Anda di halaman 1dari 15

TEORI SOSIOLOGI MODERN

TEORI KONFLIK LEWIS A. COSER

Disusun Oleh:

1.Dwi Indriani (11)

PENDAHULUAN
Lewis A. Coser lahir pada 22 November 1913 di kota Berlin, tahun 1913.
Setelahperang dunia II, Lewis A. Coser mengajar di Universitas Chicago.
Lewis A. Coser mendapat gelar Ph.D dari Universitas Columbia pada
tahun 1968. Selain itu gelar guru besar Coser didapat dari Universitas
Bramdeis dan di universitas inipula Coser banyak berkiprah di dunia
Sosiologi. Pada tahun 1975, Coser terpilih menjadi Presiden American
Sosiologycal Assosiation (ASA). Karya Coser yang sangat fenomenal
adalah The Functions of Social Conflict. Coser mengutip dan
mengembangkan gagasan George Simmel untuk kemudian
dikembangkan menjadi penjelasan-penjelasan tentang konflik yang
menarik. Coser mengkritik dengan cara menghubungkan berbagai
gagasan Simmel dengan perkembangan fakta atau fenomena yang
terjadi jauh ketika Simmel masih hidup. Ia juga mengkritisi dan
membandingkannya dengan gagasan sosiolog-sosiolog klasik.
Menambahkan dengan gagasan seperti dinyatakan ahli psikologi seperti
Sigmund Freud. Hal yang menarik dari Coser adalah bahwa ia sangat
disiplin dalam satu tema. Coser benar-benar concert pada tema-tema
konflik, baik konflik di tingkat eksternal maupun internal. Coser mampu
mengurai konflik dari sisi luar sampai sisi dalam. Selain sebagai sosiolog
yang mengkritisi tradisi sebelumnya, Coser pernah menulis buku
sejarah Partai Komunis di Amerika dan ia aktif sebagai kolumnis
beberapa jurnal. Tulisan Coser yang paling terkenal adalah Greedy
Institutions (Institusi Tamak) yang di dalam buku tersebut Coser
menyatakan bahwa karakter kehidupan modern saat ini sudah bermuka
“tidak pandang bulu” yang terdistribusi, tersegmentasi, dan teralienasi.
Masyarakat yang seperti inilah yang membatasi kebebasan manusia.
Maka dari itu, Coser tertarik dengan “jaringan konflik” atau kesetiaan
yang terpotong yang dapat mengikat sebuah masyarakat dan
menggerakan perjuangan serta konfrontasi. Dalam buku The Function
of Social Conflict, Coser menyatakan bahwa ilmuwan sosiologi harus
memberikan perhatian kuat pada konflik sebab sebagai bagian
masyarakat, konflik sangat penting dan mendesak untuk dijelaskan.
Karya-karya lainnya antara lain adalah; Partai Komunis Amerika: A
Critical History (1957), Men of Ideas (1965), Continues in the Study of
Sosial Conflict (1967), Master of Sosiological Thought (1971) dan
beberapa buku lainnya disamping sebagai editor maupun distributor
publikasi. Coser meninggal pada tanggal 8 Juli 2003, di Cambridge,
Massachusetts dalam usia 89 tahun.
A. Konflik Sosial

