Modul Gangguan Konjunctiva
Modul Gangguan Konjunctiva
No. ICD-10 :
No. ICPC-2 :
Tingkat Kompetensi :
PENDAHULUAN
Corpus alienum atau benda asing, merupakan salah satu penyebab terjadinya cedera mata,
sering mengenai sklera, kornea, dan konjungtiva. Meskipun kebanyakan bersifat ringan,
beberapa cedera bisa berakibat serius. Apabila suatu corpus alienum masuk ke dalam bola
mata dapat berakibat fatal. Oleh karena itu, perlu cepat mengenali benda tersebut dan
menentukan lokasinya di dalam bola mata untuk kemudian mengeluarkannya. Benda asing
dapat mengenai beberapa bagian mata, yaitu konjungtiva, kornea, lensa, juga sklera. Dari
masing-masing bagian mata tersebut dapat menyebabkan komplikasi yang berbeda pula.
Beratnya kerusakan pada organ-organ di dalam bola mata tergantung dari besarnya corpus
alienum, kecepatan masuknya, ada atau tidaknya proses infeksi, dan jenis bendanya.
Penatalaksanaannya adalah dengan mengeluarkan benda asing tersebut dari bola mata.
Bila lokasi corpus alienum berada di palpebral, konjungtiva, dan kornea maka dengan
mudah dapat dilepaskan setelah pemberian anatesi lokal.
Pentingnya mahasiswa kedokteran dapat menegakkan diagnosis corpus alineum di
konjungtiva dan melakukan penatalaksanaan yang benar, karena corpus alienum di
konjungtiva merupakan kompetensi lulusan dokter umum
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
gangguan konjungtiva.
a. Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang membungkus
permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior
sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva berbatasan dengan kulit pada tepi
palpebral dan dengan epitel kornea di limbus.
b. Sklera
Sklera merupakan jaringan ikat yang lentur dan memberikan bentuk pada mata.
Jaringan ini merupakan bagian terluar yang melindungi bola mata. Bagian terdepan
sklera disebut kornea yang bersifat transparan yang memudahkan sinar masuk ke
dalam bola mata.
c. Kornea
Kornea adalah selaput bening mata, bagian selaput mata yang tembus cahaya dam
merupakan lapisan jaringan yang menutup bola mata sebelah depan. Kornea ini
disisipkan ke dalam sklera pada limbus, lekukan melingkar pada sambungan ini
disebut sulcus scleralis. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 550 µm di
pusatnya (terdapat variasi menurut ras); diameter horizontalnya sekitar 11,75 mm
dan vertikalnya 10,6 mm.
d. Uvea
Uvea adalah lapisan vaskular di dalam bola mata dan dilindungi oleh kornea dan
sklera yang terdiri dari tiga bagian, yaitu: iris, badan silier dan koroid
e. Lensa
Lensa adalah suatu struktur bikonveks, avaskular, tak berwarna, dan hampir
transparan sempurna. Tebalnya sekitar 4 mm dan diameternya 9 mm. Di sebelah
anterior lensa terdapat aqueous humor, di posteriornya terdapat vitreous humor.
f. Aqueous Humor
Aqueous humor diproduksi oleh badan siliar. Setelah memasuki bilik mata belakang,
aqueous humor melalui pupil dan masuk ke bilik mata depan, kemudian ke perifer
menuju sudut bilik mata depan.
g. Vitreous Humor
Vitreous humor adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang
membentuk dua pertiga volume dan berat mata. Vitreous humor mengandung air
sekitar 99%. Sisa 1% meliputi dua komponen, kolagen dan asam hialuronat, yang
memberi bentuk dan konsistensi mirip gel karena kemampuannya mengikat banyak
air.
h. Retina
i. Retina, merupakan bagian mata yang mengandung reseptor, terdiri dari sel konus
dan basilus yang menerima rangsangan cahaya.
ETIOLOGI
Benda asing yang masuk ke konjungtiva sebagian besar merupakan akibat dari
kecelakaan yang terjadi selama melakukan aktivitas sehari-hari. Jenis benda asing yang
paling banyak masuk kedalam mata adalah:
1. Bulu mata
2. Serbuk gergaji
3. Kosmetik
4. Lensa kontak
5. Partikel logam
6. Pecahan kaca
Benda yang masuk kedalam mata dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu :
1. Benda logam: emas, perak, platina, seng, timah hitam, nikel, aluminium, tembaga besi
2. Benda bukan logam : batu, kaca, perselin, karbon, bahan tumbuh – tumbuhan, pakaian
3. Benda inert : benda yang terdiri dari bahan – bahan yang tidak menimbulkan reaksi
pada mata, walaupun di beberapa kasus terdapat reaksi yang ringan dan tidak
mengganggu fungsi mata seperti emas, perak, platia, batu, kaca, porselin, dan plastic
jenis tertentu.
4. Benda reaktif yaitu benda yang menimbulkan reaksi pada mata sehingga mengganggu
fungsi mata seperti timah hitam, seng, nikel, aluminium, tembaga, kuningan, besi,
tumbuh - tumbuhan, pakaian, dan bulu ulat.
FAKTOR RISIKO
Faktor resiko terjadinya corpus alienum pada mata dapat berupa :
1. Pekerja di bidang industri yang tidak memakai pelindung mata
2. Pekerja las
3. Pemotong keramik
4. Tukang kayu
PENEGAKAN DIAGNOSIS
GEJALA KLINIS
Jika terdapat benda asing pada mata, gejala – gejala yang dirasakan dapat berupa:
1. Adanya perasaan tidak nyaman
2. Adanya sensai benda asing pada mata
3. Air mata keluar berlebihan
4. Sensitif terhadap cahaya
5. Nyeri pada mata
6. Mata merah
ANAMNESIS
1. Pasien datang dengan keluhan adanya benda yang masuk ke dalam mata
2. Untuk menentukan ada tidaknya benda asing serta lokasinya di dalam mata, perlu
ditanyakan riwayat terjadinya trauma. Hal ini diperlukan untuk mengetahui
kemungkinan serta letak dari benda asing tersebut
3. Riwayat kebiasaan / pekerjaan
4. Keluhan rasa tidak enak atau penglihatan kabur pada satu mata dengan riwayat
benturan antara logam dengan kogam, ledakan atau cidera proyektil berkecepatan
tinggi seharusnya seharusnya memberikan memberikan kecurigaan adanya benda asing
intraokular.
