Anda di halaman 1dari 33

IV.

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini sebagian besar merupakan data

sekunder, antara lain: Tabel Input-Output (I-O) tingkat nasional tahun 2003,

Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM)

tingkat nasional tahun 2003, dan Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS)

tahun 2002. Selain itu, juga diperlukan data makroekonomi dan sektoral serta

parameter-parameter dugaan dari sistem persamaan yang didapat dari penelitian

ekonometrika sebelumnya. Sumber data tersebut adalah Badan Pusat Statistik

(BPS), Bank Indonesia, institusi nasional dan internasional, serta sumber lainnya

yang berasal dari penelitan sebelumnya.

4.2. Metode Analisis

Untuk mengkaji dampak industrialisasi pertanian terhadap kinerja eko-

nomi sektoral, ekonomi makro, pendapatan rumah tangga dan kemiskinan per-

desaan, model computable general equilibrium (CGE) digunakan sebagai alat

analisis utama. Model CGE yang digunakan adalah model CGE recursive

dynamic. Unsur dinamis dalam model CGE ini ditunjukkan oleh akumulasi ka-

pital dan pertumbuhan tenaga kerja setiap tahun. Model dasar yang digunakan

dalam penelitian ini adalah model CGE ORANI-F (Horridge et al., 1993), INDOF

(Oktaviani, 2000), WAYANG (Wittwer, 1999), dan ORANIGRD (Horridge,

2002). Dalam penelitian ini dilakukan kombinasi dari beberapa model CGE

tersebut di atas, sehingga memungkinkan digunakan sebagai alat analisis untuk

mengkaji dampak industrialisasi pertanian terhadap kinerja ekonomi sektoral,

ekonomi makro, pendapatan rumah tangga dan kemiskinan perdesaan.


100

Selanjutnya model ini diberi nama model CGE Agroindustri Indonesia (model

CGE-AGRINDO).

4.3. Struktur Model

Sistem notasi dalam model ini paralel dengan sistem notasi dalam model

CGE INDOF (Oktaviani, 2000). Notasi-notasi tersebut telah dibuat oleh pemodel

ORANI agar dapat efisien digunakan dan mudah diinterprestasikan. Adalah

umum bagi pemodel CGE berbasis ORANI untuk menuliskan semua persamaan

dalam persentase. Salah satu keuntungannya adalah bahwa hasil simulasi CGE

selalu dapat dihitung dalam persentase. Dalam merespon kebutuhan ini, GEM-

PACK didesain untuk menjalankan persamaan CGE dan secara otomatis menyaji-

kan semua hasilnya dalam persentase. Dengan demikian, pemodel tidak perlu

menuliskan prosedur untuk menghitung hasil simulasi dalam nilai persen dengan

membandingkan hasilnya dengan keseimbangan yang dijadikan sebagai referensi

(benchmark). Namun demikian, agar transparan dan sudah menjadi konvensi

umum, persamaan yang digunakan dalam model dituliskan dalam format aljabar.

Hal ini memudahkan dalam memahami bagaimana model beroperasi.

Sama dengan model umum CGE, model yang digunakan dalam penelitian

ini mengasumsikan bahwa semua industri beroperasi pada pasar persaingan sem-

purna, baik pada pasar output maupun pasar input. Ini berimplikasi bahwa tidak

ada sektor atau rumah tangga yang dapat mengatur pasar. Dengan demikian

semua sektor ekonomi adalah price-taker. Pada tingkat output, harga yang di-

bayar oleh konsumen adalah sama dengan biaya marginal dalam memproduksi

output. Serupa dengan hal ini, upah yang diterima oleh tenaga kerja adalah sama

dengan produktivitas marginal dari tenaga kerja.


101

Struktur model CGE-AGRINDO mengandung sistem persamaan non linear

tentang permintaan tenaga kerja, permintaan terhadap input primer, permintaan ter-

hadap input antara, permintaan terhadap input gabungan (composite), komposit

output dari suatu industri, permintaan terhadap barang modal (investment goods),

permintaan rumah tangga, ekspor dan permintaan akhir lainnya, margin permintaan,

persamaan keseimbangan pasar, harga di tingkat pembeli, pajak tak langsung, GDP

dari sisi pendapatan dan pengeluaran, rates of return, serta persamaan investasi, aku-

mulasi modal dan utang. Solusi model ditentukan dengan cara melakukan linearisasi

setiap persamaan yaitu dengan menyatakan semua variabel dalam bentuk per-

tumbuhannya (percentage change). Persamaan yang dilinierkan mengandung se-

kumpulan koefisien yang equivalent dengan persamaan non linier.

Dalam setiap proses produksi, masing-masing industri dapat memproduksi

beberapa komoditas. Industri menggunakan faktor produksi primer dan input anta-

ra. Setiap input antara dapat diperoleh baik dari pasar domestik maupun impor.

Faktor primer yang digunakan adalah tenaga kerja, lahan dan modal. Struktur produksi

dari suatu industri disajikan pada Gambar 18. Pada level paling atas Gambar 18,

asumsi yang digunakan mengikuti model Leontief, yaitu tidak ada substitusi antara

faktor produksi primer, input antara dan biaya-biaya lainnya (other cost). Pada

level kedua, permintaan terhadap faktor produksi primer mengikuti fungsi produksi

CES. Pada level ini dengan mengikuti fungsi produksi CES tersebut dimungkinkan

substitusi antar faktor produksi primer. Adapun permintaan terhadap input antara

mengikuti asumsi yang digunakan pada model Armington, dimana barang impor dan

barang domestik diasum-sikan tidak bersubstitusi sempurna. Adapun pada level

paling bawah, permintaan faktor produksi tenaga kerja juga berdasarkan pada fungsi

produksi CES.
102

Barang 1 Barang 2 Barang 38


..sampai...
X1TOT1 X1TOT2 X1TOT38

CET
σ1OUT

Tingkat
Aktivitas
Industri j

Leontief

Barang 1 Barang C Input Primer Biaya Lain


X1i_s Xci_s X1PRIMi X1OCTi

CES CES CES


σ11 σ1c σ1PRIMi

Domestik Impor Domestik Import Lahan Tenaga Kerja Kapital


Barang 1 Barang 1 Barang C X1LNDi X1LABI_o X1CAPi
Barang C
X1"dom"i X1"imp"i Xc"imp"i
Xc"dom"i

CES
σ1LABi

TK Terdidik TK Tidak
X1LABi1 Terdidik
X1LABi2

Gambar 18. Struktur Produksi


Sumber: Silva dan Horridge (1996)
103

Fungsi produksi CES secara umum dapat dirumuskan sebagai:

[
y = A bx1− g + (1 − b) x 2− g ]
−v / g
...................................................................(4.1)

dimana:
y = Output
x1 = Input 1
x2 = Input 2
A = Parameter efisiensi
g = Parameter substitusi
Φ = Parameter elastisitas

Dari persamaan (4.1) di atas, Beattie and Taylor (1985) dalam Oktaviani

(2001) mengklasifikasikan tiga parameter yaitu: parameter skala (v), parameter

distribusi (v+g) dan parameter elastisitas (Φ = 1 ). Homogenitas dari fungsi


1+ g

tersebut tergantung pada parameter skala. Ketergantungan antar industri diten-

tukan oleh parameter distribusi dan kesamaan dalam komposisi faktor.

