Anda di halaman 1dari 11

Seni Karawitan adalah seni mengolah bunyi benda atau alat bunyi-bunyian (instrumen) tradisional.

Di
Bali, kaprahnya, alat bunyi-bunyian tradisional disebut gamelan atau gambelan. Dalam gamelan ada alat
musik tabuh, gesek, tiup, petik dan sebagainya.

Menurut jamannya, Gamelan Bali dibagi menjadi 3 bagian besar:


Gamelan wayah atau gamelan tua diperkirakan telah ada sebelum abad XV. Umumnya didominir oleh
alat-alat berbentuk bilahan dan tidak mempergunakan kendang.

Kalaupun ada kendang, dapat dipastikan bahwa peranan instrumen ini tidak begitu menonjol.
Beberapa gamelan golongan tua antara lain :

 Angklung – Gender Wayang


 Balaganjur – Genggong
 Bebonangan – Gong Beri
 Caruk – Gong Luwang
 Gambang – Selonding

Gamelan Madya Barungan madya, yang berasal dari sekitar abad XVI-XIX, merupakan barungan
gamelan yang sudah memakai kendang dan instrumen-instrumen bermoncol (berpencon). Dalam
barungan ini, kendang sudah mulai memainkan peranan penting. Beberapa gamelan golongan Madya
adalah:

 Batel Barong
 Bebarongan
 Gamelan Joged Pingitan
 Gamelan Penggambuhan
 Gong Gede
 Pelegongan
 Semar Pagulingan

Gamelan Anyar Gamelan Anyar adalah gamelan golongan baru, yang meliputi jenis-jenis barungan
gamelan yang muncul pada abad XX. Barungan gamelan ini nampak pada ciri-ciri yang menonjolkan
permainan kendang. Beberapa gamelan golongan Anyar sebagai berikut:

 Adi Merdangga – Gamelan Manikasanti


 Bumbung Gebyog – Gamelan Semaradana
 Gamelan Bumbang – Gong Suling
 Gamelan Geguntangan – Jegog
 Gamelan Genta Pinara Pitu – Kendang Mabarung
 Gamelan Gong Kebyar – Okokan / Grumbungan
 Gamelan Janger – Tektekan
 Gamelan Joged Bumbung

Suara gong/ gamelan di Pura juga sering mengganggu kehidmatan upacara, karena gambelan
ditempatkan di utama mandala apalagi irama gongnya tidak sesuai dengan suasana hening yang ingin
diciptakan. Gambelan mestinya berada di Madya Mandala, iramanya yang lambat tetapi sakral misalnya
tabuh telu, lelambatan, dll. Di Bali jenis gambelan disesuaikan dengan tujuan upacara. Misalnya untuk
suasana sedih ketika meninggal dunia sampai ngaben digunakan angklung, namun ketika ke setra perlu
kebulatan tekad dan semangat tinggi, digunakan gong baleganjur; ketika ngaskara perlu suasana sakral
magis bervibrasi perjalanan atma ke sunia loka, digunakan gambang. Pada upacara manusia yadnya
digunakan gender, upacara di Pura: gong gede, juga untuk Nyekah yang dilaksanakan di dalam sanggah
pamerajan.

Perkembangan Karawitan Bali

Dalam periode tahun 1970 sampai dengan 1990an, seni karawitan Bali mengalami kemajuan yang cukup
menggembirakan. Kemajuan seni karawitan Bali pada waktu itu memperlihatkan dua sisi yang menarik
dan sangat menentukan masa depan dari seni karawitan di daerah ini.

Di satu sisi telah terjadi penyebaran gamelan keseluruh Bali, bahkan keluar daerah serta keluar negeri.
Kondisi ini diikuti oleh munculnya komposisi-komposisi karawitan baru yang semakin rumit dengan teknik
permainan yang semakin kompleks.

