Anda di halaman 1dari 6

J.

Agroland 16 (3) : 193 - 198, September 2009 ISSN : 0854 – 641X

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA TERHADAP INISIASI TANAMAN


APEL (Malus sylvestris Mill)

The Effect of Cytokinin and Naphthaleneacetic Acid combination on the


Initiation of Apple (Malus sylverstris Mill)
Sakka Samudin1)
1)
Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Tadulako , Jl. Soekarno – Hatta Km 9 Palu 94118,
Sulawesi Tengah Telp/Fax : 0451 – 429738.

ABSTRACT

Apple development by vegetative propagation via tissue culture is an effort to reduce the
import of apple. This experiment aimed to investigate media composition (cytokinin and NAA
combination) suitable for initiation of apple. A Completely Randomized Design was employed, with
four treatments i.e., : 3 ppm Benzylaminopurine (BAP) + 0.2 ppm NAA (P1), 4 ppm BAP + 0.2 ppm
NAA (P2), 2 ppm kinetin + 0.2 ppm NAA (P3) and 3 ppm kinetin + 0.2 ppm NAA (P4), Parameters observed
included number of shoots, leaves and nodes. Results of this experiment showed that the use of medium
composition with 4 ppm BAP + 0.2 ppm NAA produced the most intensive shoot, leaf and node
growth. However, medium composition with 3 ppm BAP + 0.2 ppm NAA had a good initiation quality.

Key words : Benzylamino purine, kinetin, naphthaleneacetic acid (NAA), apple, initiation

PENDAHULUAN secara keseluruhan (Departemen Pertanian,


2004). Selama ini produksi apel hanya
Apel (Malus sylvestris Mill) terbatas pada daerah sentra yang memiliki
merupakan salah satu jenis tanaman buah kondisi iklim yang sesuai untuk budidaya
yang mengandung air, karbohidrat (terutama apel seperti Kota Malang (Provinsi Jawa
fruktosa), kalsium, fosfor, besi, kalium, Timur) dan di Soe/Molo Nusa Tenggara
vitamin A, B1, B2, B6 dan C, protein, lemak Timur. Untuk mengatasi masalah impor buah
dan kalori (Ashari, 1995). Jenis tanaman ini apel, maka perlu dilakukan peningkatan
dapat dikonsumsi secara langsung (segar) dan produksi apel melalui penambahan luas areal
dapat diolah menjadi selai, jeli dan sari tanaman pada daerah-daerah yang memiliki
buah. Mengingat kandungan gizi yang kondisi agroklimat yang sesuai untuk
dikandungnya menyebabkan jenis tanaman pertanaman apel.
ini menjadi buah komersial utama. Sulawesi Tengah merupakan salah
Kebutuhan buah apel cukup meningkat satu provinsi di Indonesai yang pada
setiap tahunnya namun produksi dalam negeri beberapa daerah tertentu memiliki kondisi
belum mampu mengimbangi kebutuhan akan agroklimat yang sesuai untuk budidaya
buah apel sehingga impor merupakan satu- tanaman apel. Kondisi agroklimat yang
satunya jalan yang ditempuh untuk mengatasi diinginkan oleh tanaman apel yaitu daerah
masalah tersebut. yang berada pada ketinggian diatas 800 meter
Nilai impor apel rata-rata setiap tahun diatas permukaan laut seperti daerah
(dalam kurun waktu sepuluh tahun) mencapai subtropis dengan jenis tanah yang subur.
30% dari total nilai impor buah-buahan Kondisi agroklimat demikian terdapat pada

