Anda di halaman 1dari 13

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP LEGALITAS ABORSI

AKIBAT PERKOSAAN DALAM PP NO. 61 TAHUN 2014

PROPOSAL SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi salah satu tugas :
Mata Kuliah : Metodologi Penelitian
Dosen Pengampu : Dr.Ali Murtadho, S.Ag., M.H

Disusun Oleh :
M M IKHSAN
2112110186

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS SYARIAH JURUSAN SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM
TAHUN 2022 M/ 1444 H
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aborsi merupakan permasalahan yang memprihatinkan. Terutama aborsi yang
dilakukan selain karena indikasi medis yang mengancam jiwa ibu yang mengandung
anaknya.Atas terjadinya peristiwa hukum dimaksud, adalah melanggar norma-norma
hukum yang berlaku, khususnya yang diatur oleh hukum positif dan hukum Islam.
Menurut aturan hukum yang berlaku di Indonesia, aborsi merupakan perbuatan yang
dilarang.Aborsi dikategorikan sebagai pembunuhan atau suatu tindak pidana. Menurut
Pasal 346 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) atau Wetboek van
Strafrecht voor Netherlands Indie tahun 1918 ditentukan bahwa “Seorang wanita
yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang
lain untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun”.Aborsi juga
dilarang dalam Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
(selanjutnya disebut UU Kesehatan), Pasal 194 yang menentukan bahwa: Setiap orang
yang dengan sengaja melakukan aborsi tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 75 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10
(sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).5
Ketentuan hukum mengenai pidana aborsi sudah jelas disebutkan di atas.Namun,
dalam kasus tertentu aborsi dibolehkan. Di dalam UU Kesehatan Pasal 75 ditentukan:
1) Setiap orang dilarang melakukan aborsi.
2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan
berdasarkan: a) Indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan,
baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik
berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b) Kehamilan akibat
perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Aborsi secara umum telah dilarang dalam KUHP. Namun secara Lex Specialis
menurut UU Kesehatan memberikan pengecualian terhadap kasus aborsi, yakni aborsi
karena ada indikasi medis dan aborsi akibat perkosaan.Aborsi karena ada indikasi
medis sudah banyak didiskusikan oleh pakar hukum, baik hukum umum maupun
hukum Islam. Bahwa untuk kasus tersebut hukumnya diperbolehkan. Menurut UU
Kesehatan tersebut mengenai pengecualian aborsi ini hanya di atur dalam empat
pasal.Pasal tersebut ialah Pasal 75, Pasal 76, Pasal 77 dan Pasal 194.Ketentuan lebih
lanjut diamanahkan melalui Peraturan Pemerintah.Amanah UU Kesehatan tersebut
baru terealisasi pada tahun 2014, yaitu dengan disahkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi(selanjutnya disebut
PP/61/2014). PP/61/2014 memuat beberapa pasal yang menentukan lebih rinci
mengenai pengecualian aborsi ini, yakni yang termuat dalam Pasal 31 sampai dengan
Pasal 39. Pada Pasal 31 ditentukan bahwa:
1) tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan: a) indikasi kedaruratan
medis; atau b) kehamilan akibat perkosaan.
2) tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 (empat
puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
UU Kesehatan beserta peraturan pelaksanaannya berupa PP/61/2014
merupakan perkembangan hukum yang progresif di Indonesia. Karena ketentuan
hukum pidana mengenai aborsi akibat perkosaan belum pernah ada sebelumnya, baik
yang diatur di dalam KUHP maupunUU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
Angka aborsi di Indonesia terbilang cukup tinggi yakni mencapai 2,5 juta jiwa
per tahun. Itu artinya diperkirakan ada 6.944 s/d 7.000 wanita melakukan praktik
aborsi dalam setiap harinya. Bahkan menurut data dari Badan Kependudukan dan
Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Republik Indonesia, terjadi peningkatan
sekitar 15% setiap tahunnya, dan dari jumlah tersebut, 800.000 di antaranya dilakukan
oleh remaja putri yang masih berstatus pelajar. Berdasarkan survey demografi dan
kesehatan Indonesia Tahun 2007 mencatat 228 AKI per 100.000 kelahiran hidup.
