..................................................
“KAMI MENYATAKAN MOSI TIDAK PERCAYA KEPADA PARA
USKUP DI TANAH PAPUA DAN KWI; MINTA KELUAR DARI KWI;
MEMINTA USKUP BARU DI PAPUA HARUS MEMPRIORITASKAN
PASTOR ASLI PAPUA; MEMINTA USKUP KEUSKUPAN AGUNG
MERAUKE. PETRUS C. MANDAGI SEGERA MENCABUT MoU
DENGAN PT. KORIDO MELALUI ANAK PERUSAHAANNYA, PT.
TUNAS SAWA ERMA YANG MENGHILANGKAN HAK-HAK DASAR
UMAT DAN SUMBER MATA PENCAHARIAN HIDUP UMAT ALLAH DI
SELATAN PAPUA.”
1. PENGANTAR
Kami yang tergabung dalam „Satu‟ Suara Kaum Awam Katolik
Papua ini terdiri dari 5 keuskupan di tanah Papua, yaitu; Keuskupan
Agung Merauke, Keuskupan Jayapura, Manokwari-Sorong, Agats dan
Timika. Hari ini kami duduk bersama-sama, mewakili umat katolik di
tanah Papua, baik orang katolik asli maupun saudara/i kami yang
seiman dari non Papua yang lahir, besar, tinggal, hidup dan berkarya
lama di tanah Papua. Juga yang memiliki kesamaan masalah, keluhan
dan pergumulan hidup yang panjang yang tidak terlepas dari kehidupan
sehari-hari kami di tanah yang kami cintai ini.
Kali ini kami mau bicara masalah kami yang disebabkan oleh
sejumlah hal, termasuk yang diakibatkan dari tindakan, sikap,
pernyataan, keprihatinan, kepedulian dan keberpihakan pimpinan klerus
kami sendiri. Baik itu yang terjadi di luar, seperti dengan pemerintah,
Lebih dari pada itu agar berpihak pada asas kemanusiaan Allah
yang termaktub dalam rupa, gambar, tubuh dan jiwa raga manusia.
Bahkan dalam pengertian sederhana dan kontekstualnya untuk
membelah dan membebaskan kaum yang tertindas, terhina, teraniaya,
termarginalisasi dan yang dibunuh oleh karena memperjuangkan nilai-
nilai keadilan, kebenaran dan perdamaian. Tak heran memang apabila
demikian. Karena misi keselamatan Allah yang dipraktikan dan
diajarkan langsung Kristus Yesus berorientasi pada misi kemanusiaan
itu. Bakal selalu menekankan pada aspek keadilan, kebenaran dan
perdamaian. Misi itulah yang dari dulu hingga saat ini diteruskan oleh
Gereja katolik.
Gereja katolik melalui kaki tangan para para klerus cukup lama
menjadi saksi Kristus Yesus di tanah Papua. Peran misionaris sangat
membantu kami orang Papua dan lain yang hidup disini. Setidaknya,
mereka telah membuka atau membangun jalan dari luar (Eropa) ke
dalam (Papua). Lalu membangun kontak fisik dengan orang-orang tua
kami dengan taruhan nyawa dalam keterbatasan akses jalan,
komunikasi, transportasi dan lain sebagainya. Bahkan harus
berhadapan langsung dengan gejolak konflik perang antar suku,
wilayah dan lain sebagainya. Untuk ini kami akan selalu menghormati
para misionaris yang membagun peradaban untuk kami disini.
Kami tahu, mereka tidak hanya hadir dengan tangan hampa.
Kehadiran mereka membawah lilin. Menyalahkan lilin itu agar selalu
bercahaya dalam kegelapan hidup kami sini. Karena terangnya dan
kasihnya senantiasa memancarkan cahaya hidup dalam gelap gulita.
Kemudian, perlahan-lahan mereka membawah orang-orang tua kami
keluar dari zona kegelapan itu agar melihat cahaya terang dan dunia
luar. Ini bagian dari bentuk kongkrit ketika gereja katolik melalui
misionaris menjadi saksi Kristus. Kami merasa mereka telah berhasil
membuat kami harus menerima, mengakui, mengikuti dan mengimani
sang terang itu sampai saat ini.
5. PENGALAMAN HIDUP
10 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Bapa Y. Uaga adalah saksi hidup. Hingga saat ini ia masih
hidup. Beliau menceritakan pengalaman hidupnya ketika Karya Mulia
aktif. Menurutnya, pada 1970-1980-an, Karya Mulia cukup banyak
menciptakan tenaga ahli yang luar biasa. Misionaris tahu bahwa
sistem ekonomi di Papua, khususnya di sektor pertanian, perkebunan,
dan peternakan sangat tua di dunia dan mereka tahu bahwa disitu
sumber mata pencaharian serta mampu memenuhi kebutuhan hidup
orang disini. Mereka juga tahu kalau orang Papua itu kuat kerja fisik
dan membutuhkan tenaga ahli konstruksi bangunan.
11 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Bapak Ukago ini berasal dari Wolo, Erageyam, Wamena,
sebuah wilayah yang terletak di barat daya kota dingin, Lembah
Baliem. Berasal dari kampung yang mayoritasnya protestan. Semua
keluarga besar beragama Kristen Protestan. Tapi misionaris merekrut
orang tua ini untuk dilatih, diberdayakan dan disiapkan tenaga ahli
pertukangan. Dari cara itulah yang membuat dia harus meninggalkan
keluarga lain dan memilih untuk menjadi seorang katolik. Hingga saat
ini dia menjadi katolik karena salah satunya berkat dari Yayasan Karya
Mulia ini.
“... yang saya tau itu, Rumah Sakit Dian Harapan dibangun atas
[realitas hidup; kesakitan dan penderitaan orang Papua] melalui
perjuangan Pater Jan van der Horst, OFM, yang dulunya bertugas
sebagai rektor Taruna Bakti Waena. Dari pengalaman pater Jan
dengan antar pasien ke RSUD dok II Jayapura, dia menyaksikan
pelayanan yang sangat buruk dan penanganan yang sangat lambat.
Sebelumnya ada klinik di komplek Taruna Bakti (sekarang kantor
Yayasan Dian Harapan).”
12 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Hal ini disampaikan langsung oleh bapak Piets Maturbongs,
seorang tokoh katolik Papua asal Key, yang cukup tahu tentang
bidang-bidang karya pastoral di keuskupan Jayapura di masa Mgr.
Herman Munninghof, OFM. Ceritanya di WhatApp sangat panjang
lebar pada Rabu, 13 Januari 2021. Tapi catatannya dipersingkat hanya
untuk memperlihatkan latar belakang rumah sakit ini. Menurutnya,
Rumah Sakit Dian Harapan (RSDH Jayapura) dulu lebih berpihak pada
aspek kemanusiaan (orang Papua).
Tentu ini tidak terlepas dari berkat kerja keras dari Jan van der
Horst, OFM bersama-rekan-rekan kerja seperti Didik Irawan.
Berangkat dari masalah kesehatan orang Papua yang penanganannya
lambat dan cukup memprihatinkan. Karena itu, pastor Horst lapor ke
Uskup Herman Munninghof untuk mendirikan rumah sakit. Tapi bapak
uskup waktu itu ragu karena kekurangan atau keterbatasan tenaga
medis. Horst kemudian membangun komunikasi dengan sejumlah
dokter dan petugas kesehatan lain yang beragama katolik di Papua
dan luar Papua.
13 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Rumah sakit ini didirikan pada 1995 dengan misi pelayanan
sosial. Di dalamnya menekankan pada misi kemanusiaan dengan
motto “Salus Aegroti Suprema Lex Est”, yang artinya “keselamatan
pasien adalah hukum utama.” Pelayanannya tempo dulu tidak
pandang bulu, agama, ras, suku dan lainnya. Tidak pernah tebang
pilih atau pilih kasih. Tidak ada diskriminasi rasial dalam pelayanan.
Siapa saja diperbolehkan untuk pergi berobat di klinik atau rumah
sakit ini. Tak sedikit orang Papua yang berobat di klinik ini, bahkan
setelah statusnya berubah menjadi rumah sakit, berobat secara gratis.
14 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Awal setelah rumah sakit berdiri, petugas medis rata-rata dari
kalangan saudara/i yang berasal dari luar Papua. Hampir semua
dokter, perawat dan bidan, kebanyakan dari saudara/i non Papua.
Tetapi sistem pelayanannya masih dikontrol dan dikendalikan oleh
misionaris, termasuk pater Horst dan bapa Uskup Munninghof. Di
masa Mgr. Herman Munninghof, OFM, pendahulu Mgr. Leo Laba
Ladjar OFM, orang Papua dari mana saja mendapat tempat dan
kesempatan prioritas di rumah sakit ini.
15 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Tak hanya itu. Dewasa ini banyak orang sering mengeluh soal
biaya pengobatan di rumah sakit ini. Kita tahu memang, bahwa di
belahan dunia manapun, tidak ada yang gratis. Namun, orang yang
tahu sejarah dan bagaimana pelayanan dulu dengan saat ini akan
merefleksikan lain. Mereka sangat heran dan banyak dari mereka gigit
jari. Hal itu dilakukan lantara biaya pengobatan sangat mahal.
Barangkali itu mengikuti kualitas pelayanan, biaya operasional, serta
demi pemenuhan demi belanja bahan dan peralatan medis serta
pembayaran gaji bagi semua petugas medis disini. Tapi apapun itu,
tidak ada yang salah bila memang perlu heran.
16 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Sesekali, pada 2019 lalu, bapak Wihelmus Hilapok datang ke
sini. Dia adalah orang katolik, eks anggota TNI dari satuan Denzpur-
10, yang terletak di Ale-Ale, diantara Padang Bulan atau jalan masuk
kampung Yoka, Waena, kota Jayapura. Pada saat itu gereja katolik
membeli lokasi dari paroki KTD, Taruna Bahkti dan sekitarnya. Orang
yang melirik lokasi sekitar pun sangat banyak, makanya dia termasuk
anggota yang sangat aktif mengamankan lokasi gereja dari ambisi
perebutan dari orang lain atau perusahaan tertentu. Hampir setiap
hari dia mengaku melakukan patroli di lokasi milik gereja, termasuk
rumah sakit ini.