Istilah konflik sosial pada umumnya mengandung suatu rangkaian


fenomena pertentangan antar pribadi melalui konflik kelas sampai pada
pertentangan dan peperangan internasional. Lewis Coser dalam
bukunya yang berjudul “The Fungtions of Social Conflict”,
mengemukakan bahwa tidak ada teori konflik sosial yang mampu
merangkum seluruh fenomena tersebut. Oleh karenanya ia tidak ingin
mengkonstruksi teori umum, tetapi ia ingin karyanya sebagai suatu
usaha untuk menjelaskan konsep konflik sosial serta
mengkonsolidasikan skema konsep sesuai dengan data yang
berlangsung dalam konflik sosial tersebut. Caranya adalah membuat
elaborasi dan menggambarkan wawasan serta ide-ide yang ditarik dari
karya George Simmel.
Pandangan Coser tidak lepas dari tidak lepas dari kritiknya atas sosiologi
Amerika waktu itu yang mulai melupakan pembicaraan konflik. Para
sosiolog Amerika yang ramai-ramai mengembangkan fungsionalisme
telah menggeser tradisi berpikir sosiologi sebelumnya yang berbentuk
sosiologi murni menuju corak sosiologi terapan (applied sociology).
Dalam bukunya “The Fungtions of Social Conflict” Coser mengkritik
gagasan-gagasan Parson yang lebih mengupas mengenai keseimbangan
dan konsensus dibanding membahas mengenai konflik secara
mendalam.
Coser memulainya dengan mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu
perjuangan terhadap nilai dan pengakuan tergahap status yang langka,
kemudian kekuasaan dan sumbersumber pertentangan dinetralisir atau
dilangsungkan, atau dilangsungkan, atau dieliminir saingan-saingannya.
Dengan definisi semacam ini hal-hal yang esensial tidak perlu
dipertentangkan. Tetapi ini berarti bahwa perhatian terhadap
pernyataannya dan implikasinya merupakan suatu permasalahan yang
lain, sebab dengan pernyataan itu menunjukan bahwa Coser telah
menggunakan istilah yang problematis dan samar-samar, tidak kritis
serta menggunakannnya dalam asumsi-asumsi funngsionalisme.
Perhatian Coser berkaitan dengan fungsi dan disfungsinya konflik sosial.
Jadi dapat dikatakan bahwa konsekuensi konflik bukan mengarah pada
kemerosotan melainkan peningkatan, adaptasi dan penyesuaian baik
dalam hubungan sosial yang spesifik maupun pada kelompok secara
keseluruhan.
Coser menyatakan bahwa konflik sosial seringkali diabaikan oleh para
sosiolog, karena mayoritas cenderung menekankan konflik pada sisi
negatif yang telah meremehkan tatanan, stabilitas, dan persatuan atau
dengan kata lain menggambarkan keadaan yang terpecah-belah. Coser
ingin memperbaikinya dengan menekankan konflik pada sisi positif
yakni bagaimana konflik itu dapat memberi sumbangan terhadap
ketahanan dan adaptasi kelompok, interaksi, dan sistem sosial. Bahasa
fungsionalisme yang digunakan seolah-olah menyesuaikan dengan
definisi konflik sosial yang ditemukan coser sendiri. Meskipun definisi
ini memfokuskan pada adanya pertentangan, perjuangan memperoleh
sumber yang langka, yakni di mana setiap orang berusaha
mendapatkan keuntungan yang lebih dari orang lain, namun coser
menafsirkannya dengan menyatakan bahwa konflik itu bersifat
fungsional (baik) dan bersifat disfungsional (buruk) bagi hubungan-
hubungan dan struktu struktur yang tidak terangkum dalam sistem
sosial sebagai suatu keseluruhan.
Jika model ini mempertimbangan masyarakat sebagai suatu bentuk
yang majemuk yang memiliki kepentingan yang saling bertentangan,
dan jika model dalam kelompok itu menggambarkan adanya dua
individu atau lebih, maka orang hanya mampu menentukan (walaupun
hal ini tidak mudah) adakah tindakan-tindakan spesifik yang mampu
mendatangkan keuntungan. Orang tidak akan mampu menentukan
adakah tindakan yang mampu menguntungkan sistem secara
keseluruhan. Kita ambil contoh keluarga sebagai suatu sistem. Jika
suami dan istri dalam suatu keluarga sedang bertengkar kemudian
mereka dapat memecahkan kembali konflik tersebut tanpa adanya
perceraian maka dapat dinyatakan bahwa sistem yang khusus dalam
suatu keseluruhan tersebut akan selalu dipertahankan dan tidak dapat
dirusak. Tetapi adakah konflik dalam pengertian yang fungsional (baik)
atau disfungsional (buruk) bagi suatu sistem itu? Kita tidak akan pernah
mengatahui hal tersebut. Pelajaran yang dapat diambil dari konflik itu
adalah kelangsungan keluarga tersebut adalah akibat dari tindakan
khusus pula dari berbagai pihak, misalnya akibat jasa dari suami, istri
atau jasa anak-anak mereka yang membangn kesamaan pandangan
atau kompromi. Apa yang harus dibayar untuk mempertahankan sistem
tersebut dan seterusnya. Dalam kasus yang lebih luas lagi yang terdiri
dari beberapa yang mengalami konflik kepentingan masing-masing, hal