Di sisi lain terlihat terjadinya perubahan ekspresi musikal dan pembaruan gaya-gaya musik lokal. Di Bali
dewasa ini hampir setiap desa telah memiliki gamelan. Banyak desa bahkan memiliki 2 – 3 barungan
gamelan. Namun demikian tidak dapat dipungkiri lagi bahwa jenis gamelan yang paling baik
perkembangannya adalah Gong Kebyar. Kiranya hal ini disebabkan oleh keberadaan daripada barungan
gamelan ini yang serba guna dan yang paling sesuai dengan selera masyarakat banyak terutama
kalangan generasi muda. Ada bebrapa contoh yang dapat dijadikan bukti terhadap perkembangan Gong
Kebyar ini. Di desa Singapadu sebuah desa di Kabupaten Gianyar misalnya, hingga sekitar akhir tahun
1960 hanya ada 1 barung Gong Kebyardan 7 barung gamelan Geguntanganatau Paarjan. Dua puluh
tahun kemudian di desa yang terdiri dari 13 banjar dinas ini telah ada 6 barung Gong Kebyar dan 2
barung Geguntangan. Jumlah ini masih perlu ditambah 2 barung Gong Kebyar yang dimiliki oleh sanggar
atau sekaa pribadi. Di kota-kota besar diluar Bali seperti Surabaya, Yogyakarta, Bandung dan Jakarta
juga telah berdiri group musik dan gamelan Bali. Dapat dipastikan bahwa gamelan yang dimiliki oleh
group-group ini adalah gamelan Gong Kebyar. Di tingkat Internasional, gamelan Bali(Gong Kebyar,
Semar Pagulingan dan Gender Wayang)sudah tersebar ke Eropa, Jerman, Australia, Jepang, Canada,
India dan mungkin yang terbanyak ke Amerika Serikat. Walaupun kebanyakan dari barungan gamelan
Bali ini ditempatkan di perwakilan RI, ataupun universitas-universitas, semakin banyak group-group
swasta dan perorangan yang memiliki gamelan sendiri. Group Sekar Jaya El Ceritto, California, Giri
Mekar di Woodstock, New York (keduanya di Amerika Serikat), dan group Sekar Jepun di Tokyo Jepang
adalah beberapa group kesenian asing yang hingga kini masih aktif. Menjadi semakin kompleksnya
komposisi gamelan Bali yang diwarnai dengan melodi serta teknik cecadetan yang semakin rumit.

Belakangan ini muncul komposisi-komposisi musik baru yang menampilkan melodi yang lincah dan
mempergunakan banyak nada. Hal ini sangat berbeda dengan gending-gending dari masa lampau yang
melodi-melodinya sangat sederhana, mempergunakan beberapa nada saja dan berisikan banyak
pengulangan. Pola-pola cecadetan yang muncul belakangan ini sudah banyak memakai pola ritme/
hitungan tidak ajeg seperti tiga, lima atau tujuh.

Dalam komposisi lama, dalam gender wayang sekalipun pola ritme/ hitungan ajeg sangat dominan.
Perubahan ini juga diikuti oleh masuknya jenis pukulan rampak dan keras, yang datangnya secara tiba-
tiba seperti yang terjadi pada Gong Kebyar. Tambah lagi ekspresi musikal hampir semua gamelan Bali
menjadi “ngebyar” (meniru Gong Kebyar). Nampaknya perubahan ini besar kaitannya dengan adanya
pengaruh gamelan Gong Kebyar.
Kecenderungan yang lain adalah pengembangan barungan dengan cara menambah beberapa instrumen
baru. Gejala ini yang terlihat dalam pengembangan gamelan Geguntangan, munculnya Adi Merdangga
dan gamelan pengiring sendratari. Hal ini kiranya berkaitan dengan munculnya stage-stage pementasan
besar dengan penonton yang berada jauh dari arena pentas (tempat menari). Agar musik dapat didengar
oleh penonton yang berada di kejauhan ini, maka penambahan instrumen menjadi perlu selain
menggunakan sistem amplifikasi. Misalnya saja pada tahun 1970, gamelan Geguntangan adalah suatu
barungan kecil yang menimbulkan suara lembut merdu. Kini Geguntangan sudah dilengkapi dengan
beberapa buah kulkul, dengan beberapa instrumen bilah seperti cuing dan lain-lain. Ada kecenderungan
bahwa perkembangan seni Karawitan Bali lebih didominir oleh gaya Bali Selatan.

Seni Karawitan sebagaimana halnya kesenian Bali lainnya, juga meliputi dua gaya daerah : Bali utara
dan Bali Selatan. Perbedaan antara kedua gaya ini tampak jelas dalam tempo, dinamika dan ornamentasi
dari pada tabuh- tabuh dari masing-masing gaya.

