PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan suatu rekayasa untuk mengendalikan learning guna
mencapai tujuan yang direncanakan secara efektif dan efisien,sekaligus menentukan
corak dan nasib masyarakat di masa depan (Nursanjaya, 2011:46). Di dalam proses
rekayasa ini, peranan semua pihak sangat penting, sebab learning adalah kegiatan
transfer of knowledge, transfer of understanding, transfer of values, dan transfer of
skills kepada peserta didik, sehingga yang ditransfer tersebut tidak hanya bermakna bagi
diri sendiri, tetapi juga bermanfaat bagi orang lain.
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas
sumber daya manusia. Pendidikan menjadikan sumber daya manusia lebih cepat
mengerti dan siap dalam menghadapi perubahan dalam segala aspek kehidupan.
Peningkatan kualitas sumber daya manusia pada akhirnya akan mempengaruhi secara
penuh pertumbuhan dan perkembangan suatu bangsa. Oleh karena itu, tidak heran
apabila negara yang memiliki penduduk dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan
mempunyai tingkat kemajuan yang sangat pesat.
Salah satu usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan adalah dengan
meningkatkan kualitas sumber daya guru sebagai komponen terpenting dalam proses
pembelajaran di sekolah. Untuk melakukan peningkatan profesi guru, banyak kegiatan
yang dapat dilakukan, seperti program pendidikan pra-jabatan (pre-service education)
maupun program dalam jabatan (inservice education). Tetapi, tidak semua guru yang
dididik baik di lembaga pendidikan maupun melalui program pendidikan dan pelatihan
akan terlatih dengan baik dan memiliki kualifikasi (well training and well qualified).
(Sahertian, 2000:1).
Untuk membangun dunia pendidikan yang lebih baik, perlu visi, misi, tujuan dan
strategi pendidikan yang tepat sesuai dengan tuntutan perubahan. Selain itu, perubahan
dunia yang serba cepat dan tidak menentu ini juga menuntut guru untuk terus-menerus
belajar menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
mobilitas masyarakat. Karenanya, perlu adanya suatu upaya untuk menjaga dan
mengawasi pembinaan dan pengembangan sumber daya guru agar kualifikasi dan
64
65
JURNAL ILMIAH – VIDYA Vol. 27 No. 1
profesionalisme mengajar guru menjadi semakin baik dari hari ke hari. Dan itu bisa
dilakukan dengan mengedepankan supervisi sebagai suatu layanan terbaik bagi guru
agar mereka semakin kuat profesionalismenya dalam mentransfer ilmu kepada peserta
didik.
Konsepsi Dasar Dan Pengembangan Supervisi
Secara etimologi supervisi diambil dari kata super yang artinya mempunyai
kelebihan tertentu, seperti kelebihan dalam kedudukan, pangkat, dan kualitas dan visi
yang artinya melihat atau mengawasi. Karena itu, supervisi dapat diartikan sebagai
kegiatan pengawasan yang dilakukan oleh seorang pejabat terhadap bawahannya untuk
melakukan tugas dan kewajibannya dengan baik, sesuai dengan tugas yang telah
digariskan (Burhanuddin, 2005:99).
Sebagaimana telah diketahui bahwa para ahli di bidang supervisi selalu
memberikan pengertian supervisi dengan kalimat yang tidak sama, walaupun apa yang
mereka maksudkan tidak jauh berbeda. Perbedaan itu sering kali hanya disebabkan oleh
penekanan pada aspek-aspek tertentu dan supervisi itu sendiri.
Sebelum membahas lebih jauh, ada hal yang harus diketahui mengenai supervisi
dan apa supervisi pendidikan itu sendiri. Menurut Kimball Wiles (sebagaimana dikutip
Sahertian), supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi pembelajaran yang
lebih baik. Rumusan ini mengisyaratkan bahwa layanan supervisi meliputi keseluruhan
situasi belajar mengajar (goal, material, technique, method, teacher, student, and
environment). Situasi belajar inilahyangxxseharusnyaxxdiperbaikixdan ditingkatkan
melalui layanan kegiatan supervisi (Sahertian, 2000:18-19).
Dengan demikian layanan supervisi tersebut mencakup seluruh aspek dari
penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran. Konsep supervisi tidak bisa disamakan
dengan inspeksi, karena inspeksi lebih menekankan kepada kekuasaan dan bersifat
otoriter, sedangkan supervisi lebih menekankan kepada persahabatan yang dilandasi
oleh pemberian pelayanan dan kerja sama yang lebih baik di antara guru-guru, karena
bersifat demokratis.
