Anda di halaman 1dari 10

DRR Action Plan Workshop: Strengthened Indonesian

Resilience: Reducing Risk from Disasters

Bencana Gempabumi
Salahuddin Husein
Departemen Teknik Geologi, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada
email: shddin@gmail.com

Abstract:

Bencana gempabumi di Indonesia adalah suatu keniscayaan, tidak hanya pada daerah
yang selama ini diketahui seringkali mengalaminya, namun juga pada daerah yang dahulu diduga
relatif aman. Kondisi demikian dikontrol oleh konfigurasi tektonis Indonesia di masa lampau dan di
masa sekarang ini. Banyak sudah peristiwa gempabumi yang menelan korban ribuan jiwa dan
kerugian harta benda yang sangat besar. Kenyataan ini menuntut kemauan kita untuk belajar
memahami fenomena gempabumi dengan lebih baik lagi, agar dapat mengurangi resiko bencana.

Gempabumi ditimbulkan oleh pergeseran patahan, sehingga keberadaan patahan baik di


permukaan maupun di bawah permukaan harus bisa dipetakan dengan baik dan akurat. Energi
gempabumi merambat dari sumber pergeseran patahan dalam beberapa jenis gelombang, yang
menuntut pengukuran secara tepat dan cepat. Kerusakan infrastruktur tidak hanya disebabkan
oleh besaran energi, namun juga bagaimana percepatan gelombang gempabumi diterima di lokasi
tersebut. Perioda dan frekuensi batuan di permukaan serta bangunan turut pula menentukan
derajat kerusakan, bila terjadi fenomena resonansi dan amplifikasi getaran gempabumi yang
memiliki kesamaan karakter gelombang. Ketika terjadi gempabumi, informasi berupa intensitas
getaran harus segera kita catat dan sampaikan kepada generasi penerus, sebagai data yang
sangat berharga agar mereka kelak lebih siap lagi dalam menghadapi bencana gempabumi yang
senantiasa berulang ini.
Keywords: gempabumi, patahan, magnitudo, akselerasi, resonansi, amplifikasi, intensitas.

1. PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara yang sangat rentan terhadap bencana gempabumi. Hal ini
disebabkan oleh dua faktor yang saling berkait berikut. (1) Pada saat ini posisi geologis Indonesia
berada pada pertemuan 3 lempeng litosferik besar, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan
Lempeng Indo-Australia; dimana gaya interaksi antar-lempeng tersebut senantiasa menekan dan
menggeser berbagai patahan yang tersebar di seluruh bagian Indonesia, baik di daratan maupun
di dasar lautan, yang telah ada semenjak lama akibat faktor berikutnya. (2) Pada masa lampau
selama puluhan juta tahun, Indonesia dibangun atas gabungan berbagai lempeng benua mikro dan
busur gunungapi, yang digerakkan oleh proses tektonik yang kompleks hingga berada di
tempatnya saat ini; proses tumbukan puluhan lempeng tersebut menyebabkan terbentuknya
berbagai jenis patahan yang tersebar di berbagai tempat, senantiasa menerima dan menimbun
gaya tektonik dari interaksi lempeng-lempeng litosfer saat ini.
Oleh karena itu, meskipun Indonesia memiliki zonasi kawasan rentan gempabumi di
sepanjang daerah-daerah yang dekat dengan wilayah interaksi lempeng tektonis, seperti di pesisir
selatan Jawa dan pesisir barat Sumatera, namun Indonesia juga kerap mengalami gempabumi
pada daerah yang jauh dari zona interaksi lempeng (misal: Gempa Tarakan, Kalimantan Utara, 21
Desember 2015). Telah ratusan ribu jiwa tercatat menjadi korban bencana gempabumi tektonis di
Indonesia, yang terjadi di berbagai daerah, di antaranya (dengan jumlah korban >1000 orang
meninggal):
a. Gempa Aceh, 26 Desember 2004, magnitudo 9.3, korban ~168.000 meninggal
b. Gempa Papua, 26 Juni 1976, magnitudo 7.1, korban ~ 9.000 meninggal
c. Gempa Yogyakarta, 27 Mei 2006, magnitudo 5.9, korban 6.234 meninggal
d. Gempa Ambon, 20 September 1899, magnitudo 7.8, korban 3.280 meninggal
e. Gempa Sumbawa, 19 Agustus 1977, magnitudo 8.0, korban 2.200 meninggal
f. Gempa Flores, 12 Desember 1992, magnitudo 7.5, korban 2.100 meninggal
g. Gempa Padang, 30 September 2009, magnitudo 7.6, korban 1.115 meninggal.
Mempertimbangkan kondisi geologi Indonesia, frekuensi gempabumi dan distribusinya
(Gambar 1), serta jumlah korban terdampak, perlu kiranya kita perlu mengenal lebih jauh bencana
gempabumi.

