penguasa
danau. oleh karena itu dalam upacara tersebut juga terdapat aktivitas
menyembelih kepala kerbau (ulu tedong) dan acara makan bersama. Upacara
ini bersifat sakral yang dilakukan pada tengah malam, dimana pada keesokan
harinya diselenggarakan acara lomba perahu dayung (mappalari lopi) dan
karnaval perahu dengan berbagai bentuk dan tema yang menggambarkan
kelimpahan rezeki. Biaya melakukan upacara adat ini berasal dari masyarakat
nelayan di danau Tempe (Sani, 2007).

Selain upacara adat maccerak tappareng yang dilakukan setiap tahun,


masyarakat nelayan juga melakukan upacara dalam bentuk persembahan
kepada penguasa danau sebagai bentuk penghormatan dan permohonan ijin
dalam memulai aktifitas agar terhindar dari bencana. Upacara sesaji ini
dilakukan jika memiliki perahu baru, mesin perahu baru, ataupun untuk
pertama kalinya akan turun ke danau menangkap ikan. Tempat melakukan
upacara sesaji ini pada area keramat yang tersebar di area danau, yang
ditandai dengan pemasangan bendera warna merah, kuning atau putih.

Beberapa larangan yang telah dipatuhi masyarakat nelayan di danau


tempe dan telah dilakukan secara turun-temurun sebagai sistem adat yang
harus dipatuhi mengenai cara berperilaku saat berada di danau. Larangan ini
dimaksudkan sebagai aturan adat yang telah disepakati bersama anggota
masyarakat sejak zaman nenek moyang orang Bugis memanfaatkan danau
sebagai tempat melakukan aktivitas hidup dan aktivitas ekonomi. Larangan ini
jika dilanggar diyakini akan merusak ekosistem antara manusia dan
lingkungan alam di danau sehingga berdampak pada ketidakseimbangan
lingkungan dan akan mengancam keberlanjutan hidup beberapa ekosistem

4. Floating House atau Rumah Mengapung, Sulawesi Selatan


Floating house adalah rumah tradisional Bugis tanpa tiang dengan
struktur bagian bawah berbentuk rakit dari bambu, yang mengapung di atas
air. Proses adaptasi terhadap lingkungan di atas air selama puluhan tahun,
menyebabkan masyarakat kreatif dalam menciptakan hunian yang nyaman

91
dan fungsional serta adaptif terhadap iklim yang cenderung ekstrim di atas air.
Meskipun berada di atas air, rumah mengapung ini tetap mengacu pada
konsep arsitektur tradisional Bugis yang dibangun dengan upacara ritual
berdasarkan kebiasaan yang dilakukan Suku Bugis secara turun temurun.

Wisata Sulawesi Selatan, Danau Tempe Pesona Rumah Terapung di Sulawesi Selatan - Sulawesi
Selatan (https://id.pinterest.com/pin/454300681143804680)

Upacara ritual ini dimulai dengan mencari hari baik untuk mendirikan
rumah, mendirikan tiang utama rumah (possi bola) sebagai pusat rumah,
sampai ritual selamatan memasuki rumah mengapung baru. Ritual ini
dimaksudkan untuk keselamatan penghuni rumah dan kelancaran rezeki
selama menempati rumah tersebut, karena masyarakat di kawasan ini
mempercayai bahwa, setiap rumah memiliki penguasa roh halus yang harus
dihormati sehingga perlu diberi sesaji untuk memohon izin pada Allah melalui
makhluk yang dikuasakan menjaga rumah tersebut.

5. Ledo, Sulawesi Tengah

Kata ledo berarti “tidak”. Bahasa Ledo ini digunakan berkomunikasi


dengan bahasa-bahasa Kaili lainnya, dan masih ditemukan bahasa asli yang

92
belum dipengaruhi bahasa para pendatang, yaitu di sekitar Raranggonau dan
Tompu. Sementara bahasa Ledo yang dipakai oleh masyarakat Kaili di kota
Palu, dan Biromaru (bahasa Kaili Ado, Kaili Tara, Kaili Ija, Kaili Edo ),
Donggala (bahasa Unde dan Doi) dan Parigi dan sekitarnya (bahasa Kaili Tara
dan Rai), sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa
pendatang, terutama Bugis dan Melayu. Semua kata dasar bahasa-bahasa yang
disebutkan itu berarti “tidak”.

6. Masa Ombo, Sulawesi Tengah

Masa ombo merupakan pantangan atau tabu menangkap ikan pada


masa atau waktu tertentu di danau Lindu. Ombo terdiri atas: Ombo Ngiki,
Ombo Suaka, dan Ombo Pemerintah. Masa Ombo bertujuan untuk mengatur
dan mengontrol populasi ikan agar tetap stabil.