Secara umum dapat dikatakan bahwa untuk tempo tabuh-tabuh Bali Utara cenderung lebih cepat dari
yang di Bali Selatan. Hal ini juga menyangkut masalah dinamika di mana tanjakan dan penurunan tempo
musik Bali Utara lebih tajam daripada Bali Selatan. Namun demikian, ornamentasi tabuh-tabuh Bali Utara
cenderung lebih rumit daripada Bali Selatan. Akhir-akhir ini tabuh-tabuh gaya Bali Utara terasa semakin
jarang kedengarannya, sebaliknya tabuh-tabuh Bali Selatan semakin keras gemanya. Semua yang sudah
diuraikan di atas mengisyaratkan kemajuan karawitan Bali baik secara kuantitas maupun kwalitas. Ada
kecendrungan bahwa di masa yang akan datang seni karawitan Bali, khususnya instrumental yang
didominir oleh gamelan Gong Kebyar dan ekspresi “ngebyar” akan masuk ke jenis-jenis gamelan non-
Kebyar. Sementara karawitan gaya Bali Utara dan Selatan akan berbaur menjadi satu (mengingat
pemusik kedua daerah budaya ini sudah semakin luluh), gamelan klasik seperti Semar
Pagulingan nampaknya akan bangkit kembali.

Di masa yang akan datang, bentuk-bentuk seni karawitan dan barungan gamelan Bali baru akan terus
bermunculan. Adanya “kebiasaan” dikalangan seniman Bali untuk terus mencoba, mencari dan menggali
ide-ide baru, baik dari dalam seni budaya tradisi mereka maupun dari unsur luar yang senafas, sangat
memungkinkan akan terwujudnya perkembangan seni karawitan Bali yang lebih baik di masa yang akan
datang.

Tempat Menghaturkan Saiban

Ada 5 (lima) tempat penting yang dihaturkan Yadnya Sesa (Mesaiban), sebagai simbol dari
Panca Maha Bhuta:

1. Pertiwi(tanah),biasanya ditempatkan pada pintu keluar rumah atau pintu halaman.


2. Apah(Air), ditempatkan pada sumur atau tempat air.
3. Teja(Api), ditempatkan di dapur, pada tempat memasak(tungku) atau kompor.
4. Bayu, ditempatkan pada beras,bisa juga ditempat nasi.
5. Akasa, ditempatkan pada tempat sembahyang(pelangkiran,pelinggih dll).

Tempat-tempat melakukan saiban jika menurut Manawa Dharmasastra adalah: Sanggah


Pamerajan, dapur, jeding tempat air minum di dapur, batu asahan, lesung, dan sapu.
Hari raya Kuningan adalah hari raya yang dirayakan umat Hindu Dharma di Bali. Perayaan ini
jatuh pada hari Saniscara (Sabtu), Kliwon, wuku Kuningan. Hari raya ini dilaksanakan setiap
210 hari, dengan menggunakan perhitungan kalender Bali (1 bulan dalam kalender Bali = 35
hari). Sepuluh hari setelah hari raya Galungan. Kata Kuningan memiliki
makna "kauningan" yang artinya mencapai peningkatan spiritual dengan cara introspeksi agar
terhindar dari mara bahaya.

Pada hari Kuningan, umat Hindu Bali membuat nasi kuning sebagai lambang kemakmuran dan
dihaturkan sesaji sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep sebagai manusia (umat)
menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya
itu dilimpahkan oleh beliau kepada umat-Nya atas dasar cinta-kasihnya. Di
dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-
wayangan (malaikat) yang melimpahkan anugerah kemakmuran kepada umat manusia.