Gambar 1. Peta kegempaan (seismisitas) di Indonesia, periode 1973 – 2010.

2. GEMPABUMI DAN PATAHAN


Gempabumi adalah getaran bumi. Gempabumi dapat terjadi oleh peristiwa letusan
gunungapi, benturan meteorit, tanah longsor, ledakan bom, dan banyak lagi penyebab lainnya;
namun umumnya mereka disebabkan oleh gerakan mendadak kerak Bumi di sepanjang bidang
patahan (Abott, 2004). Patahan adalah retakan yang membatasi dua blok batuan ketika bergeser
satu terhadap lainnya. Pergerakan tersebut dapat terjadi karena batuan menerima dan menyimpan
tekanan tektonis yang dikirimkan oleh interaksi lempeng-lempeng litosfer, sedikit demi sedikit
terakumulasi sedemikian rupa hingga gaya stress tersebut menjadi sedemikian besar dan mampu
menggeser batuan di sepanjang bidang patahan. Pergeseran tersebut terjadi secara mendadak,
menghantarkan gelombang kejutnya ke segala arah, yang kemudian dikenal sebagai gempabumi.
Pemahaman akan peristiwa gempabumi yang disebabkan oleh pergeseran patahan
memicu kesadaran baru di kalangan ahli kebumian pada abad ke-19, untuk memetakan
keberadaan berbagai patahan di lapangan, yang selanjutnya akan menjadi dasar untuk membuat
peta kerentanan gempabumi. Karena patahan selalu menggeser sebaran batuan, maka pemetaan

2
distribusi bebatuan yang dilakukan secara sistematik dan metodologis akan mampu memunculkan
tempat-tempat perkiraan kehadiran patahan (Gambar 2). Meski demikian, tidak seluruh patahan
muncul tersingkap di permukaan dan dapat terpetakan. Sebagian besar patahan hanya
berkembang di bawah permukaan tanpa muncul di permukaan, yang dikenal sebagai patahan
tertutup (blind fault) (Gambar 3). Kini semakin disadari bahwa banyak blind fault memiliki potensi
untuk bergerak dan menghasilkan gempabumi merusak. Berbagai upaya dilakukan para ahli
kebumian untuk memetakan keberadaan blind fault tersebut, termasuk dengan menggunakan
metode-metode geofisika untuk mencitrakan kondisi bawah permukaan Bumi.

Gambar 2. Peta struktur Sumatera Utara (Barber dan Crow, 2005).

Terdapat berbagai jenis patahan, yang secara sederhana dapat dikelompokkan menurut
sifat pergeserannya pada bidang patahan (Gambar 3), yaitu patahan yang bergeser searah
kemiringan bidang patahan (dip-slip faults) dan patahan yang bergeser searah jurus bidang
patahan (strike-slip faults). Lebih detail lagi, dip-slip faults dapat dibedakan menjadi patahan turun
(normal) bila blok batuan di atas bidang patahan bergerak turun, dan patahan naik (anjak) bila blok
batuan di atas bidang patahan bergerak naik. Demikian pula dengan strike-slip faults, dapat
dibedakan menjadi patahan sinistral bila blok batuan sebelah kiri bergerak mendekati, dan patahan
dekstral bila blok batuan sebelah kanan bergerak mendekati.
Patahan bukanlah suatu bidang datar yang sederhana, yang dengan cepat bergeser bila
terkena gaya. Kompleksitas geometri bidang patahan serta jenis batuan yang dipatahkan akan
membuat patahan cenderung terkunci dan tidak mudah untuk bergerak. Gaya stress harus
ditimbun dalam waktu yang lama hingga energi potensial tersimpan cukup besar untuk memulai
pergeseran. Pergerakan (rupture) terjadi pertama kali pada titik lemah pada bidang patahan dan
kemudian merambat secara cepat di sepanjang bidang patahan tersebut (Gambar 4). Energi
potensial yang tersimpan pun dilepaskan sebagai gelombang seismik yang merambat ke segala
arah, fenomena yang dikenal sebagai gempabumi. Titik awal mula pergeseran patahan disebut
sebagai hiposentrum (focus). Titik pada permukaan Bumi ketika hiposentrum diproyeksikan ke
atas disebut episentrum.