Ombo Ngiki yaitu pantangan menangkap ikan di danau, sedang di


darat pantangan melakukan pesta, kecuali aktivitas biasa tiapa hari,
pelarangan ini merupakan keputusan hasil musyawarah di empat desa yaitu.
Desa Puroo, Langko, Tomado dan Anca. Waktunya sampai tiga bulan,
sekaligus untuk mengontrol populasi ikan di danau. Selain itu, ikan mujair
yang kecil tidak boleh ditangkap atau dijual, kalaupun terjaring harus dilepas
kembali ke danau, karena ikan mujair yang kecil dapat memakan jentik
nyamuk malaria.

Ombo Suaka, berlaku selama 40 hari jika ada salah satu keluarga
Madika (bangsawan dan keluarganya) meninggal dunia, hanya dibatasi
wilayah penutupan lokasi penangkapan ikan, sesuai daerah atau tempat tinggal
madika tersebut, termasuk tokoh adat yang dihormati dan dituakan di desanya.

Khusus Ombo pemerintah berlaku pelarangan penangkapan ikan kalau


dianggap bahwa benar-benar dalam kondisi kerusakan yang sangat parah
selama dua bulan. Dengan kata lain, pemerintah dan warga masyarakat
setempat berupaya menjaga kerusakan perairan danau Lindu dalam waktu-
waktu tertentu dilakukan pemulihan dan pemeliharaan.

93
Sanksi terhadap pelanggaran ombo berupa teguran secara langsung
dari pemuka adat, diyakini bahwa pelanggaran ombo berakibat kena bala
seperti, sakit atau meninggal dunia, khususnya pelanggaran ombo
suaka.Sanksi lainnya berupa denda 10 dulam, (piring adat) satu buah kain
mbesa (kain adat) satu ekor sapi atau kerbau. Selain itu, hubungan Topo
Lando (nelayan) dengan Danau Lindu, memiliki alat tangkap yang ramah
lingkungan baik yang dikembangkan atau yang diadopsi dari luar, seperti,
landa (pukat/jaring) dengan ukuran 4 (empat) jari, dimaksudkan untuk
menjaga habitat ikan yang ditangkap dengan jaring, ikan yang terjaring lebih
kecil dari ukuran 4 (empat) jari akan dilepaskan kembali ke danau.

7. Roppo Mandar, Sulawesi Barat

Kata roppo atau roppong dalam bahasa Mandar berarti sampah. Alat
ini merupakan alat bantu penangkap ikan yang terdiri dari pelampung (bambu
atau gabus), alat pemikat (daun kelapa yang dipasang di bawah pelampung),
dan alat pemberat (Alimudin, 2003 dalam Balai Pengkajian dan
Pengembangan Budaya Melayu, 2007a). Terbentuknya roppo berawal dari
guguran daun-daun kelapa yang berada di sepanjang pantai barat pulau
Sulawesi, khususnya pantai teluk Mandar, dan menjadi tempat para nelayan
untuk mencari ikan (Alimuddin, 2003 dalam Balai Pengkajian dan
Pengembangan Budaya Melayu, 2007a), sehingga roppo digunakan sebagai
alat bantu menangkap ikan karena dianggap sebagai tempat berkumpulnya
ikan.

Roppo merupakan hasil karya nelayan Mandar dalam membaca


beraneka ragam fenomena alam. Pengamatan terhadap sampah-sampah yang
terombang-ambing di lautan, yang di bawahnya berkumpul dan berlindung
beraneka macam ikan menginspirasi masyarakat untuk membuat hal yang
sama. Selain itu roppo juga mengajarkan kepada nelayan Mandar bagaimana
membuat aturan laut, sehingga keberadaan roppo tidak berakibat buruk
terhadap relasi sosial masyarakat.

94
Roppo juga mengajarkan tentang solidaritas sosial. Keberadaan
memanfaatkan alam, keyakinan kepada hal gaib, dan solidaritas sosial (Balai
Pengkajian dan Pengembangan Budaya Melayu, 2007a). Roppo merupakan
manifestasi dari solidaritas sosial masyarakat nelayan Mandar. Pengadaan
bahan, proses pembuatan, pemasangan, dan pemanfaatan roppo merupakan
potret solidaritas masyarakat. Mereka membuat roppo secara bersama-sama,
dan memanfaatkannya untuk kepentingan bersama.

Pembakaran dupa, pembacaan doadoa, adanya pantang larang, dan


beragam aturan dalam pembuatan dan pemasangan roppo merupakan
manifestasi keyakinan masyarakat nelayan mandar kepada yang sakral.

