Anda di halaman 1dari 4

Opini Hukum terkait Dugaan Kasus Penyimpangan Penggunaan Fasilitas Pembiayaan

oleh PT. Waskita Karya dan PT. Waskita Beton Precast

I. Pendahuluan
Kejaksaan Agung telah menetapkan Destiawan Soewardjono yang merupakan Direktur Utama
PT. Waskita Karya periode Juli 2020 hingga sekarang, sebagai tersangka pada kasus dugaan
korupsi penyimpangan atau penyelewengan penggunaan fasilitas pembiayaan oleh PT. Waskita
Karya dan PT. Waskita Beton Precast pada 2016-2020. Tidak hanya Destiawan Soewardjono saja
yang menjadi tersangka dalam kasus ini. Beberapa petinggi dari PT Waskita Karya juga ikut
terlibat dalam kasus tersebut sehingga perkara ini disebut sebagai kasus korupsi ‘berjamaah’ para
petinggi perusahaan tersebut. Peran dari DS dalam kasus ini adalah memerintahkan serta
menyetujui pencairan dana Suply Chain Financing (“SCF”) dengan menggunakan dokumen
pendukung palsu. Dokumen palsu tersebut digunakan untuk mencairkan SCF sebagai
pembayaran hutang-hutang PT. Waskita Karya. Adapun hutang yang diperoleh oleh PT. Waskita
Karya digunakan untuk membangun beberapa proyek pekerjaan yang bersifat fiktif. Untuk
menutupi perbuatan tersebut, dana hasil pencairan SCF digunakan seolah-olah untuk membayar
hutang vendor fiktif. Berdasarkan perhitungan dari Badan Pengawas Keuangan dan
Pembangunan (BPKP), kerugian negara yang disebabkan oleh dugaan kasus ini adalah sebesar
Rp2.546.645.987,644. Atas perbuatannya Destiawan Soewardjono disangkakan terjerat pasal
berlapis yaitu Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-undang No. 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Kasus ini menarik untuk dibahas karena senyatanya tidak hanya dugaan kasus korupsi berupa
penyelewangan fasilitas pembiayaan namun juga peran Destiawan Soewardjono yang turut serta
melakukan tindak pidana korupsi. Terkait dengan turut serta melakukan suatu tindak pidana
diatur dalam Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP sebagai berikut: “Dipidana sebagai pelaku tindak
pidana: mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan;
mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan
atau mrtabat, dengan kekerasan, ancaman, penyesatan, atau dengan memberi kesempatan,
sarana, keterangan, atau sengaja menganjurkan orang lain agar melakukan perbuatan.

1
II. Pembahasan
Berdasarkan kasus posisi yang telah diuraikan sebelumnya, pada bagian ini akan dibahas
analisis terkait tindak pidana korupsi berupa penyimpangan fasilitas pembiayaan oleh PT
Waskita Karya dan PT. Waskita Beton Precast serta peran turut serta tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh Direktur Utama PT Waskita Karya Destiawan Soewardjono yang mana atas
perbuatan tersebut tersangka disangkakan dengan Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 juncto Pasal 18
Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Tindakan korupsi yang dilakukan oleh para petinggi PT. Waskita Karya termasuk Destiawan
Soewardjono, mereka yang terlibat dalam kerjasama untuk melakukan tindak pidana korupsi
tersebut, berbeda dengan satu dengan yang lain sebagaimana peran Destiawan Soewardjono yang
memerintahkan dan menyutujui penggunaan SCF. Dari perbedaan yang sedemikian rupa terjalin
suatu hubungan dimana perbuatan yang satu menunjang perbuatan yang lain dan mengarah pada
terwujudnya suatu tindak pidana. Moeljatno mengatakan bahwa penyertaan memperluas dapat
dipidananya orang yang tersangkut atau turut serta dalam timbulnya suatu perbuatan pidana.
Maka sudah tepat apabila Destiawan Soewardjono disangkakan dengan Pasal 55 ayat 1 ke-1
KUHP.
Hal ini selaras dengan definisi hukum yang diberikan oleh J. C. T. Simorangkir dan Woerjono,
hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku
manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib,
pelanggaran mana terhadap peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman
tertentu. Selanjutnya, apabila dikaitkan dengan norma-norma yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat. Adapun terdapat empat macam norma sebagai berikut: (i) kesusilaan; (ii)
kesopanan; (iii) agama, dan (iv) hukum. Jelas dan nyata tindakan korupsi dan penyertaan yang
dilakukan oleh Destiawan Soewardjono melanggar empat macam norma tersebut akibat dari
sikap ketidakjujuran, tingkah laku yang tidak wajar dengan melakukan korupsi, perintah Tuhan
sesuai agama yang dianut, dan melanggar aturan yang telah dibuat oleh pihak berwenang.
Pemberian hukuman berupa jeratan pasal berlapis terhadap Destiawan Soewardjono juga
selaras dengan tujuan hukum itu sendiri yaitu menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak
menjadi hakim atas dirinya sendiri, tidak mengadili dan menjatuhi hukuman terhadap setiap
pelanggaran hukum terhadap dirinya. Adapun dalam setiap perkara senyatanya harus

