DISUSUN OLEH :
INDRIE ADELIA EKA PUTRI_210160137
PRODI ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK SIPIL
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
TAHUN AJARAN 2023 / 2024
BAB 1
GEMPA BUMI
Gempa burni adalah getaran tanah yang diakibatkan oleh pelepasan €nergi dengan Cgpat yang terjadi
di dalam lapisan bumi yang disebabkan oleh berbagai hal yang berbeda, misalnya pergeseren lapisan
tanah, aktivitas vulkanik, atau akibat ledakan buatan manusia seperti yang dilakukan pada
pertambangan atau percobaan bom dan sebagainya. Namun demikian, gempa- gempa bumi besar
atauyang sangat dirasakan oleh manunusia, selama ini diketahui kebanyakan sebagai gejala Gerakan
aktif tektonik bumi akibat lapisan tengah bumi yang masih panas dan cair.
Gempa bumi besar yang terjadi di bumi ini terkait dengan aktivitas tektonik lapisan bumiyang terjadi,
terutama pada batas lempeng-lempeng benua. Pergerakan-pergerakan tabrakan, pergeseran, dan
perpisahanlempeng yang terakumulasi inilah penyebab utama terjadinya gempa bumi. Menurut para
ahli, terjadinya gempa tektonik dipengaruhi oleh hal-hal di bawah ini.
1.1.1 TEORI PERGERAKAN LEMPENG BUMI
Teori pergerakan lempeng bumi adalah teori besar dalam bidang geologi yang menjelaskan
tentang fakta pergerakan besar lapisan permukaan paling atas bumi atau litosfer secara alami.
Litosfer terdiri dari kerak bumi dan mantel bumi yang keduanya memiliki sifat kaku dan padat.
Oleh karena itu, bagian litosfer tersebut mengalami proses sehingga menjadi lempeng-lempeng
tektonik yang mengalami pergerakan sehingga menimbulkan pembentukan tinggi rendahnya
suatu permukaan bumi.
Terdapat tiga jenis batas lempeng tektonik berdasarkan pergerakan lempeng secara relatif
terhadap satu dengan lainnya, yaitu batas divergen, batas konvergen, dan batas transform.
Gempa bumi, aktivitas vulkanik, pembentukan gunung, dan pembentukan palung samudera
semuanya umumnya terjadi di daerah sepanjang batas lempeng. Pergerakan lempeng-
lempeng ini disebabkan oleh adanya arus konveksi, yaitu berupa perpindahan energi panas
yang terjadi di lapisan astenosfer.
Menurut teori tektonik lempeng, permukaan bumi terluar/litosfer ini terbagi atas kira-kira 15
pecahan besar dan kecil yang disebut lempeng/pelat benua. Lapisan lempeng ini adalah lapisan
litosfer padat namun selalu bergerak dengan arah dan kecepatan tertentu yang berbeda satu
sama lain. 1-5 lempeng dunia tersebut saling bersentuhan sisi-sisinya yang disebut dengan
batas lempeng. Karena berada di atas astenosfer yang cair dengan arus konveksi yang
memindahkan panas melalui zat cair atau gas inti bumi, lempeng-lempeng benua ini saling
bergerak satu sama lain dengan berbagai cara, saling menjauh, saling bertumbukan, atau saling
menggeser ke samping. Gerakan-gerakan ini disebut divergen (rift zones), konvergen
(subduction zones), dan transform zones (tronscurrent hor'zontol slip).
Proses tektonik ini menyebabkan gempa yang lebih besar jika dibandingkan dengan gempa
yang diakibatkan oleh aktivitas vulkanik gunung berapi. Apabira pusat gempa teryadi di lautan
atau samudra dengan magnitudo yang besar dan lokasi yang dangkal dan luas, gempa dapat
menimbulkan gelombang pasang air laut yang tinggi yang disebut dengan tsunami. contoh
gempa disertai tsunami yang dahsyat terjadi pada tanggar 26 Desember 2004, di mana gempa
Aceh atau yang disebut dengan sumotra-Andomon eorthquoke sebesar 9.1 Mw (usGS) telah
menimbulkan kerusakan berat bangunan-bangunan di Aceh dan mengakibatkan gerombang
tsunami puluhan meter di Samudra Hindia yang menyapu tepi pantai daerah Bangladesh, India,
Malaysia, Myanmar; Thailand, Singapura, Kepulauan Maldives, dan berjalan hingga pantai
timur Afrika. Gempa ini terjadi akibat tabrakan subduksi lempeng Indo-Austraria (tepatnya
Lempeng India) ke lempeng Euroasia (Burma) (Bilham,2005).
Sabuk seismik dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai "garis seismik" atau "peta
seismik. Garis seismik adalah garis yang menunjukkan lokasi gempa bumi yang terjadi di suatu
wilayah, sedangkan peta seismik adalah peta yang menunjukkan lokasi gempa bumi dan
aktivitas seismik lainnya di suatu wilayah. Metode seismik sendiri adalah salah satu metode
eksplorasi yang didasarkan pada pengukuran respon gelombang seismik (suara) yang
dimasukkan ke dalam tanah dan kemudian dianalisis untuk memperoleh informasi tentang
struktur bawah permukaan bumi.
Garis batas benua ini wujud fisiknya dapat berupa palung baik di daratan maupun di rautan
sebagai hasil dari pemisahan pelat atau barisan pegunungan sebagai hasil dari tumbukan dua
pelat. Palung yang dalam di samudra Atlantik adalah hasil patahan antara pelat Eurasia dan
Amerika Utara (bagian Utara), dan antara pelat Afrika dan Amerika Selatan (bagian Selatan).
Sementara Pegunungan Himalaya adalah hasil dari tumbukan perat India dan Eurasia. Gempa
bumi pada umumnya terjadi di sekitar garis batas benua ini atau cabang-cabangnya yang
disebut dengan patahan (sesar).
Gempa bumi besar lain seperti gempa bumi Samudra Hindia pada tanggal 26 Desember 2004,
gempa Kashmir 8 Oktober 2005, dan gempa bumi Jawa 27 Mei 2006 dan L7 Juli 2006 dihasilkan
oleh sabuk Eurasio. Sabuk ini membentang mulai dari sepanjang bagian utara Laut Mediterania,
Asia Tengah, bagian selatan Pegunungan Himalaya, dan Indonesia. Untuk alasan ini, diwilayah
Indonesia telah sering terjadi gempa dalam periode dan intensitas yang tinggi karena memiliki
kedua sabuk seismik yang paling aktif di dunia tersebut.
1.2 GEMPA BUMI DAN SIFAT FISIK NYA
Gempa bumi adalah fenomena alamiah yang pasti terjadi sewaktuwaktu karena pertumbuhan bumi itu
sendiri. Di bumi ini, setiap hari hampir dapat dipastikan teryadi gempa bumi, namun sebagian besar
tidak dapat dirasakan oleh manusia. Gempa bumi hanya akan menganggu Satah satu jenis alat
seismometer ganggu kehidupan manusia jika energinya sampai pada permukaan bumi. sifat-sifat fisik
gempa harus dipelajari untuk dapat menganalisis bagaimana gempa memengaruhi lingkungan
manusia.
Besar kecilnya energi gempa dicatat dengan alat seismometer berupa diagram gelombang
gempa yang dikembangkan pertama kali pertama kali oleh matematikawan Chang Hengzaman
Dinasti Han pada tahun 132 sM, yang kemudian dikembangkan oleh ilmuwan John Milne,
James Alfred Ewing, dan Thomas Gray, di Jepang tahun 1gg0 hingga 1895, dan juga wood-
Anderson tahun rg2o di Amerika. prinsip kerja alat ini menggunakan bandul yang diberi pena
pada ujung lain sehingga sensitif dengan pergerakan dan menghasilkan diagram. Pada
diagram, pergerakan bumi akibat gempa dicatat pada arah utara-selatan, timur-barat, dan pada
arah vertikal sehingga tergambar bentuk masing-masing gelombangnya. seperti halnya pada
gelombang-gelombang yang lain, gelombang seismik ini mempunyai properti seperti frekuensi,
amplitudo, dan periode yang mencerminkan sifat fisik gempa, seperti kuat dan jarak sumber
gempa.