17 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Petugas justru meminta bapa Hilapok agar membayar biaya
sesuai dengan harga standar pelayanan yang ditentukan petugas
medis. Dia berkali-kali melakukan negosiasi atas nama jasah,
pengorbanan, surat pastor pariki, kekatolikan dan lainnya, tetapi tidak
menghasilkan buah apa pun. Dengan sedikit emosi dan sedih,
kemudian bapak ini mengisi surat itu dalam saku. Lalu keluar ke
depan halaman. Karena kekurangan uang dia tidak jadi berobat atau
melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Terpaksa pulang ke rumah
dengan rasa kecewa berat.
“Saya rasa lain. Saya tahu rumah sakit ini. Dulu saya yang jaga
dan amankan. Dulu sana melayani orang Papua itu gratis. Tidak
pernah padang buluh. Bayar pun dulu sangat murah. Tetapi hari ini
saya rasa lain. Semua serba bayar. Tidak pernah hitung jasa orang.
Tidak juga mempertimbangkan kalau ada surat pengantar dari pastor
paroki. Saya menyesal sekali. Masa mereka tidka menghargai jasa dan
tidak mempertimbangkan surat itu. Roh rumah sakit ini, saya rasa
sekarang sudah hilang. Mati.” Katanya dalam sebuah wawancara di
kediamannya, Hawai, Sentani pada 2018 lalu.
18 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Soal biaya ini, beberapa orang mengeluh hal yang sama.
Seorang wanita katolik H. Ferro pernah berobat sini dan merasa biaya
pengobatan disini sangat mahal. Dia tahu bahwa tidak ada sesuatu
yang gratis dan cuma-cuma di dunia. Apa yang Ferro dan bapak
Hilapok alami sama seperti orang lain alami. Seolah-olah semua orang
merasa bahwa orang miskin dilarang berobat di rumah sakit ini.
Kurang lebih seperti itulah yang dialami oleh mama Ferro pada 2018
dan 2019 lalu. Salah satu hal yang sangat menganggu dia setiap kali
hendak masuk berobat atau hanya sekedar menjengguk keluarga
yang sakit di dalam rumah sakit adalah soal tagihan parkiran
kendaraan. Menurut dia ini bisnis terselubung yang sangat luar biasa.
19 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
c. Pendidikan Berpola Asrama Katolik
20 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Misi gereja ini ini lebih menekankan pada pembangunan bidang
karya pastoral yang kurang lebih berlangsung pada 1960-1970
[sebelum memasuki pada misi gereja partikular]. Gereja banyak sekali
membuka bidang karya pastoral melalui jalan perintisan yang dilalui
para misionaris sebelumnya. Pimpinan gereja katolik di tanah Papua,
terutama Keuskupan Agung Merauke, Keuskupan Jayapura, dan
Manokwari Sorong yang berkembang dari Perpektur Apostolik ke
Vikariat Apostolik hingga kini menjadi keuskupan, masing-masing
berkembang bersamaan dengan bidang karya pastoral yang didorong
di seluruh basis komunitas gerejawi.
21 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Donbosco di Wamena, asrama yang ada di Kokonau, Senggi - Waris,
Oksibil, Merauke, Agats, Manokwari, Sorong dan lain sebagainya.
Arama tersebut dilengkapi dengan peralatan, dan fasilitas asrama.
Fasilitas yang dimaksud tak hanya soal peralatan masak, makan
minum, mandi, dan lainnya. Tetapi untuk mendukung upaya proses
pembinaan kaum awam Katolik Papua tersebut, mereka datangkan
komputer, buku - buku, memesan koran dlsb.
22 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
mulia pendidikan berpola asrama yang diembannya dalam benak.
Sejumlah gereja dan umat serta LSM disana memberikan bantuan dan
itu diperuntukankan untuk membangun gedung asrama, dapur, kamar
mandi dan lain sebagainnya.
23 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
pembinaannya tidak berjalan sampai digantikan oleh bapak Jhon
Woop sekitar 2018 lalu. pada saat yang sama sebagian gedung
asrama Tauboria, kapela dan rumah pembina diambil alih oleh pihak
keuskupan.
24 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
ada di tanah Papua persis sama. Upaya ini boleh diartikulasikan
dengan ragam perspektif. Salah satunya, ini merupakan sebuah
fenomena pembunuhan sistematis bagi kaum awam katolik Papua.
25 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Masalah akut dalam asrama pemerintah secara umum, baik di
Papua dan luar Papua ialah tiga hal, diantaranya; makan minum tidak
diperhatikan, listrik dan air bersih selalu bermasalah. Bahkan hingga
saat ini rata-rata bermasalah. Bakal yang ke empat dan ini paling
fatal, menyedihkan dan terlalu parah adalah karena proses pembinaan
di semua asrama yang dibangun pemerintah pusat melalui pemerintah
daerah tidak pernah menjalankan proses pembinaan seperti yang
dilakukan di asrama-asrama milik gereja katolik amaupun protestan di
Papua.
26 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Kita belum bicara soal sistem pendidikan katolik yang nampak
hancur karena kolaborasi dengan sistem pendidikan ala pemerintah.
Dimana gereja membuka diri, membiarkan pemerintah menguasai dan
mengontrol sistem pendidikan katolik yang khas kemudian perlahan
hancur luluh lantak secara sistematis, terstruktur dan berkelanjutan.
Kita belum juga bicara soal kehancuran sistem pendidikan akibat
gereja meyalibkan diri dalam bayang-bayang jaminan hidup, dengan
cara membiarakan pemerintah bantu dana, guru dan mengambil ahli
kendali sistem pendidikan gereja katolik.
Dalam konteks ini kita membatasi diri sampai disini. Nanti kita
akan membahasa secara detil di lain kesempatan. Tetapi yang perlu
dipahami adalah polarisasi maupun motif penghancuran pendidikan
berpola asrama katolik di tanah Papua, terutama 5 keuskupan yang
ada disini semuanya sama. Disini pada intinya ada sebuah ketakutan
besar, karena pendidikan asrama telah melahirkan banyak orang
dengan pemikiran, karakter dan pengaruh yang sangat laur biasa.
Sehingga untuk meminimalisir ketakutan ini, mungkin saja ada upaya
penghancuran: penutupa dan pengahlifungsian asrama-asrama
katolik.
27 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Bagaiman kita mau bermimpi, misalkan orang Keerom, sebuah
daerah yang sangat bersejarah dalam konteks sejarah katolik harus
menjadi pastor setelah memasuki lebih dari 50 tahun dan atau
sesudah menjadi orang katolik Papua? Sampai kapanpun orang
Keerom atau dimana saja tidak akan pernah menjadi imam selam
gereja tidak pernah bekerja keras untuk mengalih dosa masa lalu dan
melakukan rekonsiliasi lebih lanjut. Kita ini orang beriman yang tahu
adat dan budaya. Selama dosa masih menghantui, selama itu
seseorang tidak bisa melangkah pada langkah selanjutnya.
Di lain sisi, selama sistem pendidikan dasar, dari tingkat TK, SD,
SMP, SMA/SMK milik katolik masih hancur dan baik tapi tidak
memikirkan untuk menyiapkan kader-kader tokoh awam dan imam
katolik, serta selama orang yang mengendalikan sistem tidak
menghendaki agar berpihak kepada orang Papua, selama itu krisis
kader akan berlaku panjang. Selama itu juga akan menjadi kelemahan
dan alasan ampuh untuk lebih banyak mendatangkan orang dari luar
ketimbang merekrut siswa/i dari basis-basis gereja katolik Papua.
28 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Kami juga sudah mendengar langsung dari beberapa anak-anak
seminari menengah dan seminari tinggi yang masih aktif. Demi
keaman dan kerahasiaan, kami tidak akan menyebutkan nama-
namanya. Begitupun dengan mereka yang siap menjadi imam kelak
setelah ditabiskan nanti. Mereka yang telah dipecat, dan dikeluarkan
pun kami sudah ketemu dan meminta pedapat dari mereka. Kami
melihat, ada indikasi khusus dan tertentu untuk membatasi semangat
sejumlah anak-anak Papua dan non Papua yang memiliki semangat
dan cita-cita yang bagus, tapi diberhentikan dengan alasan sepele.
29 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Asrama-asrama itu, terutama yang ada di dekenat masing-
masing, semat-mata bukan hanya berfungsi sebagai tempat merekrut
orang, dan menyediakan tempat tinggal dengan menekankan pada
aspek spritualitas dan intelektualitas semata. Namun, hal yang paling
penting adalah, dengan adanya asrama dari jenjang dasar sampai
perguruan tinggi diharapkan menjawab persoalan moral yang sangat
kusut. Misalnya, dengan adanya peredaran obat-obatan terlarang,
seperti ganja, Narkoba, seks bebas dan lainnya yang sulit dihalau
pada belakangan ini.
30 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Salah satu tempat yang sangat efektif untuk menata moral
anak-anak adalah asrama dan melalui pendidikan berpola asrama.
Pendekatan ini sangat tepat karena selalu menekankan pada tiga pilar
utama, yaitu aspek spritualitas, intelektualitas dan moralitas yang
membentuk sifat, karakter, perilaku, pembawaan dan lain
sebagainnya. Namun, apa yang terjadi apda belakangan ini?
Jangankan mau melakukan sosialisasi, membangun kesadar,
mendirikan gedung asrama dan lainnya. Keprihatinan dan kepedulian
saja tidak ada sama sekali dari kelrus kita.