3
Gambar 3. Jenis-jenis patahan; termasuk contoh patahan tertutup (blind fault) jenis sesar anjak (diagram
paling bawah).

Gambar 4. Diagram bidang patahan dan terbentuknya gempabumi (Abott, 2004).

Pergerakan patahan pun tidak sederhana pula, bila dibayangkan sebagai satu kali
pergeseran yang menghasilkan gempabumi. Pada kenyataannya, gempabumi terjadi dalam suatu
rangkaian. Tekanan stress yang tersimpan pada batuan yang terpatahkan lazimnya dilepas oleh
suatu runtutan pergeseran di sepanjang bidang patahan, atau pada beberapa bidang patahan,
yang berlangsung selama beberapa minggu hingga bulan bahkan hingga tahun. Setiap pergeseran
patahan akan menghasilkan satu peristiwa gempa, yang terbesar akan dinamakan gempabumi.
Bila sebelum gempabumi tersebut ada beberapa peristiwa gempa, mereka dinamakan foreshock,
dan bila masih ada peristiwa gempa setelah gempabumi akan dinamakan aftershock.

4
Sesungguhnya tidak mudah untuk membedakan peristiwa gempa satu dan lainnya, untuk
membedakan foreshock – gempabumi – aftershock, selain dari ukuran magnitudonya saja; karena
mereka semua memang suatu rangkaian pelepasan stress dalam suatu zona patahan. Sehingga
bila terjadi suatu peristiwa gempa, para ahli masih menduga dalam kisaran probabilitas 6% bahwa
akan terjadi gempa yang lebih besar lagi, yaitu gempabumi utama (Abott, 2004). Pernyataan
statistis ini diberikan karena memang tidak ada cara untuk membedakan foreshock dari
gempabumi utama, selain dengan cara menunggu hingga seluruh rangkaian gempa berakhir dan
baru bisa menentukan mana gempabumi utama berdasarkan catatan magnitudo terbesar.

3. GELOMBANG GEMPABUMI
Secara fisika, gelombang gempabumi dianggap merambat sebagaimana layaknya
gelombang air, yang menempuh perjalanannya ke segala arah dari sumber penyebabnya, dalam
runtutan gelombang demi gelombang. Pergeseran vertikal yang disebabkan oleh gelombang
disebut amplitudo, jarak antar gelombang yang berurutan disebut panjang gelombang, waktu
yang membentang antara dua gelombang disebut sebagai perioda, dan jumlah gelombang yang
melintasi suatu titik pengamatan dalam satu detik disebut sebagai frekuensi.

Peristiwa gempabumi melepaskan energinya dalam gelombang seismik, sebagian besar


merambat melalui seluruh tubuh planet (disebut gelombang badan) dan sebagian lainnya
merambat hanya di dekat permukaan saja (dinamakan gelombang permukaan) (Gambar 5).
Gelombang badan merambat secara cepat, baik sebagai gelombang primer maupun gelombang
sekunder. Frekuensi mereka berkisar pada 0,5 hingga 20 hertz (0,5 hingga 20 siklus per detik)
sehingga disebut pula sebagai gelombang perioda pendek.

Gambar 5. Jenis-jenis gelombang seismik dan cara rambatannya.

