Makalah Final Kearifan Lokal Indonesia Kel 3
Makalah Final Kearifan Lokal Indonesia Kel 3
DOSEN PENGAMPU:
Disusun oleh:
UNIVERSITAS LAMPUNG
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan tema “Aliran-aliran Pendidikan”
ini tepat pada waktunya.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa persoalan pendidikan merupakan proses yang
kompleks karena membutuhkan jalinan teoritis sebagai dasar dalam mengambil keputusan
kependidikan serta pemahaman beragam gejala faktual dan aktual yang melibatkan pembicaraan
berbagai unsur yang terkait langsung di dalam proses pendidikan. Banyak unsur yang terkait
dalam pendidikan seperti pendidik, peserta didik dan aliran-aliran pendidikan.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak Dr.
Riswandi, M.Pd dan ibu Berti Yolida, S. Pd, M. Pd. pada mata kuliah Landasan Kependidikan.
Setelah itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang aliran-aliran yang
terdapat dalam pendidikan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak terutama kepada Bapak Dr.
Riswandi, M.P dan Berti Yolida, S. Pd, M. Pd. selaku Dosen dari mata kuliah Landasan
Kependidikan yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni. yang telah membagi pengetahuannya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah
ini.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................................ i
Kata Pengantar ................................................................................................................ ii
Daftar Isi ....................................................................................................................... iii
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 5
1.3 Tujuan .......................................................................................................... 5
II. PEMBAHASAN
2.1Kearifan Lokal Di Pulau Sumatera ................................................................... 6
2.1.1 Kearifan Lokal Aceh ....................................................................... 6
2.1.2 Kearifan Lokal Sumatera Utara ..................................................... 12
2.1.3 Kearifan Lokal Sumatera Barat ..................................................... 22
2.1.4 Kearifan Lokal Riau ...................................................................... 29
2.1.5 Kearifan Lokal Jambi .................................................................... 33
2.1.6 Kearifan Lokal Bengkulu .............................................................. 38
2.1.7 Kearifan Lokal Sumatera Selatan .................................................. 50
2.1.8 Kearifan Lokal Lampung............................................................... 54
2.2 Kearifan Lokal Di Pulau Jawa dan Bali ........................................................ 61
2.2.1 Kearifan Lokal Pulau Jawa ............................................................ 61
2.2.2 Kearifan Lokal Pulau Bali ............................................................. 74
2.3 Kearifan Lokal Di Pulau Sulawesi dan Kalimantan ...................................... 87
2.3.1 Kearifan Lokal Sulawesi ............................................................... 87
2.3.2 Kearifan Lokal Kalimantan ........................................................... 96
2.4 Kearifan Lokal Di Pulau Papua .................................................................... 98
III. PENUTUP
3.1 Kesimpulan ................................................................................................ 104
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 105
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Kearifan lokal dipandang sangat bernilai dan mempunyai manfaat tersendiri dalam
kehidupan masyarakat. Sistem tersebut dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk
menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan hidup sesuai dengan keadaan,
kemampuan, dan tata nilai yang dihayati di dalam masyarakat yang bersangkutan.
Pembentukan dan perkembangan budaya sangat mempengaruhi jati diri bangsa, kesatuan
masyarakat berperan serta dalam pembentukkannya. Identitas masa dan ruang mempunyai
makna penting dalam permasalahan kebudayaan. Bagi Indonesia bukan hanya sebagai
bentuk geopolitik semata dalam kenyataannya senantiasa mengandung keragaman kelompok
sosial dan sistem budaya yang tercermin pada keanekaragaman kebudayaan suku bangsa.
Melalui perjalanan sejarah, berbagai proses kehidupan manusia telah melahirkan ciri
keanekaragaman bentuk budaya. Diperkuat oleh aktivitas silang yang saling mendekatkan di
antara berbagai kelompok etnis dengan pengaruh persebaran budaya budaya yang ada yang
telah datang ke Indonesia. Diakui realitas sosial bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku
bangsa dengan kebudayaannya masingmasing. Sejauh ini masih terjadi perbedaan
pemahaman dalam mengartikan konsep suku bangsa, sehingga berapakah tepatnya jumlah
suku bangsa di Indonesia. kebudayaan Indonesia dari berbagai segi penting artinya dalam
rangka menemukan integrasi sebagai unsur penting dalam usaha persatuan bangsa.
4
Kebudayaan Indonesia berakar dari kebudayaan etnik lokal yang berada di Indonesia
yang memiliki keragaman. Dengan tujuan inilah sangat penting dipupuk rasa persatuan
dalam pembinaan dan pengembangan kebudayaan Indonesia untuk memahaminya lewat
pendekatan kebudayaan se-Indonesia. Setiap daerah di Indonesia memiliki ciri khas budaya
masing-masing yang haru dikembangkan, dijaga dan dilestarikan keberadaannya sebagai
identitas bangsa agar tetap dikenal dan tetap ada diantara masyarakat Indonesia. Dengan
bangsa yang memiliki sejarah yang sangat panjang, sehingga bangsa Indonesia memiliki
kehidupan yang sangat beraneka dengan kebudayaan di dalamnya terdapat berbagai
kebudayaan, seperti: budaya Jawa, Sunda, Madura, Minang, Batak, Makasar, Bugis, Toraja,
Manggarai, Sikka, Sumba, Bali, Sasak dan budaya lain-lain yang hidup dengan saling
berdampingan dan saling melengkapi satu sama lain.
1.3 Tujuan
Berdasarkan pada latar belakang yang telah dijelaskan maka dapat dibuat rumusan
masalah sebagai berikut:
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
bukan untuk yang lainnya. Prinsip berpakaian orang Aceh dengan berbagai
tujuan, keadaan, dan fungsinya ditanamkan melaui memori kolektif
masyarakat, misalnya dengan ungkapan:
7
Dalam masyarakat Aceh ada kebiasaan orang yang bernazar kapada
Allah mengenai sesuatu yang diharapkan bahwa ia akan memberikan dua hasta
kain putih (dua haih ija puteh) atau lebih untuk membalut nisan pada kuburan
raja, pemimpin, atau ulama yang dianggap keramat kalau harapannya tercapai.
Di samping itu, ada kebiasaan membungkus manuskrip-manuskrip (terutama
manuskrip Al-Quran) dengan kain putih dan kemudian secara berkala
manuskrip-manuskrip tersebut diasap-asapkan (Aceh: hanggang) dengan asap
kemeyan secara berkala, yang dijalankan dengan penuh takzim oleh para
pewarisnya secara turun temurun yang barangkali juga tidak mengerti apa
tujuannya.
Kedua hal tersebut terasa berbau khurafat dan tidak sesuai dengan ajaran
Islam sehingga sering mendapat tantangan dari pemuka-pemuka agama karena
pekerjaan tersebut dianggap syirik. Kalau dilihat dari perlakuannya memang
kedua hal tersebut sepertinya pekerjaan syirik, tetapi di balik semua itu
sesungguhnya terkandung anjuran konservasi artefak-artefak (batu nisan)
penting bagi bukti sejarah dan manuskrip-manuskrip yang berisi berbagai nilai
ruhani, ilmu pengetahuan, dan kearifan yang bernilai up to date bagi kehidupan
dunia dan akhirat dalam rangka mempertahankan keberadaannya.
Batu-batu nisan lama yang dibungkus dengan kain putih sepanjang
umurnya ternyata tidak pernah berjamur, keropos, atau rusak karena pengaruh
cuaca. Demikian juga manuskrip-manuskrip yang dibungkus kain putih dan
secara berkala dihanggang dengan asap kemeyan secara teratur ternyata dapat
melintasi masa berabad-abad, lebih tahan dari kerusakan karena binatang, jamur,
dan cuaca, dan lebih panjang umurnya daripada manuskrip-manuskrip yang
diawetkan dengan bahan-bahan lain atau disimpan begitu saja dan diabaikan.
Konservasi batu nisan dan manuskrip dengan bungkusan kain putih, atau
konservasi manuskrip dengan menghanggangnya dengan asap kemeyan tentu
akan terputus apabila pewaris dari keturunan langsung pemiliknya sudah tidak
ada. Karena itu, agar terjaminnya upaya konservasi perlu pelibatan masyarakat,
dan untuk pelibatan masyarakat dibentuklah wacana umum dengan berbagai
ekspresi, seperti bernazar, atau mengadakan kenduri syukuran yang disertai
8
pembacaan tahlil, doa, dan salawat kepada Rasulullah SAW pada kuburan
orang-orang yang menjadi ikutan masyarakat, yang kemudian menjadi tradisi
yang berefek positif bagi konsevasi artefak-artefak penting bagi sejarah
masyarakat pendukungnya.
Dampak positif dari kedua tradisi konservasi artefak tersebut di atas
dapat ditemukan pada beberapa makam kono yang batu nisannya berbungkus
kain putih atau jiratnya diberi kelambu, seperti kuburan Poteu Meureuhom Daya
(pada batu nisan kuburanya terbaca “As-Suthanu ‘s-Salathin ‘Alau ‘d-Din
Ri’ayat Syah ibnu ‘s-Sulthan ‘Inayat Syah ibnu Abdi ‘l-Lahi ‘l-Maliki ‘l-
Mubin”) di Lamno yang berumur 507 tahun, makam Teungku Syiyah Kuala atau
Syekh Abdurrauf bin Ali Al-Jawy Al-Fansury As-Sinkily (pada batu badan
jiratnya masih terbaca “Al-Waliyyul Mulki Al-Haj Asy-Syeikh Abdurrauf bin
Ali”) di Kuala Aceh yang saat ini berumur 322 tahun, makam Teungku di
Anyong (Sayid Abubakar bin Husein Bil-Faqih) di Gampong Jawa, dan lain-lain
di mana nisannya seakan baru saja selesai dibuat, tanpa cacat, dan manuskrip-
manuskrip dengan kondisi “prima” yang terkumpul di Museum Aceh dari para
pewaris yang mengurusnya dengan cara tersebut di atas.
Kearifan lokal adalah kebijakan adat suatu tempat yang terbentuk dari
kristalisasi kebiasaan baik dan bernilai luhur bagi kemaslahatan masyarakat.
Kearifan lokal diwariskan baik melalui tradisi lisan, seperti pepatah, hadih maja,
pribahasa, ungkapan, dan cerita rakyat, maupun melalui tradisi tulis, seperti
manuskrip dan benda-benda pakai atau etnografika.
Bagi masyarakat Aceh yang menganut Agama Islam, agama, budaya, dan
kearifan lokalnya adalah satu, seperti zat dan sifat, sebagaimana terungkap
dalam semboyan Adat ngon hukom lagee zat ngon sifeuet, tidak dapat dipisah-
pisahkan, dan berlaku bolak balik. Kearifan lokal masyarakat Aceh berazaskan
Al-Quran, hadits, ijmak dan qiyas. Karena itu, keberadaan kearifan lokal
masyarakat Aceh sejalan dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai dan ajaran
Islam. Sebaliknya, kalau terasa tidak sesuai, maka tentulah ia sudah
mendapatkan legitimasi para ulama yang berakar pada penafsiran keempat
sumber hukum Islam tersebut di atas.
9
Kearifan lokal masyarakat Aceh mencakup segala aspek kehidupannya,
seperti aspek budaya, politik dan pemerintahan, ekonomi dan mata pencaharian,
sosial dan kemasyarakatan, ibadah dan muamalah, pendidikan, konservasi alam dan
lingkungan, dan lain-lain. Dari aspek budaya ada kearifan lokal yang berkaitan
dengan proteksi dan penghormatan terhadap perempuan yang diekspresikan dalam
bentuk memelihara aurat perempuan sejak usia dini (balita) berupa pemakaian
perhiasan Cupeng yang berfungsi ganda dan dimaksukan juga sebagai penutup alat
genitalnya ketika ia tidak berpakaian. Sementara untuk perempuan remaja dan
dewasa melengkapi pekaiannya dengan kancing baju emas Boh Dokma yang
sesungguhnya juga berfungsi ganda sebagai senjata kejut guna menjaga
kehormatannya dari gangguan lelaki jalang. Demikian juga guna mengangkat
martabat perempuan, para isteri menjaga daya tarik dan efek erotis bagi suaminya di
kamar tidur dengan memakai perhiasan tali pinggang yang melekat pada badannya
dengan prinsip kecantikan hanya untuk suami. Ketiga hal tersebut di atas erat
kaitannya dengan prinsip berpakaian orang Aceh, bahwa menutup aurat merupakan
keharusan walau terpaksa dengan seutas benang sekalipun, berpakaian harus sesuai
tempat, suasana, dan fungsinya, dan bagi isteri kecantikan yang utama haruslah
dipersembahkan kepada suaminya. Penghormatan kepada perempuan tidak hanya
diekspresikan di dunia, tetapi juga sampai ke kuburannya, seperti tercermin pada
makam putri-putri Pasai yang berpuasara pualam indah, berbalik dari pusara para raja
yang bernisan batu-batu biasa.
10
pentingnya pelestarian artefak-artefak penting bukti sejarah yang harus menjadi
tanggung jawab bersama. Efek positif dari kearifan lokal ini terbukti hasilnya, di
mana nisan-nisan di Lamno, Syiyah Kuala, dan Gampong Jawa yang dibungkus kain
putih bisa bertahan lintas zaman tanpa kerusakan, dan manuskrip-manuskrip yang
berisi nilai ruhani bangsa dan berbagai ilmu pengetahuan dapat terpelihara secara
baik dan keberadaannya bertahan hingga saat ini.(Drs. Nurdin AR, M.Hum, Majelish
adat Aceh)
1. Rumoh Aceh
11
menikah) gampong adat dari kepunahan
.
Aturan adat menanam Menanam pohon sesuai Menanam pohon dan tidak
pohon untuk tiang rumah dengan banyaknya jumlah menebang pohon di hutan
tradisional Aceh (jika satu ruang rumah Aceh yang sehingga ekosisitem hutan
keluarga dikaruniai anak akan dibangun saat si tetap lestari.
perempuan) -anak menikah. Umumnya
Masyarakatmenanam 16
hingga 24 pohon
Pada table menjelaskan kearifan lokal rumah tradisional Aceh pada upacara
adat rumah tradisional Aceh ditemukan nilai-nilai kearifan lokal terdapat pada
upacara sebelum mendirikan bangunan dan saat mendirikan bangunan rumah.
Pengetahuan tradisional yang dimiliki masyarakat telah mengajarkan masyarakat
Aceh beradaptasi dengan alam, dengan tidak merusak ekosistem hutan. Pada table
menunjukan pengetahuan aturan adat pada kearifan lokal membangun rumah
tradisional Aceh. Kekuatan dan keunikan rumah tradisional Aceh telah menjadi
kekayaan budaya yang perlu dijaga dan dilestarikan. Namun, sangat disayangkan
Rumoh Acehyang dijadikan hunian oleh masyarakat tradisional, saat ini
keberadaanya sendiri sudah tidak diminati lagi oleh masyarakat, perubahan budaya
dan ekonomi masyarakat turut mempengaruhi keberadaan rumoh Aceh. Sehingga
rumoh Acehyang fungsinya sudah mulai tergeser dari hunian menjadi warisan
budaya Aceh.
12
Kearifan yang akan saya ambil adalah kearifan lokal masyarakat
Sumatra Utara. Tradisi unik orang batak beda tipis dengan Orang Toraja, jika
di Toraja jasad yang sudah meninggal dirias disebut Ma nene berbeda dengan
orang batak yang disebut Mangokal Holi, yaitu upacara adat yang ada di
suku batak, tradisi warisan leluhur ini masih dilaksanakan hingga sekarang
oleh masyarakat Batak.Penjelasan dari Mangokal Holi yaitu Mangokal yang
berarti Menggali dan Holi Tulang Belulang / Tengkorak. Jadi tradisi
mangokal holi ialah ritual menggali tulang belulang jasad leluhur yang telah
lama meniggal dan kemudian melalui prosesi upacara adat di pindahkan ke
makam yang lebih besar, makam baru ini biasanya seperti tugu desainnya
identik juga seperti rumah gorga dan bisa di isi lebih dari satu jasad.
https://img.jakpost.net/c/2016/05/15/2016_05_15_4590_1463306617._large.jpg
13
hula-hulana nan i okal(keluarga kandung atau satu marga atau
klan pihak istri yang akan digali).
Tulang na(pihak paman dari anak atau cucu yang ingin melakukan
upacara).Tujuan dari pemanggilan ketiga pihak ini antara lain
untuk memberitahukan atau meminta restu serta mengundang
mereka turut hadir dalam upacara yang akan dilakukan.
2) Martonggo raja (mengumpulkan pihak yang terkait dalam upacara
ini).Dalam acara ini biasanya mengumpulkan semua para penetuah
kampung, marga yang menjalankan adat, teman sekampung, serta semua
yang terkait hubungan dengan acara adat yang akandilakukan,begitu juga
pihak yang akan melakukan upacara adatuntuk turut serta membantu
pelaksanaan upacara Mangokal Holi.
3) Pihak dari anak atau semua keturunan dari semua orang tua yang akan
digali makamnya dan semua para pihak undangan yang turut membantu
dalam pembagian tugas yang dilakukan pada saat martonggo raja, pada
saat jam yang sudah ditentukan pada malam martonggo rajasatu dari pihak
paman haruslah berdiri sambil membacakan doa guna keselamatan dan
penggalian agar cepat bisa menemukan tulang-belulang yang akan digali.