Sarana upacara sebagai simbol kemeriahan terdiri dari berbagai macam jejahitan yang


mempunyai simbol sebagai alat-alat perang yang diperadekan seperti tamiyang
kolem, ter, ending, wayang-wayang dan lain sejenisnya. Dalam upacara Kuningan, menggunakan
upakara sesaji yang berisi simbol tamiang dan endongan, dimana makna tamiang memiliki
lambang perlindungan dan juga melambangkan perputaran roda alam yang mengingatkan
manusia pada hukum alam. Sedangkan Endongan maknanya adalah perbekalan. Bekal yang
paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti (jnana). Sarana
lainnya, yakni ter dan sampian gantung. Ter adalah simbol panah (senjata) karena bentuknya
memang menyerupai panah. Sementara sampian gantung sebagai simbol penolak bala.
Jika masyarakat tak mampu menyesuaikan diri dengan alam, atau tidak taat dengan hukum alam,
risikonya akan tergilas oleh roda alam. Karena itu, melalui perayaan ini umat diharapkan mampu
menata kembali kehidupan yang harmonis (hita) sesuai dengan tujuan agama Hindu. Sementara
senjata yang paling ampuh adalah ketenangan pikiran.
Perayaan ini juga dimaksudkan agar umat selalu ingat kepada Sang Pencipta, Ida Sang Hyang
Widi Wasa dan mensyukuri karunia-Nya. Melalui perayaan ini umat juga dituntut selalu
ingat menyama braya(bersaudara), meningkatkan persatuan dan solidaritas sosial. Selain itu,
melalui rerahinan umat diharapkan selalu ingat kepada lingkungan sehingga tercipta harmonisasi
alam semesta beserta isinya. Tujuan pelaksanaan upacara kuningan ini adalah untuk memohon
kesentosaan, kedirgayusan serta perlindungan dan tuntunan lahir dan batin.

Hari raya untuk memuja Saraswati dilakukan setiap 210 hari yaitu setiap hari Sabtu Umanis
Watugunung. Besoknya, yaitu hari Minggu Paing wuku Sinta adalah hari Banyu Pinaruh yaitu
hari yang merupakan kelanjutan dari perayaan Saraswati. Perayaan Saraswati berarti mengambil
dua wuku yaitu wuku Watugunung (wuku yang terakhir) dan wuku Sinta (wuku yang pertama).
Hal ini mengandung makna untuk mengingatkan kepada manusia untuk menopang hidupnya
dengan ilmu pengetahuan yang didapatkan dari Sang Hyang Saraswati. Karena itulah ilmu
penge-tahuan pada akhirnya adalah untuk memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Dewi
Saraswati.
Pada hari Sabtu wuku Watugunung itu, semua pustaka terutama Weda dan sastra-sastra agama
dikumpulkan sebagai lambang stana pemujaan Dewi Saraswati. Di tempat pustaka yang telah
ditata rapi dihaturkan upacara Saraswati. Upacara Saraswati yang paling inti adalah banten
(sesajen) Saraswati, daksina, beras wangi dan dilengkapi dengan air kumkuman (air yang diisi
kembang dan wangi-wangian). Banten yang lebih besar lagi dapat pula ditambah dengan banten
sesayut Saraswati, dan banten tumpeng dan sodaan putih-kuning. Upacara ini dilangsungkan
pagi hari dan tidak boleh lewat tengah hari.

Menurut keterangan lontar Sundarigama tentang Brata Saraswati, pemujaan Dewi Saraswati
harus dilakukan pada pagi hari atau tengah hari. Dari pagi sampai tengah hari tidak
diperkenankan membaca dan menulis terutama yang menyangkut ajaran Weda dan sastranya.
Bagi yang melaksanakan Brata Saraswati dengan penuh, tidak membaca dan menulis itu
dilakukan selama 24 jam penuh. Sedangkan bagi yang melaksanakan dengan biasa, setelah
tengah hari dapat membaca dan menulis. Bahkan di malam hari dianjurkan melakukan malam
sastra dan sambang samadhi.

