Anda di halaman 1dari 140

BAB I

Ketatanegaraan Awal Kemerdekaan


A. Kedudukan dan Implikasi Proklamasi dalam Sistem Ketatanegaraan

Proklamasi kemerdekaan merupakan sebuah tanda bahwa bangsa Indonesia telah


menyatakan kemerdekaannya secara formal, baik kepada dunia internasional maupun bangsa
Indonesia sendiri. Merdeka berarti bahwa mulai saat itu bangsa Indonesia mengambil sikap
dalam menentukan nasibnya dan nasib tanah airnya dalam segala bidang (Joeniarto, 1996: 4).
Selain itu, proklamasi juga menjadi sebuah pernyataan bahwa Indonesia telah mampu untuk
mengurus rumah tangganya sendiri dan menegakkan suatu negara nasional yang merdeka dan
berdaulat. Hal inilah yang menjadi latar belakang dibentuknya tata hukum Indonesia. 1 Dilihat
dari sudut pandang politik dan dan hukum, proklamasi menjadi peristiwa bersejarah yang
cukup penting. Dari sudut pandang politik, proklamasi mengandung arti pernyataan bangsa
Indonesia melalui pemimpinnya, Soekarno Hatta, yang ditujukan kepada seluruh rakyat
Indonesia dan dunia bahwa sejak saat itu bangsa Indonesia sudah terlepas dari kekuasaan
penjajah, dan telah berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka. Sedangkan dari sudut
pandang hukum, proklamasi mengandung arti sebagai pernyataan bahwa sejak saat itu tidak
lagi tunduk pada tata hukum kolonial. Tentu saja pada masa itu tata hukum Indonesia belum
benar-benar lengkap, sehingga perlu adanya aturan peralihan yang menyatakan bahwa segala
peraturan yang masih berlangsung atau berlaku selama sebelum diganti atau disahkan dalam
UUD 1945.2 Dengan demikian, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945
menjadi dasar hukum segala macam peraturan, hukum, dan ketentuan-ketentuan dalam
negara. Naskah proklamasi memiliki kedudukan hukum yang berada dalam ranah sumber
materiil, sedangkan dalam ranah sumber formal atau hierarki peraturan perundang-undangan
keberadaan naskah proklamasi tidak mendapatkan tempat didalamnya. Atau dalam artian
lain, dalam praktik ketatanegaraan RI, naskah proklamasi tidak dapat dikualifikasi sebagai
sumber hukum formal3.
Kedudukan hukum naskah proklamasi dalam sistem ketatanegaraan RI dapat dilihat
dengan menggunakan teori Stufenbautheorie yang dikemukakan oleh Kelsen dan Nawiasky.
Menurut ajaran Grundnorm atau norma dasar dapat dipahami atau dibedakan menjadi dua

1
Rinardi, H. (2017). Proklamasi 17 Agustus 1945: Revolusi Politik Bangsa Indonesia. Jurnal Sejarah Citra
Lekha, 2(1).
2
Hambali, H. Reorientasi Dan Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Skripsi. Universitas
Riau: Pekanbaru
3
Riardi H, Op.cit. Hlm. 6
yaitu dalam pengertian Kelsen dan dalam kaitannya dengan ajaran asalnya sumber hukum.
Menurut Kelsen, terdapat empat karakteristik utama pengentian Grundnorm, yaitu:
a. Sesuatu yang abstrak, diasumsikan, tidak tertulis, dan mempunyai daya keberlakuan secara
universal.
b. Ia tidak gesetzt (ditetapkan), melainkan vorausgesetzt (diasumsikan) adanya oleh akal budi
manusia.
c. Ia tidak termasuk ke dalam tata hukum positif, ia berada di luar namun menjadi landasan
keberlakuan tertinggi tatanan hukum positif (jadi ia meta juristic).
d. Seyogyanya seseorang mentaati atau berperilaku seperti yang ditetapkan oleh konstitusi.
Sedangkan dalam perspektif “asalnya sumber hukum”, Grundnorm merupakan
sumber berlakunya hukum yang tertinggi dan terakhir. Hal tersebut menjadi dasar mengapa
hukum itu harus dipatuhi dan memberikan pertanggungjawaban mengapa hukum itu harus
dilaksanakan. Meskipun tidak terdapat sanksi bagi yang melanggarnya, akan tetapi
kebenarannya tetap diterima tanpa adanya pembuktian lebih lanjut. Perlu diketahui, ‘norm’
dalam kata“Grundnorm” menunjuk pada suatu norma yang bersifat umum seperti norma
agama, susila, sopan santun, hukum, dan norma-norma yang lain.
Maka jika ditelaah dengan menggunakan perspektif Kelsen yang mengacu pada
pengertian Grundnorm, kedudukan hukum Naskah Proklamasi tidak termasuk sebagai
Grundnorm atau aturan dasar. Karena Naskah Proklamasi merupakan tindakan politik yang
konkret, faktual, berbentuk tertulis, dan keberlakuannya bersifat partikular. Selain itu,
keberadaan Proklamasi terdapat tokoh yang menetapkan yakni Soekarno dan Moh. Hatta
atas nama bangsa Indonesia. Hal tersebut menunjukkan poin (a) dan (b) yang telah
disampaikan oleh Kelsen tidak terpenuhi sehingga naskah proklamasi sebagai norma dasar
tidak terpenuhi. Sedangkan jika mengacu pada pengertian Grundnorm dalam perspektif yang
lain, yaitu dalam kaitan dengan ajaran “asalnya sumber hukum”, maka kedudukan hukum
Naskah Proklamasi merupakan Grundnorm atau norma dasar. Hal ini dikarenakan Naskah
Proklamasi di samping merupakan sumber keberlakuan hukum tertinggi dan terakhir, juga
menjadi dasar ditaatinya hukum yang sedang berlaku. Sehingga dengan adanya proklamasi
menjadi faktor penting dibentuknya tatanan dan sistem hukum nasional pada saat itu
meskipun bentuknya masih sederhana. Ahli hukum yang sependapat dengan perspektif yang
kedua ini adalah Muhammad Yamin, Roeslan Abdulgani, Joeniarto, dan M. Laica Marzuki.4

4
Hamidi, J. (2006). Makna dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia. Risalah Hukum, 68-86.
Maka Grundnorm disini terletak pada nilai-nilai, asas-asas, dan prinsip yang
terkandung dalam Naskah Proklamasi, bukan pada naskahnya. Nilai-nilai, asas-asas, dan
prinsip yang terkandung dalam Naskah Proklamasi tersebut adalah berupa asas kemerdekaan,
persamaan, asas kepastian hukum (taat asas), asas persatuan, nilai keadilan, nilai
perikemanusiaan dan hak untuk menentukan nasib sendiri atas bangsanya.5
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, selain ajaran Grundnorm terdapat ajaran
Staatafudamentalnorm. Perlu kita ketahui, Staatfundamentalnorm adalah norma yang dasar
bagi pembentukan konstitusi atau Undang Undang Dasar dari suatu negara. 6 Sedangkan
Pengertian Staatafundamentalnorm menurut Nawiasky, dapat dirumuskan ke dalam
karakteristik di bawah ini :
a. Staatafundamentalnorm merupakan bagian dari tata hukum positif dan ia menempati
norma hukum yang tertinggi dalam suatu negara.
b. Merupakan suatu norma yang menjadi dasar bagi pembentukan konstitusi atau Undang-
undang Dasar.
c. Maksud ‘norm’ dalam “Staatafundamentalnorm” adalah norma yang bersifat khusus yaitu
norma hukum dalam kerangka hierarki peraturan perundang-undangan.
d. Staatafundamentalnorm adalah norma hukum yang berbentuk tertulis.
e. Nilai validitas atau keabsahannya sudah jelas, karena ia ditetapkan oleh lembaga yang
berwenang.
Mengacu pada pengertian dan karakteristik Staatafundamentalnorm menurut
pendapat Nawiasky di atas, Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi tidak dapat
dikualifikasikan ke dalam Staatafundamentalnorm. Karena, Naskah Proklamasi bukan norma
hukum melainkan ‘tindakan politik tunggal’ yang menyatakan kemerdekaan atas bangsa
Indonesia, serta menciptakan sistem hukum baru. Dan pada pengertian yang ketiga, kata
‘norm’ dalam Staatafundamentalnorm adalah norma yang bersifat khusus yaitu norma
hukum dalam kerangka hierarki peraturan perundang-undangan. Sedangkan Naskah
Proklamasi bukan norma hukum dan tidak termasuk hierarki peraturan perundang-undangan
Indonesia. Meskipun Naskah Proklamasi itu dari segi bentuknya tertulis, namun bukan
merupakan norma hukum. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, naskah proklamasi
merupakan tindakan politik yang berimplikasi hukum, yaitu sebagai sumber inspirasi dan
sumber rujukan dalam pembentukan hukum di Indonesia.7

5
Ibid., 10
6
Jimly Asshiddiqie, S. H. (2008). Ideologi, Pancasila, dan konstitusi. Mahkamah Konstitusi, 10-23.
7
Hamidi J, Op.cit. 11
Jadi dengan demikian, Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 tidak termasuk sebagai
Staats Fundamentalnorm dalam pengertian Nawiasky. Namun untuk negara Indonesia,
Staats Fundamentalnorm berupa Pembukaan UUD 1945, yang di dalamnya memuat unsur-
unsur atau nilai-nilai Proklamasi yang dapat dilihat pada Alenia I – IV Pembukaan UUD
1945. Sehingga, kedudukan hukum Naskah Proklamasi itu berada dalam ranah sumber
hukum materiil. Atau dengan kata lain, dalam praktik ketatanegaraan RI, Naskah Proklamasi
tidak dapat dikualifikasi sebagai sumber hukum formal.8
Dengan adanya naskah proklamasi ini secara tidak langsung berimplikasi sebagai
sumber insprirasi, sumber rujukan, dan kaidah penilai atau norma kritik. Nilai, asas, dan
prinsip yang terkandung dalam naskah proklamasi dapat dijadikan rujukan atau sebagai
bahan pembentukan hukum. Dalam fungsionalisasi hukum praktis, pembentukan hukum yang
dapat dilakukan melalui proses legislasi berupa peraturan perundang-undangan untuk tingkat
pusat maupun daerah. Selain itu juga dapat dilakukan melalui pembuatan keputusan konkret,
misalnya ketetapan oleh eksekutif dan vonis oleh hakim.
Saat ini sudah saatnya nilai-nilai yang terkandung dalam proklamasi, pancasila,
budaya dan adat istiadat dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam proses pembentukan
peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan hingga masa mendatang. Seperti
pada naskah proklamasi, nilai penting yang terkandung didalamnya adalah adalah kebebasan
penuh untuk menentukan nasibnya sendiri. Secara historis, hak dan kebebasan untuk
menentukan nasib sendiri merupakan suatu usaha untuk membebaskan negara dari
penjajahan, dan setelah itu mereka dapat menentukan, memilih, serta menetapkan jalan
hidupnya atau masa depannya sendiri.
Naskah Proklamasi juga dapat digunakan sebagai sumber rujukan. Sejak
dikumandangkan proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, telah terjadi
penciptaan hukum baru, walaupun pada saat itu hukum positif tertulisnya belum terbentuk.
Sejak saat itu tatanan hukum kolonial diganti dengan tatanan hukum baru yaitu sistem hukum
nasional. Tatanan hukum ini dibangun secara terus menerus dan terdapat perbaikan atau
perubahan yang lebih baik. Seperti yang sudah dijelaskan diatas, kedudukan hukum Naskah
Proklamasi dapat dikualifikasi sebagai Grundnorm dalam perspektif “asalnya sumber
hukum”. Di mana, letak Grundnorm-nya terletak pada jiwa kemerdekaan yang berupa asas
kebebasan, persamaan, persatuan, keadilan, dan hak mengatur pemerintahannya sendiri. Hal
tersebut bersifat abstrak dan universal. Oleh karena itu, sudah semestinya untuk menghormati
dan mentaati apa yang ditentukan oleh proklamasi dan konstitusi.
8
Ibid., 15
Dan yang terakhir, naskah proklamasi sebagai kaidah penilai (norma kritik). Yang
dapat dilihat dari nilai-nilai, asas-asas, dan prinsip-prinsip yang terkandung didalamnya yang
dapat dijadikan sebagai alat uji secara etis-filosofis. Naskah Proklamasi maupun yang telah
dijabarkan dalam Pembukaan UUD 1945 dapat dijadikan sebagai alat uji secara etis-filosofis.
Pengujiannya disebut dengan ‘etis filosofis’, dikarenakan secara substantif nilai-nilai yang
terkandung dalam Proklamasi maupun Pembukaan UUD 1945 terdapat nilai filosofis
Pancasila didalamnya. Mekanisme pengujian materiil terhadap ketentuan peraturan
perundang-undangan di bawah Undang-undang, menjadi kewenangan oleh Mahkamah
Agung. Sedangkan pengujian terhadap Undang-undang atas UUD 1945 menjadi kewenangan
Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dapat
menjadikan nilai-nilai proklamasi tersebut sebagai salah satu dasar pertimbangan atau alat uji
pengujian terhadap objek yang dinilai9.
B. Sistem Pemerintahan dan Bentuk Negara
1. Bentuk Negara

Negara merupakan suatu organisasi yang dimana dalam suatu wilayah tersebut
memiliki kekuasan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat 10. Dalam pendirian suatu
negara paling tidak terdapat tiga unsur yang dibutuhkan yaitu wilayah, rakyat, dan
pemerintahan yang terlegitimasi. Hal tersebut merupakan peraturan dasar untuk
berdirinya suatu negara. Perlu diketahui, di dunia terdapat beberapa macam negara seperti
federal dan kesatuan. Dalam negara federal, bahwa kekuasaan dibagi sedemikian rupa
sehingga pemerintah federal dan pemerintah negara bagian. Sedangkan Negara kesatuan
menurut pendapat Cohen dan Peterson, negara kesatuan dapat dipahami sebagai suatu
negara dimana pemerintah pusat menjalankan kedaulatan tertinggi dalam negara tersebut.
Sehingga segala tugas dan aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah pusat diatur dalam
undang-undang. Sejak awal kemerdekaan, para pendiri bangsa sepakat memilih negara
kesatuan sebagai bentuk negara Indonesia. dibentuk dibawah pemerintahan pusat harus
tunduk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku11.
Negara Kesatuan di Indonesia sudah dideklarasikan sejak kemerdekaan oleh para
pendiri negara dengan mengakui seluruh wilayahnya sebagai bagian dari satu negara.
Sehingga dengan demikian tidak ada lagi penguasa yang mengakui bahwa wilayah tersebut
bersifat independen. Maka dengan demikian, sebuah negara dapat membentuk sebuah daerah
9
Ibid., 15-16
10
Khadijah, I. (2022). Mengenal Bentuk Negara Serikat Atau Federasi. Skripsi. Universitas Lambng
Mangkurat: Banjarmasan
11
Ibid., 4
atau yang kemudian terdapat kekuasaan atau kewenangan oleh Pemerintah Pusat didalamnya.
Hal ini bertujuan untuk mengurusi berbagai kepentingan pada daerah tersebut. Di Indonesia
sendiri daerah tersebut dinamakan provinsi. Provinsi-provinsi ini kemudian diberi
kewenangan untuk mengatur pemerintahannya sendiri seseai dengan ketentuan oleh
pemerintah pusat atau juga dapat disebut dengan otonomi. Dengan demikian, pemerintah
pusat tetap menjadi pemegang kekuasaan.
Pada dasarnya, kekuasaan daerah adalah kekuasaan pusat yang disentralisasikan, dan
selanjutnya untuk merealisasikannya terbentuklah daerah daerah otonom. Jadi didalam negara
kesatuan sangat jelas otonomi daerah adalah wujud dari kekuasaan. Di Indonesia sendiri
konsep Negara Kesatuan tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (1), yang
dinyatakan secara tegas bahwa Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.
Untuk memperjelas prinsip Negara Kesatuan, pemegang kekuasaan tertinggi dalam urusan
pemerintahan adalah pemerintah pusat. Selain itu, pemerintahan pusat juga memiliki
tanggung jawab atas pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan. Akan tetapi karena sistem
pemerintahan Indonesia yang menganut asas Negara Kesatuan yang disentralisasikan, maka
terdapat tugas-tugas tertentu yang diserahkan kepada daerah mengurus dan mengatur sendiri.
Sehingga dengan demikian menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan adanya
hubungan kewenangan dan pengawasan12
Akan tetapi, Indonesia pernah mengalami perubahan bentuk negara federal atau
serikat. Karena setelah kemerdekaan, Belanda ingin menguasai kembali wilayah jajahannya
di Indonesia sehingga mereka membentuk negara-negara bagian yang bertujuan untuk
melumpuhkan status Republik Indonesia serta memecah belah bangsa Indonesia. Usaha yang
sudah dilakukan oleh Belanda ini menghasilkan Negara Republik Indonesia Serikat pada
tanggal 27 Desember 1949. Sehingga pada saat itu bentuk negara Indonesia menjadi federal.
Munculnya pemerintahan federal pada saat itu merupakan rekayasa yang dibuat oleh Belanda
yang tidak menginginkan Indonesia menggunakan bentuk Negara Kesatuan. Bentuk negara
bentukan Belanda ini tidak berlangsung lama karena kekuatan federalisme telah lumpuh.
Akhirnya, Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1950 secara resmi mengumumkan
pembubaran RIS dan pembentukan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Sistem Pemerintahan Awal Kemerdekaan (18 Agustus- 27 Desember 1949)