4) Proses Penggalian Makam, yaitu:
Pemuka agama yang akan membuka acara dipemakaman dan
pemuka agama berperan untuk memanjatkan doa dan melantunkan
puji-pujian terhadap Tuhan yang Maha Esa guna melancarkan
acara penggalian dan setelah acara kebaktian singkat ini
dilakukan,maka penetuah atau pemuka agama yang layak pertama
kali mencangkul makam yang akan digali setelah itu dilanjutkan
oleh:
Bona ni ari (paman dari pihak mendiang yang akan digali) sebagi
pembuka dalam penggalian tersebut setelah pihak pemuka agama.
Setelah itu berdirilah pihak paman dan berbicara seperti yang
diatas setelah itu ikut mencangkul sebanyak 3 kali.
14
Setelah itu pihak mertua ikut berdiri dan ikut mencangkul
sebanyak 3 kali.
Setelah pihak mertua barulah pihak anaksatu perut atau anak
kandung serta anak kesayangan atau anak yang terakhir,
selanjutnya mencangkul tanah makam itu sebanyak 3 kali.
Setelah itu, pihak anak menyampaikan kepada pihak
boru(keturunan perempuan atau suami dari keturunan perempuan)
agar dilanjutkan sampai tulang belulang ditemukan.
Setelah ditemukan tulang belulangnya, maka diberitahukan
kepadapihakboru hasuhutan(suami dari anak perempuan kandung,
bukan karena marga) untukmengangkat tulang-
belulangnya.h.Dimakam sudah bersedia pihak dari keturunan laki-
laki yang siap menerima tulang-belulang, yang diangkat dari
bawah dandilakukan oleh pihak suami dari saudara
perempuannya,(untuk menjaga agar 5tulang tetap bersih dan dalam
keadaan baik harus disiapkan air yangbercampur karbol).
Setelah selesai dibersihkan,maka pihak keluarga anak tertuadari
keturunan yang digali tulang-belulangnya,mengumumkan bahwa
penggalian telah selesai dan acara dimakam telah selesai.
Setelah semua selesai, pihakanak menyampaikan sepatah, dua
patah kata kepada pihak pamanuntukmemberikan ulos timpus(kain
khas Batak yang melapisi atau membungkus tulang-
belulang).(T.M. Sihombing 1989 : 241-242)
5) Upacara Serah Terima TulangSetelah selesai acara baik penggalian,
pembersihan tulang-belulang maupun acara pembungkusan yangdilakukan
oleh pihak paman,maka dilanjutkan dengan acara serah terima tulang-
belulang dari pihak paman kepada pihak keturunan dan dilanjutkan
dengan ucapan terimakasih serta ajakan ke acaramemasukan ke dalam
tugu yang telah disiapkan sebagai bentuk penghormatan terhadap pihak
paman dari kakek.
15
6) Upacara Mangokal Holi Setelah acara di atas, dilanjutkan pada
pengucapan terima kasih serta penghormatan terhadap pihak paman
selakupihak yang paling dihormati pada suku Batak, dilanjutkan pula pada
acara membawa tulang-belulang yang telah dibersihkan dan dibungkus
rapi tadi masuk kedalam peti, kemudiandibawa oleh pihak istri (kalau
masih ada, kalau sudah tiada maka anak perempuan tertua sebagai
pengganti), dengan menaruh di atas kepala.Proses memberikan kata-kata
terakhir ditujukan pada semua keturunan yang hadir dan berlanjut
memasukan tulang belulang ke dalam tugu yang telah disediakan.
Penetuahgereja datang untuk memberikan doa dan berkat, namun ketika
berhalangan hadir dapat digantikan oleh pendeta yang telah diatur oleh
pihak gereja (biasanya pendeta dari gereja Batak atau gereja
kesukuanlebih dikenal dengan HKBP)
a) Fungsi dan makna upacara mangokal holi
Rangkaian upacara mangokal holi merupakan bentuk ekspresi
penghormatan masyarakat Batak Toba terhadap leluhur.Selain itu,
upacara ini bertujuan untuk mengeratkan tali kekerabatandi antara
keluarga atau marga.Tali kekerabatan yang begitu kuat dan erat
tersebut termanifestasikan melalui horja. Tidak kalah pentingnya di
dalam horjaterdapat holongyang memiliki makna kasih sayang.
Hal ini tercermin ketika seluruh keluarga menari tor-tor bersama
serta saling memberikan salam dan memegang pipi.
Upacara mangokal holipun menjadi wadah untuk membahagiakan
orang tua serta tempat berkumpul semua generasi marga, sehingga
memungkinkan untuk saling mengenal satu sama lain,
mengenalkan silsilah keluarga besar, sarana edukasi adat Batak
dan sebagainya.Selain sebagai suatu kewajiban, ternyata upacara
ini pula sebagai sarana untuk mengangkat martabat sebuah marga.
Melalui upacarainilah hasangpondapat tercapai dan sebagai bukti
sah bahwa seseorang telah menjadi suku Batak yang
16
mendatangkan kemuliaan bagi marganya.(Malau Gens G. 2000 :
289)
Selain sebagai ungkapan rasa syukur terhadap seluruh hasil laut yang
telah diperoleh, Kenduri Laut biasanya juga dilakukan dengan niat agar hasil
laut yang didapatkan pada periode selanjutnya tetap berlimpah dan seluruh
nelayan tetap dilindungi ketika melakukan aktivitasnya di laut.
17
kerbau yang disembelih tadi akan dilarung sampai ke tengah laut. Menurut
legenda yang diceritakan secara turun menurun, pelarungan kepala kerbau itu
diniatkan agar laut tidak akan mencari korban manusia lagi, sehingga
kegiatan nelayan di laut akan aman dan dapat kembali ke rumah dengan
selamat.
Salah satu nilai budaya yang menjadi kebanggaan orang Batak Toba
yaitu sistem hubungan sosial dalihan na tolu yang terwujud dalam hubungan
kekerabatan yang sangat kental berdasarkan keturunan darah (genealogis) dan
perkawinan yang berlaku secara turun-temurun hingga sekarang ini. Sebagai
sistem budaya, dalihan natolu atau sering juga diterjemahkan dengan istilah
tungku nan tiga–pengertian tungku nan tiga dalam budaya Batak ini tentu
akan berbeda pengertian dan maknanya dengan nilai budaya lain yang ada di
Sumatera, seperti tungku tiga sejarangan, benang tiga sepilin, payung tiga
sekaki, dan lain sebagainya—berfungsi sebagai pedoman yang mengatur,
mengendalikan dan memberi arah kepada tata laku (perilaku) dan perbuatan
(sikap atau pola tindak) orang Batak Toba. Oleh karena itu dalihan na tolu
merupakan satu sistem budaya yang bagi orang Batak Toba nilai yang
dikandungnya dijadikan tatanan hidup dan sekaligus menjadi sumber
motivasi berperilaku. Orang Batak Toba menghayati dalihan na tolu sebagai
satu sistem nilai budaya yang memberi pedoman bagi orientasi, persepsi, dan
definisi terhadap kenyataan atau realitas (Harahap dan Siahaan, 1987,
Armaidy Armawi, Kearifan Lokal Batak Toba Dalihan Na Tolu...159)
Bagi orang Batak Toba salah satu ciri khas dalihan na toluyang dinilai
tinggi adalah sistem kekerabatan dalam konteks keluarga luas (umbilineal).
Dalam konteks ini dalihan na toluberperan mengatur hubungan sosial di
antara tiga kerabat secara fungsional, yaitu kerabat semarga (dongan tubu),
kerabat penerima isteri atau yang disebut dengan istilah boru, dan kerabat
pemberi isteri atau yang dikenal dengan istilah hula-hula. Perlu kita ketahui
bahwa marga dalam sistem kekerabatan orang Batak Toba,demikian juga
18
orang Minang, berdasarkan keturunan sedarah (genealogis) berbeda dengan
pengertian fam yang ada di daerah lain. Oleh karena itu, perkawinan semarga
bagi orang Batak sangat dilarang meskipun daerah asal mereka berbeda.
Apabila terjadi perkawinan orang Batak dengan orang suku lain mereka akan
melakukan upacara adat untuk orang tersebut agar dapat diberikan marga
tertentu dari salah satu marga orangtuanya.
Secara operasional hubungan sosial yang dibangun dalam sistem
budaya dalihan na tolu dilakukan dalam bentuk perilaku hati-hati kepada
kerabat semarga atau disebut manat mardongan tubu, perilaku membujuk
kepada pihak penerima isteri atau yang dikenal dengan istilah elek marboru,
dan berperilaku bersembah sujud kepada pemberi isteri atau dikatakan juga
sebagai somba marhula-hula. Oleh karena itu, bagi orang Batak Toba
pengejawantahan hubungan sosial yang ada dalam budaya dalihan na tolu
menuntut adanya kewajiban individu untuk bersifat dan berperilaku pemurah
kepada orang yang memiliki hubungan kerabat, yaitu dongan tubu, boru, dan
hula-hula.Orang Batak Toba mempunyai tingkat kepatuhan dan ketaatan
dalam hubungan sosial sebagaimana yang diatur dalam struktur budaya
dalihan na tolu sehingga dipersepsi sebagai salah satu cara atau metode dalam
pencapaian kehidupan. Nilai budaya ini dijadikan sebagai pandangan dan
sekaligus tujuan hidup yang dapat dirumuskan sebagai satu rangkaian tiga
kata, yaitu kekayaan (hamoraon), banyak keturunan atau banyak anak
(hagabeon), dan kehormatan (hasangapon). Rangkaian ketiga kata tersebut
diungkapkan dalam petuah adat yang berbunyi molo naeng ho mamora, elek
ma ho marboru, molo naeng ho gabe, somba maho marhula-hula, molo naeng
ho sangap manta ma ho mardongan tubu. Artinya, jika engkau ingin kaya
berperilakulah membujuk kepada pihak penerima isteri atau boru, apabila
engkau ingin mendapatkan keturunan atau anak bersembah sujudlah kepada
kerabat pemberi isteri, dan jika engkau ingin dihormati berhati-hatilah kepada
kerabat semarga. (Jurnal Filsafat Vol.18, Nomor 2, Agustus 2008160)
Berdasarkan petuah tersebut orang Batak Toba dalam sistem budaya
dalihan na tolu dituntut berperilaku tolong-menolong atau peduli terhadap
19
kerabat pada setiap kesempatan dan perilaku tersebut bagi orang Batak Toba
dipersepsi sebagai nilai yang tinggi dan merupakan pula satu perbuatan yang
mulia serta luhur (Pasaribu, 2004). Dalam kehidupan sehari-hari, secara
umum orang Batak Toba mempunyai komitmen yang tinggi terhadap nilai
budaya dalihan na tolu. Hal ini dapat kita lihat bagaimana mereka secara
konsisten mematuhi nilai budaya yang diwarisi oleh leluhurnya tersebut,
seperti yang terungkap dalam petatah-petitih berikut ini omputta na di jolo
martungkot siala gundi, adat na pinukka ni parjolo ingkon ihuthonon ni
parpudi. Petuah yang terungkap dalam petatah-petitih ini mempunyai makna
yang dalam sekali, yaitu semua tata aturan yang telah ditetapkan oleh leluhur
mereka harus dituruti dan ditaati serta dilaksanakan secara turun-temurun.
Oleh karena itu, seluruh tatanan nilai adat dan budaya dalihan na tolu oleh
orang Batak Toba dianggap suci. Mereka juga beranggapan bahwa budaya ini
mempunyai nilai sakralitas dalam membangun hubungan sosial bagi
kehidupan. Hal ini terungkap dalam petuah adat yang mereka dapat dari
leluhurnya sebagai berikut martagan sipiliton, maransimun so bolaon, adat ni
ama dohot ompu tokka siuban. Nilai yang terkandung dalam petuah adat ini
mengisyaratkan adanya satu kepatuhan dan ketaatan kepada leluhur bahwa
adat yang telah diwarisi oleh leluhur sesunguhnya tidak dapat diubah.
20
Tobing
Galingging
Sidauruk
Simanihuruk
Situmeang
5. Pemakaman yang megah bentuk Tugu
Ukuran pemakaman yang besar dan megah banyak di temui di tanah batak
Sumatera Utara, jadi kesan horor terasa hilang dan ini adalah pemakaman yang
sangat khas, selain untuk menghormati leluhur bisa jadi perhatian tourist juga.
Kearifan lokal sumatera utara – pemakaman unik mewah di samosir oleh suku batak (img
via caingram.info)
Wisata berbasis kearifan lokal, tradisi dan budayanya tidak hilang tapi bisa
sebagai destinasi berkunjung sekedar mengetahui sejarah budaya di suku batak. Bisa
kita perhatikan gambar ini mewah kali. Bangunan seperti ini banyak di tanah batak
sana tepatnya Pulau Samosir dan Desa yang ada disepanjang pesisir Danau Toba.
21
2.1.3 Kearifan lokal Sumatra Barat
Sumatera Barat memiliki beberapa kearifan lokal yaitu sebagai berikut.
1. Sambah Silek sebagai Cermin Filosofi Adat Basandi Syarak-Syarak
BasandiKitabullah (ABS-SBK)
Seperti halnya kebudayaan dalam suku bangsa lain di berbagai daerah,
kebudayaan di Minangkabau juga terbentuk dari sistem religi, pengetahuan,
sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, mata pencaharian, serta sistem
teknologi peralatan. Hal mendasar dalam ketujuh unsur tersebut dalam
budaya Minangkabau adalah sistem religi. Sistem religi menjadi penopang
sistem pengetahuan dan unsur lain. Kekerabatan Matrilineal yang diterapkan
di Minangkabau juga didasari oleh sistem religi Islam. Oleh karena itu, adat
Minangkabau berjalan dengan pedoman hidup adat basandi syarak-syarak
basandi kitabullah (ABS-SBK). Pengejawantahan nilai-nilai dalam ABS-SBK
tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Syarak yang berarti hukum,
khususnya hukum adat, menjadi landasan yang berjalan beririmgan dengan
hukum Islam (kitabullah). Itu sebabnya setiap aktivitas dalam sosial
kemasyarakatan dan berkesenian di Minangkabau senantiasa berhubungan
dengan penerapan ajaran Islam dan ajaran adat. Selaras dengan hal itu, gerak
randai, pada bagian tertentu adalah cerminan dari sistem religi Islam
(kitabullah) yang dianut oleh masyarakat Minangkabau. Pertunjukan randai di
Minangkabau selalu dibuka dengan sambah silek. Sambah silek adalah gerak
awal untuk sebuah penghormatan yang dilakukan oleh anak-anak randai
(sebutan untuk pemain randai) untuk Tuhan dan kepada penonton. Sambah
silek dilakukan sebelum anak randai membentuk gerak galombang dalam
legaran. Sambah silek yang dipertunjukkan oleh anak randai tergantung pada
aliran silat yang dianut oleh kelompok randai tersebut. Sebagai contoh, gerak
silek kumango (silat Kumango). Gerak silek Kumango dalam sambah silek
berasal dari aliran silek Kumango. Silek kumango adalah salah satu aliran
22
ilmu silat yang berasal dari Kampung Kumango, Kabupaten Tanah Datar.
Aliran ini adalah aliran silat tua yang tumbuh dan berkembang di lingkungan
surau (mushalla), dikembangkan oleh Syekh Abdurahman Al Khalidi yang
dikenal sebagai Syekh Kumango (Saputra, 2011: 75).
23
hidup dalam tuntunan adat basandi syarak-syarak basandi kitabullah (ABS-
SBK).
24
Ada sesuatu yang hendak disampaikan
25
berkembang di Sumatera Barat tetap menggunakan bahasa Minangkabau.
Berdasarkan fakta tersebut dapat dianalisis bahwa terdapat nilai kearifan lokal
yang diajarkan dalam setiap pertunjukan randai. Nilai kearifan tersebut adalah
agar masyarakat Minangkabau senantiasa menjaga kelestarian bahasa daerah
sendiri, menggunakan untuk komunikasi antarsesama orang suku
Minangkabau, serta menyebarluaskannya untuk berbagai kepentingan
bersama.
4. Hidup Alam Takambang Jadi Guru sebagai Pedoman Hidup
Falsafah alam Minangkabau menempatkan manusia sebagai salah satu
unsur yang statusnya sama dengan unsur lainnya, seperti tanah, rumah, suku,
dan nagari. Persamaan status tersebut dilihat dari keperluan budi daya
manusia itu sendiri. Setiap manusia secara bersama-sama atau sendiri-sendiri
memerlukan tamah, rumah, suku, dan nagari sebagaimana mereka
memerlukan manusia atau orang lain untuk kepentingan lahir dan batinnya
(Navis, 2015: 59).
Filosofi inilah yang disebut dengan alam takambang jadi guru. Makna
dari falsafah ini adalah kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari alam
dan segala unsurnya. Kehidupan manusia selalu berpasang-pasangan, seperti
halnya unsur-unsur di alam semesta yang selalu berpasangan; siang-malam,
laut-udara, langit-bumi, air-api, kehidupan-kematian, dan sebagainya. Sebagai
bagian dari ekosistem alam, manusia dituntut mampu bertahan dalam
kehidupan dan menjaga alam. Manusia juga dituntut cakap dalam membaca
dan mempelajari semua tanda-tanda alam. Demikian masyarakat
Minangkabau memaknai alam dan kehidupan. Dalam pertunjukan randai
Minangkabau juga termuat falsafah alam takambang jadi guru tersebut.
Berbagai gerak silat dan galombang yang diperagakan oleh anak randai
merupakan bagian dari hasil olahan guru tuo silek dalam kelompok randai
setelah mempelajari berbagai fenomena kejadian alam beserta aktivitas
makhluk hidup lainnya. Hal ini menguatkan alasan munculnya berbagai aliran
ilmu silat yang menjadi dasar dalam gerak galombang randai. Seperti halnya
26
gerak silat aliran Kumango, salah satu gerak silat yang digunakan dalam
randai, sedikit banyaknya terinspirasi dari alam.