Pada dasarnya, energi seismik gempa disarurkan ke permukaan tanah melalui empat jenis
gelombang seismik elastis yang dinamakan dengan gelombang P (Primer), S (Sekunder), L
(Love), dan R (Rayleight). Gelombang P dan S dinamakan atas pembedaan sifatnya,
sedangkan L dan R dinamakan atas nama penemunya. Gerombang-gerombang tersebut
dipisahkan menjadi dua, yaitu gelombang dalam dan gelombang permukaan.
Gelombang dalam adalah gelombang yang berasal langsung dari sumber gempa (hypocenter) yang
berjalan melalui lapisan di bawah permukaan bumiyang terdiri darigelombang primer p dan sekunder
S. Gelombang P adalah gelombang gempa yang bergerak dengan arah longitudinal atau searah
dengan rambatan gempa sehingga dapat dikatakan sebagai gelombang dorong atau push wove.
Sementara gelombang S adalah gelombang gempa yang bergerak dengan arah transversal atau
tegak lurus dengan rambatan gempa sehingga dinamakan sebagai gelombang kejut atau shock
wove.
Gelombang P merambat di semua media padat atau cair, dan berjalan paling cepat antara 1,5
hingga 8 kilometer per detik, sedangkan gelombang s merambat lebih lambat, sekitar 50% sampai
60% dari kecepatan gelombang p (Elnashai dan Di Sarno, 2009). Namun demikian, karena bergerak
cepat, kekuatan gelombang p sangat rendah, sekitar sepersepuluh dari gelombang S. oleh karena
itu, gelombang ini kemungkinan besar tidak dirasakan oleh manusia. Gelombang P adalah
gelombang seismik dengan potensi lebih sedikit menimbulkan kerusakan.
Gelombang transversal s mempunyai kecepatan sekitar setengah (tepatnya L,7 : L) dari gelombang
p yang secara umum dalam meter per detik pada tanah tertentu adalah 60 untuk pasir; 1-00 untuk
pasir direklamasi, 250 tanah liat, 600 untuk kerikir, dan 1000 untuk batuan tersier (Erdey, 2007).
Namun demikian, gelombang p tidak dapat merambat pada benda cair. Karena bergetar ke arah
samping (shock wove), maka gelombang S menciptakan amplitudo yang besar sehingga sangat
berpotensi menimbulkan getaran besar yang berakibat pada kerusakan lingkungan manusia.
Perbedaan kecepatan antara gelombang p dan s ini digunakan oleh para seismolog untuk
menentukan pusat atau hiposentrum gempa. Begitu gelombang S tiba, besarnya getaran tanah
akan dicatat oleh diagram dalam seismograf. Sebagai contoh, gerombang S tiba setelah dua
menit dari gelombang p yang berkecepatan 1000m/detik. Maka lokasi pusat gempa adalah 1000
x 1,20 = 120.000 m atau 120 km dari lokasi seismograf.
Di masa depan, perbedaan kecepatan gelombang p dan S ini dapat dipakai untuk peringatan dini
terjadinya gempa walau waktu yang diberikan relatif sangat sempit. Karena lebih rambat dengan
arah gelombang tegak lurus dari arah perjalanannya (perpendiculor), gelombang s akan lebih
banyak menimbulkan kerusakan karena gelombang ini menyebabkan gerakan baik vertikar atau
horizontal pada tanah yang akan memengaruhi pergerakan kawasan permukaan.
2. Gelombang permukaan (surfoce waves)
Gelombang permukaan terjadi pada permukaan tanah yang juga dibedakan menjadi dua jenis:
gelombang L (Love) dan gelombang R (Rayleigh). Gelombang L dihasilkan dari pantulan dan
pecahan gelombang dalam dan hanya menyebabkan pergerakan ke arah samping (loteral
movement). Oleh karena itu, gelombang L dapat diartikan sebagai lateral wove. Karena gelombang
L ini sebenarnya adalah kelanjutan gelombang S yang bekerja di permukaan bumi dengan arah
getaran menyamping, maka gelombang ini bersifat merusak.
Hingga saat ini, kekuatan gempa seismik diukur dengan dua cara: skara energi yang
dikeluarkan (energy-based measurements) dan skala intensitas akibat gempa
(phenomenological scoles). Kedua skala ini sama pentingnya dalam menentukan besar dan
pengaruh gempa bumi. Skala kekuatan gempa bumi umumnya diukur menggunakan Skala
Magnitudo. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Indonesia menggunakan
Skala Magnitudo (M) sebagai ukuran kekuatan gempa bumi. Skala Magnitudo menggambarkan
besarnya energi seismik yang dipancarkan oleh sumber gempa. Besaran yang terukur melalui
Skala Magnitudo dinyatakan dalam bilangan bulat dan pecahan desimal. Berdasarkan
pengukuran gerakan maksimum yang direkam oleh seismograf, gempa bumi diklasifikasikan
sebagai berikut:
1. Skala Magnitudo
Satuan yang umum digunakan untuk mengukur kekuatan gempa adalah skala Richter magnitude
(SR) berdasarkan besaran energi yang dihasilkan. Pengukuran kekuatan gempa diambil dari
besarnya energi pusat gempa yang didasarkan pada besar kecilnya amplitude yang dicatat oleh
seismograf. Satu milimeter amplitudo seismograf pada jarak 100 km dengan sumber gempa setara
dengan 3 SR. Skala ini diperkenalkan oleh Charles F. Richter tahun l-934 berdasarkan pada 10
skala logarithmic yang didapatkan dari perhitungan logaritma amplitudo dari diagram seismograf.
Sebagai contoh, gempa bumi dengan kekuatan 5 SR mempunyai amplitudo 10 kali lebih besar dan
berkaitan dengan energi yang dihasilkan sebesar V1-000 = 31.6 dari 4 SR. Selanjutnya, gempa 6
SR mempunyai energi sekitar 1000 kali lipat (3L.6'z) dari4 SR, dan seterusnya. Setiap kenaikan 0.2
SR dapat diartikan dua kali lipat energi yang dihasilkan. Skala Richter ini ideal digunakan pada
rentang 3 hingga 6.5 SR. Gempagempa yang lebih besar dari itu tidak efektif lagi menggunakan
skala ini. Oleh karena itu, dengan berdasarkan pada skala Richter; dikembangkan skala Moment
Magnitude untuk mengukur gempa di atas 6.5 SR (USGS).
2. Skala Intensitas
Mercalli Modified lntensity scale atau disingkat dengan MMI adalah satuan besaran gempa
berdasarkan jenis dampak pengaruhnya terhadap lingkungan. Satuan ini adalah hasil "perasaan"
pengamat di lokasi akibat gempa mereka berada, tidak bergantung pada besarnya magnitudo
gempa, namun relatif bergantung pada jarak dengan pusat gempa dan lingkungan sekitar yang
memengaruhinya. Skala intensitas gempa awalnya dikembangkan oleh vulkanolog Italia Giuseppe
Mercalli pada tahun 1884 dan L906 dengan menggunakan sepuluh tingkat skala. Skala ini kemudian
dikembangkan menjadi 1-2 tingkatan oleh Cancani dan Sieberg (1902), kemudian oleh Wood dan
Newman (1931), dan juga oleh Charles Richter menjadi Modified Mercolli lntensity scale (MMI)
seperti sekarang ini. Skala MMI dimulai dari I (intensitas kecil) hingga XII (intensitas besar). Berikut
adalah kuantitas skala MMI dan intensitas yang dihasilkannya.