ini tidak akan bermakna jika membahas fungsional dan disfungsional
bagi sistem secara keseluruhan.
Merujuk pada gagasan Simmel dalam pengertian fungsionalisme, Coser
seringkali menyimpang dari pengertian tersebut. Simmel menyatakan
bahwa oposisi terhadap asosiasi hanya digunakan sebagai alat agar
dapat melangsungkan kehidupan masyarakat yang sulit untuk
diperbaiki. Ia lantas menyatakan bahwa peniadaan oposisi membuat
anggota kelompok tersebut dapat mengadakan pemisahan dan
mengakhiri hubungan tersebut.
Sehubungan dengan tekanan dan oposisi, serta konsekuensinya
terhadap individu secara keseluruhan dalam total versi konflik
fungsional yang dikemukakan Coser. Kita dapat melihat bahwa rumusan
Simmel banyak memberi sumbangan terhadap ide-ide Coser : “Simmel
menyatakan bahwa ungkapan perumusan di dalam konflik membantu
fungsi-fungsi positif, sepanjang konflik itu dapat mempertahankan
perpecahan kelompok dengan cara menarik orang-orang yang sedang
konflik. Jadi konflik itu dipahami sebagai suatu alat yang berfungsi
untuk menjaga kelompok sepanjang dapat mengatur sistem-sistem
hubungan.”
Terminologi tradisional mengenai kekuasaan, dominasi, konflik
kepentingan akan dapat mengungkapkan ide-ide secara jelas.
Sebaliknya, terminologi fungsionalisme hanya akan mengaburkan ide
ini dengan membelokkan realitas dominasi kepada non realita, yakni
adaptasi sistem.
Kita tidak akan pernah dijelaskan tentang apa yang dimaksud positif
dari sebuah konflik dalam struktur sosial. Semua tergantung dari
kelangsungan kelompok tersebut setelah mengalami konflik. Konsep ini
tidak bisa dipertahankan untuk menyatakan bahwa suatu kesatuan dan
daya lekat itu lebih baik daripada perpecahan. Apakah penyatuan itu
lebih baik bagi kelompok tersebut daripada perpecahan dan
pengunduran diri dari beberapa anggotanya tergantung pada variasi
situasi, keputusan-keputusan nilai dan kepentingan. Kesatuan itu dapat
dipertahankan dibawah situasi yang tidak hanya membahayakan
kepentingan kelompok tetapi juga bagi kelangsungan hidup mereka.
B. Gagasan-gagasan Lewis Coser
1.Kelompok mengikat fungsi-fungsi konflik (group binding functions of
conflict) Disini Coser sependapat dengan Marx maupun Sumner yakni
bahwa individuindividu memiliki posisi umum, objektif dalam
masyarakat. Tetapi, mereka akan menyadari lingkungan dari
kepentingan mereka di dalam dan lewat konflik. Coser memperkuat
gagasan tentang in group, out group-we group, dan posisi hierarkis.
Semuanya akan dipelihara dalam dan lewat konflik. Contohnya, konflik
antarkasta di India yang meneguhkan pemisahan dan pembedaan
kasta-kasta yang bervariasi, tetapi juga menjamin stabilitas struktur
sosial India secara keseluruhan. Stabilitas sosial terbentukdengan
membawa keseimbangan klaim kasta-kasta yang bersaing. Pandangan
konflik Coser bisa dikembangkan dalam kasus-kasus, seperti konflik
kebangsaan, konflik etnis, dan konflik politik.
2.Kelompok memelihara fungsi konflik dan arti penting lembaga katup
penyelamat Coser berpendapat bahwa konflik tidak selamanya harus
dimaknai sebagai hal negatif. Simmel menyatakan bahwa pernyataan
permusuhan dalam konflik melayani fungsi positif sejauh bisa
memelihara hubungan yang berada di bawah kondisi stres, kemudian
mencegah kebuntuan kelompok lewat menarik diri sebagai pelaku yang
terlibat permusuhan. Simmel menghilangkan akumulasi permusuhan
yang berhenti dengan pernyataan perilaku secara bebas. Simmel tidak
memberikan perhatian penting pada tindakan konflik dengan rasa
bermusuhan. Sedangkan menurut Coser, keduanya tidak sama. Konflik
benar-benar mengubah waktu hubungan dari perilaku sedangkan
perasaan bermusuhan tidak memiliki peran penting dan meninggalkan
pengertian ketidakberubahan hubungan. Konflik tidak selalu mengarah
pada permusuhan, tetapi bisa digeser pada pemuasan kebutuhan yang
ditunjukan oleh penemuan objek pengganti tersebut. Dalam kasus
politik Indonesia, penganugerahan jabatan politik ditujukan sebagai
pencapaian objek pengganti. Objek pengganti menjadi semacam
peredam konflik yang lebih besar. Objek pengganti juga akan menjadi
bentuk oposisi yang tidak menyebabkan rusaknya hubungan. Sebab dia
bisa mengganti pencapaian tujuan yang ditempuh lewat konflik itu.
Teori konflik Coser oleh Margaret Poloma menyatakan bahwa safety
value atau katup penyelamat merupakan mekanisme khusus yang
digunakan kelompok untuk mencegah konflik sosial terutama konflik
yang lebih besar yang berpotensi merusak struktur keseluruhan. Safety
value mampu mengakomodasi luapan permusuhan menjadi tersalur
tanpa menghancurkan seluruh struktur.

