KEKUASAAN
Oleh
Nada Najibah (NIM 220110301072)
Nazhifa Ainun Saibah Qurratu’aini (NIM 220110301053)
Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember
email: 220110301072@mail.unej.ac.id, 220110301053@mail.unej.ac.id
Abstract
This research focuses on shamanism in Joseon society.
This study uses historical research methods with an
interdisciplinary approach. The theoretical approach and
framework involve historical studies, cultural
anthropology, and the sociology of religion. The role of the
mudang is not only limited to performing religious rituals
but also as a spiritual adviser and liaison between the
human world and the spirit world. However, the existence
of the mudang also reflects the tension between patriarchal
domination and the spiritual power they represent. In this
respect, the role of the mudang in Joseon society had a
complex influence on power structures and social
hierarchies. The rituals performed by the mudang help fulfil
the spiritual needs of individuals and communities, like
reinforcing cultural identity and values in Joseon society.
Despite facing ostracism, the presence of the mudang is
necessary for the traditional spiritual, healing, and
celebratory context of the Joseon people.
keywords: shamanism, joseon, culture.
Penelitian ini berfokus pada shamanisme dalam
masyarakat Joseon. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian sejarah dengan pendekatan interdisipliner.
Pendekatan dan kerangka teoritis melibatkan studi sejarah,
antropologi budaya, dan sosiologi agama. Peran mudang
tidak hanya terbatas pada pelaksanaan ritual keagamaan,
tetapi juga sebagai penasihat spiritual dan penghubung
antara dunia manusia dan dunia roh. Namun, keberadaan
mudang juga mencerminkan ketegangan antara dominasi
patriarki dan kekuatan spiritual yang mereka wakili. Dalam
hal ini, peran mudang dalam masyarakat Joseon memiliki
pengaruh kompleks terhadap struktur kekuasaan dan
hierarki sosial. Ritual-ritual yang dilakukan oleh mudang
membantu memenuhi kebutuhan spiritual individu dan
komunitas, serta memperkuat identitas budaya dan nilai-
nilai dalam masyarakat Joseon. Meskipun menghadapi
pengucilan, kehadiran mudang tetap diperlukan dalam
konteks spiritual, penyembuhan, dan perayaan tradisional
masyarakat Joseon.
kata kunci: shamanisme, joseon, budaya.
PENDAHULUAN
Agama dan kepercayaan merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia yang
mencakup keyakinan, nilai-nilai, praktik spiritual, dan pandangan mengenai alam semesta dan
tujuan hidup. Adapun aliran-aliran dalam agama dan kepercayaan dapat memiliki variasi dalam
interpretasi, ritus, dan doktrin yang membedakan satu aliran dari yang lainnya (Ninian Smart,
1969). Sementara itu, agama pada suatu bangsa sebagai salah satu aspek penting dalam
kehidupan sosial, budaya, dan identitas suatu kelompok masyarakat. Agama dapat memainkan
peran yang signifikan dalam membentuk norma-norma, nilai-nilai, praktik keagamaan, dan
pandangan pada suatu bangsa.
Pada awalnya, agama-agama seperti Buddhisme, Shamanisme, dan Konfusianisme
mendominasi panorama keagamaan di Korea. Namun, seiring dengan modernisasi dan
pengaruh Barat, agama-agama baru mulai masuk ke Korea Selatan, yang kemudian mengarah
pada pluralitas agama yang lebih luas. Perkembangan agama di Korea Selatan telah mengalami
transformasi yang signifikan dari masa lalu hingga saat ini (Choi, 2007).
Hal itu awalnya muncul pada masa Goguryeo dan Konfederasi Jinhan, orang-orang
melakukan upacara pengorbanan kepada dewa-dewa surga, dewa harimau, dan roh-roh.
Upacara ini melibatkan nyanyian, tarian, dan pakaian khusus. Ketika agama Buddha
diperkenalkan pada abad ke-4, banyak orang Korea beralih ke agama ini, tetapi mayoritas
masih mengikuti shamanisme Korea. Bahkan, kuil-kuil Buddha dibangun dekat dengan
tempat-tempat pemujaan shamanistik.