Sungguh pun ada pasti hanya berlaku di bibir, diatas kertas dan
di depan layar leptop atau infokus. Empati klerus kita untuk tangani
persoalan seperti ini sangat lemah. Akibatnya, moral kami, terutama
anak-anak generasi penerus hancur luluh lantak. Semakin hancur dan
tidak ampun-ampun itu terjadi pasca pemerintah memberlakukan UU
Otsus Papua. Kami yang alami dan rasakan sendiri. Semenjak Otsus
berlaku kami rata-rata menjadi manja, manusia instan, pengemis,
malas tahu, tidak mau kerja keras, lupa identitas kami, menjadi
hamba uang, budak dari koruptor dan lain sebagainnya.
31 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
d. Transasksi tanah gereja dan masyarakat adat
32 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
bidang-bidang karya pastoral, seperti gereja, sekolah, asrama,
tokoh, dan lain sebagainnya untuk benar-benar menjadi gereja
yang mandiri, bukan bergantung pada orang lain.
33 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
dalam hukum kanonik dan ASG]. Tetapi kalau hasilnya masuk ke
kantong-kantong saku pribadi, komunitas dan lainnya, mau tidak
mau atau suka tidak suka perlu dipertanyakan. Apakah tanah-tanah
gereja katolik merupakan basis mata pencaharian? Tempat bisnis
atas nama agama, Tuhan, dan kekuasaan?
34 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Hari ini lebih dari 100 investor memiliki saham di Merauke, Boven
Digoel, Mappi dan Asmat. Beberapa kawasan/hektar sudah menjadi
lahan kelapa sawit dan lebih dari 2.000 hektar menjadi lahan sawa.
Kami sudah memiliki informasi akurat, bahwa sejumlah tanah adat
milik masyarakat adat dan juga umat katolik disana telah
diahlifungsikan tanpa melalui mekanisme transaksi legal.
35 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
˃Transasksi tanah adat dan ekspansi sawit
36 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
saat ini menguasai luas areal mencapai 2,5 juta hektar. Badan
koordinasi Pemanfaatan Ruang Nasional (BKPRN)
merekomendasikan agar perusahaan yang terlibat di dalam
menguasai sebesar 1.282.833 ha atau 30 persen dari luar wilayah
kabupaten Merauke. Data ini bersumber dari Pusaka.or.id dengan
judul berita “MIFEE, Untuk Siapa?”.
37 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Daerah seperti kabupaten Mappi [Keuskupan Agung Merauke]
dan kabupaten Asmat [Keuskupan Agats], Yahukimo dan
Pegunungan Bintang [Keuskupan Jayapura], yang berdekatan
dengan kabupaten Merauke dan Boven Digoel, dimana sejumlah
perusahaan menguasai lahan adat milik masyarakat adat bisa saja
menjadi target lebih lanjut. Potensinya sangat besar karena daerah
tersebut memiliki kawasan rawah yang hampir persis sama dengan
Merauke dan Boven Digoel. Tidak diragukan lagi kalau banyak
perusahaan, termasuk setelah pemerintah mengesahkan UU Cipta
Kerja ( Omnibus Law), daerah ini termasuk menjadi kawasan yang
paling tertarik dan ambisi yang sangat besar.
38 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
provinsi Papua [dekenat Jayapura]. Disini memang bukan basis
gereja katolik yang besar, akan tetapi paling tidak beberapa
penduduk asli setempat sudah dibaptis secara katolik. Setidaknya,
terdapat sebuah gereja katolik disana. SKPKC Fransiskan Papua
aktif mendampingi masyarakat adat dan umat katolik disini.
Perusahaan yang menguasai tanah-tanah adat milik masyarakat
adat, termasuk beberapa umat katolik disini adalah PT. Sinar Mas.
39 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Perusahaan tersebut, menurut Laporan Atlas Sawit yang
merujuk pada laporan riset dari Jerat Papua menyebutkan bahwa,
perusahaan itu sedang melakukan sosialisasi ke masyarakat adat.
PT. Permata Nusa Mandiri, anak perusahaan dari PT. Pusaka Agro
Sejahtera Group diperkirakan memiliki izin lokasi seluas 23.813
hektar, dekat perbatasan antara kabupaten Jayapura dan Sarmi.
Selain mereka, ada tiga perusahaan, yakni; PT. Brazza Sarmi
Sejahtera, PT. Kebun Indah Nusantara dan PT. Botani Sawit Lestari
yang berusaha mengurus izin untuk menguasai lahan seluas 50.000
hektar di daerah ini.
40 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Akibatnya, banyak sekali menganggu keutuhan alam,
mencemarkan lingkungan, menimbulkan penyakit, sakit,
penderitaan dan kematiaan. Pada 1998, Mgr. Herman Munninghoff,
OFM, mantan Uskup Keuskupan Jayapura (pendahulu dari Mgr. Leo
Laba Ladjar, OFM), pernah mengecam perusahaan ini atas adanya
laporan dan atau keluhan dari masyarakat atau umat katolik
setempat. Namun, perusahaan ini tidak menghirauhkannya. Justru
senantiasa melakukan operasi hingga sering menelan nyawa orang-
orang tak bersalah, termsauk anak-anak dibawah umur dan ibu
hamil dalam konflik tertentu dan atas nama kepentingan ekonomi.
41 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
operasi yang sama denagn dalil tertentu. Hal ini mungkin saja
karena ia telah mengantongi surat izin dari pihak berwenang.
42 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
sawit diatas luas lahan dalam tiga blok yang berbeda, yaitu; 6.460
hektar, 5.510 hektar dan 5.300 hektar. Perusahan itu memiliki
jaringan dengan Jayanti Group, dan PT. Agonda Jaya Irian.
43 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
melakukan kompromi dengan masyarakat adat yang memilik hak
mutlak. Ada pula yang hanya sepakat untuk lepaskan dan atau
melakukan operasi untuk 500 hektar, tapi diam-diam merubah
angka menjadi 50.000 hektar dan lain sebagainnya. Ada yang
menawarkan dengan uang, perempuan, kendadaraan, menjanjikan
agar jamin kesehatan dan pendidikan anak.
Tempat kami cari makan dan minum sudah tidak ada lantaran
kebun kelapa sawit menghisap air sehari kurang lebih 8 liter dari
kedalaman maksimal 24 meter. Air yang hendak kami minum
44 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
tercemar karena ada perusahaan yang mengakibatkan limbah
beracun. Hutan-hutan yang selalu menjadi pasar kehidupan, tempat
kami berburuh dan lain sebgainnya jadi gundul, bahkan menjadi
hutan kebun kelapa sawit. Kami benar-benar tersesat dan merasa
kehilangan akan sumber-sumber mata pencaharian hidup. Bagi
kami perusahaan maupun orang-orang tua kami yang ikut
kompromi, termasuk pemerintah yang terlibat di dalam sangat
mengancam hidup kami serta nasib dan masa depan anak cucu
kami nanti.
45 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
kembali menakan MoU dengan perusahaan yang pernah ia
mengecamnya karena menghilangkan nafas dari alm. Betera.
46 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Keuskupan Agung Merauke. Kami rasa pimpinan klerus berperan
penting untuk memutuskan mata rantai kehidupan umat manusia di
Papua pasca pemerintah pusat mengesahkan UU Omnibus Law, dalam
polemik UU Otsus Papua dan Inpres Nomor 9 Tahun 2020 dan Kepres
Nomor 20 Tahun 2020 pada akhir 2020 lalu.
Bagi kami MoU seperti ini memiliki arti, bahwa pimpinan gereja
kami ikut mendorong dalam upaya penghilangan hak-hak dasar kami
terhadap tanah adat; ikut aktif menghilangkan mata pencaharian
hidup, membahayakan nasib dan mengancam masa depan anak cucu;
ikut serta mendukung kerusakan lingkungan hidup; ikut mencemarkan
kali, sungai dan telaga; ikut membunuh masyarakat adat [umat
katolik] secara halus, dan sistematis. Kami sangat gelisah, cemas dan
khawatir dengan keterlibatan pimpinan klerus kami meskipun itu atas
nama pribadi, gereja katolik dan demi pembangunan sumber daya
manusia (pendidikan) sekalipun.
47 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
banyak mengonsumsi isu yang berkaitan dengan masalah
kemanusiaan ketimbang isu-isu lingkungan. Hingga kami tidak sadar
dan akhirnya kaget kalau para pemimpin gereja kami ikut memainkan
peran yang sangat penting dalam hal membantu perusahaan atau
mencari keuntungan tertentu dengan dalil kerja sama dengan
sejumlah pihak atas nama gereja katolik, ekonomi, pendidikan,
kesehatan, kemanusiaa dan lain sebagainnya.
Tak hanya kepada bapa Uskup Mandagi. Kami lebih kecewa dan
tidak percaya lagi kepada ketua SKPKC KAME, Pastor Anselmus Amo,
MSC. Selama ini kami tahu dia bersama umat menentang perusahaan
yang merusak lingkungan, menghilangkan sumber-sumber mata
pencaharian hidup dan membelah kaum yang lemah, miskin,
terpinggirkan, teraniayah dan tertindas. Tetapi dengan kehadiran
pastor pada MoU itu membuat kami semua sangat kecewa dan tidak
percaya lagi. Kami tidak tahu pastor pikir apa sampai harus kasih
tunjuk „batang hidung‟ dalam kesempatan itu.
Kami juga tidak tahu pastor itu main seperti apa selama ini.
Kami juga tidak tahu cerita sebenarnya dibalik MoU itu pastor
berperan seperti apa. Oleh karenannya, kami tidak bisa mengambil
kesimpulan tertentu. Tapi sebagai manusia kami harus jujur, bahwa
kami sangat kecewa sekali. Selama ini kami menaruh harapan kepada
pastor dan para pimpinan klerus, tetapi kalau mereka ambil jalan
diam-diam seperti itu, nanti kami ini ke depan jadi seperti apa? Kami
mau ikut siapa dan mau ikut teladan dari siapa. Kami bisa lihat “anjing
menjilat muntanya”, tapi belum pernah melihat “manusia menelan
suara atau menghisap darah sanaknya”. Hari ini kami belajar dari
pimpinan klerus kami.
