Anda di halaman 1dari 33

PRINSIP PERANCANGAN KAWASAN RAWAN GEMPA

Merangkum Buku : Prinsip-Prinsip Desain Arsitektur Tahan Gempa


( BAB 1 – BAB 3)

DISUSUN OLEH :
INDRIE ADELIA EKA PUTRI_210160137

PRODI ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK SIPIL
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
TAHUN AJARAN 2023 / 2024
BAB 1
GEMPA BUMI

Gempa burni adalah getaran tanah yang diakibatkan oleh pelepasan €nergi dengan Cgpat yang terjadi
di dalam lapisan bumi yang disebabkan oleh berbagai hal yang berbeda, misalnya pergeseren lapisan
tanah, aktivitas vulkanik, atau akibat ledakan buatan manusia seperti yang dilakukan pada
pertambangan atau percobaan bom dan sebagainya. Namun demikian, gempa- gempa bumi besar
atauyang sangat dirasakan oleh manunusia, selama ini diketahui kebanyakan sebagai gejala Gerakan
aktif tektonik bumi akibat lapisan tengah bumi yang masih panas dan cair.

1.1 BUMI DAN GEMPA

Gempa bumi besar yang terjadi di bumi ini terkait dengan aktivitas tektonik lapisan bumiyang terjadi,
terutama pada batas lempeng-lempeng benua. Pergerakan-pergerakan tabrakan, pergeseran, dan
perpisahanlempeng yang terakumulasi inilah penyebab utama terjadinya gempa bumi. Menurut para
ahli, terjadinya gempa tektonik dipengaruhi oleh hal-hal di bawah ini.
1.1.1 TEORI PERGERAKAN LEMPENG BUMI
Teori pergerakan lempeng bumi adalah teori besar dalam bidang geologi yang menjelaskan
tentang fakta pergerakan besar lapisan permukaan paling atas bumi atau litosfer secara alami.
Litosfer terdiri dari kerak bumi dan mantel bumi yang keduanya memiliki sifat kaku dan padat.
Oleh karena itu, bagian litosfer tersebut mengalami proses sehingga menjadi lempeng-lempeng
tektonik yang mengalami pergerakan sehingga menimbulkan pembentukan tinggi rendahnya
suatu permukaan bumi.

Terdapat tiga jenis batas lempeng tektonik berdasarkan pergerakan lempeng secara relatif
terhadap satu dengan lainnya, yaitu batas divergen, batas konvergen, dan batas transform.
Gempa bumi, aktivitas vulkanik, pembentukan gunung, dan pembentukan palung samudera
semuanya umumnya terjadi di daerah sepanjang batas lempeng. Pergerakan lempeng-
lempeng ini disebabkan oleh adanya arus konveksi, yaitu berupa perpindahan energi panas
yang terjadi di lapisan astenosfer.

Menurut teori tektonik lempeng, permukaan bumi terluar/litosfer ini terbagi atas kira-kira 15
pecahan besar dan kecil yang disebut lempeng/pelat benua. Lapisan lempeng ini adalah lapisan
litosfer padat namun selalu bergerak dengan arah dan kecepatan tertentu yang berbeda satu
sama lain. 1-5 lempeng dunia tersebut saling bersentuhan sisi-sisinya yang disebut dengan
batas lempeng. Karena berada di atas astenosfer yang cair dengan arus konveksi yang
memindahkan panas melalui zat cair atau gas inti bumi, lempeng-lempeng benua ini saling
bergerak satu sama lain dengan berbagai cara, saling menjauh, saling bertumbukan, atau saling
menggeser ke samping. Gerakan-gerakan ini disebut divergen (rift zones), konvergen
(subduction zones), dan transform zones (tronscurrent hor'zontol slip).

Proses tektonik ini menyebabkan gempa yang lebih besar jika dibandingkan dengan gempa
yang diakibatkan oleh aktivitas vulkanik gunung berapi. Apabira pusat gempa teryadi di lautan
atau samudra dengan magnitudo yang besar dan lokasi yang dangkal dan luas, gempa dapat
menimbulkan gelombang pasang air laut yang tinggi yang disebut dengan tsunami. contoh
gempa disertai tsunami yang dahsyat terjadi pada tanggar 26 Desember 2004, di mana gempa
Aceh atau yang disebut dengan sumotra-Andomon eorthquoke sebesar 9.1 Mw (usGS) telah
menimbulkan kerusakan berat bangunan-bangunan di Aceh dan mengakibatkan gerombang
tsunami puluhan meter di Samudra Hindia yang menyapu tepi pantai daerah Bangladesh, India,
Malaysia, Myanmar; Thailand, Singapura, Kepulauan Maldives, dan berjalan hingga pantai
timur Afrika. Gempa ini terjadi akibat tabrakan subduksi lempeng Indo-Austraria (tepatnya
Lempeng India) ke lempeng Euroasia (Burma) (Bilham,2005).

1.1.2 SABUK SEISMIK

Sabuk seismik dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai "garis seismik" atau "peta
seismik. Garis seismik adalah garis yang menunjukkan lokasi gempa bumi yang terjadi di suatu
wilayah, sedangkan peta seismik adalah peta yang menunjukkan lokasi gempa bumi dan
aktivitas seismik lainnya di suatu wilayah. Metode seismik sendiri adalah salah satu metode
eksplorasi yang didasarkan pada pengukuran respon gelombang seismik (suara) yang
dimasukkan ke dalam tanah dan kemudian dianalisis untuk memperoleh informasi tentang
struktur bawah permukaan bumi.

Garis batas benua ini wujud fisiknya dapat berupa palung baik di daratan maupun di rautan
sebagai hasil dari pemisahan pelat atau barisan pegunungan sebagai hasil dari tumbukan dua
pelat. Palung yang dalam di samudra Atlantik adalah hasil patahan antara pelat Eurasia dan
Amerika Utara (bagian Utara), dan antara pelat Afrika dan Amerika Selatan (bagian Selatan).
Sementara Pegunungan Himalaya adalah hasil dari tumbukan perat India dan Eurasia. Gempa
bumi pada umumnya terjadi di sekitar garis batas benua ini atau cabang-cabangnya yang
disebut dengan patahan (sesar).

Gempa bumi besar lain seperti gempa bumi Samudra Hindia pada tanggal 26 Desember 2004,
gempa Kashmir 8 Oktober 2005, dan gempa bumi Jawa 27 Mei 2006 dan L7 Juli 2006 dihasilkan
oleh sabuk Eurasio. Sabuk ini membentang mulai dari sepanjang bagian utara Laut Mediterania,
Asia Tengah, bagian selatan Pegunungan Himalaya, dan Indonesia. Untuk alasan ini, diwilayah
Indonesia telah sering terjadi gempa dalam periode dan intensitas yang tinggi karena memiliki
kedua sabuk seismik yang paling aktif di dunia tersebut.
1.2 GEMPA BUMI DAN SIFAT FISIK NYA
Gempa bumi adalah fenomena alamiah yang pasti terjadi sewaktuwaktu karena pertumbuhan bumi itu
sendiri. Di bumi ini, setiap hari hampir dapat dipastikan teryadi gempa bumi, namun sebagian besar
tidak dapat dirasakan oleh manusia. Gempa bumi hanya akan menganggu Satah satu jenis alat
seismometer ganggu kehidupan manusia jika energinya sampai pada permukaan bumi. sifat-sifat fisik
gempa harus dipelajari untuk dapat menganalisis bagaimana gempa memengaruhi lingkungan
manusia.

1.2.1 GELOMBANG GEMPA DAN MEKANISMENYA:


Perambatan Energi Gempa

Aspek utama gempa berkaitan dengan kemampuannya memengaruhi lingkungan manusia


adalah karena energi yang dilepaskannya. Energi ini berasal dari pusat gempa (hypocenter)
yang diteruskan hingga permukaan tanah melalui perambatan gelombang didalam tanah.
proses perambatan energi menjadi gelombang seismik dan guncangan di permukaan bumi ini
disebut osilasi (oscillations), yakni ilmu yang membahas tentang gelombang gempa bumi. pada
bagian ini, akan dibahas secara garis besar bagaimana energi tersebut disalurkan.

Besar kecilnya energi gempa dicatat dengan alat seismometer berupa diagram gelombang
gempa yang dikembangkan pertama kali pertama kali oleh matematikawan Chang Hengzaman
Dinasti Han pada tahun 132 sM, yang kemudian dikembangkan oleh ilmuwan John Milne,
James Alfred Ewing, dan Thomas Gray, di Jepang tahun 1gg0 hingga 1895, dan juga wood-
Anderson tahun rg2o di Amerika. prinsip kerja alat ini menggunakan bandul yang diberi pena
pada ujung lain sehingga sensitif dengan pergerakan dan menghasilkan diagram. Pada
diagram, pergerakan bumi akibat gempa dicatat pada arah utara-selatan, timur-barat, dan pada
arah vertikal sehingga tergambar bentuk masing-masing gelombangnya. seperti halnya pada
gelombang-gelombang yang lain, gelombang seismik ini mempunyai properti seperti frekuensi,
amplitudo, dan periode yang mencerminkan sifat fisik gempa, seperti kuat dan jarak sumber
gempa.

Pada dasarnya, energi seismik gempa disarurkan ke permukaan tanah melalui empat jenis
gelombang seismik elastis yang dinamakan dengan gelombang P (Primer), S (Sekunder), L
(Love), dan R (Rayleight). Gelombang P dan S dinamakan atas pembedaan sifatnya,
sedangkan L dan R dinamakan atas nama penemunya. Gerombang-gerombang tersebut
dipisahkan menjadi dua, yaitu gelombang dalam dan gelombang permukaan.

1. Gelombang Dalam ( Body Waves)

Gelombang dalam adalah gelombang yang berasal langsung dari sumber gempa (hypocenter) yang
berjalan melalui lapisan di bawah permukaan bumiyang terdiri darigelombang primer p dan sekunder
S. Gelombang P adalah gelombang gempa yang bergerak dengan arah longitudinal atau searah
dengan rambatan gempa sehingga dapat dikatakan sebagai gelombang dorong atau push wove.
Sementara gelombang S adalah gelombang gempa yang bergerak dengan arah transversal atau
tegak lurus dengan rambatan gempa sehingga dinamakan sebagai gelombang kejut atau shock
wove.

Gelombang P merambat di semua media padat atau cair, dan berjalan paling cepat antara 1,5
hingga 8 kilometer per detik, sedangkan gelombang s merambat lebih lambat, sekitar 50% sampai
60% dari kecepatan gelombang p (Elnashai dan Di Sarno, 2009). Namun demikian, karena bergerak
cepat, kekuatan gelombang p sangat rendah, sekitar sepersepuluh dari gelombang S. oleh karena
itu, gelombang ini kemungkinan besar tidak dirasakan oleh manusia. Gelombang P adalah
gelombang seismik dengan potensi lebih sedikit menimbulkan kerusakan.

Gelombang transversal s mempunyai kecepatan sekitar setengah (tepatnya L,7 : L) dari gelombang
p yang secara umum dalam meter per detik pada tanah tertentu adalah 60 untuk pasir; 1-00 untuk
pasir direklamasi, 250 tanah liat, 600 untuk kerikir, dan 1000 untuk batuan tersier (Erdey, 2007).
Namun demikian, gelombang p tidak dapat merambat pada benda cair. Karena bergetar ke arah
samping (shock wove), maka gelombang S menciptakan amplitudo yang besar sehingga sangat
berpotensi menimbulkan getaran besar yang berakibat pada kerusakan lingkungan manusia.