PEMERIKSAAN FISIK
DIAGNOSIS BANDING
PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Tatalaksana yang perlu dilakukan adalah bertujuan untuk mengambil benda asing dan jika
diperlukan bisa diberikan obat antibiotik.
TATALAKSANA NON-MEDIKAMENTOSA
Berikut adalah tata cara melakukan ekstraksi benda asing pada konjungtiva:
1. Harus dipastikan bahan penyebab gejala adalah benda asing yang dikonjungtiva
2. Visus pada kedua mata dinilai (benda asing di konjungtiva bisa menurunkan visus
ataupun tidak)
3. Sebelum dilakukan penekanan pada mata atau kelopak perlu dipastikan bahwa tidak
terjadi cedera yang telah menembus bola mata
4. Jika terdapat sesuatu pada konjungtiva bulbar tapi tidak bisa dilepas dengan kapas
(cotton swab) bisa diduga bahwa benda asing tersebut adalah lesi tembus atau
merupakan lesi berpigmen pada konjungtiva.
5. Pemberian anestesi dilakukan jika dirasa perlu. Anestesi yang digunakan adalah 2
tetes proparacaine 0,5 %
6. Benda asing diambil diambil dengan menggunakan kapas yang dibasahi dengan salin,
jika tidak berhasil bisa dilakukan irigasi menggunakan salin. Sebelumnya konjungtiva
dibuka terlebih dahulu
7. Anestesi lokal akan hilang dalam waktu 30 menit
8. Perlu dilakukan pemeriksaan flouresensi untuk mengetahui apakah ada kerusakan
kornea atau tidak.
TATALAKSANA MEDIKAMENTOSA
PROGNOSIS
Perbaikan kondisi biasanya terjadi segera, 1-2 jam setelah benda asing dieliminasi.
Prognosis bengantung seberapa berat trauma pada mata dan penanganan yang dilakukan.
Prognosis corpus alienum di konjungtiva apabila segera dikeluarkan biasanya baik
DAFTAR PUSTAKA
1. Rienda Monica N, Rani Himayani. 2019. Corpus Alienum Sklera Okuli Sinistra.
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung.
2. Ilyas, Sidarta, Prof, dr. H., Sp.M, dan dr. Sri Rahayu Yulianti, SP.M. 2015. Ilmu
Penyakit Mata Edisi Kelima. Penyakit Mata Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia
3. Titania Yuliska, Syihabuddin Hasan, Farina Angelia. 2017. Penatalaksanaan Corpus
Alienum Pada Mata. Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
4. Vaughan, Daniel. 2010. Oftalmologi Umum. Widya Medika: Jakarta
5. Rachmadianty Melinda. Benda Asing Konjungtiva. Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya.2015
6. Sekar, Novia, Elsa. 2014. Ilmu Kesehatan Mata(Corpus Alienum ).Fakultas Kedokteran
UNS
MATA KERING
No. ICD-10 :
No. ICPC-2 :
Tingkat Kompetensi :
PENDAHULUAN
Dry eyes merupakan suatu keadaan dimana terjadi ketidaknyamanan dalam pengelihatan
yang disebabkan karena kekurangan kelembaban, lubrikasi dan agen dalam mata. Saat ini,
dry eyes lebih sering terjadi. Hal ini dapat distimulasi oleh berbagai aspek lingkungan
seperti udara yang dapat mengiritasi mata dan lapisan air mata menjadi kering.
Angka kejadian sindroma mata kering ini lebih banyak pada wanita dan cenderung
meningkat sesuai dengan peningkatan usia. Berdasarkan data epidemiologi dari beberapa
penelitian, didapatkan sekitar 7,8% wanita di Amerika dan 4,7% laki-laki dengan usia >50
tahun mengalami dry eye. Dry eye merupakan penyakit paling sering terjadi di daerah
Asia, dimana 20-50% terjadi pada usia tua. Dry eyes terjadi akibat penurunan produksi
aqueous atau peningkatan evaporasi air mata, paling sering disebabkan oleh evaporasi air
mata akibat disfungsi kelenjar meibomian.
Air mata terdiri atas tiga lapisan yang membentuk tear film. Lapisan mucin merupakan
lapisan paling dalam dan tipis yang diproduksi oleh konjungtiva. Mucin membantu
melapisi seluruh permukaan lapisan aqueous di permukaan mata. Lapisan tengah atau
lapisan aquos merupakan lapisan paling tebal, diproduksi oleh kelenjar air mata dan
mengandung larutan garam. Lapisan ini menjaga kelembapan permukaan mata dan
membersihkan debu, fibrin, atau benda asing. Lapisan paling atas adalah lapisan lipid yang
dihasilkan oleh kelenjar meibomian dan kelenjar Zeis. Lapisan ini mencegah evaporasi
lapisan aquos. Air mata juga mengandung protein, imunoglobulin, elektrolit, sitokin,
laktoferin, lisozim, dan faktor pertumbuhan; pH rata-rata 7,25 dan osmolaritas 309
mOsm/L.
Penderita dry eyes sering merasakan ketidaknyamanan dalam mata sehingga mereka sering
mengeluhkan perasaan seperti iritasi, tanda-tanda inflamasi sering merasa ada benda asing
di mata. Gejala umum lainnya adalah gatal, sekresi mukus berlebihan, tidak mampu
menghasilkan air mata, sensasi terbakar, foto sensitivitas, merah, sakit, dan sulit
menggerakkan palpebra. Ciri yang paling khas pada pemeriksaan slitlamp adalah terputus
atau tiadanya meniskus air mata di tepian palpebra inferior. Benang-benang mukus kental
kekuning-kuningan kadang-kadang terlihat dalam fornix conjungtivae inferior. Pada
konjungtiva bulbi tidak tampak kilauan yang normal dan mungkin menebal, edema, dan
hiperemik.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
gangguan konjungtiva.