48 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Situasi belakangan ini mengingatkan kami pada 2018 lalu.
Dalam sebuah kesempatan kami bertemu seorang yang tidak mungkin
kami sebutkan namannya demi keamanan, kenyamanan dan
kerahasiaan identitasnya. Tapi dia ini orang asli Jawa. Dia tidak lama
di Papua. Sekarang sudah hampir 10 tahun. Hampir semua keuskupan
di Papua di kunjungi. Dia cukup banyak menghabiskan waktu untuk
mengalih sejarah dan situasi terkini di Keuskupan Agung Merauke,
Jayapura, Manokwari-Sorong, Agats dan Timika. Dia tahu karena
selain sebagai dosen, dia aktif menerjemahkan teks-teks atau
dokumen-dokumen pemerintah dan gereja katolik di masa kekuasaan
pemerintah Belanda dan misionaris yang berbahsa Belanda.
“... saya itu sudah muak melihat ini. Ada “paket kampung” yang
datang dari luar. Mereka secara intelektual dan ekonomi sangat
lemah. Sesungguhnya mereka tidak terlatih dan tidak punya
keterampilan. Dari segi kualitas, kamu jauh lebih hebat ketimbang
mereka. Di kampung halaman, mereka tidak punya pekerjaan dan
pendapatan seperti di Papua sini. Saat ini mereka memanfaatkan
kekuasaan dalam gereja ini untuk memenuhi kebutuhan mereka
49 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
sehari-hari. Datang kesini bukan untuk membangun tanah dan
manusia dengan hati. Tapi bawah kepentingan perut”.
50 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
menutup, mengeserkan fungsi dan menghilangkan pendidikan berpola
asrama.
51 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
pengetahuan, dan masih banyak lagi. Semua unsur-unsur itu sangat
melekat dengan kehidupan kami sehari-hari. Kami sangat menyadari
gereja ini semakin bersahabat karena faktor-faktor ini.
Hal ini pernah diakui oleh alm. Frans Lieshout, OFM. Di dalam
buku Gereja Katolik di Lembah Baliem dan lainnya dia banyak
menguraikan tentang hal-hal seperti ini. Mereka tidak memandang
semua hal sebagai anti teologis (anti Kristus). Justru mengakui
sebagai sarana kemurahan Tuhan untuk memahami relasi antara
orang Papua pada umumnya dan Hugula, Baliem pada khususnya
52 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
dengan Tuhan Allah maha pencipta akan segala sesuatu melalui
leluhur dan nenek moyangnya. Tapi juga sekaligus dipandang sebagai
sarana-sarana spritualitas yang sangat khas untuk memuliakan dan
meluhurkan nama Tuhan.
53 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Sampai kadang-kadang kami harus merasa bahwa gereja telah
berakar dalam budaya dan budaya telah berakar dalam gereja katolik.
Hal seperti ini yang kami selalu rindukan.
54 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
semua prosesi, lagu-lagu, doa umat dan lain sebagainnya diwajibkan
bernuasa Papua. Hanya saja 2020 lalu tidak digelar karena besar
kemungkinan akibat pandami Covid-19 yang melanda di dunia,
termasuk di Papua.
55 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
mengukir, dan memahat kayu yang hendak menggambarkan salib dan
Yesus di gereja katedral dok II Jayapura.
Dia tidak selalu ambil atau terinspirasi dari budaya dari asal
daerahnya. Tetapi semua nilai-nilai kearifan lokal, sekalipun itu bagian
dari basis agama protestan, ia angkat melalui lukisannya. Misalnya,
gambar tengkorak ikan, babi, burung, salib, gelang, tiba, anak panah,
busur, honai, saliyab, Yesus, para martir, para kudus dan lain
sebagainya. Karya-karyanya ada dimana-mana, seperti gereja katolik
paroki “penebus” Sentani; “Kristus Terang Dunia”, Waena;
“Juruselamat” Kotaraja dan lainnya.
56 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Kami tahu akan itu karena lima keuskupan kami di Papua,
paling tidak dengan semangat besar mendorong nilai-nilai yang
bercorak budaya ke dalam gereja. Gereja menjamin ini dengan
merumuskan kebijakan untuk mengangkat, melindungi dan
melestarikan nilai-nilai bercorak budaya di dalamnya. Upaya ini kami
sambut baik, karena usaha demikian budaya kami mendapatkan
tempat dan kesempatan besar. Walaupun demikian, di lain sisi,
terutama pada belakangan kami mengalami banyak peristiwa-
peristiwa baru dengan berbagai cara dan bentuk yang berbeda.
57 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
setempat memakai busana dan menyanyikan lagu-lagu pop rohani
daerah [seperti biasanya kelompok orang mudah sini menyanyi untuk
mengiringi misa atau perayaan tertentu]. Pada hari itu, Almung bilang
“umat juga menyanyi lagu dari Madah Bakti. Tapi tak seberapa.
Kebanyakan mereka menyanyi dengan bahasa daerah [secara
spontan] dan ada pula dengan guitar”.
58 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
ada perayaan untuk memperingati Fransiskan masuk di Papua sejak
18 Maret 1937. Sebelumnya, Obaja Itlay dan Damianus Yogi, bersama
rekan-rekan mereka lainnya diminta membawah tarian daerah untuk
perarahkan bapa uskup yang akan memimpin perayaannya.
59 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
membawahkan sambutan atas nama misionaris Fransiskan yang masih
tinggal di Papua langsung menangis dan mencucurkan air mata.
Hal serupa juga dialami oleh Agus Pawika, salah seorang anak
muda yang mengkoordinir Ikatan Pelajar Mahasiswa dan Pemuda
Katolik Jayawijaya (IPMPKDJ) guna latih tarian daerah dalam
persiapan pentabisan 8 imam di GOR Cenderawasih APO, kota
Jayapura, papua pada 22 April 2018. Pada saat itu, Kashuokta, sebuah
komunitas katolik dari Baliem di kota Jayapura meminta supaya anak-
anak IPMPKDJ membawah tarian untuk melakukan perarahkan imam
baru bersama bapa uskup. Latihan mereka dan rencana mereka untuk
60 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
menggenakan pakaian tradisional ini sudah sampai di telinga bapa
uskup.
61 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Tetapi kalau mau mengandalkan lagu-lagu rohani berbahasa
daerah dari KBG yang murni dari luar Papua dan baru saja
menyesuaikan diri di Papua, ada juga tapi kemungkinannya sangat
kecil sekali. Kebanyakan KBG yang basisnya orang baru jarang dan
pasti sulit untuk membawah lagu-lagu daerah, Papua dalam gereja
atau perayaan tertentu. Tidak tahu, apakah karena mereka tidak tahu
bahasa daerah, jarang dengar lagu, tidak merasa penting untuk
angkat corak khas budaya Papua atau ada alasan lain. Tapi rata-rata
dari mereka angkat lagu dari luar. Hal yang sama berlaku untuk
menggenakan busana khas daerah dan lain sebagainnya.
62 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
tahun 1999, hampir 75% penduduk Merauke adalah beragama katolik.
Tapi hari ini ada fenomena kawin silang sampai budaya, adat istiadat
dan tradisi setempat yang tempo dulu memberikan corak khas gereja
lokal makin hilang. Makin parah ketika orang asli Merauke sendiri
pindah agama atau gereja, seperti Bethel, GKII, GIDI dan lain
sebagainnya”, kata U. Yan di gua Maria, Buper, Kota Jayapura, Senin,
(11/1/21).
f. Lain-lain
Kami tahu dan sadar itu tidak cukup. Masih banyak hal yang
kami rasa ganjil dan harus bicara, seperti maskapai AMA, bengkel
Karya Mulia, pernikahan dan seksualitas, dan masih banyak lagi, tapi
kami rasa untuk sementara waktu cukup dulu. Masalah lain kami
harus batasi diri. Kalau memungkinkan kami akan angkat di kemudian
hari. Kami rasa hal-hal yang perlu dibicarakan adalah beberapa hal
yang sudah diutarakan diatas. Pengalaman hidup di beberapa bidang
karya pastoral diatas bisa menggambarkan bagaiaman kondisi hari ini.
63 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Selanjutnya, kami merasa perlu untuk bicara tentang
pengalaman yang kami alami dan rasakan dalam kehidupan sehari-
hari dalam dinamika sosial dalam hidup menggereja, bermasyarakat
dan bernegara. Situasi hari ini membuat kami semakin lemah, tak
berdaya, dan terpinggirkan karena basis-basis strategis tersebut
ditutup, dijual, dan diahlifungsikan. Hari ini kami telah melihat,
mendengar, mengalami dan merasaka sendiri. Banyak sekali orang-
orang tua kami yang dulu bekerja di segala bidang karya pastoral
bersama para misionaris dipecat, dipensiunkan dan atau karena
merasa tidak nyaman memilih agar mengundurkan diri.
64 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Banyak sekali orang-orang tua kami yang telah mendahului kami
semua. Termasuk generasi kami yang berusia produktif. Semuanya
meninggal dalam masalah dan pergumulan hidup. Kami ini juga adalah
generasi penerus yang lahir, besar, hidup, tinggal, dan berkembang
dalam persoalan. Kami sendiri sudah alami. Manis pahit kami sudah
alami. Baik buruk telah kami rasakan. Kekerasan dan kejahatan
kemanusiaan menjadi hal yang sangat biasa. Teror dan intimidasi yang
menghambat ruang ekpresi kami bukan menjadi sesuatu yang baru.
65 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Kami tidak terlalu kaget dengan situasi seperti ini. Dinamika
seperti ini bagi kami adalah lagu lama yang terus menerus berputar
dalam satu rantai kehidupan. Hanya saja kami harus akui kalau kami
sungguh sangat amat muak dengan realitas seperti ini. Sehebat apapun
kesabaran, kesetiaan dan ketabaan, semua manusia itu punya batas.