Perbedaan kecepatan antara gelombang p dan s ini digunakan oleh para seismolog untuk
menentukan pusat atau hiposentrum gempa. Begitu gelombang S tiba, besarnya getaran tanah
akan dicatat oleh diagram dalam seismograf. Sebagai contoh, gerombang S tiba setelah dua
menit dari gelombang p yang berkecepatan 1000m/detik. Maka lokasi pusat gempa adalah 1000
x 1,20 = 120.000 m atau 120 km dari lokasi seismograf.
Di masa depan, perbedaan kecepatan gelombang p dan S ini dapat dipakai untuk peringatan dini
terjadinya gempa walau waktu yang diberikan relatif sangat sempit. Karena lebih rambat dengan
arah gelombang tegak lurus dari arah perjalanannya (perpendiculor), gelombang s akan lebih
banyak menimbulkan kerusakan karena gelombang ini menyebabkan gerakan baik vertikar atau
horizontal pada tanah yang akan memengaruhi pergerakan kawasan permukaan.
2. Gelombang permukaan (surfoce waves)

Gelombang permukaan terjadi pada permukaan tanah yang juga dibedakan menjadi dua jenis:
gelombang L (Love) dan gelombang R (Rayleigh). Gelombang L dihasilkan dari pantulan dan
pecahan gelombang dalam dan hanya menyebabkan pergerakan ke arah samping (loteral
movement). Oleh karena itu, gelombang L dapat diartikan sebagai lateral wove. Karena gelombang
L ini sebenarnya adalah kelanjutan gelombang S yang bekerja di permukaan bumi dengan arah
getaran menyamping, maka gelombang ini bersifat merusak.

Gelombang R adalah gelombang sebagai hasil dari komprikasi pantulan-pantulan gelombang


gempa yang datang paling akhir dengan sifat berputar (rolling). Oleh karena itu, gelombang R
diartikan pula sebagai rolling wove. Gelombang ini adalah gelombang yang paling berbahaya di
antara semua jenis gelombang gempa bumi karena tidak hanya menyebabkan pergerakan ke
samping, namun juga ke atas dan ke bawah. Namun demikian, gelombang R yang signifikan hanya
terjadi pada gempa-gempa besar atau pada daerah dekat dengan hiposentrum.
1.2.2 KLASIFIKASI KEKUATAN GEMPA

Hingga saat ini, kekuatan gempa seismik diukur dengan dua cara: skara energi yang
dikeluarkan (energy-based measurements) dan skala intensitas akibat gempa
(phenomenological scoles). Kedua skala ini sama pentingnya dalam menentukan besar dan
pengaruh gempa bumi. Skala kekuatan gempa bumi umumnya diukur menggunakan Skala
Magnitudo. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Indonesia menggunakan
Skala Magnitudo (M) sebagai ukuran kekuatan gempa bumi. Skala Magnitudo menggambarkan
besarnya energi seismik yang dipancarkan oleh sumber gempa. Besaran yang terukur melalui
Skala Magnitudo dinyatakan dalam bilangan bulat dan pecahan desimal. Berdasarkan
pengukuran gerakan maksimum yang direkam oleh seismograf, gempa bumi diklasifikasikan
sebagai berikut:

- Magnitudo 2.5 sampai 5.4: Menyebabkan kerusakan ringan.


- Magnitudo 5.5 sampai 6.0: Mengakibatkan kerusakan ringan pada bangunan.
- Magnitudo 6.1 hingga 6.9: Menyebabkan banyak kerusakan di daerah yang sangat padat
penduduk.
- Magnitudo 7,0 hingga 7,9: Terkategori sebagai gempa besar yang mengakibatkan kerusakan
serius.
- Magnitudo 8.0 atau lebih: Termasuk gempa besar yang bisa menghancurkan wilayah
pusatnya.

1. Skala Magnitudo

Satuan yang umum digunakan untuk mengukur kekuatan gempa adalah skala Richter magnitude
(SR) berdasarkan besaran energi yang dihasilkan. Pengukuran kekuatan gempa diambil dari
besarnya energi pusat gempa yang didasarkan pada besar kecilnya amplitude yang dicatat oleh
seismograf. Satu milimeter amplitudo seismograf pada jarak 100 km dengan sumber gempa setara
dengan 3 SR. Skala ini diperkenalkan oleh Charles F. Richter tahun l-934 berdasarkan pada 10
skala logarithmic yang didapatkan dari perhitungan logaritma amplitudo dari diagram seismograf.
Sebagai contoh, gempa bumi dengan kekuatan 5 SR mempunyai amplitudo 10 kali lebih besar dan
berkaitan dengan energi yang dihasilkan sebesar V1-000 = 31.6 dari 4 SR. Selanjutnya, gempa 6
SR mempunyai energi sekitar 1000 kali lipat (3L.6'z) dari4 SR, dan seterusnya. Setiap kenaikan 0.2
SR dapat diartikan dua kali lipat energi yang dihasilkan. Skala Richter ini ideal digunakan pada
rentang 3 hingga 6.5 SR. Gempagempa yang lebih besar dari itu tidak efektif lagi menggunakan
skala ini. Oleh karena itu, dengan berdasarkan pada skala Richter; dikembangkan skala Moment
Magnitude untuk mengukur gempa di atas 6.5 SR (USGS).

2. Skala Intensitas

Mercalli Modified lntensity scale atau disingkat dengan MMI adalah satuan besaran gempa
berdasarkan jenis dampak pengaruhnya terhadap lingkungan. Satuan ini adalah hasil "perasaan"
pengamat di lokasi akibat gempa mereka berada, tidak bergantung pada besarnya magnitudo
gempa, namun relatif bergantung pada jarak dengan pusat gempa dan lingkungan sekitar yang
memengaruhinya. Skala intensitas gempa awalnya dikembangkan oleh vulkanolog Italia Giuseppe
Mercalli pada tahun 1884 dan L906 dengan menggunakan sepuluh tingkat skala. Skala ini kemudian
dikembangkan menjadi 1-2 tingkatan oleh Cancani dan Sieberg (1902), kemudian oleh Wood dan
Newman (1931), dan juga oleh Charles Richter menjadi Modified Mercolli lntensity scale (MMI)
seperti sekarang ini. Skala MMI dimulai dari I (intensitas kecil) hingga XII (intensitas besar). Berikut
adalah kuantitas skala MMI dan intensitas yang dihasilkannya.

Dua buah gempa bermagnitudo yang sama belum tentu berdampak sama pada suatu daerah karena
dipengaruhi oleh banyak hal, termasuk jarak episentrum dan kedalaman hiposentrum, jenis kandungan
tanah geografi, dan sebagainya. Dengan demikian, diperlukan skala yang menggambarkan pengaruh
gempa pada wilayah tertentu seperti MMI di atas. Skala MMI menggambarkan kondisi yang
sebenarnya, namun kurang dapat dipakai sebagai acuan kuantitas yang dapat dipakai sebagai
perhitungan teknis karena tidak didasarkan pada besaran teknis energi gempa seperti skala magnitude.

1.2.3 PUNCAK PERCEPATAN TANAH (Peak Ground Acceleration)

Kelemahan utama skala intensitas MMI adalah bahwa pengukurannya didasarkan pada hasil
pengamatan personalyang sangat mungkin tidak standar karena tergantung masing-masing
individu. Untuk mengetahui tingkat daya merusak sebuah gempa yang lebih terukur; kemudian
dipakailah skala puncak percepatan tanah atau yang dikenal dengan PGA(Peok Ground
Acceleration). PGA kemudian menjadi standar intensitas gempa yang berkaitan dengan dasar
aplikasi perhitungan teknis di bidang rekayasa, seperti penentuan perhitungan struktur
bangunan tahan gempa, peraturan bangunan (building code), risiko ancaman bencana gempa
(hazord risk), dan sebagainya.

Peta potensi gempa (seismic hozard mops,) dapat dihasilkan dari sejarah gempa bumi di
masing-masing lokasi dengan memperhatikan PGA dan kecenderungan waktu periode kejadian
gempa (probability of exceedance PE) serta kondisi geografis setempat. Peta potensi gempa
selanjutnya menjadi pedoman bagi pengambil keputusan dan perencana berkaitan dengan
lingkungan aman gempa.

1.2.4 PEMANTAUAN GEMPA DAN PREDIKSINYA

Kecenderungan terjadinya gempa dapat dilakukan dengan melakukan pengawasan dan


pencatatan dan perhitungan secara teratur aktivitas seismik di suatu wilayah walaupun prediksi
yang tepat kapan gempa bumi terjadi masih belum dapat dilakukan hingga saat ini. Monitoring
dan pencatatan seismograf adalah metode yang kini masih paling banyak digunakan untuk
memperkirakan periode kurun waktu terjadinya gempa. Beberapa metode lain juga dilakukan
antara lain sebagai berikut:
1. Slope meter, digunakan untuk mengukur perbedaan perubahan posisi lereng di dekat
patahan atau sesar aktif gempa.
2. Distonce meters, alat yang juga digunakan untuk mengukur perubahan jarak pada dua
landmark seperti misalnya jarak antara dua puncak gunung yang berdekatan yang diukur
dengan laser atau dengan memanfaatkan satelit melalui Globol Positioning System (GPS).
3. Foults, mencatat pergerakan sesar atau patahan pada kedua sisinya dengan metode di atas.
4. Perubahan pada tingkat kelajuan rayapan tanah pada lereng sekitar patahan.
5. Mengamati residu arang pada kedua sisi sesar atau patahan dengan menggunakan metode
corbon dating untuk melihat periode pergerakannya.
5. Perubahan pada level permukaan air tanah pada sumur air yang meninggi sebagai hasil
pemadatan pada bebatuan di dalam tanah. Secara teori, segala perubahan yang tiba-tiba
atau keluar dari kondisi rormalnya dapat dikatakan sebagai pertanda akan terjadinya gempa
akibat akumulasi energi yang besar sebelum terjadinya gempa.

Gempa bumi diklaim dapat diperkirakan dengan menggunakan metode perkiraan untuk jangka
pendek dengan melihat fenomena terjadinya gempa kecil yang terus-menerus (seperti gempa
Lainong, China !975), tetapi itu tidak identik berlaku bagi semua kasus gempa. Perilaku aneh
hewan juga dikatakan dapat dipakai untuk menandakanakan terjadinya gempa, seperti
terbangnya kelelawar secara masif di luar kebiasaannya, ular-ular laut yang berbondong ke
daratan, ayam yang gelisah, dan sebagainya.

1.2.5 GEMPA SUSULAN

Gempa susulan adalah gempa yang terjadi sesaat setelah gempa pertama pada lokasi yang
sama namun dengan hiposentrum yang sedikit berbeda. Pada umumnya, gempa susulan
mempunyai magnitudo yang lebih kecil dari gempa utama (diteliti oleh Omori L894, Bath 1961),
namun tidak selamanya demikian.

Gempa besar dapat memiliki gempa susulan yang lebih banyak dan lebih kuat di mana
kemunculannya dapat bertahan dalam hitungan tahun atau lebih lama (misal, gempa New
Madrid yang bertahan hingga 200 tahun sejak gempa pertama L87L/18L2). Gempa susulan ini
justrusangat berbahaya, karena selain tidak bisa diramalkan, dapat berupa sebuah gempa
dengan magnitudo besar dan dapat menghancurkan bangunan-bangunan yang telah rusak
dikarenakan gempa utama sebelumnya.

1.3 DAMPAK GEMPA PADA LINGKUNGAN BINAAN

Begitu mencapai permukaan bumi, gelombang gempa berubah menjadi energi yang akan
memengaruhi lingkungan manusia. Energi gempa dapat bersifat merusak dan juga tidak merusak,
bergantung pada aspek-aspek yang dapat memengaruhi intensitas gempa, seperti kekuatan
magnitudonya dan jarak, serta kedalaman sumber gempa, yang akan dibahas secara lebih detail
pada Bab 2 pada buku ini. Gempa dapat berubah menjadi bencana gempa jika pengaruhnya
terhadap lingkungan manusia merusak atau menimbulkan kerugian yang cukup signifikan.