Gelombang primer (P-wave) merambat paling cepat, dengan cara menekan dan
meregang (push-pull) material yang dilewatinya, baik itu berupa material padat, cair, maupun gas.
Kecepatannya tergantung pada densitas dan kompresibiltas material yang dilewati; semakin besar
densitas dan semakin resisten material terhadap tekanan, maka akan semakin besar pula
kecepatan gelombang seismik. Kecepatan rerata gelombang primer pada batuan padat, seperti
granit, adalah 4,8 km/detik, bila melewati air menjadi 1,4 km/detik. Karena gelombang primer

5
mampu merambati udara, mereka pun bisa terdengar di dekat episentrum dalam frekuensi 15
hertz, sebagai suara gemuruh yang mampu menggetarkan jendela rumah.
Gelombang sekunder (S-wave) merambat dengan kecepatan dibawah gelombang
primer, sekitar 3 km/detik bila melewati granit. Mereka bergerak dengan menggeser partikel
medium yang dilalui pada arah tegak-lurus rambatan, sehingga hanya bisa melewati medium padat
saja, karena air dan gas tidak memiliki kekuatan geser. Karena gerakannya berupa geseran
vertikal dan horisontal, maka gelombang sekunder memiliki lebih banyak kemampuan untuk
merusak bangunan.
Gelombang permukaan yang merambat di dekat permukaan Bumi terdiri dari dua jenis:
gelombang Love dan gelombang Rayleigh. Keduanya merupakan gelombang panjang karena
memerlukan waktu lebih lama untuk menyelesaikan satu siklus gelombang (frekuensi rendah,
kurang dari satu siklus per detik) dan bergerak dengan kecepatan yang lebih rendah, sehingga
mereka mampu membawa energi dalam jarak yang lebih jauh dari episentrum. Gelombang Love
bergerak seperti gelombang sekunder, namun arah pergeserannya hanya horisontal saja.
Gelombang Rayleigh bergerak dalam bentuk perputaran elips ke arah belakang, sehingga
mampu menyebabkan gerakan mengarah vertikal dan horisontal sekaligus.

4. MAGNITUDO GEMPABUMI
Magnitudo adalah perkiraan ukuran relatif atau lepasan energi suatu gempabumi.
Terdapat beberapa sistem pengukuran, dan mereka umumnya diukur pada data seismogram.
Skala Richter (ML) adalah paling populer, yang secara kuantitatif hanya efektif untuk mengukur
gempabumi dangkal dengan energi yang tidak terlalu besar dan pada jarak yang dekat (kurang
dari 100 km) terhadap seismometer. Metode perhitungannya pun mudah, dapat dilakukan secara
grafis pada rekaman seismogram, sehingga dapat memberikan informasi secara cepat kepada
publik (Gambar 6).

Gambar 6. Nomograf perhitungan skala Richter, contoh untuk gempabumi 5 SR (ML).

6
Karena gelombang seismik merambat baik sebagai gelombang badan dan gelombang
permukaan, dua skala magnitudo lain pun juga kerap dipergunakan, yaitu mb dan Ms. Skala
gelombang badan (mb) menggunakan amplitudo gelombang primer dengan perioda 1 – 10 detik.
Skala gelombang permukaan (Ms) menggunakan gelombang Rayleigh dengan perioda 18 – 22
detik. Kini disadari bahwa peristiwa gempabumi menghasilkan energi dengan proporsi berbeda-
beda. Misalkan gempabumi besar dengan bidang patahan yang luas akan menyebarkan energinya
dalam gelombang perioda panjang, yang tidak dapat secara akurat terukur oleh skala mb.
Untuk dapat menentukan ukuran gempabumi secara tepat, skala momen (Mo)
dipergunakan. Perhitungan Mo berdasarkan pergeseran di sepanjang bidang patahan, dimana Mo
setara dengan kekuatan geser batuan dikalikan besar pergeseran patahan (slip). Sehingga Mo
dianggap mengukur jumlah energi yang dilepaskan di seluruh luasan bidang patahan. Saat ini
skala momen telah berkembang menjadi skala baru, yaitu skala magnitudo momen (Mw), yang
lebih akurat untuk mengukur gempabumi besar, karena mengandalkan parameter fisik seperti luas
bidang patahan yang bergerak, panjang pergeseran patahan, dan jumlah energi yang dilepaskan.

5. GETARAN TANAH SELAMA GEMPABUMI


Ketika gelombang seismik merambat dari bidang patahan yang bergerak, terjadi interaksi
berbagai jenis gelombang, yang mampu menggerakkan tanah secara vertikal dan horisontal.
Konstruksi bangunan umumnya didesain mampu menahan gaya vertikal yang besar, yang muncul
akibat berat bangunan dan isinya. Mereka pun umumnya diperkuat dengan standar keamanan
tertentu untuk menahan gaya vertikal tambahan yang berasal dari gelombang seismik gempabumi.
Yang menjadi perhatian utama dalam desain konstruksi bangunan adalah kemampuannya untuk
menahan gaya horisontal (Gambar 7).