Sistem pemerintahan dalam perspektif ilmu ketatanegaraan umum (algemeine


staatslehre) adalah sistem hukum ketatanegaraanm baik yang berbentuk monarki maupun
12
Sari, I. (2018). Federal Versus Kesatuan: Sebuah Proses Pencarian terhadap Bentuk Negara dalam
Mewujudkan Otonomi Daerah. Jurnal Ilmiah Hukum Dirgantara, 5(2).
republik, yaitu mengenai hubungan antar pemerintah dan badan yang mewakili rakyat. Maka,
sistem pemerintahan merupakan hubungan dan tata kerja antar lembaga negara yakni
eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang berkaitan dengan mekanisme yang dilakukan oleh
pemerintah dalam menjalankan tugasnya. Pada periode awal kemerdekaan, Indonesia
menggunakan sistem pemerintahan Presidensial. Sistem presidensial merupakan sistem
pemerintahan yang terpusat pada jabatan presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus
sebagai kepala negara. Jadi pada saat itu pemerintahan terpusat atau tersentral pada
Soekarno-Hatta, karena pada saat itu rakyat mempercayakan Indonesia kepada kedua tokoh
tersebut.
Dengan demikian, pimpinan badan eksekutif ini diserahkan kepada seseorang yang
memiliki pertanggungjawaban yang sifatnya sama dengan badan perwakilan rakyat dan
bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Sehingga dengan demikian kedudukan badan
eksekutif adalah bebas dari badan perwakilan rakyat. Akan tetapi untuk menjalankan
kewajiban ini seorang presiden dibantu dengan menteri. Oleh karena itu, menteri harus
bertanggung jawab kepada presiden. Karena sistem pemerintahannya bersifat terpusat, maka
dalam hal ini badan perwakilan rakyat tidak bisa memberhentikan presiden dan menteri,
meskipun ia tidak menyetujui kebijakan para menteri. Menurut Bagir Manan, sistem
pemerintahan presidensial dapat dikatakan sebgai subsistem pemerintahan republik, karena
memang hanya dapat dijalankan dalam negara yang berbentuk republik.13
Kedudukan antara lembaga eksekutif dengan legislatif dalam konsep sistem
presidensial adalah sama kuat. Untuk mengetahui dengan jelas, berikut ciri-ciri atau prinsip
dalam sistem Presidensial :
1. Kepala pemerintahan menjadi kepala pemerintahan
2. Pemerintahan tidak bertanggungjawab kepada parlemen, namun bertanggung jawab
langsung kepada rakyat yang berdaulat.
3. Menteri-menteri diangkat da bertanggung jawab kepada presiden.
4. Eksekutif dan legislatif memiliki kedudukan yang sama-sama kuat.
5. Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dan begitupula
sebaliknya.
6. Presidensial berlaku prinsip supremasi konstitusi. Oleh karena itu pemerintahan
eksekutif bertanggung jawab kepada konstitusi.14

13
Noviati, C. E. (2016). Demokrasi dan Sistem Pemerintahan. Jurnal Konstitusi, 10(2), 333-354.
14
Adiwilaga, R., Alfian, Y., & Rusdia, U. (2018). Sistem Pemerintahan Indonesia. Deepublish.
Sistem pemerintahan presidensial ditegaskan harus terdapat pemisahan kekuasaan
perundang-undangan dan kekuasaan pemerintahan. Sehingga suatu saat bila terjadi
perselisihan yang terjadi antara kedua badan tersebut, maka akan diputuskan oleh lembaga
yudikatif. Dengan adanya sistem ini terdapat kelebihan serta kekurangannya. Kelebihan dari
sistem ini adalah lebih menjamin stabilitas pemerintahan, pemilihan kepala pemerintahan
oleh rakyat dipandang lebih demokratis, dan terdapat pemisahan kekuasaan pemerintahan
(perlindungan kebebasan individu). Sedangkan kekurangan dari sistem ini adalah cenderung
menempatkan eksekutif sebagai bagian kekuasaan yang sangat berpengaruh karena lingkup
kekuasaannya cukup besar. Oleh karena itu, sangat diperlukan pengaturan konstitusional
untuk mengurangi dampak negatif atau kekurangan yang ada dalam sistem presidensial.
Akan tetapi setelah dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden Nomor X Tahun 1945
yang berisi penyerahan kekuasaan Legislatif kepada Komite Nasional Pusat sebelum DPR
dan MPR dibentuk berdasarkan UndangUndang Dasar yang berlaku. Maklumat terseyakni
sistem pertanggungjawaban pemerintahanan negara yang terletak di tangan Dewan Mebut
juga berisi pembentukan satu Badan Pekerja dari Komite Nasional Pusat. Kemudian disusul
dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah Tanggal 14 November 1945.
Sistem pemerintahan Parlementer merupakan sistem pemerintahan dimana hubungan
antara eksekutif dengan legislatif sangat erat. Sehingga dengan demikian, kebijaka
pemerintah tidak boleh menyimpang dari apa yang telah dikehendaki parlemen. Parlemen
memiliki wewenang dalam mengangkat dan memberhentikan perdana menteri. Berbeda
dengan presidensial, pada sistem ini jabatan kepala pemerintah dan kepala daerah dipisahkan.
Akan tetapi, pada hakikatnya merupakan cabang dari kekuasan eksekutif. Ciri dalam sistem
parlementer yaitu :
1. Kepala negara tidak berkedudukan sebagai kepala pemerintahan karena lebih bersifat
simbol nasional (pemersatu bangsa).
2. Pemerintahan dilakukan oleh sebuah kabinet yang dipimpin oleh seorang perdana
menteri.
3. Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen, dan dapat dijatuhkan oleh parlemen
melalui mosi tidak percaya.
4. Kedudukan eksekutif (kabinet) lebih rendah dari parlemen, oleh karena itu eksekutif
menjadi bergantung kepada parlemen.

Sebagai sistem pemerintahan, tentu saja memiliki kelebihan dan kekurangan.


Kelebihan dari sistem ini adalah jika terjadi konflik atau permasalahan yang terjadi antara
eksekutif dan legislatif dapat menemukan jalan keluar dengan murah karena parlemen dapat
membuat mosi terhadap eksekutif. Sistem ini juga dipandang lebih fleksibel karena tidak ada
pembatasan masa jabatan yang pasti yakni jabatan berada pada keputusan parlemen. Jika
parlemen memberikan dukungan terhadap eksekutif, maka eksekutif dapat menjalankan
jabatannya, begitup sebaliknya. Selain itu sistem parlementer lebih demokratis karena kabinet
yang dibentuk berasal dari berbagai partai yang ada pada parlemen. Sedangkan
kelemahannya yaitu dalam sistem pemerintahan parlementer identik dengan instabilitas
eksekutif. Hal ini dikarenakan adanya ketergantungan kabinet terhadap mosi tidak pervaya
yang dimiliki oleh legislatif. Meskipun kepala eksekutif dibentuk berasal dari berbagai partai,
akan tetapi pemilihannya dilakukan secara tidak langsung oleh rakyat melainkan oleh partai
politik. Dan dalam sistem pemerintahan ini tidak adanya pemisahan kekuasaan yang tegas
antara legislatif dan eksekutif. Dengan tidak adanya pemisahan ini dapat membahayakan
kebebasan individu15. Namun sayangnya, kabinet bentukan Presiden Soekarno pada masa
sistem pemerintahan ini tidak bertahan lama. Hal ini dikarenakan karena pada saat itu masih
terdapat banyak tantangan bagi bangsa Indonesia, baik dari dalam maupun luar negeri.
3. Kondisi Politik Pasca Kemerdekaan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, politik adalah suatu pengetahuan
tentang ketatanegaraan atau kenegaraan seperti sistem pemerintahan dan juga dasar
pemerintaha. Selain itu, politik juga bisa diartikan sebagai segala urusan dan tindakan seperti
kebijakan, siasat dan lain sebagainya tentang pemerintahan negara. Menurut David Easton,
sistem politik memiliki beberapa ciri yakni memiliki sistem politik, memiliki input dan
output didalamnya, dan memiliki tingkat diferensiasi. Politik sendiri juga memiliki beberapa
tujuan tertentu salah satunya untuk mengupayakan suatu kekuasaan yang ada dimasyarakat
dan pemerintahan bisa diproses, dikelola dan diterapkan sesuai dengan norma maupun hukum
yang berlaku. Kegiatan politik dari masa penjajahan hingga saat ini. Lalu bagaiamana kondisi
politik Indonesia pada awal kemerdekaan?.
Kondisi politik Indonesia pasca proklamasi diwarnai dengan adanya krisis, perang,
serta kekacauan. Pada awal kemerdekaan kekuatan politik di Indonesia pada masa awal
kemerdekaan tidak sepenuhnya bersatu. Dengan dibacakannya proklamasi kemerdekaan,
adanya kekosongan kekuasaan memang berhasil dimanfaatkan. Akan tetapi dibacakannya
naskah proklamasi yang tidak tersebar secara luas dan merata di seluruh wilayah Indonesia.
Hal ini dikarenakan minimnya sarana persebaran informasi yang dapat menjangkau secara

15
Ibid., 10
luas membuat kabar kemerdekaan hanya tersebar di kota-kota besar yang ada di Jawa saja.
Dengan adanya kesenjangan informasi ini dapat menghambat proses pembentukan
pemerintahan Republik Indonesia yang pada saat itu masih lemah dan baru dibentuk.
Setelah berita kemerdekaan, ternyata tidak semua elemen masyarakat setuju. Hal ini
dikarenakan masih terdapat sebagian pihak yang masih bersimpati pada pemerintah kolonial
Belanda. Pihak yang bersimpati ini merupakan seorang bangsawan lokal yang pada masa
penjajahan Belanda mendapat kekayaan dan kedudukan yang istimewa. Gerakan
kemerdekaan yang menganut semagat nasionalisme egaliter ini dipandang sebelah mata oleh
kelompok bangsawan yang kontra terhadap kemerdekaan RI. Bagi kelompok mereka,
kemerdekaan Indonesia dianggap berjalan secara radikal16.
Seperti yang kita tahu, pemerintahan Republik Indonesia tidak lahir dengan begitu
saja. Melainkan berasal dari kumpulan dari berbagai golongan pemikiran yang tentu saja
sering terjadi perbedaan didalamnya. Perbedaan inilah yang membuat pembentukan
pemerintahan Republik Indonesia tidak berjalan dengan lancar. Pada tingkat pemerintahan
pusat, sistem pemerintahan kerap terjadi, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya yakni
dari Presidensial menjadi Parlementer, dan begitupun sebaliknya. Selain itu pertentangan
yang terjadi antara pimpinan pusat dan elite gerakan kemerdekaan Indonesia pada masa itu.
Pertentangan ini juga terjadi pada tingkat desa dikarenakan belum kuatnya kedudukan
pemerintah Republik Indonesia berdampak terjadinya aksi sepihak yang dilakukan oleh
laskar-laskar militer yang bersifat ilegal.
Selain yang sudah disebutkan diatas, gerakan kemerdekaan Indonesia sejatinya terdiri
dari berbagai macam alira ideologi yang tidak jarang sering terjadi pertentangan. Pasca
kemerdekaan, terdapat tiga golongan politik yang dominan yakni nasionalis, komunis, dan
Islam. Ketiga golongan ini seringkali menunjukkan ketidaksepakatannya antara satu
pemikiran dengan pemikiran lainnya. Hal ini sering kali terjadi pada masa awal kemerdekaan
Indonesia. Kemudian permasalahan politik Indonesia menjadi semakin buruk dengan adanya
dua kali agresi militer Belanda ke Indonesia pada tahun 1947 dan 1948. Agresi militer
Belanda yang kedua hampir saja membuat negara Republik Indonesia bubar dikarenakan
pada saat itu pihak Belanda mengubah bentuk pemerintahan Indonesia menjadi federal. Dan
pada saat itu para elite pemerintahan RI ditangkap, termasuk Soekarno dan Hatta.
Akan tetapi rencana Belanda untuk menghancurkan bangsa Indonesia gagal karena
keberhasilan strategi diplomasi dan perjuangan militer selama masa revolusi kemerdekaan.
Dan pada saat itu, juga sangat banyak dukungan internasional yang diberikan kepada
16
Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Penerbit Serambi.
Indonesia. Dengan demikian, mamasuki tahun 1950, situasi politik Indonesia mulai beranjang
stabil. Stabilitas politik dan pemerintahan mulai terbangun terutama setelah Republik
Indonesia Serikat (RIS) dibubarkan pada 17 Agustus 1950 dan diganti dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
C. Sejarah Perumusan UUD dan Tata Hukum di Indonesia

Memasuki tahun 1945, Jepang telah mengalami beberapa kekalahan dalam


peperangan di Asia Tenggara. Mengetahui kondisinya yang semakin terancam, Jepang mulai
memperhatikan nasib bangsa Indonesia. Untuk menarik simpati bangsa Indonesia, Jepang
melakukan beberapa langkah politik yang bertujuan untuk mendapatkan dukungan dari
Indonesia. Upaya yang dilakukan agar Indonesia membantu melawan sekutu adalah dengan
membentuk suatu badan yakni Badan Penyidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) yang didirikan pada tanggal 1 Maret 1945. Badan ini merupakan salah satu
perwujudan janji-janji politik yang dilakukan oleh Pemerintah Jepang. Dr. Radjiman
Widiodiningrat ditunjuk sebagai ketua dan dibantu oleh RP Soeroso dan Ichibangase sebagai
wakil ketua. Pada saat itu anggota BPUPKI berjumlah 62 orang, termasuk ketua beserta dua
wakilnya. Persidangan BPUPKI ini berlangsung selama dua periode yakni pada periode
pertama berlangsung pada 29 Mei-1 Juni 1945 dan periode kedua berlangsung pada 10 Juli-
17 Juli 194517.
Pada sidang BPUPKI periode pertama terdapat tiga tokoh yang menyampaikan
gagasan atau usulan yang akan dijadikan sebagai dasar negara. Pada hari pertama tanggal 29
Mei 1945 Mr. Muh. Yamin yang diberi kesempatan untuk menyampaikan pidatonya, tanggal
31 Mei 1945 pidato disampaikan oleh Mr. Soepomo, sementara pada hari terakhir tepatnya
tanggal 1 Juni 1945 kesempatan diserahkan kepada Ir. Soekarno untuk menyampaikan pidato
tentang rencana calon dasar negara. Mr. Muh. Yamin mengusulkan lima usulan yang tidak
diberi nama maupun istilah dan pada saat itu juga menyerahkan naskah sebagai lampiran
yaitu suatu rancangan usulan sementara yang berisi rumusan UUD RI yang dimulai dengan
kata pembukaan. Pada hari berikutnya Mr. Soepomo mengemukakan lima usulan calon dasar
negara dan mengemukakan teori-teori tentang negara. Dan kemudian pada tanggal 1 Juni
1945, Ir. Soekarno dalam pidatonya menyampaikan lima prinsip sebagai calon dasar negara
dn diberi nama Pancasila18. Ir. Soekarno mengusulkan agar Pancasila dijadikan sebagai dasar
falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
17
Satia, A. B., Rimayani, C. N., & Nuraini, H. (2019). Sejarah Ketatanegaraan Pasca Proklamasi Kemerdekaan
17 Agustus 1945 Sampai 5 Juli 1959 Di Indonesia. Mimbar Yustitia, 3(1), 89-104.
18
Brata, I. B., & Wartha, I. B. N. (2017). Lahirnya Pancasila sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Jurnal
Santiaji Pendidikan (JSP), 7(1).
Kemudian dilanjutkan dengan sidang BPUPKI kedua mulai tanggal 10 Juli 1945.
Dalam sidang ini rumusan atau usulan dasar negara tidak lagi dibahas, namun mulai
ditetapkan panitia sembilan. Panitia ini terdiri dari Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Mr. A.A.
Maramis, Abikoesno Tjokro Soejoso, Abdoel Kahar Muzakir, Haji Agus Salim, Mr. Ahmad
Soebardjo, K.H. Wachid Hasym dan, Mr. Muh. Yamin. Melalui rapat-rapat yang
diselenggarakan, panitia sembilan menghasilkan “Piagam Jakarta” yang memuat perumusan
serta sistematika Pancasila. Meskipun sudah diterima oleh BPUPKI, pancasila sebagai dasar
negara belum mencapai final. Hal ini dikarenakan BPUPKI merupakan sebuah badan
bentukan Jepang, sehingga dipandang belum mencerminkan perwakilan Indonesia. Selain itu,
pada rapat kedua ini membahas tentang Panitia Perancang Undang-Undang Dasar. Setelah
melakukan rapat selama beberapa hari yang menghasilkan Rancangan Pembukaan Undang-
Undang Dasar dan Rancangan Undang-Undang Dasar sebagai dua hal penting bagi
pengukuhan Indonesia merdeka, kemudian BPUPKI dibubarkan oleh pemerintahan Jepang
pada 7 Agustus 1945.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, dasar negara belum mencapai final karena
dipandang belum mencerminkan perwakilan Indonesia. Oleh karena itu,harus segera dibentuk
suatu panitia untuk mempersiapkan segala sesuatu untuk kemerdekaan. Pada tanggal 9
Agustus 1945 mulai dibentuk sebuah badan yakni Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) yang diketuai oleh Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta sebagai wakil ketua 19. Tujuan
didirikannya organisasi ini adalah untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia dan
memiliki tugas menetapkan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945. PPKI
merupakan badan bentukan pemerintahan Jepang akan tetapi bukan alat pemerintaha Jepang.
Hal ini dikarenakan pada saat PPKI berlangsung, Jepang sudah tidak berkuasa lagi. Dalam
menjalankan tugasnya, dilakukan atas dasar keyakinan, pemikiran dan caranya sendiri untuk
mencapai kemerdekaan Indonesia Merdeka. Selain itu, badan ini merupakan badan
perwujudan atau perwakilan rakyat Indonesia.
Setelah naskah proklamasi dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, keesokan harinya
dimulai sidang pleno yang membahas naskah rancangan hukum dasar dan pengesahan UUD.
18 Agustus merupakan perjalanan sejarah yang dianggap penting karena menjadi penentuan
bagi rumusan Pancasila. Pada saat itu akan disahkan Uundang-Undang Dasar untuk negara
Indonesia merdeka. Sementara rumusan Pancasila sendiri menjadi bagian pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Perlu diketahui, sore hari setelah kemerdekaan
menerima sebuah pesan yang berkaitan dengan wakil-wakil Indonesia dibagian Timur
19
Ibid., 10
dibawah penguasaan Jepang. Isi pesan tersebut menyatakan bahwa wakil-wakil Protestan dan
Katolik dari daerah yang dikuasai Jepang merasa keberatan dengan rumusan pertama pada
Piagam Jakarta yang berbunyi “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemelu-pemeluknya”. Sehingga untuk menghindari perpecahan, maka sila pertama dalam
rumusan Piagam Jakarta diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Sidang Pleno yang diselenggarakan tanggal 18 Agustus 1945 menghasilkan beberapa
keputusan sebagai berikut :
1. Mengesahkan UUD Negara Republik Indonesia dengan jalan :
a. Menetapkan Piagam Jakarta dengan beberapa perubahan menjadi pembukaan UUD
Negara Republik Indonesia.
b. Menetapkan Rancangan Hukum Dasar dengan beberapa perubahan dengan UUD Negara
Republik Indonesia, yang dikenal dengan UUD 1945
2. Memilih Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia
3. Membentuk Komite Nasional Indonesia, yang dikenal Badan Musyawarah Darurat.
Pengesahan UUD Negara Republik Indonesia didahului dengan pengesahan
Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia yang dipimpin langsung oleh ketua PPKI.
Piagam Jakarta dengan beberapa perubahan ditetapkan menjadi Pembukaan UUD Negara
Republik Indonesia, maka untuk mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi dapat diikuti
proses pengesahannya. Kemudian batang tubuh UUD 1945 juga ikut disahkan, yang diambil
dari rancangan UUD yang telah disusun oleh BPUPKI pada 17 Juli 1945. Dan selanjutnya
penjelasan UUD 1945 yang terdiri dari penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal20.
Kemudian pada tanggal 29 Agustus 1945, UUD 1945 dikukuhkna oleh Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP)21. Pada masa itu keberadaan KNIP sangat berlekatan
dengan Presiden, sehingga menimbulkan polemik dan akhirnya terdapat upaya untuk
menjadikannya sebagai organ legislatif. Pada awalnya, Komite Nasional berada dalam
lingkup eksekutif atau lebih tepatnya membantu kerja eksekutif yakni Presiden. Sehingga
dengan demikian dapat menimbulkan polemik yang disebabkan oleh tiga faktor. Dengan
demikian, maka akan menimbulkan bertumpuknya kekuasaan dalam satu tangan, dalam hal
ini adalah Presiden memegang kekuasaan eksekutif dan legislatif tertinggi. Lalu, dengan
adanya keberadaan KNIP dalam posisi yang sama pada eksekutif memberikan gambaran
kontradiktif terhadap UUD 1945. Dimana pada Bab V pasal 17 ayat 1 menyatakan bahwa
“Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara”, bukan oleh lembaga seperti halnya Komite