Dua buah gempa bermagnitudo yang sama belum tentu berdampak sama pada suatu daerah karena
dipengaruhi oleh banyak hal, termasuk jarak episentrum dan kedalaman hiposentrum, jenis kandungan
tanah geografi, dan sebagainya. Dengan demikian, diperlukan skala yang menggambarkan pengaruh
gempa pada wilayah tertentu seperti MMI di atas. Skala MMI menggambarkan kondisi yang
sebenarnya, namun kurang dapat dipakai sebagai acuan kuantitas yang dapat dipakai sebagai
perhitungan teknis karena tidak didasarkan pada besaran teknis energi gempa seperti skala magnitude.
Kelemahan utama skala intensitas MMI adalah bahwa pengukurannya didasarkan pada hasil
pengamatan personalyang sangat mungkin tidak standar karena tergantung masing-masing
individu. Untuk mengetahui tingkat daya merusak sebuah gempa yang lebih terukur; kemudian
dipakailah skala puncak percepatan tanah atau yang dikenal dengan PGA(Peok Ground
Acceleration). PGA kemudian menjadi standar intensitas gempa yang berkaitan dengan dasar
aplikasi perhitungan teknis di bidang rekayasa, seperti penentuan perhitungan struktur
bangunan tahan gempa, peraturan bangunan (building code), risiko ancaman bencana gempa
(hazord risk), dan sebagainya.
Peta potensi gempa (seismic hozard mops,) dapat dihasilkan dari sejarah gempa bumi di
masing-masing lokasi dengan memperhatikan PGA dan kecenderungan waktu periode kejadian
gempa (probability of exceedance PE) serta kondisi geografis setempat. Peta potensi gempa
selanjutnya menjadi pedoman bagi pengambil keputusan dan perencana berkaitan dengan
lingkungan aman gempa.
Gempa bumi diklaim dapat diperkirakan dengan menggunakan metode perkiraan untuk jangka
pendek dengan melihat fenomena terjadinya gempa kecil yang terus-menerus (seperti gempa
Lainong, China !975), tetapi itu tidak identik berlaku bagi semua kasus gempa. Perilaku aneh
hewan juga dikatakan dapat dipakai untuk menandakanakan terjadinya gempa, seperti
terbangnya kelelawar secara masif di luar kebiasaannya, ular-ular laut yang berbondong ke
daratan, ayam yang gelisah, dan sebagainya.
Gempa susulan adalah gempa yang terjadi sesaat setelah gempa pertama pada lokasi yang
sama namun dengan hiposentrum yang sedikit berbeda. Pada umumnya, gempa susulan
mempunyai magnitudo yang lebih kecil dari gempa utama (diteliti oleh Omori L894, Bath 1961),
namun tidak selamanya demikian.
Gempa besar dapat memiliki gempa susulan yang lebih banyak dan lebih kuat di mana
kemunculannya dapat bertahan dalam hitungan tahun atau lebih lama (misal, gempa New
Madrid yang bertahan hingga 200 tahun sejak gempa pertama L87L/18L2). Gempa susulan ini
justrusangat berbahaya, karena selain tidak bisa diramalkan, dapat berupa sebuah gempa
dengan magnitudo besar dan dapat menghancurkan bangunan-bangunan yang telah rusak
dikarenakan gempa utama sebelumnya.
Begitu mencapai permukaan bumi, gelombang gempa berubah menjadi energi yang akan
memengaruhi lingkungan manusia. Energi gempa dapat bersifat merusak dan juga tidak merusak,
bergantung pada aspek-aspek yang dapat memengaruhi intensitas gempa, seperti kekuatan
magnitudonya dan jarak, serta kedalaman sumber gempa, yang akan dibahas secara lebih detail
pada Bab 2 pada buku ini. Gempa dapat berubah menjadi bencana gempa jika pengaruhnya
terhadap lingkungan manusia merusak atau menimbulkan kerugian yang cukup signifikan.
Dampak tidak langsung yang diakibatkan gempa juga dapat memengaruhi baik tanah atau
bangunan, menyebabkan kebakaran, kerusakan prasarana, seperti pipa-pipa jaringan gas dan
minyak, serta kerusakansumber air bersih dan jaringannya. Sementara pada tanah, gempa secara
tidak langsung pada umumnya juga dapat menyebabkan banjir tanah longsori dan tsunami.
Dampak lain seperti yang pernah terjadiadalah pada fenomena tsunami pada air danau atau
bendungan yang disebut dengan seiche dan juga avalonche, yaitu runtuhnya salju pada
pegunungan atau daerah bersalju lain yang dapat mengakibatkan longsor atau banjir di daerah
yang lebih rendah.
Kerusakan akibat kegagalan pada setiap gempa bumi sangat penting untuk dipelajari agar berangkat
dari pengalaman tersebut tidak terulang kejadian yang sama di masa depan, sehingga tidak
menimbulkan bencana. Untuk itu, setiap kerusakan menjadi berharga karena kerusakan bangunan
akibat gempa akan memunculkan teori-teori baru berkaitan dengan keamanan bangunan. Belajar dari
kerusakan ini dapat dianggap sebagai "the mother of eorthquoke engineering" (Boen, 2001).
Gempa menewaskan sekitar 10.000 orang dari tahun L900-1999; tiga gempa bumi besar di Bhuj,
India (7,9 MS), El Salvador (7,6 MS), dan Arequipa, Peru (8,4 MS) mengakibatkan setidaknya
26.000 korban pada tahun 2001, kemudian pada tahun 2003, di Bam, Iran (6,6 MS) dengan
lebih dari 26.000 kematian, dan pada tahun 2004, di sumatra (9.3 MS) mengakibatkan lebih banyak
kematian hingga 280.000. Gempa Kashmir 8 oktober 2005 menyebabkan lebih dari 85.000 orang
terbunuh dan gempa bumi Jawa 27 Mei 27 2006 menewaskan lebih dari 6000 orang (USGS, 2006).
Selama satu abad (108 - periode tahun), kematian karena gempa telah lebih dari l-,8 juta. Beberapa
laporan terah menemukan bahwa bangunan runtuh memberikan kontribusi lebih dari 75 persen
kematian dari gempa selama abad tersebut (Elnashai dan Di Sarno, 2008).
Analisis risiko gempa harus dipertimbangkan dari berbagai macam aspek, dan bukan hanya pada
masalah pemeriksaan teknis saja, tetapi juga harus dinilai dalam hal kesesuaian denga kebiasaan
masyarakat dan aspek lainnya. Kerentanan, di sisi lain, adalah probabilitas hilangnyalingkungan
binaan karena gempa. Makin rentan, makin tinggi probabilitas kegagalan yang diharapkan dari
gempa. Kerentanan structural adalah kemungkinan kerusakan bangunan baik bagian atau
keseluruhan yang diperlukan untuk dukungan fisik ketika mengalami gempa
kuat atau bahaya lainnya.
Kerentanan seismik struktur bangunan adalah probabilitas kerusakan oleh gerakan tanah dalam
intensitas tertentu (Calvi, et.o\,2006). Kerentanan struktur akan sejajar dengan tingkat kerusakan
yang diperkirakan dari gempa bumi, namun berlawanan dengan tingkat keamanan bangunan.
Kerentanan keamanan tinggi berartitingkat keamanan rendah, dan sebaliknya.