8. Perahu Sandeq

Sandeq, Perahu Layar Khas Mandar (kompas.com)

Sandeq adalah perahu layar tradisional khas Mandar. Sekilas, Sandeq


terkesan rapuh, tetapi di balik itu ternyata tersimpan kelincahan. Panjang
lambungnya 7-11 meter dengan lebar 60-80 sentimeter, di kiri-kanannya
dipasang cadik dari bambu sebagai penyeimbang. Sandeq mengandalkan
dorongan angin yang ditangkap layar berbentuk segitiga. Layar itu mampu
mendorong Sandeq hingga kecepatan 20 knot. Kecepatan maksimum melebihi
laju perahu motor seperti katinting, kappal, dan bodi-bodi (Setyahadi, 2007).

95
Keberadaan Perahu Sandeq merupakan hasil dari cara orang-orang
Mandar merespon kondisi alam tempat mereka tinggal. Perahu Sandeq
merupakan pengejawantahan dari karakter orang Mandar itu sendiri.
Pallayarang (tiang layar utama) sebagai penentu utama kelajuan perahu
merupakan simbol terpacunya cita-cita kesejahteraan masyarakat.

2.3.2 Kearifan Lokal Kalimantan


Kalimantan memeiliki beberapa kearifan lokal yaitu sebagai berikut.

1. Singer dan jipen


Singer dan jipen merupakan dua hal yang berbeda tapi terkait satu
sama lainnya. Untuk menjaga alam yang ada dikalimantan suku dayak
memiliki kearifan lokal singer merupakan hukuman yang diberikan kepada
si pelaku yang merugikan orang lain atau yang merusak lingkungan itu
sendiri, sedangkan jipen adalah besaran hukuman yang akan diberikan
kepada pelaku atau seseorang yang dianggap merugikan atau melanggar
aturan. umlah pasal terkait singer dan jipen masyarakat Suku Dayak yaitu
sebanyak 96 pasal hukum adat Tumbang Anoi yang dihasilkan dan terbentuk
pada tahun 1894.
2. Tradisi Menyandau Durian

Tradisi 'menyandau' durian masih dijalankan masyarakat pelosok desa


di Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Salah satunya di Desa
Riam. Ini sebagai salah satu gambaran bahwa budaya itu masih dipertahankan
sebagai kearifan budaya lokal. Nyandau adalah panen durian. Nyandau
dilakukan dengan bermalam di tengah hutan, membuat pondok tak jauh dari
pohon durian lalu menunggu durian jatuh.

3. Budaya Dolob

Suku Dayak Agabag, adalah salah satu Dayak yang mendiami wilayah
kecamatan Sembakung, Sebuku, Lumbis dan sebagian Kabupaten Bulungan,
seluruhnya berada di kawasan utara Kalimantan Timur. Dolob merupakan
instrument penyelesaian perkara tanah yang di hadapi oleh masyarakat suku

96
dayak agabag di kabupaten Nunukan dan suku dayak Agabag di Kabupaten
Malinau. Kedua suku berasal dari kabupaten yang berbeda namun memiliki
keunikan dalam menyelesaikan perkara tanah dan bahkan dengan
permasalahan lainnya. Budaya dolob yang merupakan ritual sumpah
pembuktian apakah orang yang dituduhkan bersalah atau tidak dengan cara
menyelam kedalam sungai. Budaya dolob adalah jalan terakhir dalam
menyelesaikan sengketa masalah yang ada. Hukum adat menurut masyarakat
suku dayak lebih cenderung memberi rasa keadilan dan lebih tepat
mengungkap dan menyelesaikan perkara, cepat, murah, terhindar dari sikap
dendam dan memberi efek jera.

4. Budaya mamat

Budaya mamat merupakan upacara besar dan sakral yang


dilaksankana oleh suku Dayak Kenyah sebagai wujud rasa syukur kepada
Sang Pencipta atas kemenangan yang telah diraih dalam medan
peperangana.serta budaya mamat dapat sebagai upacara penyucian diri yang
dilakukan oleh kaum laki-laki.

5. Tarian gong

Tarian suku Dayak Agabag adalah Tari Gong, yang populer di


kalangan masyarakat suku Dayak Abagag. Suku dayak Agabag masih
berpegang teguh pada pola hidup nomaden hal ini terlihat dari cara mereka
berkebun dan berladang di lahan yang tidak tetap. Secara umum karakter
suku Dayak Agabag adalah pekerja keras dan murah hati. Tari gong adalah
tarian tradisional suku Dayak di Kalimantan timur yang
menggunakan gong sebagai media menarinya. Gerakan dalam Tari
Gong menggambarkan kelembutan seorang gadis yang terlihat dari gerakan
tubuh dan tangannya yang lemah lembut.
6. Permainan alanalan
Permainan alanalan yang berasalah dari Kalimantan Selatan berasal
dari budaya banjar yaitu dengan bermain panjat pinang menggunakan

97
topeng atau wajah pemain alanalan yang sudah dicoring-moring.
Permainan alanalan biasa diselenggarkana jika ada acara perkawinan maka
akan menggelar acara yang isinya permainana alanalan. hadiah-hadiah yang
tergantung di atas panjatan batang pinang itu dilemparkan kepada
khalayak/penonton oleh orang yang berperan sebagai alanalan tersebut,
sehingga menjadi rebutan.