20
RI, A. P. S. D. N. Proses Perumusan Pancasila Sebagai Dasar Negara RI.
21
Akoadri, M. (2020). Bagaimana perkembangan hukum tata negara sebagai ilmu hukum di Indonesia.
Nasional. Kemudian polemik muncul mengenai posisi struktural komisi yang melekat dengan
eksekutif sedangkan pada saat itu belum dibentuk lembaga yang memiliki fungsi legislatif.
Beberapa tokoh melihat bahwa kondisi ini bisa terjadi sebagai bentuk menyikapi atas keadaan
yang masih darurat. Dan yang ketiga, ketidakpuasan atas posisi Komite Nasional yang tidak
sesuai dengan UUD 1945. Sehingga menimbulkan beberapa gerakan yang mengecam dengan
serius atas praktek-praktek yang dianggap tidak demokratis maupun lembaga kenegaraan
yang belum mencerminkan nilai-nilai demokratis22.
Kemudian untuk mengatasi masalah ini, Soekarno membentuk kabinet pertama
Republik Indonesia yang bertujuan untuk menjawab dualisme “pembantu presiden”. Maka
dengan hal ini, Komite Nasional hanya sebagai penasehat presiden. Tindakan berikutnya
yang dilakukan untuk penyelesaian polemik ini adalah dikeluarkannya Maklumat Wakil
Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945. Dalam maklumat ini dengan jelas mengakhiri dan
mengeluarkan Komite Nasional dari komponen eksekutif23.
Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan, berlakuya UUD Tahun 1945 pada
periode 19 Agustus 1945 hingga 27 Desember telah terjadi perubahan ketatanegaraan dalam
pemerintahan negara Republik Indonesia. Pada kenyataannya, penyelenggaraan hukum
negara tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam UUD 1945 sebagai hukum dasar yang
mengatur struktur ketatanegaraan Indonesia. Sebagaiman yang tercantum dalam UUD 1945
kekuasaan negara dijalankan oleh MPR, DPR, Presiden, DPA, BPK, dan MA. Akan tetapi,
pada kenyataannya pembagian kekuasaan tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya
karena belum terbentuk lembaga-lembaga negara yang sesuai dengan ketentuan UUD. Sejak
tanggal 18 Agustus hingga 16 Oktober 1945 hanya terdapat Presiden, menteri, serta KNIP.
Dan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dijalankan oleh Presiden yang dibantu
dengan KNIP. Mengingat pada rentan tahun tersebut Indonesia masih baru saja merdeka dan
keadaan darurat sehingga lembaga kekuasaan baik eksekutif, legislatif, maupun yudikatif
belum dipersiapkan secara matang.
D. Pembentukan Kabinet

Dalam UUD 1945 yang ditetapkan ppki pd 18 agustus 1945 – tdk ada satu ketentuan g
menyebutkan suatu badan negara sebagai kumpulan menteri. Dewan menteri atau kabinet
adalah bdan pem. Yang timbulnya berdasarkan konvensi ketatanegaraan (sejak 14 november

22
Sugiharto, U. S. U. Komite Nasional Indonesia Pusat (Knip) Sebuah Anomali Suprastruktur Negara Pada
Tahun 1945. Politika: Jurnal Ilmu Politik, 1(2), 78-87.
23
Ibid., 5
1945). Setelah perubahan sistem kabinet dari presidensiil menuju parlementer, barulah
dikenal adanya “kabinet” atau “dewan menteri”.
Sejak Indonesia merdeka ada dua sistem kabinet yang pernah dianut Indonesia ,

1. Kabinet Presidebsil, yang dianut UUD 1945 (1945-1949 dan 1959-1999) dan amandemen
uud 1945 (1999-sampai sekarang)
2. kabinet parlementer yang berlaku 1945 14 november (semasa UUD 1945) sampai
konstitusi RIS 1949 (1949-1950) dan UUDS 1950 (1950-1959)

Adapun yang dimaksud dengan kabinet Presidensil adalah suatu Kabinet di mana
pertanggungjawab atas kebijakan pemerintah dipegang oleh presiden, selaku kepala negara
dan kepala pemerintahan. Sedangkan kabinet parlementer adalah suatu kabinet yang dalam
menjalankan kebijakan pemerintah, baik seorang menteri secara sendiri atau secara bersama
seluruh anggota kabinet bertanggung jawab langsung kepada parlemen (DPR). Dalam kabinet
parlementer ini yang memimpin kabeinet adalah seorang perdana Menteri. Dan bukan
presiden.
Selama berlakunya UUD 1945 (1945-1949), terjadi perubahan sistem kabinet dari sistem
presidensil menjadi sistem Parlementer, tanpa adanya perubahan UUD 1945. Sehingga
“secara samar-samar” dipraktikkan sistem parlementer, walau sebenarnya sama sekali bukan
suatu sistem yang dimaksud oleh pembentuk UUD 1945. Akan tetapi walau sistem berupa
kabinet parlementer, tetapi pada waktu yang sangat genting kabinet kembali kepada sistem
presidensiil yang dipimpin oleh Soekarno sebagai presiden dan Hatta sebagai wakil presiden.
Dengan demikian selama berlakunya UUD 1945 (1945-1949), telah tiga kali Presiden
mengambil-alih dan memimpin kekuasaan pemerintaham negara secara langsung, yaitu pada
waktu:
1. Kabinet Sutan Sjahrir II (1946), di mana sejak Perdana Menteri Sutan Sjahrir diculik oleh
kelompok bersenjata, Presiden Soekarno dengan Maklumat Presiden 1946 No.1 mengambil
alih kekuasaan sepenuhnya untuk sementara waktu.
2. Kabinet Sutan Sjahrir III (1946-1947), di mana setelah kabinet Sjahrir demisioner, karena
gentingnya suasana saat itu, presiden Soekarno dengan maklumat presiden tahun 1947 no. 6
tertanggal 27 Juni 1947, mengambil alih seluruh kekuasaan pemeirntahan sepenuhnya untuk
sementara waktu dari 27 Juni 1947 hingga 3 Juli 1947.
3. Kabinet Hatta I (1948-1949), setelah meletusnya peristiwa pemberontakan PKI di Madiun
18 September 1948, Presiden dengan Undang-undang 1948 No. 30, diberikan kekuasaan
penuh selama tiga bulan (sejak tanggal 15 september 1948 sampai tanggal 15 Desember
1948). Selama kekuasaan itu berada di tangan Presiden, kegiataan Hatta tidak berkurang dan
ia sendiri masih tetap menjabat sebagai Wakil Presiden.
Di samping itu, Kabinet Presidensil juga terbentuk sewaktu dipimpin langsung oleh Wakil
Presiden Hatta, yaitu Kabinet ketujuh (29 Januari 1948 sampai 4 Agustus 1949) dan Kabinet
kedelapan (4 Agustus 1949 sampai 20 Desember 1949). Namun kedua Kabinet Presidensil
pimpinan Hatta ini berbeda dengan yang pernah dipimpin Soekarno seperti kabinet sebelum-
sebelumnya. Bedanya terletak dengan adanya Perdana Menteri ketika masa kabinet yang
dipimpin oleh Wakil Presiden Hatta. Dan semua perundang-undangan memuat
penandatanganan serta dari Menteri yang bersangkutan, sedang Menteri-menteri bertanggung
jawab kepada Badan Pekerja.
Selama UUD 1945 (1945-1949), jumlah jabatan Menteri dalam tiap kabinet berjumlah antara
16 (Kabinet Sjahrir I) dan 37 (Kabinet Amir Sjarifuddin II), sementara jumlah Kementerian
dalam tiap-tiap kabinet berjumlah antara 12 (Kabinet Pertama) dan 15 (Kabinet Hatta I)
Pada Tanggal 27 Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Negara Republik Indonesia
Serikat (RIS) dan sejak saat itu mulailah berlaku Konstitusi RIS (yang disahkan dengan
Keputusan Presiden RIS No. 48 tahun 1950). Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut,
maka UUD 1945 yang mulanya berlaku untuk seluruh Indonesia, menjadi berlaku hanya
dalam wilayah Republik Indonesia (dnegan wilayah kekuasaan yang tercantum dalam
persetujuan Renville) sebagai sebuah Negara bagian RIS. Pada masa konstitusi RIS ini, dapat
dikatakan bahwa Kabinet menganut sistem Parlementer, mengingat Pasal 118 menyebutkan
bahwa Menteri-menteri bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan Pemerintah, baik
bersama-sama untuk seluruh mapupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.
Selama Konstitusi RIS (1949-1950), jumlah Kementerian (Departemen) dalam kabinet adalah
13, sementera jumlah menteri adalah 17.24
Daftar kabinet di awal kemerdekaan (1945-1949)
1. Kabinet Pertama (1945)
2. Kabinet Sjahrir I (1945-1946)
3. Kabinet Sjahrir II (1946)
4. Kabinet Sjahrir III (1946-1947)
5. Kabinet Amir Sjarifuddin I (1947)
6. Kabinet Amir Sjarifuddin II (1947-1948)

24
Simanjuntak, P.N.H.. 2003. Kabinet-kabinet Republik Indonesia dari Awal Kemerdekaan sampai
Reformasi. Jakarta: Djambatan. Hlm.3
7. Kabinet Hatta I (1948-1949)
8. Kabinet “PDRI” Sjafruddin (1948-1949)
9. Kabinet Hatta II (1949)

Daftar kabinet di era RIS (1949-1950)


1. Kabinet “RIS” Hatta (1949-1950)
2. Kabinet “RIS” Soesanto (1949-1950)
3. Kabinet “RIS” Halim (1950)

E. Maklumat-maklumat Penting

Masa awal kemerdekaan Indonesia adalah masa-masa genting karena negara baru saja
merdeka. Tentunya dalam pengurusan ketatanegaraan masih terdapat kendala. Karena itu
diperlukan sebuah pengesahan yang cepat agar pemerintahan dapat tetap berjalan pada masa
genting ini. Itulah yang mendasari adanya sebuah maklumat.

1. Maklumat Pemerintah No. 5 Oktober 1945

Pada tanggal 5 Oktober, pemerintah mengeluarkan maklumat mengenai pembentukan


Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada awal kemerdekaan, berdasalkan hasil sidang PPKI
ke III, maka tidak dibentuk tentara nasional, melainkan hanya dibentuk Badan Keamanan
Rakyat (BKR). Pembentukan sebuah badan ini merupakan strategi pemerintah agar tidak
mengundang aksi militer dari negara lain. Pembentukan tentara dianggap akan memprovokasi
negara lain dan akan menimbulkan permusuhan, baik itu Jepang maupun Sekutu yang
dibonceng NICA. Pembentukan tentara nantinya ada anggapan bahwa Indonesia sudah siap
untuk berperang. BKR merupakan bagian dari badan penolong keluarga perang. BKR terdiri
dari bekas anggota PETA, Heiho dan lascar kerakyatan lainnya. Beberapa kalangan tidak
setuju dengan pembentukan BKR, mereka menuntut dibentuknya sebuah tentara nasional.
Salah satu tokoh yang terkenal menentang pembentukan badan adalah Urip Sumoharjo. Urip
Sumoharjo menyatakan “aneh suatu negara zonder tentara”. Kedatangan Sekutu yang
dibonceng oleh NICA yang memaksa pemerintah untuk membentuk tentara nasional.
Bentrokan yang tidak dapat dihindarkan antara tentara Sekutu dengan rakyat Indonesia, perlu
wadah untuk mengorganisir perlawanan tersebut.
Pada kelanjutannya BKR berubah menjadi TKR berdasarkan maklumat tanggal 5 Oktober
1945. Pada awalnya yang ditunjuk menjadi panglima TKR adalah Supriyadi pemimpin
pemberontakan PETA di Blitar dan Urip Sumoharjo sebagai Kepala Staf Umum. Markas
awal TKR adalah di Purworejo kemudian dipindahkan ke Yogyakarta. Dikarenakan
Supriyadi tidak pernah muncul, kemudian diangkat panglima baru TKR, yakni Sudirman dari
Panglima Divisi V Komandemen Jawa Tengah. Yang nanti namanya menanjak akibat
kemenangan dalam melawan Sekutu di Ambarawa, yang terkenal dengan peristiwa Palagan
Ambarawa.
Dalam perkembangan kemiliteran, setelah Badan Keamanan Rakyat (BKR) dirubah menjadi
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) kemudian dirubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat
(TKR), TKR berubah menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), kemudian berubah lagi
menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Perubahan nama tersebut dikarenakan kondisi
dan situasi pada saat itu.
2. Maklumat Wakil Presiden No. X/1945