Sergiovanni (1982:5) mengemukakan pernyataan yang berhubungan dengan
supervisi sebagai berikut: (1) Supervisi lebih bersifat proses dari pada peranan; dan (2)
Supervisi adalah suatu proses yang digunakan oleh personalia sekolah yang
bertanggung jawab terhadap aspek-aspek tujuan sekolah dan yang bergantung secara
langsung kepada para personalia yang lain, untuk menolong mereka menyelesaikan
tujuan sekolah itu.
Dari pernyataan di atas dapat dikaji bahwa supervisi itu bukan peranan, tetapi
merupakan suatu proses. Proses tersebut terjadi di sekolah yang digunakan oleh
personalia-personalia tertentu untuk menolong para personalia yang lain dalam usaha
mencari tujuan pendidikan. Para personalia tertentu itu mempunyai tanggung jawab
yang lebih besar dari pada personalia-personalia yang lain, dan mereka ini bergantung
dan personalia personalia yang lain itu untuk mencapai tujuan pendidikan. Secara
ringkas, dikatakan bahwa supervisi merupakan suatu perilaku bekerja melalui orang-
orang untuk mengejar tujuan-tujuan sekolah.
Sementara itu, Ross (sebagaimana dikutip Purwanto, 2003:15), mendefinisikan
bahwa supervisi adalah pelayanan kepada guru-guru yang bertujuan menghasilkan
perbaikan pengajaran, pembelajaran dan kurikulum. Purwanto sendiri menyatakan
bahwa supervisi ialah suatu aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu
para guru dan pegawai sekolah dalam melakukan pekerjaan secara efektif. Dengan
demikian, supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi belajar-mengajar agar
memperoleh kondisi yang lebih baik. Meskipun tujuan akhirnya tertuju pada hasil
belajar siswa, namun yang diutamakan dalam supervisi sesungguhnya adalah bantuan
profesional kepada guru (Purwanto, 2003:18).
Berdasarkan pengertian tersebut di atas, maka kegiatan dalam supervisi
pembelajaran dapat diuraikan sebagai berikut, yaitu: (1) membangkitkan dan
merangsang semangat guru-guru dalam menjalankan tugasnya terutama dalam
pembelajaran; (2) mengembangkan kegiatan belajar-mengajar; dan (3) upaya
pembinaan dalam pembelajaran.
Selain itu, Sahertian (2000:20) memberikan beberapa gambaran akan pentingnya
supervisi ini dengan mengajukan beberapa prinsip, yaitu:
1) Prinsip ilmiah (scientific), dengan memuat beberapa ciri, sebagai berikut: (a)
kegiatan supervisi dilaksanakan berdasarkan data objektif yang diperoleh dalam
kenyataan pelaksanaan proses belajar mengajar; (b) untuk memperoleh data perlu
diterapkan alat perekam data, seperti angket, observasi, percakapan pribadi dan
seterusnya; dan (c) setiap kegiatan supervisi dilaksanakan secara sistematis,
berencana, dan kontinu.
2) Prinsip demokratis, yakni servis dan bantuan yang diberikan kepada guru
berdasarkan hubungan kemanusiaan yang akrab dan kehangatan sehingga guru-
guru merasa aman untuk mengembangkan tugasnya. Demokratis mengandung
makna menjunjung tinggi harga diri dan martabat guru, bukan berdasarkan atasan
dan bawahan, tapi berdasarkan rasa kesejawatan.
3) Prinsip kerjaxsama, yaitu mengembangkan usaha bersama atau menurut istilah
supervisi ‘sharing of idea, sharing of experience’, memberi support, mendorong,
menstimulasi guru, sehingga mereka merasa tumbuh bersama.
4) Prinsip konstruktif dan kreatif; seorang guru akan merasa termotivasi dalam
mengembangkan potensi kreativitas kalau supervisi mampu menciptakan suasana
kerja yang menyenangkan, bukan melalui cara cara menakutkan.
Supervisi sendiri berfungsi sebagai upaya perbaikan dan peningkatan kualitas
pengajaran. Chester Harris (1959:1442) mengemukakan bahwa fungsi utama supervisi
adalah membina program pengajaran yang ada sebaik-baiknya sehingga selalu ada
usaha perbaikan. Sementara itu, Burton dan Bruckner (1955:3) menyatakan bahwa
fungsi utama supervisi modern adalah menilai dan memperbaiki faktor-faktor yang
mempengaruhi proses pemebelajaran peserta didik.