Dalam model CGE-AGRINDO terdapat 15 blok persamaan, yang secara

terinci dapat dijelaskan sebagai berikut:

Blok 1. Permintaan Tenaga Kerja

Tenaga kerja dibedakan atas tenaga terdidik (skilled labor) dan tenaga kerja

tidak terdidik (unskilled labor). Menggunakan Constant Elasticity of Substitution

(CES), tipe tenaga kerja ini diagregasikan menjadi tenaga kerja komposit.

Permintaan tenaga kerja untuk tipe pekerjaan tertentu adalah proporsional ter-

hadap seluruh permintaan tenaga kerja dalam industri dan tergantung pada tipe

pekerjaan tertentu relatif terhadap harga rata-rata tenaga kerja dalam industri

tersebut.

Dari fungsi produksi CES pada persamaan (4.1) di atas, maka permintaan

terhadap tenaga kerja oleh suatu industri dapat dirumuskan sebagai berikut:
104

X1LABi_o = CESoγOCC (X1LABio 3 Φ 1LABi ; S1LABio) …….....…...(4.2)

dimana:
X1LABi_o = Permintaan tenaga kerja oleh industri i pada semua jenis
pekerjaan
CESoγOCC = Fungsi CES
Φ1LABi = Elastisitas substitusi berdasarkan jenis pekerjaan di setiap
industri
S1LABio = Nilai share berdasarkan jenis pekerjaan terhadap upah
total yang dibayar industri i

Pada persamaan (4.2) di atas, notasi di sebelah kiri tanda "|" adalah satu

variabel yang mencirikan fungsi tersebut, sedangkan yang di sebelah kanan tanda

"|" adalah parameter yang menyertainya.

Dengan menggunakan model recursive dynamic, pada penelitian ini per-

tumbuhan tenaga kerja (employment growth) dianggap sebagai sumber pertum-

buhan dari tahun ke tahun. Mengikuti ORANIGRD (Horridge, 2002), model ter-

sebut membuat upah riil dapat menyesuaikan dengan tingkat lapangan kerja.

Hubungan antara lapangan kerja pada periode berikutnya dengan lapangan kerja

pada periode sebelumnya dapat dituliskan sebagai berikut:

∆V1LAB_io(t) /V1LAB_io(0) = σ1LABi [(X1LABi_o(0)/T1LABi_o(0)-1] +

σ1LABi*∆(X1LABi_o(t)/T1LAB(t))

∆V1LAB_io(t) /V1LAB_io(0) - σ1LABi [(X1LABi_o(0)/T1LAB(0))- 1] = σ1LABi *

∆(X1LABi_o(t)/T1LAB(t))

X1LABi_o (t) = T1LABi_o (∆V1LAB_io(t) /V1LAB_io(0)) –

σ1LABi [(X1LABi_o(0)/T1LAB(0))- 1] + X1LABi_o (0) ......(4.3)

dimana: X1LABi_o = actual employment


T1LABi_o = trend employment
V1LABi_o = real wage
105

Blok 2. Permintaan Faktor Produksi Primer

Permintaan terhadap masing-masing faktor diturunkan dari total per-

mintaan selaruh faktor yang dipakai dalam suatu industri (X1PRIMi) dan di-

pengaruhi oleh harga relatif suatu faktor. Total permintaan seluruh faktor di-

peroleh dengan cara minimisasi total biaya faktor. Dengan formulasi ini peru-

bahan harga relatif akan mempengaruhi komposisi penggunaan seluruh faktor,

dimana faktor yang lebih murah akan dipakai lebih banyak. Dengan demikian,

persamaan permintaan input primer dapat dituliskan sebagai berikut:

 X1LABi_o X1CAPi X1LNDi 


X1PRIMi = CES , , σ 1PRIM; S1LABi _ o ; S1CAPi ; S1LNDi  ...(4.4)
 A1LAB A1CAPi A1LNDi 
 i _o 

dimana:
X1PRIMi = Permintaan input primer oleh industri i
X1CAPi = Permintaan kapital industri i
X1LNDi = Permintaan lahan industri i
A1LABi_o = Produktivitas tenaga kerja industri i pada semua jenis
pekerjaan
A1CAPi = Produktivitas kapital industri i
A1LNDi = Produktivitas lahan industri i
Φ1PRIM = Elastisitas substitusi antar faktor produksi
S1LABi_o = Nilai share pada semua jenis pekerjaan terhadap upah total
yang dibayar oleh industri i
S1CAPi = Nilai share pada kapital industri i
S1LNDi = Nilai share pada lahan industri i

Blok 3. Permintaan Input Antara

Berdasarkan asumsi Armington, impor adalah substitusi tidak sempurna

untuk suplai domestik. Untuk mendapatkan jumlah komoditas tertentu, suatu

industri berusaha untuk meminimumkan biaya total dari barang yang diimpor dan

barang domestik, dengan kendala fungsi produksi CES. Pemilihan nilai elastisitas

substitusi memainkan peranan penting dalam menentukan suatu permintaan. Jika

elastisitas substitusi yang sangat tinggi dipilih, maka responsivitas dari rasio
106

barang yang diimpor terhadap barang domestik akan besar, dan sebaliknya.

Konsekuensi lainnya dalam menggunakan fungsi CES adalah karena harga barang

domestik meningkat relatif terhadap barang yang diimpor, maka pengguna akan

bersubstitusi menjauhi barang domestik ke barang yang diimpor.

Dalam model ini asumsi yang digunakan oleh Armington tersebut di atas

dipertahankan yaitu bahwa impor merupakan subtitusi tidak sempurna bagi komo-

ditas domestik. Dengan demikian, penurunan harga impor akan memperbesar

permintaan impor dan menurunkan permintaan barang domestik. Akan tetapi,

tidak seluruh komoditas domestik dapat digantikan oleh impor. Dalam pemakaian

input antara, suatu industri melakukan minimisasi biaya total berdasarkan fungsi

produksi CES, sehingga persamaan input antara dapat dirumuskan sebagai be-

rikut:

 X1 
X1ci_s = CES  csi σ 1c ; S1csi  c ∈COM,i ∈ IND .............................(4.5)
s∈SRC A1
 csi 

dimana:
X1ci_s = Permintaan input antara pada setiap komoditas, setiap industri
pada semua sumber
X1csi = Permintaan input antara pada setiap komoditas, setiap industri
dan setiap sumber
A1csi = Produktivitas input antara pada setiap komoditas, setiap industri
dan setiap sumber
Φ1c = Elastisitas substitusi input antara berdasarkan komoditas
S1csi = Share input antara pada setiap komoditas, setiap industri dan
setiap sumber

Berdasarkan formula tersebut, permintaan suatu input antara tergantung

pada kuantitas komposit komoditas dan harga relatif dari input tersebut. Harga

komposit komoditas ditentukan berdasarkan biaya tertimbang dengan rumus

indeks divisia.
107

Blok 4. Permintaan Komposit Input Antara dan Komposit Faktor Primer

Dari sisi input, komposit komoditas, komposit faktor primer dan faktor

yang termasuk kategori biaya lain-lain digabungkan ke dalam suatu fungsi

produksi Leontief untuk menentukan tingkat produksi dari suatu industri.