Gambar 7. Foto runtuhnya lantai dasar bangunan kampus STIE Kerjasama Yogyakarta, akibat horizontal
ground shaking gempabumi Yogyakarta 2006.

Desain bangunan di daerah yang rentan gempabumi harus memperhitungkan akselerasi.


Ketika gelombang seismik menggoyang tanah dan bangunan secara vertikal dan horisontal,
tingkat perubahan kecepatan gerakan diukur sebagai akselerasi. Standar akselerasi adalah gerak
jatuh bebas sebesar 9,8 m/detik atau setara 1,0 g. Pada akselerasi 0,1 g, bangunan dengan
konstruksi yang buruk akan mengalami kerusakan berarti. Pada akselerasi 0,2 g, orang-orang

7
akan kesulitan untuk berdiri di atas kedua kakinya, seperti berada pada sebuah kapal kecil di
tengah gelombang laut yang besar.
Konsep perioda dan frekuensi juga berlaku pada formasi geologi dan bangunan. Getaran
bangunan berlantai 1 dan getaran bangunan berlantai 30 dalam menyelesaikan satu siklus
pergerakan horisontal ke depan dan ke belakang, tentu tidak sama. Umumnya perioda getaran
bangunan adalah 0,1 detik per lantai. Sehingga bangunan berlantai satu akan bergetar 0,1 detik
per siklus, sedangkan bangunan berlantai 30 membutuhkan 3 detik per siklus. Selain jumlah lantai,
perioda getaran bangunan juga dipengaruhi oleh material konstruksi. Material yang fleksibel seperti
kayu atau baja memiliki perioda yang lebih panjang daripada material kaku seperti bata dan beton.
Jenis batuan di permukaan Bumi juga memiliki perioda alamiahnya. Batuan yang kaku
dan keras bergetar dengan perioda 0,5 detik, sedangkan sedimen lunak yang belum terlitifikasi
dapat melampaui perioda 2 detik per siklus.
Ketika gelombang seismik dengan perioda tertentu membawa banyak energi melintasi
formasi geologi yang tersusun atas batuan dengan perioda alamiah yang sama, getaran tanah
akan mengalami penguatan (amplifikasi). Ditambah lagi bila perioda bangunan yang ada di atas
batuan tersebut juga memiliki perioda yang sama, maka kombinasi getaran atau resonansi akan
semakin diperkuat. Resonansi dibentuk oleh kesamaan perioda antara gelombang seismik dan
material yang dilaluinya, baik itu formasi batuan maupun bangunan. Akibat resonansi pada
bangunan adalah kerusakan katastrofis.

6. INTENSITAS GEMPABUMI
Selama beberapa puluh detik ketika terjadi gempabumi besar, kita merasakan tubuh kita
terguncang keras dari satu sisi ke sisi lain. Ini adalah pengalaman emosional, dan drama personal
ini akan berbeda-beda tergantung pada jarak lokasi kita terhadap sumber gempabumi dan pada
tipe kepribadian kita. Agar informasi personal ini dapat bermanfaat bagi generasi berikutnya, perlu
ada standarisasi pengalaman tersebut. Skala kualitatif yang banyak dipakai untuk mengukur
intensitas gempabumi berdasarkan apa yang dirasakan adalah skala Mercalli termodifikasi, yang
terbagi dalam 12 tingkatan, sebagai berikut:
I. Tidak terasa
II. Terasa oleh orang yang berada di bangunan tinggi
III. Getaran dirasakan seperti ada kendaraan berat melintas.
IV. Getaran dirasakan seperti ada benda berat yang menabrak dinding rumah, benda
tergantung bergoyang.
V. Dapat dirasakan di luar rumah, hiasan dinding bergerak, benda kecil di atas rak mampu
jatuh.
VI. Terasa oleh hampir semua orang, dinding rumah rusak.
VII. Dinding pagar yang tidak kuat pecah, orang tidak dapat berjalan/berdiri.
VIII. Bangunan yang tidak kuat akan mengalami kerusakan.
IX. Bangunan yang tidak kuat akan mengalami kerusakan parah.
X. Jembatan dan tangga rusak, terjadi tanah longsor, rel kereta api bengkok.
XI. Rel kereta api rusak, bendungan dan tanggul hancur, seluruh bangunan hampir hancur
dan terjadi longsor besar.
XII. Seluruh bangunan hancur lebur, batu dan barang-barang terlempar ke udara, tanah
bergerak seperti gelombang, aliran sungai dapat berubah, pasir dan lumpur bergeser
secara horizontal, air dapat terlempar dari danau, diikuti dengan suara gemuruh yang
besar, terjadi longsor skala besar, kebakaran, banjir, tsunami di daerah pantai, dan
aktivitas gunung berapi.