Sejarah perjalanan supervisi mencatat, bahwa supervisi mengalami berbagai
perubahan dalam bentuk pendekatan, teknik, juga model pengembangannya. Dari segi
pendekatan, supervisi terbagi atas pendekatan direktif, pendekatan nondirektif, dan
pendekatan kolaboratif. Sementara dari segi model pengembangan, supervisi terbagai
atas beberapa model, yaitu model konvensional, model ilmiah, model artistik, dan
model klinis. Sedangkan dari segi teknik, supervisi terbagi atas dua teknik saja, yaitu
supervisi yang bersifat individual dan supervisi yang bersifat kelompok (Glickman,
1981; Blumberg, 1994; Mantja, 2007).
KENDALA SUPERVISI DAN SIKAP GURU TERHADAP SUPERVISI
PEMBELAJARAN
1. Kendala Supervisi Pendidikan
Namun, dalam perjalanannya, pelaksanaan supervisi di lapangan tidaklah semudah
penjabaran teori yang ada, tetapi juga dipenuhi oleh berbagai kendala yang
sesungguhnya tidaklah mudah untuk diselesaikan dengan cara-cara sederhana. Adapun
kendala pelaksanaan supervisi yang ideal, sebagaimana penulis telaah dalam beragam
buku serta hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan supervisi, maka kendala tersebut
dapat dikategorikan dalam dua aspek, yaitu aspek struktur dan aspek kultur. Pada aspek
struktur birokrasi pendidikan di Indonesia, ditemukan kendala antara lain, sebagai
berikut: pertama, secara legal yang ada dalam nomenklatur adalah jabatan pengawas
bukan supervisor. Hal ini mengindikasikan paradigma berpikir tentang pendidikan di
negeri ini yang masih dekat dengan era inspeksi, pemeriksaan, pengawasan atau
penilikan. Dalam arti, kegiatan yang dilakukan oleh atasan orang yang berposisi di
atas, pimpinan terhadap hal-hal yang ada di bawahnya (guru atau staf sekolah
lainnya).
Inspeksi (inspectie, diambil dari bahasa Belanda) yang artinya memeriksa, dalam
arti melihat untuk mencari-cari kesalahan. Orang yang menginsipeksi disebut inspektur.
Inspektur dalam hal ini mengadakan: (1) Controlling, yaitu memeriksa apakah semua
dijalankan sebagaimana mestinya; (2) Correcting, yaitu memeriksa apakah semuanya
sesuai dengan apa yang telah ditetapkan/digariskan; (3) Judging, yaitu mengadili dalam
arti memberikan penilaian atau keputusan sepihak; (4) Directing, yaitu memberikan
pengarahan, menentukan ketetapan/garis; dan (5) Demonstration, yaitu memperlihatkan
bagaimana cara mengajar yang baik (Suhardan, 2007:20-37).
Kedua, lingkup tugas jabatan pengawas lebih menekankan pada pengawasan
administrasi yang dilakukan oleh kepala sekolah dan guru. Asumsi yang digunakan
adalah apabila administrasinya baik, maka pengajaran di sekolah tersebut juga baik.
Inilah asumsi yang keliru. Sebab, proses pembelajaran tidak bisa dikalkulasikan dengan
angka atau data statistik semata, karena proses pembelajaran juga menyangkut pada
pengalihan nilai nilai moral, dan ini tidak bisa dipandang apalagi disimpulkan dengan
angka atau data.
Ketiga, rasio jumlah pengawas dengan sekolah dan guru yang harus dibina/diawasi
sangat tidak ideal. Di daerah-daerah luar pula Jawa misalnya, seorang pengawas harus
menempuh puluhan bahkan ratusan kilometer untuk mencapai sekolah yang diawasinya.
Bahkan di Jawa sendiri yang banyak melahirkan lulusan pendidikan, ternyata masih
ditemui sekolah sekolah yang ditangani dengan situasi dan kondisi yang tidak jauh
berbeda dengan yang ada di pulau lainnya di Indonesia (bandingkan, Mantja, 2007:47-
52).
Keempat, persyaratan kompetensi, pola rekrutmen dan seleksi, serta evaluasi dan
promosi terhadap jabatan pengawas juga belum mencerminkan perhatian yang besar
terhadap pentingnya implementasi supervisi pada ruh pedidikan, yaitu interaksi belajar-
mengajar di kelas. Selama ini penunjukan dan penetapan supervisor tidak dilandasi oleh
latar belakang keilmuan dan juga kompetensi dalam hal proses pembelajaran, bahkan
masih banyak ditemukan supervisor adalah orang orang yang sekedar mencari peluang
menambah jam kerja karena menghindari masa pensiun bila tetap bertahan di jabatan
struktural.