3.Realistis dan Konflik Tidak Realistis.


Simmel menyatakan bahwa konflik disebabkan oleh benturan
kepentingan atau benturan kepentingan yang memuat sebuah elemen
pembatasan sejauh perjuangan hanya menjadi alat mencapai hasil. Jika
hasil yang diinginkan dapat dicapai sama baiknya dengan alat lain, maka
dalam beberapa contoh, konflik hanyalah satu dari bebrapa pilihan
fungsional. Tetapi ada bebrapa kasus dimana konflik muncul sendiri
dari pengaruh agresif yang terjadi karena ada pernyataan yang tidak
ada konsekuensi pentingnya terhadap suatu objek. Dari pandangan
tersebut, Coser membagi konflik sebagai berikut:
1) Konflik realistik.
Konflik realistik memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu sebagai berikut:
a. Konflik muncul dari frustasi atas tuntutan khusus dalam hubungan
dan dari perkiraan keuntungan anggota dan yang diarahkan pada
objek frustasi. Di samping itu, konflik merupakan keinginan untuk
mendapatkan sesuatu.
b. Konflik merupakan alat untuk mendapatkan hasil-hasil tertentu.
Langkahlangkah untuk mencapai hasil ini jelas disetujui oleh
kebudayaan mereka. Dengan kata lain, konflik realistis sebenarnya
mengejar: power, status yang langka, resources (sumber daya), dan
nilai-nilai.
c. Konflik akan berhenti jika aktor dapat menemukan pengganti
yang sejajar dan memuaskan untuk mendapatkan hasil akhir.
d. Konflik realistik terdapat pilihan-pilihan fungsional sebagai alat
untuk mencapai tujuan.
2) Konflik non-realistik.
Sekalipun melibatkan dua orang atau lebih dan tidak diakhiri dengan
permusuhan dari lawan, namun ada keinginan untuk membebaskan
ketegangan setidaktidaknya pada salah satu dari mereka.
Dibandingkan dengan konflik realistik, konflik non realistik kurang
stabil. Pilihan-pilihan fungsional bukan sebagai alat tetapi objek itu
sendiri. Kepentingan yang berbeda bersatu dengan kenginan untuk
melakukan aksi permusuhan yang sebenarnya merupakan konflik
realistis. Namun tidak sedikit elemen non realistik bercampur
dengan perjuangan yang dilakukan bersama-sama atau medorong
adanya peran tertentu.
4.Permusuhan dan Hubungan Sosial yang Erat.
Coser menyatakan bahwa prilaku bermusuhan terjadi lebih siap pada
kelompok yang memiliki hubungan sosial yang erat. Hubungan yang
dekat dikarakteristikan oleh interakasi yang berulang-ulang dan
melibatkan kepribadian total dari anggota dan struktur motivasi.
Misalnya, konflik yang cukup hebat dalam keluarga besar bangunan
hubungan sosial yang dikembangkan bersifat keseluruhan dengan
melibatkan emosi dan hubungan-hubungan yang akrab. Ketika konflik
terjadi, seluruh energipun dilibatkan.

5. Dampak dan Fungsi Konflik dalam Struktur Kelompok.


Coser memfokuskan dirinya pada dua jenis konflik, yakni:
1) Konflik dengan jenis persoalan yang berbeda, yang perhatiannya
terhadap persoalan inti sangat kecil. Misalnya, konflik yang
berhubungan dengan rencana bepergian.
2) Konflik dengan struktur yang berbeda, yang memperlihatkan