Dampak tidak langsung yang diakibatkan gempa juga dapat memengaruhi baik tanah atau
bangunan, menyebabkan kebakaran, kerusakan prasarana, seperti pipa-pipa jaringan gas dan
minyak, serta kerusakansumber air bersih dan jaringannya. Sementara pada tanah, gempa secara
tidak langsung pada umumnya juga dapat menyebabkan banjir tanah longsori dan tsunami.
Dampak lain seperti yang pernah terjadiadalah pada fenomena tsunami pada air danau atau
bendungan yang disebut dengan seiche dan juga avalonche, yaitu runtuhnya salju pada
pegunungan atau daerah bersalju lain yang dapat mengakibatkan longsor atau banjir di daerah
yang lebih rendah.
Kerusakan akibat kegagalan pada setiap gempa bumi sangat penting untuk dipelajari agar berangkat
dari pengalaman tersebut tidak terulang kejadian yang sama di masa depan, sehingga tidak
menimbulkan bencana. Untuk itu, setiap kerusakan menjadi berharga karena kerusakan bangunan
akibat gempa akan memunculkan teori-teori baru berkaitan dengan keamanan bangunan. Belajar dari
kerusakan ini dapat dianggap sebagai "the mother of eorthquoke engineering" (Boen, 2001).

1.4 RISIKO DAN KERENTANAN GEMPA BUMI

Gempa menewaskan sekitar 10.000 orang dari tahun L900-1999; tiga gempa bumi besar di Bhuj,
India (7,9 MS), El Salvador (7,6 MS), dan Arequipa, Peru (8,4 MS) mengakibatkan setidaknya
26.000 korban pada tahun 2001, kemudian pada tahun 2003, di Bam, Iran (6,6 MS) dengan
lebih dari 26.000 kematian, dan pada tahun 2004, di sumatra (9.3 MS) mengakibatkan lebih banyak
kematian hingga 280.000. Gempa Kashmir 8 oktober 2005 menyebabkan lebih dari 85.000 orang
terbunuh dan gempa bumi Jawa 27 Mei 27 2006 menewaskan lebih dari 6000 orang (USGS, 2006).
Selama satu abad (108 - periode tahun), kematian karena gempa telah lebih dari l-,8 juta. Beberapa
laporan terah menemukan bahwa bangunan runtuh memberikan kontribusi lebih dari 75 persen
kematian dari gempa selama abad tersebut (Elnashai dan Di Sarno, 2008).
Analisis risiko gempa harus dipertimbangkan dari berbagai macam aspek, dan bukan hanya pada
masalah pemeriksaan teknis saja, tetapi juga harus dinilai dalam hal kesesuaian denga kebiasaan
masyarakat dan aspek lainnya. Kerentanan, di sisi lain, adalah probabilitas hilangnyalingkungan
binaan karena gempa. Makin rentan, makin tinggi probabilitas kegagalan yang diharapkan dari
gempa. Kerentanan structural adalah kemungkinan kerusakan bangunan baik bagian atau
keseluruhan yang diperlukan untuk dukungan fisik ketika mengalami gempa
kuat atau bahaya lainnya.

Kerentanan seismik struktur bangunan adalah probabilitas kerusakan oleh gerakan tanah dalam
intensitas tertentu (Calvi, et.o\,2006). Kerentanan struktur akan sejajar dengan tingkat kerusakan
yang diperkirakan dari gempa bumi, namun berlawanan dengan tingkat keamanan bangunan.
Kerentanan keamanan tinggi berartitingkat keamanan rendah, dan sebaliknya.

1.5 WILAYAH SEISMIK INDONESIA

Wilayah seismik Indonesia terkini terdiri dari i_5 zona gempa dari 6 zona sebelumnya yang
dirasakan tidak menggambarkan kondisi seismik yang sebenarnya.zona seismik ini dibedakan
berdasarkan tingkat percepatan tanah PGA<0,059 sampai ,7,2g.Penentuan wilayah seismik ini
menyesuaikan ketentuan the lnternotionol Buitding Code - tBC, 2000 yang menerapkan peta
spectral hozord untuk 2o/o kemungkinan maksimum selama periode desain 50 tahun (diambil dari
periode ulang gempa 2500 tahun). Maksudnya adalah selama periode 50 tahun akan ada
kemungkinan 2 persen terjadinya gempa bumi yang menyebabkan PGA yang ditetapkan.
Dari peta zonasi ini, secara garis besar; dapat diambil kesimpulan bahwa wilayah Indonesia yang
relatif rawan dari guncangan gempa sedang hingga besar meliputi 25 daerah, yaitu Aceh, sumatra
Utara (Simeuluei Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, Lampung, pandeglang (Banten), Jawa Barat,
Bantar Kawung, Yogyakarta, Lasem, Jawa Timur; Bali, NTB, NTT, Kepulauan Aru, Sulawesi
Selatan, sulawesi Tenggara, surawesi Tengah, sulawesi Utara, sangir Talaud, Maluku Utara,
Maruku selatan, papua bagian utara, Jayapura, Nabire, Wamena, dan Kalimantan Timur.

BAB 2
EFEK GEMPA PADA ARSITEKTUR

Efek gempa bumi pada arsitektur dapat sangat signifikan dan mempengaruhi keamanan serta
kekokohan bangunan. Gempa akan menyebabkan getaran pada tanah yang kemudian akan
menggerakkan struktur bagian bawah bangunan yang berdiri di atasnya[1]. Dalam perancangan
bangunan, penting untuk mempertimbangkan kemampuan bangunan dalam melawan efek gempa
bumi. Beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan dalam perencanaan bangunan tahan gempa
meliputi analisis respon struktur baik dinamik maupun statik, konfigurasi bangunan, diafragma dan
ikatan lantai, hubungan dinding antar lantai dan atap, hubungan antar pondasi, bobot yang ringan,
kekuatan yang relatif di segala arah, serta ketahanan terhadap kebakaran.
Dalam mendesain bangunan tahan gempa, perlu memperhatikan elemen non-struktural pada
bangunan, seperti dinding pengisi dan tangga, yang cenderung menyebabkan kerusakan pada
struktur. Misalnya, dinding pengisi dapat merusak elemen struktur utama seperti kolom bangunan,
mengubah struktur, menyebabkan torsi atau pemutaran, serta menimbulkan bahaya bagi penghuni
dan pejalan kaki di sekitar bangunan.
Tindakan utama yang harus dilakukan adalah dengan membuat bangunan yang aman terhadap
gempa dengan tujuan utama meminimalkan korban jiwa. Konsep bangunan aman gempa tentu
berbeda dengan bangunan tahan gempa yang lebih menitikberatkan pada kekuatan struktur saja.
Prinsip bangunan aman gempa memperbolehkan bangunan mengalami kerusakan, bahkan runtuh
ketika gempa terjadi, namun pengguna harus dapat diselamatkan. Untuk keperluan ini, konsep
dasar perencanaan dan perancangan bangunan yang benar dan bersifat menyeluruh, yang disebut
dengan konsep arsitektuI harus dikedepankan ketimbang aspek-aspek yang lain.

2.1 GEMPA BUMI DAN ARSITEK

Selama ini, permasalahan pengaruh gempa bumi pada bangunan hampir selalu dialamatkan
pada ahli bidang struktur ketimbang ahli yang lain yang menangani bangunan. Dampak gempa
pada bangunan sering kali hanya dibicarakan pada tataran teknis perhitungan kekuatan
bangunan. Hal ini dapat dikatakan benar namun kurang tepat karena kualitas keamanan
sebuah bangunan justru ditentukan bukan hanya semata-mata dari kekuatan strukturalnya,
namun lebih besar dari itu, yaitu konsep bangunan secara keseluruhan. Di samping itu, bisa
saja bangunan telah dihitung berdasarkan analisis struktur yang lengkap, namun pada
kenyataannya, gempa bumi sedang hingga besar hampir selalu merobohkan bangunan dan
tetap memakan korban dari bangunan yang sebelumnya diperkirakan kokoh tersebut.

Contoh terkini dari kondisi ini misalnya dapat kita temukan dari banyaknya kerusakan yang
memakan ribuan korban lebih dari 15.000 nyawa melayang dan lebih dari 1-25.000 bangunan
hancur dari peristiwa gempa dan tsunami 9.0 SR T6hoku, Jepang pada 3 Maret 20!L,yang
diketahui sebagai negara yang mempunyai bangunan paling siap terhadap gempa. Bahkan
reaktor nuklir Fukushima mengalami kerusakan pada tingkat berbahaya meskipun bangunan
itu 100% telah direncanakan aman terhadap gempa. Hal ini membuktikan bahwa perhitungan
struktur bukanlah satu-satunya pertimbangan utama dalam merancang bangunan aman
gempa.
Kita tidak dapat membandingkan secara rangsung dampak dari dua gempa yang berbeda
karena banyak aspek yang saling terkait, namun pada gempa yang sama, dampaknya pada
jenis-jenis bangunan dapat dibandingkan. Gempa yogyakarta 27 Mei 2006, misalnya, adalah
contoh dari kejadian gempa yang membuktikan masih banyak bangunan-bangunan tradisional
asli yang terbuat dari kayu masih banyak yang tetap berdiri dibanding bangunan sejenis yang
dibuat dari batu bata atau beton bertulang walau lebih dari 250.000 bangunan lainnya hancur
yang memakan lebih dari 6500 korban jiwa ,,hanya,, dengan gempa berkekuatan 6,2 SR.

Pada kasus-kasus gempa sedang dan besar; korban gempa Sebagian besar disebabkan oleh
kegagalan bangunan yang disebabkan oleh banyak aspek yang sebagian besar justru berkaitan
dengan fungsi dan bentuk bangunan, baik pada tataran makro atau mikro. Arsitek lebih banyak
berperan terhadap keselamatan sebuah bangunan disbanding disiplin ilmu yang lain, karena
arsitekrah yang menentukan konsep dasar perencanaan dan perancangan bangunan.

Di lain pihak, tentu bangunan secara umum memang tidak akan dibangun 100% tahan gempa
karena alasan kepraktisan, harga, dan sebagainya. secara lebih rinci, peran arsitek pada
bangunan aman gempa adalah sebagai berikut:
1. sebagai perencana utama dalam proses perencanaan dan perancangan, dan bahkan hingga
proses konstruksi lapangan.
2. Arsitek adalah profesi satu-satunya yang mempunyai pandangan menyeluruh lengkap
dibanding profesi lain dalam bangunan yang lebih cenderung mengerjakan bagian dari
bangunan.
3. Arsitek bekerja menyeluruh sebagai pemimpin sebuah tim yang melayani pemilik bangunan,
membawa ahli-ahli struktur; mekanik, dan lainnya ke dalam proses bangunan, dan juga
mengendalikan kerja kontraktor untuk konstruksi bangunan yang ideal yang diinginkan.

Dengan demikian, arsitek mempunyai posisi krusial yang akan memengaruhi tingkat
keselamatan bangunan terhadap gempa. Tanggung jawab arsitek initentu terletak pada kualitas
konsep dasar perencanaan dan perancangan yang berkaitan dengan disiplin struktur
bangunan. Dapat dipastikan pula bahwa selama ini belum pernah ada analisis statistika pada
ilmu-ilmu teknik sipil yang mampu menjamin keamanan bangunan dengan arsitektur yang rumit
yang biasanya lebih disukai oleh seorang arsitek. Oleh karena itu, arsitek menjadi kunci penting
dalam keselamatan bangunan terhadap gempa ini dibanding dengan insinyur struktur
sekalipun.

2.2 GEMPA BUMI DAN PENGARUHNYA TERHADAP BANGUNAN

Bangunan gedung saat terjadi gempa pada intinya dipengaruhi oleh energi gaya gempa dan
beban gedung itu sendiri. Namun demikian, faktor lingkungan juga sangat menentukan
pengaruh gempa terhadap bangunan di suatu wilayah. Besarnya magnitudo gempa diketahui
tidak hanya satu-satunya faktor perusak bangunan. Dalam contoh kasus dua gempa besaI yaitu
gempa Sumatra 9.]- Mw Desember 2004 dan gempa Sumatra 8.6 Mw 1-l April 20L2,
mempunyai dampakyang sangat berbeda terhadap bangunan. Gempa 2004 tersebut sangat
merusak bahkan menimbulkan tsunami yang dahsyat hingga mencapai daratan Afrika,
sementara gempa 2012 tidak menimbulkan kerusakan berarti pada bangunan pada lingkungan
terdekat. Gempa 2004 menelan korban jiwa hingga 286.000, sementara gempa 2012hanya 2
korban jiwa (usGS).