Besoknya pada hari Radite (Minggu) Paing wuku Sinta dilangsungkan upacara Banyu Pinaruh.
Kata Banyu Pinaruh artinya air ilmu pengetahuan. Upacara yang dilakukan yakni menghaturkan
laban nasi pradnyam air kumkuman dan loloh (jamu) sad rasa (mengandung enam rasa). Pada
puncak upacara, semua sarana upacara itu diminum dan dimakan. Upacara lalu ditutup dengan
matirtha. Upacara ini penuh makna yakni sebagai lambang meminum air suci ilmu pengetahuan.
FILOSOFIS DAN MITOLOGI
Upacara dan upakara dalam agama Hindu pada hakikatnya mengandung makna filosofis sebagai
penjabaran dari ajaran agama Hindu. Secara etimologi, kata Saraswati berasal dari Bahasa Sansekerta
yakni dari kata Saras yang berarti "sesuatu yang mengalir" atau "ucapan". Kata Wati artinya memiliki.
Jadi kata Saraswati secara etimologis berarti sesuatu yang mengalir atau makna dari ucapan. Ilmu
pengetahuan itu sifatnya mengalir terus-menerus tiada henti-hentinya ibarat sumur yang airnya tiada
pernah habis mes-kipun tiap hari ditimba untuk memberikan hidup pada umat manusia. Sebagaimana
disebutkan, Saraswati juga berarti makna ucapan atau kata yang bermakna. Kata atau ucapan akan
memberikan makna apabila didasarkan pada ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan itulah yang akan
menjadi dasar orang untuk menjadi manusia yang bijaksana. Kebijaksanaan merupakan dasar untuk
mendapatkan kebahagiaan atau ananda. Kehidupan yang bahagia itulah yang akan mengantarkan atma
kembali luluh dengan Brahman.

Dalam upacara atau hari raya Saraswati, bagi umat Hindu di Indonesia, upacara dihaturkan dalam
tumpukan lontar-lontar atau buku-buku keagamaan dan sastra termasuk pula buku-buku ilmu
pengetahuan lainnya. Bagi umat Hindu di Indonesia aksara yang merupakan lambang itulah sebagai
stana Dewi Saraswati. Aksara dalam buku atau lontar adalah rangkaian huruf yang membangun ilmu
pengetahuan aparawidya maupun parawidya. Aparawidya adalah ilmu pengetahuan tentang ciptaan
Tuhan seperti Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Parawidya adalah ilmu pengetahuan tentang sang
pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu di Indonesia - juga di Bali - tidak ada pelinggih khusus
untuk memuja Saraswati yang di Bali diberi nama lengkap Ida Sang Hyang Aji Saraswati.

Gambar atau patung Dewi Saraswati yang dikenal di Indonesia berasal dari India. Dewi Saraswati ada
digambarkan duduk dan ada pula versi yang berdiri di atas angsa dan bunga padma. Ada juga yang
berdiri di atas bunga padma, sedangkan angsa dan burung meraknya ada di sebelah menyebelah
dengan Dewi Saraswati. Tentang perbedaan versi tadi bukanlah masalah dan memang tidak perlu
dipersoalkan. Yang terpenting dari penggambaran Dewi Saraswati itu adalah makna filosofi yang ada di
dalam simbol gambar tadi. Dewi yang cantik dan berwibawa menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan
itu adalah sesuatu yang amat menarik dan mengagumkan. Kecantikan Dewi Saraswati bukanlah
kemolekan yang dapat merangsang munculnya nafsu birahi.
Dalam tradisi agama Hindu di Bali pada khususnya, ketika seorang anak mulai menginjak usia
remaja atau sudah  dewasa wajib melaksanakan Upacara Potong Gigi. Upacara Potong Gigi atau
yang biasanya juga disebut dengan istilah Mepandes,Metatah atau Mesangih merupakan upacara
yang bermakna untuk menemukan hakekat manusia sejati yang terlepas dari belenggu kegelapan
dari pengaruh Sad Ripu dalam diri manusia.
Sad Ripu adalah enam jenis musuh yang timbul dari sifat-sifat asubha karma atau perbuatan
yang tidak baik dalam diri manusia itu sendiri, yaitu :
1. Kama, sifat penuh nafsu indriya.
2. Lobha, sifat loba dan serakah.
3. Krodha, sifat kejam dan pemarah.
4. Mada, sifat mabuk dan kegila-gilaan
5. Moha, sifat bingung dan angkuh.
6. Matsarya, sifat dengki dan irihati.
Ciri-ciri Fisik Siap Metatah

Upacara Potong Gigi merupakan bagian dari Manusa Yadnya, yang pada hakikatnya jika ciri-
cirinya secara fisik sudah menginjak remaja dapat melaksanakan Upacara Potong Gigi. Ciri-
cirinya adalah sebagai berikut:

1. Pada wanita dapat dilakukan setelah mendapatkan menstruasi yang pertama.


2. Pada pria dapat dilakukan setelah mengalami perubahan suara.
Ciri-ciri tersebut dapat dijadikan landasan awal bahwa si anak sudah siap untuk Metatah akan
tetapi tidak diharuskan pada saat itu juga, karena harus ditunjang dari kesiapan finansial juga.