DEFINISI
1. Palpebra
Ketika menutup, palpebra menutupi bagian anterior bola mata agar mata terlindungi
dari cedera dan sinar yang berlebihan. Selain itu juga berfungsi untuk melembabkan
kornea dengan menyebarkan cairan lakrimalis. Palpebra terdiri atas palpebra superior
dan inferior yang diperkuat oleh jaringan ikat dan didalamnya terdapat kelenjar tarsal
yang mensekresi lipid untuk melumasi palpebra dan mencegah palpebra superior dan
inferior saling menempel ketika menutup. Lipid tersebut juga berfungsi sebagai barier
terhadap cairan air mata agar tidak keluar dari mata, namun jika produksi air mata
berlebihan maka air mata akan jatuh membasahi pipi. Bagian dalam palpebra dilapisi
oleh konjungtiva palpebra dibagian dalamnya dan tersambung dengan konjungtiva
bulbi yang melapisi sklera.
Gambar 1. Palpebra
2. Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran mukosa lembut yang melapisi bagian dalam palpebra
hingga bagian anterior sklera. Konjungtiva yang melapisi palpebra lebih tebal dan kaya
pembuluh darah, namun konjungtiva yang melapisi sklera lebih tipis. Garis refleksi dari
palpebra ke sklera disebut dengan fornix konjungtiva, dimana bagian fornix superior
menerima pembukaan kelenjar lakrimalis.
Gambar 2.Konjungtiva
3. Aparatus Lakrimalis
Aparatus Lakrimalis bertugas dalam produksi, perpindahan dan pengaliran cairan
lakrimalis di permukaan bola mata. Aparatus lakrimalis terdiri dari:
a. Kelenjar lakrimalis
Berfungsi mensekresi cairan lakrimalis yaitu cairan fisiologis yang mengandung
enzim lisozim yang bersifat bakterisidal Cairan ini melembabkan permukaan
konjungtiva, kornea, dan menyediakan nutrisi dan oksigen bagi komea. Jika
produksinya berlebihan disebut air mata. Kelenjar lakrimalis berbentuk seperti
kacang almond dan memiliki panjang 2 cm yang terbentang di fosa kelenjar
lakrimalin bugian superolateral orbita. Kelenjar lakmal dibagi menjadi bagian
superior (orbital) dan inferior (palpebral) oleh tendon muskulus levator palpebra.
b. Duktus lakrimalis
Bertugas sebagai penyalur cairan lakrimalis dari kelenjar lakrimalis ke kantung
konjungtiva.
c. Punctum Lakrimalis
Terletak di sudut posterior dari tepi kelopak mata, pada pertemuan bulu mata lateral
kelima-keenam (pars ciliaris) dan medial non-silia seperenam (pars lacrimalis).
Normalnya sedikit posterior dan dapat diinspeksi dari aspek medial kelopak mata.
d. Kanalikuli lakrimalis
Kanalikuli lakrimalis melewati batas kelopak mata (ampula) sekitar 2 mm secara
vertikal. Kanalikuli superior dan inferior kebanyakan sering bersatu membentuk
kanalikulus yang terbiasa membuka ke dinding lateral dari sakus lakrimalis.
e. Duktus nasolakrimalis
Bagian ini merupakan lanjutan dari sakus lakrimalis yang mempunyai panjang
sekitar 12 mm. Duktus ini menurun dan sudutnya sedikit lateroposterior membuka
ke meatus nasal inferior dan ke bawah turbinasi inferior. Membukanya duktus secara
parsial tertutupi oleh lipatan mukosa atau valve of Hasner.
Sistem lakrimasi ini dibagi menjadi dua bagian yaitu sistem sekresi dan sistem ekskresi
air mata:
a. Sekresi
Permukaan mata dijaga tetap lembab oleh kelenjar lakrimalis. Sekresi basal air mata
perhari diperkirakan berjumlah 0,75-1,1 gram dan cenderung menurun seiring
dengan pertambahan usia. Volume terbesar cairan air mata diproduksi oleh kelenjar
lakrimal yang terletak di fossa lakrimalis kuadran temporal superior orbita.
Kelenjar lakrimalis aksesori, meski hanya sepersepuluh massa kelenjar utama tetapi
memiliki peran yang penting. Kelenjar Krause dan Wolfring identik dalam struktur
pada kelenjar lakrimal dengan saluran yang sedikit, berada di konjungtiva terutama
forniks superior. Unicellular goblet cell juga tersebar di seluruh konjungtiva,
mensekresi glikoprotein dalam bentuk musin. Kehilangan sel goblet akan
menyebabkan pengeringan kornea walaupun dengan produksi yang berlimpah dari
kelenjar lakrimal. Modifikasi sebasea dan kelenjar Meibom dan Zeis dari lid margin
berkontribusi menambah lipid untuk air mata. Kelenjar Moll dimodifikasi kelenjar
keringat yang juga menambah film air mata.
Sekresi air mata memiliki acuan baku tetapi juga dipengaruhi oleh komponen refleks
seperti respon terhadap rangsangan sensorik kornea dan konjungtiva serta
peradangan mata yang dimediasi melalui saraf kranial kelima. Sekresi air mata dapat
berkurang dengan anestesi topikal dan saat tidur serta dapat meningkatkan 500%
ketika dalam keadaan cedera.
b. Ekskresi
Sistem ekskresi terdiri atas punctum, kanalikuli, kantung lakrimal dan saluran
nasolakrimal. Dengan berkedip setiap kelopak mata mendekat, mendistribusikan air
mata secara merata ke seluruh kornea, dan mengalir ke sistem ekskresi pada bagian
medial kelopak mata.
Ketika air mata membanjiri kantung konjungtiva, mereka memasuki puncta secara
parsial oleh daya tarik kapiler. Dengan penutupan kelopak mata, otot orbicularis
pretarsal sekitar ampula berkontraksi. Secara bersamaan, kelopak mata ditarik
menuju posterior lacrimal crest dan ditempatkan pada fasia sekitar kantung lakrimal,
menyebabkan kanalikuli memendek dan menciptakan tekanan negatif di dalam
kantung lakrimal. Pemompaan dinamis ini menarik air mata ke dalam kantung
lakrimal, yang kemudian dengan gravitasi dan elastisitas jaringan melalui saluran
nasolakrimal ke dalam meatus nasi inferior hidung.