193
daerah Lore Kabupaten Poso dan Palolo kimia yang digunakan sesuai dengan
Kabupaten Sigi Biromaru. komposisi media dasar Murashige dan Skoog
Guna mendukung upaya pengembangan (1962), kinetin, BAP, NAA, gula, pemadat
tanaman apel di daerah yang sesuai maka media agar, aquades, alcohol 70%, spiritus,
penyiapan bibit merupakan salah satu faktor chlorox, betadine, kertas saring, tissue, kertas
penting. Kultur jaringan merupakan tehnik label, karet gelang dan plastik. Alat yang
perbanyakan vegetatif yang dapat digunakan
digunakan adalah laminar air flow cabinet
untuk menjawab tantangan dalam mengatasi
pengadaan bibit secara kontinu dan dalam (LAFC), lemari pendingin, autoklaf, timbangan
skala yang besar. Melalui tehnik kultur analitik, pemanas listrik, magnetic stirrer,
jaringan diharapkan dapat diproduksi bibit batang pengaduk, pH meter, labu semprot,
dalam skala besar, waktu relatif singkat, cawan petri, botol kultur, gelas stainless,
bebas hama/penyakit, seragam dan tidak gelas piala, gelas ukur, pembakar Bunsen,
tergantung musim (Gunawan, 1988). pipet, micropipette, pinset, scalpel, blade,
Pada dasarnya, tehnik kultur jaringan oven, deterjen, corong dan handsprayer.
berdasar pada fenomena totipotensi (total Percobaan disusun dalam Rancangan
genetic potential) sel, yaitu suatu fenomena Acak lengkap (RAL) dengan komposisi
kemampuan sel tanaman untuk beregenerasi media yang terdiri atas empat perlakuan
menjadi tanaman lengkap bila ditumbuhkan sebagai berikut: P1 = 3 ppm BAP + 0,2 ppm
pada lingkungan yang sesuai (George dan NAA, P2 = 4 ppm BAP + 0,2 ppm NAA,
Sheringtoh, 1983). Genotip dan komposisi
P3 = 2 ppm kinetin + 0,2 ppm NAA dan
media yang digunakan merupakan faktor
yang menentukan keberhasilan tehnik kultur P4 = 3 ppm kinetin + 0,2 ppm NAA. Diulang
jaringan (Basri, 2008). Selanjutnya, aspek tiga kali sehingga terdapat 12 kombinasi
penting yang harus diperhatikan pada perlakuan dan setiap unit percobaan
komposisi suatu media adalah kebutuhan menggunakan dua tanaman.
terhadap zat pengatur tumbuh, khususnya Sterilisasi alat menggunakan autoklaf
kombinasi dan konsentrasi zat pengatur dengan suhu mencapai 121oC dan tekanan
tumbuh yang digunakan. Dalam kultur jaringan, 17,5 psi selama satu jam. Media tanam yang
dua zat pengatur tumbuh yang sering digunakan digunakan yaitu media dasar Murhasige and
adalah sitokinin dan auksin. Penggunaan Skoog (1962) yang ditambahkan 3% sukrosa,
auksin dan sitokinin dalam menginduksi dan kinetin, BAP serta NAA sesuai perlakuan.
morfogenetik sangat diperlukan (Cameiro Media dipadatkan dengan menggunakan 0,8%
et al., 1999; Mercher dan Kerbauy, 1992). agar dan pH media ditepatkan 5,8 dengan
Publikasi tentang penggunaan zat sodium hidroksida. Media tersebut disterilkan
pengatur tumbuh (komposisi media) untuk pada suhu 121oC dan tekanan 17,5 psi selama
menginisiasi tanaman apel di Indonesia masih 15 menit.
sangat terbatas. Oleh karena itu, percobaan
Eksplan yang telah disterilisasi
ini sangat penting untuk dilakukan dengan
tujuan untuk mengetahui komposisi media selanjutnya ditanam pada media kultur sesuai
(kombinasi sitokinin dan NAA ) yang sesuai perlakuan yang dicobakan. Semua eksplan
untuk menginisiasi tanaman apel. yang telah ditanam ditempatkan pada ruang
pemeliharaan. Suhu ruang pemeliharaan
BAHAN DAN METODE sekitar 22oC sampai 28oC dengan pencahayaan
yang bersumber dari lampu tungsten kapasitas
Materi yang digunakan terdiri atas 20 watt yang dipasang pada setiap rak kultur.
bahan dan alat. Bahan tanam yang digunakan Peubah yang diamati meliputi jumlah
adalah tunas tanaman apel steril yang berasal tunas, jumlah daun dan jumlah ruas. Selain
dari kecambah apel varietas Fuji. Bahan itu, pengamatan visual juga dilakukan