Tujuan Upacara Potong Gigi

Ada beberapa tujuan dari Upacara Potong Gigi yang tidak kalah penting untuk diketahui, yaitu
sebagai berikut:
1. Menghilangkan kotoran diri dalam wujud kala, bhuta, pisaca dan raksasa dalam arti jiwa
dan raga diliputi oleh watak Sad Ripu sehingga dapat menemukan hakekat manusia yang
sejati.
2. Untuk dapat bertemu kembali dengan bapak dan ibu yang telah berwujud suci.
3. Untuk menghindari hukuman didalam neraka nanti yang dijatuhkan oleh Bhatara
Yamadipati berupa mengigit pangkal bambu petung. Hal ini tertera dalam
Lontar Atmaprasangsa.
4. Memenuhi kewajiban orang tua kepada anaknya untuk menjadi manusia yang sejati.
Susunan Upacara Potong Gigi

Berdasarkan ketentuan dalam lontar Dharma Kahuripan dan lontar Puja Kalapati, bahwa tahapan
upacara potong gigi disebutkan sebagai berikut :

1. Magumi padangan, Upacara ini juga di sebut mesakapan kepawon dan dilaksanakan di
dapur.
2. Nekeb, Upacara ini dilakukan di meten atau di gedong
3. Mabyakala, Ini dilakukan di halaman rumah di depan meten atau gedong.
4. Ke Merajan, atau tempat suci di dalam rumah. Urut – urutan upacara di merajan yaitu :
Mohon penugrahan kepada Bhatara Hyang Guru, Menyembah Ibu dan Bapak, Ngayab
caru ayam putih, Mohon tirtha (air suci) kepada Bhatara Hyang Guru, Ngerajah gigi
(Menulis gigi dengan wijaksara) dan Di pahat taringnya secara tiga kali.
Menuju ketempat potong gigi, Urut – urutan upacaranya :

1. Sembahyang kepada Bhatara Surya dan kepada Bhatara Sang Hyang Semara Ratih dan
mohon tirtha kepada beliau berdua.
2. Ngayab banten pengawak di bale dangin,
3. Metatah atau memotong / mengasah dua buah taring dan empat buah gigi seri pada
rahang atas dan Turun dari tempat potong gigi, jalannya ke hilir dengan menginjak
banten paningkeb.
Kembali ke meten / gedong tempat ngekeb. Bila ingin berganti pakaian, sekarang bias dilakukan
mejaya – jaya di merajan. Urutan upacaranya :
1. Mabyakala
2. Sembahyang kepada : Bhatara Surya, Leluhur dan Bhatara Samudaya.
3. Menuju ke hadapan Sang Muput Upacara, disini dilakukan meeteh – eteh persediaan :
prayascita, Pangrabodan, Ngayab pungun – pungun dan pajejiwan, Matirtha penglukatan,
pebersihan dan kekuluh, Mejaya – jaya, Ngayab banten otonan, Ngayab banten pawinten-
digunakan dan Mapadamel
4. Kembali ke meten/gedong tempat ngekeb.
5. Mapinton ke Pura Kahyangan Tiga, ke Pura Kawitan dan ke Pura lainnya yang menjadi
pujaannya.
Hal penting yang dapat disimpulkan dan perlu diingat ialah tujuan dari upacara ini untuk
meminimalkan sifat negatif dari orang yang bersangkutan, akan tetapi tidak berarti bahwa setelah
upacara ini dilakukan orang itu sifatnya akan menjadi sepenuhnya baik . Semua kembali kepada
pribadi masing-masing setiap orang. Apakah mempunyai dasar dan keinginan yang kuat dalam
merubah diri menjadi pribadi yang lebih baik.

Sebelum hari raya galungan, ada beberapa rangkaian hari raya suci yang dirayakan umat Hindu
dimana hari raya tersebut sebagai persiapan menyambut hari raya galungan.