Wilayah seismik Indonesia terkini terdiri dari i_5 zona gempa dari 6 zona sebelumnya yang
dirasakan tidak menggambarkan kondisi seismik yang sebenarnya.zona seismik ini dibedakan
berdasarkan tingkat percepatan tanah PGA<0,059 sampai ,7,2g.Penentuan wilayah seismik ini
menyesuaikan ketentuan the lnternotionol Buitding Code - tBC, 2000 yang menerapkan peta
spectral hozord untuk 2o/o kemungkinan maksimum selama periode desain 50 tahun (diambil dari
periode ulang gempa 2500 tahun). Maksudnya adalah selama periode 50 tahun akan ada
kemungkinan 2 persen terjadinya gempa bumi yang menyebabkan PGA yang ditetapkan.
Dari peta zonasi ini, secara garis besar; dapat diambil kesimpulan bahwa wilayah Indonesia yang
relatif rawan dari guncangan gempa sedang hingga besar meliputi 25 daerah, yaitu Aceh, sumatra
Utara (Simeuluei Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, Lampung, pandeglang (Banten), Jawa Barat,
Bantar Kawung, Yogyakarta, Lasem, Jawa Timur; Bali, NTB, NTT, Kepulauan Aru, Sulawesi
Selatan, sulawesi Tenggara, surawesi Tengah, sulawesi Utara, sangir Talaud, Maluku Utara,
Maruku selatan, papua bagian utara, Jayapura, Nabire, Wamena, dan Kalimantan Timur.
BAB 2
EFEK GEMPA PADA ARSITEKTUR
Efek gempa bumi pada arsitektur dapat sangat signifikan dan mempengaruhi keamanan serta
kekokohan bangunan. Gempa akan menyebabkan getaran pada tanah yang kemudian akan
menggerakkan struktur bagian bawah bangunan yang berdiri di atasnya[1]. Dalam perancangan
bangunan, penting untuk mempertimbangkan kemampuan bangunan dalam melawan efek gempa
bumi. Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan bangunan tahan gempa
meliputi analisis respon struktur baik dinamik maupun statik, konfigurasi bangunan, diafragma dan
ikatan lantai, hubungan dinding antar lantai dan atap, hubungan antar pondasi, bobot yang ringan,
kekuatan yang relatif di segala arah, serta ketahanan terhadap kebakaran.
Dalam mendesain bangunan tahan gempa, perlu memperhatikan elemen non-struktural pada
bangunan, seperti dinding pengisi dan tangga, yang cenderung menyebabkan kerusakan pada
struktur. Misalnya, dinding pengisi dapat merusak elemen struktur utama seperti kolom bangunan,
mengubah struktur, menyebabkan torsi atau pemutaran, serta menimbulkan bahaya bagi penghuni
dan pejalan kaki di sekitar bangunan.
Tindakan utama yang harus dilakukan adalah dengan membuat bangunan yang aman terhadap
gempa dengan tujuan utama meminimalkan korban jiwa. Konsep bangunan aman gempa tentu
berbeda dengan bangunan tahan gempa yang lebih menitikberatkan pada kekuatan struktur saja.
Prinsip bangunan aman gempa memperbolehkan bangunan mengalami kerusakan, bahkan runtuh
ketika gempa terjadi, namun pengguna harus dapat diselamatkan. Untuk keperluan ini, konsep
dasar perencanaan dan perancangan bangunan yang benar dan bersifat menyeluruh, yang disebut
dengan konsep arsitektuI harus dikedepankan ketimbang aspek-aspek yang lain.
Selama ini, permasalahan pengaruh gempa bumi pada bangunan hampir selalu dialamatkan
pada ahli bidang struktur ketimbang ahli yang lain yang menangani bangunan. Dampak gempa
pada bangunan sering kali hanya dibicarakan pada tataran teknis perhitungan kekuatan
bangunan. Hal ini dapat dikatakan benar namun kurang tepat karena kualitas keamanan
sebuah bangunan justru ditentukan bukan hanya semata-mata dari kekuatan strukturalnya,
namun lebih besar dari itu, yaitu konsep bangunan secara keseluruhan. Di samping itu, bisa
saja bangunan telah dihitung berdasarkan analisis struktur yang lengkap, namun pada
kenyataannya, gempa bumi sedang hingga besar hampir selalu merobohkan bangunan dan
tetap memakan korban dari bangunan yang sebelumnya diperkirakan kokoh tersebut.
Contoh terkini dari kondisi ini misalnya dapat kita temukan dari banyaknya kerusakan yang
memakan ribuan korban lebih dari 15.000 nyawa melayang dan lebih dari 1-25.000 bangunan
hancur dari peristiwa gempa dan tsunami 9.0 SR T6hoku, Jepang pada 3 Maret 20!L,yang
diketahui sebagai negara yang mempunyai bangunan paling siap terhadap gempa. Bahkan
reaktor nuklir Fukushima mengalami kerusakan pada tingkat berbahaya meskipun bangunan
itu 100% telah direncanakan aman terhadap gempa. Hal ini membuktikan bahwa perhitungan
struktur bukanlah satu-satunya pertimbangan utama dalam merancang bangunan aman
gempa.
Kita tidak dapat membandingkan secara rangsung dampak dari dua gempa yang berbeda
karena banyak aspek yang saling terkait, namun pada gempa yang sama, dampaknya pada
jenis-jenis bangunan dapat dibandingkan. Gempa yogyakarta 27 Mei 2006, misalnya, adalah
contoh dari kejadian gempa yang membuktikan masih banyak bangunan-bangunan tradisional
asli yang terbuat dari kayu masih banyak yang tetap berdiri dibanding bangunan sejenis yang
dibuat dari batu bata atau beton bertulang walau lebih dari 250.000 bangunan lainnya hancur
yang memakan lebih dari 6500 korban jiwa ,,hanya,, dengan gempa berkekuatan 6,2 SR.
Pada kasus-kasus gempa sedang dan besar; korban gempa Sebagian besar disebabkan oleh
kegagalan bangunan yang disebabkan oleh banyak aspek yang sebagian besar justru berkaitan
dengan fungsi dan bentuk bangunan, baik pada tataran makro atau mikro. Arsitek lebih banyak
berperan terhadap keselamatan sebuah bangunan disbanding disiplin ilmu yang lain, karena
arsitekrah yang menentukan konsep dasar perencanaan dan perancangan bangunan.
Di lain pihak, tentu bangunan secara umum memang tidak akan dibangun 100% tahan gempa
karena alasan kepraktisan, harga, dan sebagainya. secara lebih rinci, peran arsitek pada
bangunan aman gempa adalah sebagai berikut:
1. sebagai perencana utama dalam proses perencanaan dan perancangan, dan bahkan hingga
proses konstruksi lapangan.
2. Arsitek adalah profesi satu-satunya yang mempunyai pandangan menyeluruh lengkap
dibanding profesi lain dalam bangunan yang lebih cenderung mengerjakan bagian dari
bangunan.
3. Arsitek bekerja menyeluruh sebagai pemimpin sebuah tim yang melayani pemilik bangunan,
membawa ahli-ahli struktur; mekanik, dan lainnya ke dalam proses bangunan, dan juga
mengendalikan kerja kontraktor untuk konstruksi bangunan yang ideal yang diinginkan.
Dengan demikian, arsitek mempunyai posisi krusial yang akan memengaruhi tingkat
keselamatan bangunan terhadap gempa. Tanggung jawab arsitek initentu terletak pada kualitas
konsep dasar perencanaan dan perancangan yang berkaitan dengan disiplin struktur
bangunan. Dapat dipastikan pula bahwa selama ini belum pernah ada analisis statistika pada
ilmu-ilmu teknik sipil yang mampu menjamin keamanan bangunan dengan arsitektur yang rumit
yang biasanya lebih disukai oleh seorang arsitek. Oleh karena itu, arsitek menjadi kunci penting
dalam keselamatan bangunan terhadap gempa ini dibanding dengan insinyur struktur
sekalipun.