dasar-dasar hubungan. Misalnya mendiskusikan memiliki anak atau
tidak yang merupakan tujuan dasar suatu hubungan
Mengutip Mac Iver, coser menyatakan bahwa ada dua bentuk konflik
yaitu:
1) Konflik non-komunal, ketika sebuah kelompok atau komunitas
meletakan kesatuan diatas perbedaan-perbedaan.
2) Konflik komunal, didasarkan pada penerimaan umum terhadap
hasil-hasil dasar, konflik ini berwatak integratif, konflik komunal
muncul ketika individu meletakkan perbedaan mereka diatas
kesatuan.
6. Konflik dengan Kelompok lain meningkatkan kohesi internal.
Ikatan-ikatan dalam sebuah kelompok ditegakkan lewat konflik dengan
kelompok lain, sehingga kelompok mendefinisikan dirinya sebagai
perjuangan dengan kelompok lain. simmel kemudian meneruskan
bahwa konflik dengan kelompok luar akan memperkuat kohesi internal
kelompok dan meningkatkan sentralisasi. Konflik membuat anggota
kelompok lebih sadar tentang ikatan mereka dan meningkatkan
partisipasi mereka. Konflik dengan kelompok luar memiliki pengaruh
yang juga menggerakkan pertahanan kelompok yang menegasjan
sistem nilai mereka atas musuh luar. Coser mengutip Newcomb tentang
kelompok referensi positif dan kelompok referensi negatif. Referensi
positif adalah kelompok yang disamai atau kelompok yang dicontoh.
Kelompok referensi negatif adalah kelompok yang menyediakan
dorongan-dorongan untuk melawannya, atau biasa disebut out grup.
Menghadirkan pertentangan kedepan dalam penyusunan kelompok-
kelompok baru juga mengarahkan pada integrasi lebih lanjut melalui
konflik. Hanya saja perlu dicatat bahwa tidak semua kelompok yang
berkonflik meningkatkan kohesi mereka, tingkatan konsensus kelompok
sebelumnya tampak menjadi faktor sangat penting yang memengaruhi
kohesi. Kelompok yang kurang memiliki kesepakatan dasar (konsensus),
ancaman luar cendrung tidak meningkatkan kohesi tetapi akan
menimbulkan apatis umum dan akibatnya kelompok terancam pecah.
7. Konflik dan Ideologi.
Dalam konteks ini Coser mengutip marx yang berpendapat bahwa
kesadaran kelompol hamper bisa disamakan dengan kesadaran kelas.
Yakni transformasi dari individu-individu dengan situasi hidup yang
khusus dalam wakil kesadaran pada kelompok tersebut. seperti halnya
yang dikatakan Karl Marx bahwa perjuangan kelas bukanlah individual,
melainkan peran dari sisi yang bertentangan sebagai wakil bagi
kepentingan yang berbeda. Seperti buruh (prooletar), yang
digambarkan Marx mewakili kepentingan kelas dan organisasi kelas,
bukan kepentingan individu. Coser juga membicarakan tentang peran
intelektual yang memiliki posisi yang sangat strategis, sebab mereka
memiliki kepentingan mengobjektifkan gerakan sosial dalam
mentransformasikan kelompok kepentingan dalam gerakan ideologis.
Transformasi bisa dilakukan dari konflik kepentingan ke konflik yang
bersifat gagasan (ideal). Para intelektual memiliki kontribusi untuk
memperdalam dan semakin mengintensifkan perjuangan kelompok dari
motivasi individu kepada kebenaran yang abadi (eternal truth)