1. Sugihan Tenten, jatuh pada Buda Pon Wuku Sungsang atau tujuh hari sebelum Hari Raya
Galungan. Sugihan ini disebut Sugihan Tenten karena merupakan hari ngentenin atau
memperingatankan, mengingatkan umat manusia bahwa sebelum Kemenangan Dharma
tiba Bhuta Tiga akan hadir untuk menggoda umat manusia.
2. Sugihan Jawa atau Sugihan Jaba.
Sebuah upacara dalam rangka menyucikan bhuana agung (makrocosmos) yang jatuh pada
hari Kamis Wage Sungsang. Kata Sugihan berasal dari urat kata Sugi yang artinya
membersihkan dan Jaba artinya luar, dalam lontar sunarigama dijelaskan sebagai berikut:
bahwa Sugihan Jawa merupakan “Pasucian dewa kalinggania pamrastista bhatara kabeh”
(pesucian dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini
dengan membersihkan segala tempat dan peralatan upacara dimasing-masing tempat suci.
3. Sugihan Bali, Bali dalam bahasa sansekerta berarti kekuatan yang ada dalam diri. Jadi
Sugihan Bali memiliki makna yaitu menyucikan diri sendiri sesuai dengan lontar
sunarigama: “Kalinggania amrestista raga tawulan” (oleh karenanya menyucikan badan
jasmani masing-masing /mikrocosmos) yaitu dengan memohon tirta pembersihan
/penglukatan.
4. Panyekeban, Jatuh pada hari Minggu Pahing Dungulan. Panyekeban artinya
mengendalikan semua indrya dari pengaruh negatif, karena hari ini Sangkala Tiga Wisesa
turun ke dunia untuk mengganggu dan menggoda kekokohan manusia dalam
melaksanakan Hari Galungan. Dalam Lontar Sunarigama disebutkan: “Anyekung Jnana”
artinya mendiamkan pikiran agar tidak dimasuki oleh Bhuta Galungan dan juga
disebutkan “Nirmalakena” (orang yang pikirannya yang selalu suci) tidak akan dimasuki
oleh bhuta galungan.
5. Penyajaan, Artinya hari ini umat mengadakan Tapa Samadhi dengan pemujaan kepada
Ista Dewata. Penyajan dalam lontar Sunarigama disebutkan: “Pangastawaning Sang
Ngamong Yoga Samadhi” upacara ini dilaksanakan pada hari Senin Pon Dungulan.
6. Penampahan, Berasal dari kata tampah atau sembelih artinya; bahwa pada hari ini
manusia melakukan pertempuran melawan Adharma, atau hari untuk mengalahkan Bhuta
Galungan dengan upacara pokok Mabyakala yaitu; membayar kepada Bhuta Kala. Makna
sesungguhnya dari hari penampahan ini adalah membunuh sifat-sifat kebinatangan yang
ada pada diri, bukan semata-mata membunuh hewan korban, karena musuh sebenarnya
ada didalam diri, bukan di luar dan termasuk sifat hewani tersebut. Ini sesuai dengan
lontar Sunarigama yaitu; “Pamyakala kala malaradan” artinya membayar hutang kepada
ruang dan waktu. Bhuta = ruang, Kala = waktu, jadi Bhuta kala adalah ruang dan waktu,
jadi harus diharmonisasi karena kita hidup diantara keduanya termasuk Atma hidup
diantara ruang dan waktu jasmani ini.
7. Galungan, Inilah puncak rahina jagat. Hari kemenangan dharma terhadap adharma
setelah berhasil mengatasi semua godaan selama perjalan hidup ini, dan merupakan titik
balik agar manusia senantiasa mengendalikan diri dan berkarma sesuai dengan dharma
dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan dalam usaha mencapai ananda atau
jagadhita dan moksa serta shanti dalam hidup sebagai mahluk yang berwiweka.
8. Manis Galungan, Setelah merayakan kemenangan, manusia merasakan nikmatnya
(manisnya) kemenangan dengan mengunjungi sanak saudara dengan penuh keceriaan.
9. Pemaridan Guru, Jatuh pada hari Sabtu Pon Dungulan, maknanya pada hari ini
dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirgayusan
yaitu; hidup sehat umur panjang dan hari ini umat menikmati waranugraha dari dewata.
Demikian makna Hari Raya Galungan sebagai hari pendakian spritual dalam mencapai
kemenangan/wijaya dalam hidup ini ditinjau dari sudut pelaksanaan upacara dan
filosofisnya.
10. Kuningan, Akhirnya pada hari raya Kuningan merupakan hari yang sangat berbahagia
bagi umat manusia di Bumi dan alam Semesta. Ida Bhatari Durga Nawa Ratri sedang
turun ke Bumi mengunjungi umat manusia yang memuja dan berbakti kepada Beliau
serta menganugrahkan kasih sayang kepada alam marcapada dan isinya.