28
Apabila di masa awal pertumbuhannya teks kaba dalam randai tidak
dituliskan, pada masa selanjutnya naskah pertunjukan randai yang berbentuk
kaba telah dituliskan. Meskipun demikian, patut dipahami bahwa secara tidak
langsung unsur kaba dalam randai menjadi bagian dari kearifan lokal
masyarakat Minangkabau yang mencerminkan identitas setempat
29
Colok terbuat dari bambu atau buluh, namanya waktu itu disebut dengan
obor.Misalnya masyarakat ingin membayar fitrah, obor ini juga saya bawa
untuk penerangan. Sebagian warga yang mampu, memasang obor lebih dari
10 di perkarangan rumah masing-masing hingga membuat 27 Ramadan jadi
terang.Kemajuan tradisi colok saat ini sudah sangat luar biasa. Apalagi,
Pemerintah Kabupaten Bengkalis setiap tahunnya menggelar festival colok
agar pelestarian lampu tetap terjaga.
2. Kenduri Air
Kenduri air merupakan agenda tahunan yang digelar setiap tahun
menyongsong peringatan HARI AIR DUNIA (WORLD WATER DAY)
setiap tanggal 22 Maret. Kenduri Air merupakan wujud rasa syukur atas
nikmat Air yang telah Allah, Tuhan Yang Maha Esa berikan kepada kita
semua. Kenduri Air adalah Kearifan lokal masyarakat Kepri dalam
memperlakukan.
3. Tradisi Batobo Mancokau
Tradi ini merupakan suatu tradisi panen ikan di Lubuk Larangan.
Tradisi ini merupakan saat-saat yang sangat ditunggu warga di sana. Tidak
jarang pula warga luar daerah juga hadir untuk melihat arifnya warga di sana
melestarikan sungainya. Tradisi Batobo Mancokau akan diselenggarakan
berdasarkan kesepakatan ninik mamak dengan memperhatikan kondisi cuaca,
yakni pada saat memasuki musim kemarau.
Perlombaan dayung di sungai menggunakan perahu panjang yang
terbuat dari kayu pohon yang ada di Riau dinamakan Pacu Jalur. Panjang
perahu pacu jalur bisa mencapai 25 hingga 40 meter dan lebar bagian tengah
kir-kira 1,3 m sampai dengan 1,5 m, dalam bahasa penduduk setempat, kata
Jalur memiliki arti Perahu. Perlombaan pacu jalurSetiap tahunnya diadakan
sekitar tanggal 23-26 Agustus, diadakan Festival Pacu Jalur sebagai sebuah
acara budaya masyarakat tradisional Kabupaten Kuantan Singingi,Riau
bertepatan dengan perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.
4. Koba
30
Koba adalah tradisi lisan jenis cerita yang disampaikan dengan gaya
dinyanyikan. Pelaku Koba disebut sebagai “tukang koba”. Koba dapat
ditampilkan baik oleh laki-laki atau perempuan. Koba berkembang di negeri-
negeri di sepanjang pesisir dan pedalaman Sungai Rokan atau pada jaman
sekarang secara administratif menjadi Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten
Rokan Hilir yang memakai bahasa Melayu logat Rokan, dan di Mandau yang
sekarang secara administratif menjadi Kabupaten Bengkalis yang memakai
bahasa Melayu logat Sakai.
5. Melestarian Ikan dengan Lesung Batu
Aur Kuning, Kec. Kampar Kiri Hulu, Kampar, Riau. Masyarakat Adat
Kenegerian Aur Kuning memiliki kearifan lokal yang menjadi adat dan
pandandan hidup mereka sehari-hari. Salah satu kearifan lokal mereka yakni
adanya lesung batu.Lesung batu ini berada di Sungai Biawik yang bermuara
di Sungai Subayang. Lesung batu menyimpan cerita dan tradisi turun-
temurun dan masih dijalankan hingga saat ini.
Sebagaimana namanya, lesung tersebut terbuat dari batu. Leluhur
Masyarakat Adat Aur Kuning memahat batu tersebut sedemikian rupa hingga
tercipta suatu lesung. Hebatnya, pahat yang diyakini menjadi alat pembuat
lesung itu masih ada dan disimpan sampai sekarang. Lesung ini diletakkan di
pinggir sungai persis di kaki air terjun setinggi dua meter di Sungai Biawik.
Lesung juga diposisikan mendapat aliran air terjun sehingga otomatis terisi
air. Lokasi ini juga merupakan tempat warga menangkap ikan. Tidak persis
dekat dengan pemukiman. Untuk mencapai lokasi sekitar lesung, warga
memerlukan waktu setengah jam naik “robin” dalam penyebutan setempat
(sampan bermotor) atau jalan kaki satu jam.
Sejak dahulu kala, beragam spesies ikan sudah ada di Sungai Biawik.
Ikan-ikan tersebut terdapat di sepanjang sungai dari hulu hingga hilir. Ikan-
ikan terus berkembang biak. Sebagaimana tinggal di sungai, di tengah arus,
ikan-ikan tentu bergerak hilir mudik. Namun, anak-anak ikan menjadi
persoalan ketika terbawa arus.Saat terbawa arus dan melewati air terjun tadi,
sejak saat itu anak-anak ikan terancam tidak bisa kembali ke hulu. Selain
31
faktor arus sungai yang deras, paling sulit dielakkan adalah penangkap ikan.
Menjadi soal adalah bagaimana mengendalikan orang yang ingin berburu
ikan.
Untuk itulah, leluhur Masyarakat Adat Aur Kuning mengambil
inisiatif untuk menyelamatkan anak-anak ikan yang melewati air terjun. Di
sinilah mereka memikirkan lesung sebagai jalan keluarnya. Saat lesung sudah
dipenuhi anakan ikan, Masyarakat Adat Aur Kuning membawa ikan-ikan
tersebut kembali ke hulu. Ini dilakukan seturut musim ikan bertelur yakni
sekali setahun.
Penyelamatan ikan ini berangkat dari pertimbangan leluhur yang tidak
hanya memikirkan kepentingannya sendiri, tapi juga memikirkan bagaimana
anak cucunya kelak bisa menikmati ikan sungai untuk keberlanjutan hidup
keturunannya. Pemindahan anak-anak ikan ke hulu sungai juga bermakna
agar kehidupan masyrakat bisa bertahan dan juga membantu kesediaan
makanan meraka dalam kehidupan sehari-hari.
6. Sastra Masyarakat Riau
Masyarakat Melayu sarat dengan nilai-nilai kearifan budaya dalam
memelihara lingkungan. Ini dapat di lihat dari ungkapan-ungkapan mantera,
petuah, bekoba, syair, dan petatah-petitih yang terdapat dalam tradisi
kehidupan mereka sehari-hari. Kearifan pemeliharaan lingkungan
berkelanjutan juga dapat dilihat dalam sistem sosial ekonomi mereka
misalnya dalam pemeliharaan hutan tanah ulayat berladang, menangkap ikan,
mengambil madu, pemeliharaan sungai, pemeliharaan hutan, ekosisteim air,
dan darat.Dalam budaya Melayu terjadi simbiosisme antara nilai-nilai adat
dan agama dalam pelestarian lingkungan. Dalam masyarakat Melayu sangat
sarat dengan ungkapan ungkapan pemeliharaan hutan, sungai. Flora, fauna,
dan keseimbangan alam. Namun, nilai-nilai kearifan ini banyak terabaikan,
baik oleh internal orang Melayu maupun faktor struktural kebijakan yang
kurang memperhatikan penerapan nilai nilai kearifan lingkungan hidup dalam
menyelamakan planet yang kita huni ini.
32
2.1.5 Kearifan Lokal Jambi
Jambi memiliki beberapa kearifan lokal yaitu sebagai berikut.
1. Seloko
Seloko merupakan sastra lisan masyarakat Jambi yang memiliki nilai-
nilai sosial. Nilai-nilai yang ideal kemudian dijunjung tinggi menjadi sebuah
norma yang pada akhirnya menjadi sebuah aturan yang mengatur tingkah laku
masyarakatnya. Pada hakikatnya seloko menjadi cara hidup tertentu yang
menjadi sebuah identitas masyarakat melayu Jambi dan kemudian menjadi
sebuah kearifan lokal. Idealnya, seloko harus terus hidup dan berkembang di
tengah masyarakat Kota Jambi yang semakin majemuk. Seloko harus
dipahami sebagai warisan budaya yang berorientasi ke depan. Pelestarian
seloko harus ditujukan untuk menghadapi masa depan masyarakat dengan
segala problem dan tantangannya, sehingga seloko sebagai kearifan lokal
mampu menjadi seperti kegiatan spiritual yang memberikan pedoman manusia
dalam bersikap dan bertindak, baik dalam konteks sosial atau kehidupan
sehari-hari maupun dalam menentukan peradaban manusia yang lebih jauh.
2. Sistem Perladangan Suku Anak Dalam
Perladangan yang dilakukan Suku Anak Dalam adalah mengolah
hutan. Di ladang tersebut, Suku Anak Dalam menanam ubi kayu, ubi jalar,
padi ladang, pisang, tebu, rambutan, jengkol, petai, duku, durian, pepaya,
yang semuanya ini terutama tidak untuk dikonsumsi sendiri, tetapi hasilnya
dijual kepasar. Dalam hal pengelolaan sumber daya hutan, Suku Anak Dalam
mengenal wilayah peruntukanseperti :
a) Mancah, merupakan kegiatan awal yang dilakukan Suku Anak
Dalam dalam melakukan perladangan. Tanaman perdu, belukar
dan akar-akar dari tanaman lain dan ditebas Suku Anak Dalam
dengan menggunakan parang.
33
b) Matiko ukor, merupakan kegiatan mematikan akar atau
pengeringan, serta tanaman-tanaman perdu dan belukar. Setelah
melakukan mancah, Suku Anak Dalam membiarkan akar-akar,
tanaman perdu dan belukar yang telah ditebas selama satu bulan di
lahan yang akan digunakan untuk berladang.
34
Pada aktivitas ini, Suku Anak Dalam juga menanami jenis tanaman
lain di dekat tanaman pokok.
g) Perawatan dan penyiangan, dua bulan setelah dilakukan menugal,
Suku Anak Dalam membersihkan tanaman-tanaman pengganggu.
Penyiangan tidak diperkenankan menggunakan parang atau
cangkul. h.Manen, merupakan aktivitas panen. Pada saat memanen,
Suku Anak Dalam tidak menggunakan parang atau cangkul.
Aktivitas ini diikuti dengan makan bersama dan ritual yang
dipimpin oleh tumenggung.
3. Lubuk Larangan
Lubuk Larangan adalah salah satu bentuk kearifan lokal yang
diwariskan oleh nenek moyang dalam bidang perairan (sungai) yang ada
dalam masyarakat Sumatera umumnya dan Tabir khususnya. Hal ini
dilakukan dengan cara menetapkan zona-zona tertentu di sepanjang aliran
sungai yang tidak boleh ada masyarakat yang melakukan aktivitas apapun di
tempat itu. Segala sumberdaya (resources) yang ada dalam zona-zona
tersebut, seperti ikan, dilarang untuk dimanfaatkan oleh masyarakat kecuali
pada waktu-waktu tertentu yang telah ditetapkan.
Dalam konteks masyarakat Tabir Ilir, Lubuk Larangan diterapkan pada
bagian-bagian sungai yang dianggap memiliki sumberdaya ikan yang
melimpah, yaitu bagian sungai yang memiliki kedalaman lebih dibandingkan
yang lain atau dalam bahasa lokal dikenal dengan ‘lubuk’. Untuk menjaga
agar kearifan lokal ini tetap eksis di tengah masyarakat, maka diciptakanlah
beragam mitos yang bertujuan untuk menghindarkan masyarakat dari zona-
zona tersebut. Mitos yang biasanya mengemuka adalah bagi yang menangkap
ikan di tempat tersebut akan terserang gila, dan bagi yang memakannya akan
sakit perut serta ada sejenis makhluk halus yang selalu menjaganya.
35
Sumberdaya yang ada di Lubuk Larangan hanya dapat dimanfaatkan
masyarakat pada waktu-waktu tertentu yang ditetapkan. Biasanya waktu
‘memanen’ sumberdaya Lubuk Larangan adalah pada perayaan Hari Raya
Idul Fitri, dimana masyarakat bersama-sama mengambil ikan yang ada di
dalamnya dan membagi-bagikannya. Penetapan zona-zona Lubuk Larangan
terbukti mampu menghindarkan sungai dari ancaman degradasi sebagaimana
yang akhir-akhir ini marak dilakukan. Di samping itu, secara ekonomi
masyarakat juga terbantu dengan ‘panenan’ Lubuk Larangan yang dapat
dikonsumsi oleh masyarakat di saat perayaan Lebaran.
4. Kumpul Waris
Kumpul Waris adalah kearifan lokal atau tradisi yang berkaitan
dengan pernikahan yang ada dalam masyarakat Tabir Ilir yang berasal dari
dua kata ‘kumpul’ dan ‘waris’. Kumpul adalah mengumpulkan atau
menghimpun, sedangkan ‘waris’ adalah keluarga atau orang-orang yang
memiliki hubungan kekerabatan. Kumpul Waris dilakukan menjelang
pelaksanaan pernikahan seseorang yang ada di kawasan ini yang dilakukan
dengan cara mengundang keluarga dan orang-orang yang memiliki hubungan
keluarga dengan calon mempelai. Namun demikian, dewasa ini tradisi
Kumpul Waris tidak hanya dilakukan dengan cara mengumpulkan orang-
orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan calon pengantin, tetapi
juga seluruh orang-orang yang tinggal dan ada di desa tersebut. Perubahan ini
terjadi karena penduduk desa tidak lagi hanya terdiri dari orang-orang yang
memiliki hubungan saudara, tetapi seiring dengan perkembangan zaman maka
banyak orang-orang luar yang menetap.
Setelah undangan kumpul, maka dilakukan pemberitahuan mengenai
rencana pernikahan calon mempelai. Dalam acara ini juga dipaparkan
mengenai calon mempelai, latar belakang keluarga, pendidikan dan lain
sebagainya. Selanjutnya, para undangan, terutama yang memiliki hubungan
kekerabatan terdekat, menyampaikan rencana waktu pelaksanaan pernikahan
agar dapat disesuaikan dengan rencana pernikahan lainnya di desa tersebut.
Terakhir, inilah yang menjadi inti tradisi Kumpul Waris, yaitu memberikan
36
bantuan finansial semampunya untuk digunakan keluarga calon pengantin
dalam rangkain pernikahan. Setiap orang dapat memberikan bantuan
keuangan berapa saja, sesuai dengan kemampuan dan keikhlasannya. Di akhir
acara, tuan rumah akan mengumumkan jumlah total sumbangan yang berhasil
dikumpulkan dalam acara Kumpul Waris tersebut.
Tradisi ini cukup menarik untuk dipahami karena merupakan cara atau
metode untuk membantu sebuah keluarga dalam melaksanakan pernikahan
anggota keluarganya. Setiap orang yang sudah berkeluarga di desa, terutama
yang sudah memiliki anak, harus datang ke acara Kumpul Waris sebagai
bentuk solidaritas sesama warga. Di samping itu, tradisi ini juga dilakukan
semacam arisan, yaitu saat ini kita membantu orang lain dan ketika tiba giliran
kita maka orang lain pun akan datang membantu kita, yaitu ketika kita akan
melangsungkan pernikahan anak-anak kita. Tradisi ini dilakukan tanpa
mengenal status sosial seseorang, baik ia seorang yang miskin maupun
seorang kaya sekalipun.
5. Gawal
Gawal adalah kearifan lokal yang ada dalam masyarakat Tabir Ilir
yang berkaitan dengan hubungan remaja atau hubungan asmara. Tradisi
adalah menikahkan dua orang remaja berlainan jenis yang terbukti bertemu di
tempat yang asing, sepi, terpencil, gelap dan tanpa ditemani oleh orang lain
selain mereka berdua. Gawal dilakukan untuk menjaga agar hubungan asmara
(pacaran) yang dilakukan oleh remaja di desa tetap berada dalam koridor
aturan setempat yang berasal dari ajaran agama Islam.
Ketika seseorang mendapati dua sepasang remaja sedang bertemu,
apalagi melakukan sesuatu yang dilarang agama, di tempat yang sepi dan
gelap maka ia akan menangkap keduanya dan mengambil barang-barang milik
keduanya, kemudian dibawa ke rumah Imam Masjid desa sebagai bukti bahwa
keduanya telah di ‘gawal’. Selanjutnya, Imam Masjid akan memberitahukan
keluarga kedua remaja tersebut mengenai peristiwa tersebut dan
mempersiapkan pelaksanaan pernikahan. Sebagian besar peristiwa ‘gawal’
selalu berujung pada pernikahan, meskipun tidak jarang juga ada yang
37
membayar denda, terutama karena tidak direstui oleh keluarga sehingga tidak
sampai pada pernikahan.
6. Batandang
Untuk mengatur hubungan asmara yang terjalin antara dua insan di
Tabir Ilir, maka terdapat sebuah kearifan lokal yang bernama Batandang.
Tradisi ini dalam terminologi lain dikenal dengan ‘apel’ atau ‘ngapel’, yaitu
kunjungan yang dilakukan seorang remaja putra ke rumah remaja putri yang
menjadi pacarnya. Batandang harus dilakukan di rumah pacar atau di rumah
keluarga terdekatnya dengan diketahui oleh kedua orang tuanya.