Sementara itu, pada aspek kultural dijumpai kendala antara lain: pertama, para
pengambil kebijakan tentang pendidikan di negeri ini yang belum berpikir tentang
pengembangan budaya mutu dalam pendidikan. Apabila dicermati, maka mutu
pendidikan yang diminta oleh customers sebenarnya justru terletak pada kualitas
interaksi belajar mengajar antara siswa dengan guru. Hal ini belum menjadi komitmen
para pengambil kebijakan, juga tentu saja para pelaksana di lapangan.
Kedua, nilai budaya interaksi sosial yang kurang positif, dibawa dalam interaksi
fungsional dan professional antara pengawas, kepala sekolah dan guru. Budaya ewuh-
pakewuh (merasa sungkan, tidak enak, takut tersinggung = bahasa Jawa, pen.),
menjadikan pengawas atau kepala sekolah tidak mau “masuk terlalu jauh” pada wilayah
guru. Akhirnya guru merasa bahwa layanan supervisi menjadi tidak bermakna baginya.
Ketiga, budaya paternalistik, menjadikan guru tidak terbuka dalam membangun
hubungan profesional yang akrab dengan kepala sekolah dan pengawas. Guru
menganggap mereka sebagai “atasan”, sebaliknya pengawas menganggap kepala
sekolah dan guru sebagai “bawahan”. Inilah yang menjadikan tidak
terciptanya rapport atau kedekatan hubungan antara keduanya yang menjadi syarat
pelaksanaan supervisi.
Sementara itu, Purwanto (2003:23) menyatakan ada beberapa faktor yang dapat
mempengaruhi berhasil tidaknya supervisi atau cepat lambatnya hasil supervisi itu,
antara lain:
a. Lingkungan masyarakat tempat sekolah itu berada. Apakah sekolah itu berada di
kota besar, di kota kecil atau di pelosok;
b. Besar kecilnya sekolah yang menjadi tanggung jawab kepala sekolah. Apakah
sekolah itu merupakan kompleks sekolah yang besar, banyak jumlah guru dan
muridnya, memiliki halaman dan tanah yang luas, atau sebaliknya;
c. Tingkatan dan jenis sekolah. Apakah sekolah yang dipimpin itu SD atau sekolah
lanjutan SMP, SMA, STM, SMK, dan sebagainya;
d. Keadaan guru-guru dan pegawai yang tersedia. Apakah guru-guru di sekolah itu
pada umumnya sudah berwenang, bagaimana kehidupan sosial ekonomi, hasrat
kemampuannya; dan
e. Kecakapan dan keahlian kepala sekolah itu sendiri. Apabila kepala sekolah
mempunyai kecakapan dan keahlian, atau tidak sama sekali.
Oleh karena itu, untuk mengatasi atau mengantisipasi kendala dalam pelaksanaan
supervisi pendidikan di sekolah, maka diperlukan beberapa langkah cerdas agar
supervisi benar benar menjadi suatu program pelaksanaan yang dibutuhkan
kehadirannya di tengah tengah proses penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran.
Langkah-langkah tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut: (1) supervisi harus
konstruktif, artinya memberikan layanan dan bantuan yang sifatnya membangun
kreativitas dan profesionalisme guru; (2) supervisi harus menolong guru agar senantiasa
tumbuh sendiri dan tidak tergantung pada kepala sekolah; (3) supervisi harus realistis,
tidak membuat laporan dari balik meja atau sekedar datang dan setelah itu pulang; (4)
supervisi tidak usah muluk-muluk, didasarkan pada kenyataan yang sebenarnya pada
guru-guru; (5) supervisi harus demokratis; (6) hakikat pengembangan mutu di sekolah
adalah usaha bersama berdasarkan musyawarah, karenanya supervisi hendaknya
dilakukan secara kolegial; (7) supervisi harus obyektif; dan (8) kegiatan tidak boleh
diwarnai oleh prasangka supervisor atau kepala sekolah, untuk itu diperlukan data
konkret tentang keadaan sebenarnya dan kepala sekolah juga harus mengakui
keterbatasannya.
