Anda di halaman 1dari 6

Cinta Wilhelmina Anugrah H

215120400111059
Pengantar Hukum Internasional

Pekerja Rumah Tangga (PRT) merupakan suatu profesi yang seringkali diremehkan, dan
bahkan tidak dianggap sebagai suatu profesi, karena dianggap tidak memerlukan keterampilan
khusus dan hanya sekadar perpanjangan dari kerja domestik perempuan di rumah (Arum
Ratnawati dalam Gina, 2021). Oleh karena itu, PRT sendiri seringkali dianggap sebagai
pekerjaan yang rendah, terlebih lagi lekat dengan image dari perempuan sehingga mengalami
kerentanan yang lebih tinggi lagi.
Di Indonesia, jumlah PRT cenderung menunjukkan tren yang meningkat, dengan jumlah
terakhirnya pada tahun 2015 berdasarkan survei yang dilakukan oleh ILO, PRT di Indonesia
berjumlah 4.2 juta orang, dengan persentase 92% PRT anak dan 81% PRT dewasa, dengan rasio
PRT perempuan berjumlah 292 per 100 PRT laki-laki (sumber: ILO.org). Dengan jumlah PRT
yang diambil sebagai profesi oleh 4.2 juta orang, dan terus bertambah setiap tahunnya,
menunjukkan suatu tren bagi penulis, dimana berarti PRT dianggap sebagai alternatif dalam
menghidupi perekonomian individu tersebut, meskipun justru dengan menjadi PRT, pendapatan
yang diperoleh pun tetap tidak banyak, dengan upah rata-rata per bulan pada 2021 Rp420.536,00
berdasarkan pernyataan Kepala Badan Pusat Statistik, Suhariyanto (Putra, 2021).
Menyadari adanya urgensi-urgensi diatas, maka pengesahan RUU Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga (PPRT) sangatlah diperlukan. RUU PPRT sendiri sudah diajukan sejak tahun
2004 dan sudah masuk ke dalam Prolegnas sejak saat itu, hingga periode 2019-2024 ini, dengan
landasan internasionalnya yaitu Konvensi ILO No.87, dan 98 tentang kebebasan berserikat dan
kebebasan untuk berunding dan bernegosiasi. Lalu, berdasarkan Konvensi ILO No.100 dan
No.111 tentang pengupahan yang sama untuk laki-laki dan perempuan, dan non-diskriminasi.
Lalu Konvensi ILO No. 138 tentang upah minimum, dan No. 182 tentang bentuk pekerjaan
terburuk bagi anak-anak. Lalu, No. 29 tentang kerja paksa, dan No.189 yang secara spesifik
membicarakan tentang kerja layak PRT (Sumber: dpr.go.id).
Hal berikutnya yang tidak boleh dilupakan ketika membahas PRT adalah keterkaitannya
dengan soal perbudakan modern. Berdasarkan pernyataan Ahmad Taufan Damanik ketika masih
menjabat sebagai Ketua Komnas HAM pada tahun 2020 (Latuharhary, 2021), terdapat tiga faktor
yang menyebabkan pengkategorian perbudakan modern; yang pertama yaitu faktor keterpaksaan,
yaitu posisi seseorang dimana individu tersebut dalam kondisi powerless, seperti oleh
kemiskinan, sehingga individu tersebut bekerja secara paksa dan tidak memiliki kekuatan
apapun; yang kedua adalah faktor sulitnya tempat kerja untuk diakses, bukan hanya oleh
keluarga dan masyarakat, tapi juga oleh pemerintah, sehingga pekerja tersebut tidak dapat
dilindungi, atau dijamin hak-haknya; yang ketiga yaitu keberadaan negara yang tidak terlalu
concern dengan isu perbudakan modern ini, seperti ketiadaan standar perlindungan kepada
pekerja, ataupun ketidak maksimalan dalam penggunaan instrumen-instrumen yang ada untuk
melindungi pekerja.
Terdapat kecocokan antara faktor-faktor perbudakan modern ini dengan kondisi PRT di
Indonesia, dimana PRT Indonesia rata-rata berasal dari kalangan yang kurang berdaya dalam
ekonomi, sehingga tidak memiliki akses kepada pekerjaan yang lebih layak dan membutuhkan