Kedua gempa tersebut teryadi di sepanjang garis batas pelat Australia dengan pelat India,
hanya perbedaannya adalah bahwa gempa 2004 terladi lebih dekat dengan pulau Sumatra dan
berada di sisi dalam dari pertemuan garis pelat tanpa pelepasan energi sebelumnya dan dalam
area yang panjang (1300 km). Sementara gempa 20L2terjadidisisiluar garis pelat dan hanya
terjadi di area sepanjang 50 km. Gempa ini telah didahului oleh tiga gempa sebelumnya di
sekitar lokasi yang sama pada 19 April 2006 (Mw 6.2), 4 Oktober 2007 (Mw 6.2), dan L0 Januari
2012 (Mw 7.2) (USGS).

2.2.1 ENERGI GELOMBANG GEMPA SERTA SIFAT MERUSAK NYA


Energi gempa adalah energi yang disalurkan melalui gelombang pada gempa sangat
dipengaruhi oleh penyaluran energi ketika merambat dari sumber ke lingkungan manusia di
permukaaan bumi. Berbagai macam gelombang seismik akibat proses ini telah kita bahas
sebelumnya. Selain mekanisme penyaluran, sifat fisik gelombang seismik itu sendirijuga
berpengaruh besar pada besar kecilnya energi yang dapat dihasilkan. Aspek-aspek utama
getaran gempa pada bangunan meriputi durasi, amplitudo, dan frekuensi (Ghaidan,2oo2).
Berikut adarah kaitan aspek-aspek tersebut dengan sifat fisiknya:

1. Frekuensi dan amplitude

Amplitudo adalah properti gempa yang berkaitan langsung dengan kuat lemahnya/energi gempa
dikaitkan dengan jauhnya simpangan getaran/guncangan yang terjadi. Amplitudo berkaitan dengan
frekuensi, yaitu banyaknya getaran setiap detiknya. Frekuensi gelombang gempa yang tinggi identik
dengan amplitudo yang rendah, dan sebaliknya. Amplitudo gempa juga ditentukan oleh jarak
hiposentrum, episentrum, atau kedalaman sumber gempa. Makin dangkal atau dekat sumber
gempa, makin besar amplitude dan makin besar pula energi getarannya.

Getaran tanah dari gempa yang sederhana dapat digambarkan sebagai goyangan tunggal pada
tanah keras homogen dengan periode siklus gelombang kurang dari 0,2 detik dan amplitudo kecil
sebesar beberapa sentimeter saja. Selanjutnya, goyangan menengah selama 20 hingga 30 detik
dengan periode 0,5 sampai 6 detik dan amplitudo menengah kurang dari 20 cm. Seterusnya,
sebagai pergerakan tanah lambat sekitar 5 menit dengan periode siklus lebih dari 6 detik dengan
arah bervariasi sebagai akibat dari tanah lunak dengan amplitudo sekitar 30 cm (Krisnanto,
et.al,2OO9).

2. Akselerasi

Bangunan gedung pada umumnya dibuat untuk mengantisipasi beban-beban vertikal namun bukan
untuk beban horizontal. Akselerasi atau percepatan beban gravitasi (1 g = 9.8 m/detik) dapat ditahan
oleh bangunan, namun jika beban dengan percepatan ini terjadi secara horizontal, maka hampir
semua bangunan Gedung akan runtuh seketika. Perubahan kecepatan getaran pada struktur
bangunan dari nol hingga beberapa meter per detik akan membuat strukturi terutama dengan massa
tinggi (berat), akan mempertahankan posisinya, sementara gerakan eksternal bangunan mengajak
untuk bergerak sehingga kekuatan bangunan dalam hal ini dipertaruhkan.

Pada beberapa gempa dengan intensitas besar mempunyai akselerasi gempa 0.5-19. Sebagai
contoh, akselerasi dapat menjadikan gempa magnitudo, sedang menjadi bencana karena akselerasi
gempa sebesar 3-5 m/sec2 (t0.59) pada gempa Yogyakarta 27 Mei 2006 (Poland, 2010) dapat
merobohkan bangunan nonteknis dengan cepat. Karena kondisi endapan sedimentasi yang lunak
di area dekat sumber gempa bahkan akselerasi ini berlipat 2-3 kali lipat (Walter, et.o\,2011) atau
0.20-0.349 pada arah horizontal hingga 3.59 pada arah vertikal (Elnashai, et.o|,2007) sehingga
hampir tidak ada satu pun bangunan yang bertahan di daerah itu.

3. Resonansi gelombang gempa

Karena jenis gelombang gempa bermacam-macam dengan perbedaan frekuensinya, maka sangat
mungkin frekuensi-frekuensi tersebut sama dengan frekuensi alamiah \ingkungan buatan manusia.
Bangunan akan bereaksi untuk menanggapi gerakan tanah dengan frekuensi tertentu sesuai
frekuensi alaminya. Kondisi ini menyebabkan efek yang disebut dengan gejala resonansi, yaitu ikut
bergetarnya sesuatu (dalam hal ini bangunan) karena mempunyai frekuensiyang sama. Efek
resonansi ini akan memperbesar Gerakan dan kekuatan gaya yang bekerja pada bangunan saat
gempa terjadi sehingga kemungkinan bangunan mengalami kerusakan akan lebih besar.

Periode resonansi sekitar 0,1 hingga 6 detik antara tanah dan bangunan akan memiliki dampak yang
signifikan. Dalam hal ini, bangunan pendek atau kaku akan terpengaruh lebih banyak dalam gempa
frekuensi tinggi, sedangkan gempa frekuensi rendah akan lebih banyak berpengaruh pada
bangunan tinggi atau bangunan dengan material fleksibel. Berkaitan dengan resonansi ini, gedung
sangat tinggi, bahkan akan relatif aman dari guncangan gempa karena menjauh dari frekuensi alami
gempa.

2.2.2 INTESITAS GEMPA BUMI DAN PENGARUHNYA TERHADAP BANGUNAN

satuan MMI (Modified Mercalli lntensity scale) ditujukan untuk mengukur seberapa besar
intensitas gempa atau pengaruh sebuah gempa terhadap lingkungan manusia, terutama
berkaitan dengan kondisi bangunan setelah terjadi gempa. Skala intensitas MMI bahkan dilihat
dari tingkat kerusakan bangunan. Seberapa besar pengaruh intensitas gempa ini dipengaruhi
oleh banyak aspek serain kekuatan gempa itu sendiri, yaitu jarak dari hiposentrum/episentrum,
jenis tanah, waktu atau durasi getaran gempa, serta desain bangunan itu sendiri.

1. Pengaruh magnitudo gempa

Magnitudo gempa menunjukkan skala energi gempa yang dikeluarkan dititik pusat ata hiposentrum
gempa. Makin besar magnitudo, makin besar pula energi yang akan memengaruhi lingkungan
manusia (lihat Bab L). Magnitudo saling berkaitan erat dengan sifat sumber gempa yang lai seperti
panjang patahan. Panjang dan besar patahan berkaitan dengan besar energi yang dikeluarkan dan
juga dengan durasi yang diperlukan. Bangunan tentu akan mudah dipengaruhi gempa dengan
magnitudo besar. Menurut pengalaman, gempa di atas 4 SR baru akan berpengaruh terhadap
bangunan dan kerusakan pada bangunan teknis mulai pada 5 SR. Akan tetapi, magnitudo bukanlah
satu-satunya penentu intensitas gempa terhadap bangunan. Mungkin saja gempa bermagnitudo
besar tidak berpengaruh terhadap bangunan jika aspek-aspek yang lain yang akan dibahas pada
bagian di bawah ini tidak cukup signifikan.

2. Pengaruh jarak hiposentru m/episentrum

Jarak hiposentrum pada dasarnya mencakup jarak sumber gempa dengan bangunan secara
langsung, sedangkan jarak episentrum adalah jarak dari bangunan ke titik permukaan tanah tepat
di atas sumber gempa terjadi. Makin besar jaraknya, makin kecil pengaruh pada bangunan karena
energi gempa akan berkurang sejalan dengan panjang perambatan gelombang. Intensitas gempa
akibat jarak hiposentrum meliputi kedalaman dan jarak horizontalepisentrum ini. Sumber gempa ini
dibagi menjadi gempa dangkal dan gempa dalam. Gempa yang terjadi lebih dari 70 km bawah
permukaan bumi (di bawah tebal kerak bumi) termasuk gempa dalam. Demikian pula dengan gempa
yang terjadi pada jarak 200 km atau lebih, termasuk gempa jauh (USGS).

3. Pengaruh jenis tanah

Tanah akan berpengaruh terhadap perambatan energi gempa dari sumbernya ke bangunan.
Pembesaran gerakan akibat perubahan energi gempa akibat efek resonansi disebabkan oleh jenis
tanah di daerah di mana gedung berdiri. Makin keras tanah, makin cepat perambatan gelombang
yang diteruskan (perubahan energimterhadap kecepatan gelombang) sehingga perubahan energi
menjadi gerak dapat diminimalkan.

Tanah lunak mempunyai perambatan gelombang <600 ftlsec. Sifat tanah selain menentukan
perambatan gelombang juga menentukan waktu getar alami tanah yang sangat berkaitan dengan
perambatan energi. Karakteristik tanah keras dan lunak ini banyak dipengaruhi struktur geologi
antara bangunan ke pusat gempa dan jenis lapisan tanah di lokasi bangunan.

4. Pengaruh durasi gempa

Durasi gempa adalah rentang waktu guncangan tanah yang terjadi saat gempa. Gemp mempunyai
durasi yang berbeda, bergantung pada jenis runtuhan dan sifat patahan yang terjadi. Rentang waktu
guncangan akan sangat berpengaruh terhadap intensitas bangunan.

Begitu juga dengan jumlah gempa susulan yang terjadi setelah gempa utama. Walaupun relatif lebih
lemah kekuatannya, guncangan-guncangan kecil dalam waktu yang lama akan menambah tingkat
kerusakan bangunan. Banyak fakta membuktikan bahwa gempa susulan dampaknya dapat lebih
merusak bangunan karena bangunan tersebut telah dipengaruhi oleh gempa utama sebelumnya.

5. Pengaruh desain bangunan


Pada akhirnya, energi gempa akan sampai pada bangunan dan memengaruhinya jika aspek pemicu
utama gempa, magnitudo, teryadi cukup besar kekuatannya, serta aspek penghambat seperti
kedalaman dan jarak sumber gempa atau jenis tanah tidak cukup signifikan untuk membatasinya.
Penentu akhir tingkat intensitas gempa terhadap bangunan adalah desain bangunan itu sendiri.
Pada umumnya, bangunan memang tidak didesain terhadap guncangan gempa, namun hanya pada
beban-beban fungsi dan berat sendiri saja secara gravitasional.
Desain bangunan terhadap gempa utamanya dipengaruhi oleh karakteristik struktur yang meliputi:
a. Waktu getar alami dari struktur bangunan
b. Redaman (damping) dari struktur bangunan
c. Persyaratan dan konsep detailing bangunan

Bangunan tinggi dengan struktur fleksibel mempunyai frekuensi yang lebih rendah dibanding
bangunan rendah yang kaku. Redaman lebih berkaitan dengan sistem utama atau tambahan pada
struktur bangunan. Struktur dinding kaku dan brocing dikategorikan dalam redaman
ini. Demikian juga dengan bantalan fondasi fleksibel.
2.3 BANGUNAN GEDUNG DI BAWAH GUNCANGAN GEMPA

Gempa bumi yang besar menyebabkan getaran kuat pada tanah di bawah bangunan. Hal ini
menyebabkan fondasi ikut bergetar yang selanjutnya disebarkan ke seluruh bagian bangunan
dengan caranya sendiri sesuai jenis struktur dan bahan, serta aspek lain yang cukup rumit secara
detail.