Pada periode Silla, muncul kelompok Hwarang yang menggabungkan ajaran
Konfusianisme, Buddha, Taoisme, dan Shamanisme dalam praktik-praktik mereka. Di istana
Silla, terdapat shamanka yang berperan sebagai penasihat kerajaan, memberikan ramalan
nasib, menjelaskan peristiwa-peristiwa yang tidak menguntungkan, dan berhubungan dengan
dunia tak kasat mata.
Pada masa Goryeo, Raja Taejo Wang Geon memerintahkan rakyatnya untuk terus
mengamati Festival Panen Paraguan Hue dan mengadakan upacara pengorbanan kepada dewa-
dewa surga, sungai, gunung, dan naga. Shaman melakukan ritual hujan, menyembuhkan
penyakit, meramal, mengutuk orang-orang, dan bahkan tampil dalam pertunjukan komedi.
PENDEKATAN DAN KERANGKA TEORITIS
Dalam penelitian ini melibatkan analisis tentang konteks sosial, politik, dan budaya
pada masa Joseon. Hal ini akan membantu memahami dinamika masyarakat pada saat itu,
struktur kekuasaan, dan peran perempuan shaman dalam konteks sosial yang lebih luas. Dalam
teori peran gender dalam praktik keagamaan, sosial, dan politik. Hal ini akan melibatkan
analisis tentang konstruksi sosial gender, peran perempuan dalam ritual keagamaan, dan
konsekuensi gender terkait kekuasaan. Sementara itu, menggunakan pendekatan antropologi
budaya yang menjelaskan shamanisme sebagai fenomena budaya. Hal ini akan melibatkan
analisis tentang praktik ritual, simbolisme, mitologi, dan peran shaman perempuan dalam
konteks kehidupan sehari-hari masyarakat Joseon.
METODE PENELITIAN
Dalam penelitian historiografi mengenai peran shaman pada era Joseon yang
difokuskan pada perempuan, ritual, dan kekuasaan, beberapa metode yang dapat digunakan
adalah sebagai berikut:
1. Kajian Literatur Historis: Melakukan analisis mendalam terhadap karya-karya historis
yang membahas tentang era Joseon, shamanisme, perempuan, ritual, dan kekuasaan.
Metode ini melibatkan pembacaan dan evaluasi kritis terhadap sumber-sumber primer
dan sekunder yang telah ditulis oleh para sejarawan atau penulis yang berkompeten
dalam bidang tersebut.
2. Analisis Kritis Terhadap Sumber-sumber Primer: Mengevaluasi dan menganalisis
sumber-sumber primer seperti catatan sejarah, dokumen resmi, dan catatan-catatan
yang dihasilkan pada masa Joseon. Metode ini melibatkan pemahaman konteks historis,
kredibilitas sumber, serta penelusuran konstruksi narasi dan perspektif yang terkandung
dalam sumber-sumber tersebut.
3. Perbandingan Sumber-sumber: Membandingkan dan mempertimbangkan variasi
perspektif dan interpretasi dalam sumber-sumber yang relevan. Metode ini melibatkan
pembandingan antara sumber-sumber yang berbeda untuk memahami perbedaan
penekanan, sudut pandang, atau narasi yang mungkin muncul dalam pemahaman peran
shaman perempuan pada era Joseon.
4. Analisis Kontekstual: Menempatkan peran shaman perempuan dalam konteks sosial,
politik, dan budaya era Joseon. Metode ini melibatkan pemahaman tentang sistem
kepercayaan, struktur sosial, dan dinamika kekuasaan pada masa tersebut untuk
mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang peran shaman perempuan dalam
konteks yang luas.
5. Kritisisme Terhadap Bias dan Stereotip: Mengidentifikasi dan mempertimbangkan bias
atau stereotip yang mungkin muncul dalam sumber-sumber historis atau penelitian
sebelumnya terkait dengan peran shaman perempuan. Metode ini melibatkan kesadaran
terhadap pemahaman yang mungkin telah terdistorsi oleh pandangan atau prasangka
tertentu.
6. Interpretasi Historis: Membangun interpretasi historis yang koheren dan berdasarkan
bukti yang ada untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian mengenai peran
shaman perempuan pada era Joseon. Metode ini melibatkan pemilihan, penafsiran, dan
penyusunan bukti-bukti historis yang relevan untuk membangun narasi yang konsisten
dan dapat dipertanggungjawabkan.