LANDASAN TEORI
Pada bab II ini berisi mengenai teori dan konsep gaya kepemimpinan,
sistem pengendalian manajemen, dan implikasi usia dalam kepemimpinan yang
merupakan teori pendukung dari penelitian ini.
1
eksternal adalah peluang ancaman eksternal yang sudah ada maupun akan muncul.
Semakin tinggi posisi manajerial seseorang, komposisi pengetahuan bisnis yang
dibutuhkan akan semakin bergeser ke pengetahuan lingkuangan eksternal.
Memimpin sama halnya dengan mengendalikan. Namun kualitas kepemimpinan
tertinggi adalah saat yang dipimpin tidak menyadari bahwa mereka sedang
dikendalikan. Dalam hal ini , nilai-nilai, sikap, perilaku dan kebiasaan organisasi
yang baik sudah menjadi bagian integral dalam diri setiap bawahan sehingga
mereka sanggup menjalankan tugas dan kewajiban tanpa harus diperintah lagi.
Warren Bennis dalam bukunya “Leader, The Strategies for Taking Change”
(2003), menyatakan kepemimpinan perlu untuk menolong organisasi,
mengembangkan pendangan baru, bagaimana supaya mereka dapat maju,
kemudian memobilisasi perubahan organisasi menuju pandangan baru.
Berdasarkan definisi-definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi.
Pertama, kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para
karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki
kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa
adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga. Kedua,
seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his
or her power) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang
memuaskan. Menurut French dan Raven (1968), kekuasaan yang dimiliki oleh
para pemimpin dapat bersumber dari:
2
Referent power, yang didasarkan atas identifikasi (pengenalan) bawahan
terhadap sosok pemimpin. Para pemimpin dapat menggunakan
pengaruhnya karena karakteristik pribadinya, reputasinya atau karismanya.
a) Kepemimpinan Transaksional
Kepemimpinan Transaksional mendasari kebanyakan model
kepemimpinan, yang berfokus pada pertukaran antara pemimpin dan
bawahan. Kepemimpinan tipe ini adalah proses motivasi berbasis
ekstrinsik dimana para pemimpin mencapai tujuan mereka, sementara
bawahan menerima imbalan eksternal untuk kinerja pekerjaan.
Karakteristik kepemimpinan transaksional ditunjukkan dengan perilaku
atasan sebagai berikut (Bass dalam Robbins dan Judge,2008) :
Imbalan kontijen (contingent reward).
3
Pemimpin melakukan kesepakatan tentang hal-hal apa saja yang
dilakukan oleh bawahan dan menjanjikan imblan apa yang akan
diperoleh bila hal tersebut dicapai. Besar kecilnya reward akan
tergantung pada contingent sejauh mana bawahan mencapai tujuan
sasaran tersebut.
Manajemen dengan pengecualian atau eksepsi aktif (management
by exception active)
Pemimpin menetapkan tujuan dan sasaran yang hendak dicapai
berikut standar kerja yang harus dipatuhi. Jika terjadi
penyimpangan, pemimpin tidak segera menjatuhkan sanksi kepada
bawahan. Pemimpin dengan sifat seperti ini akan cenderung
mengawasi bawahan dengan ketat dan segera melakukan tindakan
korektif apabila muncul penyimpangan, kekeliruan atau kesalahan.
Manajemen dengan pengecualian atau eksepsi pasif (management
by exception passive)
Pemimpin menghindari tindakan korektif atau keributan dengan
bawahan selama tujuan dan sasaran yang disepakati bersama
tercapai.
b) Kepemimpinan Karismatik
Karisma berasal dari bahasa Yunani yang berarti “anugrah”.
Kekuatan yang tidak bisa dijelaskan secara logika disebut kekuatan
karismatik. Karisma dianggap sebagai kombinasi dari pesona dan daya
tarik pribadi yang berkontribusi terhadap kemampuan luar biasa untuk
membuat orang lain mendukung visi dan juga mempromosikannya dengan
bersemangat (Truskie, 2002). Kepemimpinan Karismatik dapat
digambarkan sebagai api yang membakar energi dan komitmen bawahan,
hal tersebut lebih mungkin terjadi di lingkungan yang kaku dimana
bawahan mengandalkan pemimpin untuk meneyelesaikan masalah.