2.2.3 MEKANISME GUNCANGAN GEMPA PADA BANGUNAN GEDUNG

Getaran gempa pada dasarnya adalah pergerakan tanah pada fondasi bangunan yang
menyebabkan fondasi ikut bergerak dan bagian paling atas bangunan cenderung tetap karena
mempertahankan potensi beban massanya sendiri. Makin besar energi gerak/amplitudo gempa,
makin besar pula pergerakan bagian bawah bangunan ini, sehingga bangunan gedung bagian
atas cenderung mengalami displacement atau perbedaan posisi yang cukup besar dibanding
bagian bawah.

Gerakan gempa pada tanah sayangnya tidak sekali, tetapi berulangulang, sesuai durasi gempa
disertai dengan perubahan percepatan. Perubahan percepatan membuat energi gerak getaran
tanah harus diterima oleh bangunan dan mengganggu kestabilan bangunan. Dampak dari
fenomena ini adalah kerusakan material elemen bangunan karena tidak kuat menahan beban
percepatan danjatuh/runtuhnya bangunan karena kestabilannya terganggu.

2.2.4 EFEK GAYA-GAYA PADA BANGUNAN SAAT GEMPA

Pergerakan dinamis tanah di mana bangunan diletakkan menyebabkan gaya lateral (gaya
mendatar) dan vertikal pada bangunan. Gerakan gaya lateral mempunyai efekyang paling
merusakterhadap bangunan. Sebaliknya, gaya-gaya vertikal biasanya kurang signifikan untuk
dapat merusak bangunan (Hamburger dan Scawthorn, 2006).

Bangunan secara umum dibangun untuk melawan gaya gravitasi atau beban vertikal, tetapi
bukan untuk gempa yang membawa gaya horizontal dengan percepatan tertentu sehingga
gempa dapat mudah menghancurkan bangunan. Efek gaya gravitasi vertikal dan efek gaya
lateral yang dikombinasikan oleh gempa bumi akan menyebabkanoverturning moment atau
momen terbalik pada bangunan (lihat Gambar 2.L). Dengan demikian, makin berat bangunan,
makin tinggi pula potensi momen balik ini.

2.4 KEGAGALAN STRUKTUR AKIBAT GEMPA

Daerah dengan kondisi kegempaan yang tinggi mungkin saja mengalami banyak gempa bumi
hampir setiap hari. Namun demikian, kerusakan struktural biasanya tidak teryadi sampai besarnya
magnitudo mendekati 5.0 SR (gempa menengah). Kerusakan struktural pada umumnya adalah
hasil dari kegagalan pada tanah, getaran struktur; dan atau penyebab lain (Yashinsky, 2006).
Kegagalan bangunan terhadap gempa bumi umumnya disebabkan oleh ketidakmampuan
bagianbagian bangunan tersebut untuk bekerja sebagai satu sistem dalam melawan gaya-gaya
lateral (Elnashai dan Di Sarno, 2008).

Beberapa aspek yang menyebabkan kegagalan bangunan akibat gempa, baik rusak, hancu1
maupun ambruk, berkaitan dengan kesalahan desain pada bangunan yang akan memengaruhi
kinerja sistem struktur; kerusakan pada elemen struktur karena kekuatan, kekakuan, dan
kelenturannya; sambungan elemen bangunan yang tidak tepat; kualitas pengerjaan dan bahan;
serta kegagalan tanah yang struktur fisiknya berubah akibat gelombang gempa.

Kesalahan yang terkait dengan bangunan dan goyangan gempa tersebut adalah:
1. Struktur yang berat

Massa tinggi atau bangunan yang berat, biasanya menggunakan adobe dan rumah beton bertuiangl
akan memrcu gaya inersia yang tebih besar saat terjadi gempa, t aiena besar amplitudo inersia akan
berband\ng \urus dengan massa struktur.

2. Periode getaran pendek bangunan

Struktur bangunan dengan periode getaran pendek akan mem_ punyai lebih banyak ayunan jika
teryadi gempa. Jenis struktur bangunan seperti ini pada umumnya mempunyai tingkat kerentanan
yang cukup tinggi, kecuarijika menggunakan sistem struktur yang lebih kuat. periode gerombang
gempa dengan rentang kurang dari 0,5 sampai 1,0 detik akan menciptakan perc-epatan tinggi pada
amplitudo gerakan tanah, dan kemudian akan menurun hingga akhir periode getar. Untuk arasan ini,
pada struktur dengan periode getaran pendek, respons percepatan pada bangunan umumnya besar
karena berbanding rurus dengan gaya inersia yang disebabkan oleh massa.

3. Kekuatan dan kemamPuan deformasi

Kegagalan bangunan dapat dihindari pada elemen-elemen bangunan yang mendukung sistem beban
vertikal dengan menghindari penggunaan bahan-bahan rapuh. iika tidak, maka kekuatan yang lebih
tinggi harus diberikan dan massa konstruksi harus dikurangi. Kemampuan deformasi yang tinggi
dapat dicapai dengan penggunaan elemen struktural yang lemas dalam rangka untuk menunda
keruntuhan. Prinsip ini akan bekerja bahkan setelah terjadi kerusakan struktural yang signifikan.

4. Keruntuhan progresif

Kegagalan karena material yang rapuh akan berefek pada elemen struktural lainnya dengan modus
serupa. Bangunan ini akan runtuh mulai dari lantai di mana elemen rapuh telah gagal. Sebagai hasil
karena pengurangan resistensi lateral dan kehilangan daya dukung beban vertikal, akan
menyebabkan kegagalan berturut-turut lebih lanjut yang disebut sebagai kegagalan progresif akibat
elemen vertikal yang rapuh.

5. Konsentrasi kerusakan

Kegagalan elemen penyangga beban vertikar dari sebuah lantai biasanya akan mengakibatkan
runtuhnya bangunan. Sambungan dengan kekuatan tinggi antar elemen vertikal (bukan horizontal)
diperlukan dalam rangka mengatasi kerusakan elemen vertical dan memindahkannya pada elemen
horizontal. prinsip ini dikenal dengan prinsip kolom kuat balok lemah atau strong column weok beam.
Hal ini ditujukan untuk merindungi elemen utama struktur penyangga bangunan untuk menunda
keruntuhan lebih lanjut.

6. Penyimpangan vertical

Deformasi akibat gempa biasa terjadi pada aspek tertentu, seperti pada tingkat (lantai) fleksibel dan
atau lemah. Hal ini akan membuat kerusakan yang lebih lanjut pada elemen vertikal dan
mengakibatkan runtuhnya bangunan. Lantai lemah ini dikenal sebagai soft story, atau bukaan yang
terlalu lebar pada salah satu lantai yang sayangnya banyak digunakan dalam bangunan komersial atau
residensial pada lantai dasar. Soft story ini adalah contoh yang banyak dijumpai dalam penyimpangan
vertikal.

Penyimpangan vertikal lain juga dapat disebabkan oleh kolom yang tidak menerus di setiap lantai, berat
yang tidak sama atau menerus pada lantai-lantainya, atau bahkan kolom pendek (short column effect)
yang disebabkan oleh perbedaan tinggi antar lantai yang berbeda pada gedung bertingkat. Kolom yang
tidak menerus jelas akan memengaruhi penyaluran beban lateral ke fondasi bangunan.

7. Penyimpangan horizontal

Penyimpangan horizontal seperti yang dijumpai dalam denah bangunan dapat menciptakan struktur
asimetris yang mengarah pada ketidaksetaraan beban antara pusat massa. Hal iniakan menyebabkan
getaran torsi saat gempa. Kerusakan lebih parah diperkirakan akan terjadi pada elemen gedung yang
memiliki denah yang tidak sederhana dan bagian-bagian bangunan yang mempunyaijarak lebih jauh
dari pusat massa.

8. Senggolan bangunan yang berdekatan

Bangunan yang tidak diletakkan berdekatan dengan benar atau terlalu dekat dapat menyebabkan
senggolan ketika gempa terjadi. Senggolan ini menyebabkan efek hommering atau pukulan yang
berkali-kali seiring dengan intensitas gempa yang terjadi. Benturan akan merusak kedua struktur
bangunan, terutama yang relatif lebih lemah. Dampak ini umumnya terjadi di bangunan di perkotaan
yang padat atau pada konfigurasi bangunan yang tidak benar.
9. Kontribusi elemen arsitektural dan non-struktural

Elemen non-struktural atau elemen arsitektural dapat mengurangi kinerja sistem struktur seperti
bukaan lebar; tangki berat pada atap, dan lain-lain. Elemen non-struktural seperti dinding berat (batu
bata) dapat berkontribusi secara signifikan terhadap kekakuan sistem struktur. Jika elemen ini tidak
terletak pada posisi keseimbangan, penyimpangan kekakuan atau bahkan penyimpangan torsi apat
menyebabkan kegagalan sistem. Elemen arsitekturaljuga dapat menyebabkan akibat fatal jika
mudah terjatuh dan menimpa penghuni di bawahnya. Elemen yang mudah jatuh bisanya terdiri dari
dinding, plafon, elemen interior seperti lampu gantung, dan sebagainya.

10. Fondasi

Fondasi adalah elemen penting untuk menyangga bangunan dan menyalurkan beban ke tanah.
Kegagalan fondasi menyebabkan kerusakan besar pada bangunan waraupun bangunan utama itu
sendiri tidak mengalami kerusakan. Fondasi dapat mengalami kegagalan umumnya karena tanah
rongsor; liquefoction, rembah yang hancur, pemadatan tanah, dan gaya diferensial.

11. Penurunan kualitas dan usia

Umur dan atau keadaan lingkungan yang memburuk akan merusak bahan struktur dan akan
langsung mengurangi kemampuan kinerja seismik bangunan.

Inkonsistensi dalam denah dan potongan umum digunakan dalam bangunan seperti desain vertikal
yang tidak menerus atau berjenjang (sidestepping), dan juga tinggi bangunan yang berbeda di
sekeliling bangunan utama (offsetting) akan menyebabkan konsentrasi stres. Asimetri dalam denah
dan tampak bangunan akan memindah beban dari struktur atas ke fondasi secara tidak menerus yang
akan mengakibatkan gangguan stres yang tidak diinginkan atau konsentrasi dan efek torsi. Lantai
pertama benar-benar terbuka tanpa dinding akan menyebabkan soft story yang menyebabkan
runtuhnya struktural.

2.5 KERUSAKAN STRUKTURAL DAN KINERJA BANGUNAN


Bahaya seismik dapat berpotensi menyebabkan kerusakan dan kerugian pada bangunan.
Kerusakan bangunan dihasilkan dari kondisi fisik berkaitan dengan pengaruh beban gempa,
sedangkan kerugian bangunan adalah dampak dari bangunan yang rusak, seperti jatuhnya korban,
hilangnya tempat tinggal, penurunan tingkat ekonomi, dan sebagainya. Building properties secara
khusus akan menentukan kerusakan dan kehilangan secara signifikan. Untuk keperluan ini,
bangunan diklasifikasikan dalam hal sistem struktural, jenis bangunan, atau bahkan fungsi
bangunan. Aspek lokasi zona seismik, periode desain dan penggunaan bangunan (fungsi)
menentukan kinerja bangunan (buitding performance).
Berkaitan dengan intensitas gempa, percepatan spectral (spectral occelerotion) dari gerakan tanah
ketika gempa dapat dipertimbangkan. Percepatan tinggi saat gempa akan selalu berkaitan dengan
perpindahan bangunan (building displocement) yang lebih besar. Struktur kuat dan liat (ductile) akan
kurang terpengaruh dibanding dari struktur lemah dan kurang liat (lihat Gambar 2.L7). Probabilitas
terkait dengan tingkat getaran dan kerusakan dapat dilihat pada Gambar 2.18, di mana makin kuat
gempa, makin tinggi tingkat kerusakan yang akan terjadi.