Spesifikasi fungsi ini adalah:

1   X1 ci_s  X1PRIM i X1OCT i 


X1TOT i = MIN  MIN  , , i ∈ IND .....(4.6)
A1TOT i  c∈COM  A1ci _ s  A1PRIM
 i A1OCT i 

dimana: X1TOTi = Permintaan input gabungan industri i


A1TOTi = Produktivitas input gabungan industri i
A1ci_s = Produktivitas input antara pada setiap komoditas setiap
industri pada semua sumber
A1PRIMi = Produktivitas input primer industri i
X1OCTi = Permintaan input other cost industri i
A1OCTi = Produktivitas input other cost industri i

Berdasarkan formula tersebut, maka permintaan terhadap seluruh input

bersifat proporsional terhadap tingkat produksi. Persentase perubahan permintaan

input akan sama dengan laju perubahan output, kecuali terjadi perubahan tekno-

logi. Rasio yang menentukan kombinasi input merupakan parameter dari fungsi

produksi Leontief. Bersama-sama harga input, rasio ini menentukan share biaya

dari suatu kegiatan produksi.

Blok 5. Komposisi komoditas dari output industri

Komposisi komoditas dari output industri ditentukan dari maksimisasi

penerimaan total (total revenue) dari semua komoditas dengan kendala tingkat

aktivitas produksi dalam industri tersebut dan fungsi transformasi CET:

X1TOTi = CET (Q1ci 3 Φ1OUTi;S_MAKEci) ……...………...…....….(4.7)


cεCOM
dimana:
X1TOTi = Komposit output industri i
Φ1OUTi = Elastisitas transformasi pada industri i
S_MAKEci = Share produksi total komoditas c pada industri i
108

Dari fungsi maksimisasi tersebut, transformasi antar komoditas akan

mengarah pada komoditas yang harga relatifnya meningkat. Harga rata-rata yang

diterima oleh suatu industri merupakan harga tertimbang berdasarkan pangsa

dalam penerimaan.

Blok 6. Permintaan Barang yang Dipergunakan dalam Investasi

Pembentukan investasi dan barang modal disajikan pada Gambar 19.

Sebagaimana halnya barang konsumsi, proses pembentukan barang modal bersifat

multi tingkatan (multi-stage), dengan karakterisasi proses fungsi CES dalam ting-

kat awal dan fungsi Leontief pada tingkatan yang lebih tinggi. Pada tahap awal

penggunaan barang impor dan domestik ditentukan minimisasi biaya dengan

fungsi produksi CES untuk suatu tingkat output tertentu dapat dirumuskan secara

spesifik sebagai berikut:

 X2 
X2ci_s = CES  csi σ 2 c ; S 2 csi  c ∈ COM, i ∈ IND ..............................(4.8)
s∈SRC A2
 csi 
dimana:
X2ci_s = Permintaan barang kapital setiap komoditas, setiap industri pada
semua sumber
X2csi = Permintaan barang kapital setiap komoditas, setiap industri pada
setiap sumber
A2csi = Produktivitas barang kapital setiap komoditas, setiap industri
dan setiap sumber
Φ2c = Elastisitas Armington pada setiap komoditas
S2csi = Share nilai kapital setiap komoditas, setiap industri dan setiap
sumber

Pada tahap berikutnya, dilakukan minimisasi fungsi biaya Leontief yang

dirumuskan sebagai berikut:

1  X2ci_s 
X2TOTi = MIN   i ∈ IND .........................................(4.9)
A2TOTi c∈COM  A2 ci _ s 

dimana:
X2TOTi = Permintaan barang kapital pada industri i
A2TOTi = Produktivitas barang kapital industri i
109

Barang Kapital

Leontief

Barang 1 Barang C
X21i_s X2ci_s

CES CES
σ21 σ2C

Domestik Domestik Domestik Impor


Barang 1 Barang 2 Barang C Barang C
X21”dom”i X21”imp”i X2c”dom”i X2c”imp”i

Gambar 19. Struktur Pembentukan Investasi dan Barang Modal


Sumber: Silva dan Horridge (1996)

Blok 7. Permintaan Rumah Tangga

Menurut teori neoklasik, sektor rumah tangga diasumsikan mengambil

harga yang berlaku dan mengkonsumsi komoditas untuk memaksimumkan fungsi

utilitasnya dengan kendala pengeluaran aggregat. Fungsi kepuasan konsumen dapat

dilihat pada Gambar 20.

Pada tingkatan yang paling tinggi, pilihan konsumen di antara berbagai jenis

komoditas berdasarkan pada fungsi linear expenditure demand system (LES). Pada

tingkat kedua, konsumen mengkombinasikan barang-barang dari berbagai sumber

(domestik dan impor) melalui mekanisme CES.


110

Utilitas
Rumah Tangga

Stone
Geary

Barang 1 Barang C
X31_s X3c_s

CES CES
σ31 σ3c

Domestik Impor Domestik Import


Barang 1 Barang 1 Barang C Barang C
X31”dom” X31”imp” X3 c”dom” X3 c”imp”

Gambar 20. Spesifikasi Konsumsi Rumah Tangga


Sumber: Silva dan Horridge (1996)

Persamaan permintaan mengasumsikan bahwa pengeluaran pada barang i

adalah suatu fungsi linier dari harga dan pendapatan. Sistem ini, yang biasanya

digunakan dalam analisis permintaan terapan, adalah didasarkan pada fungsi

utilitas agregat Stone-Geary:

TOTALUTILITY = Pc X3LUXc S3LUXc ……….…..…….……..…(4.10)

dimana:
TOTALUTILITY = Kepuasan total rumah tangga
X3LUXc = Komposit agregat dari barang luks
111

Dengan bentuk fungsi ini, utilitas diperoleh hanya dari konsumsi di atas tingkat

subsisten. Adapun konsumsi barang luks dapat dirumuskan:

X3LUXc = X3c_s - X3SUBc …………………………........…...……..(4.11)

dimana:
X3c_s = Konsumsi agregat barang luks
X3SUBc = Konsumsi subsisten barang c

Pada setiap level rumah tangga, utilitas dirumuskan sebagai:

UTILITY = TOTALUTILITY/Q

= I/Q*PcX3LUXc S3LUXc ……………..…….....….....…(4.12)

Pangsa pengeluaran bagi setiap barang ditentukan berdasarkan:

P3c_s*X3LUXc = S3LUXc* V3LUX_c ………………....………...….(4.13)

dimana:
V3LUX_c = Pengeluaran total atas semua barang luks.

Blok 8. Ekspor dan Permintaan Akhir Lainnya

Dalam model CGE INDOF, ekspor dibagi menjadi dua kategori atau grup

yaitu tradisional dan non-tradisional, sehingga spesifikasi fungsi bagi masing-

masing grup dibuat berbeda. Dalam penelitian ini tidak dibedakan antara ekspor

tradisional dan ekspor non tradisional, sehingga hanya terdapat satu persamaan

ekspor yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

X4c = F4Qc [P 4c / PHI / P 4c ] EXP_ELASTc ……………….......…...……(4.14)

dimana:
X4c = Volume ekspor berdasarkan komoditas
P4c = Harga komoditas (rupiah)
PHI = Nilai tukar (rupiah per dolar US)
EXP_ELASTc = Pengeluaran total rumah tangga
F4c = Demand shifter
112

Blok 9. Permintaan Barang Margin

Penggunaan komoditas atau barang, baik oleh produsen maupun kon-

sumen, pada umumnya memerlukan pelayanan jasa lanjutan. Jenis jasa lanjutan

ini dalam fungsi CES, LES dan Leontief belum dispesifikasi. Jenis jasa ini dise-

but barang margin dan contohnya adalah transportasi dan telekomunikasi.