194 194
terhadap morfologi tanaman diantaranya NAA (P1) tetapi berbeda nyata dibanding
ukuran dan warna daun serta panjang ruas. perlakuan yang lain (P3 dan P4).
Tabel 2. Rata-rata Jumlah Daun yang Tebentuk pada
HASIL DAN PEMBAHASAN Berbagai Kombinasi Perlakuan yang
Dicobakan
Hasil
Nilai
Jumlah Tunas Rata-
Perlakuan BNJ
rata
1%
Hasil analisi ragam menunjukkan
bahwa perlakuan yang dicobakan 3 ppm BAP + 0,2 ppm NAA (P1) 27,50 bc
berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah 4 ppm BAP + 0,2 ppm NAA (P2) 31,83 c
tunas yang terbentuk. Rata-rata jumlah tunas 9,43
2 ppm kinetin + 0,2 ppm NAA (P3) 13,33 a
disajikan pada Tabel 1.
3 ppm kinetin + 0,2 ppm NAA (P4) 21,17 ab
Tabel 1. Rata-rata Jumlah Tunas yang Terbentuk pada
Berbagai Kombinasi Perlakuan yang Ket : angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
Dicobakan nyata pada taraf uji BNJ 1%

Nilai Jumlah Ruas


Rata-
Perlakuan BNJ
rata
1% Hasil analisis ragam menunjukkan
3 ppm BAP + 0,2 ppm NAA (P1) 13,33 b bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata
terhadap jumlah ruas yang terbentuk. Rata-
4 ppm BAP + 0,2 ppm NAA (P2) 17,50 b
5,49
rata jumlah ruas yang terbentuk disajikan
2 ppm kinetin + 0,2 ppm NAA (P3) 2,50 a pada Tabel 3.
3 ppm kinetin + 0,2 ppm NAA (P4) 5,17 a Tabel tersebut menunjukkan bahwa
penggunaan media dengan komposisi 4 ppm
Ket : angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
nyata pada taraf uji BNJ 1% BAP + 0,2 ppm NAA (P2) menghasilkan
jumlah ruas terbanyak dibanding perlakuan
Tabel tersebut menunjukkan bahwa yang lain. Perlakuan tersebut (P2) tidak
penggunaan komposisi media BAP 4 ppm berbeda nyata dibanding penggunaan media
+ 0,2 ppm NAA menghasilkan rata-rata dengan komposisi 3 ppm BAP + 0,2 ppm
jumlah tunas terbanyak dibanding perlakuan NAA (P1) tetapi berbeda nyata dibanding
yang lain dan berbeda nyata dengan P3 dan perlakuan yang lain (P3 dan P4).
P4 serta tidak nyata dibanding perlakuan P1.
Tabel 3. Rata-rata Jumlah Ruas yang Terbentuk pada
Jumlah Daun Berbagai Kombinasi Perlakuan yang
Hasil analisis ragam menunjukkan Dicobakan
bahwa perlakukan yang dicobakan Rata-
Nilai
berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah Perlakuan BNJ
rata
daun yang terbentuk. Rata-rata jumlah daun 1%
yang terbentuk disajikan pada Tabel 2. 3 ppm BAP + 0,2 ppm NAA (P1) 16,17 bc
Tabel tersebut menunjukkan bahwa 4 ppm BAP + 0,2 ppm NAA (P2) 20,33 c
penggunaan media dengan komposisi 4 ppm 6,54
2 ppm kinetin + 0,2 ppm NAA (P3) 6,33 a
BAP + 0,2 ppm NAA (P2) menghasilkan
jumlah daun terbanyak dibanding perlankuan 3 ppm kinetin + 0,2 ppm NAA (P4) 13,67 b
yang lain. Walaupun tidak berbeda nyata Ket : angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda
dibanding pemberian 3 ppm BAP + 0,2 ppm nyata pada taraf uji BNJ 1%