Pada masa awal kemerdekaan, pemerintah membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP) yang bertugas memberi nasehat dan membantu presiden yang dibentuk pada tanggal
29 Agustus 1945. Pemerintah kemudian mendirikan kabinet perdananya pada tanggal 12
September 1945 dalam bentuk pemerintahan Presidensil dan berlakunya partai PNI sebagai
partai tunggal pada tanggal 22 Agustus 1945.
Kelompok sosialis sebagai oposisi pemerintahan yang berada dalam tubuh KNIP yang
pimpinan Syahrir menentang sistem pemerintahan Presidensiil dan berlakunya partai tunggal.
Syahrir menganggap bahwa hal tersebut dapat mengarah pada pemerintahan yang diktator
serta menuntut kekuasaan KNIP sebagai parlemen sebelum diadakannya pemilu.
Akhirnya pada Oktober 1945, kelompok oposisi-sosialis berhasil menyusun kekuatan dan
mendorong dibentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia (BP-KNIP) sebagai
wadah menggodok sistem pemerintahan yang ideal yang dinamakan sistem Parlementer.
Sebagai langkah awal dalam pembentukan pemerintahan parlementer adalah dengan
mengubah fungsi KNIP dari sekedar penasihat menjadi badan legislatif untuk selamanya.
Untuk itu KNIP mengumpulkan dukungan hingga mendapatkan 50 tanda tangan dari 150
anggotanya.
Selanjutnya pada tanggal 7 Oktober 1945, sebuah petisi dilayangkan kepada presiden dalam
rangka pengajuan usulan dari KNIP. Adapun alasan dari KNIP mengajukan petisi tersebut
adalah : 1. Adanya kesan politik bahwa kekuasaan presiden yang terlalu besar sehingga
dikhawatirkan akan menjadi pemerintahan yang bersifat diktator
2. Adanya propaganda Belanda melalui NICA yang menyiarkan isu bahwa pemerintahan RI
adalah pemerintahan yang bersifat Fasis, yang menganut sistem pemerintahan Jepang
sebelum Perang Dunia II
Oleh karena hal tersebut, Belanda menganjurkan kepada dunia internasional untuk tidak
mengakui kedaulatan RI. Namun sebenarnya, hal tersebut merupakan politik balas dendam
(Revanche Idea) dari Belanda karena kekecewaannya setelah kehilangan jajahannya.
Dalam kondisi politik yang belum stabil, usul BP-KNIP tersebut dengan mudah diterima oleh
pemerintah. Selanjutnya, pemerintah mengeluarkan Maklumat Pemerintah No. X 16 Oktober
1945. Maklumat ini disahkan oleh Moh. Hatta dalam Kongres KNIP pada tangggal 16
Oktober 1945. 25
Berikut ini adalah isi dari Maklumat X tersebut :
1. Sebelum terbentuknya MPR dan DPR, KNIP diserahi kekuasaan legislatif dan ikut
menetapkan Garis – Garis Besar Haluan Negara.
2. Berhubung dengan gentingnya keadaan, pekerjaan KNIP sehari – hari dijalankan oleh
suatu Badan Pekerja yang dipilih diantara mereka dan bertanggung jawab kepada Komite
Nasional Pusat.
Dengan disahkannya Maklumat X tersebut, kekuasaan presiden dibatasi hanya dalam bidang
eksekutif. Dengan demikian kedudukan Presiden sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam
UUD 1945. KNIP menjadi badan pembantu Presiden dan sebagai pengganti DPR dan MPR
sebelum terbentuk dan berfungsi sebagai badan legislatif.26
F. Mengenai RIS (Republik Indonesia Serikat)

Republik Indonesia Serikat (RIS) lahir pada 2 November 1949. Kelahiran bentuk baru
Indonesia pasca kemerdekaan ini ditetapkan melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) yang
diselenggarakan di Den Haag, Belanda.
KMB ternyata tidak dapat dilepaskan dari sejarah terbentuknya RIS itu sendiri. Sebelum
KMB dilaksanakan, Indonesia dengan pihak Belanda pernah mengadakan perundingan yang
dikenal sebagai Perjanjian Roem-Royen. Oleh karena itu, KMB dianggap sebagai tindak
lanjut dari perjanjian yang sebelumnya pernah dilakukan tersebut.

25
Ardiansyah, Rahmad. 2018. Isi Maklumat No. X,16 Oktober 1945. Diakses dari
https://idsejarah.net/2018/11/maklumat-no-x-16-oktober-1945.html pada tanggal 12 Desember 2022
26
Ibid.
Pada 19 hingga 20 Desember 1949, Belanda melancarkan serangan terhadap Indonesia yang
sudah merdeka, tepatnya wilayah Yogyakarta. PBB selaku dewan keamanan internasional
memberikan solusi terhadap konflik Indonesia dan pihak Belanda, yakni melaksakan
perundingan. Menanggapi hal tersebut, akhirnya pada 7 Mei 1949 dilaksanakan perundingan
yang dikenal dengan Perjanjian Roem-Royen. Terdapat beberapa empat poin keputusan yang
lahir pada perjanjian tersebut. Salah satu di antaranya adalah “Akan diselenggarakan
Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Indonesia dan Belanda di Den Haag setelah
pemerintahan RI kembali ke Yogyakarta”.
Pada 23 Agustus sampai 2 November 1949, KMB diselenggarakan di negeri Belanda,
tepatnya Den Haag. Kala itu, pihak Indonesia dipimpin oleh Mohammad Hatta, Belanda oleh
Van Maarseveen, UNCI (United Nations Commisions for Indonesia) oleh Chritchley, dan
pihak delegasi BFO (Bijeenkomst voor Federal Overleg) dipimpin Sultan Hamid II. Berikut
isi hasil keputusan KMB yang terlampir dalam buku Sulaiman Hasan (halaman 19): 1.
Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Belanda akan menyerahkan
kedaulatan kepada RIS pada akhir Desember 1949. 2. RIS dan Belanda akan tergabung dalam
Uni Indonesia– Belanda. 3. Masalah Irian Barat akan diselesaikan setahun setelah pengakuan
kedaulatan Sesuai hasil KMB, bentuk negara Indonesia adalah serikat.
Oleh karena itu, mulailah disusun sistem pemerintahan Indonesia. Pada tanggal 17 Desember
1949, Ir. Soekarno dilantik menjadi presiden RIS. Selanjutnya pada tanggal 29 Desember
1949, Drs. Mohammad Hatta dilantik menjadi wakil presiden RIS. Republik Indonesia
merupakan bagian dari RIS. Selanjutnya Mr. Asaat dilantik sebagai Pemangku Jabatan
Presiden RI pada 27 Desember 1949. Berdasarkan poin pertama, disebutkan bahwa Indonesia
sudah diputuskan menjadi RIS. Waktu kelahiran atau penetapan ini resmi mengikuti tanggal
berakhirnya KMB, yakni pada 2 November 1949. Setelah menjadi RIS, wilayah Indonesia
ternyata dibagi menjadi tujuh negara bagian dan 9 satuan kenegaraan. Berikut ini daftar
bagian dan satuan kenegaraannya.27
Negara bagian:
1. Negara Republik Indonesia (RI)
2. Negara Indonesia Timur (NIT)
3. Negara Pasundan (Distrik Federal Jakarta)
4. Negara Jawa Timur
5. Negara Madura

27
Prinada, Yuda. 2021. Sejarah Berdirinya Republik Indonesia Serikat atau RIS. https://tirto.id/sejarah-
berdirinya-republik-indonesia-serikat-atau-ris-gly1
6. Negara Sumatera Timur (NST)
7. Negara Sumatera Selatan (NSS)
Satuan Kenegaraan:
1. Jawa Tengah
2. Kalimantan Barat
3. Dayak Besar
4. Daerah Banjar
5. Kalimantan Tenggara
6. Kalimantan Timur
7. Bangka
8. Belitung
9. Riau

BAB II
KETATANEGARAAN PADA MASA ORDE LAMA

1. Sistem Ketatanegaraan Setelah Indonesia Serikat


Awal tahun 1950-an merupakan masa krusial bagi Indonesia. Perdebatan dan
konflik terus mewarnai bentuk suatu negara terutama bagi bangsa dan negara
Indonesia. Di satu sisi, sesuai Konferensi Meja Bundar (KMB), saat itu Indonesia
resmi menjadi negara federal. Namun, pada saat yang sama, ada gerakan menentang
keberadaan negara federal. Gerakan ini tidak hanya ada di tingkat elit, tetapi juga di
tingkat masyarakat bawah.
Banyak pengamat luar negeri melihat langkah itu terlalu dini, tergesa-gesa,
tidak perlu, dan agak arogan. Pandangan ini muncul karena gerakan kaum
Republiken dinilai tidak menghargai semangat dan fasilitas kesepakatan KMB. Akan
tetap jika diamati lebih dekat, gerakan Republiken ini bukan saja kuat, tetapi juga
sehat. Tanpa perkembangan atau gerakan Republiken seperti itu, secara sosial dan
politik, Indonesia akan berada dalam kondisi yang buruk. Bagi kebanyakan orang
Indonesia, sistem federal dipandang sebagai warisan kolonial yang harus segera
diganti. Sistem tersebut dipandang sebagai alat pengawasan dan peninggalan
Belanda. Oleh karena itu, federalisme merupakan penghambat kemerdekaan
Indonesia tidak tunduk pada pengaruh Belanda. Dengan mengingat hal ini,
mempertahankan sistem federal berarti mempertahankan warisan kolonialisme yang
tidak disukai masyarakat.
Meski demikian, perjuangan kaum republik untuk mencapai negara kesatuan
tidak akan mudah. Di satu sisi, saat itu secara resmi masih tegak berdiri sebuah
negara yang secara resmi berbentuk negara federal lengkap dengan alat-alat
kenegaraannya. Jadi selemah apapun pendukung sistem negara federal, mereka pasti
tetap ada di Indonesia. Oleh karena itu, perjuangan mengembalikan bentuk negara
dari federal menjadi kesatuan harus diperjuangkan dengan cara yang benar agar tidak
dianggap sebagai pemberontakan kepada pemerintah yang sah. Oleh karena itu, kaum
Republiken juga harus siap menghadapi konflik dengan tentara Belanda sebagai
satuan resmi paling tidak pada oknum tentara Belanda.28
Adanya hambatan psikologis ini sebenarnya dibarengi dengan realitas politik
yang berkembang saat itu. Di dalam Negara Indonesia Serikat (RIS), Republik
Indonesia (RI) yang sesungguhnya tidak lebih dari satu diantara 32 negara bagian
yang ada, pada dasarnya masih tetap otonom. Hal ini terlihat karena secara
administratif RI tidak tergantung pada RIS. Lebih buruk lagi, banyak pegawai negeri
di negara bagian seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Pasundan lebih patuh dengan
aturan ibu kota Indonesia, Yogyakarta, daripada Jakarta. Situasi ini sering
menimbulkan manajemen ganda yang membingungkan. Ada dua kelompok pegawai
negeri sipil yang berusaha mengatur adanya dua aturan berbeda yang sangat mungkin
untuk wilayah yang sama.

28
George Mc Turnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indoensia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan kerja
sama dengan Sebelas Maret University Press, 1995), hlm. 571.
Fenomena ini merupakan manifestasi dari politik masa lalu. Belanda
mendirikan negara-negara bagian di seluruh Indonesia, pada dasarnya keberadaannya
tidak pernah diakui oleh pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta. Tindakan
selanjutnya yang dilakukan Pemerintah Republik Indonesia adalah membentuk
pemerintahan bayangan di setiap negara bagian, mulai dari desa-desa hingga ke
tingkat yang lebih tinggi. Untuk membuktikan keberadaan RI di daerah yang dikenal
dengan Bijenkomst voor Federaal Overleg (BFO), kirim uang ke ORI (Oeang
Republik Indonesia). Dengan tindakan ini, RI tetap hadir secara ekonomi dan politik
di wilayah BFO.29 Faktor lain adalah pamor RI yang tinggi, karena dianggap sebagai
pemenang perang dan perjuangan kemerdekaan. Pamor tersebut semakin meningkat
dengan terjaminnya ketertiban dan keamanan dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia, kelancaran penyelenggaraan pemerintahan, dan relatif tidak adanya korupsi
dibandingkan dengan negara-negara bagian lainnya.30
Salah satu pembubaran negara federal di daerah yaitu Pasundan, negara bagian
pertama yang memelopori untuk pembubara pemerintahannya adalah Prasundan.
Tindakan itu dilakukan bahkan sebelum pemerintahan RIS resmi dibentuk dan
berkuasa di Indonesia. Dengan demikian di Pasundan, kampanye menentang bentuk
federal sudah berlangsung pada saat negara Indonesia belum secara resmi mengadopsi
bentuk pemerintahan federal. Maraknya gerakan anti federal dimulai dengan resolusi
berbagai lapisan masyarakat untuk memasukkan wilayahnya ke dalam Republik
Indonesia, terutama karena ketidakmampuan pemerintah Pasundan untuk menjaga
keamanan dan ketertiban di wilayahnya. Situasi ini mendorong Indramayu untuk
mengusulkan resolusi kepada Presiden Republik Indonesia dan Ketua Komite
Nasional Indonesia Pusat.31
Seiring perkembangan situasi politik Indonesia, para elit Negara Indonesia
Timur dan Negara Sumatera Timur terpaksa berunding dengan pemerintah RIS. Oleh
sebab itu, dari tanggal 3-5 Mei 1950 Perundingan dilakukan antara Perdana Menteri
RIS M. Hatta, Presiden Negara Indonesia Timur Sukawati dan Perdana Menteri
Negara Sumatera Timur (NST) Dr. Mansyur. Dari perundingan menemukan hasil
yaitu disetujuinya pembentukan suatu negara kesatuan. Namun, pada tanggal 13 Mei