Jumlah barang margin yang dipergunakan oleh setiap agen diasumsikan

sebagai suatu proporsi terhadap produksi dan konsumsi. Sebagai contoh, permin-

taan barang margin oleh suatu industri dapat dirumuskan sebagai berikut:

X1MARcsim = A1MARcsim * X1csi …………………………...…....…(4.15)

dimana:
XlMARcsim = Permintaan barang margin pada setiap komoditas, setiap
sumber, setiap industri dan setiap margin
AlMARcsim = Produktivitas barang margin pada setiap komoditas, setiap
sumber, setiap industri dan setiap margin (konstanta)

Walaupun nilai AlMARcsim adalah konstan, namun ratio yang berlaku

pada masing-masing industri adalah berbeda, tergantung dari data dasar yang di-

gunakan. Dalam simulasi, dapat pula ditambahkan variabel demand shifter.

Blok 10. Harga Barang di Tingkat Pembeli

Barang margin dapat diperlakukan sebagai barang antara atau margin.

Penggunaan barang ini sebagai input, berarti menambah struktur ongkos produksi.

Dengan demikian, input margin menimbulkan biaya yang harus dibayar oleh

pengguna. Biaya tersebut akan menyebabkan harga di tingkat produsen (sumber ko-

moditas) berbeda dengan harga di tingkat pengguna. Harga di tingkat pengguna

akhir disebut harga pembeli (purchases price). Harga barang di tingkat pembeli dapat

dirumuskan sebagai berikut:

P1SELci_s = P1BASICci_s + CSTMRGci_s + TAXci_s ……….......…...…….…(4.16)


113

dimana:
P1SELci_s = Harga di tingkat pembeli pada semua komoditas
P1BASICci_s = Harga.dasar pada semua komoditas
CSTMRGci_s = Biaya margin
TAXci_s = Pajak bersih

Blok 11. Keseimbangan Market Clearing

Model CGE-AGRINDO memerlukan ratusan kondisi keseimbangan pasar

yang memuat hubungan antara harga dan jumlah komoditas, faktor, dan input

antara. Pada prinsipnya, kondisi keseimbangan merupakan titik pertemuan antara

penawaran dengan permintaan untuk berbagai komoditas. Karena jumlah persa-

maannya begitu banyak, maka yang ditampilkan disini hanya contohnya saja.

Sebagai contoh, kondisi keseimbangan kuantitas suatu faktor produksi secara

agregat dapat dirumuskan sebagai berikut:

1
X1FAC_ i =
V 1FAC _ i
∑ V 1FAC
i∈IND
i × X 1FAC i .................................(4.17)

dimana:
X1FAC_i = Permintaan faktor produksi untuk seluruh industri
X1FACi = Permintaan faktor produksi untuk masing-masing industri
V1FAC_i = Total pembayaran faktor produksi pada semua industri
V1FACi = Pembayaran faktor produksi oleh industri i

Blok 12. Pajak Tidak Langsung

Pajak penjualan dinyatakan dalam bentuk ad valorem tax dan masing-

masing jenis komoditas yang dibedakan atas sumber dan jenis penggunaannya

memiliki rate pajak yang berbeda-beda. Bentuk umum nilai pajak dari suatu

komoditas yang diproduksi secara domestik dapat dirumuskan sebagai:

T1csi = F0TAXc_s * F1TAX_csi ……………….………….……...……(4.18)

dimana:
T1csi = Nilai pajak dari suatu komoditas yang diproduksi oleh domestik
F0TAXc_s dan F1TAX_csi = Variabel shifter
114

Dari sini, penerimaan pajak dirumuskan sebagai:

Tax revenue = Tax rate*Value of product before tax

= (Power of tax–1)*Value of product before tax ….....(4.19)

Derivasi nilai pajak disederhanakan sebagai fungsi dari nilai produksi ba-

rang konsumsi, yaitu:

V1TAX_csi = Scsi (T1csi – 1) * V1BAS_csi

= Scsi (T1csi – 1) * (P0cs * X1csi) ………………….…….(4.20)

Blok 13. GDP dari Sisi Pendapatan dan Pengeluaran

GDP dari sisi pendapatan = Pendapatan dari lahan + Pendapatan dari kapital

+ Pendapatan tenaga kerja + Pendapatan input lainnya (other cost input) +

Pendapatan dari pajak tidak langsung ………………………………......(4.21)

GDP dari sisi pengeluaran = Konsumsi RT + Investasi + Pengeluaran

pemerintah + Net ekspor (Ekspor – Impor) ………………...….……….(4.22)

Blok 14. Neraca Perdagangan dan Agregat Lainnya

Balance of trade (dalam mata uang domestik) dirumuskan sebagai berikut:

BTD = V4TOT – V0CIF_c ……………………………..……………(4.23)

dimana:
BTD = Balance of trade
V4TOT = Nilai total ekspor
V0CIF_c = Nilai total impor

Untuk mengekspresikan trade balance relatif terhadap gross domestic

product (V0GDPEXP), maka:

BTD/V0GDPEXP = V4TOT/V0GDPEXP–V0CIF_c/V0GDPEXP .….(4.24)

dimana:
V0GDPEXP = GDP dari sisi pengeluaran
115

Blok 15. Persamaan Akumulasi Investasi-Kapital

Pada model CGE recursive dynamic, tingkat stok kapital menjadi suatu

faktor sangat krusial. Hal ini disebabkan pada model statis modal diasumsikan

tetap. Jika proses dinamis dimasukkan ke dalam model, maka permintaan dan

persediaan modal akan berubah. Dengan kata lain, penghapusan asumsi ekso-

genus terhadap stok modal akan memiliki implikasi penting terhadap pengaruh

pendapatan dan alokasi sumberdaya dari perdagangan dan kebijakan pemerintah.

Di sisi lain, proses akumulasi modal adalah dimodelkan secara berurutan (pen-

dekatan sekuental). Berdasarkan hal tersebut, tingkatan kapital stok antar periode

akan diperbaharui.

Tingkat stok modal di masa datang (t+1) yang tersedia untuk proses pro-

duksi pada periode t+1 adalah identik dengan tingkat depresiasi stok modal dari

periode sebelumnya dan investasinya, yang berlangsung antara periode t dan t+1.

Terkait dengan hubungan ini, selanjutnya diasumsikan bahwa panjang gestation

lag untuk semua sektor adalah satu periode. Persamaan akumulasi modal dispesi-

fikasikan sebagai berikut:

X1CAPt = (1 - DEP) X1CAPt-1 + X2TOTt-1 ………………..….……(4.25)

dimana:
DEP = Tingkat konstanta depresiasi ekonomi
X1CAPt = Agregat stok modal
X2TOTt-1 = Tingkat investasi pada periode sebelumnya

Karena tingkat stok modal yang berjalan bukan hanya tergantung pada stok

modal pada periode sebelumnya (t-1) tetapi juga pada periode-periode jauh se-

belumnya (t-2, t-3 dan t-n), maka persamaan di atas dapat dideduksi menjadi per-

samaan umum, termasuk untuk periode sebelumnya:


116

X1CAPt = (1 - DEP) (1 - DEP)X1CAPt-2 + X2TOTt-2 ........................(4.26)

n
X1CAPt = (1-DEP)”X1CAPt-n - ∑ (1-DEP)j-1 X2TOTt-j ………..…(4.27)
j=1

Model CGE standar tidak memiliki persamaan yang secara langsung

menghubungkan investasi dengan stok modal. Hanya dengan menerapkan kondisi

terhadap tingkat pertumbuhan atau melalui kondisi keseimbangan yang diaplikasi-

kan pada tingkat pengembalian (rates of return), maka investasi dan stok modal

menjadi dapat dihubungkan secara tidak langsung. Model peramalannya berbeda

dari model standar karena mencakup suatu persamaan yang secara langsung

mengkaitkan stok modal pada waktu 0 dengan stok modal pada periode T, atau

secara langsung mengkaitkan antara investasi dan stok modal pada periode T:

X1CAPi – X1CAP0i = [(X1CAP0i * (DEPRATiT -1) + X2TOT0i *N)*

delFudge + (X2TOTi – X2TOT0i) * M] *

F_ACCUM ………………………….….….(4.28)

dimana:
X1CAPi = Pembentukan capital pada saat sekarang pada industri i
XICAP0i = Pembentukan capital pada periode awal pada industri i
DEPRATiT = Depresiasi
X2TOT0i = Investasi pada periode awal pada industri i

Angka "0" mengindikasikan bahwa variabel tersebut dan nilainya dila-

kukan sebelum periode waktu sekarang. Adapun variabel dengan nama standar

secara aktual menghubungkan periode T terhadap periode sekarang, yaitu periode

1. Simbol "T" dihilangkan untuk menyederhanakan, yang disebabkan variabel ini

sama seperti pada persamaan model tersebut. Demikian pula, dalam menginter-

pretasikan variabel dalam model, mereka selalu berhubungan dengan suatu peri-

ode T, dimana T tidak dibuat eksplisit. Ketika T dimasukkan dalam persamaan,

agar persamaan tersebut menjadi efektif, maka perlu ditambahkan restriksi pada
117

tingkat keseimbangan investasi dan modal. M dan N merupakan konstanta yang

muncul ketika terjadi penjumlahan koefisien investasi pada semua tahun T:

T −1
t T −t −1 T t − 1 T −1
M=∑ D =∑ D …………………….……...……….(4.29)
t =0 T t =1 T

T −1 T
N =∑D =∑D
T − t −1 T−t
…………………………………...………(4.30)
t=0 t =1

Persamaan tersebut di atas juga mencakup suatu variabel delFudge, yang

unik untuk persamaan tersebut. Variabel ini bukanlah bagian dari ekonomi dari

model itu sendiri tetapi sebagai alat prosedural penyelesaian, yang menggunakan

notasi konstan (melekat pada delFudge) pada atau di luar persamaan tersebut.

Kita perlu mendefinisikan variabel delFudge secara eksogenus sama dengan 1.

Karena variabel dalam model menghubungkan antar periode waktu masa datang

(relatif terhadap data base atau waktu yang berjalan), maka keseimbangan eko-

nomi akan bergerak dari keseimbangan periode yang sedang berjalan (saat ini)

dan penyelesaiannya ke periode di masa datang. Jika delFudge = 0, maka kons-

tanta tersebut tidak berpengaruh. Penyelesaian perubahan pra-eksogenus akan

secara langsung berhubungan dengan databasenya. Notasi konstanta ditambahkan

agar model dapat mencerminkan keseimbangan periode waktu T di masa datang.

Hal ini dapat dicapai dengan menetapkan secara eksogenus delFudge = 1.

Selanjutnya pendugaan linear dilakukan pada keseimbangan awal dimana del-

Fudge = 0, dan pada delFudge = 1.

4.4. Elastisitas dan Parameter Lainnya

Model CGE membutuhkan data parameter elastisitas dan beberapa parameter

perilaku (behavioural) lainnya. Parameter elastisitas yang digunakan dalam model


118

ini adalah elastisitas Armington, elastisitas substitusi untuk tenaga kerja, elastisitas

substitusi untuk faktor primer, elastisitas permintaan ekspor dan elastisitas penge-

luaran. Parameter lain yang diperlukan adalah parameter yang berhubungan dengan

investasi. Idealnya, parameter-parameter tersebut diperoleh dari data time series yang

kemudian diestimasi dengan menggunakan alat analisis ekonometrika. Namun de-

mikian, secara relatif belum banyak usaha yang ditujukan untuk tugas mendasar

ini bagi Indonesia, sebagian terkait dengan keterbatasaan ketersediaan data time

series yang baik (Oktaviani, 2000). Oleh sebab itu, beberapa parameter yang

datanya tidak ditemukan di lapangan, nilai parameternya diperoleh dari hasil studi

terdahulu, baik studi yang dilakukan di Indonesia maupun studi yang dilakukan di

negara lain yang kemudian diaplikasikan secara logis untuk Indonesia.

4.5. Agregasi Sektor Rumah Tangga dan Input Lainnya

Rumah tangga didisagregasi mengikuti pengelompokan pada SNSE 2003

menjadi 8 (delapan) kelompok rumah tangga berdasarkan lokasi dan jenis pe-

kerjaan, yaitu 5 (lima) kelompok rumah tangga perdesaan (rural) dan 3 (tiga) ke-

lompok rumah tangga di perkotaan (urban).

Lima kelompok rumah tangga perdesaan (rural) tersebut adalah sebagai

berikut:

1. Rural 1 adalah buruh pertanian di perdesaan.

2. Rural 2 adalah pengusaha pertanian di perdesaan.

3. Rural 3 adalah rumah tangga bukan pertanian golongan rendah di perdesaan,

yaitu pengusaha bebas golongan rendah, tenaga TU, pedagang keliling, pe-

kerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan, dan buruh kasar.


119

4. Rural 4 adalah bukan angkatan kerja (BAK) di perdesaan, yang meliputi bu-

kan angkatan kerja dan golongan tidak jelas di perdesaan.

5. Rural 5 adalah rumah tangga bukan pertanian golongan atas di perdesaan,

meliputi pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, mana-

jer, militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan

atas.

Tiga kelompok rumah tangga yang berada di perkotaan (urban) adalah

sebagai berikut:

1. Urban 1 adalah rumah tangga bukan pertanian golongan bawah di perkotaan,

yang meliputi pengusaha bebas golongan rendah, tenaga TU, pedagang ke-

liling, pekerja bebas sektor angkutan, jasa perorangan dan buruh kasar.

2. Urban 2 adalah bukan angkatan kerja (BAK) di perkotaan, meliputi bukan

angkatan kerja dan golongan tidak jelas.

3. Urban 3 adalah rumah tangga bukan pertanian golongan atas di perkotaan,

seperti pengusaha bebas golongan atas, pengusaha bukan pertanian, manajer,

militer, profesional, teknisi, guru, pekerja TU dan penjualan golongan atas.

Input primer yang digunakan meliputi tenaga kerja, lahan dan kapital.

Tenaga kerja diklasifikasikan atas tenaga kerja terdidik (skilled labor) dan tenaga

kerja tidak terdidik (unskilled labor). Klasifikasi tenaga kerja yang digunakan

dalam penelitian ini mengikuti kategori yang ditemukan pada tabel SAM tahun

2003, dimana tenaga kerja dikategorikan menjadi 4 kelompok besar yaitu tenaga

kerja pertanian, operator, tata usaha dan profesional. Pada penelitian ini, tenaga

kerja pertanian dan operator dikelompokkan lagi menjadi tenaga kerja tidak

terdidik (unskilled), sedangkan tata usaha dan profesional dikelompokkan menjadi


120

tenaga kerja terdidik (skilled). Adapun input primer lainnya (lahan dan kapital)

tidak didisagregasi lagi.