Kami pun demikian. Kami harus jujur, bahwa kami benar-benar tidak
mampu menghadapi situasi seperti itu. Kami berusaha sabar tetapi sulit
sekali. Berusaha setia tapi berat sekali. Berusaha taba tapi sangat tidak
bisa. Kami sungguh tidak berdaya dan terpaksa harus pasrah tanpa
alasan.
66 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Kami tahu bahwa itu merujuk pada keindahan alam dan
keunikan segala satwa yang ada di tanah Papua. Surga kecil itu
ataupun taman eden dan atau dunia setengah firdaus itu ada di tanah
Papua yang identik dengan kekayaan emas, tembaga, nikel, uranium
dan lain sebagainnya. Kami lahir besar diatas tanah yang kaya raya.
Tapi kami hidup dalam rantai kekal kemiskinan, pengangguran,
kemelaratan, penderitaan, sakit-sakitan, kematian, pembunuhan,
penculikan, tabrak lari, pemerkosaan, kekerasan dan kejahatan,
pelanggaran HAM, kerusakan lingkungan hidup dan lain sebagainya.
67 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Di lain sisi kami sengaja berusaha menutupi semuanya lantaran
kami harus menjaga kerahasiaan gereja, mewariskan sikap agar selalu
menghormati para imam dan selalu setia pada pimpinan klerus. Kami
berusaha menjaga sikap netralitas dan independensi gereja katolik
bersama umatnya. Kami tidak mau pimpinan gereja bersama umat
tidak main kelihatan dan berusaha menempuh jalur lain untuk
mencapai tujuan tertentu, termasuk dalam rangkah menciptakan
pedamaian sejati di tanah Papua dengan adanya ragam peristiwa pada
dewasa ini.
Tapi belakangan ini kami merasa lain. Semakin kami diam,
semakin kami sakit. Semakin kami bisu, semakin kami menderita.
Semakin kami malas tahu, semakin kami mati banyak. Semakin kami
tidak peka, semakin kami habis. Sampai tidak sadar kalau di samping
kiri kanan dan depan belakang penuh dengan masalah dan
pergumulan. Kami sangat merasa resah dan muak sekali. Kami ingin
sekali gembala jalan sama-sama dengan kami, tetapi kami tidak pernah
merasa gembala ada di sekitar kami untuk kami disini.
Kami paling sering melihat dan membaca berita tentang
keterlibatan para klerus, pimpinan gereja katolik yang membawah
nama gereja katolik secara tidak langsung dalam berbagai organisasi.
Misalkan, para Uskup yang aktif di dalam Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) dan Persekutuan Gereja-Gereja di Papua (PGGP).
Kami tahu pemimpin gereja kami sangat aktif ikut mengampanyekan
“Papua Tanah Damai/PAPEDA.” Tetapi tidak pernah ketemu kehadiran
mereka untuk menciptakan damai terlebih dahulu dari hati kami semua.
Kami selalu ikuti dari jauh dan berharap dari jauh, agar PAPEDA
tidak serta merta berorientasi pada keamanan, ketertiban, kenyamanan
dan kedamaian diatas permukaan tanah Papua semata. Kami tidak
menginginkan kampanye yang sekedar menguntungkan pada stabilitas
68 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
keamanan dan ketuhan negara. Tetapi kampanye perdamaian yang
harus dan wajib merujuk pada asas, maksud, tujuan nilai, dan
manfaatnya mengarah pada nilai kemanusiaan. Kami menginginkan
kampanye yang mengutamakan kemanusiaan ketimbang kekuasaan
serta lingkungkan yang sarat dengan kepentingan ekonomi
(eksploitasi).
Apapun itu upayanya pada satu sisi, atau menurut mereka baik
untuk menciptakan “PAPEDA” dengan harapan benar-benar meciptakan
tanah Papua yang benar-benar damai, bebas dari kejahatan dan
kekerasan yang berujung pada pelanggaran HAM. Namun, seiring
dengan waktu kami sangat menyadari, bahwa kampaye PAPEDA tak
selalu dan selamanya mengajak orang untuk menjaga keharmonisan
dan kedamaian. Tetapi di lain sisi, kami menyadari ada upaya
penyangkalan atas realitas hidup: penyakit kemanusia yang berupa
kekersan dan kejahatan yang selalu saja disebut-sebut berujung pada
proses pelanggaran HAM bersamaan dengan genocida.
Kami tahu pimpinan klerus kami setidaknya ikut mengartikan
PAPEDA dalam kebijakan pemerintah yang selalu menekankan melalui
aspek pembangunan, kemajuan dan kesejahteraan boleh nampak
secara fisik di tanah Papua pun sama. Kalau pemerintah fokus
mendorong kebijakan yang selalu mengarah pada pembangunan,
kemajuan dan kesejahteraan, para klerus kami fokus mendorong isu
PAPEDA. Kami tahu ini jalan atau pendekatan yang berbeda, tetapi
bermuarah apda satu semangat khusus. Lihat saja, dimana ada konflik
disitu ada pemerintah dan perwakilan gereja. Gereja menjadi pemadam
api kebakaran kemanusiaan di Papua, penghapus tinta kekerasan, dan
kejahatan dari pelaku pelanggaran HAM (amoral).
Upayanya bagus, hanya tidak ada hasil atau perubahan yang
signifikan. Tetapi kami merasa ini bukan solusi yang tepat untuk
69 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
menyelesaikan persoalan Papua, khususnya pelanggaran HAM berat.
Kami justru menyadari kalau pembanguanan yang cenderung di dorong
pemerintah pusat hanya menjadi bagian dari upaya-upaya yang
diperlukan sebagai simbol menuju PAPEDA. Tetapi sebetulnya bukan
menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM secara konpherhensif.
Kami merasa bahwa pembangunan fisik adalah solusi bagi pemerintah
pusat dalam mempertahankan kekuasaan dan menjalankan
„pendudukan‟ di Papua. Tapi bagi orang Papua bukan obat, apalagi
solusi.
70 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
terhadap pemerintah. Kami merasa pimpinan gereja kami tidak jelih
melihat tuntutan kami dan tidak berniat untuk meneruskan sikap yang
kami harapkan untuk diteruskannya.
71 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
9. SEKILAS JEJAK PIMPINAN EPISKOPAL DI TANAH PAPUA
Kami telah mendengar dari berbagai pihak, baik saudara/i kami
non Papua ataupun kami orang asli Papua. Juga dari para pastor, tokoh
umat dan peneliti dari akademisi yang dekat dengan para klerus di
Pasifik. Bahwa Konferensi Waligereja Pasifik (Conferentia Episcopalis
Pasifik/CEPAS) atau dalam bahasa Inggrisnya disebut The Federation
of Katholik Bishop Conference of Oceania (FCBCO) pada 2014 lalu
mengadakan pertemuan di Papua Niuw Guinea (PNG). Orang-orang
yang cukup terpercaya cerita kepada kami, bahwa Mgr. Leo Laba
Ladjar, OFM selaku pimpinan Konferensi Episkopal Papua pernah
diundang oleh para uskup di Port Moresby, agar beliau sampaikan
persoalan HAM di Papua dalam konferensi itu.
Disana, Bapa Uskup bicara kalau Papua Tanah Damai (PAPEDA).
Tidak ada pelanggaran HAM yang perlu diprihatikan. Sehingga dia
meminta para Uskup di Pasifik agar tidak angkat soal pelanggaran HAM
di Papua dan tidak mendukung United Liberation Movement for West
Papua (ULMWP), yang saat itu berusaha keras untuk daftar sebagai
anggota tetap di MSG dan memasukan agenda persoalan di Papua di
dalam PIF. Setelah itu, sebanyak 23 Uskup, termasuk Kardinal Jhon
Ribbat datang ke Jayapura dalam kunjungan balasan pada tahun itu.
Disini Bapa Uskup Leo meminta supaya pimpinan gereja katolik di
Pasifik tidak bicara soal pelanggaran HAM dan lain sebagainya.
Tentu kondisi ini semakin mengelisahkan dan menghawatirkan
kami dengan keterlibatan para pimpinan klerus kami pada belakangan
ini di berbagai organisasi yang yang menjembatani gereja katolik,
perusahaan dan pemerintah. Misalkan, pada Minggu, 12 Maret 2017,
Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM, Uskup Keuskupan Jayapura, selaku ketua
PGGP mengeluarkan seruan aksi di setiap gereja yang ada di
kota/kabupaten Jayapura. Tujuannya, mengajak umat untuk ikut
72 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
berpartisipasi dalam aksi demontrasi damai yang dikawal ketat aparat
keamanan dan militer Indonesia dengan tajuk “Selamatkan Pancasila,
UUD 1945 dan NKRI Harga Mati” di kantor DPR Papua, ibu kota provinsi
Papua, kota Jayapura.
Tajuk daripada aksi itu sangat jelas. Tetapi ada hal yang sangat
menarik adalah dalam pernyataannya terdapat nama Ahok (baca
pernyataan sikap nomor 6 terkait Ahok). Bahkan aksinya dilakukan
untuk membelah Ahok atas kesamaan agama, iman dan lainnya. Bisa
saja untuk membelah Ahok [yang bukan Tuhan dan agama], tapi
uniknya adalah temanya berbunyi lain. Di lain pihak, mantan gubernur
DKI Jakarta itu berada di Jakarta. Jaraknya cukup jauh. Dari Jayapura
ke Jakarta ± 3.776. Kalau menggunakan pesawat biasa menghabisakan
waktu ± 5-6 jam/hari. Apalagi Basuki Tjahaja Purnama bukan tinggal
dan tidak pernah berkarya di Papua.
Walaupun sesama Kristen, kami rasa dia tidak pernah melakukan
apa-apa untuk semua orang di Papua. Lalu, pertanyaannya: apa
hubungan membelah Ahok, agama, dan kepercayaan Ahok dengan
membelah Pancasila UUD 1945 dan NKRI Harga Mati”. Mungkin kita
lupa pesan Gus Dur: “Tuhan tidak perlu di belah. Atau memang kita
tidak tahu sama sekali kalau: agama dan imam atau kepercayaan tidak
terlalu penting untuk dibelah. Mungkin ini beda konteks untuk keutuhan
negara yang entalah perlu atau tidak perlu dibelah. Karena paling
penting bukan membelah sesuatu yang tidak kelihatan, melainkan
membelah sesuatu yang nyata di depan mata.