Berdasarkan langkah langkah tersebut, maka supervisi yang baik dan
menyenangkan hendaknya didasarkan pada beberapa tujuan, yaitu:
a. Meningkatkan mutu kinerja guru, yakni dengan membantu guru dalam memahami
tujuan pendidikan dan sejauhmana peran sekolah dalam mencapai tujuan tersebut;
b. Membantu guru dalam melihat secara lebih jelas dalam memahami keadaan dan
kebutuhan siswanya;
c. Membentuk moral kelompok yang kuat dan mempersatukan guru dalam satu tim
yang efektif, bekerjasama secara akrab dan bersahabat serta saling menghargai satu
dengan lainnya;
d. Meningkatkan kualitas pembelajaran yang pada akhirnya meningkatkan prestasi
belajar siswa;
e. Meningkatkan kualitas pengajaran guru baik itu dari segi strategi, keahlian dan alat
pengajaran;
f. Menyediakan sebuah sistem yang berupa penggunaan teknologi yang dapat
membantu guru dalam pelaksanaan proses pembelajaran;
g. Sebagai salah satu dasar pengambilan keputusan bagi kepala sekolah untuk reposisi
guru;
h. Meningkatkan keefektifan kurikulum sehingga berdaya guna dan terlaksana dengan
baik;
i. Meningkatkan keefektifan dan keefisiensian sarana dan prasarana yang ada untuk
dikelola dan dimanfaatkan dengan baik sehingga mampu mengoptimalkan
keberhasilan siswa;
j. Meningkatkan kualitas pengelolaan sekolah, khususnya dalam mendukung
terciptanya suasana kerja yang optimal yang selanjutnya siswa dapat mencapai
prestasi belajar sebagaimana yang diharapkan;
k. Meningkatkan kualitas situasi umum sekolah sehingga tercipta situasi yang tenang
dan tentram serta kondusif yang akan meningkatkan kualitas pembelajaran yang
menunjukkan keberhasilan lulusan; dan
l. Tujuan supervisi harus dikomunikasikan dan dipahami oleh semua pihak. Supervisi
harus terencana dengan baik, membangun dan demokratis, serta guru harus diberi
informasi tentang tujuan supervisi.
2. Sikap Guru Terhadap Supervisi Pembelajaran
Perbaikanxatau peningkatan mutu pengajaran di sekolah berkaitan erat dengan
proses supervisi. Dalam hal itu, sudah seharusnya supervisor yang merupakan unsur
penting bagi keefektifan layanan supervisi mendorong guru, agar berupaya melakukan
peningkatan terhadap diri sendiri. Untuk itu, perlu dilakukan tindakan observasi dan
pertemuan (tatap muka) sebagai salah satu wahana yang dapat digunakan untuk
mendapatkan perbaikan/perubahan penampilan mengajar guru. Karenanya, supervisor
diharapkan dapat merumuskan perhatian guru melalui pertemuan dan observasi tertentu
danxspesifik dengan harapan akan diperoleh minat dan perhatian guruiuntuk membantu
mereka melakukan perubahan dan pembenahan diri, terutama dalam proses
pembelajaran dixsekolah.
Guru merupakan ujung tombak keberhasilan pendidikan. Bila mutu pendidikan
tidak baik maka guru yang menjadi sasaran pertama. Bagaimana gurunya? Ini
menunjukkan bahwa masyarakat menyerahkan sepenuhnya keberhasilan pendidikan
generasi muda kepada guru. Walaupun sebenarnya tidak hanya guru yang menjadi
faktor penentu keberhasilan pendidikan, sebab, keberhasilan pendidikan ditentukan oleh
multifaktoral. Dengan beban seperti itu, maka peranan guru dalam dunia pendidikan
menjadi sangat penting. Guru sebagai sumber daya manusia dalam dunia pendidikan
dituntut selalu memperbaharui kinerjanya. Dengan kata lain, guru dituntut
meningkatkan kualitasnya.
Dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya pendidikan, guru merupakan
komponen sumber daya manusia yang harus dibina dan dikembangkan terus-menerus.
Pembentukan profesi guru dilaksanakan melalui program pendidikan pra-jabatan
Sergiovanni, T.J. and Starrat, R.J. 1993. Supervision A Redefinition. 5th Ed. New York:
McGraw-HilliBook Co.
Sudjana, N. 1998. Dasar-Dasar Proses Belajar-Mengajar. Bandung: Sinar Baru.
Suhardan, D. 2007. Supervisi Bantuan Profesional. Bandung: Mutiara Ilmu.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2003.
Jakarta: CV. Medya Duta.
Wiles, J., and Bondi, J. 1986. Supervision A Guide to Practice. 2nd Edition. Columbus:
Char.