29
Meutia Farida Swasono, Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan (Jakarta: Sinar Harapan, 1980), hlm. 184-
187.
30
G. Moedjanto, Indonesia Abad ke-20 II (Yogyakarta: Kanisius 1988), hlm. 70
31
Haryono Rinardi, “Proses Perubahan Negara Republik Indonesia Serikat Menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia”, Diponegoro University Institutional Repository,Semarang, 2013, h-3.
1950 Dewan Sumatera Timur menentang keputusan tersebut. Meskipun demikian,
Dewan Sumatera Timur tetap bersedia menerima pembubaran RIS dengan syarat
Negara Sumatera Timur (NST) digabung menjadi RIS bukan RI. Meski mendapat
dukungan kuat dari mayoritas penduduk warga Sumatera Timur, tapi Perdana Menteri
Hatta mendukung dewan Negara Sumatera Timur (NST). Keputusan Hatta didasarkan
pada kenyataan bahwa situasi di Sumatera Timur masih rapuh jika bergabung RI.
Hatta menilai, jika ditempuh jalur penggabungan Negara Sumatera Timur (NST)
langsung ke RI, mungkin bisa mendorong mantan KNIL yang saat itu masih menjadi
anggota batalyon keamanan Negara Sumatera Timur (NST) itu memberontak, seperti
yang dilakukan teman-temannya di Ambon.
Terkait hasil pertemuan Hatta, Mansyur dan Sukawati, sebagai tindak lanjut
dilakukan perundingan antara perdana menteri R I S Hatta dan Negara Sumatera
Timur (NST) mewakili Negara Indonesia Timur dan Perdana Menteri RI A. Halim.
Hasilnya adalah kesepakatan kedua belah pihak pada tanggal 19 Mei 1950 untuk
membentuk NKRI. Persoalannya adalah bagaimana membentuk negara kesatuan yang
sesuai dengan kehendak seluruh rakyat Indonesia. Pilihan pemimpin Indonesia adalah
mengamandemen konstitusi RIS, Pilihan ini diambil karena berbagai kesulitan yang
akan timbul jika semua negara bagian melebur ke dalam RIS (RI akan menjadi satu-
satunya negara bagian dari RIS, sehingga RIS akhirnya terlikuidasi) akan
menimbulkan berbagai macam kesulitan. Pertama, akan mengalami masalah dengan
bekas anggota KNIL. Selain itu, ada alasan penting lainnya terkait hubungan luar
negeri. Akan ada kesulitan jika semua negara bergabung dengan RI.32
Masalahnya adalah RI yang masih eksis adalah RI sebagai negara bagian RIS
(sebagai akibat persetujuan KMB). Padahal, RIS yang menyelenggarakan hubungan
luar negeri, yang punya likuidasi. Dengan kata lain, proses kembalinya RIS ke NKRI
berarti peleburan negara-negara bagian yang diakui secara internasional telah
melahirkan negara-negara baru. Oleh karena itu, untuk mempertahankan pengakuan
hukum internasional, pembubaran RIS harus dihindari.
Pada akhirnya diambil pilihan cerdas yaitu mengubah konstitusi RIS. Dengan
demikian, secara yuridis, NKRI berubah dari RIS sebagai negara federal menjadi
negara kesatuan. Hal ini untuk menghindari masalah yang melibatkan masyarakat
internasional. Jika RIS dibubarkan oleh RI dan diganti dengan RI sebagai negara
dalam tubuh RIS, maka negara-negara baru tidak dapat menangani hubungan
32
Ibid., h-8.
internasional secara legal resmi. Hal ini dikarenakan Republik Indonesia sebagai
negara tidak dapat melakukan hubungan internasional. Lain halnya jika RIS menjadi
negara kesatuan. Secara hukum, tidak akan ada masalah di dunia internasional, karena
semua yang berubah adalah Konstitusi, bukan negara.33
Kemudian Kekuatan gerakan persatuan kemudian tumbuh karena mayoritas
rakyat negara tersebut juga tidak mendukung pembentukan negara-negara bagian.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembentukan negara-negara bagian tidak
memiliki dukungan yang kuat, kecuali dari pihak belanda yang mendukung. Maka,
ketika Belanda mulai melepaskan kendali atas negara bagian, rakyat negara bagian
tersebut menuntut kembalinya ke RI. Dalam kondisi seperti itu, hanya masalah waktu
sebelum negara bagian runtuh. Oleh karena itu, wajar jika di berbagai negara bagian
ada gerakan yang menuntut pembubaran pemerintah daerah atau negara bagian
mereka. Gerakan tersebut kemudian menuntut agar wilayahnya ke dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia.34
a. Ketatanegaraan Dalam Sistem Demokrasi Parlementer (1950-1959)
Sejak tanggal 17 Agustus 1950 Negara Kesatuan Republik Indonesia telah
menyelenggarakan organisasi negaranya berdasarkan Undang-Undang Dasar
Sementara (UUDS). Hal ini disebabkan gejolak yang dialami di banyak daerah dan
petisi spontan untuk mengembalikan negara kesatuan dengan jalan penggabungan diri
kepada negara bagian Republik Indonesia. Seperti dengan RIS, Undang-Undang
Dasar ini digunakan sebagai pedoman untuk status "sementara" Republik Indonesia.
Oleh karena itu, masih diperlukan suatu undang-undang yang tetap Dengan
menggunakan badan khusus yang disebut Konstituante.35
Bertepatan dengan berlakunya undang-undang tetap ini, pada bulan Desember
1955 diadakan pemilihan umum untuk memilih anggota Konstituante. Pemilihan
umum diselenggarakan berdasarkan ketentuan UU No. 7 Tahun 1953 yang memuat
dua pasal. Pertama, berisi ketentuan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUDS 1950.
Kedua, berisi ketentuan mengenai tanggal muai berlakunya UUDS Tahun 1950
menggantikan RIS, yaitu tanggal 17 Agustus 1950. Berdasarkan Undang-undang
inilah diselenggarakan Pemilihan Umum 1955 yang menghasilkan Konstituante yang
diresmikan di Kota Bandung pada tanggal 10 November 1956. Pada tanggal 22 April
33
Ibid., h-9.
34
Ibid., h-3.
35
R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, RajaGrafindo, Jakarta, 2018, h. 116.
1959, Presiden menyampaikan usulannya kepada Parlemen. Sidang Pleno
Konstituante memutuskan UUD 1945 berlaku kembali. Pemerintah menyetujui
keputusan tersebut setelah Konstituante dianggap tidak dapat menyelesaikan tugasnya
selama dua setengah tahun untuk memberlakukan undang-undang baru. Saran tersebut
memunculkan pro dan kontra yang menghasilkan 2/3 jumlah suara pada pelaksanaan
tiga kali pemungutan. Karena pemungutan suara tidak pernah memenuhi persyaratan
tersebut, Konstituante kemudian memutuskan untuk tidak akan bersidang lagi tanpa
batas waktu. Keputusan akhir ini dan alasan ketatnegaraan lainnya yang mengarah
pada keputusan konkrit. jadi, Presiden membacakan “Dekrit Presiden” tersebut di
Istana Merdeka pada Minggu, 5 Juli 1959 pukul 17.00.
Pemungutan suara dilakukan secara berulang tiga kali karena Konstituante
secara konsisten menolak UUD 1945. Meski begitu, itu hanya bersifat formal,
meskipun Pasal 134 UUD 1950 mengatur agar pemerintah dan Konstituante membuat
UUD. Namun, kewenangan Konstituante memiliki kekuatan untuk membuat UUD
baru. Pada saat yang sama, peran pemerintah masih terbatas pada meresmikan dan
mengumumkan UUD yang dirancang dan ditetapkan oleh Konstituante. Selain itu ada
alasan prosedural yang tidak Konstitusional, ada alasan mendasar mengapa anggota
konstituante menolak untuk memberlakukan kembali UUD 1945 untuk menggantikan
UUD 1950. Menurut anggota Konstituante, UUD 1945 memiliki kelemahan dan
kekurangannya, yaitu pertama, terlalu banyak kekuasaan yang diberikan kepada
eksekutif, sehingga membentuk pemerintahan diktator. Kedua, UUD 1945 kurang
mampu melindungi hak asasi manusia dan hak warga negara. Ketiga, rumusan UUD
1945 penuh celah. Sebaliknya, dalam isi Dekret Presiden menegaskan pembubaran
Konstituante. UUD 1945 kembali berlaku untuk seluruh rakyat Indonesia. Partai MPR
akan segera didirikan. Anggotanya meliputi anggota DPR, wakil daerah dan golongan
serta Pembentukan DPA Sementara.36
Sebagian besar anggota Konstituante berpendapat bahwa UUD 1945 tetap
akan dipulihkan setelah amandemen. Langkah ini diambil karena mengantisipasi
bahaya kediktatoran dan persyaratan konstitusional terhadap penyalahgunaan
kekuasaan dan kediktatoran. Ketika Konstituante memasuki reses maka pada bulan
Juni 1959, tindakan partai-partai dengan alasan pragmatis dianggap gagal
memperhitungkan kejadian di masa depan. Padahal, sistem otokriter yang
dilanggengkan melalui UUD 1945 bersifat anti partai sehingga melemahkan
36
Ibid., h-120.
demokrasi dan sistem pemerintahan konstitusional. Dengan demikian, membuat
mereka telah berkhianat terhadap sumpah sebagai anggota Konstituante yang
seharusnya menyuarakan pemerintahan konstitusional.
Mengutip pandangan Buyung, Konstituante secara hukum tidak sah karena
anggotanya tidak dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu yang demokratis.
Alasan pembubaran Konstituante semata-mata bukanlah alasan ketidakmampuannya
untuk bekerja secepat mungkin dalam menjalankan tugasnya sebagai arahan
pemerintah. Selain itu, terdapat peluang untuk berkompromi di antara para anggota
Konstituante dalam menjalankan tugasnya. Mengulang UUD 1945 dan pembubaran
Konstituante menjadi titik awal berakhirnya proses demokrasi Indonesia. Masa
memasuki era demokrasi Terpimpin Kepentingan Sukarno dan militer cukup
menonjol. Buyung menilai langkah Soekarno mengeluarkan dekrit dan membubarkan
Konstituante adalah "kudeta konstitusional". Ini dianggap sebagai kesalahan besar
untuk dijauhi Bangsa ini lahir dari realisasi cita-cita negara konstitusional.37
Meski terlihat sedang berusaha menyelamatkan negara dari perpecahan karena
asumsi kebuntuan pembuatan konstitusi di Konstituante, Dekrit Presiden sebenarnya
juga mengandung usaha untuk merebut kembali jabatan kepala pemerintahan selain
kepala negara yang telah lama hilang dari genggaman Soekarno. Karena sistem
pemerintahan parlementer menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada perdana
menteri. Kepentingan politik Sukarno yang memenuhi aspirasi politik blok militer
yang mendorong keputusan tersebut dan memastikan pelaksanaannya.
Dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 5 Pada bulan Juli 1959,
ketika negara kita memiliki kekuatan hukum untuk menyelamatkan negara dan bangsa
Indonesia dari ancaman pemisahan diri. Sebagai tindak lanjut dari Kepres tanggal 5
Juli 1959, dibentuk beberapa lembaga negara yaitu: Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS), Dewan Pertimbangan Agung Serentak (DPAS) dan Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR - GR). Dalam pidato Presiden Sukarno
berjudul “Penemuan Kemabali Revolusi Kita” pada 17 Agustus 1959. Pidato yang
dikenal dengan nama “Manifesto PolitikRepublik Indonesia” (MANIPOL) itu
dirumuskan oleh DPAS dan MPRS sebagai Garis Besar Haluan Negara (GBHN).38

37
Adnan Buyung Nasution, Pergulatan Tanpa Henti Menabur Benih Reformasi, Otobiografi Aksara Karunia,
Jakarta, 2004, h. 162.
38
Danang Risdiarto, LEGALITAS DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959 DAN PENGARUHNYA BAGI
PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA, Legislasi Indonesia, 2018, h-66.
Oleh karena itu, kita dapat melihat efek samping positif dan negatif melalui
Dekrit Presiden tersebut. Sisi positifnya, dikeluarkannya dekrit presiden berarti
menyelamatkan negara dari perpecahan dan krisis politik jangka panjang, dan
memberikan pedoman yang jelas untuk kelangsungan hidup negara, UUD 1945, dan
memprakarsai pembentukan lembaga tertinggi negara seperti MPRS dan Lembaga
Tinggi Negara berupa pembentukan DPAS tertunda selama demokrasi liberal.
Sedangkan sisi negatifnya, UUD 1945 tidak dilaksanakan secara utuh dan konsisten
karena adanya Dekrit Presiden. UUD 1945 yang seharusnya menjadi landasan hukum
konstitusional penyelenggaraan pemerintahan pelaksanaannya menjadi slogan
kosong. Selanjutnya dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden akan menjadi memberi
kekuasaan yang besar pada Presiden, MPR, dan lembaga tinggi negara.
Dekrit presiden merupakan produk politik, sehingga berdampak sangat besar
terhadap demokrasi suatu negara. Jadi hanya kemauan pemimpin yang berniat jika dia
ingin menyelamatkan rakyat, itu harus dikeluarkan. Dekrit merupakan kekuasaan
subjektif presiden dan salah satu hak prerogatif presiden. Di masa yang akan datang
sebaiknya dekrit tidak lagi dikeluarkan untuk kondisi-kondisi di luar perang atau
bencana alam. Penngeluaran dekrit ini untuk penyelesaian konflik elit, misalnya
sebenarnya merupakan upaya putus asa serta jalan pintas politik yang tidak sehat
apalagi mendewasakan dalam konteks proses pembelajaran politik berbangsa yang
demokratis. Sebab, mudah bagi kita mengulangi pelanggaran konstitusi dengan dalih
negara dalam bahaya yang belum terjadi. Selain itu, dekrit tersebut merupakan upaya
untuk memanipulasi situasi berbahaya pada posisi kekuasaan menjadi darurat
negara.39
b. Ketatanegaraan Dalam Sistem Demokrasi Terpimpin (1959-1966)
Pandangan Presiden Sukarno tentang demokrasi sebenarnya mengandung tiga
unsur utama. Pertama, gaya kepemimpinan dan sistem pemerintahan baru
diperkenalkan, yang disebut demokrasi terpimpin. Kedua, untuk mewujudkan konsep
baru itu, ia mengusulkan untuk membentuk kabinet yang saling bekerja sama
sebagaimana disebutkan di atas, termasuk semua partai politik termasuk PKI. Ketiga,
pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari sebagian besar golongan fungsional,
yang dimaksud golongan fungsional adalah golongan karyawan yang terdiri dari
wakil buruh, tani, cendekiawan, pengusaha nasional, golongan agama, pemuda,

39
Ibid., h-67.
angkatan bersenjata, wanita dan juga wakil-wakil daerah. Dewan Nasional merupakan
cerminan masyarakat secara keseluruhan (Mar’iyah, 1988).
Usul pembentukan kabinet gotong royong adalah pembentukan kabinet yang
mengikutsertakan semua pihak termasuk PKI. arena menurut Soekarno, partai ini
adalah bagian sah dari revolusi dan seharusnya PKI punya kesempatan untuk terlibat
Membuat kesepakatan nasional. Dengan demikian akan terbentuk pemerintahan PKI,
Masumi, PNP dan PKI, mungkin dibantu oleh partai-partai kecil lainnya. Sehingga
kabinet yang dibentuk menurut Soekarno akan lebih banyak Harmoni mampu
menjalankan kebijakan politik nasional yang dapat diterima dan meningkatkan
persatuan nasional, daripada kabinet koalisi yang terus-menerus diganggu oleh
oposisi. Menurut Soekarno, gotong royong adalah kata asli Indonesia yang
menggambarkan jiwa Indonesia yang murni (Mar’iyah, 1988).
Salah satu gagasan Soekarno lainnya, bahwa dalam pidatonya tahun 1956
pada Rapat Delegasi Pemuda Seluruh Partai dan di depan Persatuan Guru Seluruh,
mengatakan bahwa tidak ada yang bisa membenarkan adanya 40 partai di negeri ini,
mengajak kita untuk menguburkan partai-partai tersebut. ukarno tidak menyukai
sistem multipartai karena terlalu banyak partai menciptakan ketidakstabilan di kabinet
dan parlemen. Sebenarnya Sukarno lebih Pada awal kemerdekaan mereka ingin
membentuk partai politik tunggal atau partai pelopor, namun karena takut menjadi
pesaing tetapi tidak mendapatkan persetujuan dari KNIP karena dikhawtirkan menjadi
pesaing KNIP, ditambah munculnya maklumat pemerintah No. X tanggal 3
November 1945 tentang Pembentukan Partai Politik membuat menggagalkan usulan
Soekarno.40
Ketua Masyumi M. Natsir menentang gagasan itu. Natsir menolak pandangan
Presiden Sukarno tentang sistem kepartaian dan demokrasi serta konsep kepala
negara. Dalam perkataannya “selama ada demokrasi, selama ada partai politik, tidak
masalah apakah keputusan pemerintah pada November 1945 atau tidak. Di sisi lain,
dia juga mengatakan bahwa selama ada kebebasan politik partai, selama ada
demokrasi dijunjung tinggi, kalau partai dikubur, otomatis demokrasi akan dikubur.
Di atas penguburan partai ini, hanya diktator yang berkuasa. Sejak Nopember 1956
Dahlan mengatakan, mengubur partai politik bertentangan dengan semangat Islam.

40
Himawan Indrajat, DEMOKRASI TERPIMPIN SEBUAH KONSEPSI PEMIKIRAN SOEKARNO
TENTANG DEMOKRASI, Jurnal Sosiologi, 2018, h-58.
Pembubaran partai yang ada dapat menyebabkan kediktatoran. Imron Rosyadi, Ketua
Pemuda Ansor (NU), mengatakan kediktatoran bertentangan dengan Islam. Ia juga
menambahkan, siapa pun presidennya, sistem pemerintahan harus dikembangkan.
Imron Rosyadi juga menuduh bahwa Dewan Nasional hanya dibentuk untuk
kepentingan Soekarno (Noer,1987).
Setelah Soekarno sering mengkritik demokrasi parlementer dan multi partai
dengan pidato-pidatonya. ituasi politik yang semakin serius pada masa ini, seperti
pergolakan badan ketatanegaraan dan parlementer, membuka pintu bagi Soekarno
untuk turut serta menyelesaikan masalah yang sedang berlangsung, melaksanakan
langkah mengeluarkan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berisi sebagai
berikut:
1. Pembubaran Konstituante
2. Berlakunya Kembali UUD 1945
3. Tidak berlakunya UUDS 1950
4. Pembentukan MPRS dan DPAS
Akibatnya, pembubaran DPR dan MPR muncul dari pemilu 1955 yang
digantikan oleh MPR Sementara dan DPR Gotong Royong memiliki anggota yang
diangkat oleh Presiden Sukarno. Begitu pula pimpinan MPR sementara dan DPR
Gotong Royong diangkat sebagai menteri koordinator dan menteri kabinet.
Sementara itu, Presiden Sukarno menyederhanakan sistem kepartaian dengan
mengurangi jumlah partai melalui Keputusan Presiden No. 7/1959 yang membatalkan
maklumat pemerintah tentang pembentukan partai politik tanggal 3 November 1945,
dan diganti dengan partai-partai yang harus memenuhi persyaratan pengakuan
pemerintah. Hanya 10 partai yang memenuhi kriteria tersebut, yakni PKI, Persatuan
Bangsa, Persatuan Bangsa, Partai Katolik, Patindo, Parkindo, Partai Murba, PSII
Arudji, IPKI, Partai Islam Perti sedangkan yang lainnya tidak memenuhi syarat,
termasuk PSI dan Masyumi yang dituding turut serta di Pemberontakan
PRRI/PERMESTA (Budiardjo, 1998).
Untuk menampung 10 partai politik, dibentuklah Front Nasional yang berbasis
NASAKOM (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) dan golongan fungsional
termasuk militer. PKI berhasil mengembangkan pengaruhnya untuk melemahkan
posisi partai.41