Gambar 4. Sistem Ekskresi Lakrimal
FISIOLOGI
1. Sistem Sekresi Air Mata
Volume terbesar air mata dihasilkan oleh kelenjar lakrimalis yang terletak di fossa
glandulae lacrimalis yang terletak di kuadran temporal atas orbita. Kelenjar yang
berbentuk kenari ini dibagi oleh kornu lateral aponeurosis levator menjadi lobus orbita
yang lebih besar dan lobus palpebra yang lebih kecil, masing-masing dengan sistem
duktulus yang bermuara ke forniks temporal superior. Persarafan kelenjar utama datang
dari nucleus lacrimalis di pons melalui nervus intermedius dan menempuh suatu jaras
rumit cabang maxillaris nervus trigeminus.
Kelenjar lakrimal assesorius, walaupun hanya sepersepuluh dari massa kelenjar utama,
mempunyai peranan penting. Struktur kelenjar Krause dan Wolfring identik dengan
kelenjar utama, namun tidak memiliki ductulus. Kelenjar-kelenjar ini terletak di dalam
konjungtiva, terutama di forniks superior. Sel-sel goblet uniseluler, yang juga tersebar
di konjungtiva, mensekresi glikoprotein dalam bentuk musin. Modifikasi kelenjar
sebasea meibom dan zeis di tepian palpebra memberi lipid pada air mata. Kelenjar Moll
adalah modifikasi kelenjar keringat yang ikut membentuk tear film.
Sekresi kelenjar lakrimal dipicu oleh emosi atau iritasi fisik dan menyebabkan air mata
mengalir melimpah melewati tepian palpebra (epifora). Kelenjar lakrimal assesorius
dikenal sebagai ”pensekresi dasar”. Sekret yang dihasilkan normalnya cukup untuk
memelihara kesehatan kornea. Hilangnya sel goblet, berakibat mengeringnya korena
meskipun banyak air mata dari kelenjar lakrimal.
Air mata membentuk lapisan tipis setebal 7-10 µm yang menutup epitel kornea dan
konjungtiva. Fungsi lapisan ultra tipis ini adalah
b. Membuat kornea menjadi permukaan optik yang licin dengan meniadakan
ketidakteraturan minimal di permukaan epitel.
Tear film adalah komponen penting dari “the eye’s optical system”. Tear film dan
permukaan anterior kornea memiliki mekanisme untuk memfokuskan refraksi sekitar
80%. Bahkan sebuah perubahan kecil pada kestabilan dan volume tear film akan
sangat mempengaruhi kualitas penglihatan (khususnya pada sensitivitas pada
kontras). “Tear break up” menyebabkan aberasi optik yang akan menurunkan
kualitas fokus gambaran yang didapatkan retina. Oleh karena itu, ketidakteraturan
pada tear film preocular merupakan penyebab munculnya gejala visual fatigue dan
fotofobia.
c. Membasahi dan melindungi permukaan epitel kornea dan konjungtiva yang lembut.
Pergerakan kelopak mata dapat menimbulkan gaya ± 150 cm yang mempengaruhi
tear film. Lapisan musin pada tear film dapat mengurangi efek yang dapat
mempengaruhi epitel permukaan. Pada keratokonjungtivitis, perubahan lapisan
musin menyebabkan epitel permukaan semakin mudah rusak akibat gaya tersebut
yang menyebabkan deskuamasi epithelial dan menginduksi apoptosis.
d. Menghambat pertumbuhan mikroorganisme dengan pembilasan mekanik dan efek
antimikroba.
Permukaan okuler adalah permukaan mukosa yang paling sering terpapar
lingkungan. Bagian ini selalu terpapar suhu yang ekstrim, angin, sinar UV, alergen
dan iritan. Tear film harus memiliki stabilitas untuk menghadapi paparan lingkungan
tersebut. Komponen tear film yang berfungsi untuk perlindungan adalah IgA,
laktoferin, lisozim dan enzim peroksidase yang dapat melawan infeksi bakteri
maupun virus. Lapisan lipid mengurangi penguapan komponen akuos akibat
perubahan lingkungan. Selanjutnya, tear flim dapat membersihkan partikel, iritan
dan alergen akibat paparan lingkungan.
e. Menyediakan substansi nutrien yang dibutuhkan kornea.
Karena kornea merupakan struktur yang avaskuler, epitel kornea bergantung pada
growth factors yang terdapat pada tear film dan mendapat nutrisi dari tear film. Tear
film menyediakan elektolit dan oksigen untuk epitel kornea sedangkan glukosa yang
dibutuhkan kornea berasal dari difusi dari aqueous humor. Tear film terdiri dari ± 25
g/mL glukosa, kirakira 4% dari konsentrasi glukosa pada darah, yaitu konsentrasi
yang dibutuhkan oleh jaringan non-muskular. Antioksidan yang terdapat pada tear
film juga mengurangi radikal bebas akibat pengaruh lingkungan. Tear film juga
mengandung growth factor yang penting untuk regenerasi dan penyembuhan epitel
kornea.
ETIOLOGI
Etiologi dry eye syndrome dibagi menjadi dua grup besar yaitu aqueous deficient type,
dalam hal ini kelenjar lakrimal gagal dalam memproduksi komponen cair dari air mata dan
evaporative type yang disebabkan karena kelenjar meibom mengalami kegagalan dalam
menghasilkan komponen lemak dari air mata. Komponen lemak yang sedikit
menyebabkan air mata lebih cepat menguap.
Aqueous deficient type dibagi lagi menjadi dua grup, yakni Sjogren Syndrome yang dapat
terjadi baik secara primer dan sekunder serta non-Sjogren Syndrome yang terjadi karena
defisiensi lakrimal, obstruksi saluran kelenjar lakrimal, refleks blok, ataupun karena obat-
obatan sistemik. Sedangkan pada evaporative type juga dibagi menjadi dua grup yaitu
intrinsik dan ekstrinsik. Secara intrinsic yakni evaporasi yang tinggi terjadi secara
langsung karena meibomian lipid deficiency, ketidakseimbangan kelopak mata, kecepatan
kedipan mata yang rendah, dan efek dari beberapa obat seperti systemic retinoids.
Sedangkan secara ekstrinsik, evaporasi yang tinggi disebabkan oleh efek patologi pada
permukaan okular. Penyebab yang termasuk di dalamnya yaitu defisiensi vitamin A, aksi
dari beberapa toxic topical agents seperti pengawet, penggunaan lensa kontak, dan
beberapa penyakit pada permukaan okular seperti allergic eye disease.
