Anda di halaman 1dari 3

Mahasiswa, Pionir dalam Kesejahteraan “Permata” Papua

Papua, mendengar kata ini pasti yang pasti terbenak dalam pikiran banyak orang adalah
pemandangan alamnya yang indah, Cendrawasih – burung endemik tanah Papua yang
terkenal akan keindahannya, Noken – tas tradisional yang dirajut menggunakan kulit
kayu, dan masih banyak lagi. Namun suatu keindahan budaya dan alam tidaklah
lengkap jika tidak disertai dengan kualitas sumber daya manusia yang mampu
memanfaatkan semua itu menjadi suatu usaha yang dapat menghasilkan keuntungan.

Orang Asli Papua atau OAP adalah “permata” tanah Papua yang dimana setiap dari
mereka adalah penerus dari tanah Papua. Namun apa daya jika suatu permata tidak
dirawat dengan baik, maka nilai nya pun akan turun bahkan hilang dimata orang lain.

Sebagaimana juga suatu usaha – tentu tidak akan berjalan baik jika tidak dibarengi
dengan kualitas dan kompetensi individu yang mengatur usaha tersebut. Bagi orang
Papua sendiri, mayoritas dari mereka bermata pencaharian sebagai seorang nelayan,
ojek, penjual pinang, dan tukang parkir. Suatu pekerjaan yang kebanyakan orang akan
menggangapnya sebagai pekerjaan “samping” atau dalam bahasa kasar nya, biasa-biasa
saja. Tapi, apakah bisa para “permata” Papua menjadi seorang pelaku usaha yang
berkualitas dan kreatif?

Seperti yang ditekankan pada poin diatas, kita tahu bahwa Papua memiliki banyak
kekayaan yang dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber atau modal mereka
dalam mencari pendapatan. Sebagai contoh, noken. Noken sendiri telah menjadi “jiwa”
bukan hanya untuk orang asli Papua saja, melainkan mereka semua yang tinggal di
tanah Papua. Noken menjadi suatu ciri khas tersendiri karena keunikan nya sebagai
suatu tas tradisional, tidak hanya dari bentuk melainkan dari filosofi mendalam yang
dimiliki noken itu sendiri, sebagai sebuah tanda perdamaian, kesuburan, bahkan
menjadi suatu lambang kedewasaan bagi perempuan asli Papua. Tidak mengherankan
jika tas yang biasanya kita lihat digunakan “mama-mama” ini menjadi suatu warisan
yang diakui UNESCO pada tahun 2012.
Lain dari noken, tapi tak kalah menarik, yaitu Khombow atau sering dikenal oleh
masyarakat luas sebagai lukisan kulit kayu. Khombow sendiri berasal dari Kampung
Asei Besar, Sentani Timur, Jayapura. Menjadi presentasi dalam bentuk goresan warna
yang beragam akan motifnya, Khombow selalu menjadi tanda akan peringatan dalam
kehidupan sehari-hari warga Kampung Asei. Namun sejalannya dengan waktu,
Khombow mulai beradaptasi dengan lingkungan modern dan terbuka. Mulai masuknya
motif dan filosofi baru dari luar Kampung Asei tidak menghilangkan daya tarik dari
Khombow untuk menjadi suatu karya asli masyarakat Asei. Justru, membuat budaya
Khombow merambat menjadi karya untuk seluruh orang Papua

Bagi UMKM Papua, karya-karya ini bukan hanya suatu sumber untuk mata pencaharian
saja, melainkan lebih dari itu – sebuah tujuan dalam melestarikan budaya dan warisan
kepada anak cucu dan orang banyak yang ingin berkontribusi dalam pelestariannya.
Karya-karya Papua selalu membuka lapangan kerja dengan menjadi ajang untuk
menunjukkan kreatifitas masyarakat lokal. Produksi yang berkelanjutan dan ikut
sertanya pemerintah dan masyarakat dalam mempromosikan karya-karya ini juga akan
menambah minat para pembeli baik dari dalam negeri maupun mancanegara.

Tapi jelas, suatu karya tentu tidak lepas yang namanya hak cipta, baik hasil buatan
individu maupun kelompok. Noken dan Khombow sudah menjadi bagian dalam
kehidupan masyarakat Papua, tapi bukan berarti tidak ada pihak yang akan berusaha
mengambil “bagian kehidupan” itu dari mereka. Seperti yang dilakukan oleh bapak
Anthonius Ayorababa selaku kepala Kantor Kemenkumham Papua, dimana beliau
beserta jajaran ikut membatu mempertahankan kesejahteraan UMKM Papua lewat
pengurusan sertifikat HaKI (Hak Kekayaan Intelektual) sebagai bukti nyata pemerintah
dalam melindungi hak masyarakat asli dalam berkarya.

Bagi mahasiswa, khususnya mereka yang tinggal di tanah Papua. Harus ada kontribusi
sebagai seorang penerus dari karya-karya ini, dengan ikut memberi pemahaman dan
edukasi kepada orang-orang lewat perkataan dan kegiatan nyata, kita dapat menunjukan
kepada orang banyak betapa penting nya suatu karya tradisional bagi masyarakat Papua.
Tidak hanya untuk karya, mahasiswa juga harus berkontribusi untuk “permata” Papua
itu sendiri, menjadi seorang “pionir” dalam memberi manfaat kepada masyarakat asli
dalam mengedukasi pentingnya usaha yang baik dan jujur, serta menghindari adanya
penipuan dari pihak tak bertanggung jawab baik dalam bentuk investasi ataupun
monopoli.

Dengan adanya digitalisasi juga membantu kita untuk melestarikan budaya-budaya ini
lebih luas dan cepat, mempromosikan dan memberi opini lewat berbagai media secara
tidak langsung akan menambah minat dan juga wawasan kepada mereka yang belum
dan ingin tahu akan budaya Papua, terlebih lagi memberi kesempatan bagi banyak orang
asli Papua dalam menghasilkan pendapatan lewat karya-karya tradisional mereka.

Dosen saya pernah berkata “Seorang aktivis adalah mereka mengorbankan suara dan
tenaga lewat kontribusi nyata demi kesejahteraan masyarakat, bukan mereka yang
berteriak lebih keras, menuntut adanya keadilan dan hak asasi tapi disisi lain tidak sadar
akan kemunafikan mereka dalam menghalangi hak orang lain”.

Mungkin tidak semua dari kita adalah aktivis, tapi marilah kita memiliki sifat seorang
aktivis sejati yang tidak hanya berkata-kata saja melainkan juga bertindak dalam
kesejahteraan para pelaku usaha di Papua dalam melestarikan budaya asli Papua.

Anda mungkin juga menyukai