Bangunan gedung saat terjadi gempa pada intinya dipengaruhi oleh energi gaya gempa dan
beban gedung itu sendiri. Namun demikian, faktor lingkungan juga sangat menentukan
pengaruh gempa terhadap bangunan di suatu wilayah. Besarnya magnitudo gempa diketahui
tidak hanya satu-satunya faktor perusak bangunan. Dalam contoh kasus dua gempa besaI yaitu
gempa Sumatra 9.]- Mw Desember 2004 dan gempa Sumatra 8.6 Mw 1-l April 20L2,
mempunyai dampakyang sangat berbeda terhadap bangunan. Gempa 2004 tersebut sangat
merusak bahkan menimbulkan tsunami yang dahsyat hingga mencapai daratan Afrika,
sementara gempa 2012 tidak menimbulkan kerusakan berarti pada bangunan pada lingkungan
terdekat. Gempa 2004 menelan korban jiwa hingga 286.000, sementara gempa 2012hanya 2
korban jiwa (usGS).
Kedua gempa tersebut teryadi di sepanjang garis batas pelat Australia dengan pelat India,
hanya perbedaannya adalah bahwa gempa 2004 terladi lebih dekat dengan pulau Sumatra dan
berada di sisi dalam dari pertemuan garis pelat tanpa pelepasan energi sebelumnya dan dalam
area yang panjang (1300 km). Sementara gempa 20L2terjadidisisiluar garis pelat dan hanya
terjadi di area sepanjang 50 km. Gempa ini telah didahului oleh tiga gempa sebelumnya di
sekitar lokasi yang sama pada 19 April 2006 (Mw 6.2), 4 Oktober 2007 (Mw 6.2), dan L0 Januari
2012 (Mw 7.2) (USGS).
Amplitudo adalah properti gempa yang berkaitan langsung dengan kuat lemahnya/energi gempa
dikaitkan dengan jauhnya simpangan getaran/guncangan yang terjadi. Amplitudo berkaitan dengan
frekuensi, yaitu banyaknya getaran setiap detiknya. Frekuensi gelombang gempa yang tinggi identik
dengan amplitudo yang rendah, dan sebaliknya. Amplitudo gempa juga ditentukan oleh jarak
hiposentrum, episentrum, atau kedalaman sumber gempa. Makin dangkal atau dekat sumber
gempa, makin besar amplitude dan makin besar pula energi getarannya.
Getaran tanah dari gempa yang sederhana dapat digambarkan sebagai goyangan tunggal pada
tanah keras homogen dengan periode siklus gelombang kurang dari 0,2 detik dan amplitudo kecil
sebesar beberapa sentimeter saja. Selanjutnya, goyangan menengah selama 20 hingga 30 detik
dengan periode 0,5 sampai 6 detik dan amplitudo menengah kurang dari 20 cm. Seterusnya,
sebagai pergerakan tanah lambat sekitar 5 menit dengan periode siklus lebih dari 6 detik dengan
arah bervariasi sebagai akibat dari tanah lunak dengan amplitudo sekitar 30 cm (Krisnanto,
et.al,2OO9).
2. Akselerasi
Bangunan gedung pada umumnya dibuat untuk mengantisipasi beban-beban vertikal namun bukan
untuk beban horizontal. Akselerasi atau percepatan beban gravitasi (1 g = 9.8 m/detik) dapat ditahan
oleh bangunan, namun jika beban dengan percepatan ini terjadi secara horizontal, maka hampir
semua bangunan Gedung akan runtuh seketika. Perubahan kecepatan getaran pada struktur
bangunan dari nol hingga beberapa meter per detik akan membuat strukturi terutama dengan massa
tinggi (berat), akan mempertahankan posisinya, sementara gerakan eksternal bangunan mengajak
untuk bergerak sehingga kekuatan bangunan dalam hal ini dipertaruhkan.
Pada beberapa gempa dengan intensitas besar mempunyai akselerasi gempa 0.5-19. Sebagai
contoh, akselerasi dapat menjadikan gempa magnitudo, sedang menjadi bencana karena akselerasi
gempa sebesar 3-5 m/sec2 (t0.59) pada gempa Yogyakarta 27 Mei 2006 (Poland, 2010) dapat
merobohkan bangunan nonteknis dengan cepat. Karena kondisi endapan sedimentasi yang lunak
di area dekat sumber gempa bahkan akselerasi ini berlipat 2-3 kali lipat (Walter, et.o\,2011) atau
0.20-0.349 pada arah horizontal hingga 3.59 pada arah vertikal (Elnashai, et.o|,2007) sehingga
hampir tidak ada satu pun bangunan yang bertahan di daerah itu.
Karena jenis gelombang gempa bermacam-macam dengan perbedaan frekuensinya, maka sangat
mungkin frekuensi-frekuensi tersebut sama dengan frekuensi alamiah \ingkungan buatan manusia.
Bangunan akan bereaksi untuk menanggapi gerakan tanah dengan frekuensi tertentu sesuai
frekuensi alaminya. Kondisi ini menyebabkan efek yang disebut dengan gejala resonansi, yaitu ikut
bergetarnya sesuatu (dalam hal ini bangunan) karena mempunyai frekuensiyang sama. Efek
resonansi ini akan memperbesar Gerakan dan kekuatan gaya yang bekerja pada bangunan saat
gempa terjadi sehingga kemungkinan bangunan mengalami kerusakan akan lebih besar.
Periode resonansi sekitar 0,1 hingga 6 detik antara tanah dan bangunan akan memiliki dampak yang
signifikan. Dalam hal ini, bangunan pendek atau kaku akan terpengaruh lebih banyak dalam gempa
frekuensi tinggi, sedangkan gempa frekuensi rendah akan lebih banyak berpengaruh pada
bangunan tinggi atau bangunan dengan material fleksibel. Berkaitan dengan resonansi ini, gedung
sangat tinggi, bahkan akan relatif aman dari guncangan gempa karena menjauh dari frekuensi alami
gempa.
satuan MMI (Modified Mercalli lntensity scale) ditujukan untuk mengukur seberapa besar
intensitas gempa atau pengaruh sebuah gempa terhadap lingkungan manusia, terutama
berkaitan dengan kondisi bangunan setelah terjadi gempa. Skala intensitas MMI bahkan dilihat
dari tingkat kerusakan bangunan. Seberapa besar pengaruh intensitas gempa ini dipengaruhi
oleh banyak aspek serain kekuatan gempa itu sendiri, yaitu jarak dari hiposentrum/episentrum,
jenis tanah, waktu atau durasi getaran gempa, serta desain bangunan itu sendiri.
Magnitudo gempa menunjukkan skala energi gempa yang dikeluarkan dititik pusat ata hiposentrum
gempa. Makin besar magnitudo, makin besar pula energi yang akan memengaruhi lingkungan
manusia (lihat Bab L). Magnitudo saling berkaitan erat dengan sifat sumber gempa yang lai seperti
panjang patahan. Panjang dan besar patahan berkaitan dengan besar energi yang dikeluarkan dan
juga dengan durasi yang diperlukan. Bangunan tentu akan mudah dipengaruhi gempa dengan
magnitudo besar. Menurut pengalaman, gempa di atas 4 SR baru akan berpengaruh terhadap
bangunan dan kerusakan pada bangunan teknis mulai pada 5 SR. Akan tetapi, magnitudo bukanlah
satu-satunya penentu intensitas gempa terhadap bangunan. Mungkin saja gempa bermagnitudo
besar tidak berpengaruh terhadap bangunan jika aspek-aspek yang lain yang akan dibahas pada
bagian di bawah ini tidak cukup signifikan.