FATOR RISIKO
Faktor-faktor yang dapat memicu terhadap resiko terjadinya dry eye baik pada wanita
maupun pria dan beberapa diantaranya tidak dapat dihindari adalah:
1. Usia lanjut. Dry eye dialami oleh usia 50 tahun
2. Hormonal yang lebih sering dialami oleh wanita seperti saat kehamilan, menyusui,
pemakaian obat kontrasepsi, dan menopause.
3. Beberapa penyakit seringkali dihubungkan dengan dry eye seperti: artritis rematik,
diabetes, kelainan tiroid, asma, lupus erythematosus, pemphigus, Stevens-johnsons
syndrome, Sjogren syndrome, scleroderma, polyarteritis nodosa, sarcoidosis,
Mickulick.s syndrome.
4. Obat-obatan dapat menurunkan produksi air mata seperti antidepresan, dekongestan,
antihistamin, antihipertensi, kontrasepsi oral, diuretik, obat-obat tukak lambung,
tranquilizers, beta bloker, antimuskarinik, anestesi umum.
5. Pemakai lensa kontak mata terutama lensa kontak lunak yang mengandung kadar air
tinggi akan menyerap air mata sehingga mata terasa perih, iritasi, nyeri, menimbulkan
rasa tidak nyaman/intoleransi saat menggunakan lensa kontak, dan menimbulkan
deposit protein.
6. Faktor lingkungan seperti, udara panas dan kering, asap, polusi udara, angin, berada
diruang ber-AC terus menerus akan meningkatkan evaporasi air mata.
7. Mata yang menatap secara terus menerus sehingga lupa berkedip seperti saat membaca,
menjahit, menatap monitor TV, komputer, ponsel
8. Pasien yang telah menjalani operasi refraktif seperti Photorefractive keratectomy
(PRK), laser-assited in situ keratomileusis (LASIK) akan mengalami dry eye untuk
sementara waktu.
PATOFISIOLOGI
Mekanisme inti sebagai patofisiologi dry eye syndrome secara garis besar dipaparkan
dalam dua kondisi, yaitu hiperosmolaritas air mata dan ketidakstabilan film air mata.
Hiperosmolaritas air mata menyebabkan kerusakan pada epitel permukaan dengan
mengaktifkan kaskade kejadian inflamasi pada permukaan mata dan pelepasan mediator
inflamasi ke dalam air mata. Kerusakan epitel melibatkan kematian sel oleh apoptosis,
hilangnya sel goblet, dan gangguan musin yang mngakibatkan ketidakstabilan film air
mata. Ketidakstabilan ini memperparah hiperosmolaritas permukaan mata dan dapat juga
diprakarsai oleh beberapa etiologi, termasuk obat-obatan xerosis, xeroftalmia, alergi mata,
penggunaan pengawet topikal, dan memakai lensa kontak. Cedera epitel yang disebabkan
oleh mata kering merangsang ujung saraf kornea, menyebabkan gejala ketidaknyamanan
dan peningkatan berkedip.
PENEGAKAN DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Tanda dan gejala tergantung dari keparahan sindroma mata kering sebagian besar
penderita mengeluhkan keadaan sebagai berikut:
1. Sensasi benda asing, mata kering, dan berpasir
2. rasa panas atau gatal
3. air mata berlebihan
4. nyeri dan mata kemerahan
5. fotofobia (silau)
Mata akan memberikan gejala sekresi mukus yang berlebihan, sukar menggerakkan
kelopak mata, mata tampak kering dan terdapat erosi kornea. Konjungtiva bulbi edema,
hiperemik menebal dan kusam. Kadang-kadang terdapat benang mucus kekuning-
kuningan pada forniks konjungtiva bagian bawah. Keluhan tersebut sering memberat pada
lingkungan berasap atau lingkungan kering, ruangan panas, dan aktifitas lama di depan
komputer atau membaca lama
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Tes Schirmer 2
a. Dasar
Rangsangan refleks sekresi kelenjar air mata dapat diberikan dengan merangsang
saraf trigeminus, kecuali bila terdapat kegagalan total refleks trigeminus.
Rangsangan pada mukosa hidung akan mengakibatkan refleks sekresi sistem
lakrimalis.
b. Tujuan
Tes ini untuk menilai refleks sekresi kelenjar lakrimalis.
c. Alat
1) Anestetik lokal (pantocain)
2) Kertas filter
d. Teknik
1) Satu mata diberi anestetik local
2) Diletakkan kertas filter di forniks inferior mata yang sudah diberi anestetik local
3) Pada mukosa hidung sisi mata yang tidak diberi anestetik dirangsang dengan
kapas kering selama 2 menit atau dengan amonia 10%
4) Ditunggu 2-5 menit
5) Dilihat bagian filter yang basah
e. Nilai
Bila tidak terdapat bertambahnya pembasahan kertas filter berarti kegagalan total
refleks sekresi, bila bertambah berarti refleks sekresi normal. Pada keadaan normal
kertas filter menjadi basah15 mm sesudah 15 menit.
2. Uji sekresi basal
a. Dasar
Dengan memberikan anestesi pada mata maka akan keluar sekresi air mata yang
tidak diakibatkan rangsangan sehingga timbul reflex sekresi.
b. Tujuan
Tes ini untuk memeriksa kemampuan sekresi kelenjar basal (kelenjar Wolfring dan
Krause) dengan menghilangkan faktor reflex sekresi air mata dari kelenjar lakrimal
c. Alat
1) Anestesik local.
2) Kertas filter Whatman (panjang 35 mm dan lebar 5 mm)
d. Teknik
1) Sebaiknya pemeriksaan dilakukan di kamar gelap atau tanpa sinar yang
merangsang
2) 1-2 tetes anestesik local diberikan pada kedua mata.
3) Sesudah menunggu 1-2 menit kerja anestetik, forniks inferior mata tersebut
dikeringkan dengan kapas.
4) Kemudian kapas dengan kokain 5% dan adrenalin klorida diusapkan pada
konjungtiva untuk mendapatkan anestesi yang lebih dalam.
5) Ditunggu sampai hiperemi konjungtiva menghilang.
6) Ditaruh filter selama 5 menit, kemudian diukur bagian yang basah daripada filter.
e. Nilai
Bila sesudah 5 menit filter yang basah kurang daripada 10 mm berarti hiposekresi
terjadi akibat gangguan sekresi basal.