2. 4 Kearifan Lokal di Pulau Papua


Provinsi Papua terletak di paling ujung timur Indonesia yang memiliki luas wilayah
paling luas dibandingkan dengan provinsi lain di Indonesia. Provinsi Papua berbatasan di
sebelah barat dengan Provinsi Papua Barat, di utara dengan Samudera Pasifik, di sebelah
selatan dengan Laut Arafuru dan di sebelah timur dengan Papua Nugini. Provinsi Papua dulu
mencakup seluruh wilayah Papua bagian barat, sehingga sering disebut sebagai Papua Barat
terutama oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM), para nasionalis yang ingin memisahkan
diri dari Indonesia dan membentuk Negara sendiri.

Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda wilayah ini dikenal sebagai Nugini


Belanda (Nedherlands Nieuw Guiena atau Dutch New Guiena ). Setelah berada di bawah
penguasaan Indonesia, wilayah ini dikenal sebagai Provinsi Irian Barat sejak tahun 1969
hingga 1973. Namanya kemudian diganti menjadi Irian Jaya oleh Soeharto pada saat
meresmikan tambng tembaga dan emas Freeport, nama yang tetap digunakan secara resmi
hingga 2002.

Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi khusus Papua. Pada 2003, disertai oleh berbagai protes (penggabungan antara
Papua Tengan dan Papua Timur), Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah
Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi
Provinsi Irian Jaya Barat (setahun kemudian menjadi Papua Barat). Bagian timur inilah
yang menjadi wilayah Provinsi Papua pada saat ini.

Kata Papua sendiri berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut keriting, sebuah
gambaran yang mengacu pada penampilan fisik suku-suku asli di Papua.

98
Provinsi Papua terdapat banyak ragam budaya atau kearifan lokal yang hingga kini
masih tetap eksis, walaupun telah dipengaruhi oleh kemajuan yang disebabkan oleh
teknologi, pendidikan, ekonomi ataupun perubahan kepercayaan tradisional ke modern.
Kearifan lokal tersebut antara lain.

1. Igya Ser Hanjop


Konsep Igya Ser Hanjop dalam bahasa Hatam berasal dari kata igya
yang berarti berdiri, ser yang berarti menjaga, dan hanjopyang berarti batas.
Konsep itu secara harfiah dapat diterjemahkan “berdiri menjaga batas”.
Makna batas dalam konsep itu tidak untuk suatu kawasan tertentu saja, tetapi
mengarah pada makna yang lebih luas karena konsep ini mencakup seluruh
kehidupan orang Arfak (Hastanti dan Yeny, 2009: 20). Konsep ini merupakan
bentuk kearifan lokal untuk menjaga hutan. Dengan kata lain Igya Ser Hanjob
adalah memanfaatkan sekaligus memelihara lingkungan.
Pemaknaan hutan bagi orang Papua ibarat seorang “ibu” karena hutan
telah memberi kehidupan bagi seperti seorang ibu yang memberi ASI kepada
anaknya agar dapat bertumbuh besar. Meskipun hutan dapat memberi
kehidupan pada masyarakat, tidak berarti hutan tidak mengalami kerusakan
apabila eksploitasi dilakukan secara berlebihan. Oleh karena itu, hutan harus
dijaga dari kerusakan dan eksploitasi berlebihan agar hutan dapat memberi
jaminan penghidupan secara terus-menerus seperti diperankan oleh seorang
ibu itu.
Pemanfaatan hutan tidak diperlakukan secara semena-mena terdapat
dalam kearifan ekologi tradisional mereka. Ketika pemanenan sumber daya
hutan dilakukan, orang Papua sudah mengetahui berapa jumlah pohon yang
harus ditebang. Apabila jumlah pohon yang ditebang di atas yang sudah
diketahui sebelumnya, hal itu akan berpengaruh dan menjadi ancaman bagi
kelangsungan hidup mereka.

2. Eksogami Moiety Dan Eksogami Klen


Eksogami Moiety Dan Eksogami Klen merupakan sistem perkawinan
yang dianut oleh sebagian besar orang Papua. Artinya, seseorang apabila

99
mencari jodohnya harus mencari keluar moiety atau kawin keluar klen /
marga. Harta mas kawin yang digunakan adalah kapak batu, manik-manik,
paseda, gelang batu dan perak, piring porseling, babi dan kain timor.

Orang Papua pada umumnya mengenal 3 bentuk perkawinan, yaitu


sistem pemberian mas kawin, sistem tukar saudara perempuan, dan sistem
pencurahan tenaga.