Jarak hiposentrum pada dasarnya mencakup jarak sumber gempa dengan bangunan secara
langsung, sedangkan jarak episentrum adalah jarak dari bangunan ke titik permukaan tanah tepat
di atas sumber gempa terjadi. Makin besar jaraknya, makin kecil pengaruh pada bangunan karena
energi gempa akan berkurang sejalan dengan panjang perambatan gelombang. Intensitas gempa
akibat jarak hiposentrum meliputi kedalaman dan jarak horizontalepisentrum ini. Sumber gempa ini
dibagi menjadi gempa dangkal dan gempa dalam. Gempa yang terjadi lebih dari 70 km bawah
permukaan bumi (di bawah tebal kerak bumi) termasuk gempa dalam. Demikian pula dengan gempa
yang terjadi pada jarak 200 km atau lebih, termasuk gempa jauh (USGS).
Tanah akan berpengaruh terhadap perambatan energi gempa dari sumbernya ke bangunan.
Pembesaran gerakan akibat perubahan energi gempa akibat efek resonansi disebabkan oleh jenis
tanah di daerah di mana gedung berdiri. Makin keras tanah, makin cepat perambatan gelombang
yang diteruskan (perubahan energimterhadap kecepatan gelombang) sehingga perubahan energi
menjadi gerak dapat diminimalkan.
Tanah lunak mempunyai perambatan gelombang <600 ftlsec. Sifat tanah selain menentukan
perambatan gelombang juga menentukan waktu getar alami tanah yang sangat berkaitan dengan
perambatan energi. Karakteristik tanah keras dan lunak ini banyak dipengaruhi struktur geologi
antara bangunan ke pusat gempa dan jenis lapisan tanah di lokasi bangunan.
Durasi gempa adalah rentang waktu guncangan tanah yang terjadi saat gempa. Gemp mempunyai
durasi yang berbeda, bergantung pada jenis runtuhan dan sifat patahan yang terjadi. Rentang waktu
guncangan akan sangat berpengaruh terhadap intensitas bangunan.
Begitu juga dengan jumlah gempa susulan yang terjadi setelah gempa utama. Walaupun relatif lebih
lemah kekuatannya, guncangan-guncangan kecil dalam waktu yang lama akan menambah tingkat
kerusakan bangunan. Banyak fakta membuktikan bahwa gempa susulan dampaknya dapat lebih
merusak bangunan karena bangunan tersebut telah dipengaruhi oleh gempa utama sebelumnya.
Bangunan tinggi dengan struktur fleksibel mempunyai frekuensi yang lebih rendah dibanding
bangunan rendah yang kaku. Redaman lebih berkaitan dengan sistem utama atau tambahan pada
struktur bangunan. Struktur dinding kaku dan brocing dikategorikan dalam redaman
ini. Demikian juga dengan bantalan fondasi fleksibel.
2.3 BANGUNAN GEDUNG DI BAWAH GUNCANGAN GEMPA
Gempa bumi yang besar menyebabkan getaran kuat pada tanah di bawah bangunan. Hal ini
menyebabkan fondasi ikut bergetar yang selanjutnya disebarkan ke seluruh bagian bangunan
dengan caranya sendiri sesuai jenis struktur dan bahan, serta aspek lain yang cukup rumit secara
detail.
Getaran gempa pada dasarnya adalah pergerakan tanah pada fondasi bangunan yang
menyebabkan fondasi ikut bergerak dan bagian paling atas bangunan cenderung tetap karena
mempertahankan potensi beban massanya sendiri. Makin besar energi gerak/amplitudo gempa,
makin besar pula pergerakan bagian bawah bangunan ini, sehingga bangunan gedung bagian
atas cenderung mengalami displacement atau perbedaan posisi yang cukup besar dibanding
bagian bawah.
Gerakan gempa pada tanah sayangnya tidak sekali, tetapi berulangulang, sesuai durasi gempa
disertai dengan perubahan percepatan. Perubahan percepatan membuat energi gerak getaran
tanah harus diterima oleh bangunan dan mengganggu kestabilan bangunan. Dampak dari
fenomena ini adalah kerusakan material elemen bangunan karena tidak kuat menahan beban
percepatan danjatuh/runtuhnya bangunan karena kestabilannya terganggu.
Pergerakan dinamis tanah di mana bangunan diletakkan menyebabkan gaya lateral (gaya
mendatar) dan vertikal pada bangunan. Gerakan gaya lateral mempunyai efekyang paling
merusakterhadap bangunan. Sebaliknya, gaya-gaya vertikal biasanya kurang signifikan untuk
dapat merusak bangunan (Hamburger dan Scawthorn, 2006).
Bangunan secara umum dibangun untuk melawan gaya gravitasi atau beban vertikal, tetapi
bukan untuk gempa yang membawa gaya horizontal dengan percepatan tertentu sehingga
gempa dapat mudah menghancurkan bangunan. Efek gaya gravitasi vertikal dan efek gaya
lateral yang dikombinasikan oleh gempa bumi akan menyebabkanoverturning moment atau
momen terbalik pada bangunan (lihat Gambar 2.L). Dengan demikian, makin berat bangunan,
makin tinggi pula potensi momen balik ini.
Daerah dengan kondisi kegempaan yang tinggi mungkin saja mengalami banyak gempa bumi
hampir setiap hari. Namun demikian, kerusakan struktural biasanya tidak teryadi sampai besarnya
magnitudo mendekati 5.0 SR (gempa menengah). Kerusakan struktural pada umumnya adalah
hasil dari kegagalan pada tanah, getaran struktur; dan atau penyebab lain (Yashinsky, 2006).
Kegagalan bangunan terhadap gempa bumi umumnya disebabkan oleh ketidakmampuan
bagianbagian bangunan tersebut untuk bekerja sebagai satu sistem dalam melawan gaya-gaya
lateral (Elnashai dan Di Sarno, 2008).
Beberapa aspek yang menyebabkan kegagalan bangunan akibat gempa, baik rusak, hancu1
maupun ambruk, berkaitan dengan kesalahan desain pada bangunan yang akan memengaruhi
kinerja sistem struktur; kerusakan pada elemen struktur karena kekuatan, kekakuan, dan
kelenturannya; sambungan elemen bangunan yang tidak tepat; kualitas pengerjaan dan bahan;
serta kegagalan tanah yang struktur fisiknya berubah akibat gelombang gempa.
Kesalahan yang terkait dengan bangunan dan goyangan gempa tersebut adalah:
1. Struktur yang berat
Massa tinggi atau bangunan yang berat, biasanya menggunakan adobe dan rumah beton bertuiangl
akan memrcu gaya inersia yang tebih besar saat terjadi gempa, t aiena besar amplitudo inersia akan
berband\ng \urus dengan massa struktur.
Struktur bangunan dengan periode getaran pendek akan mem_ punyai lebih banyak ayunan jika
teryadi gempa. Jenis struktur bangunan seperti ini pada umumnya mempunyai tingkat kerentanan
yang cukup tinggi, kecuarijika menggunakan sistem struktur yang lebih kuat. periode gerombang
gempa dengan rentang kurang dari 0,5 sampai 1,0 detik akan menciptakan perc-epatan tinggi pada
amplitudo gerakan tanah, dan kemudian akan menurun hingga akhir periode getar. Untuk arasan ini,
pada struktur dengan periode getaran pendek, respons percepatan pada bangunan umumnya besar
karena berbanding rurus dengan gaya inersia yang disebabkan oleh massa.
Kegagalan bangunan dapat dihindari pada elemen-elemen bangunan yang mendukung sistem beban
vertikal dengan menghindari penggunaan bahan-bahan rapuh. iika tidak, maka kekuatan yang lebih
tinggi harus diberikan dan massa konstruksi harus dikurangi. Kemampuan deformasi yang tinggi
dapat dicapai dengan penggunaan elemen struktural yang lemas dalam rangka untuk menunda
keruntuhan. Prinsip ini akan bekerja bahkan setelah terjadi kerusakan struktural yang signifikan.