Di masa lalu, tradisi Batandang dilakukan dengan cara datang ke tempat
sang pacar dengan membawa beragam perlengkapan makan dan minum,
seperti gula, kopi dan lain sebagainya. Namun demikian, saat ini membawa
perlengkapan tersebut sudah tidak banyak dilakukan seiring dengan era
modernisasi yang menerjang setiap sendi kehidupan masyarakat. Meskipun
demikian, satu hal yang menjadi ciri Batandang selalu tetap ada, yaitu
berpantun. Di beberapa tempat di Tabir Ilir, seorang laki-laki yang akan
mengunjungi pacarnya harus melantunkan pantun kepada tuan rumah dan
berlanjut kemudian dengan saling berbalas pantun. Setelah berbalas pantun
selesai barulah sang pacar diperbolehkan keluarganya untuk bertemu dan
mengobrol dengan tamu yang datang tersebut.
38
Prosesi bercocok tanam pada ladang menurut hukum adat Rejang,
dimulai dengan proses memilih tanah untuk berladang, membuka hutan dan
ritual sebelum membuka hutan. Ritual dipimpin oleh seorang tetua adat
(dukun), ritual berfungsi sebagai ungkapan permisi atau mohon izin kepada
para leluhur nenek moyang untuk membuka tanah marga. Dalam bahasa
Rejang ritual membuka hutan ini dinamakan kedurai ketan uban. Untuk
mengetahui prosesi, subjek bercocok tanam ladang dan akibat apabila tidak
melakukan prosesi upacara bercocok tanam menurut hukum adat Rejang di
Kabupaten Lebong.
Prosesi bercocok tanam di lading menurut hukum adat Rejang di
Kabupaten Lebong masih di pakai sampai sekarang dari tradisi nenek
moyang, dengan meyakini prosesi sebelum membuka ladang akan terhindari
dari segala hal yang tidak diingginkan.Adapun yang terlibat dalam prosesi
bercocok tanam di ladang menurut hukum adat Rejang di Kabupaten Lebong
adalah untuk menjalankan prosesi bercocok tanam di ladang dan yang
dilibatkan atau untuk menjalankan prosesi itu ialah dukun dan keluarga yang
bersangkutan serta orang yang me mbantu dalam membersihkan ladang
tersebut. Akibatnya bagi masyarakat yang tidak melakukan prosesi bercocok
tanam ladang menurut hukum adat Rejang di Kabupaten Lebong yaitu
biasanya mendapat kesulitan dalam berladang ataupun mendapat musibah,
seperti hasil tanamannya kurang baik, diganggu makhluk halus. kegiatan
prosesi sebelum berladang untuk menghindari kejadian‐kejadian yang tidak di
kehendaki.
39
2. Pemetaan Wilayah Hutan Adat Rejang dan Serawai
Sukku Rejang memiliki kearifan dengan mengetahui zonasi hutan,
mereka sudah menentukan imbo lem (hutan dalam), imbo u'ai (hutan muda)
dan pinggea imbo (hutan pinggiran). Dengan zonasi yang mereka buat, maka
ada aturan-aturan tentang penanaman dan penebangan kayu. Hampir mirip
dengan Suku Rejang, Suku Serawai yang dikenal sebagai tipikal masyarakat
peladang telah mengembangkan kearifan lokal dalam pembukaan ladang yaitu
"celako humo" atau "cacat humo", dimana dalam pembukaan ladang mereka
melihat tanda-tanda alam dulu sebelum membuka ladang dimana ada tujuh
pantangan, ketujuh pantangan ini jika dilanggar salah satunya akan berakibat
alam dan penunggunya (makhluk gaib) akan marah dan menebar penyakit.
Tujuh pantangan tersebut yaitu:
Metode pengolahan lahan rawa yang saya tuliskan ini sebenarnya hasil
pengamatan pada sekitar tahun 1985. Ketika itu sawah irigasi belum banyak
terbangun di daerah transmigrasi kurotidur kabupaten Bengkulu Utara, yang
saat ini masuk dalam wilayah administrasi kecamatan Padang Jaya.Pendorong
untuk dimuat pada tugas ini adalah adanya kesesuaiaan dengan hasil
penelitian Isdijanto Ar-Riza, Nurul Fauziati dan Hidayat D.Noor yang
berjudul Kearifan Lokal Sumber Inovasi dalam Mewarnai Teknologi
40
Budidaya Pada Lahan Rawa Lebak, dari Balai Penelitian Lahan Rawa Lebak.
Usaha tani pada lahan rawa lebak sampai dengan saat ini belum ada teknologi
yang mampu mengatasinya. Pemilihan lokasi dan penentuan saat tanam yang
tidak tepat utamanya untuk pertanaman padi surung akan membawa resiko
gagal panen akibat terkena cekaman redaman air akibat air rawa yang terus
meninggi.Teknologi yang dapat dibilang menarik dan merupakan kearifan
lokal dari masyarakat Rejang pada saat itu. Kegiatan Tanam yang merupakan
teknologi kearifan lokal sebagai berikut:
41
benih langsung pada lahan dengan cara menugal untuk rawa yang
tidak terlalu dalam. Cara pertama yang lebih banyak digunakan.
e) Populasi Tanam, Bertanam padi di lahan lebak yang telah sangat
eksis adalah menggunakan varietas unggul lokal, yaitu varietas
yang sudah beradaptasi sangat baik di lahan lebak, karena sudah
dibudidayakan sejak lama. Varietas ini umumnya berumur dalam,
dan tinggi tanaman umumnya 90cm-120 cm atau ada yang lebih.
42
banyak pencampuran karena daerah ini cukup jauh dari pusat kota. Jika
sepintas dilihat di sana akan tampak blok area Jawa, Sunda dan Bali dengan
ciri khas pekarangan dan bentuk rumah masing-masing. Pembauran di
pemukiman tidak terlalu menonjol.
Menariknya, meskipun sudah berbaur dan telah lama meninggalkan
kampung halaman, kegiatan Subak tetap dilestarikan. Anggota Subak tidak
semuanya orang Bali, siapapun yang memiliki lahan di areal tersebut. Bahkan
ada salah seorang ketuanya berasal dari suku Sunda dan beragama Islam.
Wilayah kegiatan Subak ditentukan berdasarkan luasan areal yang dapat diairi
oleh bendung irigasi. Dalam satu bendung dibangun satu Bedugul sebagai
tempat pemujaan terhadap dewa Baruna yang memelihara dan menjaga air.
Bendung yang ada di daerah ini berasal dari sungai-sungai kecil yang
dibangun cek dam. Terdapat 3 subak di Kecamatan Arga Makmur. Subak
Tirta Gangga di Desa Sido Urip – Rama Agung, Subak Rama Dewata di Desa
Rama Agung, Subak Tripugar Baru di Desa Taba Tembilang. Kelompok
Subak terbesar adalah Subak Tirta Gangga. Masing-masing Subak ini
dipimpin oleh seorang Klian Subak (ketua/imam).
5. Adat Cuci Kampung
Cuci kampung merupakan upacara ritual tolak balak yang bertujuan
agar semua warga kampung terhindar dari bencana. Dalam kehidupan sehari-
hari upacara cuci kampung sering ditemukan ketika ada salah seorang warga
kedapatan berbuat aib berupa perzinahan di suatu kampung. Cuci kampung
merupakan acara ritual tolak balak yang bertujuan agar semua warga
kampung terhindar dari bencana. Dalam kehidupan sehari-hari acara cuci
kampung sering kita temukan ketika ada salah seorang warga kampung
kedapatan sedang berbuat aib di kampung tersebut, terutama aib di kampung
tersebut, terutama aib yang berbau perzinahan.Cuci kampung yang marak
dewasa ini dianggap masyarakat desa untuk upaya melestarikan adat, akan
tetapi jika kita pahami orang yang terkena adat cuci kampung ini sangat
berdampak negatif bagi kehidupan sosialnya, karena menyebarkan aibnya
43
sendiri begitu juga dengan warga desa yang melaksanakan adat cuci kampung
tersebut akan menjadi malu jika dilihat warga desa lain.
Poses cuci kampung ini tidak lagi berjalan sebagai mana dulu, saat ini
telah mengalami penurunan. Ada beberapa hal penyebabnya:
44
Gambar Rumah Vernakular Rejang.(https://antonsutrisno.webs.com/photos/rumah2a.JPG)
45
melindungi dari gangguan ternak pada siang hari. Tuntutan kepada pemilik
ternak adalah apabila kerusakan tanaman di kebun terjadi pada malam hari,
maka pemilik ternak terkena ganti rugi akibat perbuatan hewan peliharaannya.
Akan tetapi jika kerusakan yang ditimbulkan pada siang hari, maka pemilik
kebun tidak dapat menuntut ganti rugi, karena dia berkewajiban untuk
menjaga kebunnya dan juga memagarnya.Hukum ini sekarang mulai tidak
dipergunakan, seiring dengan perubahan pola kebun masyarakat. Karet alam
sudah berganti dengan karet unggul, perkebunan sawit. Disamping itu juga
telah diberlakukannya Peraturan Daerah berkaitan dengan kewajiban
mengandangkan ternak, sehingga ternak tidak boleh berkeliaran di jalan yang
membahayakan pengguna jalan.
Hal ini juga terjadi apabila seorang bapak memiliki anak dan nama
anak tersebut sama dengan nama anak orang lain, maka dipersaudarakan.
Seolah anak tersebut menjadi anak angkatnya. Simbol persudaraan ini juga
melekat pada sebutan atau panggilan. Anak-anaknya akan memanggil bapak
pada orang yang senama dengan orang tuanya.
Telun atau air terjun juga di larang untuk di kelola oleh warga
komunitas disekitanya karena dipercayai adanya pengaruh gaib di sekitar
wilayah tersebut. Telun dan air terjun merupakan daerah larangan karena
46
terdapat sumber mata air yang harus dijaga.Penebangan Pohon Madu yang
disebut dengan Sialang adalah pantangan berat untuk ditebang, jika ditebang
akan dikenakan denda setengah bangun atau setengah dari denda membunuh
orang, begitu juga dengan menebang pohon-pohon di sekitar pohon sialang
dianggap juga sebagai pantangan adat, sialang dianggap sebagai hak komunal
dan ketika panen maka biasanya diketahui oleh seluruh masyarakat komunitas
dan ada bagian tertentu dari hasil panen yang tidak boleh diambil dan
dibiarkan tinggal di sekitar pohon karena dianggap itu adalah hak penunggu
gaib dari pohon, proses panennya pun diiringi oleh nyayian-nyayian pujian
baik pujian terhadap kayu maupun pujian terhadap penunggunya.
Selain pengaruh gaib juga ada penunggu yang disebut dengan Mak
Somai yang mengawasi kawasan tersebut. Mak Somai merupakan harimau
jadian yang dipercaya sebagai penunggu di wilayah tesebut.
Inilah bentuk kearifan lokal dalam rangka menjada pohon dan daerah
konservasi, seperti daerah mata air dan air terjun yang sangat bermanfaat bagi
kelestarian hutan. Cerita gaib, dan juga cerita legenda sangat efektif pada
jaman dahulu untuk menjaga wilayah tersebut. Tuah cerita tersebut sekarang
sudah mulai luntur. Seiring berkembangnya pengetahuan yang dirasakan oleh
generasi masasyarakat di areal tersebut. Kuatnya dorongan ekonomi yang
harus membuka hutan untuk kegiatan usaha, juga akan semakin menurunkan
kesakralan cerita tersebut.
47
masyarakat tersebut. Beberapa kearifan lokal dalam pengelolaan hutan adalah
sebagai berikut:
48
melalap kemana-mana, dalam proses pembakaran lahan
biasanya dilakukan secara gotong royong.
Ali bilai adalah penyebutan gotong royong dalam
menyelesaikan salah satu pekerjaan warga secara bergiliran.
Bo atau Silo adalah sejenis tanda larangan atau tanda hendak
memiliki hasil hutan yang masih belum menghasilkan, yaitu
sebatang bamboo yang ditusukkan ke tanah yang bagian
atasnya dipecah dua dan di antara pecahanitu disempitkan
sebatang bamboo lain.
Sakea tanah garapan yang telah membentuk hutan kembali,
biasanya masyarakat di Jurukalang kembali ke Sakea ketika
tanah garapannya tidak subur, ini sering disebut dengan gilir
balik dan pihak luar yang menganggap sebagai masyarakat
adat sering menyebut ini dengan peladang berpindah.
Jamai keadaan tanah yang ditingalkan sesudah menuai atau
keadaan tanah yang telah diusahakan dan disengaja
ditinggalkan supaya menjadi hutan kembali.
Meniken adalah kegiatan ritual atau kenduri untuk pembukaan
lahan yang akan dibuka untuk dijadikan ladang atau lahan
garapan.
Selain beberapa kearifan lokal dalam mengelola keberlanjutan
lingkungan marganya, ada beberapa larangan lain, kayu yang
jika ditebang kemudian membentuk jembatan di dua sisi mata
air kedua sisi tersebut dilarang untuk digarap, ada kepercayaan
local yang jika di garap akan menimbulkan bahaya dan
bencana bagi pemiliknya, dalam system konservasi modern
kedua sisi in disebut dengan sempadan sungai. Begitu juga
dengan lahan yang ketika kayu-kayunya ditebang akan
meluncur jauh akibat lerengan yang terjal juga di larang untuk
digarap.
49
2.1.7 Kearifan Lokal Sumatera Selatan
Sumatera Selatan memiliki beberapa kearifan lokal yaitu sebagai berikut.
1. Ngobeng
Sebanyak delapan orang duduk bersila dengan membentuk lingkaran
saling berhadapan. Mereka siap menyantap nasi dengan beragam lauknya
yang berada di tengah-tengah.Cara makan tersebut adalah tradisi leluhur
Palembang dengan istilah ngobeng. Dari sumber Wikipedia, ngobeng berarti
tradisi menghubungkan makanan dalam kegiatan adat Palembang seperti
dalam acara pernikahan, khitanan, syukuran, dan perayaan hari-hari
keagamaan.
Sayang, kearifan lokal itu kini nyaris tak pernah lagi ditemui, bahkan
sudah hilang. Masyarakat setempat telah mengubah cara menghidangkan
dengan masa kekinian, ada istilah prasmanan atau juga prancisan.
https://cdns.klimg.com/merdeka.com/i/w/news/2019/11/27/1129171/content_images/670x335/20
191127161000-1-ngobeng-tradisi-khas-palembang-002-nirmatullah-efendi.jpg
2. Senjang
Senjang merupakan salah satu bentuk puisi rakyat yang terdapat di
daerah Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Senjang secara etimologi berarti
tidak simetris atau tidak sama bagian yang di kiri dan yang di kanan(KBBI,
2008: 1316). Senjang adalah puisi yang berbentuk pantun, hal ini dapat
50
diamati dari jumlah lirik dalam satu bait selalu lebih dari empat baris. Senjang
memiliki keistimewaan dari segi penyampaiannya, dimana sebelum
dilantunkansenjang selalu diiringioleh musikdengan nada yang khas.Pada
masal awal munculnya senjang, alat musikyang digunakan untuk melengkapi
seni ini adalah tanjidor.Namun, kini alat musikyang sering digunakan adalah
organ atau piano yang biasanya menyatu dengan organ tunggal yang
dipentaskan di atas panggung.Dinamakan senjang karenaantara syair dan
musiktidak saling bertemu. Ketika Pesenjang(orang yang melantunkan
senjang) melantunkansyair, maka musikberhenti, kemudian pada
saatmusikdimainkan,orang yang bersenjang diamsehingga keduanya tidak
pernah bertemu, maka dari ituseni tuturini dinamakan “senjang”.Senjang
merupakan salah satu bentuk media seni budaya yang menghubungkan antara
orang tua dengan generasi muda atau dapat juga antara masyarakat dengan
pemerintah di dalam penyampaian aspirasi yang berupa nasihat, kritik
maupun penyampaian ungkapan rasa gembira.
3. Sastra Tutur Guritan
Secara bahasa guritan berasal dari kata gurit yang dalam bahasa
besemah berarti cerita atau kisah.Guritan juga berarti cerita lama.(Yelli &
Parista, 2017)Guritan adalah seni prosalirik berbentuk cerita panjang yang
ditembangkan.Menurut Suhardi Mukmin (60tahun) guritan merupakan sarana
untuk menyampaikan pesan.Isinya falsafah, ajaran moral, nasihat, aturan-
aturan adat, suara-suara hati nurani, sejarah, dan potret karakter manusia dan
kisah-kisah kepahlawanan(Wawancara tanggal 09 Juli 2019).Guritan; (bukan
geguritan, seperti dalam puisi Jawa) adalah salah satujenis sastra lisan yang
eksistensinyaditampilkan dalam bentuk teater tutur. Guritan dituturkan secara
monolog oleh pencerita dengan menggunakan bahasa daerah.Guritanbiasanya
dituturkan dalam acara-acara umum seperti syukuran panen, pesta
pernikahan, pesta khitanan. Penembangan guritan juga diselenggarakan ketika
ada anggota keluarga yang meninggal dunia sebagai penghibur bagi anggota
keluarga yang ditinggalkan. Penuturan guritan dilakukan usai maghrib hingga
lewat tengah malam.Guritan terdiri dari dua jenis, yaitu guritan lama dan
51
guritan baru. Guritan lama berisi kisah-kisah masa silam dan peribahasa-
peribahasa. Bahasayang digunakan dalam penuturan guritan lama adalah
bahasa lama yang masyarakat Besemahsekarang tidak paham.Lain hal dengan
guritan baru, guritan baru berisi kisah-kisah peristiwa selama zaman gerilya
dan bahasa yang digunakan pun dimengerti orang banyak. Di antara guritan
yang terkenal adalah Keriye Rumbang Ngempang Lematangdan Jagad
Besemah.Apabila dibandingkan dengan kesenian lain, guritan mirip pagelaran
wayang kulit, namun tanpa alat peraga.