8
Intensitas gempabumi tergantung pada beberapa variabel: (1) magnitudo gempabumi, (2)
jarak terhadap hiposentrum/episentrum, (3) jenis batuan pada permukaan Bumi, (4) jenis dan
desain konstruksi bangunan, dan (5) durasi getaran (Gambar 8).

Gambar 8. Peta intensitas Gempa Yogyakarta 2006 (Husein dkk., 2007).

7. CATATAN PENUTUP
Gempabumi merupakan sebuah bencana alam yang senantiasa mengintai dan tidak dapat
dihindari pada banyak daerah di Indonesia, karena keunikan posisi dan sejarah geologi kawasan
ini. Meski demikian perlu kita ingat bersama pernyataan para ahli gempabumi dunia yang sering
muncul di media massa, bahwa gempabumi tidak dapat membunuh, bangunan lah yang dapat
membunuh. Kenyataan ini menuntut agar kita mau belajar dan memahami gempabumi.

Gempabumi terbentuk oleh bergeraknya batuan di sepanjang bidang patahan. Sehingga


identifikasi dan pemetaan patahan seismogenik aktif di berbagai wilayah di Indonesia menjadi
mutlak harus segera dilakukan dan diselesaikan. Gempabumi merambat dalam berbagai bentuk
gelombang, baik kelompok gelombang badan maupun kelompok gelombang permukaan. Setiap
gelombang dan karakteristiknya memerlukan metode pengukuran energi dirambatkan yang
mendekati akurat, sehingga muncul berbagai skala magnitudo; yang paling populer adalah skala
Richter (ML), namun yang paling terpercaya saat ini adalah skala magnitudo momen (Mw).
Selain pada besaran energi yang dibawa oleh gelombang seismik, kerusakan bangunan di
permukaan juga ditentukan oleh akselerasi kecepatan gelombang gempabumi. Selain itu faktor
perioda dan frekuensi batuan di permukaan serta konstruksi bangunan akan menentukan apakah
akan terjadi peristiwa resonansi dan amplifikasi getaran gempabumi. Faktor-faktor tersebut – yang
sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lain, bahkan terhadap kemungkinan gempabumi yang

9
sama – harus dipertimbangkan dalam menyusun rencana pengurangan resiko bencana
gempabumi.
Dan bila gempabumi akhirnya terjadi, kita pun punya kewajiban untuk menyampaikan
informasi tersebut kepada generasi penerus, dalam bentuk informasi yang standar dan
bermanfaat, seperti data intensitas gempabumi lokal. Sehingga kelak generasi berikutnya dapat
lebih mempersiapkan diri menghadapi bencana gempabumi yang senantiasa berulang ini, dalam
persiapan yang lebih baik.

REFERENSI
th
Abott, P.L. (2004) Natural Disasters, 4 ed., McGraw Hill Higher Education, Boston, 460 p.

Barber, A.J., and M.J. Crow (2005) Chapter 13: Structure and structural history. In: Barber , A.J.,
M.J. Crow, and J.S. Milsom (eds) Sumatra: Geology, Resources and Tectonic Evolution.
Geological Society, London, Memoirs, 31, pp. 175-233.

Husein, S., D. Karnawati, S. Pramumijoyo, dan A. Ratdomopurbo (2007). Kontrol Geologi terhadap
Respon Lahan dalam Gempabumi Yogyakarta 27 Mei 2006: upaya pembuatan peta zonasi
mikro di daerah Bantul. Proceeding Seminar Nasional 2007 Geotechnics for Earthquake
Engineering, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, pp. 6.1–6.12.

10

Anda mungkin juga menyukai