3. Tradisi Bakar Batu


Tradisi Bakar Batu umumnya dilakukan oleh suku pedalaman atau
pegunungan, seperti di Lembah Baliem, Paniai, Nabire, Pegunungan Tengah,
Pegunungan Bintang, Jayawijaya, Dekai, Yahukimo dll. Disebut Bakar Batu
karena benar-benar batu dibakar hingga panas membara, kemudian ditumpuk
di atas makanan yang akan dimasak. Namun di masing-masing tempat/suku,
disebut dengan berbagai nama, misalnya Gapiia (Paniai), Kit Oba Isogoa
(Wamena), atau Barapen (Jayawijaya).

Penduduk Papua tetap memelihara tradisi bakar batu yang merupakan


warisan nenek moyang mereka. Bagi masyarakat yang memeluk agama
Kristen, daging yang dimasak adalah daging babi. Dan bagi pemeluk Islam,
daging babi tersebut diganti dengan daging ayam atau daging hewan lain
yang halal menurut Islam.

4. Farkawawin
Kehidupan masyarakat Kampung Syabes masih memegang teguh adat
istiadat yang diwariskan oleh para leluhur mereka dan tetap hidup dalam satu
kesatuan sebagai keluarga besar yang selalu bekerja sama dalam menata
kehidupan baik sebagai individu maupun kelompok untuk mempertahankan
identitas yang menjadi ciri khas masyarakat Biak.

Farkawawin adalah merupakan suatu bentuk ikatan dalam kehidupan


masyarakat biak yang menjadi norma susila dalam menuju kehidupan
berumahtangga yang langgeng karena banyak aturan di dalamnya yang cukup

100
berat sehingga setiap individu dalam masyarakat biak harus berusaha hidup
menurut aturan agar suasana yang baik, aman dan tenteram bisa tercapai.

Farkawawin mengajarkan bagaimana kita beretika, bagaimana kita


menghormati, bagaimana kita tunduk kepada setiap aturan dan keputusannya,
bagaimana kita menghormati orang tua, pemimpin dan pemerintah dalam
kehidupan bermasyarakat, bagaimana kita melatih kesabaran diri dalam
menunggu setiap keputusan yang diambil.

Dalam Farkawawin ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak


lakilaki seperti mas kawin (mahar) yang jumlah cukup besar, itu berarti untuk
menikah kita harus benar-benar sudah siap berumah-tangga dan berpisah
dengan orang tua untuk hidup mandiri dengan pasangan serta berusaha
memenuhi kebutuhan hidup keluarga serta menjadi menjadi orang tua bagi
anak-anak juga bisa bertindak lebih dewasa, arif dan bijaksana

5. Sasi Laut
Sasi laut merupakan budaya yang diturunkan oleh nenek moyang
untuk mengatur hasil panen laut. Budaya sasi laut yang ada di suku Kokoda
dibuka oleh ketua adat, dengan cara melakukan ritual sesaji di tempat yang
akan dilakukan sasi laut. Selesai ritual, pada waktu subuh esok harinya
seluruh masyarakat mandi di air laut dengan membawa alat tangkap hewan
laut seperti alat pancing, jaring ikan, tombak ikan, dan lain-lain. Selanjutnya,
tempat yang dilakukan sasi laut tadi tidak boleh dipanen hasil lautnya selama
6 bulan oleh semua masyarakat.

Kearifan lokal sasi laut ini menjadikan ekosistem laut lebih terjaga,
karena terdapat pembatasan dalam pengambilan sumber daya laut (Kuwati et
al. 2014). Sehingga, terjadi proses regenerasi ekosistem terlebih dahulu.

6. Hutan Keramat
Pada bagian timur Kepulauan Ugar, terdapat beberapa hutan keramat
yang harus disertai izin dari ketua adat jika ingin memasukinya. Proses
perizinannya terbagi menjadi dua tahapan ritual. Pertama, yaitu ritual

101
penyerahan sesaji berupa pinang, sirih, kapur, dan tembakau di pohon
keramat. Kedua, yaitu ritual pengikatan tali merah oleh orang yang ingin
masuk kawasan di pintu masuk hutan keramat. Hal tersebut dipercaya sebagai
bentuk ikatan persaudaraan antara leluhur dengan orang yang ingin masuk
kawasan agar dijaga oleh roh leluhur dan diberikan keselamatan.

7. Apotik Hidup
Terdapat kearifan lokal yang sangat penting bagi kelestarian
tumbuhan obat, yakni apotik hidup. Pada bagian tengah Kampung Ugar,
terdapat area sekitar 25 m2 yang disebut sebagai apotik hidup oleh
masyarakat lokal. Meskipun sebagian besar tanaman yang dimanfaatkan
untuk obat berasal dari hutan, namun ada juga beberapa tumbuhan yang
dibudidayakan di apotik hidup. Tumbuhan yang ditanam di apotik hidup
sebagian besar adalah tanaman yang dimanfaatkan bagian akar, rhizoma,
batang, atau yang seluruh bagian tumbuhannya digunakan untuk obat. Contoh
diantaranya yakni tanaman Zingiber officinale Roscoe (Abascal & Yarnell
2009), Cymbopogon citratus (DC.) Stapf (Avoseh et al. 2015), Phyllanthus
niruri L. (Narendra et al. 2012), Curcuma longa L. (Labban 2014), dan lain-
lain.