Ya, sebagai pimpinan gereja yang bernaung dibawah pemerintah
yang berkuasa wajar saja. Bahkan membelah agama atau iman Ahok
sesama Kristen wajar saja, akan tetapi membelah Ahok dalam kaitan
dengan dinamika politik praktis (Pilkada) DKI Jakarta serta penistaan
agama Islam, kemudian dikaitkan dengan membelah negara di tengah
73 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
duka kemanusiaan kami yang tinggal di Papua ini perlu mendapatkan
perhatian khusus. Bagi kami ini aksi demo yang sangat aneh dan tidak
masuk akal. Memang tidak ada yang salah apabila banyak orang
bertanya-tanya. Mengapa, karena aksi tersebut telah memukul hati
kami semua orang yang lama tinggal, berkarya dan hidup disini.
Kami semua lama mengharapkan gembala turun langsung dan
maju di depan umat seperti itu. Bukan hanya untuk membelah BJP atau
membelah keutuhan NKRI di Papua yang sangat politis. Akan tetapi
juga paling tidak menyuarakan pelanggaran HAM menggunakan
kapasitasnya selaku orang yang memegang kuasa suara kenabian.
Kalau tidak bisa bicara itu, cukup saja bicara soal kebenaran, keadilan
dan perdamaian. Maaf, bukan main kucing-kucingan di belakang layar.
Tetapi berani turun seperti para nabi pendahulu kala dan Yesus Kristus
sendiri. Tetapi kami tidak merasakan apa-apa selama ini. Tentu saja
kalau begini kami boleh saja merasakan diskriminasi rasial.
74 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Sebagai manusia kami harus jujur dan ragu sekali untuk percaya
terhadap KWI secar menta-menta. Satu hal karena kami dengar dan
tahu bahwa Ignasius Suharyo adalah seorang Ordinariat Militer
Indonesia. Dengan demikian, selaku ketua KWI kami yakin tidak akan
bicara tegas soal pelanggaran HAM di Papua walaupun iman
kekristenan, Ajaran Sosial Gereja (ASG) mengutamakan asas nilai
kemanusiaannya (humanity). Kami semakin disadarkan dengan sikap
KWI dalam merespon peristiwa penembakan dan pembakaran satu
keluarga awam di di Desa Lembotongoa, Kabupaten Sigi, Sulawesi
Tengah pada 27 November 2020 ketimbang dua katekis katolik di Intan
Jaya, Papua pada September dan Oktober 2020 lalu.
Kami melihat KWI cepat merespon peristiwa di Sigi dengan cepat
dan mengeluarkan pernyataan secara tertulis atas nama KWI. Tapi
peristiwa yang mirip, penembakan terhadap petugas pastoral di
pedalaman, Intan Jaya, Papua pada September dan Oktober tidak
merespon cepat dan tidak mengeluarkan pernyataan sikap secara resmi
atas nama KWI. Kami hanya baca di media dan semua orang, bahwa
pimpinan KWI, Mgr. Ignasius Suharyo bersama Mgr. Petrus Canisius
Mandagi, MSC (Uskup Keuskupan Agung Merauke), dan Mgr. Aloysius
Murwito, OFM (Uskup Keuskupan Agats) ketemu Mahfud MD, Menteri
Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keagamaan pada akhir 2020.
Meskipun sudah menyampaiakn dengan caranya sendiri
[bertemu diam-diam, khusus dan tertutup] dan tidak tertulis kepada
pemerintah, kita tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Palingan yang
tahu agenda pembicaraan hanya orang-orang yang ada dalam terlibat
dalam pertemuan terbatas itu. Kita juga belum bisa memastikan:
apakah KWI benar-benar sudah bicara dengan pemerintah atau tidak.
Kita hanya bisa membaca pernyataan ketua KWI yang merespon seruan
para pastor yang mengkritisi sikap diskriminasi KWI tadi di media sosial
75 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
yang diterbitkan Tempo yang memang terkemuka dan terpopuler.
Namun, kita tidak punya bukti fisik, aktual dan akurat, seperti rekaman
suara/video yang bisa membuat kita percaya.
Kami bisa saja tahu diatas kertas. Tapi karena kami tidak tahu isi
dan pembahasan sebenarnya di balik kertas itu. Hal ini membantu kami
untuk sulit dipercaya. Tidak ada kaitan sentimental tertentu. Satu sisi
karena memang kami memiliki pengalaman sejarah yang panjang dan
itu sangat buruk sekali. Kami tahu sejarah masa lalu dan bagaimana
KWI berperan penting. Oleh karena itu, kami tidak akan pernah mudah
percaya. Sebagai imam boleh kita hormati secara hirearkis, tetapi
sebagai sesama manusia yang tentunya memiliki kepentingan
terselubung diatas kepentingan kolektif, kami tidak akan pernah mudah
percaya. Mohon maaf, kita tahu sifat manusia. Sebaik-baiknya manusia
seperti apapun, pasti tidak selamanya benar dan suci.
Manusia itu kadang kurang ajar. Bisa saja menjadi serigala bagi
manusia lain (homo homini lupus). Bisa saja tipu. Saat ketemu satu
kelompok bicara baik-baik dalam perspektif kelompok itu supaya ambil
hati, perhatian dan lainnya. Ketika bicara dengan kelompok lain, bicara
lain sampai angkat masalah yang tidak-tidak. Oleh karenanya, untuk
sementara waktu, selama data dan fakta kurang jelas, selama bukti
rekaman digital kurang meyakinkan kami, sungguh kami tidak akan
pernah percaya pernyataan itu. Sampai kapanpun kami tidak akan
percaya KWI tanpa syarat dan ketentuan. Ketidakpercayaan kami ini
akan hilang jika kami mati atau punah. Selama hidup kami tidak akan
pernah percaya KWI walaupun bicara persoalan HAM kami di Papua.
76 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
11. KEKHAWATIRAN KAMI TERHADAP PARA USKUP DI PAPUA
77 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Namun, setelah terpilih sebagai Uskup Keuskupan Agung
Merauke kami kaget kalau yang mulia ikut dalam pertemuan dengan
Mahmud MD, menyangkal seruan pastoral dan sekaligus memperlemah
pernyataan para pastor di Papua, seperti yang kami baca pada Tempo
pada Desember 2020. Yang mulia mengatakan, seruan pastor itu tidak
mewakili para Uskup di Papua. Kami tak hanya heran mendengar itu.
Tapi juga kami langsung sedih. Semakin sedih lagi itu, ketika kami
membaca berita di pena katolik. Dalam media itu tertulis, bahwa Bapa
Uskup telah menekan MoU dengan Perusahaan Tunas Sawa Erma di
sekretarait Keuskupan Merauke, 5 Januari 2021.
78 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
berperan penting ini tentu ikut menghilangkan basis ketahanan pangan
lokal masyarakat yang mayoritasnya adalah katolik disana.
79 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
membicarakan status markas besar Komando Gabungan Wilayah
Pertahanan (Kogabwilhan), yang rencananya dibangun di kabupaten
Mimika. Tapi juga palingan ada agenda terselubung lain. Kami tidak
tahu pasti agenda sebenarnya. Namun kami dengar dari sumber-
sumber terpercaya seperti itu. Kalau benar, mengapa para pimpinan
klerus harus ikut membahas dalam pembangunan Kogabwilhan?
Kaitannya dan kepentingannya apa?
Keterlibatan seperti ini tidak ada masalah kalau kami tidak tahu
dan sulit sekali mendapatkan informasi bocoran. Tetapi kalau kami
tahu, tentu akan menambah beban besar. Kami tahu risiko ke depan.
Semua itu akan berhadapan dengan kami. Bukan sekedar membangun
pos pertahanan militer semata. Namun, ini membangun potensi sarang
pelanggaran HAM. Kalau pimpinan gereja ikut mendorong dan atau
menyetujui, berarti mereka secara tidak langsung ikut mendorong hal-
hal apapun, baik atau buruk yang diakibatkan oleh keberadaan
Kogabwilhan. Langkah-langkah para klerus ini membuat kami tidak
hanya gelisah, khawatir, kecewa, takut, bimbang, ragu dan lainnya.
Tetapi lebih-lebih membuat kami tidak percaya lagi sama mereka.
80 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
pimpinan gereja kami „terkesan‟ buta atau pura-pura buta; tuli atau
pura-pura tuli; bisu atau pura-pura bisu?
Kami sadar akan seruan pastoral mereka tidak terlepas dari
realitas yang kami hadapi. Kami tidak tahu apa yang membuat mereka
menyerukan kebenaran, keadilan dan perdamaian. Tetapi kami sangat
yakin bahwa seruan mereka berangkat dari masalah dan pergumulan
kami orang Papua. Mereka cukup lama berkarya di Papua, dan punya
pengalaman pastoral yang sangat handal. Dengan demikian kami
sangat percaya bahwa mereka jauh lebih tahu situasi umat ketimbang
atasan, entalah siapapun dia. Sebab mereka yang bersuara itu adalah
pastor-pastor yang lama makan garam, makan minum, bangun tidur
serta rasakan suka duka, baik buruk dan manis pahit bersama umat di
lapangan.
Suara mereka tidak lain. Suara mereka adalah suara umat. Suara
umat adalah suara Tuhan. Suara Tuhan adalah suara pastor. Sama
seperti suara Uskup adalah suara umat dan suara Tuhan. Kami
memastikan suara mereka adalah suara kami walaupun kami tahu itu
mereka tidak pernah membangun hubungan dan komunikasi dengan
kami, siapapun dan pihak manapun dalam rangkah mengeluarkan
seruan pastoral tersebut. Biarlah orang lain menyangkal suara pastoral
yang mengantikan suara kenabian. Tetapi kami mengakui bahwa kami
umat katolik Papua yang menopang tahta keuskupan di Papua
mengakui seruan pastoral berasal dari suka duka, kecemasan, doa,
pergumulan dan harapan umat katolik di Papua.