skill tertentu, seperti pekerja kantoran, kemudian tidak memiliki perserikatan yang dapat
membantu kaum PRT untuk menyuarakan pendapatnya. Lalu, bagi individu yang bekerja
sebagai PRT, mereka tidak berada dalam jangkauan yang dapat diawasi masyarakat, keluarga,
maupun pemerintah karena bekerja dalam rumah majikannya. Lalu, faktor yang ketiga, masih
kurangnya kepedulian Indonesia sebagai negara kepada kaum PRT, hal ini terlihat dari tidak
kunjung diratifikasinya Konvensi ILO No.189, lalu berdasarkan pernyataan Kepala Penasihat
Teknis Proyek Promote ILO, Arum Ratnawati pada tahun 2021 (Ratnawati dalam Gina, 2021),
yang terlibat dalam isu ini dan dalam proses ratifikasi hanya Kementerian Luar Negeri saja,
sedangkan Kementerian Ketenagakerjaan lebih memilih pendekatan step by step dalam isu ini,
dan hanya mengeluarkan Peraturan Menteri No.2 Tahun 2015 Tentang Perlindungan Pekerja
Rumah Tangga (Sumber: JDIH Kemnaker) dengan perlindungan kepada PRT diserahkan kepada
Pemerintah Daerah, dan pengesahan serta pengawasan dokumen perjanjian pekerja dilakukan
oleh Ketua Rukun Tetangga (RT), dan tidak terlalu spesifik membahas hak-hak PRT, dan secara
spesifik hanya menyebutkan wajib pemberian Tunjangan Hari Raya kepada PRT. Selain dari
faktor diatas, melanjutkan pernyataan Arum Ratnawati, selama observasi dengan DPR RI, para
pembuat keputusan justru melakukan pertimbangan dengan memposisikan diri sebagai ‘majikan’
bukan sebagai pengambil keputusan, sehingga hasil yang diperoleh pun tidak sesuai karena
mereka memperhitungkan kepentingan pribadinya juga, sehingga RUU PPRT ini tidak kunjung
disahkan, dan Indonesia pun tidak kunjung meratifikasi Konvensi ILO No.189 ini.
Dalam RUU PPRT terdapat beberapa pokok pikiran yang dalam opini penulis,
merupakan hal yang krusial bagi pemenuhan hak-hak PRT. Selama ini terjadi banyak kasus
pelanggaran HAM kepada PRT, dimana dalam kurun waktu tahun 2015-2019 terdapat
setidaknya 2.148 kasus kekerasan kepada PRT yang dilaporkan, belum lagi terdapat kasus yang
tidak dilaporkan. Kemudian, terdapat potensi kenaikan PRT selama kurun waktu COVID-19
karena terdapat peningkatan pengangguran 9.77 juta orang (Sumber: KomnasPerempuan.go.id),
sehingga potensi peralihan profesi yang bekerja dirumah dan mengurus orang pun juga
berpotensi untuk naik, khususnya pekerjaan alternatif seperti PRT.
Hak-hak PRT yang selama ini luput, seperti hak hari libur, pemberdayaan dan
pendidikan, lalu pendapatan, penghidupan yang layak, dan perlindungan ataupun penyuaraan
melalui perserikatan dapat terwujud melalui UU PPRT ini, sehingga perbudakan modern kepada
PRT dapat diminimalisir. Karena terdapat suatu benang merah antara permasalahan PRT ini,
yaitu karena PRT masih banyak yang tidak mendapatkan hari libur, yaitu bekerja selama tujuh
hari penuh, maka PRT ini tidak dapat bertemu dengan orang-orang dan bersosialisasi, sehingga
suara dari PRT ini tentu tidak dapat terdengar, dan tidak ada kesempatan bagi mereka untuk
dapat membentuk suatu perserikatan. Dengan tidak adanya perserikatan PRT, mereka yang
sudah diremehkan, tentu semakin tidak dapat menyatakan suaranya, sehingga hak-hak dari PRT
akan terus tertindas.
Melihat kondisi ini, sangat disayangkan bahwa pemerintah Indonesia tidak kunjung
mengesahkan RUU PPRT dan meratifikasi Konvensi ILO No.189, dimana menunjukkan tidak
adanya komitmen pemerintah Indonesia terhadap suatu hukum internasional, dimana negara