Umumnya, kepemimpinan karismatik dapat terjadi karena pemimpin
mencipatakan keselarasan antara bawahan, nilai bawahan, nilai organisasi,
dan budaya.
4
Pemimpin karismatik dikelompokkan menjadi dua tipe yaitu
karismatik visioner dan karismatik di masa krisis (Ivancevich, 2007:211).
Pemimpin karismatik visioner mengekpresikan visi bersama mengenai
masa depan. Melalui kemampuan komunikasi, pemimpin karismatik
visioner mengaitkan kebutuhan dan target dari pengikutnya dengan targaet
atau tugas dari organisasi. Mengaitkan para pengikut dengan target dari
pengikut dengan visi, misi, dan tujuan organisasi akan lebih mudah jika
mereka merasa tidak puas atau tidak tertantang dengan keadaan pada saat
ini. Pemimpin karismatik visioner memiliki kemampuan untuk melihat
sebuah gambar besar dan peluang yang ada para gambar besar tersebut
(Barbara Mackoff dan Wenet, 2001).
c) Kepemimpinan Transformasional
Kepemimpinan Transformasional pada dasarnya adalah proses
motivasi dimana pemimpin melibatkan bawahan untuk menciptakan
koneksi yang dapat meningkatkan kemampuan dan aspirasi moral.
Pemimpin transformasional memperhatikan kebutuhan dan motivasi
bawahan dan membantu menginspirasi mereka untuk berkembang menjadi
pemimpin. Gaya kepemimpinan tipe ini menghasilkan kepercayaan dan
kepuasan bekerja dan untuk seorang pemimpin transformasional dapat
menjadi pengalaman yang indah dan menyenangkan. Burns (1978)
menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada
hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para
bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang
mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu
mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi
organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas
pemimpinnya. Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the dynamic of
transformational leadership involve strong personal identification with the
leader, joining in a shared vision of the future, or going beyond the self-
interest exchange of rewards for compliance". Menurut Yammarino dan
Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para
5
bawahannya melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka
sendiri demi kepentingan organisasi yang lebih besar. Yammarino dan
Bass (1990) juga menyatakan bahwa pemimpin transformasional
mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik, menstimulasi
bawahan dengan cara intelektual dan menaruh perhatian pada perbedaan
yang dimiliki oleh bawahannya.
Menurut Tichy and Devanna (1990), keberadaan para pemimpin
transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat
organisasi maupun pada tingkat individu. Dalam buku mereka yang
berjudul "Improving Organizational Effectiveness through
Transformational Leadership", Bass dan Avolio (1994) mengemukakan
bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi yang
disebutnya sebagai "the Four I's". Dimensi yang pertama disebutnya
sebagai idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini
digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya
mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya. Dimensi yang
kedua disebut sebagai inspirational motivation (motivasi inspirasi).
Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai
pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas
terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap
seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam
organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme. Dimensi yang
ketiga disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi intelektual).
Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru,
memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan
yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk
mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-
tugas organisasi. Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized
consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin
transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau
mendengarkan dengan penuh perhatian masukan bawahan dan secara
6
khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan
pengembangan karir.
Penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif
baru, beberapa hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi
yang dipaparkan oleh Bass dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi
manajemen yang sepakat bahwa model kepemimpinan transformasional
merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik dalam menguraikan
karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky 1996). Konsep
kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ideide yang
dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style)
dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional
menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang
dikembangkan oleh para ahli.
d) Kepemimpinan Demokratis
Pemimpin yang menggunakan gaya ini memberikan arahan tetapi
memungkinkan tim untuk membuat keputusan sendiri. Secara khusus,
pemimpin mendorong anggota untuk menentukan tujuan dan prosedur,
dan merangsang anggota ini menentukan arah dan aktualisasi diri. Selain
itu, pemimpin yang demokratis menawarkan saran dan memperkuat
gagasan anggota. Gaya demokratis mendukung metode kerja tim dan
selalu melatih dan mengarahkan staf untuk mencapai tujuan organisasi.
Gaya kepemimpinan ini banyak dinilai merupakan gaya
kepmimpinan yang paling ampuh untuk membawa kesuksesan perusahaan.
Gaya kepemimpinan ini dinilai dapat memberikan motivasi tersendiri bagi
karyawan. Menurut Harold Kontz (1986:150), seorang pemimpin dalam
kepemimpinan gaya demokratis ini tidak banyak menggunakan
kekuasaannya, melainkan memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya
kepada bawahan untuk mandiri dalam melaksanakan pekerjaan mereka.
Pemimpin seperti ini akan bergantung pada bawahan mereka untuk
menetapkan sendiri tujuan dan cara bawahan dalam hal pencapaian tujuan
perusahaan, dan tugas pemimpin adalah menjalin komunikasi baik dengan
7
bawahannya untuk memberikan i8nformasi yang dibutuhkan seorang
karyawan dalam penyelesaian pekerjaannya di dalam perusahaan untuk
pencapaian tujuan dari perusahaan.
e) Kepemimpinan Laissez-Faire
Gaya kepemimpinan ini memungkinkan kelompok untuk
mengembangkan keputusan sendiri, sebagai pemimpin tidak memiliki
kewenangan yang nyata. Secara khusus, pemimpin hanya menjawab
pertanyaan, memberikan informasi, atau memberikan penguatan kepada
kelompok. Bawahan dari pemimpin Laissez-Faire harus mencari sumber
lain untuk mendukung mereka dalam membuat keputusan akhir. Menurut
Reksohadiprojo (1978) ciri-ciri gaya kepmimpinan laissez-faire:
Kebebasan penuh bagi keputusan kelompok atau individu
dengan partisipasi minimal dari pemimpin.
Bahan-bahan yang bermacam-macam disediakan oleh
pemimpin yang membuat orang yang selalu siap bila dia
akan memberi informasi pada saat ditanya.
Sama sekali tidak ada partisipasi dari pemimpin dalam
penentuan tugas.
Kadang-kadang memberi komentar spontan terhadap
kegiatan anggota atau pertanyaan dan tidak bermaksud
menilai atau mengatur suatu kejadian.
Dalam tipe laissez-faire sebenarnya pemimpin tidak memimpin,
justru membiarkan orang-orang berbuat sekehendaknya. Pemimpin yang
termasuk tipe ini sama sekali tidak memberikan kontrol dan koreksi
terhdap pekerjaan bawahannya (Riley, 2006)
f) Kepemimpinan Otoriter
Gaya kepemimpinan ini adalah kebalikan dari kepemimpinan
Laissez-Faire dan kepemimpinan demokrasi. Pemimpin otoriter yang
sering disebut pemimpin otokratis. Mereka memberikan harapan yang
jelas untuk apa yang perlu dilakukan, ketika itu harus dilakukan, dan
bagaimana hal itu harus dilakukan. Terbagi secara jelas antara pemimpin
8
dan bawahan. Kepemimpinan otoriter menetapkan agenda dan
menentukan kebijakan tim, memberikan tugas kepada tim, dan membuat
keputusan untuk tim tanpa konsultasi dengan bawahan, dan menerima
sedikit saran dari tim. Jarang adanya komunikasi anggota tim antara satu
dengan yang lain, tetapi mereka secara langsung berkomunikasi dengan
pemimpin.
Gaya kepemimpinan otoriter sering efektif diterapkan pada
organisasi kemiliteran dan industri beresiko tinggi bila ketetapan dilanggar
(Hersey, 1982). Gaya kepemimpinan ini bermanfaat diaplikasikan pada
kondisi darurat dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama sampai tujuan
jangka pendek rancangan kerja penyelamatan organisasi dapat dicapai.
Setelah segala sesuatunya terlepas dari keadaan kritis, gaya kepemimpinan
otoriter tidak disenangi oleh siapapun karena ada suasana keterpaksaan
yang harus diturut. Rasa kemanusiaan karyawan akan terganggu karena
mereka diperlakukan hanya sebagai mesin pelaksana. Akibat dari
keengganan para karyawan akan membawa dampak perlawanan sehingga
disiplin yang diterapkan merangsang timbulnya perpecahan dan hilangnya
motivasi karyawan untuk berprestasi berdasarkan nilai-nilai inovasi yang
sebenarnya banyak dimiliki. Kondisi ini tidak menguntungkan perusahaan
yang ditandai oleh melunturnya disiplin disemua lapisan kerja.
9
yang efektif dapat mengawasi kelembagaan organisasinya secara sangat
terstruktur, dan mempunyai hubungan yang baik, saling percaya, saling
menghargai, dan senantiasa hangat dengan bawahannya. Karakteristik
pemimpin yang efektif antara lain pemimpin harus peka terhadap
lingkungannya, berkomitmen dan dapat menjadi teladan yang baik bagi
bawahannya. Lepas dari perhitungan hitungan untung dan rugi jangka
pendek dan tangible, yang pasti pemimpin perusahaan besar sadar bahwa
investasi hebat bagi masa depan bisnis asalah pada aspek manusia dan
memenangkan hati bawahan adalah esensi dari semua jenis pengendalian.
Redaksi Fortune online menyimpulkan “The most successful businesses
know that developing talent is their top priority” (Efferin dan Soeherman
(2010). Jadi, pemimpin yang efektif tidak hanya yang bisa melaksanakan
tugas dan memerintah bawahannya tetapi juga mempunyai rasa kepedulian
terhadap bawahan.
Setiap badan usaha baik badan usaha besar ataupun kecil pasti
membutuhkan pemimpin yang tetap agar mampu bersaing dan mencapai
tujuan dari badan usaha tersebut. Woods (2004) berpendapat bahwa
kepemimpinan yang baik tidak mengesampingkan hirarki dan
kepemimpinan yang kuat serta harus melibatkan kontrol yang kuat pula.
Fiedler (dalam Robbins, 2006) mengidentifikasi tiga dimensi
kemungkinan yang dapat mendefinisikan faktor situasional utama (kunci)
yang menentukan keefektivan kepemimpinan. Ketiga dimensi tersebut
adalah:
1. Hubungan pemimpin-bawahan
2. Struktur tugas
10
Pada struktur tugas terdapat prosedur pengoperasian yang standar
untuk menyelesaikan tugas dan indikator obyektif tentang seberapa
baik tugas itu dikerjakan. Struktur tugas yang tinggi akan
memberikan kontribusi pada situasi yang menguntungkan
pemimpin karena pemimpin akan lebih mudah memonitor dan
mempengaruhi perilaku bawahannya pada tugas yang terstruktur
tinggi. Sedangkan tugas yang tidak terstruktur akan memberikan
kontribusi yang tidak menguntungkan pemimpin, sehingga
kemampuan pemimpin untuk mengontrol bawahannya rendah.
13
Pengendalian hasil (result control)
Generasi Y
Kelompok ini lahir antara tahun 1977 dan 1994, usia antara 22
sampai 39 tahun 2016. Banyak orang dari generasi ini tumbuh
dalam dua pendapatan rumah tangga, kedua orangtua mereka
bekerja, dan dengan perceraian yang menjadi norma di banyak
rumah. Generasi Y juga telah tumbuh dengan komputer, email, dan
komunikasi mobile. Mereka menggunakan internet sebagai sumber
utama informasi dan sosial terhubung melalui internet. Mereka
juga telah dibesarkan di era kemakmuran ekonomi yang telah
memungkinkan mereka untuk memiliki pendapatan tambahan yang
signifikan dan memiliki banyak kesempatan untuk
menghabiskannya (Bakewell dan Mitchell, 2003). Generasi Y
16
dicirikan oleh rasa kemandirian dan otonomi yang kuat. Mereka
adalah generasi inovatif dan suka mengekspresikan diri mereka
secara emosional dan intelektual (Quester et al. 2007).
Generasi X
Generasi ini lahir antara tahun 1965 dan 1976, usia antara 40
sampai 51 tahun 2016. Generasi ini dibesarkan dalam keluarga
dengan kedua orangtua bekerja. "Ini adalah generasi pertama akan
dibangkitkan dalam karir terutama dua rumah tangga (Quester,
2007 dan Bennet, 2006). Ciri-ciri utama generasi X adalah skeptis
terhadap otoritas dan kemerdekaan, mereka adalah individu yang
tidak berbicara dari pengalaman, pengetahuan dasar tetapi mereka
memiliki pemahaman yang lebih mendalam. Generasi X melihat
diri mereka sebagai individu independen secara politik dan sering
menyebut diri mereka sebagai kaum liberal (Mitchell, 2001, 2003).
Meminimalkan risiko
Titus Oshagbemi (2003) menemukan hasil dari perilaku pemimpin tua dan
pemimpin muda dari segi kepemimpinan laissez-faire, tidak ada perbedaan yang
18
signifikan antara pemimpin tua dan muda. Gaya kepemimpinan laissez-faire
sangat jarang sekali digunakan keduanya dikarenakan pemimpin melihat perilaku
tersebut sebagai pelepasan tanggung jawab kepemimpinan. Oleh karena itu, kedua
pemimpin baik tua dan muda lebih memilih untuk menetapkan tujuan dan standar
kinerja serta memantau kemajuan termasuk mengoreksi kesalahan. Titus
menambahkan pada kepuasan kinerja bawahan, pemimpin tua sering merasa puas
dengan kinerja bawahan dibandingkan pemimpin muda. Di sisi lain pemimpin
muda cenderung lebih puas dengan pertimbangan individualnya dan memberikan
kontribusi lebih untuk meningkatkan perekerjaan mereka sendiri, hal ini tidak
mengherankan karena pemimpin muda lebih banyak ingin belajar hal-hal baru
tentang tugas mereka dan urusan badan usaha dibandingkan dengan pemimpin
yang lebih tua.
Perbedaan usia antara tua dan muda tidak menjadi penghalang untuk
mengembangkan diri menjadi seorang pemimpin, meskipun pemimpin tua lebih
kaya akan pengalaman memimpin dalam suatu organisasi tetapi pemimpin muda
juga tidak dapat diremehkan. Semakin menghadapi perkembangan zaman orang
yang berusia muda semakin dapat menjadi pemimpin dan tidak hanya menjadi
bawahan saja. Pemimpin muda sekarang lebih bisa kreatif dan kritis dalam
menangani masalah dan lebih berani mengambil risiko karena memang pemimpin
muda masih mempunyai ambisi-ambisi yang sangat tinggi ditambah lagi
semangat yang menggebu. Pada negara seperti US dan Kanada pemimpin tua
mulai digantikan dengan bibit-bibit baru pemimpin muda yang tentunya masih
“segar” dan sangat berbeda dengan pemimpin tua.
19
Masalah perbedaan usia dalam gaya kepemimpinan tersebut dapat
menimbulkan bentuk yang berbeda. Menurut efferin dan soeherman (2010) sistem
pengendalian manajemen sangatlah penting dalam mengatur sumber daya
manusia yang ada pada suatu organisasi guna untuk mencegah hal-hal yang dapat
merugikan organisasi dan ada berbagai macam bentuk pengendalian antara lain
pengendalian proses (action control) , pengendalian hasil (result control), dan
pengendalian budaya (cultural control). Perusahaan biasanya menerapkan result
control dengan cara memberikan reward atau punishment terhadap karyawannya
dengan begitu karyawan lebih termotivasi untuk mencapi hasil ataupun tujuan
perusahaan. Selain itu pengendalian proses sangat penting perannya bagi
perusahaan. Action control adalah pengendalian yang dilakukan secara langsung
oleh pemimpin untuk memastikan bawahan bertindak sesuai dengan tujuan
perusahaan .
20