4. Tadut
Tadut berasal dari bahasaArab tahadut yang artinya penyampaian dan
menghafal perulang-ulang.(Yani, 2017). Kalau kata kuncinya berulang-
ulangmungkin berasal dari akar kata adadyang kemudian mendapat tambahan
huruf ta‟di awal dan penggandaan huruf pada „ain fi‟ilnya(- دّدعتي-دّدعت
)ادّدعتmengikuti wazan(الّعفت-)لّعفت–لّعفتي. Dengan demikian malka arti
ta‟adud, adalahberbilang atau banyak bilangannya, bukan sekali atau dua
kali.Tadut adalah jenis puisi yang digunakan untuk menyampaikan ajaran
agama Islam ketika agama Islam baru masuk di tanah Besemah secara efektif.
Dikatakan secara efektif, karena jauh sebelumnya agama Islam sudah dikenal
di Besemah. Namun ajaran agama Islam yang dikenal sejak zaman purba
(malahan sampai masa pra kesultanan Palembang) di Besemah itu belum
diikuti dengan syariat seperti yang diajarkan Nabi Besar Muhammad
Saw.Masyarakat Besemah (terutama generasi tua) memaparkan bahwa sejak
zaman dahulu(Purba)orang Besemah adalah penganut agama Islam. Mereka
menyebutnya igame Selam Nabi Ibrahim.Adanya istilah peturatyang berarti
petunjuk atau dalam bahasa Besemah disebut pengajaran. Istilah Turatjuga
dapat diidentikkan Toret, Tauratatau Tawarikh,yaitu nama kitab yang
diwahyukan kepada Nabi Musa A.S. Tadutlebih mengarah pada pengajaran
agama Islam menurut syariat Nabi Muhammad Saw. Suhardi (60 tahun)
menerangkan makna dari tadutadalah penyampaian ajaran agama Islam yang
dilakukan dengan berlagu, berlagu maksudnya dengan nada khas
Besemah(wawancara tanggal 09 Juli 2019).
52
5. Jeliheman
Jelihemanyang merupakancerita tutur adalahnama seseorangyang
dijadikan judul dalam cerita jeliheman, yaitu Bujang Jelihem.SaudiBerlian(56
tahun) dalam wawancara tanggal 11 Juli 2019 menjelaskan bahwa,
namajelihemandapat dinobatkan sebagaijudul cerita karena isi dari cerita tutur
tersebut banyak menceritakan tentang seorang tokoh bernama Jelihem, baik
dari segi karakter, watak, maupun dari segi kehidupannya.
6. Dulmuluk
Dulmuluk merupakan salah satu jenis kesenian teater atau seni peran.
Dalam pengertian umum, kata teater diartikan sebagai segala hal yang
dipertunjukkan di depan orang banyak. Adapun secara makna sederhana,
teater adalah pertunjukkan lakon (jenis cerita) yang dimainkan di atas pentas
dan disaksikan oleh penonton.Dulmulukawalnya dari nama Abdul Muluk,
akhirnya lebih dikenal dengan sebutan “Dul Muluk” sebagaimana yang
dikenal saat ini. Seperti halnya teater daerah lain, Dulmuluk adalah salah satu
teater daerah yang hidup dan cukup dikenal oleh masyarakat yang berada
dalam wilayah Sumatera Selatan.
7. Tembang Batanghari Sembilan
Tembang Batanghari Sembilan adalah istilah irama musik dengan
petikan gitar tunggal yang berkembang di daerah Sumatera bagian Selatan
khususnya diKabupaten Ogan Komering Ulu. Tembang Batanghari Sembilan
merupakan tembang (lagu) yang berisi pantun dengan diiringi gitar tunggal
sebagai alat musiknya. Tembang Batanghari Sembilan memang tidak bisa
dipisahkan dari sebuah tradisi pantun dan diiringi dengan gitar tunggal, yang
menjadi ciri khas Batanghari Sembilan itu sendiri. Pengertian yang lebih luas
lagi berkenaan dengan Batanghari Sembilan adalah kebudayaan yang berbasis
pada sungai. Kebudayaan ini merupakan kebudayaan agraris yangselaras
dengan alam dan musikyang diekspresikan dari budaya ini bernuansa
romantik, melonkolik, dan naturalistik.
53
2.1.8 Kearifan Lokal Lampung
Lampung memiliki beberapa kearifan lokal yaitu sebagai berikut.
1. Juluk-Adek
Kata Juluk-adek (gelar adat) secara etimologi terdiri dari buah suku
kata yaitu "juluk" dan "adek", yang masing-masing memiliki makna sebagai
berikut:
Juluk adalah nama panggilan keluarga dari seorang pria atau
wanita yang diberikan pada waktu mereka masih muda atau
remaja yang belum menikah.
Adek bermakna gelar atau nama panggilan adat bagi seorang
pria atau wanita yang sudah menikah yang di berikan melalui
sebuah prosesi pemberian gelar adat.
54
Biasanya prosesi penobatan juluk-adek ini dilakukan dalam suatu upacara
adat.
Juluk-adek tersebut biasanya akan mengikuti tatanan yang telah
ditetapkan berdasarkan pada hirarki status pribadi dalam struktur
kepemimpinan adat. Sebagai contoh, misalnya Pengiran, Dalom, Batin,
Temunggung, Radin, Minak, Kimas dan sebagainya. Dalam hal ini masing-
masing kebuwaian tidak selalu sama, demikian pula dengan urutannya karena
tergantung pada adat yang berlaku dalam kelompok masyarakat masing -
masing.
Karena juluk-adek melekat pada pribadi seseorang, maka sudah
sepatutnya agar setiap anggota masyarakat adat Lampung memiliki kewajiban
dan tanggung jawab moral untuk memelihara nama tersebut dengan sebaik-
baiknya dalam wujud perilakunya ketika bergaul dengan masyarakat sehari-
hari. Hal ini berpengaruh pada aspek sosial masyarakat lampung.
2. Nemui-Nyimah
Kata "Nemui" berasal dari kata benda temui yang berarti tamu, dan
kemudian berubah menjadi kata kerja "nemui" yang bermakna mertamu atau
berkunjung (silaturahmi). Sementara kata Nyimah berasal dari kata benda
55
"Simah", yang kemudian berubah menjadi kata kerja "nyimah" yang berarti
suka memberi (pemurah).
3. Nengah-Nyappur
Kata Nengah berasal dari kata benda, yang kemudian berubah menjadi
kata kerja yang berarti berada di tengah. Sementara jata Nyappur berasal dari
kata benda cappur, yang kemudian berubah menjadi kata kerja nyappur yang
bermakna baur atau berbaur.
Maka secara harfiah Nengah-Nyappur dapat diartikan sebagai sebuah
sikap suka bergaul, suka bersahabat dan toleran kepada orang lain. Nengah-
nyappur menggambarkan bahwa anggota masyarakat adat Lampung selalu
56
mengutamakan rasa kekeluargaan dan didukung dengan sikap suka bergaul
dan bersahabat baik dengan siapa saja, tidak membedakan suku, agama,
derajat, asal usul dan golongannya.
Sikap suka bergaul dan bersahabat tersebut telah menumbuhkan
semangat suka bekerjasama dan tenggang rasa (toleransi) yang tinggi diantara
sesama manusia. Oleh sebab itu, maka kemudian kita dapat mengambil
kesimpulan bahwasannya sikap Nengah-Nyappur merujuk kepada nilai
musyawarah untuk mencapai mufakat.
Melihat kondisi kehidupan masyarakat Lampung saat ini yang sangat
plural, maka dapat dipahami bahwa penduduk di wilayah provinsi Lampung
ini telah menjalankan prinsip hidup Nengah-Nyappur dengan sangat
baik.Sikap nengah-nyappur juga menunjukkan sikap ingin tahu yang tinggi,
sehingga menumbuhkan sikap kepeloporan. Pandangan atau pemikiran
demikian menggabarkan bahwa anggota masyarakat Lampung merupakan
bentuk kehidupan yang memiliki jiwa dan semangat kerja keras dan gigih
untuk mencapai tujuan masa depannya dalam berbagai bidang kehidupan.
4. Sakai-Sambaiyan
Kata Sakai bermakna
memberikan sesuatu kepada
seseorang atau sekelompok orang
dalam bentuk benda atau jasa yang
bernilai ekonomis yang dalam
prakteknya cenderung menghendaki
untuk saling berbalas. Sementara
kata Sambaiyan bermakna
memberikan sesuatu kepada
seseorang, sekelompok orang atau
untuk kepentingan umum secara sosial berbentuk benda dan jasa tanpa
mengharapkan adanya balasan.
Artinya, Sakai sambaiyan adalah sikap tolong menolong dan gotong
royong, mampu memahami makna kebersamaan atau guyub dan rukun.
57
Sakai-sambayan pada hakekatnya menunjukkan semangat berpartisipasi serta
rasa solidaritas yang tinggi terhadap berbagai kegiatan pribadi dan sosial
kemasyarakatan pada umumnya.
5. Tayuhan
Perayaan adat yang satu ini diadakan oleh keluarga besar dalam
rangka pernikahan, khitan, pembangunan rumah, maupun perayaan
kesuksesan panen. Peralatan yang dibutuhkan saat tayuhan di antaranya
seperti tandang bulung, kecambai, nyani buwak, begulai, nyekhallai siwok,
dan khambak bebukha.Penggunaan alat-alat ini akan disesuaikan dengan
gelar adat. Selain itu, pihak kerabat juga memberikan bantuan seperti
berbagai bahan makanan mentah atau makanan yang sudah siap saji.
58
6. Djujor
59
7. Ngambabekha
Ritual unik ini dilakukan pada saat pembukaan hutan untuk digunakan
sebagai lahan perkebunan atau perkampungan masyarakat. Masyarakat lokal
meyakini bahwa hutan memiliki penunggu. Upacara ini dimaksudkan sebagai
jalur perdamaian dengan penunggu hutan agar masing-masing tidak saling
mengganggu.
8. Nyalau
Cara nyalau sendiri adalah dengan cara membuang gulma dari petak
sawah atau menenggelamkan gulma tersebut (yang sudah terlebih dahulu
dicabut tentunya) kedasar lumpur sawah yang tujuannya agar gulma-gulma
tersebut mati dan menjadi pupuk bagi tanaman padi tersebut. Yang membantu
nyalau biasanya adalah kerabat/keluarga sendiri (sistem resiprokal, si kerabat
juga nanti akan ditolong si pemilik sawah dalam kegiatan pertanian lainnya),
namun tak jarang pula para pemilik sawah menyewa beberapa tetangga
mereka dengan sistem upah.
60
nyalau ini masa akhirnya tentatif. Sebagaimana halnya dengan jenis kearifan
lokal lain dibelahan bumi nusantara lainnya, kegiatan nyalau inipun memiliki
segi positif dalam mengeratkan tali silaturahmi dan tradisi saling tolong-
menolong antar anggota masyarakat. Nyalau adalah suatu kearifan lokal yang
pantas dibanggakan oleh masyarakat di Lampung Selatan.
7. Ngumbai Lawok
61
Pulau Bali adalah bagian dari kepulauan Sunda Kecil sepanjang 153 km dan selebar 112
km sekitar 3,2 km dari Pulau Jawa.
Pulau ini dibagi menjadi empat provinsi: Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan Banten, serta dua wilayah khusus, Jakarta dan Yogyakarta. Sebagian
besar penduduknya bertutur dalam tiga bahasa utama. Bahasa Jawa merupakan
bahasa ibu dari 100 juta penduduk Indonesia, dan sebagian besar penuturnya
berdiam di Pulau Jawa. Sebagian besar penduduk adalah orang-orang dwibahasa,
yang berbahasa Indonesia baik sebagai bahasa pertama maupun kedua. Dua
bahasa penting lainnya adalah bahasa Sunda dan bahasa Betawi. Sebagian besar
penduduk Pulau Jawa beragama Islam namun tetap terdapat beragam aliran
kepercayaan, agama, kelompok etnis, serta budaya di pulau ini. Wilayah
62
kebudayaannya mempunyai cakupan yang luas, meliputi seluruh wilayah jawa
tengah dan jawa timur sekarang. Persebaran kebudayaan jawa dipengaruhi oleh
masa kekuasaan kerajaan-kerajaan yang menganut kebudayaan jawa dan berkuasa
di tanah jawa. Persebaran kebudayaan ini menghasilkan berbagai variasi yang
berkaitan dengan system tradisi adat, cara hidup maupun bahasa. Berikut
beberapa kebudayaan masyarakat suku jawa:
Sama halnya dengan suku-suku bangsa lain di Indonesia, Suku Jawa juga
memiliki ciri khas tersendiri. Di mana ada 3 ciri khas yang wajib kita ketahui,
yaitu :
1. Bahasa jawa
Orang Jawa memiliki bahasa khusus dengan nama yang sesuai dengan
nama suku bangsanya, yakni Bahasa Jawa. Bahasa ini beda dengan bahasa
daerah lainnya. Di mana ada tingkatan bahasa yang wajib kalian pahami.
Sebagai Bahasa Ibu, orang Jawa harus bisa berbahasa Jawa. Harus bisa
bahasa Krama ketika berbicara dengan orang yang lebih tua dengan baik dan
benar.
2. Falsafah Hidup
Suku Jawa itu memiliki pegangan hidup atau prinsip hidup yang
sangat kuat. Mereka melakukan segala hal dalam hidup berdasarkan pada
falsafah hidup yang mereka miliki. Beberapa diantaranya yang dikenal
adalah:
a) Urip iku amung mampir ngombe ( hidup itu ibarat hanya mampir
minum ). Maknanya adalah dalam menjalani kehidupan yang
63
singkat, kalian harus melakukan banyak kebaikan demi kehidupan
yang nyaman dan juga untuk pegangan di akhirat.
b) Sopo nandur bakalan ngunduh ( siapa yang menanam, pasti akan
panen dari apa yang ditanam ). Kalau yang ditanam hal yang
buruk, maka kan kembali menjadi hal buruk bagi dirinya sendiri.
Begitupun sebaliknya.
c) Aja rumangsa bisa, tapi bisa rumangsa ( jangan bilang mudah atau
selalu bisa, tapi merendahlah ). Itu sebuah peringatan kalau
sombong itu bukan hal yang baik. Karena di atas langit masih ada
langit.
3. Tradisi Jawa
Di dalam lingkungan Suku Jawa, ada banyak tradisi Kejawen,
diantaranya adalah mantu ( pernikahan ), tedhak sinten atau piton-piton ( 7
bulanan bayi ), slametan ( kirim doa ), brokohan ( syukuran untuk ladang,
sawah ), uye ( syukuran untuk kelahiran anak sapi ), tingkepan ( 7 bulanan
kehamilan ), telon-telon ( 3 bulanan kehamilan dan 3 bulanan bayi), dan
masih banyak lagi yang lainnya.
Tradisi-tradisi Suku Jawa ini pun bahkan dijadikan sebagai salah satu
jenis festival nasional yang mendatangkan banyak wisatawan, seperti Grebeg
Suro di Ponorogo, Tumpeng purak di Jawa Tengah, dan masih banyak lagi
yang lainnya. Ketiga ciri khas Suku Jawa tersebut adalah hal yang unik dan
hanya dimiliki oleh orang Jawa.
64
4. Ritual
Orang Jawa masih kental dengan hal-hal yang berbau mistis. Ada
profesi dukun yang sangat banyak diminati di Jawa. Mereka adalah orang
pintar yang bisa meramal jodoh, menjodohkan, mencari tanggal tepat untuk
mantu, dan juga menyembuhkan penyakit.
Bukan hanya itu saja, dukun untuk mencuci keris pun ada sendiri. Hal tersebut
adalah serba serbi keindahan Pulau Jawa. Di setiap ritual yang dilakukan
orang Jawa harus ada dukun.
Ritual dalam hal ini nggak harus dipandang negatif sebagai suatu
kegiatan yang syirik atau menyekutukan Allah, melainkan bisa diambil sisi
positifnya, yakni lebih dekat dengan alam dan bisa bersedekah (ritual
kenduri).
5. Aksara Jawa
65
jawa. Aksara Jawa merupakan salah satu aksara turunan Brahmi di Indonesia
yang sejarahnya dapat ditelusuri dengan runut karena banyaknya
peninggalan-peninggalan yang memungkinkan penelitian epigrafis secara
mendetail.
Sepanjang sejarahnya, aksara Jawa ditulis dengan sejumlah media
mulai dari batu dan lempengan logam. Aksara Jawa mulai dituliskan dalam
kertas pada abad ke-13. Hal ini berkaitan dengan penyebaran agama Islam
yang tradisi tulisnya didukung oleh penggunaan kertas dan format buku
kodeks. Dari sinilah mulai aksara Jawa Kawi berubah ke arah yang modern.
Pada abad ke-15 aksara Jawa sering digunakan sebagai tulisan sehari-hari.
Aksara Jawa Hanacaraka dikenal juga dengan Carakan yaitu aksara
turunan Brahmi yang populer digunakan sebagai penulisan naskah berbahasa
Jawa, Madura hingga Bali dan Sasak.
66
Identik dengan Putri Solo, adalah karakter yang banyak dijadikan ikon
wanita Jawa, di mana sosok Putri Solo adalah sosok anak raja yang cantik,
lemah lembut, pintar menari, murah senyum, ramah, dan sangat menarik.