Jumlah ini menurun jika dibandingkan dengan tahun 2003 sebesar 307 per 100.000
kelahiran hidup. Namun demikian angka ini masih jauh dari target Millenium
Development Goals (MDGs) sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup sampai tahun
2015.2 Dari data yang ada, risiko aborsi berupa pendarahan sebesar 46,7%, keracunan
kehamilan sebesar 14,5 %, dan infeksi 8%. 15-30% AKI disumbang dari aborsi tidak
aman dan pelayanan kesehatan atau medis yang rendah.3 Kondisi seperti ini tentunya
sangat memprihatinkan. Banyak hal yang menjadi penyebab dari tindakan aborsi ini,
diantaranya karena pergaulan bebas (hubungan seksual di luar nikah) atau kekerasan
seksual seperti pemerkosaan.
Aborsi akibat perkosaan merupakan permasalahan hukum yang baru. Pada
tahun 2014 disahkanlah Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2014 tentang
Kesehatan Reproduksi yang membolehkan aborsi akibat perkosaan, sebagai pelaksana
dari Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Ketentuan ini menjadi
perdebatan, tidak terkecuali dalam pandangan hukum Islam. Karena sebelumnya
belum ada hukum positif yang membolehkannya. Permasalahan penelitian ini
berfokus pada ketentuan dibolehkannya aborsi akibat dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dan tinjauan hukum Islam
terhadap dibolehkannya aborsi akibat perkosaan dalam Peraturan Pemerintah Nomor
61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi fokus penelitian
dapat dirumuskan masalahnya sebagai berikut:
1. Bagaimana ketentuan dibolehkannya aborsi akibat perkosaan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap dibolehkannya aborsi akibat perkosaan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Ketentuan dibolehkannya aborsi akibat perkosaan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 61 tahun 2014 tentang kesehatan reproduksi.
2. Tinjauan hukum Islam terhadap dibolehkannya aborsi akibat perkosaan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi.
D. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu kegunaan teortis
dan kegunaan praktis.

1. Kegunaan Teoritis
a. Menambah pengetahuan penulis dalam bidang keilmuan hukum Islam, khususnya
mengenai ketentuan hukum aborsi akibat perkosaan.
b. Memberikan kontribusi bagi intelektual di bidang hukum Islam.
c. Sebagai bahan masukan dan referensi serta perbandingan bagi penelitian lebih
lanjut.
2. Kegunaan Praktis
a. Sebagai tugas akhir penulis dalam menyelesaikan studi di Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Palangka Raya.
b. Sebagai literatur sekaligus sumbangan pemikiran dalam memperkaya khazanah
literatur bidang syari’ah di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangka Raya.
E. Sistematika Penulisan
Proposal penelitian skripsi ini disajikan dalam bentuk proposal penelitian yang
terdiri dari tiga bab dimana semua bab mempunyai keterkaitan secara manfaat.
Penempatan setiap bab diatur dalam sistematika yang memungkinkan keterkaitan
yang dapat dimengerti dengan lebih mudah bagi orang yang membaca laporan
penelitian.
BAB I, pendahuluan yang didalamnya terdapat latar belakang, rumusan masalah,
tujuan penelitian, batasan masalah, kegunaan penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II, kajian pustaka terdiri dari penelitian sebelumnya, landasan teori, kerangka
pikir dan pertanyaan penelitian.
BAB III, metodologi penelitian, waktu dan lokasi penelitian, subjek dan objek
penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, dan teknik
analisis data.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Sebelumnya
Untuk melakukan penelitian ini maka perlu untuk melihat penelitian-penelitian
terdahulu yang nantinya hal ini dimaksudkan untuk melihat relevansi dan sumber-
sumber yang akan dijadikan rujukan dalam penelitian sekaligus untuk menghindari
duplikasi terhadap penelitian tersebut, beberapa relevansi dengan judul di atas adalah
sebagai berikut:
1. Budi Abidin (2014), dengan judul Studi Komparasi antara Fatwa Majelis
Ulama Indonesia No. 4 tahun 2005 tentang Aborsi dan Undang-Undang No.
36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Penelitian ini berfokuskan pada perbandingan
fatwa MUI dengan UU No.36 th 2005 yang berkaitan dengan larangan aborsi.
Hasil penelitiannya ialah sebagai berikut:
Pertama, secara umum persamaan ketentuan mengenai aborsi yang ada di dalam
Fatwa MUI dan Undang- Undang Kesehatan adalah sama-sama melarang
tindakan aborsi. Kedua, perbedaannya mengenai latar belakang pembentukan
Fatwa MUI ialah karena keresahan yang muncul di tengah-tengah masyarakat
mengenai tindakan aborsi yang banyak terjadi yang dilakukan oleh maysarakat
tanpa memperhatikan tuntunan agama. Praktik aborsi ini seringkali dilakukan
oleh pihak-pihak yang tidak memiliki kompetensi sehingga menimbulkan
bahaya bagi ibu yang mengandungnya dan bagi masyarakat pada umumnya.