8. Uji kanalikuli
a. Dasar
Gangguan penyalur ekskresi dapat dilihat dari susunan anatomik dan fisiologik.
b. Tujuan
Pemeriksaan ini untuk melihat fungsi kanalikuli lakrimal atas dan bawah.
c. Alat
1) Anastesi local.
2) Semprit dengan garam fisiologik.
d. Teknik
1) Lokal anestetik diteteskan pada mata.
2) Garam fisiologik dengan semprit dipompa melalui kanalikuli lakrimal bawah.
3) Dilihat keluarnya garam fisiologik dari punctum superior
e. Nilai
1) Bila terlihat air keluar dari pungtum lakrimal atas berarti fungsi kanalikuli atas
baik, dan terdapatnya penyumbatan pada bagian lebih jauh daripada pungtum atau
di daerah sakus (ductus nasolakrimal).
2) Bila air tidak keluar dari pungtum atas berarti fungsi pungtum lakrimal atas
terganggu atau terdapat fungsi saluran sesudah sakus yang baik.
9. Uji anel
a. Dasar
Air mata masuk kedalam hidung melalui system ekskresi lakrimal.
b. Tujuan
Tes untuk menentukan fungsi ekskresi system lakrimal. Uji Anel adalah suatu uji
untuk melakukan pemeriksaan fungsi pengeluaran air mata ke dalam rongga
hidung.
c. Alat
1) Lokal anestesi tetes mata (pantokain/tetrakain)
2) Semprit 2 cc dengan jarum anel.
3) Garam fisiologik.
4) Dilatator.
d. Teknik
1) Pasien duduk atau tidur.
2) Mata ditetes anestetik lokal.
3) Ditunggu sampai rasa pedas hilang.
4) Pungtum diperlebar dengan dilatator.
5) Jarum anel yang berada pada semprit dimasukkan horizontal melalui kanalikuli
lakrimal sampai masuk sakus lakrimal.
6) Garam fisiologik dimasukkan ke dalam sakus.
7) Pasien ditanya apakah merasa sesuatu (pahit atau asin) pada tenggorokan dan
apakah terlihat reaksi menelan setelah semprotan garam fisiologik.
e. Nilai
1) Bila terlihat adanya reaksi menelan berarti garam fisiologik masuk tenggorok
menunjukkan fungsi system ekskresi lakrimal normal.
2) Bila tidak ada reflex menelan dan terlihat garam fisiologik keluar
3) melalui pungtum lakrimal atas berarti fungsi apparatus lakrimal tidak ada atau
duktus nasolacrimal tertutup
10. Dakriosistografi
a. Dasar
Zat warna kontras dapat dimasukkan ke dalam system lakrimal yang terbuka dan
dilihat dengan fotografi.
b. Tujuan
Tes untuk melihat struktur sistem ekskresi lakrimal yang patologik dengan kontras
dengan pemeriksaan radiologis.
c. Alat
1) Anestetik local tetes mata.
2) Kontras media (minyak) pantopaque.
3) Semprit berisi garam fisiologik jarum anel.
d. Teknik
1) Isi sakus lakrimal dikosongkan dengan memberikan tekanan pada sakus.
2) Mata ditetes obat anestesi topikal.
3) Dilakukan dilatasi pungtum dengan dilatator.
4) Isi sakus dibersihkan dengan irigasi garam fisiologik.
5) Sebaiknya bila memasukkan kontras pada kanalikuli bawah maka pungtum
lakrimal atas ditutup dengan dilatator.
6) Bila terdapat kelebihan kontras yang terdapat pada kantus atau forniks
dibersihkan.
7) Keadaan yang sama dilakukan pada apparatus lakrimal sebelahnya
(untuk perbandingan bila normal atau untuk melihat keadaan yang sama).
8) Dalam beberapa menit (segera) dibuat foto posteroanterior (Caldwell atau water)
dan oblik (untuk melihat satu kanal optik) (foto lateral kurang berarti)
e. Nilai
1) Pada keadaan normal, sakus lakrimal terlihat terdapat dalam orbita, duktus
nasolacrimal dalam tulang kanal nasolacrimal yang masuk pada turbinate nasi
inferior.
2) Dalam keadaan abnormal dapat terlihat penyumbatan, diverticulum, fistul ke
dalam sinus, adanya dakriolit dan bentuk septum nasi abnormal.
DIAGNOSIS BANDING
1. Keratitis
2. Konjungtivitis alergi
3. Keratokonjungtivitis
PENATALAKSANAAN KOMPREHENSIF
Pada kasus dry eye ringan pengobatan cukup dengan artificial tears pada malam hari,
kompres hangat dan massage kelopak mata jika disertai radang tepi kelopak mata
(bleparitis). Pada kasus berat (pasca Stevens Johnson.s syndrome, trauma kimia/luka bakar)
dapat dipertimbangkan pemakaiaan kontak lensa, serum autologus, terapi. hormonal,
siklosporin, oklusi pungtum bahkan tindakan operasi bila terjadi komplikasi kornea
KOMPLIKASI
Apabila dry eye syndrome terus dibiarkan, komplikasi yang lebih berat dapat terjadi,
seperti keratitis yang dapat mengakibatkan timbulnya kerusakan permanen apabila tidak
ditangani dengan segera. Atau dry eye syndrome juga dapat menyebabkan conjunctivitis,
atau bahkan peradangan yang hebat sehingga terjadi perlekatan pada seluruh permukaan
bola mata.
PROGNOSIS
Prognosis Dry Eye Syndrome dapat mengalami perbaikan gejala dengan pemberian
terapi Artificial Tears. Namun, pada kondisi tertentu dengan komplikasi pada kornea,
maka prognosis penglihatan akan memburuk. Pasien dengan DRY EYE
SYNDROME umumnya membutuhkan pemeriksaan berkala, minimal 1-2 kali per tahun
atau lebih sering. Beberapa pasien dapat beraktivitas normal tanpa gejala sama sekali
dengan pengobatan yang teratur.
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy of Ophthalmology. 2009. Basic Clinical Science and Course 2005-
2006. New York: American Academy of Ophthalmology;
2. Coleman Anne L., Emptage Nicholas P., Collins Nancy, Mizuiri Doris, Ravetto
Jessica, Lum Flora C. 2013. Dry Eye Syndrome. USA. American Academy of
Ophthalmology. p. 4 – 30
3. Ilyas, Sidarta. 2015. Dasar Teknik Pemeriksaan dalam Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Foster , C Stephen. 2014. Dry Eye and Tearing Treatment. West Michigan Eye and Laser.