4.6. Analisis Kemiskinan

Untuk mengkaji dampak industrialisasi pertanian pada insiden kemis-

kinan (poverty incidence) digunakan indeks kemiskinan FGT (Foster-Greer-

Thorbecke). Perubahan pendapatan masing-masing golongan rumah tangga dari

analisis simulasi kebijakan digunakan untuk menganalisis kemiskinan indeks FGT

dengan menggunakan data SUSENAS tahun 2002. Meskipun menggunakan

analisis di luar model CGE, pada dasarnya analisis kemiskinan dalam penelitian

ini tetap mengacu pada kerangka SNSE, karena: (1) kelompok rumah tangga pada

model CGE disusun berdasarkan SNSE yang bersumber dari data SUSENAS, dan

(2) penggolongan rumah tangga pada data SUSENAS dibuat mengikuti penge-

lompokan rumah tangga yang terdapat dalam SNSE. Dengan menyelaraskan

pengelompokan rumah tangga pada data SUSENAS dengan model CGE akan

diperoleh keterkaitan pembahasan antara analisis kemiskinan dengan model CGE.

Dari data SUSENAS dapat dibentuk struktur data kelompok rumah tangga

berdasarkan jenis pekerjaan, lokasi (desa-kota), rata-rata pengeluaran dan jumlah

anggota rumah tangga. Dari data rata-rata pengeluaran rumah tangga dan dengan

menggunakan batas garis kemiskinan yang telah ditetapkan, maka dapat ditetap-

kan jumlah rumah tangga yang tergolong miskin, yaitu rumah tangga yang memi-

liki pendapatan (yang diproksi dari pengeluaran) di bawah garis kemiskinan.

Adapun garis kemiskinan (poverty line) ditetapkan berdasarkan standar Bank

Dunia yaitu sebesar 1 $ US per hari atau setara dengan Rp 285 000 per bulan.

Data tersebut selanjutnya digunakan sebagai data dasar (base data) untuk
121

menghitung indeks kemiskinan. Perubahan pendapatan rumah tangga hasil dari

simulasi kebijakan, dianggap sebagai data setelah simulasi. Selanjutnya dapat

dihitung indeks kemiskinan dari data dasar dan data hasil simulasi dengan

menggunakan program analisis DAD 4.3 (Distributive Analysis).

Untuk menghitung indeks kemiskinan, data pendapatan rumah tangga

berdasarkan golongan rumah tangga (yang didekati dari data pengeluaran), diubah

ke dalam pendapatan masing-masing individu. Hal ini dilakukan karena per-

hitungan FGT poverty index didasarkan pada pengeluaran masing-masing

individu atau per kapita penduduk miskin.

Ada dua pendekatan dalam menghitung pendapatan masing-masing

individu sebagai dasar penghitungan kemiskinan. Pertama, berdasarkan rata-rata

per kapita. Rata-rata per kapita ini belum mempertimbangkan tingkat konsumsi

menurut golongan umur, jenis kelamin dan skala ekonomi dalam konsumsi.

Kedua, berdasarkan skala ekivalensi atau equivalence scales (ES), yang me-

nunjukkan ukuran pendapatan relatif dari masing-masing rumah tangga yang

berbeda untuk mencapai standar hidup. Penghitungan melalui pendekatan skala

ekivalensi didasarkan pada kenyataan bahwa kriteria untuk menentukan garis

kemiskinan pada umumnya lebih banyak didasarkan pada kecukupan kebutuhan

energi kalori, sementara kebutuhan kecukupan pangan individu berbeda menurut

umur dan jenis kelamin (LIPI, 2004). Dengan demikian penghitungan pendapatan

masing-masing individu dengan menggunakan pendekatan rata-rata pendapatan

per kapita dipandang kurang tepat.

Konsep ES pada prinsipnya menyetarakan kebutuhan konsumsi anak

dengan populasi dewasa untuk menghitung angka kemiskinan. United States

Panel Poverty and Family Assistance menyetarakan kebutuhan konsumsi anak 0.7
122

populasi dewasa. Artinya secara umum anak mengkonsumsi 70 persen dari ke-

butuhan konsumsi dewasa (Susilowati, 2007).

Beberapa kajian di Australia menggunakan nilai pembobot untuk anak

berkisar 0.3 sampai 0.7 (Whiteford, 1985). Demikian pula beberapa negara telah

menghitung dan menerapkan skala ekivalensi dalam menghasilkan ukuran kemis-

kinan. Sebagai contoh skala ekivalensi yang digunakan di Srilanka, Taiwan dan

Peninsula nilainya berkisar 0.9 (BPS, 2005b). Dengan angka ekivalensi men-

dekati satu, implikasinya skala ekivalen akan memberikan hasil yang tidak jauh

berbeda dengan perhitungan angka kemiskinan melalui pendapatan (pengeluaran)

per kapita.

Dalam menentukan ES, berdasarkan economic of scale (e) yang nilainya

ditentukan oleh jumlah anak dan anggota rumah tangga dewasa. Nilai e berkisar

0-1. Jika e meningkat, maka ES akan menurun sehingga jika e = 1 atau tidak ada

skala ekonomi maka besaran ES dihitung sebagai jumlah orang anggota rumah

tangga. Teknik menghitung ES yang telah dilakukan selama ini di negara-negara

Luxemburg sangat beragam karena masing-masing memiliki preferensi dalam

aspek tertentu. Tidak ada pedoman yang pasti teknik penghitungan ES sehingga

Whiteford (1985) menyatakan tidak ada suatu metoda menghitung ES yang telah

dilakukan selama ini di Australia yang dapat dikatakan metoda tertentu lebih baik

dibanding metoda penghitungan ES yang lain.

Meskipun penghitungan kemiskinan dengan menggunakan pendekatan

rata-rata pendapatan per kapita dipandang kurang tepat, penghitungan ukuran

kemiskinan di Indonesia selama ini belum menerapkan skala ekivalensi karena

belum dilakukan penelitian untuk menentukan besaran skala ekivalensi yang dapat

mewakili Indonesia.
123

Penelitian ini menggunakan metoda penghitungan ES yang dikem-

bangkan oleh Cockburn (2001) yang telah diterapkan untuk mengkaji angka

kemiskinan di Australia dan di Nepal dengan formula sebagai berikut:

ESi = 1 + 0.7 (Zi-1-Ki) + 0.5 Ki ........................................................ (4.31)

dimana: i adalah indeks rumah tangga, Z adalah jumlah anggota rumah tangga dan

K adalah jumlah anak. Formula tersebut menunjukkan bahwa dengan mem-

perhitungkan skala ekonomi dan umur, maka kepala rumah tangga diperhitungkan

1, anggota rumah tangga dewasa lain diperhitungkan 0.7 dan anak-anak diper-

hitungkan 0.5. Formula yang sama telah digunakan oleh Oktaviani et al. (2005)

untuk mengkaji dampak penurunan subsidi minyak di Indonesia terhadap kemis-

kinan, Astuti (2005) dan Sitepu (2007) untuk menghitung perubahan angka ke-

miskinan sebagai dampak investasi di sektor tertentu, serta Susilowati (2007)

untuk mengkaji dampak kebijakan ekonomi di sektor agroindustri terhadap dis-

tribusi pendapatan dan kemiskinan di Indonesia.