8. Rumah Kombou
Rumah kombouw merupakan rumah inisiasi yang masyarakat Sentani
gunakan untuk melakukan pendidikan secara formal yang dilakukan sejak
dini bagi anak-anak laki-laki. Pelajan yang dipelajari antara lian pelajaran
berburu, siasat perang, membuka kebun, dan lain-lain.

9. Rumah Ondofolo
Rumah Ondofolo merupakan rumah belajar bagi anak-anak
perempuan. Pelajaran yang dipelajari di rumah ini antara lain pelajaran
berkebun, mencari ikan, memasak, mengurus keluarga. Secara tidak formal
pendidikan pun diperkuat di rumah. Bagi masyarakat Sentani, pendidikan
berkaitan erat dengan kerja keras.

102
10. Holei Narei
Masyarakat Sentani dapat hidup damai sejahtera, jauh dari kebencian
dan kecurigaan satu dengan yang lain. Secara literal ungkapan tersebut berarti
“kampung halaman damai sejahtera, dipenuhi suara canda anak-anak dan
kicauan burung”.

Bagi masyarakat Sentani, kehidupan tenteram sejahtera ditandai


dengan canda anak-anak dan kicauan burung. Holei narei tidak saja membuat
masyarakat hidup rukun penuh kasih, tetapi juga anak-anak hidup sehat
sehingga mereka dapat bermain penuh canda tawa. Bahkan, secara romantis,
masyarakat Sentani pun menggambarkan suasana damai sejahtera itu disertai
dengan burung yang tak hentihentinya berkicau seolah ikut merasakan damai
sejahtera mereka.

11. Roboni
Roboni merupakan kegiatan pembayaran adat yang tampak pada
ekonomi masyarakat, misalnya pembayaran mas kawin yang menekankan
keseimbangan antara memberi dan menerima. Untuk mendapatkan mas
kawin, pihak perempuan harus memberikan makanan (hamang) terlebih
dahulu. Keseimbangan ini menjadi prinsip ekonomi masyarakat.
Keseimbangan juga berkaitan dengan sebab-akibat seperti ungkapan yang
mengatakan “ofae bline hu hehe yarole” (daun terlentang akan mendapat sinar
matahari). Peribahasa ini mengajarkan bahwa orang yang suka memberi akan
banyak mendapat berkat.

103
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Indonesia memiliki “aset spiritual” berupa kearifan lokal dan etika agama. Kearifan
lokal dapat dipandang sebagai identitas bangsa, terlebih dalam konteks Indonesia yang
memungkinkan kearifan lokal bertransformasi secara lintas budaya yang pada akhirnya
melahirkan nilai budaya nasional. Di Indonesia, kearifan lokal adalah filosofi dan pandangan
hidup yang mewujud dalam berbagai bidang kehidupan (tata nilai sosial dan ekonomi,
arsitektur, kesehatan, tata lingkungan, dan sebagainya). Kearifan lokal merupakan kekayan
bangsa yang diwariskan langsung oleh para leluhur yang patut dipelajari dan dilestarikan
agar tidak terjadinya kepunahan pada adat dan budaya itu sendiri.

104
DAFTAR PUSTAKA

Drs. Nurdin AR, M.Hum (2015). Beberapa Catatan Tentang Kearifan Lokal Masyarakat Aceh.
Majelish adat Aceh

Malau Gens G. 2000. Aneka Ragam Budaya Batak. Jakarta: Yayasan Bina Budaya Nusantara
Taotoba Nusa Budaya.

Moleong J. Lexy. 2008. Metode penelitian Kualitatif.Bandung PT. Remaja rosdakarya.

Nawawi, 1993 : Metode Penelitian Sosial.Yogyakarta Gajah Mada University press.

Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : PN Balai Pustaka.

Sihombing T.M. 1989. Jambar Hata Dongan Tu Ulaon Adat: CV Tulus Jaya

Wikipedia, 2012, Tradisi Kenduri Laut Di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Duniakumu.com,
Mangure Lawik Tradisi Budaya Tradisional di Pesisir Tapteng dan Sibolga.

Harahap dan Siahaan, 1987, Armaidy Armawi, Kearifan Lokal Batak Toba Dalihan Na
Tolu...159

Saputra, Isral. (2011). Silek Kumango: Keberadaan, Pewarisan, dan Kearifan Lokal
Minangkabau. Wacana Etnik; Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 2 (1), 73—94.