2
diselesaikan melalui proses pengadilan dengan perantara hakim. Penyelesaian perkara melalui
pengadilan ini umum diterapkan pada negara yang menganut sistem hukum Civil Law seperti
pada halnya negara Indonesia. Peradilan di Indonesia menganut sistem inkuisitorial yaitu hakim
mempunya peranan besar dalam mengarahkan dan memutus suatu perkara. Berbeda halnya
dengan sistem hukum Common Law yang menjadikan yurisprudensi sebagai sumber hukum
utama, adanya asas preseden, dan proses peradilan yang bersifat Adversary System. Tujuan
hukum tersebut seyogianya mendukung fungsi dari hukum itu sendiri yaitu mencapai ketertiban
umum dan keadilan.

III. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa pada bagian sebelumnya, makan dapat disimpulkan bahwa:
1. Pengaturan mengenai sanksi hukum bagi para pelaku tindak pidana korupsi serta turut serta
melakukan tindak pidana korupsi telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Baik di
dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terkait dengan tindak pidana
korupsi dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang Hukum Pidana terkait dengan turut serta
melakukan tindak pidana.
2. Tindakan yang dilakukan oleh Destiawan Soewardjono pada nyatanya tidak selaras dengan
norma-norma kehidupan dalam masyarakat. Pemberian hukuman dan sanksi kepada
Destiawan Soewardjono telah selaras dengan definisi hukum yang diberikan oleh ahli serta
tujuan dan fungsi hukum di Indonesia.

Terkait dengan hal tersebut, penulis merekomendasikan hal-hal sebagai berikut:


1. Adanya pengawasan dan penegakan hukum dari lembaga-lembaga terkait seperti kepolisian
Negara Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam hal implementasi
pemberian sanksi hukum bagi para pelaku tindak pidana korupsi. Serta mengusut tuntas
perkara ini hingga proses peradilan dan mendapatkan putusan yang bersifat berkekuatan
hukum tetap (inkracht van gewijsde).
2. Adanya sosialisasi dan pengawasan terhadap pekerja di lingkup Badan Usaha Milik Negara
untuk mencegah adanya tindak pidana korupsi dalam suatu Badan yang merugikan negara.

3
DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Moeljatno. Jakarta: Sinar Grafika, 2018.
Indonesia. Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. UU No. 20 tahun 2001. LN No. 134
Tahun 2001. TLN No. 4150.

B. Buku
Kansil, C. S. T. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1986.
Kusumohamidjojo, Budiono. Filsafat Hukum, Problematik Ketertiban yang Adil. Jakarta: PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia, 2004.
Qamar, Nurul. Perbandingan Sistem Hukum dan Peradilan Civil Law System dan Common Law
System. Makassar: Pustaka Refleksi, 2010.

C. Artikel
Sitompul, Herman. “Penyertaan dalam Tindak Pidana Korupsi” Hukum dan Keadilan
(September 2019)

D. Internet
http://e-journal.uajy.ac.id/18139/3/HK108372.pdf. Diakses pada 23 Mei 2023.

Anda mungkin juga menyukai