41
Ibid., h-59.
Ada perbedaan tujuan antara TNI dan PKI, Presiden Soekarno mengundurkan
diri sebagai kekuatan penyeimbang antara persaingan ini untuk mempertahankan
konsep tentang demokrasi terpimpinya dan nasakom. Namun tidak berhasil karena
ada upaya PKI melalui Gestapu untuk menyingkirkan tentara, tetapi tentara lebih siap
menghadapinya, malah menyebabkan demokrasi yang berorientasi gagal dan Presiden
Soekarno mengundurkan diri (Budiardjo, 1998).
Menurut Takashi Shirasi, konsep demokrasi terpimpin Soekarno dipengaruhi
oleh ide-ide kaum nasionalis generasi pertama, seperti yang diwakili oleh Soetatmo,
Tjipto, dan Ki Hajar Dewantara. Pengaruh Tjipto terhadap Soekarno adalah perlunya
semangat kebangsaan menjadi kehendak nasional, yang akhirnya terwujud dalam
bentuk aksi kebangsaan. Sedangkan Soetatmo dipengaruhi oleh konsep demokrasi dan
leiderschap (kepemimpinan) Ki Hadjar Dewantara yang sangat dipengaruhi oleh visi
Soetatmo tentang negara kekeluargaan yang dikendalikan oleh bapak/pandhita Ratu
yang bijak (Sularta, 2001, p.70).
Soetatmo, anggota Budi Oetomo, menulis dalam bukunya "Sabdo Pandito
Ratu" Soetatmo bahwa sistem politik yang berjalan di Indies (sebutan saat Indonesia
masih dijajah Belanda) tidak benar. Dia membandingkan negara Indies dengan sebuah
keluarga di mana "ayahnya cerewet dan ibunya begitu sibuk mengurus dirinya sendiri
sehingga dia melupakan tanggung jawabnya terhadap anak-anaknya". "Kecelakaan
tidak dapat dihindarkan jika para ibu tetap menolak untuk melakukan tugasnya.
Ketika kecelakaan terjadi, anak-anak adalah pemenangnya. Aturannya kacau, jadi
kamu dan ibumu harus mematuhinya. Ini adalah negara yang dibangun di atas
gambaran demokrasi" (Sularta, 2001, p.70).
Menurut Soetatmo, jalan keluar dari semua itu adalah melalui pembinaan
moral adalah kuncinya. Ia menganggap keberatan Pandita-ratoe sebagai jalan dan
kunci perkembangan kebudayaan Jawa, sekaligus jawaban atas demokrasi. Pembina
moral harus diarahkan oleh para imam yang benar-benar mengetahui aturan tertinggi,
dan demokrasi harus diarahkan oleh para imam yang bijaksana, katanya. Atau dengan
kata lain, “Kamu benar karena kamu benar! Ini juga keluarga ideal bangsa. “Orang
bijak/pandita ratoe/ harus membimbing perkembangan demokrasi dan kebudayaan
Jawa. Pemikiran Soetatmo mempengaruhi Ki Hajar Dewantara tentang opvoeding
(petunjuk/tut wuri handayani). Negara keluarga dan ratu pandita yang bijaksana untuk
demokrasi dan kekuasaan Ki Hajar Dewantara (Kepemimpinan) teori ini yang
menjadi dasar, kemudian diwariskan oleh Soekarno dalam rumusannya untuk
membimbing demokrasi (Sularta, 2001,p. 71).
Situasi politik pada masa demokrasi parlementer menjadi alasan kuat bagi
Presiden Sukarno untuk menerapkan demokrasi terpimpin. Dalam pandangan
Sukarno, demokrasi parlementer atau demokrasi liberal tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa demokrasi
liberal hanya menciptakan instabilitas politik di kabinet dan parlemen.
Ketidakstabilan politik terjadi karena demokrasi parlementer UUD 1950 memiliki dua
kelemahan besar, yaitu tidak adanya mayoritas di parlemen Indonesia yang menguasai
separuh kursi DPR, sehingga koalisi yang terbentuk mudah terpecah dalam prosesnya.
Setelah Pemilu 1955, tepatnya pada tanggal 29 September 1955, mereka memilih
anggota DPR dan 15 Anggotanya dipilih pada bulan Desember 1955, di NU
Masyumi, membentuk aliansi besar di kalangan PNI. Koalisi ini mudah terpecah,
sehingga umur kabinet antara 6 bulan sampai 2 tahun. Akibatnya, kabinet tidak fokus
pada program pembangunan.42
Situasi ini dapat diamati selama kabinet Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 –
4 Maret 1957) memiliki rencana pembangunan repelita, pertempuran Pengembalian
Irian Barat, pembentukan kabupaten otonom, percepatan pembentukan anggota
DPRD, upaya menyejahterakan buruh dan pegawai, memperbaiki perimbangan
keuangan negara, dan mewujudkan transformasi ekonomi kolonial menjadi ekonomi
nasional untuk kepentingan rakyat. Lingkungan politik yang mendorong Kabinet saat
ini untuk melanjutkan mandatnya adalah semangat anti Cina yang berapi-api,
separatisme dengan pembentukan dewan militer seperti Dewan Banteng di Sumatera
Tengah, Dewan Gajah di Sumatera Utara, Dewan Garuda di Sumatera Selatan, Dewan
Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan, dan Dewan Manguni di Sulawesi Utara.
Pusat dianggap mengabaikan pembangunan daerah, pembatalan KMB menyebabkan
pengusaha Belanda menjual perusahaannya ke Cina, ditambah perpecahan antara PNI
dan Masyumi.
Menurut Suryanegara (2010), pemberontakan PRRIPERMESTA terjadi
karena belum adanya kesatuan pandangan terhadap negara antara pimpinan militer
dan partai politik. Lebih lanjut Maulida (2018) menjelaskan, gejolak yang melibatkan

42
Ketut Sedana Arta, POLITIK INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI TERPIMPIN 1959-1966, Candra
Sangkala, 2022, h-3.
PRRI-Permesta awalnya merupakan sikap para perwira militer di daerah setelah
melihat berbagai kejanggalan dalam penyelenggaraan pemerintahan pusat. Sikap ini
dipicu oleh keputusan pemerintah untuk merampingkan TNI Sedemikian rupa
sehingga sebagian tentara harus menggantungkan senjata mereka, yang membuat
cemas mereka yang juga berjuang untuk mempertahankan Republik selama revolusi.
Apalagi melihat gejolak politik dalam negeri pusat-pusat yang tidak memberikan
pengaruh positif bagi daerah, para pejabat politik daerah mulai melakukan
pembangunan daerah. Hal ini terlihat jelas dalam tuntutan mereka kepada pemerintah
pusat menerapkan otonomi daerah yang benar-benar transparan. Pemberontakan ini
bahkan lebih berbahaya karena melibatkan AS dan Australia Pemberontakan PRRI-
PERMESTA muncul karena ketakutan akan pengaruh komunis di Indonesia dan
peningkatan kualitas dan kuantitas senjata ABRI dipandang sebagai ancaman bagi
Australia dan sekutunya.
Sukarno, Partai Komunis Indonesia, dan tentara adalah tiga kekuatan politik
utama menjelang demokrasi. Politik yang berasal dari luar negeri Indonesia lebih
agresif, anti-kolonial, dan anti-Barat, di antaranya Indonesia secara tidak langsung
bersekutu dengan negara-negara komunis dan sosialis. Ada hubungan simbiosis antara
militer dan Presiden Sukarno, militer membutuhkan Sukarno Legitimasinya, dan
Sukarno membutuhkan tentara untuk menekan kekuatan oposisi. Untung mengurangi
ketergantungan kepada militer maka Sukarno membina Angkatan Udara dan Partai
Komunis Indonesia.43
Revolusi politik di Indonesia dalam era demokrasi Terpimpin tidak hanya
dengan membangun kekuatan kelompok atas, tidak harus dengan kekuatan diktator
proletariat, tetapi membangun kekuatan gotong royong. Pelaksanaan kekuasaan
demokrasi ini memastikan pemusatan semua kekuatan nasional dan seluruh rakyat.
Indonesia pada fase politik Demokrasi Terpimpin menyederhanakan struktur politik
dengan memusatkan kekuasaan pada dua lembaga, Presiden Sukarno dan Tentara
Nasional Indonesia serta Partai Komunis Indonesia sebagai partai politik dengan basis
massa yang besar, menjadi kekuatan ketiga.
Demokrasi Terpimpin memperkuat indoktrinasi Manipol-Usdek (Deklarasi
Politik, UUD 1945, Sosialisme di Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi
Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia) sebagai istilah politik yang digunakan

43
Ibid., h-4.
Presiden Sukarno untuk mencegah rakyat Indonesia dibingungkan oleh retorika
politik. Rakyat percaya bahwa Presiden Sukarno adalah figur atau tokoh yang sesuai
dengan kriteria-kriteria pemimpin yang dibutuhkan. Presiden Sukarno berhasil
memikat massa dan membawa serta mengajak pengikutnya ke arah fokus utama
kepribadiannya. Selain itu, Presiden Sukarno dapat mengguncang perasaan
pendengarnya dengan daya meyakinkan yang sangat besar.44
Presiden Sukarno dikenal tangguh dan tegas, berani mengambil resiko apapun
untuk mengambil keputusan. Presiden Sukarno juga dengan gigih membela apa yang
diyakininya benar dan harus diperjuangkan. Presiden Sukarno dengan gigih membela
kebijakan "Ganyang Malaysia!", konsep Nasakom, doktrin Manipol-Usdek, Nefos
(kekuatan baru), penggalangan Nefos (New Emerging Forces) dan semua
perjuangannya melawan Nekolim (neo,kolonialisme,imperialisme). Demokrasi
Terpimpin adalah era di mana para pengamat melihat bagaimana Presiden Sukarno
menjadi orang yang kuat dan bertindak diktator dan otoriter. Bagi sebagian pengamat
dan pelaku politik saat itu, Presiden Sukarno dipandang telah bertindak menekan
kebebasan dan demokrasi serta mendirikan rezim yang membuat pemerintahannya
paling korup.45
Pada tanggal 24 Desember 1962, diselenggrakannya sebuah Musyawarah
Persatuan Karyawan Perusahaan Negara mengusulkan agar Soekarno menjadi
presiden seumur hidup Republik Indonesia. Gagasan tersebut diresmikan oleh Chaerul
Saleh selaku Ketua MPRS melalui Ketetapan MPRS. Sejak awal 1960-an, kultus
kepribadian Presiden Sukarno terus dibangun, seperti pemberian sebutan dan
gelarnya. Pada masa demokrasi Terpimpin, Presiden Sukarno dikenal sering
mendapat julukan yang membuat posisinya semakin berkuasa. Pada kongres petani di
Semarang menganugerahi Presiden Sukarno gelar "Bapak Tani Indonesia". Presiden
Sukarno juga mendapat julukan "Paduka Yang Mulia". Pada masa Demokrasi
Terpimpin, julukan lain untuk Presiden Sukarno antara lain "Pemimpin Besar
Revolusi", serta "Panglima Tertinggi" Angkatan Bersenjata Republik Indonesia” dan
“Panglima Perang Agung”.

44
Abi Sholehuddin dan Aminuddin Kasdi, “Jargon Politik Masa Demokrasi Terpimpin Tahun 1959-
1965”, (Avatara: e-Journal Pendidikan Sejarah, Vol. 3 No. 1, Maret 2015), hlm-73.

45
Setyo Adi Nugroho, Segitiga Kukuasaan Masa Demokrasi Terpimpin, ResearchGate, h-5.
Jika yang dibutuhkan adalah suasana harmonis bebas konflik, maka demokrasi
terpimpin jelas memenuhi visi Presiden Soekarno yaitu “persatuan dan kesatuan”.
Namun, sikap Presiden Sukarno dalam mengarahkan masa demokrasi tidak
mencerminkan demokrasi itu sendiri. Presiden Soekarno menyusun kabinet sendiri,
menunjuk perdana menteri sediri, serta mengangkat semua anggota parlemen sendiri.
Dengan kekuasaan tak terbatas, Presiden Sukarno bebas menapaki roda revolusi.
Pidatonya masih bersemangat, dan panggungnya semakin gemilang. Namun,
kampanyenya untuk merebut Irian Barat, konfrontasi Malaysia dan menarik diri dari
PBB menjauhkannya dari masalah dalam negeri. Sehingga sejak saat itu Presiden
Soekarno dikenal sebagai “Singa Podium” berubah menjadi demagog dengan slogan-
slogan kosong.46
Sifat monolitik dalam pemerintahannya menjadikan Presiden Sukarno sebagai
simbol feodalisme Jawa, seperti raja-raja Jawa masa lalu yang dikritiknya. Presiden
Sukarno menggambarkan dirinya memiliki aura kesaktian, memanipulasi simbol-
simbol tradisional dan menampilkan kekuatannya yang perkasa tidak bisa dihindari.
Dalam keadaan normal, obsesinya terhadap bangunan, monumen, dan patung kolosal
harus dilihat sebagai ekspresi selera seninya yang tinggi. Namun pemaksaan
kebesaran bangsa hanya melalui simbol-simbol yang kasat mata tidak dapat disebut
sebagai sikap yang benar-benar revolusioner pada masa ekonomi negara yang sulit
pada tahun 1950-1960-an. Selain itu, pendekatan agresifnya terhadap lawan politik
telah merampas citranya sendiri. Presiden Soekarno tak segan-segan menekan pers
bahkan memenjarakan para pengkritik.47
Soekarno terlalu menyederhanakan masalah bahwa segala sesuatu dapat
disatukan oleh seorang pemimpin yang kuat, semua organisasi sosial politik dapat
disatukan bahkan jika mereka memilikinya. Kepentingan yang berbeda mau tidak
mau akan saling bersaing untuk memenangkan kepentingannya masing-masing.
Konsepsi demokrasi terpimpin Soekarno justru melahirkan kediktatoran dan
otoritarianisme, sebagaimana dikemukakan Soekarno bahwa rakyat harus diarahkan,
dipimpin, dan pembinaan dalam demokrasi oleh seorang pemimpin tunggal paham
aturan tertinggi. Alih-alih menciptakan demokrasi yang menjadikan Soekarno sebagai
presiden yang sama sekali tidak diawasi oleh rakyat, Soekarno justru rawan
46
Ibid., h-6.

47
Ibid., h-7.
penyalahgunaan kekuasaan. Seperti yang dikatakan oleh Lord Acton “”Power Attends
To Corrupt”.48

48
Himawan Indrajat, Op.Cit. h-60.
BAB III

PEMERINTAHAN DAN KETATANEGARAAN MASA ORDE BARU

Masa Orde Baru lahir dari Surat Perintah Sebelas Maret atau juga yang dikenal dengan
Supersemar tahun 1966. Supersemar merupakan surat perintah yang ditandatangani oleh
Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar
Revolusi Soekarno pada tanggal 11 Maret 1966. Surat ini berisikan perintah Presiden
Soekarno kepada Letnan Jenderal Soeharto sebagai Panglima Komando Operasi Keamanan
dan Ketertiban untuk mengambil alih segala tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan
stabilitas situasi keamanan yang saat itu sangat buruk, terutama setelah peristiwa Gerakan 30
September 1965.

Pada ketetapan MPRS Nomor III/1963 yang menetapkan masa jabatan seumur hidup
Soekarno dibatalkan dan jabatan sebagai presiden kembali menjadi selektif selama lima
tahun. Setelah berakhirnya kepemimpinan Soekarno, pemerintahan Indonesia diambil oleh
Soeharto pada tahun 1967, periode pemerintahan ini lahir karena gagalnya G30S PKI.

Sistem pemerintahan pada Masa Orde Baru berdasarkan pada UUD 1945 sebelum
amandemen adalah sistem pemerintahan quasi-presidentil atau Semi Presidensial. Karena
sistem yang diterapkan dalam presidential lebih menonjolkan ciri parlementer yakni dengan
MPR sebagai lembaga negara tertinggi, presiden harus tunduk dan bertanggung jawab.
Presiden menjadi penyelenggara pemerintahan di bawah MPR. Presiden menjadi mantaris
majelis, maksudnya presiden harus dan wajib menjalankan putusan-putusan majelis.
Konstitusi yang berlaku pada masa orde baru merupakan konstitusi tetap yang berdasar pada
dekrit presiden 5 Juli 1959. Konstitusi yang berdasarkan dekrit ini berlangsung sampai tahun
1999 setelah tumbangnya masa Orde Baru.