C. Kritik Terhadap Strukturalisme Konflik


Coser kadang-kadang ditempatkan di dalam satu paradigma yang
berbeda dari kaum fungsionalis struktural lainnya, tetapi lewat kajian
cermat atas karyanya terlihat bahwa Coser tetap memiliki komitmen
dengan pandangan teoritis yang utama. Sumbangan Coser pada teori
yang tetap terikat pada tradisi fungsionalisme itu dapat dilihat dari
asumsi-asumsi dasar tentang manusia dan masyarakat yang implies itu
tercakup dalam teorinya. Coser mengatakan bahwa dia lebih
menganggap teori konflik sebagai teori parsial daripada sebagai
pendekatan yang dapat menjelaskan seluruh realitas sosial. Dia
sependapat dengan Robin William yang menyatakan “masyarakat
aktual terjalin bersama oleh konsensus, oleh saling ketergantungan,
oleh sosiabilitas dan oleh paksaan. Pandangan Coser tentang teori
sosiologis adalah suatu kesatuan pandangan yang mencakup teori-teori
konflik maupun konsensus yang parsial.
Bagi Coser realitas bukan merupakan realitas subyektif seperti rumusan
Charles Horon Cooley atau George Herbert Mead, tetapi realitas
obyektif seperti yang dimaksud oleh Durkheim dan kaum
fungsionalisme lainnya. Dengan demikian orang dihambat oleh
kekuatan struktur sosial yang membatasi kebebasan dan kreativitas.
Jelaslah bagi Coser maupun kaum fungsionalisme struktural bahwa
struktur sosial ada di dalam dirinya sendiri dan bergerak sebagai
kendala. Coser mengungkapkan “sosiologi konflik harus mencari nilai-
nilai serta kepentingan-kepentingan yang tertanam secara struktural
sehingga membuat manusia saling terlibat dalam konflik, bilamana ia
tidak ingin larutkan kedalam penjelasan psikologis mengenai agresivitas
bawaan, dosa turunan, atau kebengalan manusia. Apa yang
disumbangkan Coser kepada orientasi fungsionalisme ialah deskripsi
mengenai bagaimana struktur-struktur sosial itu dapat merupakan
produk konflik dan bagaimana mereka dipertahankan oleh konflik.
Meskipun Coser terikat pada kesatuan teori masyarakat yang ilmiah,
tetapi dia menolak setiap gerakan kearah naturalism atau
determinisme yang ekstrim pada setiap tindakan manusia. Pendekatan
ini terlihat dalam orientasi metodologisnya yang bebas menggunakan
sejarah sebagai sumber data untuk mendukung pernyataan-pernyataan
teoritisnya. Dalam kontinum naturalis dan humanis, Coser sebenarnya
dapat ditempatkan lebih dekat dengan kubu humanis. Coser terlihat
jauh lebih tertarik dengan “kemampuan kreatif” dan “gemriuh inofatif”
dari sosiologi.Coser jelas sekali melihat sosiologi sebagai ilmu, tetapi
ilmu ini merupakan disiplin muda. Coser mengkritik tekanan subyektif
yang ekstrim dalam usaha-usaha teoritis, seperti yang dikemukakannya
dalam pendekatan yang dikenal sebagai ethnomethodology, dan dalam
analisa jalur atau path analysis. Dia menyatakan bahwa kedua
pendekatan tersebut memiliki “metode hipertropi yang mengorbankan
teori substantif”. Dia mengungkapkan keprihatinnanya tentang
keadaan teori sosiologi kotemporer dalam peryataan berikut :