2.6 PRINSIP PERFOMA BANGUNAN GEDUNG


Tingkat kerusakan bangunan menurut HAZUS (FEMA, 2003) ditentukan sebagai ringan (slight), sedang
(moderate), berat (ertensive), dan total (complefe). Tingkatan-tingkatan ini diambil dari kurva kapasitas
bangunan (building capocity curve) yang dikenal juga sebagai kurva tekan (pushover curve), sebuah
diagram performa bangunan di bawah gaya-gaya lateral. Seiring dengan akselerasi yang diterapkan
pada bangunan, perubahan bentuk (displocemenfs) akan terjadi. Pada batas tertentu, bangunan akan
mempunyai limit perubahan bentuk ini. Pada kurva ditentukan dua area sebagai kapasitas "yield" dan
"ultimote". Kapasitas yield ditentukan berdasarkan kekuatan bangunan atas gaya lateral yang
digunakan sebagai dasar untuk mendesain bangunan, sementara kapasitas ultimate menggambarkan
batas atas bangunan saat keseluruhan struktur bangunan mencapai batas reaksi maksimumnya.
Dengan kata lain, yield adalah kondisi ideal dan ultimote adalah kondisi di mana bangunan pada batas
atas kekuatannya untuk mulai runtuh.
Kurvafragility menggambarkan kemungkinan perubahan bentuk dari kerusakan paling ringan ke paling
berat, sementara kurva demond spectro menentukan perubahan bentuk yang dapat diterima akibat
akselerasi pergerakan tanah. Jika toleransi kerusakan maksimum diletakkan pada gambar tersebut,
korelasi antara kurva-kurva ini akan terlihat. Untuk kerusakan sedang, kurva fragility menunjukkan
tingkat kerusakan sedang pada kemungkinan terbesar saat gempa, dan demond spectro menunjukkan
akselerasi yang lebih tinggi akan membutuhkan perubahan bentuk yang lebih sedikit atau bangunan
yang lebih kuat dan ductile. Kerusakan 60 persen dianggap sebagai kerusakan total yang
dipertimbangkan pada keselamatan pengguna bangunan (FEMA, 1988b).
BAB 3
PRINSIP-PRINSIP BANGUNAN AMAN GEMPA

Tujuan utama untuk membangun gedung aman gempa bukan untuk mencegah keruntuhan bangunan,
tetapi untuk melindungi manusia di dalam Gedung. Meskipun Gedung dengan 100% Tahan gempa
dapat dibangun, tetapi pada praktiknya, hal ini jarang di lakukan karena alasan ekonomis dan
fungsional.

3.1 STRUKTUR BANGUNAN DAN KONSEP ARSITEKTUR


Struktur bangunan dan konsep arsitektur adalah dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan.
Struktur bangunan tidak dapat ideal tanpa memperhatikan bentuk, fungsi, sistem bangunan,
material, dan sebagainya. Sebaliknya, konsep arsitektur juga tidak dapat dilakukan tanpa pemilihan
sistem struktur yang tepat untuk sebuah bangunan. Berkaitan dengan gempa bumi, struktur
bangunan bukanlah satu-satunya penentu keselamatan pengguna bangunan.
3.1.1 KONSEP PERPINDAHAN ENERGI GEMPA KE BANGUNAN
Energi gempa memengaruhi bangunan melalui tanah sebagai media perpindahan energi dari sumber
gempa ke bangunan, seperti yang telah dibahas di depan. Tanah di mana bangunan ditempatkan pada
sebagian besar gempa akan bergerak ke samping/horizontal dengan percepatan yang berbeda. Di satu
sisi, karena massanya, bangunan akan mempertahankan posisinya. Hingga puncaknya terdapat
perbedaan posisi (dislocotion) antara bagian bangunan yang paling dekat dengan tanah dengan bagian
bangunan yang paling jauh dengan tanah (bagian atas/puncak bangunan).
Dengan demikian, bangunan akan mengalami guncangan untuk beberapa saat, bergantung durasi
gempa yang terjadi. Makin lama durasi gempa, makin besar kemungkinan bangunan mengalami
kerusakan karena keterbatasan kekuatan dan keuletan (daktilitas) bahan struktur bangunan.
Selanjutnya, bangunan mungkin tidak hanya terpengaruh secara vertikal saja melalui perbedaan posisi
atas dan bawah bangunan, akan tetapi juga secara horizontal, yaitu terjadinya efek puntir. Efek punter
terjadi pada bangunan yang mempunyai perbedaan jarak antara sisi satu dengan yang lain terhadap
titik berat bangunan. Pada kasus ini, bagian bangunan yang terjauh (ujung/pojok) akan mudah
mengalami kerusakan karena mengalami dislokasi yang tinggi.

Pada tahap tertentu, jika kemampuan daktilitas sistem struktur terlampaui terhadap energi yang datang,
elemen dari sistem struktur tersebut akan mengalami kerusakan. Kerusakan ini disebut dengan
kerusakan struktural. Pada puncaknya, bangunan tidak dapat lagi ke posisi awalnya dan akan
mengalami kerusakan besar hingga akhirnya mengarami keruntuhan.
Elemen yang paling berkaitan langsung pada sistem struktur adalah pada kekuatan kolom, sehingga
terdapat mekanisme strong column weak beam dan juga penggunaan struktur dinding geser (sheor
wolt) untuk struktur kaku beton bertulang agar bangunan masih dapat terus berdiriwalaupun mengalami
kerusakan. sementara bracing atau penggunaan konstruksi batang diagonal dilakukan untuk sistem
strukturfleksibel kayu dan baja.
3.1.2 KONSEP EKUILIBRIUM BANGUNAN
Struktur bangunan adalah media untuk menyalurkan beban bangunan ke tanah dalam rangka
mendukung konsep arsitektur. struktur yang baik harus dibangun sedemikian rupa sehingga memiliki
kemampuan untuk mengantisipasi beban dari segala arah.

Beban dapat dibedakan sebagai: beban mati atau beban statis, yaitu semua bagian-bagian bangunan
termasuk system strukturi mekanik, dan utilitas; beban hidup atau beban dinamis sebagai hasil
darifungsi bangunan termasuk pengguna dan peralatan yang digunakan; beban eksternal atau beban
alami yang berasal dari angin, salju, hujan, banjir gempa bumi, dan sebagainya; beban konstruksi, yaitu
beban yang dipertimbangkan dalam proses konstruksi, seperti alat-alat dan pekerjaan pekerja di
bangunan; dan beban tambahan lainnya.
Pada struktur bangunan, semua beban-beban itu diubah menjadi energi yang memiliki besaran dan
arah yang disebut dengan gaya. Gaya dalam bangunan harus dalam keadaan ekuilibrium, yang berarti
setiap gaya yang dihasilkan dari banyak beban bangunan harus dilawan dengan gaya internal
bangunan ke arah yang berlawanan sehingga dapat dicapai keseimbangan.

Ekuilibrium mempunyai arti bahwa selain terjadinya keseimbangan beban dan gaya internal, juga
bangunan harus dalam kondisi stabil, tidak terjadi rotasi atau pergeseran.

3.1.3 KONSEP MEKANISME PENYALURAN BEBAN PADA BANGUNAN


Untuk tetap stabil berdiri, bangunan gedung dikonstruksikan dari elemen-elemen bangunan baik
struktural maupun non-struktural yang mampu untuk menyalurkan setiap beban ke dalam tanah.
Elemenelemen bangunan itu dimulai dari bagian terkecil bangunan berupa lapisan finishing lual atap,
pelat lantai, balok, kolom/dinding pemikul, dan fondasi. Tanah adalah media akhir bagi penyaluran
beban ini.
Dilihat dari mekanisme structural terhadap keamanan, kondisi seperti ini memang seharusnya yang
terjadi- Finishing bangunan mengalami kerusakan jika gempa kecil terjadi, baru disusul oleh oleh
elemen berikutnya, seperti atap, dinding, dan elemen nonstruktural lainnya, pada gempa yang lebih
besar.

3. 2 PRINSIP STRUKTUR BANGUNAN DI KAWASAN GEMPA BUMI


Dengan memperhatikan tujuan utama pembangunan aman gempa, maka filosofi dan prinsip
permintaan/kapasitas (demand/capacity) kinerja bangunan tahan gempa di bawah beban seismik
adalah:
1. Di bawah getaran kecil dan sering, elemen struktural utama dari bangunan tidak boleh rusak, tetapi
elemen non-struktural dapat mengalami kerusakan yang dapat diperbaiki.
2. Di bawah getaran sedang dan jarang terjadi, elemen sistem struktural utama dapat mengalami
kerusakan yang dapat diperbaiki dan bagian lain elemen yang non-struktural dapat mengalami
kerusakan yang juga dapat diperbaiki.
3. Di bawah getaran besar dan jarang, elemen struktural utama dapat mengalami kerusakan parah
namun bangunan masih harus tetap berdiri.

Metode pasif lebih banyak dipakai pada bangunan karena lebih mudah dikerjakan dan murah harganya.
Hanya pada bangunan-bangunan modern yang fungsinya dianggap sangat penting menggunakan
sistem aktif ini. Bahkan pada bangunan tertinggi di dunia pun menggunakan sistem pasif, antara lain
Menara Taiwan 101 (1-01 lantai) yang menggunakan sistem bandul massa sebagai damper.

3.2.1 PRINSIP KETAHANAN GEMPA STRUKTUR UTAMA


Pada struktur utama, kekakuan (stiffness), kekuatan (strength), dan daktilitas (ductility) adalah aspek
respons struktur yang paling penting untuk menghadapi gempa (Elnashai dan Di Sarno, 2008)'
Kekakuan adalah kemampuan dari suatu elemen atau sekelompok elemen bangunan untuk melawan
kemungkinan tekuk (buckling) di bawah beban gempa. Kekuatan adalah kemampuan dari bagian atau
kelompok bagian-bagian bangunan untuk menahan beban.
Kekuatan berkaitan dengan permintaan dan kapasitas struktur (demond/capocity). Hubungan antara
batas kerusakan struktural dan kekuatan adalah jika akumulasi tekanan lebih besar dari kapasitasnya,
kegagalan structural pada elemen akan berlangsung. Kekakuan, kekuatan, dan daktilitas bangunan
dipengaruhi oleh beberapa faktor; termasuk bahan bangunan, elemen struktur; sambungan konstruksi,
dan sistem struktur yang digunakan oleh bangunan. Secara umum, bangunan batu bata dan beton
adalah kaku dan bangunan kayu dan baja adalah lebih ulet. struktur bangunan berbasis dinding adalah
kaku dan sistem berbasis rangka lebih ulet.
Short column effect adalah contoh lain dari fenomena ini, di mana kolom pendek pada sebuah tingkat
bangunan akan cenderung mengalami kerusakan yang lebih besar disbanding yang lain.

Kekakuan bangunan dan daktilitas yang terkait dengan gaya lateraljuga dapat dikaitkan dengan berat
bahan bangunan yang digunakan. Dalam hal ini, rangka beton bertulang dikombinasikan dengan
dinding bata juga kurang ulet dari baja dan bingkai kayu.
Kebanyakan struktur bangunan direkayasa untuk tidak sepenuhnya agar tahan gempa, tetapi didesain
hanya untuk mencegah keruntuhan (Otani, 2004; Yashinsky, 2006; Scawthorn, 2006). Lebih lanjut,
bahkan bangunan dengan massa yang sangat kuat pun dapatjuga terjadi kegagalan di bawah
guncangan gempa (Erdey, zOOi).

Baik beban lateral maupun vertikal harus dipertimbangkan untuk bangunan tahan gempa untuk dapat
memfasilitasi gaya seismik gempa. Gaya beban harus diarahkan dari asalnya ke bawah melalui sistem
struktural dan berakhir di fondasi. Prinsip sistem untuk menahan gaya lateral sangat penting dalam
mengamankan struktur pada posisinya. Sistem tersebut akan menolak atau mengakomodasi
perubahan disebabkan oleh kekuatan gempa yang terjadi untuk mereka secara paralel (Hamburger
dan Scawthorn, 2006).
Selanjutnya, Eurocode 8 memberikan panduan prinsip untuk desain tahan gempa, khususnya pada
sistem struktur utama, harus mengikuti konsep-konsep berikut (dikembangkan dari BSI, 2005):

1. Kesederhanaan struktur
Struktur yang sederhana adalah struktur yang ditandai dengan menggunakan jalur penyaluran beban
yang tidak terganggu, menerus, dan langsung pada sistem struktur bangunan untuk transmisi beban
gempa ke dalam tanah.
a. Kesederhanaan, simetri, dan redundansi

2. Resistensi dan kekakuan segala arah


Struktur bangunan harus memiliki kemampuan untuk menahan kekuatan lateral horizontal untuk
setiap arah. Resistensi horizontal ini pada dasarnya harus diantisipasi dengan penggunaan kolom
yang kuat serta pengaturan agar kolom dan balok dapat bekerja sekaku mungkin (monolit- rigid)
untuk menghindari kemungkinan berubahnya konstruksi struktur bangunan.