Lembaga kepresidenan tidak hanya diatur dalam pasal-pasal konstitusi namun juga
penjelasan konstitusi melalui MPR/MPRS, antara lain :

1. Ketetapan MPRS Nomor X/MPRS/1966 tentang Kedudukan Semua Lembaga –


Lembaga Negara Tingkat Pusat dan Daerah pada Posisi dan Fungsi yang diatur dalam
Undang – Undang Dasar 1945.
2. Ketetapan MPRS No. XV/ MPRS/ 1966 tentang Pemilihan/ Penunjukan Wakil
Presiden dan Tata Cara Pengangkatan Pejabat Presiden.
3. Ketetapan MPR No II. MPR/1973 tentang Tata Cara Pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia.
4. Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/ 1973 tentang Kedudukan dan Hubungan Tata-Kerja
Lembaga Tertinggi Negara dan Hubungan Tata – Kerja Lembaga Tertinggi.
5. Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1973 tentang Keadaan Presiden dan/atau Wakil
Presiden Republik Indonesia Berhalangan.
Struktur Ketatanegaraan pada masa Orde Baru

A. DEMOKRASI PANCASILA
Istilah "demokrasi" berasal dari Yunani Kuno yang diutarakan di Athena kuno
pada abad ke-5 SM. Negara tersebut biasanya dianggap sebagai contoh awal dari
sebuah sistem yang berhubungan dengan hukum demokrasi modern. Namun, arti dari
istilah ini telah berubah sejalan dengan waktu, dan definisi modern telah berevolusi
sejak abad ke-18, bersamaan dengan perkembangan sistem "demokrasi" di banyak
negara. Kata "demokrasi" berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat, dan
kratos/cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat diartikan sebagai
pemerintahan rakyat, atau yang lebih kita kenal sebagai pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsep demokrasi menjadi sebuah kata kunci tersendiri
dalam bidang ilmu politik. Hal ini menjadi wajar, sebab demokrasi saat ini disebut-
sebut sebagai indikator perkembangan politik suatu negara. Demokrasi menempati
posisi vital dalam kaitannya pembagian kekuasaan dalam suatu negara (umumnya
berdasarkan konsep dan prinsip trias politica) dengan kekuasaan negara yang
diperoleh dari rakyat juga harus digunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat.49

49
H. Nihaya M, 2011, Demokrasi dan Problematikanya di Indonesia, Jurnal Sulesana 6(2), hlm 15
Menurut Ni’matul Huda dalam bukunya yang berjudul Ilmu Negara jika
berbicara tentang sejarah teori demokrasi, ada 2 (dua) fakta historis yang penting.
Pertama, hampir semua orang pada masa ini mengaku sebagai demokrat. Beragam
jenis rezim politik di dunia mendeskripsikan dirinya sebagai demokrasi. Namun, apa
yang dikatakan dan diperbuat oleh rezim yang satu dengan rezim yang lain sering
berbeda secara substansial. Kedua, sementara banyak negara yang saat ini menganut
paham demokrasi, sejarah lembaga politiknya mengungkap adanya kerapuhan dan
kerawanan tatanan demokrasi. Sejarah Eropa Abad ke-20 sendiri menggambarkan
dengan jelas bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang sangat sulit
untuk diwujudkan dan dijaga.50
Demokrasi memberikan pemahaman, bahwa dari sebuah kekuasaan dari
rakyat. Dengan pemahaman seperti itu, rakyat akan melahirkan sebuah aturan yang
menguntungkan dan melindungi hak-haknya. Agar itu bisa terlaksana, diperlukan
sebuah peraturan bersama yang mendukung dan menjadi dasar pijakan dalam
kehidupan bernegara untuk menjamin dan melindungi hak-hak rakyat. Peraturan
seperti itu biasa disebut Konstitusi.51
Perkembangan demokrasi di Indonesia di bagi menjadi dua tahap yakni pra
kemerdekaan dan tahap pasca kemerdekaan. Demokrasi di Indonesia mengalami naik
turun pada pasca kemerdekaan. Permasalahan dalam demokrasi cenderung tetap sama
yakni bagaimana demokrasi mewujudkan dirinya dalam berbagai sisi kehidupan
berbangsa dan bernegara dalam segala bidang seperti politik, sosial, ekonomi, hukum
dan lainnya. Secara empiris, kehidupan demokratis dalam masyarakat berhubungan
erat mengenai pemerintah dengan rakyat, hubungan dengan negara dalam posisi yang
seimbang dan saling melakukan pengawasan.
Perkembangan demokrasi di Indonesia jika dilihat dari sudut pandang waktu
maka dibagi menjadi empat periode. 1) Demokrasi Parlementer 1945-1959. 2)
Demokrasi Terpimpin 1959-1965. 3) Demokrasi Pancasila 1965-1998. 4) Demokrasi
Periode Reformasi. Namun fokus utama disini adalah pada masa kepemimpinan
Soeharto, ketika Indonesia menerapkan sistem demokrasi Pancasila.

a. Demokrasi Pancasila dalam Gagasan

50
Evi Purnamawati, 2020, Perjalanan Demokrasi di Indonesia, Jurnal Artikel, 18(2), hlm. 254
51
Cora Elly Noviati, 2013, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan, Jurnal Konstitusi, 10(2), hlm.334
Landasan formil periode ini adalah Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945,
serta ketetapan MPRS. Semangat yang mendasari lahirnya periode ini adalah ingin
mengembalikan dan memurnikan pelaksanaan pemerintahan yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 secara konsekuen dan murni.52
Dalam masa ini praktik demokrasi di Indonesia mengacu pada nilai-nilai
yang ada di Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga Demokrasi pada
masa ini disebut juga sebagai Demokrasi Pancasila. Dalam Demokrasi Pancasila
melihat kedaulatan rakyat sebagai inti dari sistem demokrasi, karena rakyat
memiliki hak yang sama untuk bisa memilih keputusan untuk diri sendiri.
Termasuk dalam bidang politik, rakyat memiliki kesempatan dan partisipasi yang
sama. Dalam hal ini pemerintah harus menyediakan perlindungan dan jaminan
untuk setiap warga negara saat menjalankan hal politiknya.
Ringkasnya Demokrasi Pancasila memiliki beberapa pengertian seperti:
1. Demokrasi Pancasila menggunakan sistem pengorganisasian negara
yang dilakukan oleh rakyat dan atas persetujuan rakyat itu sendiri.
2. Demokrasi Pancasila merupakan demokrasi yang berlandaskan
kekeluargaan dan gotong royong yang ditujukan untuk masyarakat
dengan mengandung unsur-unsur religious, berdasarkan kebenaran,
kecintaan dan budi pekerti luhur, berkepribadian Indonesia dan
berkesinambungan.
3. Dalam Demokrasi Pancasila, cita-cita demokrasi di satukan dengan
tujuan hidup bangsa Indonesia dengan jiwa kekeluargaan sehingga tidak
ada minoritas atau mayoritas.
4. Kebebasan individu dalam Demokrasi Pancasila tidak bersifat mutlak
namun tetap harus dibarengi dengan tanggung jawab sosial.
Konsep Demokrasi Pancasila juga mengutamakan musyawarah untuk
mufakat, tetapi pimpinan tidak diberi hak untuk mengambil sendiri dalam hal
‘mufakat bulat’ tidak tercapai. Bagi Demokrasi Pancasila sesuai Tap MPRS No.
XXXVII/MPRS/1968, untuk mengatasi kemacetan karena tidak dapat dicapainya
‘musyawarah untuk mufakat secara bulat’, marka jalan yang dapat dilakukan
dengan voting (pemungutan suara). Hal ini sesuai dengan prosedur yang
dikehendaki Pasal 2 Ayat (3) dan Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945.53

52
Ibid, hlm 257
53
Ajat Sudrajat, Demokrasi Pancasila dalam Prespektif Sejarah, Jurnal Artikel, hlm 14
Untuk mewujudkan Demokrasi Pancasila, beberapa prinsip Demokrasi
Pancasila seperti sebagai berikut:
1. Kedaulatan Rakyat (People’s Sovereignty)
Menggunakan konsep kedaulatan rakyat, maka hakikat dari kebijakan
adalah yang dibuat oleh rakyat dan untuk kepentingan rakyat itu sendiri.
Konsep ini setidaknya memiliki dua kemungkinan, yaitu pertama,
kecilnya penyalahgunaan kekuasaan dan kedua, terjaminnya
kepentingan rakyat.
2. Kebebasan atau Persamaan (Freedom/Equality)
Merupakan dasar dari demokrasi. Kebebasan atau persamaan sering
dianggap sebagai wadah atau sarana untuk mencapai kemajuan untuk
bisa memberikan hasil paling maksimal dari setiap usaha tanpa
pembatas dari penguasa. Dengan menggunakan prinsip bahwa setiap
orang dianggap sama tanpa dibeda-bedakan dan memiliki kesempatan
yang sama untuk bisa mengembangkan diri yang sesuai dengan
potensinya. Kebebasan disini dimaksudkan kebebasan yang tidak
mengganggu hak dan kebebasan milik orang lain.
3. Pemerintahan yang terbuka dan bertanggung jawab
a) Dewan Perwakilan Rakyat yang representatip.
b) Badan kehakiman / peradilan yang bebas dan merdeka.
c) Pers yang bebas
d) Prinsip Negara hukum
e) Sistem dwi partai atau multi partai.
f) Pemilihan umum yang demokratis
g) Prinsip mayoritas.
h) Jaminan akan hak-hak dasar dan hak-hak minoritas54
Presiden Soeharto dalam pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 1967,
menyatakan bahwa Demokrasi Pancasila berarti demokrasi kedaulatan rakyat yang
dijiwai dan diintegrasikan dengan sila-silanya. Hal ini setidaknya memiliki arti
bahwa dalam menggunakan hak dan tanggung jawab harus selalu dibarengi dengan
rasa tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.

54
Agustam, 2011, Konsepsi dan Implementasi Demokrasi Pancasila dalam Sistem Perpolitikan di
Indonesia, Jurnal TAPIs 7(12), hlm 84
Demokrasi Pancasila pada rezim orde baru ini memiliki hal yang berbeda
antara retorika dan praktik dan penerapannya. Karena pada masa Orde Baru,
Demokrasi Pancasila hanya wacana, dalam prakteknya rezim orde baru ini sama
sekali tidak memberikan ruang bagi kehidupan berdemokrasi.

b. Demokrasi Pancasila dalam Penerapannya pada Masa Orde Baru


Pada awal kehadirannya, Orde Baru memulai langkah pemerintahannya
dengan langgam libertarian. Orde Baru telah menggeser sistem politik Indonesia
dari titik ekstrim otoriter pada zaman demokrasi terpimpin ke sistem demokrasi
liberal. Akan tetapi, kenyataannya langgam libertarian tidak berlangsung lama,
sebab di samping merupakan reaksi terhadap sistem otoriter yang hidup
sebelumnya, sistem ini hanya ditolerir selama pemerintah mencari format baru
politik Indonesia. Segera setelah format baru terbentuk, sistem liberal bergeser lagi
ke sistem otoriter.55
Dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 1969 dan Undang-Undang Nomor
16 tahun 1969 yang memberikan landasan bagi pemerintah untuk mengangkat 1/3
untuk anggota MPR dan lebih dari 1/5 anggota DPR membuat sistem politik
sedikit demi sedikit mulai bergeser ke otoritarian. Dalam kepemimpinan Presiden
Soeharto, pemerintah berkeinginan untuk melaksanakan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945 secara murni sebagai wujud kritik terhadap pemerintahan
sebelumnya melalui program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila).
Melalui integrasi, pembersihan dan penyatuan birokrasi negara dan militer
di bawah satu komando. Upaya ini membuka jalan bagi penjabaran dan pemberian
logika baru dalam feodalisme budaya bangsa Indonesia secara nyata dan
operasional. Jabaran dan logika baru ini semakin menemukan momentumnya
berkaitan dengan kenyataan di masyarakat yang tengah menghadapi kesulitan
ekonomi yang sangat parah di satu pihak, dan obsesi negara untuk membangun
pertumbuhan ekonomi sebagai peletak dasar penghapusan kemiskinan di lain
pihak.56

55
Sandra Dewi, Andrew Shandy Utama, 2018, Pancasila sebagai Ideologi Bangsa Indonesia serta
Perkembangan Ideologi Pancasila pada Masa Orde Lama, Orde Baru dan Era Reformasi, Jurnal PPKn &
Hukum, 13(1), hlm 27
56
Hartuti Purnaweni, 2004, Demokrasi Indonesia: Dari Masa ke Masa, Jurnal Administrasi Publik,
3(2), hlm 121
Kemudian, pengukuhan negara qua dilakukan untuk menyingkirkan politik
masa. Partisipasi politik yang terlalu lebar dan luas ditakutkan akan tidak terkontrol
dan dapat membahayakan stabilitas politik dan mengganggu pembangunan
ekonomi. Sehingga keterlibatan negara dengan aparat birokrasi dan militer
mendominasi untuk bisa menjangkau semua masyarakat.
Rezim ini mungkin berhasil membubarkan komunis di Indonesia, namun
dalam implementasikan Pancasila sangat mengecewakan. Kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan beberapa tahun setelah Soeharto menjabat, sama sekali tidak
sesuai dengan jiwa Pancasila. Pancasila justru dijadikan alat indoktrinasi yang
dimanfaatkan Soeharto untuk melanggengkan kekuasaannya.
Indoktrinasi ini dilakukan dalam beberapa metode:
1. Ajaran P4 yang dilakukan di sekolah-sekolah.
2. Masyarakat diperbolehkan untuk membentuk organisasi-organisasi dengan
syarat harus berlandaskan Pancasila.
3. Masyarakat tidak boleh memberikan kritikan terhadap pemerintah yang
bersifat menjatuhkan pemerintahan dengan alasan stabilitas (Soeharto
menganggap kritikan menyebabkan ketidakstabilan di dalam negeri).
Dalam hal ini kekuatan militer menjaga ketat masyarakat sehingga
masyarakat yang berani memberikan kritikan terhadap pemerintah.

Selain itu, Soeharto dalam masa pemerintahannya melakukan


penyelewengan terhadap penerapan Pancasila dengan menerapkan demokrasi
sentralistik yakni demokrasi yang berpusat pada pemerintah. Soeharto juga
memegang kendali atas lembaga eksekutif, legislative dan juga yudikatif sehingga
dalam pembuatan peraturan perundang-undangan semuanya atas persetujuan
Soeharto. Terutama dalam penentuan jabatan-jabatan penting di pemerintahan,
semuanya berdasarkan keputusan Soeharto. Jajaran militer diberikan jatah wakil di
DPR/MPR sekitar 100 kursi atau sama dengan 20%, jajaran militer ini juga
menduduki jabatan strategis di kabinet, kegiatan ekonomi maupun birokrasi. Hal
ini dikarenakan Soeharto ingin membatasi ruang gerak partai politik dan juga
organisasi-organisasi yang bergerak saat itu.

Dalam hal lainnya, Soeharto dengan kuasanya melemahkan aspek-aspek


demokrasi, khususnya Pers. Pers dianggap membahayakan pemerintahan dan
kekuasaan Soeharto. Karenanya, Soeharto membentuk Departemen Penerangan
sebagai lembaga sensor secara besar-besaran untuk menyaring berita agar media
tidak dapat menjatuhkan pemerintahan.

Permasalahan lainnya yang ada pada masa pemerintahan ini adalah


mengenai KKN atau Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Soeharto dalam masa
kekuasaannya melakukan penyelewengan yang benar-benar jauh dari nilai-nilai
Pancasila dengan melanggengkan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sehingga
menjadikan masa Orde Baru dalam pimpinan Soeharto sebagai rezim terkorup di
Indonesia.

Posisi presiden sangat kuat saat itu, lembaga DPR/MPR sering sekali
disebut sebagai lembaga stempel. Soeharto sebagai presiden mendapatkan
dukungan penuh dari Wakil ABRI, partai Golkar dan wakil-wakil partai politik.
Mereka yang dianggap loyal terhadap orde baru akan dengan mudah lolos menjadi
anggota legislatif. Campur tangan presiden tidak berhenti sampai disitu saja,
karena loyalitas terhadap orde baru juga merambah ke kepengurusan partai politik,
aktivis yang tidak dekat dengan militer, birokrasi dan ‘keluarga’ seringnya akan
dipersulit untuk menjadi pengurus di partai politik.

Puncaknya terjadi saat krisis ekonomi dan moneter di tahun 1997 yang
mengakibatkan perekonomian di Indonesia jatuh drastis yang memicu gerakan
besar-besaran untuk menggulingkan rezim orde baru dan melengserkan Soeharto
sebagai presiden. Dalam masa Orde Baru ini ada beberapa tindakan yang
melenceng dari nilai-nilai Pancasila antara lain seperti :

1. Melanggengkan Presiden Soeharto berkuasa selama 32 tahun.


2. Terjadi penafsiran sepihak terhadap Pancasila melalui program P4.
3. Adanya penindasan ideologis sehingga orang-orang yang mempunyai
gagasan kreatif dan kritis menjadi takut bersuara.
4. Adanya penindasan secara fisik, seperti pembunuhan di Timor Timur,
Aceh, Irian Jaya, kasus di Tanjung Priok, kasus pengrusakan pada 27
Juli, dan lain sebagainya.
5. Perlakuan diskriminasi oleh negara terhadap masyarakat non pribumi
(keturunan) dan golongan minoritas.57

57
Ibid, hlm 29
Demokrasi Pancasila berakhir dengan jatuhnya Soeharto dan Orde Baru
yang disebabkan hancurnya ekonomi nasional, krisis politik, TNI yang tidak lagi
bersedia menjadi alat kekuasaan orba dan demonstrasi massal yang ingin
melengserkan kekuasaan Presiden Soeharto ke wakil Presiden BJ. Habibie pada
tanggal 21 Mei 1998.

c. Partai Politik Masa Orde Baru


Pada masa ini, kekuatan yang mendominasi adalah TNI. Setelah Soeharto
naik sebagai presiden, perubahan kali pertama dalam partai politik adalah
dirombaknya tokoh partai PNI, yakni dengan mempertahankan tokoh-tokoh yang
dekat dan memiliki hubungan yang baik dengan penguasa. Lalu munculnya partai
baru PARMUSI atau dikenal juga dengan Partai Muslim yang merupakan partai
untuk menampung aspirasi politik umat islam. Ada juga partai Golongan Karya
atau Golkar yang merupakan partai yang mendapatkan dukungan langsung dari
pemerintah dan golongan ABRI.
Pada tahun 1973 terjadi peleburan partai politik atau fusi. Melalui UU No. 3
Tahun 1973 pemerintah menyederhanakan jumlah partai dengan kebijakan fusi
partai. Empat partai politik Islam yaitu NU, Parmusi, Partai Serikat Islam, dan Perti
bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).58

B. KONSEP DWI FUNGSI ABRI


Kebijakan Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang
diterapkan pada masa pemerintahan Soeharto berawal dari sebuah gagasan yang
berasal dari A. H. Nasution, yang disebut sebagai konsep jalan tengah. Konsep jalan
tengah tersebut merupakan sebuah konsep yang menginginkan militer bukan hanya
berperan sebagai alat pertahanan keamanan negara, melainkan militer juga harus
mampu menjalankan fungsi sosial-politiknya untuk ikut dalam menentukan arah
kebijakan politik negara. Konsep Dwifungsi ABRI ini mempunyai akar dan latar
belakang sejarah yang panjang sejak berdirinya organisasi ketentaraan di Republik
Indonesia. Para perwira militer merasa mempunyai hak yang sama dengan kaum sipil
dalam menentukan kebijakan dan jalannya pembinaan negara. Perkembangan dan
perluasan peran dari konsep Dwifungsi mulai dirumuskan oleh kalangan internal
58
Ibid, hlm 262
militer sehingga melahirkan doktrin Tri Ubaya Cakti yang dipertegas dengan adanya
doktrin perjuangan Catur Dharma Eka Karma yang nantinya ikut mengembangkan
dan memperluas konsep Dwifungsi ABRI itu sendiri.59
Pelembagaan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru ini mencakup kekuasaan
presiden dengan kekuasaan yang dominan, angkatan bersenjata menjadi sangat aktif
berpolitik, proses pembuatan keputusan pun berpusat pada birokrasi dan pola
hubungan yang menggabungkan response, kooptasi dengan represi. Hal ini merujuk
pada peran militer yang sangat dominan yang akan membuka dan melahirkan asumsi-
asumsi dan keraguan dalam masyarakat.
Pada awalnya kebijakan Dwifungsi ABRI ini bertujuan untuk membentuk
profesionalisme dalam bidang militer di Indonesia. Profesionalisme yang dimaksud
dalam kebijakan Dwifungsi ABRI ini adalah profesionalisme baru yang merupakan
militer harus memiliki keterampilan, kecakapan, pengetahuan dan tanggung jawab
pada bidang hankam dan juga bidang non-hankam yakni sosial, ekonomi, politik dan
lain-lain.
Keterlibatan militer dalam bidang hankam dan nonhankam disebabkan oleh
faktor internal dan faktor eksternal. Tiga faktor internal seperti sebagai berikut:
1. Kepentingan, militer pasti memiliki kepentingan secara kelompok baik untuk
mendapatkan fasilitas militer seperti peralatan tempura tahu mengenai gaji yang
sepadan bagi anggota-anggotanya.
2. Korps Perwira Militer merupakan cerminan penting dari kelas menengah
perkotaan. apabila pemerintah gagal memenuhi kebutuhan dari kelas sosial ini
maka perwira ini akan memberikan tekanan kepada pemerintah yang
berkemungkinan menjatuhkan.
3. Para pejabat tinggi di militer akan bisa membangun kepentingan-kepentingan
pribadinya melalui intervensi militer dengan menempatkan mereka dalam control
jaringan pemerintah.