81 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Rufinus Tigau, seorang Katekis Muda, pada 26 Oktober 2020, (3).
Penembakan 2 (dua) Pelajar di Ilaga, Atanius Murib dan Manus Murip,
pada 20 November 2020. Ini kasus-kasus kemanusiaan yang baru dan
terpublis di media masa. Tentu masih banyak kasus-kasus lain yang
memiliki motif yang berbeda tetapi mengerucut pada pelanggaran HAM.
Semua orang, LSM dan lainnya sudah membentuk tim, mengungkap
fakta dan lainnya. Tetapi hingga saat ini mungkin dalam proses atau
memang diproyeksikan tidak akan dituntaskan.
82 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Pada saat yang sama, muncul lagi pihak milisi pro pemerintah.
Mereka mendukung pemerintah melakukan evaluasi dan melanjutkan
UU itu di Papua kembali. Pada 29 September 2020 lalu, Joko Widodo
mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 20 Tahun 2020 Tentang Tim
Koordinasi Terpadu Percepatan Pembangunan Kesejahteraan di Provinsi
Papua dan Papua Barat. Kebijakan ini membuat orang kaget karena
dikeluarkan dan diumumkan secara tiba-tiba. Presiden menunjukan
Maaruf Amin, wakil presiden sebagai ketua tim. Banyak pihak menilai
bahwa kebijakan ini hanya untuk mengisi ruang kosong. Karena UU
Otsus Papua dibahas di DPR RI, pemerintah sengaja dorong untuk
memback-up ruang kosong pemerintah pusat di Papua.
83 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
korban nyawa atas nama kebijakan politik etis yang tidak bernyawa itu.
Kami mau supaya pemerintah jangan paksakan kebijakan itu.
84 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
harus mulai. Bukan tunggu momen, tunggu panggilan “pemadam
kebakaran”.
85 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
14. Kami Pikir Pimpinan Klerus Kami Pembawah Harapan
Kami berharap kepada para pimpinan klerus kami di tanah Papua
maupun Idonesia (KWI) dapat menjadi pembawah harapan, tetapi kami
kurang merasakannya. Justru apa yang kami rasakan adalah mereka
berpikir, bertindak dan melakukan segala sesuatu di luar kehendak,
pergumulan dan harapan kami. Juga dalam konteks tertentu bertindak
di luar hukum gereja dan ASG. Kami rasakan ini bukan sekali, apalagi
bukan baru. Kami merasakan semua hal yang kami rasa tidak perlu dan
tidak benar selama bertahun-tahun. Beberapa jejak langkah para klerus
kami diatas, termasuk MoU yang melibatkan P. C. Mandagi dengan
Perusahaan (PT. Korido) di Merauke membuat kami harus semakin
meyakini bahwa kami tidak punya dan tidak bisa berharap lagi kepada
klerus kami.
Kami harap, supaya bapa Uskup bertanya terlebih dahulu kepada
pemilik tanah adat, juga umat katolik untuk bersedia melakukan MoU
atau tidak, walaupun itu atas nama kebaikan dengan dalil bantuan
sosial, tanggung jawab moral dan lain sebagainnya. Kami merasa perlu
untuk bertanya lebih dulu: apakah sudah melepaskan hak tanah adat
atau tidak, sehingga perusahaan yang menghilangkan hak-hak hidup
masyarakat adat: menghilangkan hak dasar, mata pencaharian hidup
dan yang ikut melahirkan ancaman dan bencana pada nasib dan masa
depan. Tetapi kami tidak melihat upaya atau pendekatan seperti itu.
Kami yakin, Uskup Mandagi yang baru ditunjuk tidak tahu situasi
pastoral secara baik, walaupun nantinya banyak mendapatkan informasi
dari pihak-pihak tertentu. Sebab, dia baru ditunjuk dan baru datang di
Keuskupan Agung Merauke. Masa jabatannya tidak sampai memakan
satu tahun. Tapi kami sangat heran, kok bisa ya? Masa baru saja
ditunjuk sebagai pimpinan klerus dan baru saja datang langsung
menekan MoU dengan perusahaan itu. Kami sangat kecewa dan
86 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
meyakini ini langkah yang sangat tidak bijaksana. Tentu saja
memberikan harapan palsu kepada kami umat katolik di Papua,
khsusnya Keuskupan Agung Merauke.
Kasus MoU ini contoh kecil yang sangat baru dari sejumlah
tumpukan kasus yang melibatkan para pimpinan klerus kami di segala
sektor bidang karya pastoral. Kami tahu dan sadar akan segala
masalahnya. Kami bicara ini karena kami sendiri yang lihat, dengar,
alami dan rasakan sendiri. Dengan pengalaman seperti ini, kami harus
jujur mengatakan bahwa kami tidak bisa berharap kepada pimpinan
kelrus kami di tanah Papua. Kami sadar bahwasannya mereka bukan
pembawah harapan yang baik dan benar. Tetapi pada konteks tertentu
ikut melahirkan masalah, malapetakan, penderitaan dan lain
sebagainnya.
87 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Kami bersyukur atas bantuan kemanusiaan seperti itu. Karena
pada satu sisi bisa membantu kami dalam kelemahan, kesusahan dan
keterbatasan. Tapi kami sadar bahwa pendekatan seperti itu tidak
selamanya efektif. Kami punya sejarah panjang. Kami tahu itu. Banyak
orang yang mendapatkan bantuan seperti itu, bahkan membalas jasa
kebaikan seperti itu dan lebih dari pada itu tumbang, gugur dan
tertelan dalam waktu. Material tidak terlalu penting dari nafas, nyawa
dan nilai kemanusiaan kami. Bagi kami yang paling berharga adalah
peyambung lida yang konkrit, dan berani mengambil resiko dalam
nama Tuhan dan kemanusiaan.
Sekali lagi kami tidak butuh bantuan dalam bentuk material
maupum pembangunan fisik, yang tidak setara dengan nilai
kemanusiaan. Kami juga tidak butuh uang yang bernilai namun
sebentara saja kita pegang lalu hilang di kios-kios itu. Apalagi suara
gembala seperti teriakan tikus kelaparan dalam parit-parit bulevar.
Kami butuh gembala seperti Yesus Kristus. Bukan “kaleng-kaleng dan
apalagi pengecut”. Kami tuntut itu suara kenabian. Suara kenabian
yang bukan lagi mengatasnamakan atau melalui perwakilan orang
katolik, umat katoliki dan LSM berbasis katolik. Namun, suara kenabian
yang keluar langsung dari mulut, kertas dan tindakan kongkrit dari para
Uskup dan pimpinan gereja katolik di Indonesia.
Kami hanya minta suara kenabian seperti yang disampaikan oleh
Yesus Kristus tanpa pengantara dalam bentuk apapun. Kami tidak
butuh suara kenabian yang main semunyi-sembunyi di belakang layar
dengan cara tertentu. Konteks masalah kami jauh beda dengan konteks
masalah lain di belahan bumi lainnya. Sehingga pendekatan pun tidak
bisa serta merta disamaratakan dengan dalih “gereja katolik punya cara
tersendiri”. Kami sangat bosan mendengar istilah semacam itu selama
bertahun-tahun. Kami tidak butuh slogan indah. Kami hanya butuh
88 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
sosok gembala yang berani seperti Yesus. Kami selalu rindu wujud
nyata dari cerita dalam Alkitab tentang “gembala yang mengembalakan
domba-dombanya.”
Kami butuh gembala yang mau mencari domba-dombanya yang
tersesat, kehilangan induk, jalan pulang, keselamatan dan lain
sebagainya. Kami butuh gembala yang turun langsung ke lapangan dan
berkeliling karena peduli pada mereka yang sakit, teraniaya, dikucilkan,
dihina, dicemooh, dikhianati, diusur, tertindas dan lain sebagainya.
Kami ingin dan butuh gembala yang benar-benar mau tahu
keberadaan, dinamika hidup, nasib dan masa depan kami. Kami mau
gembala yang berani mau bersahabat dengan domba-dombanya yang
berbau busuk, kotor, hitam keriting, dan tidak peduli apa kata orang.
Kami butuh gembala yang berani ambil resiko dan mau melihat kondisi
kami, mau mendengar suara hati nurani kami, mengalami penderitaan
kami dan merasakan apa yang kami rasakan.
Tapi dewasa ini kami belum melihat sosok gembala seperti itu
atau Yesus Kristus. Kami selalu berdoa kepada Tuhan, agar suatu saat
mengutus orang yang tepat, gembala-gembala yang berani menjadikan
suka duka, kecemasan, harapan dan kegembiraan umat tuhan di tanah
papua haruslah menjadi suka duka, kecemasan, harapan dan
kegembiraan para uskup, gereja katolik di tanah Papua, Indonesia dan
dunia. Kami masih bergumul agar pada suatu hari ada gembala yang
bisa mengobati luka, menghentikan darah, menghapus air mata,
menjawab doa dan pergumulan, serta mengabulkan harapan-harapan
kami dalam kehidupan sehari-hari.
Kami ingin sekali gereja katolik [tidak hanya 147 pastor di
Papua], terutama para Uskup di Papua menjadikan suka duka,
kecemasan, harapan dan kegembiraan umat tuhan di tanah papua
haruslah menjadikan suka duka, kecemasan, harapan dan kegembiraan
89 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
para Uskup di tanah Papua”. Kami merindukan suara kenabian. Tapi
kami belum pernah menemukan dan merasakannya. Kami
mengharapkan suara kami menjadi suara para uskup. Tapi kami belum
pernah melihat, mendengar dan merasakan kalau suara kami dijadikan
suara para Uskup di tanah Papua. Kami masih punya pergumulan dan
harapan yang tidak pernah terwujud. Kami harap agar suara kenabian
paling tidak bisa medorong untuk menciptakan Papua bukan zona
pelanggaran HAM (damai).