Sedangkan Undang-Undang Kesehatan dilatar belakangi oleh adanya
keperihatinan atas perilaku aborsi karena sejauh ini perilaku pengguguran
kandungan banyak menimbulkan efek negatif baik untuk diri pelaku maupun
pada masyarakat luas, disebabkan aborsi menyangkut norma moral serta hukum
suatu kehidupan bangsa.
2. Tri Ajis Irjawan (2013), dengan judul Aborsi ditinjau dari Undang-Undang No.
36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Penelitian ini berfokuskan pada tinjauan
secara kesehatan dengan dilakukannya aborsi. Hasil penelitiannya sebagai berikut:
Pertama, menggugurkan anak hasil perkosaan tidak memberikan solusi tepat.
Karena dalam hal ini janin yang dikandung mempunyai hak untuk hidup.
Karena juga secara kedaruratan medis memang tidak membahayakan nyawa ibu
dan anak. Jalan keluar yang tepat adalah dengan memberikan konseling secara
khusus baik dari konselor ataupun pemuka agama, dan melakukan terapi khusus
kepada korban. Janin yang dikandung sebaiknya tetap dilahirkan, jika ibu tidak
menginginkan anaknya tersebut dapat dijauhkan dari ibu ketika telah dilahirkan
3. M. FAIRUZ A. S.( 2016), Jurusan Hukum Pidana dengan judul ANALISIS
HUKUM TERHADAP ABORSI AKIBAT PEMERKOSAAN
BERDASARKAN PERATURAN PEMERINTAH NO. 61 TAHUN 2014
TENTANG KESEHATAN REPRODUKSI. Penelitian ini berfokus pada
pandangan norma hidup terkait legalitas adanya aborsi. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa:
Korban perkosaan mendapatkan legalitas untuk melaksanakan aborsi apabila
tidak menghendaki kelanjutan kehamilan yang dialami. Pembenaran aborsi bagi
korban pemerkosaan didasarkan pada Pasal 75 Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 61
Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Pertimbangannya korban
pemerkosaan dapat membahayakan kesehatan fisik dan kesehatan psikisdirinya.
Terlebih lagi apabila dari pemerkosaan itu menghasilkan kehamilan bagi
korbannya. Berdasarkan beberapa norma di masyarakat terhadap legalisasi
aborsi akibat pemerkosaan terdapat beberapa pendapat antara lain: Norma
Agama yang menyebutkan bahwa aborsi itu dilarang oleh agama sepanjang
pengguguran kandungan tersebut tidak memiliki alasan yang dapat diterima
dalam keyakinan masing-masing. Akan tetapi pengguguran kandungan ini
dibolehkan apabila kandungan belum bernyawa dan/atau kandungan memiliki
indikasi yang dapat membahayakan wanita yang mengandung atau janin itu
sendiri. Norma Kesusilaan dan Kesopanan dimana menganggap bahwa pada
umumnya banyak terjadi praktik-praktik pengguguran kandungan tanpa
sepengetahuan aparat penegak hukum karena hal ini terjadi secara sembunyi-
sembunyi. Tentu hal ini tidak sejalan dengan nilai-nilai kesopanan dan
kesusilaan yang terkandung dalam kehidupan bermasyarakat. Norma Hukum
yang menyebutkan bahwa aborsi itu tidak boleh dilakukan sepanjang
pengguguran kandungan yang dilakukan terjadi tanpa indikasi kedaruratan
medis dan indikasi hasil pemerkosaan.