5. Ilyas, Sidarta. 2015. Ilmu Penyakit Mata Ed. 5. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
6. Guyton, A.C, 2007, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, Jakarta: EGC
PENDARAHAN SUBKONJUNTIVA
No. ICD-10 :
No. ICPC-2 :
Tingkat Kompetensi :
PENDAHULUAN
Mata merupakan salah satu organ penting bagi manusia. Fungsi mata sebagai salah satu
panca indera menerima rangsang sensoris cahaya yang kemudian akan divisualisasikan
oleh otak kita sehingga kita dapat memahami keadaan di sekitar kita. Mata merupakan
panca indera yang halus yang memerlukan perlindungan terhadap faktor-faktor luar yang
berbahaya.
Mulai dari iritasi ringan sampai perdarahan karena trauma akan memberikan tampilan
klinis mata merah. Perdarahan subkonjungtiva secara klinis memberikan penampakan
mata merah terang hingga gelap pada mata. Insiden perdarahan subkonjungtiva dilaporkan
sebanyak 2,9% dalam penelitian dengan 8726 pasien dan meningkat seiring bertambahnya
usia, terutama yang berusia di atas 50 tahun.
Secara umum bekuan darah akibat perdarahan subkonjungtiva dapat hilang dengan
sendirinya dikarenakan diabsorpsi oleh tubuh. Namun begitu mata merah juga tidak boleh
dianggap sebagai hal yang biasa karena teriritasi oleh debu atau benda tertentu. Pasien
dengan hipertensi diyakini sebagia faktor resiko tersendiri terjadinya perdarahan pada
subkonjungtiva. Pada keadaan tertentu seperti perdarahan subkonjungtiva yang disertai
adanya gangguan visus, sering kambuh atau bahkan menetap maka harus segera
dikonsultasikan ke dokter spesialis mata. Untuk itu, diperlukan pengetahuan yang cukup
untuk mengetahui bagaimana perdarahan subkonjungtiva beserta faktor resiko dan
penanganannya.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah menyelesaikan modul ini, maka dokter mampu menguatkan kompetensinya pada
gangguan konjungtiva.
PATOFISIOLOGI
Konjungtiva adalah selaput tipis transparan yang melapisi bagian putih dari bola mata
(sklera) dan bagian dalam kelopak mata. Konjungtiva merupakan lapisan pelindung
terluar dari bola mata. Konjungtiva mengandung serabut saraf dan sejumlah besar
pembuluh darah yang halus. Pembuluh- pembuluh darah ini umumnya tidak terlihat secara
kasat mata kecuali bila mata mengalami peradangan. Pembuluh-pembuluh darah di
konjungtiva cukup rapuh dan dindingnya mudah pecah sehingga mengakibatkan terjadinya
perdarahan subkonjungtiva. Perdarahan subkonjungtiva tampak berupa bercak berwarna
merah terang di sklera.
Karena struktur konjungtiva yang halus, sedikit darah dapat menyebar secara difus di
jaringan ikat subkonjungtiva dan menyebabkan eritema difus, yang biasanya memiliki
intensitas yang sama dan menyembunyikan pembuluh darah. Konjungtiva yang lebih
rendah lebih sering terkena daripada bagian atas. Pendarahan berkembang secara akut, dan
biasanya menyebabkan kekhawatiran, meskipun sebenarnya tidak berbahaya. Apabila tidak
ada kondisi trauma mata terkait, ketajaman visual tidak berubah karena perdarahan terjadi
murni secara ekstraokulaer, dan tidak disertai rasa sakit.
Secara klinis, perdarahan subkonjungtiva tampak sebagai perdarahan yang datar, berwarna
merah, di bawah konjungtiva dan dapat menjadi cukup berat sehingga menyebabkan
kemotik kantung darah yang berat dan menonjol di atas tepi kelopak mata. Perdarahan
subkonjungtiva dapat terjadi secara spontan, akibat trauma, ataupun infeksi. Perdarahan
dapat berasal dari pembuluh darah konjungtiva atau episclera yang bermuara ke ruang
subkonjungtiva.
Berdasarkan mekanismenya, perdarahan subkonjungtiva dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan
Sesuai namanya perdarahan subkonjungtiva ini adalah terjadi secara tiba – tiba
(spontan). Perdarahan tipe ini diakibatkan oleh menurunnya fungsi endotel sehingga
pembuluh darah rapuh dan mudah pecah. Keadaan yang dapat menyebabkan pembuluh
darah menjadi rapuh adalah umur, hipertensi, arterisklerosis, konjungtivitis hemoragik,
anemia, pemakaian antikoagulan dan batuk rejan.
Perdarahan subkonjungtiva tipe spontan ini biasanya terjadi unilateral. Namun pada
keadaan tertentu dapat menjadi bilateral atau kambuh kembali; untuk kasus seperti ini
kemungkinan diskrasia darah (gangguan hemolitik) harus disingkirkan terlebih dahulu.
2. Perdarahan subkonjungtiva tipe traumatic
Trauma langsung atau tidak langsung yang mengenai daerah orbita dapat menyebabkan
perdarahan. Perdarahan yang terjadi kadang – kadang menutupi perforasi jaringan bola
mata yang terjadi.
MANIFESTASI KLINIS
1. Sebagian besar tidak ada gejala simptomatis yang berhubungan dengan perdarahan
subkonjungtiva selain terlihat darah pada bagian sklera.
2. Sangat jarang mengalami nyeri ketika terjadi perdarahan subkonjungtiva pada
permulaan. Ketika perdarahan terjadi pertama kali, akan terasa tidak nyaman, terasa
ada yang mengganjal dan penuh di mata.
3. Tampak adanya perdarahan di ruang subkonjungtiva dengan warna merah terang
(tipis) atau merah tua (tebal).
4. Tidak ada tanda peradangan, kalaupun adanya biasanya peradangan yang ringan.
5. Tidak ada gangguan penglihatan.
6. Perdarahan akan terlihat meluas dalam 24 jam pertama setelah itu kemudian akan
berkurang perlahan ukurannya karena diabsorpsi.
DIAGNOSIS
ANAMNESIS
Anamnesis tentang riwayat dapat membantu penegakan diagnosis dan terapi lebih lanjut.