3. Resistensi dan kekakuan torsional


Komponen yang paling penting untuk menahan beban seismic harus didistribusitan tiaat jauh dari
selubung bangunan Efektorsijustru terjadi maksimal pada selubung bangunan' Oleh karena itu,
selubung bangunan harus dibuat kaku agar tidak mudah mengalami torsi yani besar sehingga
merusak bangunan. Fasad bangunan yang menjadi satu dengan sistem struktui baik melalui
penggunaan dinding geser atau iracing' iuga dimaksudkan untuk mengantisipasi efek torsional ini.

4. Diafragma lantaiyang kaku


Kekakuan lantai dan atap juga sangat membantu bangunan gedung dari gaya-gaya gempa. Sistem
lantai dan atap harus didesain cukup kaku dengan sambungan yang tepat dengan sistem struktur
vertikal dalam rangka untuk menahan setiap gaya-gaya lateral. Pelat lantai dan atap yang monolit
dengan rangka bangunan akan sangat membantu kinerja bangunan terhadap gempa.

3.2.2 METODE KETAHANAN GEMPA PADA ELEMEN BANGUNAN YANG LAIN


Struktur utama memang bertanggung jawab terhadap keutuhan sistem strukturi namun untuk
menjaga agar bangunan tetap berdiri, elemen lain seperti fondasi dan juga elemen yang
ditambahkan seperti penggunaan massa pengimbang juga dapat dilakukan pada bangunan.

1. Fondasi yang memadai


Fondasi adalah dasar bagi berdirinya bangunan gedung. Kegagalan fondasi akan berakibat pada
amblasnya bangunan karena bebaN vertikal, robohnya bangunan karena beban horizontal, atau
perpaduan dari keduanya. Pada kasus gempa bumi, ketiga fenomena bangunan di bawah gempa
sangat mungkin dapat terjadi.
Pada bangunan yang terletak relatif jauh dari sumber gempa, efek gaya horizontallah yang lebih
banyak memengaruhi fondasi. Pada kondisi ini, beban lateral pada fondasi harus "dilawan" atau
"disesuaikan" agar bangunan tidak mengalami displocement atau kerusakan pada bagian yang
berhubungan dengan tanah (fondasi dan hubungannya dengan struktur atas super structure).
Teknik ini dikenal dengan base isolator atau isolasi fondasi.
2. Peredaman fondasi
Fondasi dan hubungannya dengan suprastruktur harus menyatukan bangunan secara
keseluruhan ketika terjadi beban seismik gempa. Struktur bangunan akan bergerak mempertaha
nkan kedudukannya di bawah guncangan gempa, sementara tanah dan fondasi akan bergerak
mengikuti arah pergerakan gempa.
Pada struktur kaku rigid frome beton bertulang, kesatuan antara fondasi dan elemen struktur atas
harus kuat sehingga tidak patah atau rusak jika terjadi gempa. Untuk meminimalkan guncangan
pada bangunan, hubungan antara tanah dan struktur ini harus dihambat. Penghambat berupa
lapisan pasir yang berfungsi menyerap getaran dalam hal ini disebut sebagai seismic buffer.

3. Pre-stress dan post-tension pada struktur beton


Struktur beton bertulang (reinforced concrete/RC) adalah system struktur yang populer digunakan,
terutama pada bangunan rendah hingga bertingkat sedang. Hanya saja, sifat beton bertulang yang
relatif berat dan besar; serta kurang mampu menahan beban-beban lateral, membatasijenis
struktur ini untuk digunakan pada kondisi ancaman gempa yang tinggi.
4. Base isolator
Sistem struktur fleksibel mempunyai keuntungan di bawah guncangan gempa dibanding struktur
kaku atau jepit. pada sambungan struktur sendi, elemen struktur tidak harus melawan besarnya
gaya gempa sehingga bangunan relatif aman dari kerusakan. Hubungan fleksibel pada struktur
ringan kayu atau baja telah dikembangkan pula untuk penggunaan bangunan-bangunan berat,
khususnya pada aplikasi base isolator. Bedanya, pada bangunan di atas isolator tetap berperilaku
sebagai rigid body.
5. Tuned rnoss damper
Damping atau penyeimbang massa jenis tuned moss domper (TMD) menggunakan massajenis
bandul pemberatyang ditahan oleh beberapa pegas atau sistem hidrolik untuk mengatur Gerakan
bandul pada lantai atas bangunan. Metode ini pada umumnya digunakan untuk mengurangi
goyangan pada bangunan sangat tinggi yang menggunakan sistem struktur ringan.
6. Tuned liquid damper (slosh tonk)
Slosh tank atau tangki aduk adalah tangki besar berisi cairan yang ditempatkan pada lantai atas
gedung bertingkat. Metode ini pada umumnya diterapkan pada struktur kaku beton bertulang. Jika
terjadi guncangan gempa, cairan di dalam tangki ini akan teraduk bolak-balik membentuk
gelombang yang diarahkan oleh partisi jalusiyang mencegah tangki dari efek resonansi.
7. Sistem kontrol aktif gempa
Sistem kontrol aktif membutuhkan energi listrik untuk menggerakkan gaya kontrolyang diinginkan
struktu; sedangkan sistem control pasif tidak membutuhkan energi untuk menghasilkan gaya
kontrol pada struktur. Pada sistem pasif, gaya kontrol dihasilkan oleh system itu sendiri yang timbul
karena adanya gerakan relatif dari titik-titik bagian struktur sendiri.

3.3 PRINSIP PERANCANGAN ARSITEKTUR BANGUNAN AMAN GEMPA


Arsitektur bangunan aman gempa pada dasarnya memang memperhatikan prinsip struktur
bangunan tahan gempa sebagai langkah awal untuk memahami bangunan yang mampu
menghadapi guncangan saat terjadi gempa. Akan tetapi, aspek kekuatan struktur bukanlah satu-
satunya penyebab utama mengapa bangunan tidak aman terhadap gempa.

3.3.1 ASPEK LINGKUNGON

Bagaimanapun juga, bangunan yang ditujukan khusus aman dari gempa tidak perlu dibangun di
semua tempat. Hanya di atas tanah yang terletak diwilayah rawan gempa sajalah bangunan ini
perlu dibangun. Untuk itu, perlu data yang lengkap mengenaisifat seismisitas baik makro maupun
mikro suatu wilayah. seismisitas makro berkaitan dengan sifat seismik secara regional yang dapat
ditemukan pada peta zonasi seismik yang dikeluarkan oleh otoritas yang bersangkutan, dalam hal
ini BMKG/Pekerjaan umum untuk Indonesia.
Seismisitas mikro juga merupakan aspek yang sangat penting karena zonasi pada seismisitas
makro relatif tidak bersifat sama pada lahan satu dengan lahan yang lain. Kondisi lapisan tanah
lokal dan kandungan air serta topografiwilayah akan menentukan seismisitas mikro suatu lahan.
Topografi lahan dan sekitarnya juga menjadi aspek penting untuk bangunan aman gempa. Kondisi
topografi akan memengaruhi bangunan secara tidak langsung yang menyebabkan bangunan
mengalami kerusakan akibat llquefoction, tanah bergerak pada lereng gunung, atau tanah longsor.
Secara arsitektural, bangunan harus sesuai lingkungannya. Kata sesuai dalam hal ini berarti
"benar" dibangun di lingkungunny.. Bangunan yang benar atau tepat untuk lingkungannya
selanjutnya disebut ,,kontekstual", yaitu bangunan yang dibangun bukan saja hanya dalam hal
langgam arsitektur dengan gaya tertentu bangunan sekitaa akan tetapi justru berkaitan dengan
sifat fisik alam sekitar.
Langgam bangunan sekitar belum tentu mempunyai nilai kontekstuaritas yang baik terhadap
lingkungan. Mungkin saja langgam bangunan tidak sesuai lingkungannya karena pengaruh aspek
tertentu, seperti perubahan gaya bangunan akibat pengaruh luar; kondisi perekonomian, dan
sebagainya. Sebagai contoh, bangunan tradisional dirndonesia dulu selalu dibuat dengan
konstruksi kayu. selain kayu banyak dijumpai di lingkungan tropis Indonesia, bahan bangunan ini
bersifat ringan dan tidak menyimpan panas sehingga sesuai untuk wilayah Indonesia yang
sebagian besar berpotensi gempa tinggi serta iklim yang lembap.

3.3.2 ASPEK FUNGSI BANGUNAN DON RUANG


Semua bangunan tentu diharuskan mempunyai sifat aman terhadap gempa, namun prioritas atau
seberapa jauh tingkatannya diberlakukan bergantung pada fungsi bangunan. Bangunan-
bangunan yang mempunyai fungsi gawat darurat dan pertahanan keamanan mempunyai
tingkatan aman gempa yang paling tinggi.
Pembedaan hanya ditujukan untuk sampai seberapa bangunan-bangunan tersebut boleh rusak
jika teryadi gempa. Bangunan dengan level keamanan gempa tertinggi tidak boleh mengalami
rusak jika terjadi gempa sedang hingga besar; level kedua boleh menderita rusak ringan, dan
level ketiga mungkin mengalami rusak sedang. Level terendah mungkin saja terjadi rusak berat
bangunan, namun bangunan tidak boleh runtuh sehingga keselamatan pengguna tetap terjaga.

3.3.3 ASPEK KONSEP DASAR DESAIN BANGUNAN


Konsep dasar yang diwujudkan dalam perencanaan awal atau preliminary design adalah tahapan
perancangan bangunan pada tahap awal untuk menentukan bentuk dan fungsi bangunan.
Konsep dasar inilah yang akan mendasari proses perencanaan dan perancangan selanjutnya.
Pada tahap ini, segala sesuatu yang berkaitan dengan tujuan awal perencanaan bangunan
diputuskan.
Konsep dasar harus sudah dimasukkan unsur keselamatan bangunan terhadap gempa. Hal-hal
yang harus dipertimbangkan adalah:
1. Siteplan
2. Denah
3. Potongan
4. Tampak Bangunan

3.3.4 ASPEK BAHAN BANGUNAN

Penggunaan material atau bahan bangunan sangat memengaruhi kinerja bangunan terhadap
guncangan gempa. Bahan bangunan berkaitan dengan keselamatan terhadap gempa bumi pada
dasarnya dibagi menjadi dua, yaitu material yang mempunyai massa tinggi (berat) dan material
yang bermassa rendah (ringan).

Penggunaan bahan kayu dan baja juga mempunyai kelemahan. Material kayu harus diperhatikan
masa usia pakai, karena kayu yang tidak dilindungi akan mudah lapuk dan kekuatannya sangat
menurun, sehingga mudah hancur jika mendapat beban gempa' Korosi pada baja juga harus
diperhatikan agar tidak memperlemah kekuatan material.

3.3.5 ASPEK BENTUK DAN SISTEM STRUKTUR

Bangunan juga mempunyai frekuensi getar alami yang sebanding dengan bahan bangunan.
Bangunan-bangunan rendah akan mempunyai frekuensi getar alami yang tinggi, dan sebaliknya
dengan bangunanbangunan tinggi. Dengan demikian, gempa dengan frekuensi tinggi, yaitu
gempa yang cenderung mempunyai hiposentrum dangkal dan atau episentrum yang relatif dekat
dengan bangunan akan cenderung mempunyai frekuensi tinggi, dan bangunan rendah akan lebih
banyak terpengaruh dibanding bangunan tinggi karena mempunyai frekuensi yang sama.

Pada bangunan rendah, pada umumnya kerusakan yang terjadi adalah rusaknya atau gagalnya
sistem struktuL sedangkan pada bangunan tinggijuga dapat terguling, baik karena kegagalan
fondasi akibat liquefoction atau momen guling yang tinggi.