yang meratifikasi konvensi berarti pemerintahnya secara formal menyatakan komitmen untuk
menerapkan seluruh kewajiban yang dinyatakan dalam konvensi, dan secara periodik
melaporkan kepada ILO mengenai perkembangannya (Sumber: ilo.org).
Pengesahan RUU PPRT ini bisa saja tidak langsung memberikan suatu dampak yang
signifikan bagi perkembangan perlindungan dan pemberdayaan bagi PRT, akan tetapi UU PPRT
ini merupakan suatu awalan, sekaligus dasar bagi PRT di Indonesia untuk memeperoleh hak-
haknya yang selama ini terabaikan. Kemudian suatu awalan juga bagi masyarakat, dan yang
berposisi mempekerjakan PRT untuk mengetahui dan memberikan hak-hak dari PRT yang
bekerja kepada mereka. Dengan adanya UU PPRT ini nantinya, juga pemerintah dapat
memberikan perlindungan kepada warga negaranya, tanpa terkecualikan oleh sebatas profesi
saja, karena PRT juga merupakan suatu pekerjaan, dan para PRT yang berjumlah 4.2 juta orang
itu juga ikut berkontribusi dan membayar pajak (Sumber: ilo.org).
Dalam pandangan penulis, pengesahan RUU PPRT bukan lagi persoalan hak pekerja
saja, akan tetapi merupakan persoalan hak asasi manusia, yang mana hak asasi manusia sesuai
dengan Universal Declaration of Human Rights, bahwa setiap manusia dilahirkan merdeka dan
memiliki hak-hak yang sama (Sumber: OHCHR UN). PRT adalah manusia, dan juga warga
negara, terlepas dari pekerjaan yang mereka lakukan. Dengan hak-haknya yang sudah tidak
terlindungi sejak lama, bahkan sejak RUU ini masuk ke dalam Prolegnas, dan kembali lagi ke
dalam waiting list dalam setiap periodenya, menunjukkan bahwa negara pun tidak menganggap
serius PRT, baik sebagai sebuah pekerjaan, pekerja, dan warga negara, serta sebagai manusia.
Kemudian, di lain sisi, Indonesia sendiri merupakan negara yang aktif berkontribusi
dalam SDGs, yang berlandaskan hak asasi manusia, konsep inklusivitas, universal, dan integrasi,
dan meyakini bahwa tidak seorangpun akan ditinggalkan, atau dengan kata lain “No One Left
Behind” (Sumber: sdgs.bappenas.go.id). Indonesia menunjukkan keterlibatan dan komitmen
jelasnya dengan meratifikasi dan memasukkan 124 dari 169 target SDGs kedalam RPJM
(Sumber: sdgs.bappenas.go.id). SDGs ini merupakan produk dari PBB, yang dapat dikatakan
sebagai rezim internasional berdasarkan dari aspek situasi kerjasama internasional yang sudah
dipenuhi, yaitu keadaan campuran antara kepentingan-kepentingan konfliktual dan
komplementer (Axelrod dan Keohane, 1985: 226-254, dalam Satnyoto, 2017).
Jadi yang ingin penulis coba sampaikan adalah, RUU PPRT ini harus segera disahkan
karena sudah sejak lama kaum PRT tidak dapat memenuhi hak-hak mereka, seperti hak untuk
berserikat, kurangnya perlindungan karena lingkungan kerja yang privat dan tertutup, tidak
adanya upah minimum yang tetap, seringkali mendapatkan kekerasan serta pelecehan bagi PRT
perempuan, dan juga diremehkan secara sosial. Bahkan terdapat aspek pekerjaan terburuk bagi
anak-anak dalam Konvensi ILO No.182 (dpr.go.id) yang juga sudah disebutkan ke dalam urgensi
RUU PPRT ini sendiri. Walaupun begitu, RUU PPRT ini tetap masih berada di waiting list,
terlebih lagi, terdapat aspek internasional yang harus dipenuhi komitmennya; SDGs, Konvensi
ILO No.189, lalu prinsip fundamental CEDAW, DUHAM, dan Konvensi ILO itu sendiri
(Sumber: dpr.go.id) dimana Indonesia merupakan negara anggotanya, serta Universal
Declaration of Human Rights, sebagai hal paling dasar bagi penerapan hak asasi manusia di
seluruh dunia.
Daftar Pustaka