195
Pembahasan perbedaan efektifitas suatu zat pengatur
Genotip dan komposisi media yang tumbuh terhadap pertumbuhan tanaman
digunakan merupakan dua hal yang sangat disebabkan oleh dua aspek utama yaitu gugus
menentukan keberhasilan kultur jaringan dasar dan rantai samping.
tanaman. Auksin dan sitokinin merupakan Menurut Suling (2002), BAP
dua jenis zat pengatur tumbuh tanaman yang merupakan jenis sitokinin yang paling stabil
seringkali digunakan untuk menginduksi dalam media kultur sedangkan kinetin
morfogenetik tanaman (Zulkarnaen, 2007). bersifat labil. Kestabilan dan kelabilan kedua
BAP dan kinetin merupakan jenis sitokinin zat pengatur tumbuh ini (BAP dan kinetin) ini
yang seringkali digunakan bersamaan lebih disebabkan oleh rantai samping yang
dengan NAA (auksin) untuk menginisiasi berbeda. BAP memiliki gugus benzyl yang
eksplan tanaman. tidak mudah dirubah oleh enzim yang ada
Hasil percobaan ini menunjukkan dalam jaringan tanaman sedangkan kinetin
bahwa penggunaan media dengan komposisi mudah dirubah oleh enzim yang terdapat
yang berbeda menyebabkan respon yang dalam jaringan tanaman.
berbeda terhadap inisiasi tanaman apel varietas Berdasarkan pengamatan yang
Fuji. Penggunaan 4 ppm BAP + 0,2 ppm dilakukan secara visual terhadap morfologi
NAA (P2) merupakan komposisi media yang pertumbuhan eksplan, bahwa penggunaan
paling sesuai digunakan untuk menginisiasi 4 ppm BAP + 0,2 ppm NAA tidak lebih baik
tanaman apel. Hal ini didasarkan atas hasil dibanding penggunaan 3 ppm BAP + 0,2 ppm
percobaan (Tabel 1, 2 dan 3) dimana NAA. Secara kuantitatis, penggunaan 4 ppm
perlakuan tersebut (P2) menghasilkan jumlah BAP + 0,2 ppm NAA menghasilkan tunas
tunas, daun dan ruas yang lebih banyak yang terbentuk berukuran lebih kecil,
dibanding perlakuan yang lain (P1, P3 dan daun kecil hingga sedang, berwarna hijau
P4). Kondisi demikian terjadi akibat adanya kekuningan serta ruas berukuran lebih pendek
interaksi antara BAP dan NAA sebagai (lampiran 2). Secara kualitatif, penggunaan
hormon eksogen yang digunakan dengan media tumbuh 3 ppm BAP + 0,2 ppm NAA
fitohormon (hormone endogen) yang terdapat menghasilkan jumlah tunas yang besar,
dalam tanaman sehingga diperoleh suatu daun besar, ruas agak panjang, warna daun
jumlah yang sesuai untuk organogenesis hijau dan terlihat lebih segar serta kokoh
tanaman apel dalam memacu pembentukan (lampiran 2). Pada media yang ditambahkan
tunas, daun dan ruas tanaman. Menurut kinetin (P3 dan P4), jumlah tunas, daun dan
Gunawan (1988), interasi dan perimbangan ruas lebih sedikit dibanding perlakuan yang
zat pengatur tumbuh yang ditambahkan lain (P1 dan P2). Selain itu, secara kualitatif
dalam media dan yang diproduksi oleh sel terlihat pada perlakuan (P3 dan P4) bahwa
tanaman secara endogen menentukan kecepatan warna daun terlalu gelap (tidak cerah), jumlah
dan arah perkembangan suatu kultur. daun sedikit, dan jumlah ruas sedikit
Selain itu, penggunaan zat pengatur walaupun ukuran daun besar (lampiran 3 dan
tumbuh yang berbeda dalam satu kelompok 4). Dalam pengkulturan lebih lanjut (tahap
(sitokinin) juga memberikan respon yang multiplikasi) diperlukan eksplan dengan ciri-
berbeda terhadap inisiasi tanaman apel. ciri ukuran daun besar, warna hijau, ruas agak
Dalam hal ini penggunaan BAP dan kinetin panjang, dan terlihat lebih segar dan kokoh
walaupun termasuk dalam satu kelompok seperti yang dihasilkan melalui penggunaan
zat pengatur tumbuh yakni golongan 3 ppm BAP + 0,2 ppm NAA. Hal ini
sitokin namun efektifitas keduanya berbeda.. menunjukkan bahwa meskipun daun, tunas
Menurut Basri (2008) dan Gunawan (1988) dan ruas dapat ditingkatkan pada konsentrasi