Sugihan Jawa dan Sugihan Bali


Sugihan jawa dirayakan pada kamis wage wuku Sungsang yang bermakna untuk menyucikan Bhuana Agung
(Alam). Sedangkan Sugihan Bali Dirayakan Keesokan harinya, yaitu hari jumat Kliwon wuku Sungsang
dengan makna untuk menyucikan Bhuana Alit (Diri Sendiri).

2 2.  Penyekeban
Penyekeban jatuh pada hari minggu pahing wuku dungulan. Pada hari ini orang-orang nyekeb (istilah bali yang
berarti menyimpan/menyiapkan buah-buahan) untuk hari raya Galungan. Maknanya adalah “Anyekung Jnana”
(Mendiamkan/mengendalikan pikiran) agar tidak dimasuki oleh Bhuta Galungan yang sudah turun ke dunia
pada hari tersebut.

3 3.  Penyajaan
Jatuh pada hari senin Pon Wuku Dungulan, pada hari ini orang-orang membuat jajan untuk Hari Raya
Galungan. Orang yang paham akan yoga dan Samadhi melakukan pemujaan pada hari ini.
Dalam lontar disebutkan pangasta-waning sang ngamong yoga Samadhi. Pada hari ini Sang Butha Dungulan
turun ke dunia.
   4.  Penampahan Galungan
Pada Anggara (Selasa)wage wuku Dungulan ini turunlah sang Butha Amangku Rat. Hari ini dianggap sebagai
hari untuk mengalahkan Bhuta Tiga dengan upacara pokok, yaitu dengan membuat banten Biyakala, yang
disebut dengan pebiyakala lara melaradan. Makna sebenarnya pada hari ini hendaknya membunuh sifat-sifat
kebinatangan yang ada pada diri manusia.
5  5..  Hari Raya Galungan 
      Sehari setelah penampahan galungan, atau pada Buda (rabu) Kliwon Dungulan, tibalah Hari Raya Galungan.
Pada hari ini umat hindu yang merayakan hari raya Galungan melakukan persembahyangan ke pura. 

6 6. Manis Galungan
Jatuh pada hari Kamis Umanis wuku Dungulan,  bermakna untuk mengenang kemenangan Dharma melawan
Adharma. Pada hari ini  umat Hindu mengekspresikan kegembiraan dengan mengunjungi sanak saudara atau
mengunjungi tempat-tempat hiburan/rekreasi.

7 7. Pemari dan Guru


Jatuh pad ahari sabtu Pon  wuku Dungulan, pada hari tersebut para Dewata kembali ke surge dan
meninggalkan anugrah berupa   kedirgayusan, yaitu hidup sehat dan panjang umur.
8     
   8. Pemacekan Agung
Jatuh pada hari senin kliwon wuku Kuningan, pada hari ini umat Hindu mempersembahkan Sesajen yang
disebut Segehan Agung pada semua Bhuta Kala.

99.  Penampahan Kuningan
Jatuh pada hari Jumat Wage Kuningan, pada hari ini umat hindu mempersiapkan keperluan untuk
melakasanakan Hari raya Kuningan yang tiba keesokan harinya.

110.  Hari Raya Kuningan


Jatuh pada hari Sabtu Kliwon wuku Kuningan. Menurut lontar Sundari Gama, mengahturkan sesaji pada hari
ini hendaknya dilaksanakan pada pagi hari dan menghindari menghaturkan sesaji lewat daripada tengah har.
Karena pada tengah hari, para Dewata dan Dewa Pitara telah kembali ke surga (Dewa Mur Muah Maring
Swarga).

Anda mungkin juga menyukai