3.3.6 ASPEK FASILITAS KEAMANAN TERHADAP GEMPA


1. Akses darurat
Seperti telah disinggung pada pembahasan denah, akses darurat berupa selasar dan tangga
harus disediakan untuk bangunan aman gempa walaupun bangunan sudah menggunakan
escalator (tangga berjalan) atau elevator (lift).
2. Tanda-tanda darurat (emergency signs)
Pada bangunan, tanda-tanda darurat, terutama yang berkaitan dengan lokasi tangga dan
tangga darurat, pintu keluar darurat, serta selasar evakuasi, harus dipasang dengan jelas,
terutama pada ruang-ruang publik.
3. Elemen perlindungan
Yang dimaksud dengan elemen perlindungan adalah bagian dari gedung yang diharapkan
dapat memberi perlindungan saat gempa.
4. Elemen interior
Elemen interior yang dapat memberi perlindungan sebaiknya digunakan. Meja-meja kuat dari
balok kayu harus lebih banyak digunakan dibanding dengan meja-meja dengan bahan ringan
yang relatif murah. Berlindung di kolong meja kuat untuk sementara saat terjadi gempa adalah
prosedur standar penyelamatan diri dari bahaya keruntuhan elemen bangunan saat gempa.
5. Prasarana keselamatan bangunan
Bangunan juga harus dilengkapi prasarana keselamatan bangunan akibat dampak langsung
atau tidak dari gempa. Sistem alarm deteksi dan pemadaman kebakaran harus dipasang pada
bangunan untuk mengurangi efek gempa yang mungkin dengan terjadinya kebakaran.

3.4 TANGGAP DARURAT TERHADAP GEMPA


Pada daerah-daerah rawan gempa, tanggap darurat terhadap gempa harus dipersiapkan dan
dilaksanakan dengan benar. Tujuan dari tanggap darurat ini adalah memperkecil risiko terhadap
kerugian yang lebih besar yang diakibatkan oleh gempa.

3.4.1 PERSIAPAN TANGGAP DARURAT SEBELUM GEMPA


Gempa sulit diprediksikan kapan akan terjadi dan bagaimana ia akan terjadi. Untuk itu, diperlukan
persiapan untuk kemungkinan terburuk pada bangunan. Persiapan tanggap darurat pada
bangunan terdiri dari aspek persiapan kebutuhan dasar yang diperlukan saat gempa dan persiapan
prosedur penanganan ketika gempa terjadi. Persiapan kebutuhan dasar yang harus disediakan
pada gedung adalah meliputi kebutuhan pertolongan pertama dan kebutuhan pokok makanan,
minuman, dan pakaian darurat yang dapat dipergunakan beberapa saat sebelum pertolongan dari
luar datang.
3.4.2 AKSI TANGGAP DARURAT SETELAH GEMPA
Bangunan yang masih berdiri dari guncangan gempa pertama kali secara umum akan tetap
bertahan hingga datangnya gempa susulan yang akan dapat memperlemah kinerja struktur dan
akan merobohkan bangunan. Gempa susulan itu biasanya akan terjadi beberapa saat setelah
gempa pertama yang umumnya lebih kecil energinya namun intensitas daya guncangnya dapat
berdampak lebih pada bangunan dibanding gempa pertama.
Pada umumnya, korban yang diakibatkan oleh gempa adalah karena kegagalan bangunan, baik
pada sistem struktur maupun non-struktur yang terjatuh dan menimpa penghuni gedung.
Bangunan dengan elemen berat seperti balok dan kolom beton relatif dapat runtuh seketika
dibanding dengan bahanyang lebih ringan sepertikayu dan baja. Namun demikian, korban tetap
saja dapat terjadi pada kedua jenis bangunan yang mengalami kerusakan. Jenis luka yang
umumnya ditimbulkan adalah kepala luka dan patah tulang yang diakibatkan oleh elemen-elemen
bangunan tersebut.

3.5 PENILAIAN KERENTANAN SEISMIK


Banyak gempa bumi telah mengakibatkan kerugian luas baik nyawa maupun benda. Identifikasi
kerentanan seismik bangunan pada populasinya sangat dibutuhkan untuk mengurangi risiko
seismik. Hal ini perlu dilakukan untuk menemukan kemungkinan kerusakan untuk jenis bangunan
tertentu yang diakibatkan oleh gempa. Prosedur untuk evaluasi kerentanan dapat dikategorikan
menjadi dua, yakni empiris dan analitis. Sementara kombinasi keduanya dapat digunakan sebagai
metode hibrida.
Evaluasi bangunan dalam jumlah banyak terhadap kerentanan gempa baru dilakukan di awal 70-an
(Calvi,et.al,2006). Beberapa metode telah digunakan dengan menggunakan cara yang sangat teknis
baik dengan menggunakan metode empiris (Matriks Probabilitas Kerusakan, Metode Indeks
Kerentanan, Kurva Kerentanan menerus, Metode Screening) atau analisis (Kurva Kerentanan
analitis-turunan dan DPMS, Metode Hybrid, Metode Mekanisme Runtuh, Metode berbasis Spektrum
Kapasitas, Metode Keruntuhan Total, dan Metode Analisis Evaluasi Umum).
3.6 PERBAIKAN DAN PENGUATAN (RETROFITTING) STRUKTUR BANGUNAN RAWAN GEMPA
Banyak struktur yang dirancang tanpa mengikuti persyaratan terhadap perlindungan dari bahaya
gempa yang memadai. Bangunan-bangunan ini pada umumnya dibangun sebelum pemberlakuan
kode seismic akhir tahun 1960-an bagi negara maju seperti di Amerika Serikat dan Jepang, serta
akhir tahun l-970-an untuk wilayah lain di dunia seperti di Turki dan Cina (NZSEE 2006). Struktur
yang tidak dirancang terhadap gempa ini akan lebih luas cakupannya jika diperluas pada bangunan
nonteknis seperti bangunan vernakular.
3.6.1 STRATEGI RETROFITTING
Strategi retrofitting adalah pendekatan dasar untuk mendapatkan performa seperti peningkatan
kekuatan (strength), peningkatan fleksibiIitas terhadap beban (deformobility), dan mengurangi
perubahan bentuk (deformation). Retrofitting dan strenghtening adalah strategi penyelamatan
bangunan di area rawan gempa, baik sebelum atau sesudah gempa terjadi.
Tujuan dari retrofitting pada bangunan ini adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan kapasitas global (strengthening).Pada umumnya dicapai dengan penambahan
brocing silang atau penambahan dinding geser pada sisi-sisi bangunan secara simetris.
2. Pengurangan pengaruh seismik (seismic demond) dengan system damping tambahan atau
dengan menggunakan isolasi fondasi (bose isolotio n syste ms).
3. Peningkatan kapasitas elemen sistem struktur. Strategi yang dilakukan adalah dengan
mengganti bagian-bagian dari sistem struktur dan bangunan menjadi lebih efektif pada
deformasi/daktilitas, kekuatan dan kekaku an (deformotion/ductility, strength or stiffness).
3 .6.2 TEKNIK RETROFITTING
Untuk mencapai tujuan pada strategi di atas, teknik retrofitting dilakukan pada struktur utama dan
tambahan-tambahan yang diperlukan baik sebelum maupun setelah gempa teiadi.
sebagaitambahan, khusus pada bangunan lama, juga dapat diterapkan teknik sebagai berikut:
1. Eksternal post tensioning
2. Struktur damPer tambahan
3. Perbaikan penyimpangan pada elemen bangunan

Dalam pembahasan ini, perbaikan ditujukan pada sebagian besar kasus yang dijumpai, termasuk
perbaikan kondisi tanah. Kasus-kasus tersebut meliputi:
a. Kasussoftstory
Soft story atau lantai dasar bangunan yang tidak menggunakan dinding pada sisi-sisi luarnya
sering terjadi pada bangunan, terutama pada lantai dasa[ karena alasan yang beragam. Kasus
ini sangat banyak dijumpai hampir di semua tempat, baik di negara maju atau negara
berkembang.
b. Kasus hubungan kolom-balok yang lemah
Pada sistem struktur beton bertulang, mekanisme rangka kaku atau rigid frame diperoleh dengan
sambungan kolom dan balok yang kaku/jepit. Pada sebagian bangunan, terutama yang tidak
diperhitungkan terhadap beban lateral gempa, kolom dan balok dibuat dengan dimensiyang
minimal. Akibatnya, jika terjadi gaya lateral gempa, sambungan-sambungan ini akan "dipaksa"
untuk menerima beban dan bersifat sebagai sendi. Kondisi ini membuat sambungan-sambungan
kolom balok mengalami kerusakan yang dapat mengakibatkan keruntuhan pada bangunan.

c. Kasus kolom/balok beton pecah


Kasus lain yang sering teryadi kebanyakan pada sistem struktur beton bertulang adalah dengan
retak atau pecahnya kolom atau balok. Jika sambungan beton pada hubungan kolom dan balok
dapat tetap kaku, kemungkinan deformasi yang lain dapat terjadi pada elemen-elemen kolom dan
atau balok. Kondisi ini terjadijika elemen balok dan atau kolom tersebut tidak cukup mampu
menahan beban gempa dan tidak cukup fleksibel kembali pada bentuk semula. Kurangnya
penguatan pada begel atau sengkang tulangan dicurigai sebagai penyebab lemahnya kolom dan
balok pada bagian tengahnya.

d. Kasus pelat lantai yang tidak kaku


Pelat lantai adalah bagian dari sistem struktur untuk mendapatkan kekakuan yang menyeluruh.
Pada struktur beton bertulang yang kaku, pelat lantai menjadi kaku dengan sendirinya karena
menyatu dengan balok dan kolom.
e. Kasus kerusakan dinding
Dinding pada struktur bangunan bertingkat pada umumnya bukan bagian dari sistem struktur.
Kecualijika dinding tersebut merupakan dinding pemikul (bearing wal[) atau dinding geser (shear
razal|. Meskipun bukan bagian dari sistem struktuI namun dinding mendukung sistem struktur
untuk menjadi lebih kaku. Dinding yang rusak pada saat terjadigempa justru banyak
menyebabkan jatuhnya korban karena elemen non-struktural inilah yang sering mudah jatuh.
f. Kasus kegagalan tanah
Kegagalan tanah adalah jenis kerusakan akibat gempa yang paling sulit untuk diperbaiki.
Kegagalan tanah ini dapat berupa lapisan tanah yang bergese4 longsor; dan juga kasus
liquefoction dengan bertambahnya kandungan air tanah pada tanah berpasir atau berlumpur.
Fondasi dalam hingga menyentuh lapisan tanah keras mungkin dapat dilakukan. Demikian juga
pada bangu nan existing. Jika bangunan tidak mengalami keruntuhan pada kondisitanah yang
gagal, perbaikan mungkin dapat dilakukan jika skala kegagalan tanah secara ekonomi masih
dapat dilakukan.
g. Kasus struktur kayu lemah
Struktur kayu adalah struktur yang relatif lebih aman terhadap gempa karena ringan dan
mempunyai sifat lentur yang tinggi. Salah satu kelemahan struktur kayu terletak pada
sambungansambungannya yang karena teknik yang digunakan, misal: struktur tradisional,
mempunyai kekuatan yang rendah dibanding batang kayu itu sendiri. Hal ini terjadi karena
penggunaan teknik sambungan tradisional "pen" yang harus melubangi atau mengurangi
sebagian penampang kayu.
h. Kasus struktur masonry lemah
Bangunan dengan sistem struktur masonry atau tembok batu bata sebagai dinding pemikul
memang tidak disarankan untuk digunakan pada bangunan di lokasi rawan gempa. Dinding
pemikul batu bata tidak mempunyai kemampuan mendukung gaya geser yang diakibatkan oleh
gempa. Oleh sebab itu, kerusakan besarsering dijumpai pada jenis bangunan ini. Penguatan
harus dilakukan pada dinding untuk membuat bangunan lebih aman terhadap gempa.

Anda mungkin juga menyukai