Sedyawati, Edi dan Sapardi Djoko Damono (Editor). (1983). Seni dalam Masyarakat Indonesia.
Jakarta: Sinar Harapan.

Sedyawati, Edi. (2006). Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: PT
RAJA Grafindo Persada.

Seha, Nur, et al. (2014). Fungsi Teater Rakyat Ubrug Bagi Masyarakat Banten. Atavisme, 17
(1). 107-120.

Syuriadi, Helki dan Hasanuddin WS. (2014). Nilai-nilai Pendidikan dalam Teks Cerita Randai
“Malangga Sumpah” Karya Lukman Bustami Grup Randai Bintang Tampalo

105
Kenagarian Padang Laweh Kabupaten Sijunjung. Jurnal Bahasa, Sastra dan
Pembelajaran, 2 (2), 60—74.

Suryadi. (2014). The Recording Industry And ‘Regional’ Culture In Indonesia The Case of
Minangkabau. Disertasi. Universiteit Leiden.

Triyanto. (2017). Art Education Based on Local Wisdom. Proceeding of 2nd International
Conference of Arts Languange And Culture. Universitas Sebelas Maret, 33—39.

Wendy. (2014). Dramaturgi Teater Rakyat Randai di Minangkabau. Jurnal Kajian Seni. 01 (01),
42—52. Wulandari,

Yosi. (2015). Randai sebagai Komunikasi Sastra Daerah di Minangkabau Sebuah Gagasan
Melestarikan Budaya Indonesia. Prosiding Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III.

Zulkifli. (2013). Randai sebagai Teater Rakyat Minangkabau: Alternatif Pembinaan dan
Pengembangan. Jurnal Garak jo Garik, I (9), 32—32.

Jakob Siringoringo. (2019). Kearifan Lokal, Masyarakat Adat Aur Kuning: Melestarian Ikan
dengan Lesung Batu. Jakarta

Emil Salim. (1993). Pembangunan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: LP3ES.

F. Amsyari. (1996). Membangun Lingkungan Sehat. Surabaya: Airlangga University Press.

H.I. Supardi. (2003). Lingkungan Hidup & Kelestariannya. Bandung: Alumni

Hendra Gunawan, S.Hum., M.Hum. (2020). Orang Jambi Perlu Tau, Seloko Sebagai Kearifan
Lokal Dan Kontrol Sosial Bagi Masyarakat Kota Jambi.

Djulia, E. (2005). Peran Budaya Lokal dalam Pembentukan Sains: Studi Naturalistik
Pembentukan Sains Siswa Kelompok Budaya Sunda tentang Fotosintesis dan
Respirasi Tumbuhan dalam Konteks Sekolah dan Lingkungan Pertanian. Disertasi
Doktor Tidak Diterbitkan. Bandung: SPs UPI.

Moleong, L, J. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Peursen,


V. (1976). Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

106
Ratih, D. (2013). Nilai-nilai Kearifan Lokal Hutan Lindung Situ Lengkong dalam
Mengembangkan Green Behavior Peserta Didik Melalui Pembelajaran Sejarah
(Studi Naturalistik Inkuiri di SMA Negeri 1 Lumbung). Tesis S2 Tidak
diterbitkan. Bandung: FPIPS SPs UPI.

Rohani, A. (1997). Metode Instruksional Edukatif. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Y.R. Zakaria, Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat, (Jakarta: Penerbit Walhi, 1994), hlm. 56.

Zulkifli B. Lubis, Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya


Alam di Tapanuli Selatan dalam Jurnal Antropologi Indonesia, (Jakarta:
Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia), Volume 29, No. 3, tahun 2005, hlm. 251.

Robert Chamber dan P. Richards, ‘Preface’, dalam D.M. Warren dkk. (peny.) The Cultural
Dimension of Development: Indigenous Knowledge Systems. (London:
Intermediate Technology Publications, 1995), hlm. Xiii-xiv.

Akar Foundation, 2011. Kearifan Lokal Suku Rejang Jurukalang dalam Tata Kelola Hutan

Andesti, Mery Yono, dan Adry, 2009. Prosesi Bercocok Tanam di Ladang Menurut Hukum
Adat Rejang di Kecamatan Rimbo Pengadang Kabupaten Lebong.

Anton Sutrisno, 2011, Eksistensi Subak di Daerah Transmigrasi Kabupaten Bengkulu Utara,
tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial dan Kearifan Tradisional.

Ar-Riza, Isdijanto, Nurul Fauziati dan Hidayat D.Noor. 2008. Kearifan Lokal Sumber Inovasi
dalam Mewarnai Teknologi Budidaya Pada Lahan Rawa Lebak. Balai
Penelitian Lahan Rawa Lebak.