Ketika ditemukan adanya trauma, trauma dari bola mata atau orbita harus disingkirkan.
Apabila perdarahan subkonjungtiva idiopatik terjadi untuk pertama kalinya, langkah-
langkah diagnostik lebih lanjut biasanya tidak diperlukan. Dalam kejadian kekambuhan,
hipertensi arteri dan kelainan koagulasi harus disingkirkan
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik bisa dilakukan dengan memberi tetes mata proparacaine (topikal
anestesi) jika pasien tidak dapat membuka mata karena sakit; dan curiga etiologi lain jika
nyeri terasa berat atau terdapat fotofobia.
Memeriksa ketajaman visual juga diperlukan, terutama pada perdarahan subkonjungtiva
traumatik. Salah satu studi mengenai perdarahan subkonjungtiva traumatik dan
hubungannya dengan luka / injuri lainnya oleh Lima dan Morales di rumah sakit Juarez
Meksiko tahun 1996 – 2000 menyimpulkan bahwa sejumlah pasien dengan perdarahan
subkonjungtiva disertai dengan trauma lainnya (selain pada konjungtiva), ketajaman visus
< 6/6 meningkat dengan adanya kerusakan pada selain konjungtiva. Maka dari itu
pemeriksaan ketajaman visus merupakan hal yang wajib pada setiap trauma di mata
sekalipun hanya didapat perdarahan subkonjungtiva tanpa ada trauma organ mata lainnya.
Selanjutnya, periksa reaktivitas pupil dan mencari apakah ada defek pupil, bila perlu,
lakukan pemeriksaan dengan slit lamp. Curigai ruptur bola mata jika perdarahan
subkonjungtiva terjadi penuh pada 360°. Jika pasien memiliki riwayat perdarahan
subkonjungtiva berulang, pertimbangkan untuk memeriksa waktu pendarahan, waktu
prothrombin, parsial tromboplastin, dan hitung darah lengkap dengan jumlah trombosit.
DIAGNOSIS BANDING
PENATALAKSANAAN
Perdarahan subkonjungtiva biasanya tidak memerlukan pengobatan. Pengobatan dini pada
perdarahan subkonjungtiva ialah dengan kompres dingin hari pertama hingga hari kelima,
yang bertujuan untuk vasokontriksi pembuluh darah, selanjutnya kompres hangat untk
vasodilatasi pembuluh darah. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorpsi
dalam 1- 2 minggu tanpa diobati. Perdarahan subkonjungtiva harus segera dirujuk ke
spesialis mata jika ditemukan kondisi berikut ini:
1. Nyeri yang berhubungan dengan perdarahan.
2. Terdapat perubahan penglihatan (pandangan kabur, ganda atau kesulitan untuk
melihat).
3. Terdapat riwayat gangguan perdarahan.
4. Riwayat hipertensi .
5. Riwayat trauma pada mata.
KOMPLIKASI
Perdarahan subkonjungtiva akan diabsorpsi sendiri oleh tubuh dalam waktu 1 – 2 minggu,
sehingga tidak ada komplikasi serius yang terjadi. Namun adanya perdarahan
subkonjungtiva harus segera dirujuk ke dokter spesialis mata jika ditemui:
1. Nyeri yang berhubungan dengan perdarahan.
2. Terdapat perubahan penglihatan (pandangan kabur, ganda atau kesulitan untuk
melihat).
3. Terdapat riwayat gangguan perdarahan.
4. Riwayat hipertensi .
5. Riwayat trauma pada mata.
Pada perdarahan subkonjungtiva yang sifatnya menetap atau berulang (kambuhan) harus
dipikirkan keadaan lain. Penelitian yang dilakukan oleh Hicks D dan Mick A mengenai
perdarahan subkonjungtiva yang menetap atau mengalami kekambuhan didapatkan
kesimpulan bahwa perdarahan subkonjungtiva yang menetap merupakan gejala awal dari
limfoma adneksa okuler.
PROGNOSIS
Secara umum prognosis dari perdarahan subkonjungtiva adalah baik. Karena sifatnya yang
dapat diabsorpsi sendiri oleh tubuh. Namun untuk keadaan tertentu seperti sering
mengalami kekambuhan, persisten atau disertai gangguan pandangan maka dianjurkan
untuk dievaluasi lebih lanjut lagi.
EDUKASI
Edukasi pada kasus perdarahan subkonjungtiva meliputi:
1. Menginformasikan kepada pasien mengenai pengertian perdarahan subkongjungtiva.
2. Menginformasikan bahwa perdarahan subkonjungtiva akan sembuh dengan sendirinya
dengan waktu 1-2 minggu.
3. Penderita diminta untuk menghindari stress dan banyak pikiran.
4. Apabila selama waktu 1-2 minggu belum sembuh, penderita diminta untuk periksa
kembali dan akan dirujuk ke dokter spesialis mata.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, Sidarta. Masalah Kesehatan Anda. Jakarta: FK UI. 2008.
2. Tarlan B, Kiratli H. Subconjunctival Hemorrhage: Risk factors and potential
indicators. Clin Ophthalmol. 2013;7:1163-1170.
3. Vaughan, D, Asbury, T.Oftalmologi Umum.Jakarta: EGC.2009.
4. Eroschenko, V. P. Atlas Histologi diFiore. Jakarta: EGC.2012.
5. Fineman MS, Ho AC. Color Atlas and Synopsis of Clinical Ophthalmology:
Cornea. China: Lippincott Williams & Wilkins.2012.
6. Graham R K. Subconjuntival Hemorrhage 1st Edition. UK: Lange.2010.
7. American Academy. Subconjunctival Haemorrhages. Amerika: Lange.2009.
8. Mimura T,Yamagami S. Subconjuntival Hemorrhage and
Conjuntivochalasis. Tokyo: Lange. 2010.
9. Chern, K. C. Emergency Ophthalmology: A Rapid Treatment Guide.
Massachusetts: McGraw-Hill. 2010.
10. Chern, K. C. Emergency Ophthalmology: A Rapid Treatment Guide.
Massachusetts: McGraw-Hill. 2010.
11. Vaughan D, Asbury T. General Ophthalmology 18th Edition. Singapore:
Lange.2013.
12. Ilyas, Sidarta.Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: FK UI.2013