Dalam kedua kasus itu (analisa jalur serta etnometodologi), saya


tegaskan bahwa keasyikan dengan metode sebagian besar sudah
menjurus pada pengebaian substansi dan signifikansi. Padahal, pada
akhirnya, disiplin kita akan dinilai atas dasar penerangan substantive
yang mampu diberikannya mengenai struktur-struktur social di
mana kita terjaring dan sebagian besar merupakan kondisi seluruh
rangkaian kehidupan kita. Bilamana factor utama tersebut
diabaikan, bila kita menolak tantangan untuk menjawab
pertanyaanpertanyaan itu, maka kita akan kehilangan hak hidup dan
terperangkap dalam timbunan sekte-sekte yang bermusuhan dan
menjadi peneliti-peneliti terspesialisasi yang semakin lama semakin
banyak beelajar tentang hal-hal yang semakin nihil.
Seperti banyak karya-karya yang disebut sebagai teori dalam sosiologi,
karya Coser juga mengandung kelemahan-kelemahan metodologis.
Konsep-konsepnya memang menyenangkan, tetapi tidak dijabarkan
dalam pengujian empiris.tetapi seperti dikatakan oleh banyak ahli teori,
lebih baik dan lebih penting mengetengahkan isu teoritis yang relevan
dalam cara yang kurang tepat daripada mempelajari hal-hal sepele tapi
sangat rumit.
PENUTUP
Coser merupakan sosiolog yang mengembangkan teori konflik dari
George simmel. Oleh karena banyaknya analisa kaum fungsionalis yang
melihat bahwa konflik adalah disfungsional bagi suatu kelompok, Coser
mencoba untuk menjelaskan kondisi-kondisi di mana secara positif,
konflik membantu memperrtahankan struktur social dan mencegah
pembekuan sosial . Konflik sebagai proses sosial dapat merupakan
mekanisme di mana kelompok-kelompok dan batas batasnya dapat
terbentuk dan dipertahankan. Coser membedakan antara konflik in
group dengan out group, antara nilai inti dengan masalah yang bersifat
pinggiran, antara konflik yang menghasilkan perubahan struktural
lawan konflik yang disalurkan lewat lembaga lembaga katup
penyelamat (safety valve). Di samping itu coser juga menjelaskan
mengenai konflik realistis dan konflik non relaistis. Keseluruhan teori
tersebut merupakan faktor-faktor yang menetukan fungsi konflik
sebagai suatu proses sosial.

Anda mungkin juga menyukai