B. Kerangka Teoritik
Penelitian penulis menggunakan beberapa teori. Teori ini digunakan untuk
menganalisis permasalahan yang ada di dalam penelitian ini. Teori- teori tersebut
ialah teori Peraturan Perundang-undangan. Teori peraturan perundang-undangan
dipilih karena penelitian penulis erat kaitannya dengan peraturan perundang-
undangan. Peraturan perundang-undangan tersebut ialah PP/61/2014 tentang
Kesehatan Reproduksi. Peraturan Pemerintah merupakan salah satu dari hierarki
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Hal ini berdasarkan pada
Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukkan Peraturan Perundang-
Undangan. Pada Pasal 7 ayat (1). Selanjutnya penelti menggunakan teori hak asasi
manusia. Ketentuan hukum tentang hak asasi manusia yang berlaku
secarainternasional ialah the Universal Declaration of Human Right (Piagam PBB)
tahun 1948 yang kemudian mengalami perbaikan. Seluruh negara yang tergabung
dalam anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberikan pengakuan formal
untuk menerapkannya. Meskipun tidak juga melupakan sejarah dari lahirnya
ketentuan hak asasi manusia. The Universal Declaration of Human Right BAB II
Pasal 1 menententukan bahwa “Sekalian orang dilahirkan merdeka dan mempunyai
martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan budi dan hendaknya
bergaul satu sama lain dalam persaudaraan”.
Kemudian teori keadilan. Secara etimologi kata keadilan berasal dari kata adil.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adil artinya “sama berat, tidak berat sebelah,
tidak memihak”.Dalam bahasa Inggris disebut dengan just (adil, patut, dan layak), fair
(adil, sportif, jelas, jujur), equitable (adil, pantas, wajar). Dengan demikian, makna
keadilan terkait dengan tema penelitan penulis bisa saja mengandung makna
penempatan posisi hukum tentang aborsi akibat perkosaan tersebut sesuai dengan
kaidah-kaidah hukum Islam. Dalam penelitian ini juga penting mengkajinya
menggunakan teori Maqāṣid Syarīʽah. Al-Syatibi mengatakan bahwa maqāṣid
syarīʽah dalam arti kemaslahatan terdapat pada seluruh aspek-aspek hukum. Lebih
lanjut lagi, ia mengatakan bahwa kemaslahatan tersebut dapat terwujud jika
memelihara lima unsur pokok. Kelima unsur pokok tersebut yaitu agama, jiwa,
keturunan, akal dan harta. Shihabbuddin al-Qarafiyang dikutip oleh Yusuf al-
Qaradhawi, menambahkan satu unsur pokok yaitu memelihara kehormatan.
C. Deskripsi Teoritik
1. Pengertian aborsi
Aborsi atau bahasa ilmiahnya adalah Abortus Provocatus, merupakan cara
yang paling sering digunakan mengakhiri kehamilan yang tidak diinginkan,
meskipun merupakan cara yang paling berbahaya. Abortus Provocatus dibagi
dalam dua jenis, yaitu Abortus Provocatus Therapeuticus dan Abortus Provocatus
Criminalis. Abortus Provocatus Therapeuticus merupakan Abortus Provocatus
yang dilakukan atas dasar pertimbangan kedokteran dan dilakukan oleh tenaga
yang mendapat pendidikan khusus serta dapat bertindak secara profesional.
Sementara Abortus Provocatus Criminalis adalah Abortus Provokatus yang
secara sembunyi-sembunyi dan biasanya oleh tenaga yang tidak terdidik secara
khusus, termasuk ibu hamil yang menginginkan perbuatan Abortus Provocatus
tersebut.Abortus Provocatus Criminalis merupakan salah satu penyebab kematian
wanita dalam masa subur di negara-negara berkembang.
2. Macam Macam Aborsi
1.Abortus spontan (Spontaneus abortus)
Abortus spontan adalah pengguguran yang tidak sengaja. Abortus spontan ini
terjadi karena sebab-sebab alamiah, bukan karena perbuatan manusia. Abortus
spontan biasanya terjadi pada tiga bulan pertama dari masa kehamilan dan tidak
ada satu pencegahan pun yang dapat menghindarkan penyebab umum keguguran
ini, bahkan dokter juga tidak dapat menentukan dengan tepat apa yang
menyebabkannya.
2.Abortus buatan ( Abortus provocatus )
Abortus buatan adalah pengguguran yang terjadi sebagai akibat dari suatu
tindakan. Di sini campur tangan manuisa tampak jelas. Abortus dalam bentuk
kedua ini dapat dibedakan dalam dua macam, yaitu abortus artificialis therapicus
dan abortus provocatus criminalis.