Formula Foster-Greer-Thorbecke (FGT) poverty index dinyatakan sebagai

berikut (Cockburn, 2001):

α
Pα(y;z) = 1 ∑ 
q
z − yi 
 , (α ≥ 0) ...............................................(4.32)
n i =1  z 

dimana yi adalah rata-rata nilai pengeluaran per kapita individu ke i dalam rumah

tangga yang sudah diranking berdasarkan tingkat pengeluaran, total populasi

dinyatakan sebagai n dan jumlah populasi miskin adalah q, batas kemiskinan

adalah z, sehingga poverty gap ratio adalah Gi = (z – yi)/z, dimana Gi = 0 pada

saat yi > z.
124

Nilai α ada tiga macam, yaitu:

1. Nilai α = 0, P0 menyatakan headcount index, merupakan proporsi populasi

yang berada di bawah garis kemiskinan. Formula (4.34) di atas akan menjadi:

0
P0(y;z) = 1 ∑ 
q
z − yi 
 atau P0 = q/n …………………………..(4.33)
n i =1  z 

Misalnya terdapat sebanyak 10 persen populasi termasuk ke dalam kelompok

miskin, maka P0 = 0.10.

2. Nilai α = 1, menunjukkan ukuran poverty gap ratio dimana masing-masing

penduduk miskin dibobot berdasarkan jarak relatif mereka dari garis

kemiskinan. Formula (4.34) menjadi:

P1 = 1/n ∑ (z − y i )/z …………………………………………….…(4.34)

Misalnya besaran P1 = 0.1, artinya total kesenjangan kemiskinan seluruh po-

pulasi miskin terhadap garis kemiskinan adalah 10 persen. Adapun P1/P0 =

1/q ∑ (z − y i )/z adalah rata-rata kesenjangan kemiskinan (poverty gap) yang

dinyatakan sebagai proporsi terhadap garis kemiskinan.

3. Nilai α = 2, formula (4.34) menjadi:

2
1 q  z − yi 
P2(y;z) = ∑
n i =1  z 
 ……………………………………..…….(4.35)

Artinya bobot yang diberikan kepada masing-masing penduduk miskin

proporsional dengan kuadrat kekurangan pendapatan mereka terhadap garis

kemiskinan. Indeks tersebut merupakan ukuran yang sensitif terhadap peru-

bahan pendapatan atau distribusi pendapatan populasi miskin (distributionally

sensitive index). Ukuran ini dinamakan rasio “keparahan” kemiskinan (pover-

ty severity).
125

Pengukuran kemiskinan dengan FGT poverty index dapat digunakan juga

apabila populasi rumah tangga dipisahkan (disaggregated) menurut kelompok

(sub-group) populasi, sehingga kontribusi masing-masing kelompok dapat di-

ketahui. Dalam penelitian ini populasi dibagi menjadi 8 kelompok, maka profil

kemiskinan digambarkan melalui Pj untuk j = 1, 2, ..., 8 sebagai berikut:

1 8
Pj = ∑
n j −1
p ( z j , y ij ) ..........................................................................(4.36)

Adapun kemiskinan agregat sebagai rata-rata ukuran kemiskinan kelom-

pok, diformulasikan sebagai:

1 8
P= ∑ Pj N j ....................................................................................(4.37)
n j =1
dimana: Pj = ukuran kemiskinan untuk kelompok j, dimana j = 1, 2, ..., 8.
Nj = jumlah populasi kelompok j
yij = rata-rata pengeluaran individu i yang berada pada kelompok j
i = individu1, 2, ..., nj yang berada dalam kelompok j.

Profil kemiskinan menurut kelompok tersebut menggambarkan konsis-

tensi, dimana ketika kemiskinan dalam suatu kelompok meningkat, maka secara

agregat kemiskinan populasi juga akan meningkat, demikian pula sebaliknya.

4.7. Diagram Alur Penelitian

Diagram alur penelitian secara skematik disajikan pada Gambar 21.

Langkah pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah membangun data

dasar yang diambil dari sumber data Tabel Input-Output (I-O) dan Sistem Neraca

Sosial Ekonomi (SNSE) atau Social Accounting Matrix (SAM) versi terbaru.

Data dasar yang dibangun mengikuti langkah-langkah membangun data dasar

model CGE INDOF, dengan memperhatikan sektor dalam penelitian yang telah

ditentukan atau dipilih (38 sektor).


126

Data SAM
Data I-O
(SNSE)

Penentuan/Pemilihan Membangun Data Dasar Mengikuti


Sektor Penelitian
Model CGE (72 Sektor) Model CGE INDOF
(38 Sektor)

Cek Keseimbangan:
1. AD = AS
Ya 2. Pure Profit = 0 Tidak
3. Sales = Cost

Data Dasar
Model CGE Agregasi Sektor
(72 Sektor) Penelitian (38 Sektor)

Studi Literatur Model Estimasi Parameter


Penelitian CGE AGRINDO & Nilai Elastisitas
Sebelumnya

Simulasi Kebijakan

Kinerja Kinerja Pendapatan


Ekonomi Sektoral Ekonomi Makro Rumah Tangga

Data SUSENAS

Kemiskinan
Rumah Tangga FGT Poverty Index

Gambar 21. Diagram Alur Penelitian

Asumsi yang harus dipenuhi dalam membangun data dasar model CGE

adalah: (1) agregat demand (AD) harus sama dengan agregat supply (AS),

(2) keuntungan murni (pure profit) harus sama dengan nol, dan (3) biaya yang

dikeluarkan (cost) harus sama dengan penerimaannya (sales). Apabila asumsi ini

telah terpenuhi, maka data dasar yang dibangun dapat digunakan sebagai data
127

dasar model CGE. Sebaliknya, apabila asumsi ini belum terpenuhi, maka harus

dilakukan cek ulang mengikuti langkah-langkah model CGE INDOF.

Berkaitan dengan struktur produksi, maka harus diketahui terlebih dahulu

bagaimana struktur dan perilaku hubungan dalam input dan output, sehingga harus

diketahui masing-masing elastisitas dari fungsi Leontief, fungsi CET dan fungsi

CES. Koefisien dan parameter dari masing-masing fungsi tersebut diestimasi

dengan analisis ekonometrika atau diambil dari berbagai studi yang sudah pernah

dilakukan sebelumnya.

Tahap selanjutnya melakukan agregasi (mapping) sektor sesuai dengan

tujuan penelitian yang didasarkan pada besaran pangsa dalam penggunaan input

primer atau input antara. Kemudian memasukkan, mengkalibrasi, memodifikasi

dan menggabungkan nilai elastisitas dan parameter dengan data dasar model CGE

yang sudah dibangun dengan model CGE-AGRINDO. Apabila proses tersebut

telah sesuai dengan prosedur program GEMPACK, maka selanjutnya dapat di-

lakukan analisis dan simulasi kebijakan, yang dikaji dampaknya terhadap kinerja

ekonomi sektoral, ekonomi makro dan pendapatan rumah tangga.

Perubahan tingkat pendapatan rumah tangga yang dihasilkan dari model

CGE AGRINDO dianalisis lebih lanjut dengan metode FGT poverty index yang

bertujuan untuk mengevaluasi tingkat kemiskinan rumah tangga. Tahap terakhir

adalah interpretasi hasil analisis dan simulasi kebijakan untuk menjawab perma-

salahan dan tujuan penelitian serta menyusun implikasi kebijakan.