7. Bahasa Jawa
Inilah salah satu dari budaya Jawa yang sangat melekat, sehingga
sudah menajadi image orang Jawa yang ramah tamah dan murah senyum.
Humble dan mudah dalam bersosialisasi, sehingga membuat banyak orang
baru yang langsung akrab dengan orang Jawa. Unggah-Ungguh dari Suku
Jawa ini diterapkan dalam tatanan berbahasa, di mana ada macam-macam
Bahasa Jawa yang dipengaruhi oleh tata krama saat berbicara dengan lawan
bicara, apakah berbicara dengan orang tua, sebaya, atau dengan orang yang
lebih muda.
a) Bahasa Ngoko. Ini adalah bahasa Jawa yang biasa dipakai dalam
kehidupan sehari-hari. Sifatnya simple dan hanya bisa dipakai saat
berbicara dengan orang yang lebih muda atau dengan sebaya.
Bahasa Ngoko ini di setiap daerah pun berbeda-beda, ada Ngoko
Suroboyonan di Surabaya, Ngoko Cilacap, Jawa Tengah, dan lain-
lain. Ada ngoko halus yang ada campuran dengan bahasa yang
lebih santun, dan ada ngoko kasar yang benar-benar menggunakan
bahasa dasar di dalam kosa kata Bahasa Jawa.
b) Bahasa Krama. Terdapat beberapa krama, yaitu Krama Madya,
Krama Inggil, dan Krama Alus. Tinggal memilih mana yang sesuai
dengan lawan bicara. Kalau berbicara dengan orang yang lebih tua,
disarankan memakai Krama Inggil, kalau berbicara dengan sebaya
dan lebih muda, bisa menggunakan krama madya.
c) Budaya Larangan. Masyarakat suku jawa sangat mempercayai
karma atau akibat yang akan didapat jika tidak mematuhi aturan
yang ada. Lusan Besan, adalah salah satunya. Ini adalah istilah
yang berhubungan dengan perkawinan. Di mana jika sebuah
keluarga yang akan bermantu (mengawinkan anaknya) ketiga
kalinya, tidak diperbolehkan menjodohkan dengan anak yang
67
keluarganya masih baru akan mantu. Dipercaya akan membawa
bala (musibah) bagi keluarga. Untuk itulah dalam mencari hari
pernikahan, Suku Jawa memiliki hitungan-hitungan tersendiri. Jika
dilanggar maka mereka akan mendapatkan akibatnya. Bahkan
untuk membangun rumah pun harus ada hitungannya, sehingga
tidak sembarang membangun.
8. Festival Bandeng (Jawa Timur)
Festival ini biasa digelar setiap tahunnya sebelum Hari Raya Idul Fitri
atau dalam rangka menyambut / memperingati hari besar Islam lainnya. Hal
itu karena merupakan sebuah budaya tradisional tahunan dari masyarakat
serta upaya dari Pemerintah Sidoarjo untuk melestarikan ikan bandeng,
karena Sidoarjo terkenal sebagai penghasil ikan jenis ini, itu terbukti dari logo
Kabupaten Sidoarjo.
9. Ganjuran (Jawa Timur)
Ini merupakan sebuah serangkaian acara yang ada/untuk sebuah
pernikahan. Umumnya, di kebanyakan wilayah Indonesia, pihak pria yang
akan melamar, tetapi sebuah budaya/tradisi ganjuran, si pihak wanitalah yang
melamar pria. Tradisi ini biasa dilakukan di Jawa Timur di daerah
Bojonegoro, Gresik, Lamongan dan Tuban.
10. Karapan Sapi (Jawa Timur)
Pulau Madura yang secara administratif masuk dalam Provinsi Jawa
Timur, memiliki sebuah acara dan tradisi unik bernama Karapan Sapi. Yaitu,
sapi untuk beradu kecepatan yang dipasangkan untuk menarik kereta dari
kayu sebagai tempat joki berdiri serta mengendalikan sapi. Acara ini biasa
diselenggarakan pada bulan Agustus-Oktober, dengan bulan terakhir untuk
acara final.Dahulu ini bukanlah sebuah acara perlombaan yang
memperebutkan sebuah piala bergilir yang dulu bernama Piala Presiden dan
berubah menjadi Piala Gubernur sejak tahun 2013. Melainkan, sebuah cara
untuk mencari sapi yang kuat untuk membajak sawah.
68
11. Pingitan (Jawa Timur)
Pingitan berasal dari kata pingit yang berarti mengurung diri di dalam
rumah. Apakah cuma berdiam diri saja di dalam rumah? Justru pingitan
adalah sebuah pendidikan bagi wanita yang beranjak dewasa sampai akan
menikah. Pada saat itulah wanita mulai belajar bekerja membantu ibu di
dapur dan belajar urusan rumah tangga.
Dan khususnya dalam pernikahan, pingitan ini bertujuan untuk
menjaga wanita tetap suci dan terhindar dari marabahaya. Karena, kata Orang
Jawa Kuno, orang yang akan menikah itu rentan oleh penyakit yang nggak
terlihat (sambekala, sarap dan sawan). Dengan kata lain, sesuatu yang bisa
membuat kecemasan dan halangan.
69
Upacara Kasada juga membawa banyak manfaat bagi masyarakat
suku Tengger itu sendiri. Selain sebagai peringatan pengorbanan Raden
Kesuma (anak Jaka Seger-Lara Anteng) dan juga sarana untuk meminta
keselamatan, Upacara Kasada telah mampu menarik perhatian wisatawan
untuk datang menontonnya, sehingga ada pemasukan lebih untuk kawasan
wisata Gunung Bromo.
Sumber: https://www.google.com/amp/s/www.idntimes.com/hype/fun-fact/amp/riyan-
sumarno/tradisi-jawa-timur-c1c2
Upacara adat yang satu ini biasanya dilakukan didataran tinggi Dieng.
Upacara ini ditujukan untuk anak-anak yang berambut gimbal. Dimana
mereka dianggap sebagai keturunan raksasa. Sehingga semua anak yang
berambut gimbal harus disucikan. Agar terhindar dari keburukan dan selalu
selamat.Uniknya beberapa anak disana memang memiliki rambut gimbal
yang tumbuh dengan sendirinya.
Tradisi berikutnya ini berasal dari ibu kota Jawa Tengah, Yaitu
Semarang. Tradisi ini ditujukan untuk mengungkapkan rasa syukur warga.
Biasanya karena hasil panen yang melimpah. Tradisi ini juga dilakukan pada
hari besar penanggalan tahun Jawa.Sebelum melakukan tradisi tawuran sego
ini, masyarakat akan mengumpulkan bungkusan nasi yang disertai lauk
(Sedekah Bumi) hingga membentuk 7 gunung. Kemudian, nasi di putari oleh
warga setempat sambil memanjatkan doa, baru dilempar dengan sesama
warga yang ada di tempat tersebut.
70
16. Mauludan (Jawa Tengah)
Tradisi ini pertama kali dilakukan oleh Sunan Bonang. Ini adalah
tradisi menyembunyikan gamelan milik keraton. Dulu, tradisi ini digunakan
untuk menyebarkan agama Islam. Nama sekaten berasal dari Syahadatain.
Nama ini diambil karena setiap kali pergantian pukulan gamelan diselingi
dengan bacaan Syahadatain. Sebelum sekaten, terlebih dahulu diadakan pesta
rakyat.Puncak acara ini, adanya 2 gunungan yang keluar dari Masjid agung
setelah didoakan oleh para Ulama keraton. Warga percaya, bila mendapatkan
makanan dari gunungan tersebut akan mendapat keberkahan dalam hidupnya.
Upacara ini digelar di pesisir Pantai Utara dan Selatan. Ini merupakan
perwujudan rasa syukur dari hasil laut yang melimpah. Serta supaya para
nelayan selalu diberikan keselamatan dalam mencari rezeki.Acara ini
dilaksanakan setiap tanggal 1 muharram. Dimana semua bahan pangan dan
hasil hewan sembelihan dihanyutkan atau dilarungkan ke laut.
Tradisi Tedak Sinten adalah upacara untuk bayi yang sudah bisa
berjalan. Dimana bayi akan dimasukkan ke dalam sangkar ayam. Ini
71
dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur orang tua bayi.Atas kesehatan sang
anak hingga menapaki tanah. Upacara ini juga bisa ditemukan dibeberapa
daerah lainnya. nama lain dari upacara adat Jawa ini adalah upacara turun
tanah.
Sumber: https://www.google.com/amp/s/jateng.garudacitizen.com/tradisi-unik-jawa-tengah-
mulai-upacara-adat-kehidupan-setiap-hari-dan-perayaan/amp/
Tradisi pertama dari masyarakat suku Sunda jawa barat adalah Tradisi
Reuneuh Mundingeun. Tradisi unik ini adalah sebuah tradisi ditujukan kepada
kaum wanita Sunda yang sedang mengandung, namun usia kandungannya telah
mencapai usia 9 bulan 10 hari lebih sebagaimana normalnya usia kehamilan
akan tetapi belum juga melahirkan. Masyarakat suku Sunda menyebut keadaan
yang seperti itu wanita hamil yang belum melahirkan tersebut dijuluki dengan
sebutan Reuneuh Mundingeun atau yang dalam bahasa Indonesianya adalah
Kerbau Bunting.Seorang wanita yang sedang hamil tersebut akan diarak oleh
Indung Beurang (Ibu Siang) dan diharuskan untuk mengelilingi rumah dan
kandang kerbau sebanyak 7 kali dengan di iringi oleh bacaan do'a - do'a.
Kemudian wanita yang sedang hamil tersebut akan dimandikan oleh Indung
Beurang, setelah itu dia akan disuruh masuk kembali kerumahnya. Walaupun
tradisi tersebut sekarang ini sudah jarang di lakukan oleh masyarakat suku
Sunda yang tinggal di kota, namun kita masih bisa menjumpai tradisi unik
tersebut pada masyarakat pedesaan.
Menurut masyarakat suku Sunda, tujuan dari upacara adat dan tradisi
unik ini adalah agar perempuan yang sedang hamil tersebut dapat segera
melahirkan dengan selamat, dan supaya dia dijauhkan dari hal-hal yang tidak
diinginkan.
72
21. Tradisi Puput Pusteur (Jawa Barat)
Tradisi puput pusteur yang satu ini biasanya diadakan dalam bentuk
acara selamatan, yakni ketika tali pusar pada bayi telah terlepas. Selanjutnya
tali pusar tersebut akan dimasukkan kedalam Kanjut Kundang oleh Indung
Beurang, lalu tali pusar itu akan ditimbun dengan uang logam berbalut kapas,
dan diikatkan pada bagian perut si bayi tersebut.Setelah prosesi pemberian
nama pada bayi tersebut, kemudian akan dibacakan doa selamat sambil
disajikan hidangan berupa bubur ketan merah dan bubur ketan putih. Tujuan
dari tradisi unik ini adalah agar kelak nanti bayi atau anak tersebut akan hidup
berdampingan secara rukun dengan semua saudara-saudaranya.
22. Tradisi Nenjrag Bumi (Jawa Barat)
Tradisi Nenjrag Bumi, dimana dalam tradisi unik ini seorang bayi
yang baru lahir akan diletakkan ditanah, kemudian sang Indung Beurang harus
memukulkan palu ketanah dekat si bayi sebanyak 7 kali. Kemudian Indung
Beurang juga akan menghentakkan kakinya ketanah sebanyak 3 kali. Adapun
tujuan dari tradisi Nenjrag Bumi ini adalah agar kelak nanti sang bayi tersebut
tumbuh dan menjadi seorang anak yang dapat menaklukkan kerasnya
kehidupan dunia ini.
Tujuan lain dari tradisi Ekah ini adalah mendo'akan anak tersebut
agar kelak menjadi orang yang saleh dan berbakti kepada orang tuanya.
Tradisi upacara Ekah ini biasanya diselenggarakan setelah bayi berusia 7 hari,
73
atau 14 hari, atau kadang - kadang juga berusia 21 hari. Sebagai perlengkapan
tradisi upacara tersebut disediakan domba atau kambing untuk disembelih.
Apabila bayi tersebut adalah laki - laki maka domba yang di sediakan sebanyak
dua ekor, dan jika bayi tersebut adalah perempuan maka domba yang di
sediakan cukup satu ekor saja. Selanjutnya domba tersebut disembelih oleh
ahlinya atau yang di sebut sebagai Ajengan dengan pembacaan doa selamat.
Kemudian domba tersebut di olah dan dimasak lalu dibagikan kepada tetangga
dan kerabat.
Tradisi unik ini adalah upacara yang di lakukan ketika seorang bayi di
bawa keluar rumah untuk pertama kalinya. Tujuannya adalah mengenalkan
lingkungan dan memberitahukan kepada para tetangga bahwa bayi itu sudah
dapat digendong dan dibawa berjalan-jalan di halaman rumah. Tradisi upacara
Nurunkeun dilaksanakan setelah 7 hari setelah upacara Puput Pusteur. Dalam
tradisi ini biasanya diadakan pengajian yang tujuannya adalah untuk
keselamatan. Sebagai pelengkap tradisi unik ini maka hiburannya biasanya
berupa pohon tebu atau pohon pisang yang digantungi dengan aneka jenis
makanan, dan mainan anak-anak yang diletakan di ruang tamu, untuk
kemudian akan diperebutkan oleh para tamu terutama oleh anak-anak yang
hadir di acara tersebut.
Sumber:https://www.anekabudaya.xyz/2019/12/5-lima-tradisi-unik-suku-sunda-di-
jawa.html?m=1
Bali adalah nama salah satu provinsi di Indonesia dan juga merupakan
nama pulau terbesar yang menjadi bagian dari provinsi tersebut. Bali terletak di
antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya ialah Denpasar yang
terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk
74
agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan
berbagai hasil seni-budayanya.
Sejumlah tradisi unik yang disuguhkan menjadi sebuah atraksi dan sebagai
suguhan bagi wisatawan yang liburan ke pulau Bali. Budaya serta tradisi unik
tersebut masih bisa berkembang dan dilestarikan sampai sekarang ini sangat
berkaitan dengan keyakinan masyarakat akan ritual atau prosesi yang terbungkus
dalam sebuah tradisi.
75
2. Tradisi Mekare-Kare
Melihat Keunikan Tradisi Perang Pandan Mekare-kare di Desa Tenganan | Info Wisata
Kintamani Bali
3. Tradisi Omed-Omedan
76
digelar sebagai wujud kegembiraan setelah pelaksanaan Hari Raya Nyepi, ini
sebuah warisan budaya leluhur di pulau Bali, memiliki nilai sakral dan
dipercaya akan mengalami hal buruk jika tradisi ini tidak dilangsungkan.
4. Tradisi Mekotek
Tradisi Adat Bali Sebagai Penolak Bala, Tradisi Mekotek Desa Munggu - Subbali.com
Dikenal juga dengan Gerebeg Mekotek, tradisi unik di pulau Bali ini
digelar setiap 6 bulan (210 hari) sekali, tepatnya saat perayaan Hari Raya
Kuningan (10 hari setelah Galungan). Prosesi ini digelar dengan tujuan tolak
Bala untuk melindungi dari serangan penyakit dan juga memohon keselamatan.
Pada mulanya tradisi Mekotek, menggunakan tongkat besi, untuk menghindari
agar peserta tidak ada yang terluka, maka digunakanlah kayu Pulet sepanjang
2-3.5 meter yang kulitnya sudah dikupas sehingga terlihat halus. Tongkat-
tongkat tersebut dipadukan menjadi satu formasi sebuah kerucut, suara
“tek,tek” kayu berbenturan tersebut sehingga dikenal dengan Mekotek. Budaya
dan tradisi unik di Badung Bali ini masih terjaga lestari sampai sekarang ini.
77
5. Gebug Ende Seraya
Atraksi ini dikenal juga dengan perang rotan, yang mana dua orang
laki-laki berhadap-hadapan dan saling serang dengan sebatang rotan sepanjang
1.5-2 meter kemudian tangan satunya memegang tameng untuk menangkis
serangan lawan, diantara keduanya dibatasi dengan batang rotan (garis tengah)
agar tidak masuk ke wilayah lawan. Perang rotan ini tidak hanya perlu
ketangkasan saja tetapi juga keberanian, karena setiap peserta bisa saja kena
pukulan rotan lawan. Tujuan utama dari prosesi Gebug Ende ini adalah ritual
tradisional untuk memohon hujan, dan ini dilakukan pada musim kemarau
yaitu di bulan Oktober – Nopember setiap tahunnya. Kondisi geografis dari
desa Seraya yang berada di wilayah perbukitan memang rentan dengan
masalah air, itulah sebabnya ritual memohon hujan ini dilangsungkan di desa
ini. Seraya juga memiliki sejumlah destinasi wisata yang bisa dikunjungi saat
tour di pulau Bali.
78
7. Tradisi Makepung
8. Tradisi Mesuryak
9. Pawai Ogoh-Ogoh
79
simbol dari Bhuta Kala, dibuat dengan wujud menyeramkan atau simbol
sebuah kejahatan, yang paling dominan berwujud raksasa menyeramkan,
binatang atau bahkan wujud seorang penjahat. Prosesi pawai ogoh-ogoh
tersebut masih dalam rangkaian pelaksanaan Hari Raya Nyepi, setelah
sebelumnya diadakan Tawur Kesanga memberikan upah kepada Bhuta Kala,
kemudian petang harinya diusir dan diarak keliling dalam bentuk pawai, agar
tidak mengganggu kehidupan manusia lagi, terutama esok harinya saat
melaksanakan hari raya Nyepi.
Hari raya ini digelar sekali dalam setahun sebagai penyambutan tahun
baru Isaka yang jatuhnya pada bulan mati (Tilem) sasih Kesanga. Sebuah
penyambutan tahun baru yang berbeda, yaitu dengan kesunyian, ketenangan,
lengang dan sepi, itulah sebabnya semua warga pada saat hari raya Nyepi
tersebut tidak boleh bepergian, menghidupkan api, membuat kegaduhan
ataupun bersenang-senang. Termasuk fasilitas umum juga tutup kecuali
rumah sakit. Tujuan dari perayaan ini untuk bisa introspeksi diri atau mulat
sarira dan merenung dalam suasana hening bisa berkonsentrasi lebih
maksimal, seharian tinggal di rumah dan bersembahyang melakukan brata
dan meditasi, agar nantinya bisa memulai kehidupan yang lebih baik pada
bulan berikutnya pada sasih Kedasa, semua kedas, bersih dan suci untuk
memulai lagi kehidupan baru.
Saat upacara Ngaben, jasad atau tubuh orang meninggal bisa dikubur
terlebih dahulu ataupun dikremasi langsung. Upacara Ngaben digelar adalah
wujud bakti manusia dan kewajiban suci kepada leluhurnya atau orang yang
telah meninggal. Tujuan upacara Ngaben mengembalikan unsur Panca Maha
Bhuta dari tubuh kasar manusia ke asalnya dan badan halus (atma) yang telah
meninggalkan lebih cepat mendapat penyucian dan kembali kesisi-Nya. Tata
cara pelaksanaan Ngaben pun tidak selalu sama sesuai dengan situasi, kondisi
80
dan tempat Ngaben tersebut berlangsung, namun yang terpenting esensi atau
tujuannya sama, karena Hindu tidak di Bali saja tetapi menyebar di kepulauan
Indonesia.
Budaya dan Tradisi unik di Bali ini digelar dalam rangkaian upacara
Aci Rah Pengangon setiap satu tahun sekali yaitu pada hari Purnama (bulan
penuh) sasih Kapat atau sekitar bulan September – Oktober. Namanya juga
perang ketupat, warga menggunakan ketupat untuk berperang, mereka terbagi
menjadi dua kelompok kemudian saling lempar dan saling serang antar
kelompok. Perang Ketupat ini hanya melibatkan kaum laki-laki saja mereka
menggunakan pakaian adat Bali, tapi tanpa baju, begitu ada aba-aba untuk
mulai perang, mereka juga mulai saling serang dan lempar di areal pura,
kemudian merembet ke luar pura sampai di jalan raya agar lebih leluasa, tidak
ada aturan tertentu, mereka bebas menyerang kubu lawan. Namun akhirnya
damai tanpa permusuhan. Sebuah budaya dan tradisi yang juga erat dengan
pesan sosial.
Tradisi ini melibatkan anak laki-laki saja, bahkan mulai yang balita
sampai dengan dewasa yang tergabung dalam sekehe Truna (organisasi
pemuda) di desa tersebut. Yang menarik adalah setiap peserta dirias dengan
wajah seram dan menakutkan dengan warna-warna yang dipilih sendiri oleh
peserta. Adapun riasan seram tersebut untuk mewakili wujud wong samar
(makhluk halus) yang sering mengganggu anak-anak. Digelarnya budaya dan
tradisi Ngerebeg ini bertujuan untuk memberikan tempat bagi wong samar
tersebut, sekaligus memberikan persembahan, agar bisa hidup berdampingan
dengan manusia dan tidak saling mengganggu. Tradisi inipun digelar secara
rutin oleh 7 banjar di desa Pekraman Tegalalang, dalam rangkaian pujawali
yang digelar pada Pura Duur Bingin.
81
14. Tradisi Mebuug-Buugan Di Kedonganan
Nyakan Diwang berarti masak di luar rumah, sehingga saat tradisi ini
berlangsung maka warga desa Banjar akan masak di luar rumah mereka atau
di pinggir jalan. Sebuah tradisi unik yang sudah digelar turun temurun dan
masih bertahan sampai sekarang. Tradisi Nyakan Diwang di Buleleng ini
digelar Dini hari saat perayaan Hari Raya Nyepi, biasanya Nyepi baru buka
pukul 06.00 wita, tetapi di desa Banjar buka lebih awal pada pukul 03.00 wita
dini hari, sehingga jalan raya di kawasan ini masih lengang tidak ada lalu
lalang kendaraan yang melintas, dan saat itulah warga mulai keluar rumah
dan memasak dengan alat tradisional. Tujuan digelar tradisi ini untuk
menyucikan lingkungan rumah dan dapur serta tradisi ini merupakan wujud
dari peningkatan budaya menyama braya atau menjalin hubungan
persaudaraan antar sesama, dan juga sebagai ungkapan syukur setelah catur
Brata Penyepian.
82
Permainan tradisional tersebut muncul, karena raja terinspirasi oleh seekor
goak (gagak) yang sedang mengincar mangsanya, dan gagak tersebut
membuat taktik agar bisa menangkap mangsanya. Hal tersebutlah membuat
raja mempraktekkan cara gagak tersebut dengan mengajak prajuritnya
melakukan sebuah permainan tradisional yang dinamakan megoak-goakan.
83
sebuah hotel di Ubud, namun sekarang atraksi tersebut tidak ada lagi. Dan
sekarang Mepantigan masih bisa anda temukan di Pondok Mepantigan Bali,
lokasinya di Banjar Tubuh, Batubulan, Gianyar.
84
terjadi tarik ulur penamaan pura tersebut, dari sinilah (tarik-ulur) cikal bakal
Mbed-mbedan tersebut.
85
hanya berlaku bagi laki-laki saja tetapi juga bagi kaum perempuan yang
menikah ke luar desa Pengotan.
Tradisi Perang Air atau Siat Yeh di GianyarTradisi ini dikenal juga
dengan nama Siat Yeh, digelar setiap setahun sekali tepatnya saat tahun baru
Masehi dimulai yaitu tanggal 1 Januari di desa Suwat Gianyar. Ini merupakan
sebuah budaya dan tradisi unik dan berbeda terutama lagi saat hari
perayaannya, sangat jarang sekali ritual di pulau Bali menggunakan kalender
Masehi sebagai patokannya. Tujuan dari digelarnya Tradisi Perang Air di
Gianyar ini adalah sebagai bentuk pembersihan diri dari hal-hal negatif yang
sudah terjadi pada tahun sebelumnya agar di tahun yang baru ini diharapkan
tidak menimpa warga kembali. Menurut warga Suwat di awal tahun yang
baru wajib bagi mereka untuk melakukan pembersihan pada alam sekitar dan
diri sendiri agar pengaruh negatif yang ada di lingkungan sekitar ataupun di
dalam diri kita sendiri dapat segera dimusnahkan.
86
25. Tradisi Siat Yeh Jimbaran
87
Kalimantan juga disebut Bornoe pada zaman colonial, adalah pulau terbesar
ketiga di dunia yang terletak di sebelah utara Pulau Jawa dan di sebelah barat Pulau
Sulawesi. Pulau Kalimantan dibagi menjadi 73% Indonesia, 26% Malaysia, dan 1%
Brunei. Pulai Kalimantan terkenal dengan julukkan “Pulau Seribu Sungai” karena
banyaknya sungai yang mengalir di Pulau ini.
88
2. Mondonduri, Mepuka, Meboso, Mearano, Dan Melupai, Sulawesi
Tenggara
Mondoduri merupakan aktivitas memancing ikan dengan
memanfaatkan rawa, sungai, dan laut. Aktivitas ini biasa dilakukan secara
individu maupun kelompok-kelompok kecil dengan memanfaatkan waktu
senggang atau libur ketika rutinitas pekerjaan sedang rehat. Biasanya warga
memancing ikan pada sore hari atau hari Sabtu dan Minggu. Temuan
penelitian mengungkapkan bahwa aktivitas mondonduri ini telah
dimanfaatkan oleh sebagian warga dengan membuka jasa pemancingan
dengan sistem sewa perjam. Bahkan tak jarang di sejumlah spot-spot
pemancingan dilakukan lomba memancing dengan hadiah yang cukup
menggiurkan, termasuk dimaanfaakan oleh sejumlah pihak untuk kepentingan
sosial dan politik.
Mepuka adalah aktivitas mencari ikan dengan menggunakan pukat
atau jaring yang biasanya dilakukan di rawa atau sungai sekitar pemukiman
penduduk. Saat ini aktivitas mepuka telah memanfaatkan kawasan perairan
laut dengan menggunakan pukat harimau, yang tidak hanya membinasakan
ikan-ikan kecil dan hasil laut lainnya, namun juga melanggar hukum yang
berdampak pada pemidanaan. Namun demikian, aktivitas mepuka dengan
menggunakan pukat harimau, bagi sebagian tokoh masyarakat (toono motuo)
adalah perbuatan tercela karena dapat menganggu atau mengurangi ekosistem
sungai dan laut seperti ikan-ikan kecil sehingga berdampak pada persediaan
ikan pada jangka panjang yang semakin berkurang.
Meboso merupakan pola budidaya hasil laut dengan menampung pada
suatu wadah/tempat di sekitar rawa, laut, dan sungai. Tujuannya selain untuk
menampung hasil-hasil tangkapan agar memiliki ukuran yang lebih besar,
juga menjadi katup pengaman konsumsi penduduk di masa paceklik. Temuan
penelitian menunjukkan bahwa aktivitas meboso dalam konteks budidaya
telah digunakan oleh sebagian penduduk untuk membangun kolam besar
sebagai sarana wisata perikanan dan aktivitas pemancingan. Aktivitas meboso
yang terbuat dari bahan bambu dan batang/daun rumbia (sagu) masih tetap
89
dipertahankan oleh sebagian masyarakat etnik Tolaki di tengah modernisasi
perikanan dengan sistem penampungan yang lebih canggih.
Mearano adalah aktivitas penangkapan ikan dengan memanfaatkan
rawa-rawa buatan manusia dan di musim hujan air yang tergenang.
Masyarakat etnik Tolaki biasanya menggali lobang di sekitar lahan
perladangan atau area persawahan untuk menampung air hujan. Air hujan
selain berfungsi untuk mengairi sawah dan tanaman pertanian lainnya, juga
digunakan untuk menampung ikan yang dipanen ketika musim paceklik tiba.
Aktivitas mearano ini banyak dilakukan oleh kaum perempuan dengan
mengundang rekan-rekannya dengan sistem bagi hasil kepada pemiliknya.
Aktivitas ini mengelaborasi nilai kearifan lokal dalam konteks
medulu/mepokoaso (berkumpul atau bersatu) bagi kaum perempuan, termasuk
menjadi wahana bagi mereka untuk mengkomunikasikan aktivitas
kekeluargaan dan masalah-masalah perempuan dalam spektrum yang lebih
luas.
Melupai, merupakan tradisi atau kebiasaan turun temurun dengan
memanfaatkan air sungai mengalir atau rawa ukuran besar guna meracuni ikan
dengan menggunakan tuba dari akar-akar pohon yang mengandung racun.
Aktivitas ini marak sekitar tahun 70-an hingga 90-an dan biasanya dijadikan
wahana pertemuan saudara atau para kerabat sambil bergembira dan
bercengkrama mencari/mengambil ikan. Namun seiring dengan pelarangan
dan penegakan hukum yang cukup ketat, aktivitas molupai ini sudah jarang
dilakukan terutama kawasan-kawasan aliran sungai yang berhubungan
langsung dengan kawasan irigasi penduduk.
3. Maccerak Tappareng, Sulawesi Selatan
90
tappareng dalam bentuk upacara yang menyajikan makanan untuk penguasa
danau. oleh karena itu dalam upacara tersebut juga terdapat aktivitas
menyembelih kepala kerbau (ulu tedong) dan acara makan bersama. Upacara
ini bersifat sakral yang dilakukan pada tengah malam, dimana pada keesokan
harinya diselenggarakan acara lomba perahu dayung (mappalari lopi) dan
karnaval perahu dengan berbagai bentuk dan tema yang menggambarkan
kelimpahan rezeki. Biaya melakukan upacara adat ini berasal dari masyarakat
nelayan di danau Tempe (Sani, 2007).
91
dan fungsional serta adaptif terhadap iklim yang cenderung ekstrim di atas air.
Meskipun berada di atas air, rumah mengapung ini tetap mengacu pada
konsep arsitektur tradisional Bugis yang dibangun dengan upacara ritual
berdasarkan kebiasaan yang dilakukan Suku Bugis secara turun temurun.
Wisata Sulawesi Selatan, Danau Tempe Pesona Rumah Terapung di Sulawesi Selatan - Sulawesi
Selatan (https://id.pinterest.com/pin/454300681143804680)
Upacara ritual ini dimulai dengan mencari hari baik untuk mendirikan
rumah, mendirikan tiang utama rumah (possi bola) sebagai pusat rumah,
sampai ritual selamatan memasuki rumah mengapung baru. Ritual ini
dimaksudkan untuk keselamatan penghuni rumah dan kelancaran rezeki
selama menempati rumah tersebut, karena masyarakat di kawasan ini
mempercayai bahwa, setiap rumah memiliki penguasa roh halus yang harus
dihormati sehingga perlu diberi sesaji untuk memohon izin pada Allah melalui
makhluk yang dikuasakan menjaga rumah tersebut.
92
belum dipengaruhi bahasa para pendatang, yaitu di sekitar Raranggonau dan
Tompu. Sementara bahasa Ledo yang dipakai oleh masyarakat Kaili di kota
Palu, dan Biromaru (bahasa Kaili Ado, Kaili Tara, Kaili Ija, Kaili Edo ),
Donggala (bahasa Unde dan Doi) dan Parigi dan sekitarnya (bahasa Kaili Tara
dan Rai), sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa
pendatang, terutama Bugis dan Melayu. Semua kata dasar bahasa-bahasa yang
disebutkan itu berarti “tidak”.
Ombo Suaka, berlaku selama 40 hari jika ada salah satu keluarga
Madika (bangsawan dan keluarganya) meninggal dunia, hanya dibatasi
wilayah penutupan lokasi penangkapan ikan, sesuai daerah atau tempat tinggal
madika tersebut, termasuk tokoh adat yang dihormati dan dituakan di desanya.
93
Sanksi terhadap pelanggaran ombo berupa teguran secara langsung
dari pemuka adat, diyakini bahwa pelanggaran ombo berakibat kena bala
seperti, sakit atau meninggal dunia, khususnya pelanggaran ombo
suaka.Sanksi lainnya berupa denda 10 dulam, (piring adat) satu buah kain
mbesa (kain adat) satu ekor sapi atau kerbau. Selain itu, hubungan Topo
Lando (nelayan) dengan Danau Lindu, memiliki alat tangkap yang ramah
lingkungan baik yang dikembangkan atau yang diadopsi dari luar, seperti,
landa (pukat/jaring) dengan ukuran 4 (empat) jari, dimaksudkan untuk
menjaga habitat ikan yang ditangkap dengan jaring, ikan yang terjaring lebih
kecil dari ukuran 4 (empat) jari akan dilepaskan kembali ke danau.
Kata roppo atau roppong dalam bahasa Mandar berarti sampah. Alat
ini merupakan alat bantu penangkap ikan yang terdiri dari pelampung (bambu
atau gabus), alat pemikat (daun kelapa yang dipasang di bawah pelampung),
dan alat pemberat (Alimudin, 2003 dalam Balai Pengkajian dan
Pengembangan Budaya Melayu, 2007a). Terbentuknya roppo berawal dari
guguran daun-daun kelapa yang berada di sepanjang pantai barat pulau
Sulawesi, khususnya pantai teluk Mandar, dan menjadi tempat para nelayan
untuk mencari ikan (Alimuddin, 2003 dalam Balai Pengkajian dan
Pengembangan Budaya Melayu, 2007a), sehingga roppo digunakan sebagai
alat bantu menangkap ikan karena dianggap sebagai tempat berkumpulnya
ikan.
94
Roppo juga mengajarkan tentang solidaritas sosial. Keberadaan
memanfaatkan alam, keyakinan kepada hal gaib, dan solidaritas sosial (Balai
Pengkajian dan Pengembangan Budaya Melayu, 2007a). Roppo merupakan
manifestasi dari solidaritas sosial masyarakat nelayan Mandar. Pengadaan
bahan, proses pembuatan, pemasangan, dan pemanfaatan roppo merupakan
potret solidaritas masyarakat. Mereka membuat roppo secara bersama-sama,
dan memanfaatkannya untuk kepentingan bersama.
8. Perahu Sandeq
95
Keberadaan Perahu Sandeq merupakan hasil dari cara orang-orang
Mandar merespon kondisi alam tempat mereka tinggal. Perahu Sandeq
merupakan pengejawantahan dari karakter orang Mandar itu sendiri.
Pallayarang (tiang layar utama) sebagai penentu utama kelajuan perahu
merupakan simbol terpacunya cita-cita kesejahteraan masyarakat.