a. Abortus artificialis therapicus
Abortus artificialis therapicus adalah pengguguran yang dilakukan oleh
doktor atas indikasi medis. Dalam istilah lain dapat disebutkan sebagai
tindakan mengeluarkan janin dari rahim sebelum masa kehamilan. Hal ini
dilakukan sebagai penyelamatan terhadap jiwa ibu yang terancam bila
kelangsungan kehamilan dipertahankan,
b. Abortus provocatus criminalis
Abotus provocatus criminalis ialah pengguguran yang dilakukan tanpa
dasar indikasi medis. Misalnya, abortus yang dilakukan untuk meniadakan
hasil hubungan seks di luar perkahwinan atau untuk mengakhiri kehamilan
yang tidak dikehendaki. Kedalam jenis abortus provocatus criminalis juga
termasuk menstrual regulation (pengaturan menstruasi). Pengaturan menstruasi
bisanya dilaksanakan bagi wanita yang merasa terhambat waktu menstruasi,
dan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratoris ternyata positif dan mulai
mengandung. Dalam keadaan demikian wanita yang terlambat menstruasinya
meminta doktor untuk “membereskan” janinnya.
3. Sifat Sifat Aborsi
a. Bersifat Legal
Aborsi legal dilakukan oleh tenaga kesehatan atau tenaga medis yang
berkompeten berdasarkan indikasi kedaruratan medis dan akibat perkosaan, sesuai
pasal 75 ayat 2 huruf a dan b Undang-Undang Kesehatan sertadengan persetujuan
ibu yang hamil dan atau suami. Aborsi legal sering juga disebut aborsi buatan.
Meskipun demikian, tidak setiap tindakan aborsi yang sudah mempunyai indikasi
medis ini dapat dilakukan aborsi buatan. Persyaratan lain yang harus dipenuhi
sebuah aborsi adalah :
1) Aborsi hanya dilakukan sebagai tindakan teraputik.
2) Disetujui secara tertulis oleh dua orang dokter yang berkompeten.
3) Dilakukan di tempat pelayanan kesehatan yang diakui oleh suatu otoritas
yang sah.

b.Bersifat Ilegal
Aborsi ilegal dilakukan oleh tenaga kesehatan atau tenaga medis yang tidak
kompeten, melalui cara-cara diluar medis (pijat,jamu atau ramu-ramuan), dengan
atau tanpa persetujuan ibu hamil dan atau suaminya. Aborsi ilegal sering juga
dilakukan oleh tenaga medis yang berkompeten, tetapi tidak mempunyai indikasi
medis.
4. Faktor Faktor Pendorong Aborsi
1. Atas indikasi medis
Menyelamatkan ibu dikarenakan kelanjutan kehamilan yang dipertahankan
akan mengancam dan membahayakan jiwa si ibu. Aborsi ini dilakukan oleh dokter
atas dasar indikasi medis yang menunjukkan bahwa jika tidak dilakukannya aborsi
maka akan membahayakan jiwa si ibu.
2. Menghindarkan kemungkinan terjadinya kecacatan jasmani dan rohani apabila
janin dilahirkan.
3. Aborsi atau indikasi sosial yang disebabkan hal-hal berikut:
a. Kegagalan menggunakan alat kontrasepsi atau dalam usaha mencegah dari
kehamilan.
b. Ingin menutupi aib dirinya, seperti dilakukan oleh orang yang belum
bersuami atau dilakukan oleh wanita yang telah bersuami karena terdorong oleh
godaan dan kenikmatan yang sekejap
5. Pasal 194 UU Kesehatan
Pada dasarnya, setiap orang dilarang melakukan aborsi.[5] Namun, Pasal 75
ayat (2) UU Kesehatan memberikan dua alasan untuk dapat dilakukannya aborsi,
yaitu indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik
yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik
berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga
menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; kehamilan akibat perkosaan
yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Kemudian,
tindakan aborsi hanya dapat dilakukan setelah melalui konseling dan/atau
penasehatan pra tindakan dan diakhiri dengan konseling pasca tindakan yang
dilakukan oleh konselor yang kompeten dan berwenang Pasal 76 UU Kesehatan
juga menegaskan bahwa aborsi hanya dapat dilakukan: sebelum kehamilan
berumur 6 (enam) minggu dihitung dari hari pertama haid terakhir, kecuali dalam
hal kedaruratan medis; oleh tenaga kesehatan yang memiliki keterampilan dan
kewenangan yang memiliki sertifikat yang ditetapkan oleh menteri yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan; dengan persetujuan ibu hamil
yang bersangkutan; dengan izin suami, kecuali korban perkosaan; dan penyedia
layanan kesehatan yang memenuhi syarat yang ditetapkan oleh menteri yang
lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai