Bersyukur kita kepada Allah, atas anugerah dan nikmatnya yang Allah berikan kepada kita
semua, kita masih diberi kesempatan oleh Allah untuk melaksanakan salah satu yang Allah
fardukan kepada kita yaitu melaksanakan salah fardu jum’at.
Dan marilah kita senantiasa meningkatakan taqwa kita kepada Allah, yang hakikat taqwa itu
adalah melakukan ketaatan keapada Allah. Pertama kita tidak melakukan maksiyat kepada-
Nya yang kedua taqwa itu adalah bagaimana kita selalu ingat kepada Allah dan tidak
melupakannya dan yang ketiga adalah kita senantiasa bersyukur dan tidak menjadi kufur akan
nikmat Allah.
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad Bin Hambal yaitu:
Ada empat sifat yang apabila semuanya ada pada dirimu, maka tidak akan menjadi sebab
kalian ditimpa kesusahan, empat sifat tersebut adalah:
1. Menjaga Amanah
2. Bicara jujur
3. Berakhlak mulia
4. Senantiasa menjaga kesucian
“Wahai manusia sesungguhnya telah datang kepadamu nasihat dan pelajaran (Al-Qur’an) dari
Rabb-Mu, penyembuh dari penyakit–penyakit dalam dada (dalam hati manusia) dan petunjuk
serta rahmat bagi orang yang beriman.
Bagaimana kiat untuk membersihkan hati, dan mengembalikan kepada fitrah, yaitu 3 hal
penting yang harus kita lakukan:
Pertama : Berdo’a kepada Allah
Kedua : Menghilangkan Al-Ghaflah (Kelalaian)
Ketiga : Melakukan Tazkiyatun Nafs (pensucian jiwa)
yaitu senantiasa Tawaddu’ di jalan Allah.
Jama’ah rahimakumullah
Akan tetapi masih ada daripada sebagian manusia, memutar balikkan penafsiran ayat Al-
Qur’an yang sangat mulia tersebut, dimana sesuatu yang sudah jelas kebathilannya, malah itu
yang dianggap sesuatu yang haq, di belanya mati-matian, begitu yang lainnya sesuatu yang
jelas-jelas hukum haram maka yang haram itu tetap di kerjakannya, dan dianggap sesuatu
yang biasa-biasa saja.
Sehingga ada ungkapan yang menyesatkan “jangankan yang halal, yang haram saja sulit
untuk mencarinya”.
Kenapa hal tersebut bisa terjadi, padahal misalnya pelakunya adalah seorang yang tahu di
agama, seorang pejabat, seorang pemimpin, seorang wakil rakyat, dan atribut sosial lainnya,
hal tersebut disebabkan karena mereka tidak menggunakan akal sehatnya, akan tetapi akal
yang Allah berikan kepada manusia, yang mana manusia dengan akal pikirannya
sesungguhnya dapat membedakan antara haq dan bathil, yang halal dan yang haram, yang
sunnah dan yang bid’ah, yang tauhid dan yang syirik, akal fikiran yang sehat ini tidak di
gunakan sebagai mana mestinya.
Akan tetapi selalu digunakan untuk mengakal-akali, sehingga yang haram dijadikan yang
halal, yang bathil di jadikan yang haq, yang bid’ah dikerjakan, yang sunnah malah
ditinggalkan, itulah potret kehidupan manusia.
Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah pernah bersabda yang artinya Semua bayi yang (baru
lahir) dilahirkan diatas fitrah (cenderung kepada Islam) lalu kedua orang tuanyalah yang
menjadikan orang Yahudi, Nashrani atau Majusi.
Dari ‘Yadh Himar al-Majusy, bahwa Rasulullah bersabda: (Allah berfirman) sesungguhnya
Aku menciptakan para hambaku, semua dalam keadaan hanif (lurus dan cenderung kepada
kebenaran) dan sungguh kemudian syaithan mendatangi mereka, lalu memalingkan mereka
dari agama mereka.
Hadist tersebut diatas menunjukkan bahwa manusia dilahirkan kedunia ini dalam keadaan
fitrah cendrung menerima islam dan beribadah kepada Allah sebagaimana disebutkan dalam
Q.S. Al-A’raf:172
“Dan ingatlah ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam, dari sulbi mereka
dan Allah mengambil kesaksian dari terhadap diri mereka (seraya berfirman) “Bukankah aku
ini RabbMu” mereka menjawab “Betul (engkau Rabb kami) kami menjadi saksi “(Kami
lakukan yang demikian itu) agar dihari kiamat kamu tidak mengatakan: sesungguhnya kami
(Bani Adam) adalah orang-orang yang lalai dalam terhadap ini (Iman dan Tauhid keapada
Allah )."