4. Keruntuhan progresif
Kegagalan karena material yang rapuh akan berefek pada elemen struktural lainnya dengan modus
serupa. Bangunan ini akan runtuh mulai dari lantai di mana elemen rapuh telah gagal. Sebagai hasil
karena pengurangan resistensi lateral dan kehilangan daya dukung beban vertikal, akan
menyebabkan kegagalan berturut-turut lebih lanjut yang disebut sebagai kegagalan progresif akibat
elemen vertikal yang rapuh.
5. Konsentrasi kerusakan
Kegagalan elemen penyangga beban vertikar dari sebuah lantai biasanya akan mengakibatkan
runtuhnya bangunan. Sambungan dengan kekuatan tinggi antar elemen vertikal (bukan horizontal)
diperlukan dalam rangka mengatasi kerusakan elemen vertical dan memindahkannya pada elemen
horizontal. prinsip ini dikenal dengan prinsip kolom kuat balok lemah atau strong column weok beam.
Hal ini ditujukan untuk merindungi elemen utama struktur penyangga bangunan untuk menunda
keruntuhan lebih lanjut.
6. Penyimpangan vertical
Deformasi akibat gempa biasa terjadi pada aspek tertentu, seperti pada tingkat (lantai) fleksibel dan
atau lemah. Hal ini akan membuat kerusakan yang lebih lanjut pada elemen vertikal dan
mengakibatkan runtuhnya bangunan. Lantai lemah ini dikenal sebagai soft story, atau bukaan yang
terlalu lebar pada salah satu lantai yang sayangnya banyak digunakan dalam bangunan komersial atau
residensial pada lantai dasar. Soft story ini adalah contoh yang banyak dijumpai dalam penyimpangan
vertikal.
Penyimpangan vertikal lain juga dapat disebabkan oleh kolom yang tidak menerus di setiap lantai, berat
yang tidak sama atau menerus pada lantai-lantainya, atau bahkan kolom pendek (short column effect)
yang disebabkan oleh perbedaan tinggi antar lantai yang berbeda pada gedung bertingkat. Kolom yang
tidak menerus jelas akan memengaruhi penyaluran beban lateral ke fondasi bangunan.
7. Penyimpangan horizontal
Penyimpangan horizontal seperti yang dijumpai dalam denah bangunan dapat menciptakan struktur
asimetris yang mengarah pada ketidaksetaraan beban antara pusat massa. Hal iniakan menyebabkan
getaran torsi saat gempa. Kerusakan lebih parah diperkirakan akan terjadi pada elemen gedung yang
memiliki denah yang tidak sederhana dan bagian-bagian bangunan yang mempunyaijarak lebih jauh
dari pusat massa.
Bangunan yang tidak diletakkan berdekatan dengan benar atau terlalu dekat dapat menyebabkan
senggolan ketika gempa terjadi. Senggolan ini menyebabkan efek hommering atau pukulan yang
berkali-kali seiring dengan intensitas gempa yang terjadi. Benturan akan merusak kedua struktur
bangunan, terutama yang relatif lebih lemah. Dampak ini umumnya terjadi di bangunan di perkotaan
yang padat atau pada konfigurasi bangunan yang tidak benar.
9. Kontribusi elemen arsitektural dan non-struktural
Elemen non-struktural atau elemen arsitektural dapat mengurangi kinerja sistem struktur seperti
bukaan lebar; tangki berat pada atap, dan lain-lain. Elemen non-struktural seperti dinding berat (batu
bata) dapat berkontribusi secara signifikan terhadap kekakuan sistem struktur. Jika elemen ini tidak
terletak pada posisi keseimbangan, penyimpangan kekakuan atau bahkan penyimpangan torsi apat
menyebabkan kegagalan sistem. Elemen arsitekturaljuga dapat menyebabkan akibat fatal jika
mudah terjatuh dan menimpa penghuni di bawahnya. Elemen yang mudah jatuh bisanya terdiri dari
dinding, plafon, elemen interior seperti lampu gantung, dan sebagainya.
10. Fondasi
Fondasi adalah elemen penting untuk menyangga bangunan dan menyalurkan beban ke tanah.
Kegagalan fondasi menyebabkan kerusakan besar pada bangunan waraupun bangunan utama itu
sendiri tidak mengalami kerusakan. Fondasi dapat mengalami kegagalan umumnya karena tanah
rongsor; liquefoction, rembah yang hancur, pemadatan tanah, dan gaya diferensial.
Umur dan atau keadaan lingkungan yang memburuk akan merusak bahan struktur dan akan
langsung mengurangi kemampuan kinerja seismik bangunan.
Inkonsistensi dalam denah dan potongan umum digunakan dalam bangunan seperti desain vertikal
yang tidak menerus atau berjenjang (sidestepping), dan juga tinggi bangunan yang berbeda di
sekeliling bangunan utama (offsetting) akan menyebabkan konsentrasi stres. Asimetri dalam denah
dan tampak bangunan akan memindah beban dari struktur atas ke fondasi secara tidak menerus yang
akan mengakibatkan gangguan stres yang tidak diinginkan atau konsentrasi dan efek torsi. Lantai
pertama benar-benar terbuka tanpa dinding akan menyebabkan soft story yang menyebabkan
runtuhnya struktural.
Tujuan utama untuk membangun gedung aman gempa bukan untuk mencegah keruntuhan bangunan,
tetapi untuk melindungi manusia di dalam Gedung. Meskipun Gedung dengan 100% Tahan gempa
dapat dibangun, tetapi pada praktiknya, hal ini jarang di lakukan karena alasan ekonomis dan
fungsional.
Pada tahap tertentu, jika kemampuan daktilitas sistem struktur terlampaui terhadap energi yang datang,
elemen dari sistem struktur tersebut akan mengalami kerusakan. Kerusakan ini disebut dengan
kerusakan struktural. Pada puncaknya, bangunan tidak dapat lagi ke posisi awalnya dan akan
mengalami kerusakan besar hingga akhirnya mengarami keruntuhan.
Elemen yang paling berkaitan langsung pada sistem struktur adalah pada kekuatan kolom, sehingga
terdapat mekanisme strong column weak beam dan juga penggunaan struktur dinding geser (sheor
wolt) untuk struktur kaku beton bertulang agar bangunan masih dapat terus berdiriwalaupun mengalami
kerusakan. sementara bracing atau penggunaan konstruksi batang diagonal dilakukan untuk sistem
strukturfleksibel kayu dan baja.
3.1.2 KONSEP EKUILIBRIUM BANGUNAN
Struktur bangunan adalah media untuk menyalurkan beban bangunan ke tanah dalam rangka
mendukung konsep arsitektur. struktur yang baik harus dibangun sedemikian rupa sehingga memiliki
kemampuan untuk mengantisipasi beban dari segala arah.
Beban dapat dibedakan sebagai: beban mati atau beban statis, yaitu semua bagian-bagian bangunan
termasuk system strukturi mekanik, dan utilitas; beban hidup atau beban dinamis sebagai hasil
darifungsi bangunan termasuk pengguna dan peralatan yang digunakan; beban eksternal atau beban
alami yang berasal dari angin, salju, hujan, banjir gempa bumi, dan sebagainya; beban konstruksi, yaitu
beban yang dipertimbangkan dalam proses konstruksi, seperti alat-alat dan pekerjaan pekerja di
bangunan; dan beban tambahan lainnya.
Pada struktur bangunan, semua beban-beban itu diubah menjadi energi yang memiliki besaran dan
arah yang disebut dengan gaya. Gaya dalam bangunan harus dalam keadaan ekuilibrium, yang berarti
setiap gaya yang dihasilkan dari banyak beban bangunan harus dilawan dengan gaya internal
bangunan ke arah yang berlawanan sehingga dapat dicapai keseimbangan.