196 196
BAP yang tinggi namun ukurannya lebih inisiasi tanaman apel. Secara kuantitif,
kecil dan berwarna lebih muda atau pucat penggunaan 4 ppm BAP ditambah 0,2 ppm
dibanding yang normal. Oleh karena itu, NAA memberikan hasil yang lebih baik
penggunaan 3 ppm BAP + 0,2 ppm NAA terhadap jumlah tunas, daun dan ruas yang
dapat dipergunakan untuk tujuan sub kultur terbentuk. Secara kualitatif, penggunaan
lebih lanjut. 3 ppm BAP ditambah 0,2 ppm NAA
memperlihatkan warna daun lebih hijau,
KESIMPULAN berukuran lebih besar (tunas, daun, dan ruas),
terlihat segar dan kokoh sehingga disarankan
Penggunaan berbagai konsentrasi perlakuan ini dapat digunakan untuk kegiatan
sitokinin dan NAA yang berbeda akan sub kultur lebih lanjut.
memberikan respon yang berbeda terhadap

UCAPAN TERIMA KASIH

Diucapkan terima kasih kepada Iin Rosantya yang telah banyak membantu dalam
percobaan ini. Demikian pula kepada Prof. Ir. Zaenuddin Basri, PhD dan Ir. Hawalina, MSc.,
atas dukungan dan arahannya sehingga kegiatan ini dapat terselesaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Ashari, S., 1995. Hortikultura Aspek Budidaya. Universitas Indonesia (UI). Jakarta.

Basri, Z., 2008. Multiplikasi Empat Varietas Krisan Melalui Tehnik Kultur Jaringan. J. Agroland. 15(4):271-277

Cameiro, L.A., R.F.G. Araujo, G.J.M Brito, M.P.H.P. Fonseca, . Costa, O.J. Crocomo and. E. Mansur, 1999. In
Vitro Regeneration from Leaf Explants of Neoregelia cruenla (R. Graham) L.B. Smith, an endemic
bromeliad from Eastern Brazil. Plant Cell, Tissue and Organ Culture. 55:79-83

Departemen Pertanian (Deptan), 2004. Apel Fresh Agriculture Product. www.sinarharapan.com. 21 Maret 2007

George, E.F and P.D Sherington, 1983. Handbook of Plant Propagation by Tissue Culture. Easterm Press Ltd.
England.

Gunawan, L.W.,1988. Tehnik Kultur Jaringan. Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. Pusat Antar Universitas
(PAU). Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Mercher H and G. B. Kerbauy, 1992. In Vitro Multiplication of Vriesca fosteriana. Plant Cell, Tissue and Organ
Culture. 30:247-249

Murashige, T and Skooge, F., 1962. A Revised Medium For Rapid Growth and Bioassay With Tabacco Tissue
Cultures. Physiol. Plantarum, 15:473-497

Suling, R., 2002. Respon Pertumbuhan Anyelir (Dianthus caryophyllus L.) pada Berbagai Kombinasi Jenis
Auksin dan Sitokinin. Skripsi. (tidak dipublikasikan). Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu

Zulkarnain, 2007. Regenerasi Tanaman Nenas (Ananas comosus (L.). Merr.) dari Tunas Aksilar Mahkota Buah.
J. Agroland. (14)1:1-5.

197
LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1. Inisiasi Tanaman Apel yang Lampiran 2. Inisiasi Tanaman Apel yang
Ditambahkan 3 ppm BAP + Ditambahkan 4 ppm BAP +
0,2 ppm NAA 0,2 ppm NAA

Lampiran 4. Inisiasi Tanaman Apel yang


Lampiran 3. Inisiasi Tanaman Apel yang Ditambahkan 3 ppm Kinetin
Ditambahkan 2 ppm Kinetin + 0,2 ppm NAA
+ 0,2 ppm NAA

198 198

Anda mungkin juga menyukai