Triyadi Sugeng, Iwan Sudradjat dan Andi Harapan. 2010. Kearifan Lokal Pada Bangunan
Rumah Vernakular Di Bengkulu Dalam Merespon Gempa. Studi Kasus: Rumah
Vernakular di Desa Duku Ulu, Local Wisdom Volume II Januari 2010

Irwanto, 2019. Ngobeng, Tradisi Khas Palembang yang Semakin Tergerus Zaman Kekinian
Merdeka.com.

107
Arios, R. L. (2017). Permukiman Tradisional Orang Basemah di Kota Pagaralam. Jnana
Budaya: Media Informasi dan Publikasi Sejarah dan Nilai Tradisional, 19(2), 183–198.

Firduansyah, D., Rohidi, T. R., & Utomo, U. (2016). Guritan: Makna syair dan proses
perubahan fungsi pada masyrakat Melayu di Besemah Kota Pagaralam. Catharsis,
5(1), 71–78.

Nurhalimah, F. (2019). The Function And Meaning Of Affixation Of Besemah Language: An


Effort To Understand The Uniqueness Of Local Languages. Syntax Literate;
Jurnal Ilmiah Indonesia, 4(1), 43–49.

Sambut Hari Kartini, DWP Muba Gelar Lomba Senjang dan Melukis. (t.t.). Diambil 20 Agustus
2019, dari http://www.jdih.mubakab.com/berita-sambut-hari-kartinidwpmuba-gelar-
lomba-senjang-dan-melukis.htmlSenjang:Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari
Musi Banyuasin –FORNEWS.CO.(t.t.). Diambil 20 Agustus 2019, dari
https://fornews.co/news/senjangwarisanbudaya-tak-benda-indonesia-dari-musi-
banyuasin/

Pujakesuma, 2020. Kearifan Lokal Suku Lampung Yang Tetap Lestari Dan Terjaga

Amiruddin, dkk. 2017. Kalosara di Kalangan Masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara. Jurnal
Seni Budaya Volume 32, Nomor 1. Hal. 209-219.

Naidah Naing, dkk. 2009. Kearifan Lokal Tradisional Masyarakat Nelayan Pada Permukiman
Mengapung Di Danau Tempe Sulawesi Selatan. Volume: I, Nomor: 1. Halaman: 19
– 26.

Sukmawati Saleh. 2013. Kearifan Lokal Masyarakat Kaili Di Sulawesi Tengah. Jurnal
Academica Fisip Untad. Vol.05 No. 02 Hal. 1126-1134.

Sulsalman Moita. 2017. Kearifan Lokal Masyarakat Etnis Tolaki Dalam Pengelolaan Sumber
Daya Pesisir Di Kecamatan Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe Provinsi Sultra.
Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis. Volume 2, Nomor 1, Halaman 16-22.

108
Azhari. (2019). The Impact Singer & Jipen of Dayak Tribe on Environmental Sustainability in
Central of Borneo. Internasionnal Journal of Architectur and Urbanism. Vol. 03 No
01.

https://mmc.kalteng.go.id/berita/read/4657/kearifan-lokal diakses pada tanggal 28 Desember


2020 jam 19. 24 WIB.

Suryaningsi, 2016. Dolob Tinjauan Kearifan Lokal Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Pada
Masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag

Syamsuddin Hasan, 2020. Melestarikan kearifan lokal budaya banjar kalsel yang hampir punah

Robert Siburian. 2018. Akses Dan Pengelolaan Sumber Daya Hutan Pada Masyarakat Lokal Di
Kabupaten Manokwari. Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 3 Hal. 297-312.

Herningsih. 2018. Kebijakan Pemerintah Papua dalam Pelestarian Tradisi Bakar Batu. Journal
of Islamic Studies and Humanities Vol. 3, No. 2, h. 209-225.

Wahalid Najamudin, dkk. 2015. Pengelolaan sumberdaya ikan lema (Ratrelliger kanagurta)
yang berbasis kearifan lokal di Kampung Warsamdin dan Lopintol, Distrik Teluk
Mayalibit, Provinsi Papua Barat. Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 2(1):
28-32

Nimbrot Nixon, dkk. 2017. Kearifan Lokal Budaya Farkawawin Suku Biak Di Desa Syabes
Kecamatan Yendidori Kabupaten Biak Numfor. e-journal “Acta Diurna” Volume VI.
No. 2. Hal. 1-13.

Reza Saputra. 2021. Konservasi Alam Berbasis Kearifan Lokal Suku Kokoda di Kepulauan
Ugar, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Jurnal Bios Logos Vol. 11 No.1 Hal. 7-12.

Wigati Yektiningtyas. 2017. Kearifan Lokal Masyarakat Sentani, Papua Dalam Ungkapan
Tradisional. Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan, Universitas Cenderawasih.

109

Anda mungkin juga menyukai