4.8. Simulasi Kebijakan

Terdapat tiga simulasi kebijakan yang dilakukan dalam penelitian ini.

Ketiga simulasi kebijakan tersebut adalah sebagai berikut:


128

1. Simulasi 1: Peningkatan produktivitas industri pertanian.

2. Simulasi 2: Peningkatan produktivitas industri pertanian (Simulasi 1) diikuti

oleh peningkatan produktivitas sektor pertanian.

3. Simulasi 3: Peningkatan produktivitas industri pertanian dan sektor pertanian

(Simulasi 2) diikuti oleh peningkatan produktivitas sektor lembaga keuangan

Peningkatan produktivitas suatu sektor terjadi karena adanya peningkatan

produktivitas input yang digunakan oleh sektor yang bersangkutan, baik input

primer (lahan, tenaga kerja dan modal) maupun input antara. Demikian juga

halnya pada sektor industri pertanian, peningkatan produktivitas salah satu input

yang digunakan tidak secara otomatis menyebabkan peningkatan produksi sektor

yang bersangkutan, karena peningkatan produksi suatu industri pertanian tergan-

tung pada besarnya faktor input pembatas. Peningkatan hanya pada salah satu

input tidak akan optimal hasilnya apabila input lainnya tidak menyesuaikan kapa-

sitasnya. Adanya keterbatasan tersebut menyebabkan simulasi terhadap masing-

masing input primer dan input antara tidak dilakukan satu per satu. Alternatif

yang ditempuh dalam penelitian ini adalah dengan melakukan simulasi pening-

katan produktivitas faktor total (a1tot) pada industri pertanian terpilih, yaitu

industri pengolahan hasil peternakan, industri pengolahan hasil perikanan, industri

minyak dan lemak, industri penggilingan beras, industri tepung, industri gula,

industri rokok, industri bambu, kayu dan rotan, industri pupuk dan pestisida, serta

Industri pengolahan karet.

Produktivitas faktor total atau total factor productivity (TFP) mengukur

besaran output yang dihasilkan dan input (faktor produksi) yang digunakan dalam

satuan indeks. Dengan kata lain, indeks TFP adalah rasio antara indeks output

dengan indeks input.


129

Formula yang digunakan untuk menghitung indeks TFP dalam penelitian

ini adalah indeks rantai Tornqvist-Theil, dengan metode penghitungan indeks TFP

diadopsi dari model yang dikembangkan oleh Fuglie (2004), sebagai berikut:

Indeks output Tornqvist-Theil pada tahun t didefinisikan sebagai:

n ( Ri ,t + Ri ,t −1 )  Yi ,t 
ln(Yt Yt −1 ) = ∑ ln   ..............................................(4.38)
i =1 2  Yi ,t −1 

dimana Ri,t adalah share pendapatan dari output i dan Yi,t adalah kuantitas output i

pada tahun t. Dengan demikian, tingkat pertumbuhan output Y antara periode t

dan t-1 adalah jumlah tingkat pertumbuhan dari n komoditas yang menyusun

output total, masing-masing diboboti dengan rata-rata share penerimaannya se-

lama t dan t-1.

Hampir sama dengan hal di atas, indeks input agregat didefinisikan seba-

gai:
m (S + S j ,t −1 )  X j ,t 
∑ ln  ..................................(4.39)
j ,t
ln( X t X t −1 ) =
2 X 
j =1  j ,t −1 
dimana tingkat pertumbuhan agregat input X antara periode t dan t-1 adalah jum-

lah tingkat pertumbuhan dari j = 1, 2, ..., m kategori input, masing-masing di-

boboti dengan rata-rata share Sj selama periode yang berdekatan (share faktor ada-

lah proporsi biaya total yang dibayarkan untuk suatu input).

Perubahan proporsional pada TFP selama periode t dan t-1 diberikan oleh:

 TFPt 
ln  = ln(Yt Yt −1 ) − ln( X t X t −1 ) ………………..……….(4.40)
 TFPt −1 

Untuk melakukan penghitungan TFP diperlukan data kuantitas dan harga

dari setiap output dan input untuk setiap periode. Data yang digunakan dalam

perhitungan TFP diambil dari Statistik Industri Besar dan Sedang untuk periode
130

tahun 2000-2005 yang dikumpulkan oleh Departemen Perindustrian. Langkah

pertama yang dilakukan adalah melakukan agregasi data, dari data propinsi ke

dalam data nasional. Selanjutnya menjumlahkan nilai-nilai pada industri skala

besar dan industri skala sedang. Langkah kedua melakukan agregasi sektor, dari

179 sektor industri yang ada ke dalam 10 sektor industri pertanian terpilih.

Sebelum dilakukan agregasi sektor, terlebih dahulu dilakukan pemilahan jenis

industri antara jenis industri yang tergolong ke dalam industri pertanian dan

industri non pertanian.

Dari data dasar hasil agregasi tersebut di atas, kemudian dihitung nilai

indeks output dan indeks input dengan menggunakan tersebut di atas. Adapun

jenis-jenis input yang digunakan dalam perhitungan indeks input meliputi input

tenaga kerja, bahan baku, bahan bakar, listrik, sewa gudang dan input lain.

Dengan metode seperti yang dikemukakan tersebut di atas, maka diperoleh

besaran guncangan (shock) produktivitas faktor total (TFP) pada masing-masing

sektor industri pertanian terpilih seperti disajikan pada Tabel 3. Adapun besaran

shock untuk peningkatan produktivitas sektor pertanian dan lembaga keuangan,

mengunakan nilai hasil perhitungan Ratnawati et al. (2004) seperti yang disajikan

pada Tabel 4.

Pada penelitian ini, simulasi kebijakan dilakukan untuk jangka waktu sela-

ma 10 tahun, yaitu tahun 2003-2013. Mengingat model yang digunakan adalah

model recursive dynamic, maka unsur dinamis dalam model ditunjukkan oleh

perubahan tenaga kerja dan stok kapital setiap tahun. Hasil simulasi dianalisis

berdasarkan dampaknya terhadap kinerja ekonomi sektoral, ekonomi makro, pen-

dapatan rumah tangga dan tingkat kemiskinan.


131

Tabel 3. Nilai Besaran Shock Peningkatan Produktivitas Industri Pertanian

Peningkatan
No. Sektor/Komoditas
Produktivitas (%)
1. Industri pengolahan hasil peternakan 1.5275
2. Industri pengolahan hasil perikanan 1.3408
3. Industri minyak dan lemak 2.2022
4. Beras (Industri penggilingan padi) 1.2931
5. Industri tepung segala jenis 1.0132
6. Industri gula 1.5791
7. Industri rokok 0.6283
8. Industri bambu, kayu dan rotan 1.1106
9. Industri pupuk dan pestisida 1.4919
10. Industri pengolahan karet 2.0204

Tabel 4. Nilai Besaran Shock Peningkatan Produktivitas Sektor Pertanian dan


Lembaga Keuangan

Sektor/Komoditas Peningkatan Produktivitas (%)


Tanaman Pangan
Padi 1.29
Jagung 3.42
Kedelai 1.27
Ketela Pohon 1.56
Umbi-umbian 1.69
Tanaman Perkebunan
Karet 1.76
Kopi 0.57
Kelapa Sawit 0.62
Tebu 3.58
Kelapa 0.73
Sektor Lembaga Keuangan 5.14
Sumber: Ratnawati et al. (2004)

Anda mungkin juga menyukai