Berdasarkan pengalaman panjang dan perjalanan hidup ini kami
ingin sampaikan beberapa hal sebagai bentuk pernyataan sikap kami,
selaku Kaum Awam Katolik Papua, antara lain sebagai berikut:
90 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
“SAMPAI KAPANPUN, SELAMA MEREKA MENYIMPAN
SUARA KENABIAN, DAN KAMI MERASA MEREKA „PURA-PURA
TIDAK TAHU ATAS MASALAH DAN PERGUMULAN KAMI SEMUA
YANG ADA DI PAPUA, SERTA MENURUT KAMI SANGAT
DISKRIMINATIF, KAMI TIDAK AKAN PERNAH PERCAYA
MEREKA‟. SAMPAI KAPANPUN, BAHKAN DUNIA KIAMATPUN
JUGA KAMI TIDAK AKAN PERNAH PERCAYA KEPADA PARA
USKUP PAPUA SAAT INI DAN KWI UNTUK SELAMANYA.”
Bicara keluar dari KWI ini sangat sensitif. Kami tahu dan sangat
sadar, bahwa ada yang akan katakan itu berkaitan dengan persoalan
politik. Tetapi perlu kami tegaskan, bahwa kehendak mulia kami tidak
berkaitan dengan politik. Kami tahu masalahnya. Tapi kami tidak mau
menghubung-hubungkan persoalan gereja dan dengan persoalan politik.
91 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Seruan kami lebih menekankan pada aspek kemanusiaan dan dan
persoalan gereja katolik yang kami sendiri alami dan rasakan. Silahkan
saja bicara sesuai dengan hak-hak pererogatif.
Tetapi kami merasa perlu ingatkan agar tidak salah paham dan
tidak salah mengiring seruan kami ini ke ranah lain. Seruan kami murni,
tidak ada unsur paksaan dan tidak ada intervensi dari pihak manapun. Ini
murni suara hati nurani umat katolik Papua demi perubahan masa depan
gereja. Yang telah dan akan mengalami segala sesuatu, dampak baik
maupun buruk itu kami sendiri. Kami sendiri yang telah mengalami banyak
hal, termasuk dari kebijakan, keprihatinan, kepedulian dan keprihatinan
KWI selama ini. Kami pula yang kelak akan mengalami segala sesuatu
yang sama ataupun beda, makanya dengan sadar kami meminta keluar
dari KWI.
Perlu dipahami, bahwa kami menuntut keluar dari KWI bukan
berarti kami keluar dari gereja katolik. Gereja katolik itu sudah menjadi
darah daging kami. Gereja katolik adalah tubuh kami. Kami tidak akan
pernah menyangkal gereja katolik yang universal, kudus dan apostolik.
Kami hanya ingin agar keuskupan kami, yakni Keuskupan Agung Merauke,
Keuskupan Jayapura, Manokwari-Sorong, Agats dan Timika keluar dari
KWI, karena kami rasa KWI sangat diskriminatif. Kami minta supaya
pimpinan klerus kami yang bergabung di dalam KWI mengatasnamakan
kami umat katolik Papua keluar dari KWI.
Kemudian gabung dengan Konference Waligereja Pasifik (KWP)
berdasarkan kedekatan geografis, kesamaan budaya dan juga karena
memiliki satu pusat hirearki dengan Tahta Suci Vatikan. Kami tahu KWI
juga berpusat pada Tahta Suci Vatikan, Roma. Tapi kami tidak mau
keuskupan kami berada dibawah naungan KWI. Kami tidak mau dan
merasa tidak cocok kami punya hirearki gereja katolik disini ada di dalam
KWI. Kami merasa nyaman kalau keuskupan kami beserta para pimpinan
92 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
klerus kami di tanah Papua berada dibawah garis komando Konference
Waligereja Pasifik ketimbang dengan KWI.
Kalau memungkinkan, berarti Tahta Suci Vatikan bersama para
Uskup di Papua dan KWI memikirkan untuk merubah status Konference
Episkopal Papua dinaikan atau dirubah menjadi Konference Waligereja
Papua (KWP) yang setara dengan KWI atau KWP. Ini kami umat katolik
Papua yang mengakari tahta para Uskup di Papua. Para Uskup di Papua
gabung dengan KWI itu karena keberadaan kami dan atas nama kami.
Sekarang kami umat sendiri dengan sadar meminta keluar dari KWI.
Keluar KWI bukan juga merubah iman kekatolikan kami. Kami hanya ingin
berdiri sendiri tapi tetap berpusat pada Tahta Suci Vatikan, Roma, sama
seperti KWI dan KWP berpusat disana.
Soal kesiapan sumber daya manusia, dalam hal ini imam Papua,
yang artinya mereka yang memenuhi syarat untuk menjadi uskup seperti
yang kami harapkan diatas tidak terlalu susah. Disini ada banyak imam
93 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
yang lama berkarya di tanah Papua. Karya pastoral mereka, inteletualitas
mereka maupun pengalaman pastoral mereka tidak perlu diragukan lagi.
Kami tidak menyebutkan nama mereka disini, tetapi besar harapan kami
agar para Uskup yang saat ini aktif dan yang memiliki hak 50% untuk
mengusulkan calon-calon Uskup baru serta Bapa Suci di Tahta Suci
Vatikan, mohon supaya dapat mempertimbangkan secara bijaksana. Tapi
juga kami harap supaya harapan kami pun ikut mempertimbangkannya.
Kami tolak Uskup dari luar Papua atau mereka yang dittiip untuk
amankan kepentingan kekuasaan pihak tertentu. Barangkali ini suara hati
nurani kami yang akan berhadapan langsung dengan nama mereka disini.
Kami sampaikan karena ke depannya kami yang akan lihat, dengar, alami
dan rasakan segala sesuatu. Kami tidak mau Uskup baru yang tidak tahu
masalah geografis, antropologis dan dinamika hidup [yang berkaitan
dengan pelanggaran HAM serta kepentingan ekonomi) di tanah Papua.
Kami tidak mau bapa suci asal menunjuk orang.
94 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Papua, baik pendatang maupun non Papua. Atau seorang
pastor yang tidak pilih kasih, tebang pilih, tidak diskriminatif
dan lain sebagainya. Tapi pastor yang bisa membuat semua
orang, terutama orang Papua yang belakangan ini malas
sembahyang di gereja, dengan kehadirannya bisa membuat
mereka kembali aktif di gereja masing-masing seperti pada
sedia kala.
4. Pastor yang memiliki keprihatinan dan kepedulian tehadap
nilai kemanusiaan dan lingkungan hidup [bukan sosok yang
kompromi dengan perusahaan-perusahan besar yang secara
tidak langsung ikut membunuh manusia dan merusak
keutuhan alam semesta ciptaan Tuhan di Papua secara
diam-diam, halus: sistematis, terstruktur dan berkelanjutan).
5. Pastor atau Uskup baru yang berani menjadikan Suka Duka,
Kecemasan, Harapan dan Kegembiraan Umat Tuhan di
Tanah Papua Haruslah Menjadi Suka Duka, Kecemasan,
Harapan dan Kegembiraan Para Uskup di Tanah Papua.
6. Pastor atau Uskup baru yang secara tidak langsung tidak ikut
mendorong proses marginalisasi status tanah Papua sebagai
tanah Kristen. Tetapi ikut memperjuangkan dan berusahan
mempertahankan sebagi salah satu basis gereja katolik di
tanah Papua yang universal, kudus dan apostolik di dunia.
95 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Kami sangat merasa kesal dan sedih atas MoU yang melibatkan Mgr.
Petrus C. Mandangi, MSC, Uskup Keuskupan Agung Merauke dengan pihak
perusahaan dari PT. Tunas Sawa Erma pada 5 Januari 2021 di kantor
sekretariat Keuskupan Agung Merauke. Ingatan kami masih segar. Banyak
sekli masyarakat adat, terutama anak muda yang usianya produktif
kehilangan nafas dan keluarganya kehilangan orang-orang terkasih gara-
gara perusahaan, termasuk PT. Tunas Sawa Erma. Bulan Mei 2020, Marius
Betera dianiaya oleh aparat keamanan di kantor perkebunan kelapa sawit
PT. Tunas Sawa Erma, di Blok A CAMP. 19, Distrik Jair, Kabupaten Boven
Digul, Provinsi Papua.
Mulanya kami sambut yang mulia dengan suka cita. Kami merasa
terharu ketika atau pada saat menjadi Administrator Apostolik di
Keuskupan Agung Merauke menentang diskriminasi rasial hingga harus
turun ke jalan untuk ikut aksi. Kami juga merasa tersentuh dengan respon
pihak keuskupan, terutama bapa Uskup terkait kasus kematian Betera
diatas melalui media masa, hingga mengecam tindak kekerasan dan
kejahatan yang menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan. Tetapi ternyata itu
hanya untuk mengambil hati, dan simpati kami. Kami sangat kecewa
karena Bapa Uskup menekan MoU dengan perusahaan yang menelan
nyawa orang dan yang pernah meminta pertanggungjawabannya .
96 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
UU Omnibus Law, dalam polemik UU Otsus Papua dan Inpres Nomor 9
Tahun 2020 dan Kepres Nomor 20 Tahun 2020 pada akhir 2020 lalu.
.......................................................................
...........................................................................
MELVIN WAINE
Koordinator
Kontak Person: 0812 1364 1360
97 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a
Tembusan Kepada Yth :
1. Sri Paus di Tahta Suci Vatikan, Roma.
2. Nuncius, Duta Besar Vatikan Untuk Indonesia
3. Para Uskup di tanah Papua
4. Ketua KWI di Jakarta
5. Para Uskup di tanah Papua
6. Tokoh – tokoh umat katolik
7. Pihak – pihak yang berkepentingan
8. Arsip
98 | s a t u ı s u a r a K a u m A w a m K a t o l i k P a p u a