Ekuilibrium mempunyai arti bahwa selain terjadinya keseimbangan beban dan gaya internal, juga
bangunan harus dalam kondisi stabil, tidak terjadi rotasi atau pergeseran.
Metode pasif lebih banyak dipakai pada bangunan karena lebih mudah dikerjakan dan murah harganya.
Hanya pada bangunan-bangunan modern yang fungsinya dianggap sangat penting menggunakan
sistem aktif ini. Bahkan pada bangunan tertinggi di dunia pun menggunakan sistem pasif, antara lain
Menara Taiwan 101 (1-01 lantai) yang menggunakan sistem bandul massa sebagai damper.
Kekakuan bangunan dan daktilitas yang terkait dengan gaya lateraljuga dapat dikaitkan dengan berat
bahan bangunan yang digunakan. Dalam hal ini, rangka beton bertulang dikombinasikan dengan
dinding bata juga kurang ulet dari baja dan bingkai kayu.
Kebanyakan struktur bangunan direkayasa untuk tidak sepenuhnya agar tahan gempa, tetapi didesain
hanya untuk mencegah keruntuhan (Otani, 2004; Yashinsky, 2006; Scawthorn, 2006). Lebih lanjut,
bahkan bangunan dengan massa yang sangat kuat pun dapatjuga terjadi kegagalan di bawah
guncangan gempa (Erdey, zOOi).
Baik beban lateral maupun vertikal harus dipertimbangkan untuk bangunan tahan gempa untuk dapat
memfasilitasi gaya seismik gempa. Gaya beban harus diarahkan dari asalnya ke bawah melalui sistem
struktural dan berakhir di fondasi. Prinsip sistem untuk menahan gaya lateral sangat penting dalam
mengamankan struktur pada posisinya. Sistem tersebut akan menolak atau mengakomodasi
perubahan disebabkan oleh kekuatan gempa yang terjadi untuk mereka secara paralel (Hamburger
dan Scawthorn, 2006).
Selanjutnya, Eurocode 8 memberikan panduan prinsip untuk desain tahan gempa, khususnya pada
sistem struktur utama, harus mengikuti konsep-konsep berikut (dikembangkan dari BSI, 2005):
1. Kesederhanaan struktur
Struktur yang sederhana adalah struktur yang ditandai dengan menggunakan jalur penyaluran beban
yang tidak terganggu, menerus, dan langsung pada sistem struktur bangunan untuk transmisi beban
gempa ke dalam tanah.
a. Kesederhanaan, simetri, dan redundansi
Bagaimanapun juga, bangunan yang ditujukan khusus aman dari gempa tidak perlu dibangun di
semua tempat. Hanya di atas tanah yang terletak diwilayah rawan gempa sajalah bangunan ini
perlu dibangun. Untuk itu, perlu data yang lengkap mengenaisifat seismisitas baik makro maupun
mikro suatu wilayah. seismisitas makro berkaitan dengan sifat seismik secara regional yang dapat
ditemukan pada peta zonasi seismik yang dikeluarkan oleh otoritas yang bersangkutan, dalam hal
ini BMKG/Pekerjaan umum untuk Indonesia.
Seismisitas mikro juga merupakan aspek yang sangat penting karena zonasi pada seismisitas
makro relatif tidak bersifat sama pada lahan satu dengan lahan yang lain. Kondisi lapisan tanah
lokal dan kandungan air serta topografiwilayah akan menentukan seismisitas mikro suatu lahan.
Topografi lahan dan sekitarnya juga menjadi aspek penting untuk bangunan aman gempa. Kondisi
topografi akan memengaruhi bangunan secara tidak langsung yang menyebabkan bangunan
mengalami kerusakan akibat llquefoction, tanah bergerak pada lereng gunung, atau tanah longsor.
Secara arsitektural, bangunan harus sesuai lingkungannya. Kata sesuai dalam hal ini berarti
"benar" dibangun di lingkungunny.. Bangunan yang benar atau tepat untuk lingkungannya
selanjutnya disebut ,,kontekstual", yaitu bangunan yang dibangun bukan saja hanya dalam hal
langgam arsitektur dengan gaya tertentu bangunan sekitaa akan tetapi justru berkaitan dengan
sifat fisik alam sekitar.
Langgam bangunan sekitar belum tentu mempunyai nilai kontekstuaritas yang baik terhadap
lingkungan. Mungkin saja langgam bangunan tidak sesuai lingkungannya karena pengaruh aspek
tertentu, seperti perubahan gaya bangunan akibat pengaruh luar; kondisi perekonomian, dan
sebagainya. Sebagai contoh, bangunan tradisional dirndonesia dulu selalu dibuat dengan
konstruksi kayu. selain kayu banyak dijumpai di lingkungan tropis Indonesia, bahan bangunan ini
bersifat ringan dan tidak menyimpan panas sehingga sesuai untuk wilayah Indonesia yang
sebagian besar berpotensi gempa tinggi serta iklim yang lembap.
Penggunaan material atau bahan bangunan sangat memengaruhi kinerja bangunan terhadap
guncangan gempa. Bahan bangunan berkaitan dengan keselamatan terhadap gempa bumi pada
dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu material yang mempunyai massa tinggi (berat) dan material
yang bermassa rendah (ringan).
Penggunaan bahan kayu dan baja juga mempunyai kelemahan. Material kayu harus diperhatikan
masa usia pakai, karena kayu yang tidak dilindungi akan mudah lapuk dan kekuatannya sangat
menurun, sehingga mudah hancur jika mendapat beban gempa' Korosi pada baja juga harus
diperhatikan agar tidak memperlemah kekuatan material.
Bangunan juga mempunyai frekuensi getar alami yang sebanding dengan bahan bangunan.
Bangunan-bangunan rendah akan mempunyai frekuensi getar alami yang tinggi, dan sebaliknya
dengan bangunanbangunan tinggi. Dengan demikian, gempa dengan frekuensi tinggi, yaitu
gempa yang cenderung mempunyai hiposentrum dangkal dan atau episentrum yang relatif dekat
dengan bangunan akan cenderung mempunyai frekuensi tinggi, dan bangunan rendah akan lebih
banyak terpengaruh dibanding bangunan tinggi karena mempunyai frekuensi yang sama.
Pada bangunan rendah, pada umumnya kerusakan yang terjadi adalah rusaknya atau gagalnya
sistem struktuL sedangkan pada bangunan tinggijuga dapat terguling, baik karena kegagalan
fondasi akibat liquefoction atau momen guling yang tinggi.
Dalam pembahasan ini, perbaikan ditujukan pada sebagian besar kasus yang dijumpai, termasuk
perbaikan kondisi tanah. Kasus-kasus tersebut meliputi:
a. Kasussoftstory
Soft story atau lantai dasar bangunan yang tidak menggunakan dinding pada sisi-sisi luarnya
sering terjadi pada bangunan, terutama pada lantai dasa[ karena alasan yang beragam. Kasus
ini sangat banyak dijumpai hampir di semua tempat, baik di negara maju atau negara
berkembang.
b. Kasus hubungan kolom-balok yang lemah
Pada sistem struktur beton bertulang, mekanisme rangka kaku atau rigid frame diperoleh dengan
sambungan kolom dan balok yang kaku/jepit. Pada sebagian bangunan, terutama yang tidak
diperhitungkan terhadap beban lateral gempa, kolom dan balok dibuat dengan dimensiyang
minimal. Akibatnya, jika terjadi gaya lateral gempa, sambungan-sambungan ini akan "dipaksa"
untuk menerima beban dan bersifat sebagai sendi. Kondisi ini membuat sambungan-sambungan
kolom balok mengalami kerusakan yang dapat mengakibatkan keruntuhan pada bangunan.