3. Budaya Dolob
Suku Dayak Agabag, adalah salah satu Dayak yang mendiami wilayah
kecamatan Sembakung, Sebuku, Lumbis dan sebagian Kabupaten Bulungan,
seluruhnya berada di kawasan utara Kalimantan Timur. Dolob merupakan
instrument penyelesaian perkara tanah yang di hadapi oleh masyarakat suku
96
dayak agabag di kabupaten Nunukan dan suku dayak Agabag di Kabupaten
Malinau. Kedua suku berasal dari kabupaten yang berbeda namun memiliki
keunikan dalam menyelesaikan perkara tanah dan bahkan dengan
permasalahan lainnya. Budaya dolob yang merupakan ritual sumpah
pembuktian apakah orang yang dituduhkan bersalah atau tidak dengan cara
menyelam kedalam sungai. Budaya dolob adalah jalan terakhir dalam
menyelesaikan sengketa masalah yang ada. Hukum adat menurut masyarakat
suku dayak lebih cenderung memberi rasa keadilan dan lebih tepat
mengungkap dan menyelesaikan perkara, cepat, murah, terhindar dari sikap
dendam dan memberi efek jera.
4. Budaya mamat
5. Tarian gong
97
topeng atau wajah pemain alanalan yang sudah dicoring-moring.
Permainan alanalan biasa diselenggarkana jika ada acara perkawinan maka
akan menggelar acara yang isinya permainana alanalan. hadiah-hadiah yang
tergantung di atas panjatan batang pinang itu dilemparkan kepada
khalayak/penonton oleh orang yang berperan sebagai alanalan tersebut,
sehingga menjadi rebutan.
Nama provinsi ini diganti menjadi Papua sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi khusus Papua. Pada 2003, disertai oleh berbagai protes (penggabungan antara
Papua Tengan dan Papua Timur), Papua dibagi menjadi dua provinsi oleh pemerintah
Indonesia; bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian baratnya menjadi
Provinsi Irian Jaya Barat (setahun kemudian menjadi Papua Barat). Bagian timur inilah
yang menjadi wilayah Provinsi Papua pada saat ini.
Kata Papua sendiri berasal dari bahasa melayu yang berarti rambut keriting, sebuah
gambaran yang mengacu pada penampilan fisik suku-suku asli di Papua.
98
Provinsi Papua terdapat banyak ragam budaya atau kearifan lokal yang hingga kini
masih tetap eksis, walaupun telah dipengaruhi oleh kemajuan yang disebabkan oleh
teknologi, pendidikan, ekonomi ataupun perubahan kepercayaan tradisional ke modern.
Kearifan lokal tersebut antara lain.
99
mencari jodohnya harus mencari keluar moiety atau kawin keluar klen /
marga. Harta mas kawin yang digunakan adalah kapak batu, manik-manik,
paseda, gelang batu dan perak, piring porseling, babi dan kain timor.
4. Farkawawin
Kehidupan masyarakat Kampung Syabes masih memegang teguh adat
istiadat yang diwariskan oleh para leluhur mereka dan tetap hidup dalam satu
kesatuan sebagai keluarga besar yang selalu bekerja sama dalam menata
kehidupan baik sebagai individu maupun kelompok untuk mempertahankan
identitas yang menjadi ciri khas masyarakat Biak.
100
berat sehingga setiap individu dalam masyarakat biak harus berusaha hidup
menurut aturan agar suasana yang baik, aman dan tenteram bisa tercapai.
5. Sasi Laut
Sasi laut merupakan budaya yang diturunkan oleh nenek moyang
untuk mengatur hasil panen laut. Budaya sasi laut yang ada di suku Kokoda
dibuka oleh ketua adat, dengan cara melakukan ritual sesaji di tempat yang
akan dilakukan sasi laut. Selesai ritual, pada waktu subuh esok harinya
seluruh masyarakat mandi di air laut dengan membawa alat tangkap hewan
laut seperti alat pancing, jaring ikan, tombak ikan, dan lain-lain. Selanjutnya,
tempat yang dilakukan sasi laut tadi tidak boleh dipanen hasil lautnya selama
6 bulan oleh semua masyarakat.
Kearifan lokal sasi laut ini menjadikan ekosistem laut lebih terjaga,
karena terdapat pembatasan dalam pengambilan sumber daya laut (Kuwati et
al. 2014). Sehingga, terjadi proses regenerasi ekosistem terlebih dahulu.
6. Hutan Keramat
Pada bagian timur Kepulauan Ugar, terdapat beberapa hutan keramat
yang harus disertai izin dari ketua adat jika ingin memasukinya. Proses
perizinannya terbagi menjadi dua tahapan ritual. Pertama, yaitu ritual
101
penyerahan sesaji berupa pinang, sirih, kapur, dan tembakau di pohon
keramat. Kedua, yaitu ritual pengikatan tali merah oleh orang yang ingin
masuk kawasan di pintu masuk hutan keramat. Hal tersebut dipercaya sebagai
bentuk ikatan persaudaraan antara leluhur dengan orang yang ingin masuk
kawasan agar dijaga oleh roh leluhur dan diberikan keselamatan.
7. Apotik Hidup
Terdapat kearifan lokal yang sangat penting bagi kelestarian
tumbuhan obat, yakni apotik hidup. Pada bagian tengah Kampung Ugar,
terdapat area sekitar 25 m2 yang disebut sebagai apotik hidup oleh
masyarakat lokal. Meskipun sebagian besar tanaman yang dimanfaatkan
untuk obat berasal dari hutan, namun ada juga beberapa tumbuhan yang
dibudidayakan di apotik hidup. Tumbuhan yang ditanam di apotik hidup
sebagian besar adalah tanaman yang dimanfaatkan bagian akar, rhizoma,
batang, atau yang seluruh bagian tumbuhannya digunakan untuk obat. Contoh
diantaranya yakni tanaman Zingiber officinale Roscoe (Abascal & Yarnell
2009), Cymbopogon citratus (DC.) Stapf (Avoseh et al. 2015), Phyllanthus
niruri L. (Narendra et al. 2012), Curcuma longa L. (Labban 2014), dan lain-
lain.
8. Rumah Kombou
Rumah kombouw merupakan rumah inisiasi yang masyarakat Sentani
gunakan untuk melakukan pendidikan secara formal yang dilakukan sejak
dini bagi anak-anak laki-laki. Pelajan yang dipelajari antara lian pelajaran
berburu, siasat perang, membuka kebun, dan lain-lain.
9. Rumah Ondofolo
Rumah Ondofolo merupakan rumah belajar bagi anak-anak
perempuan. Pelajaran yang dipelajari di rumah ini antara lain pelajaran
berkebun, mencari ikan, memasak, mengurus keluarga. Secara tidak formal
pendidikan pun diperkuat di rumah. Bagi masyarakat Sentani, pendidikan
berkaitan erat dengan kerja keras.
102
10. Holei Narei
Masyarakat Sentani dapat hidup damai sejahtera, jauh dari kebencian
dan kecurigaan satu dengan yang lain. Secara literal ungkapan tersebut berarti
“kampung halaman damai sejahtera, dipenuhi suara canda anak-anak dan
kicauan burung”.
11. Roboni
Roboni merupakan kegiatan pembayaran adat yang tampak pada
ekonomi masyarakat, misalnya pembayaran mas kawin yang menekankan
keseimbangan antara memberi dan menerima. Untuk mendapatkan mas
kawin, pihak perempuan harus memberikan makanan (hamang) terlebih
dahulu. Keseimbangan ini menjadi prinsip ekonomi masyarakat.
Keseimbangan juga berkaitan dengan sebab-akibat seperti ungkapan yang
mengatakan “ofae bline hu hehe yarole” (daun terlentang akan mendapat sinar
matahari). Peribahasa ini mengajarkan bahwa orang yang suka memberi akan
banyak mendapat berkat.
103
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Indonesia memiliki “aset spiritual” berupa kearifan lokal dan etika agama. Kearifan
lokal dapat dipandang sebagai identitas bangsa, terlebih dalam konteks Indonesia yang
memungkinkan kearifan lokal bertransformasi secara lintas budaya yang pada akhirnya
melahirkan nilai budaya nasional. Di Indonesia, kearifan lokal adalah filosofi dan pandangan
hidup yang mewujud dalam berbagai bidang kehidupan (tata nilai sosial dan ekonomi,
arsitektur, kesehatan, tata lingkungan, dan sebagainya). Kearifan lokal merupakan kekayan
bangsa yang diwariskan langsung oleh para leluhur yang patut dipelajari dan dilestarikan
agar tidak terjadinya kepunahan pada adat dan budaya itu sendiri.
104
DAFTAR PUSTAKA
Drs. Nurdin AR, M.Hum (2015). Beberapa Catatan Tentang Kearifan Lokal Masyarakat Aceh.
Majelish adat Aceh
Malau Gens G. 2000. Aneka Ragam Budaya Batak. Jakarta: Yayasan Bina Budaya Nusantara
Taotoba Nusa Budaya.
Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : PN Balai Pustaka.
Sihombing T.M. 1989. Jambar Hata Dongan Tu Ulaon Adat: CV Tulus Jaya
Wikipedia, 2012, Tradisi Kenduri Laut Di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Duniakumu.com,
Mangure Lawik Tradisi Budaya Tradisional di Pesisir Tapteng dan Sibolga.
Harahap dan Siahaan, 1987, Armaidy Armawi, Kearifan Lokal Batak Toba Dalihan Na
Tolu...159
Saputra, Isral. (2011). Silek Kumango: Keberadaan, Pewarisan, dan Kearifan Lokal
Minangkabau. Wacana Etnik; Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, 2 (1), 73—94.
Sedyawati, Edi dan Sapardi Djoko Damono (Editor). (1983). Seni dalam Masyarakat Indonesia.
Jakarta: Sinar Harapan.
Sedyawati, Edi. (2006). Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: PT
RAJA Grafindo Persada.
Seha, Nur, et al. (2014). Fungsi Teater Rakyat Ubrug Bagi Masyarakat Banten. Atavisme, 17
(1). 107-120.
Syuriadi, Helki dan Hasanuddin WS. (2014). Nilai-nilai Pendidikan dalam Teks Cerita Randai
“Malangga Sumpah” Karya Lukman Bustami Grup Randai Bintang Tampalo
105
Kenagarian Padang Laweh Kabupaten Sijunjung. Jurnal Bahasa, Sastra dan
Pembelajaran, 2 (2), 60—74.
Suryadi. (2014). The Recording Industry And ‘Regional’ Culture In Indonesia The Case of
Minangkabau. Disertasi. Universiteit Leiden.
Triyanto. (2017). Art Education Based on Local Wisdom. Proceeding of 2nd International
Conference of Arts Languange And Culture. Universitas Sebelas Maret, 33—39.
Wendy. (2014). Dramaturgi Teater Rakyat Randai di Minangkabau. Jurnal Kajian Seni. 01 (01),
42—52. Wulandari,
Yosi. (2015). Randai sebagai Komunikasi Sastra Daerah di Minangkabau Sebuah Gagasan
Melestarikan Budaya Indonesia. Prosiding Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III.
Zulkifli. (2013). Randai sebagai Teater Rakyat Minangkabau: Alternatif Pembinaan dan
Pengembangan. Jurnal Garak jo Garik, I (9), 32—32.
Jakob Siringoringo. (2019). Kearifan Lokal, Masyarakat Adat Aur Kuning: Melestarian Ikan
dengan Lesung Batu. Jakarta
Hendra Gunawan, S.Hum., M.Hum. (2020). Orang Jambi Perlu Tau, Seloko Sebagai Kearifan
Lokal Dan Kontrol Sosial Bagi Masyarakat Kota Jambi.
Djulia, E. (2005). Peran Budaya Lokal dalam Pembentukan Sains: Studi Naturalistik
Pembentukan Sains Siswa Kelompok Budaya Sunda tentang Fotosintesis dan
Respirasi Tumbuhan dalam Konteks Sekolah dan Lingkungan Pertanian. Disertasi
Doktor Tidak Diterbitkan. Bandung: SPs UPI.
106
Ratih, D. (2013). Nilai-nilai Kearifan Lokal Hutan Lindung Situ Lengkong dalam
Mengembangkan Green Behavior Peserta Didik Melalui Pembelajaran Sejarah
(Studi Naturalistik Inkuiri di SMA Negeri 1 Lumbung). Tesis S2 Tidak
diterbitkan. Bandung: FPIPS SPs UPI.
Y.R. Zakaria, Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat, (Jakarta: Penerbit Walhi, 1994), hlm. 56.
Robert Chamber dan P. Richards, ‘Preface’, dalam D.M. Warren dkk. (peny.) The Cultural
Dimension of Development: Indigenous Knowledge Systems. (London:
Intermediate Technology Publications, 1995), hlm. Xiii-xiv.
Akar Foundation, 2011. Kearifan Lokal Suku Rejang Jurukalang dalam Tata Kelola Hutan
Andesti, Mery Yono, dan Adry, 2009. Prosesi Bercocok Tanam di Ladang Menurut Hukum
Adat Rejang di Kecamatan Rimbo Pengadang Kabupaten Lebong.
Anton Sutrisno, 2011, Eksistensi Subak di Daerah Transmigrasi Kabupaten Bengkulu Utara,
tugas Mata Kuliah Dinamika Sosial dan Kearifan Tradisional.
Ar-Riza, Isdijanto, Nurul Fauziati dan Hidayat D.Noor. 2008. Kearifan Lokal Sumber Inovasi
dalam Mewarnai Teknologi Budidaya Pada Lahan Rawa Lebak. Balai
Penelitian Lahan Rawa Lebak.
Triyadi Sugeng, Iwan Sudradjat dan Andi Harapan. 2010. Kearifan Lokal Pada Bangunan
Rumah Vernakular Di Bengkulu Dalam Merespon Gempa. Studi Kasus: Rumah
Vernakular di Desa Duku Ulu, Local Wisdom Volume II Januari 2010
Irwanto, 2019. Ngobeng, Tradisi Khas Palembang yang Semakin Tergerus Zaman Kekinian
Merdeka.com.
107
Arios, R. L. (2017). Permukiman Tradisional Orang Basemah di Kota Pagaralam. Jnana
Budaya: Media Informasi dan Publikasi Sejarah dan Nilai Tradisional, 19(2), 183–198.
Firduansyah, D., Rohidi, T. R., & Utomo, U. (2016). Guritan: Makna syair dan proses
perubahan fungsi pada masyrakat Melayu di Besemah Kota Pagaralam. Catharsis,
5(1), 71–78.
Sambut Hari Kartini, DWP Muba Gelar Lomba Senjang dan Melukis. (t.t.). Diambil 20 Agustus
2019, dari http://www.jdih.mubakab.com/berita-sambut-hari-kartinidwpmuba-gelar-
lomba-senjang-dan-melukis.htmlSenjang:Warisan Budaya Tak Benda Indonesia dari
Musi Banyuasin –FORNEWS.CO.(t.t.). Diambil 20 Agustus 2019, dari
https://fornews.co/news/senjangwarisanbudaya-tak-benda-indonesia-dari-musi-
banyuasin/
Pujakesuma, 2020. Kearifan Lokal Suku Lampung Yang Tetap Lestari Dan Terjaga
Amiruddin, dkk. 2017. Kalosara di Kalangan Masyarakat Tolaki di Sulawesi Tenggara. Jurnal
Seni Budaya Volume 32, Nomor 1. Hal. 209-219.
Naidah Naing, dkk. 2009. Kearifan Lokal Tradisional Masyarakat Nelayan Pada Permukiman
Mengapung Di Danau Tempe Sulawesi Selatan. Volume: I, Nomor: 1. Halaman: 19
– 26.
Sukmawati Saleh. 2013. Kearifan Lokal Masyarakat Kaili Di Sulawesi Tengah. Jurnal
Academica Fisip Untad. Vol.05 No. 02 Hal. 1126-1134.
Sulsalman Moita. 2017. Kearifan Lokal Masyarakat Etnis Tolaki Dalam Pengelolaan Sumber
Daya Pesisir Di Kecamatan Lalonggasumeeto Kabupaten Konawe Provinsi Sultra.
Jurnal Sosiologi Pendidikan Humanis. Volume 2, Nomor 1, Halaman 16-22.
108
Azhari. (2019). The Impact Singer & Jipen of Dayak Tribe on Environmental Sustainability in
Central of Borneo. Internasionnal Journal of Architectur and Urbanism. Vol. 03 No
01.
Suryaningsi, 2016. Dolob Tinjauan Kearifan Lokal Dalam Penyelesaian Sengketa Tanah Pada
Masyarakat Hukum Adat Dayak Agabag
Syamsuddin Hasan, 2020. Melestarikan kearifan lokal budaya banjar kalsel yang hampir punah
Robert Siburian. 2018. Akses Dan Pengelolaan Sumber Daya Hutan Pada Masyarakat Lokal Di
Kabupaten Manokwari. Jurnal Masyarakat & Budaya, Volume 20 No. 3 Hal. 297-312.
Herningsih. 2018. Kebijakan Pemerintah Papua dalam Pelestarian Tradisi Bakar Batu. Journal
of Islamic Studies and Humanities Vol. 3, No. 2, h. 209-225.
Wahalid Najamudin, dkk. 2015. Pengelolaan sumberdaya ikan lema (Ratrelliger kanagurta)
yang berbasis kearifan lokal di Kampung Warsamdin dan Lopintol, Distrik Teluk
Mayalibit, Provinsi Papua Barat. Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap 2(1):
28-32
Nimbrot Nixon, dkk. 2017. Kearifan Lokal Budaya Farkawawin Suku Biak Di Desa Syabes
Kecamatan Yendidori Kabupaten Biak Numfor. e-journal “Acta Diurna” Volume VI.
No. 2. Hal. 1-13.
Reza Saputra. 2021. Konservasi Alam Berbasis Kearifan Lokal Suku Kokoda di Kepulauan
Ugar, Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Jurnal Bios Logos Vol. 11 No.1 Hal. 7-12.
Wigati Yektiningtyas. 2017. Kearifan Lokal Masyarakat Sentani, Papua Dalam Ungkapan
Tradisional. Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan, Universitas Cenderawasih.
109