BAPPENAS. (n.d.). TENTANG. SDGS Bappenas. Retrieved June 18, 2023, from

https://sdgs.bappenas.go.id/tentang/

DPR RI. (n.d.). URGENSI DAN POKOK-POKOK PIKIRAN PENGATURAN

PENYUSUNAN RUU PERLINDUNGAN PEKERJA RUMAH TANGGA.

dokakd/dokumen/RJ5. Retrieved June 18, 2023, from

https://r.search.yahoo.com/_ylt=Awrx.w1N3I5kmic7FdLLQwx.;_ylu=Y29sbwNzZzMEc

G9zAzQEdnRpZAMEc2VjA3Ny/RV=2/RE=1687112909/RO=10/RU=https%3a%2f

%2fwww.dpr.go.id%2fdokakd%2fdokumen%2fRJ5-20200226-054930-5717.pdf/

RK=2/RS=WTAa8psxQDH.U8jFVeLXzA_dVjw-

Gina, A. (2021, June 19). Arum Ratnawati: Kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga

(PRT) Dikarenakan Tidak Diakuinya PRT sebagai Profesi*. Jurnal Perempuan. Retrieved

June 18, 2023, from https://www.jurnalperempuan.org/wacana-feminis/arum-ratnawati-

kekerasan-terhadap-pekerja-rumah-tangga-prt-dikarenakan-tidak-diakuinya-prt-sebagai-

profesi

International Labour Organization. (n.d.). Konvensi No. 189 mengenai kerja layak bagi

pekerja rumah tangga. Konvensi ILO.

International Labour Organization. (n.d.). PEKERJA RUMAH TANGGA DI INDONESIA.

ILO. Retrieved June 18, 2023, from https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---asia/---

ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/presentation/wcms_553078.pdf

Kementerian Ketenagakerjaan. (n.d.). PerMen No.2 Tahun 2015. JDIH Kemnaker.

Retrieved June 18, 2023, from

https://r.search.yahoo.com/_ylt=Awr1TjKf8I5kXqk9hkXLQwx.;_ylu=Y29sbwNzZzMEc
G9zAzQEdnRpZAMEc2VjA3Ny/RV=2/RE=1687118111/RO=10/RU=https%3a%2f

%2fjdih.kemnaker.go.id%2fasset%2fdata_puu%2fPERMEN_2_TAHUN_2015.PDF/

RK=2/RS=gAz4De_Nl5bieb9V7Th7UBtFuaA-

KOMNAS HAM. (2021, January 18). Menyoal Perbudakan Modern. Komnas HAM.

Retrieved June 18, 2023, from

https://www.komnasham.go.id/index.php/news/2021/1/18/1648/menyoal-perbudakan-

modern.html

Komnas Perempuan. (2021, Febuari 15). Siaran Pers Komnas Perempuan Peringatan

Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nasional (15 Februari 2021). Komnas Perempuan.

Retrieved June 18, 2023, from https://komnasperempuan.go.id/siaran-pers-detail/siaran-

pers-komnas-perempuan-peringatan-hari-pekerja-rumah-tangga-prt-nasional-15-februari-

2021

OHCHR UN. (n.d.). Universal Declaration of Human Rights - Indonesian. OHCHR.

Retrieved June 18, 2023, from https://www.ohchr.org/en/human-rights/universal-

declaration/translations/indonesian

Putra, D. A. (2021, February 15). BPS: Upah Asisten Rumah Tangga Januari 2021 Naik

Jadi Rp 420 Ribu per Bulan. Liputan6.com.

https://www.liputan6.com/bisnis/read/4483396/bps-upah-asisten-rumah-tangga-januari-

2021-naik-jadi-rp-420-ribu-per-bulan

Anda mungkin juga menyukai