Pertama, suka memberi. Artinya suka menolong kepada sesama, ia tidak hanya mengeluarkan
zakat kekayaannya yang merupakan kewajiban, tetapi juga berinfak, bersedekah serta hal-hal
lain yang merupakan sebuah kesunahan.
Kedua, bertakwa. Yaitu takut mengabaikan perintah Allah atau melanggar larangan-Nya.
Istiqomah dalam iman, istiqomah dalam tauhid, dan istiqomah dalam amaliyah.
Ketiga, membenarkan kebaikan Allah. Yaitu mengakui nikmat-nikmat yang telah diberikan
kepadanya, lalu mensyukuri nikmat tersebut. Di antara nikmat terbesar Allah adalah Surga.
Oleh karena itu ia tidak segan-segan beramal baik di dunia.
Hal ini penting kita yakini karena keyakinan melebihi dari ilmu pengetahuan, bahwa orang
yang memberi itu kaya. Orang yang takut miskin sebenarnya sudah jatuh miskin. Saat kita
memberi kita akan menerima. Saat kita menolong orang lain pada saat yang sama sejatinya
kita menolong diri kita sendiri.
Inilah rahasia kehidupan yang tersembunyi bagi banyak orang. Bukan mereka tidak melihat
kebenaran ini, tapi karena mereka tidak mempercayainya. Karena itu banyak orang yang
lebih suka menerima dari pada memberi, dan lebih suka ditolog dari pada menolong.
Hadirin Jama’ah Shloat Jum’at yang bersahaja …
Rasulullah Saw. telah bersabda :
ِ َّصلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل ال َّس ِخ ُّي قَ ِريبٌ ِم ْن هَّللا ِ قَ ِريبٌ ِم ْن ْال َجنَّ ِة قَ ِريبٌ ِم ْن الن
ِ َّاس بَ ِعي ٌ–د ِم ْن الن
ار َ ع َْن َأبِي هُ َر ْي َرةَ عَن النَّبِ ِّي
َّ هَّللا َ َأ
ٍ ار َول َجا ِه ٌل َس ِخ ٌّي َحبُّ ِإلى ِ َعز َو َج َّل ِم ْن عَالِ ٍم بَ ِخ
يل َ َّ
ِ اس قَ ِريبٌ ِم ْن الن ِ َو ْالبَ ِخي ُل بَ ِعي ٌد ِم ْن هَّللا ِ بَ ِعي ٌد ِم ْن ال َجن ِة بَ ِعي ٌد ِم ْن الن
َّ َّ ْ
) ( رواه الترمذي.
Artinya :” Dari [Abu Hurairah] dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Orang dermawan itu dekat dengan Allah, dekat dengan surga, dekat dengan manusia, dan
jauh dari neraka. Sedangkan orang yang bakhil itu jauh dari Allah, jauh dari surga, jauh dari
menusia, dan dekat dengan neraka. Sesungguhnya orang bodoh yang dermawan lebih Allah
cintai dari pada seorang ‘alim yang bakhil. ( H.R. at-Tirmidzi ).
Terhindar dari nilai materialisme. Dalam arti kita menyadari bahwa harta yang kita miliki
pada hakikatnya adalah titipan dari Allah. Sehingga menyisihkan sebagian harta kita untuk
disedekahkan kepada yang membutuhkan akan menambah syukur kita kepada Allah dengan
dijadikan sebagai orang yang memberi bukan orang yang menerima. Sebab,tangan di atas
lebih mulia dari pada tangan di bawah. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah Saw. :
،ُ َوا ْب َدْأ بِ َم ْن تَعُوْ ل، اَ ْليَ ُد ْالع ُْليَا خَ ْي ٌر ِمنَ ْاليَ ِد ال ُّس ْفلَى: صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم قَا َل َ ض َي هللاُ َع ْنهُ َع ِن النَّبِ ِّي
ِ ع َْن َح ِكي ِْم ب ِْن ِح َز ٍام َر
ْ ْ
) َو َم ْن يَ ْستَغ ِن يُغنِ ِه هللاُ ( رواه البخاري،ُف ي ُِعفهُ هللا َّ ً َ
ْ ِ َو َم ْن يَ ْستَ ْعف،ص َدقَ ِة ع َْن ظه ِْر ِغنى َّ َو َخ ْي ُر ال
Artinya :” Dari Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Tangan yang di atas lebih baik
daripada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan
sebaik-sebaik sedekah adalah yang dikeluarkan dari orang yang tidak membutuhkannya.
Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya maka Allâh akan menjaganya dan barangsiapa
yang merasa cukup maka Allâh akan memberikan kecukupan kepadanya.” ( H. R. Bukhari).