Selain factor internal tersebut, ada lagi factor eksternal yakni seperti kondisi
sosial ekonomi, keadaan politik dan factor internasional yang mendukung militer
untuk melakukan intervensi.

59
Dede Wahyu Firdaus, Kebijakan Dwifungsi ABRI dalam Perluasan Peran Militer di Bidang Sosial-
Politik tahun 1966-1998, Jurnal Artikel, hlm. 2
Dwifungsi ABRI adalah suatu doktrin di lingkungan Militer Indonesia yang
menyebutkan bahwa TNI memiliki dua tugas, yaitu: pertama, menjaga keamanan dan
ketertiban Negara; dan kedua, memegang kekuasaan dan mengatur Negara. Dengan
peran ganda ini, militer diizinkan untuk memegang posisi strategis di dalam
pemerintahan. Pernyataan di atas berdasarkan beberapa pidato Soeharto, yang
mengatakan bahwa sejalan dengan pelaksanaan tugasnya sebagai alat pertahanan dan
keamanan, maka ABRI harus dapat dengan tepat melaksanakan peranannya sebagai
kekuatan sosial politik.60
Kemudian tugas ABRI sebagai kekuatan sosial setidaknya memiliki dua
fungsi. Pertama, sebagai Dinamisator. Kemampuan ABRI dalam komunikasi dengan
masyarakat untuk bisa mengerti dinamika dan memahami aspirasi dan kebutuhan
masyarakat memungkinkan ABRI untuk bisa mendorong dan membantu masyarakat
untuk lebih berpartisipasi dalam pembangunan. Kedua sebagai Stabilisator. Karena
komunikasi dengan masyarakat menjadi salah satu jalur untuk melakukan
pengawasan sosial.
Keterlibatan militer dalam permasalahan yang non-militer pada masa orde
baru berhasil menciptakan ketertiban sekaligus keamanan di Indonesia. ABRI pada
masa pemerintahan Soeharto menjadi salah satu aktor paling penting. Peran sosial
menjadi peran kedua yang harus diemban oleh para anggota militer selain peran
utamanya dalam mempertahankan keamanan dan ketertiban masyarakat. Kedua tugas
ini ada pada kandungan kebijakan Dwifungsi ABRI. Hal ini secara langsung
menyatakan jika ABRI akan bisa menjalankan fungsi sosial politiknya untuk bisa
menduduki kursi jabatan sipil tanpa harus meninggalkan jabatannya di kemiliteran.
Aparat militer yang ikut campur contohnya dalam perekonomian, ABRI
membantu proses nasionalisme aset vital milik pemerintah namun justru membuat
ABRI memiliki kekuasaan dan kepemilikan terhadap aset tersebut. Aset-aset milik
pemerintah tersebut malah digunakan bisnis oleh pihak militer. Hal tersebut
bertentangan dengan apa yang disampaikan Nasution. Menurut Nasution, meskipun
ABRI diberikan keleluasan dalam sosial dan politik bukan bermakna ABRI bisa
sekaligus merangkap dalam bidang eksekutif, legislative atau seperti pengusaha dan
penguasa.

60
I Putu Nopa Suryawan, I Ketut Laba Sumarjiana, 2020, Ideologi di Balik Doktrik Dwifungsi ABRI,
Jurnal Santiaji Pendidikan, 10(2) hlm. 186
Pengaruh kebijakan Dwifungsi ABRI terhadap peran-peran militer pada masa
pemerintahan Soeharto, khususnya dalam bidang sosial politik memang mengerucut
kepada hasil yang telah dilakukan oleh militer itu sendiri. Setelah Dwifungsi ABRI ini
mendapatkan legitimasi dari pemerintah lewat konstitusi, maka semakin lebarlah jalan
militer untuk menjalankan fungsi keduanya. Pengaruh dan peran ABRI di bidang non-
hankam pada masa Orde Baru dimulai sejak 1966, setelah Soeharto diangkat sebagai
Ketua Presidium Kabinet merangkap Menteri Utama Bidang Pertahanan dan
Keamanan, dan Nasution secara aklamasi terpilih menjadi Ketua Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Dari hal tersebut, bisa dilihat bahwa
dari sanalah pertanda militer akan mulai masuk ke dalam peranan sosial politik.61
Pengaruh ABRI dalam parlemen juga sangat terasa. Awal dari semuanya ada
di Penetapan Presiden no. 4 tahun 1960 mengenai pembentukan DPR baru yang
disebut sebagai DPR-GR (gotong royong). Dalam kursi DPR-GR ini ABRI mendapat
35 kursi dari total jumlah keseluruhan kursi. Hal ini juga menjadi kali pertama
anggota militer menduduki kursi legislative. Lalu diikuti dengan penempatan anggota
militer lainnya di tingkat daerah. Semakin lama posisi anggota militer di Parlemen
semakin banyak dan mempengaruhi setiap kebijakan yang dihasilkan. Secara tidak
langsung juga memiliki makna bahwa Soeharto juga memegang kendali dalam
lembaga legislatif melalui anggota-anggota militer yang ditempatkan dalam parlemen.
Dalam rentang waktu antara 1960an dan 1970-an nyaris semua perangkat
tinggi seperti gubernur dan bupati/walikota berasal dari ABRI dan dengan adanya
Kopkamtib atau Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban yang memiliki
peranan yang sangat penting masa tersebut. Karena adanya Kopkamtib, ABRI
semakin leluasa dengan pengaruhnya. Dalam hal ini Kopkamtib tidak hanya terbatas
dalam isu-isu sosial politik secara sempit saja namun juga dalam hal yang lebih luas
seperti ideology politik, ekonomi, sosial dan budaya. Karena pengaruh ABRI yang
sangat kuat, mengakibatkan partai politik menjadi kurang berpengaruh dan
mengalami intervensi dari pihak militer agar pimpinan atau anggotanya tidak
mengganggu kestabilan politik.
Menurut Harold Crouch mengenai Dwifungsi ABRI bahwa konsep Dwifungsi
ABRI bukanlah suatu doktrin mati yang ditetapkan untuk selama-lamanya, tetapi
doktrin yang hidup, yaitu suatu doktrin dinamis yang dapat berubah sesuai
perkembangan zaman. Hal ini selaras dengan pendapat dari beberapa pemimpin dan
61
Ibid, hlm 6
mantan pimpinan ABRI. Dwifungsi ABRI akan terus dan selalu dilaksanakan
sepanjang masa tetapi perannya dalam sosial dan politik harus bisa disesuaikan
dengan perubahan sistem demokrasi yang ada dan sesuai dengan keinginan rakyat
mengenai demokrasi.62
Menurut Indria Samego mengenai perubahan yang mempengaruhi peran sosial
politik ABRI dinyatakan sebagai berikut:
1. Menyederhanakan partai politik. Maksudnya adalah peleburan partai-
partai politik pada awal tahun 1973 serta pada perkembangan menjadi UU
no. 3 tahun 1985 mengenai partai politik dan golongan karya. Hal seperti
ini bertujuan untuk mencegah terjadinya konflik di kalangan politik.
2. Diberlakukan ‘Asas Tunggal’. Menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya
landasan dalam semua organisasi masyarakat di Indonesia sejak 1985. Hal
ini dilakukan untuk mencegah kembalinya politik aliran.
3. Dikuatkannya Civil Society. Dikenal juga sebagai masyarakat madani
yang ditandai dengan pengesahan Undang-Undang Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN), lahirnya Komnas HAM (Hak Asasi Manusia) dan
menguatnya peran LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Terwujudnya
hal ini juga dikarenakan semakin banyaknya masyarakat yang terdidik
sebagai dampak pembangunan ekonomi dan pengaruh arus demokratisasi
internasional.
4. Pembangunan Ekonomi yang Pesat. Pembangunan ekonomi yang sangat
cepat merupakan satu hal yang bisa dibanggakan dalam masa
pemerintahan Soeharto. Sebenarnya ini tidak mengherankan sama sekali
karena prioritas utama Soeharto dalam membangun perekonomian di
Indonesia. Sehingga melahirkan kaum terdidik yang semakin banyak dan
meningkatkan jumlah kalangan kritis masyarakat.
5. Stabilitas Politik yang meningkat. Perubahan yang sangat penting dalam
masa orde baru ini adalah kehidupan sosial politik nasional yang
mengalami stabilitas politik. Meskipun di beberapa wilayah masih ada
permasalahan perpolitikan yang serius namun keseluruhan nya stabilitas
nasional semakin berkurang.
Pada tahun 1990-an, kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh Soeharto sudah
sangat jauh dari jalur, bahkan banyak sekali penyelewengan dan penyalahgunaan
62
Ibid, 8
wewenang dari kebijakan Dwifungsi ABRI. Misalnya, Soeharto sering sekali
menggunakan kekuatan ABRI untuk mengamankan pihak atau orang-orang yang
melawan dan pesaing politiknya yang dianggapnya mengganggu kestabilan
kepemimpinan. Dengan menggunakan kekuasaannya juga, Soeharto mengangkat
orang-orang terdekatnya menjadi pemimpin dalam tubuh militer yang selaras dengan
latar belakangnya yang berasal dari militer.
Hal tersebut menimbulkan permasalahan di kalangan sipil, karena kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah membatasi ruang gerak masyarakat untuk bisa
berdemokrasi. Permasalahan-permasalahan lainnya yang ada semakin memperkeruh
keadaan dan memancing protes dari masyarakat agar Dwifungsi ABRI dihapuskan.
Dwifungsi ABRI sudah tidak lagi menuju ke arah profesionalisme militer seperti
tujuan awalnya.
Puncaknya terjadi pada Mei 1998 ketika wacana Reformasi digaungkan di
segala aspek masyarakat. Masyarakat mulai jenuh dan muak dengan sikap dan otoritas
Soehari yang berlebihan dan menginginkan Soeharto turun dari jabatannya sebagai
presiden. Dikatakan jika pada masa itu sikap anggota-anggota militer mulai
mengendur dan mulai menyadari apa yang diinginkan masyarakatnya. Sehingga
banyak yang berpendapat ketika Soeharto lengser dari kuasanya, banyak yang ingin
diadakannya reorientasi yang sifatnya mendasar dan struktural dalam sistem yang ada
termasuk militer dalam implementasi kebijakan dari dwifungsi ABRI.
Setelah Habibie mengambil alih pemerintahan, diagendakan reformasi dalam
segala bidang, salah satu gagasan yang muncul adalah Reformasi Internal Militer.
Proses reformasi internal ini adalah bentuk jawaban dari tuntutan masyarakat, lebih
dari reformasi internal ini dilakukan karena kesadaran mereka dalam menanggapi
perubahan yang sedang berlangsung. Karena kalangan militer sama sekali tidak
merasa dipaksa melakukan reformasi internal sehingga melahirkan paradigma baru
ABRI.
Paradigma ini setidaknya berisikan reposisi peran militer, perubahan syarat-
syarat untuk menjabat di politik, melakukan intervensi dan menjalin kemitraan
dengan masyarakat sipil. Wacana reformasi ini mendorong militer untuk melakukan
perubahan dalam paradigma, fungsi, peran dan tugas. Reformasi waktu itu diharapkan
dapat membenahi internal organisasi militer dan mengamandemenkan kebijakan
Dwifungsi ABRI sebagai perwujudan terhadap situasi dan kondisi Indonesia masa itu.
Kebijakan Dwifungsi ABRI sebenarnya memiliki manfaat yang baik dalam
pemerintahan Indonesia seperti tujuan awal ditetapkannya. Namun hal tersebut
dimanfaatkan oleh individu-individu ABRI untuk kepentingan masing-masing dan
juga golongannya. Padahal seharusnya ABRI memberikan contoh sikap dan sifat yang
baik dalam berpolitik karena pada dasarnya militer memiliki peran serta fungsi yang
penting. Sebagai alat pertahanan dan keamanan negara yang memiliki posisi netral
dalam berpolitik. Dampak dari diamandemenkan kebijakan Dwifungsi ABRI ini
membuat pihak militer harus menentukan sikapnya, masuk ke dalam politik maka
harus melepaskan jabatan militernya atau tetap dalam lembaga militer tanpa ikut
campur dengan urusan politik negara.
C. KONSEP DUA PARTAI SATU GOLONGAN

Budiardjo menyampaikan bahwasannya partai politik merupakan sekelompok orang


yang telah terorganisasi dengan anggota-anggotanya diantara mereka memiliki orientasi,
nilai-nilai, dan cita-cita sama. Dengan demikian, tujuan dari adanya kelompok ini tidak jauh
yakni demi memperoleh kekuasaan politik serta merebut kedudukan politik. Mereka biasanya
melakukan hal tersebut dengan cara konstitusional untuk melaksanakan programnya. Namun
apabila meninjau kembali dari Giovani Sartori, keberadaan dari partai politik adalah suatu
kelompok politik yang mengikuti pemilihan umum. Berkat adanya pemilihan umum itu
nantinya mampu menempatkan calon-calon nya untuk duduk di kursi jabatan-jabatan politik.
Menurut Edmund Burke (2005), keberadaan partai politik turut serta menjadi lembaga yang
dihimpun atas orang-orang yang bersatu. Maka dari itu mempromosikan mereka harus
dilakukan dalam upaya kepentingan nasional secara bersama-sama. Dan hal ini berdasarkan
prinsip yang telah mereka setujui dari awal.

Menurut Lapalombara dan Anderson (1992) partai politik bagian dari setiap kelompok
politik yang memiliki label dan organisasi resmi yang menghubungkan antara pusat
kekuasaan dengan lokalitas. Mereka tentu akan selalu hadir saat adanya pemilihan umum,
bisa dibilang ini kemampuan untuk menempatkan kandidat pejabat publik. Dengan melalui
kegiatan pemilihan umum entah itu bebas maupun tidak bebas. Sigmund Neuman (1963) juga
berpendapat apabila partai politik adalah organisasi dari aktivitas-aktivitas politik yang mana
mereka tengah berlomba-lomba menguasai kekuasaan pemerintah serta membuat dukungan
rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain. Golongan
lain ini bisa dibilang bahwa mereka yang mempunyai pandangan yang berbeda dari partai
politik mereka. Sedangkan menurut R.H. Soltau (1961:199), kehadiran dari partai politik
adalah perwakilan dari sekelompok warga negara yang sudah terorganisasi dalam bertindak.
Ini kesatuan politik yang dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih dan mengusai
pemerintahan dan melaksanakan kebijaksanaan umum mereka.63

Bermula sejak berdiri nya Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pada saat itu pula
para pendiri negara telah memilih “demokrasi” sebagai sistem politik idealnya. Dan sistem
politik demokrasi menjadikan setiap warga negara berhak menyatakan pendapat dan cita-cita
sejalan dengan ideologi nasional bangsa Indonesia. Namun, umumnya pada tiap-tiap warga
negara tentunya memiliki pendapat, sikap dan orientasi politik yang berbeda-beda. Nah, hal
inilah yang lantas mengawali kelembagaan berbagai partai politik. Karena adanya hal itu
maka secara umum dapat disimpulkan bahwa partai politik adalah sekelompok manusia yang
terorganisir, dan anggota-anggotanya sedikit banyak mempunyai orientasi, nilai-nilai dan
cita-cita yang sama. Sedangkan tujuan kelompok ini melalui cara konstitusional yakni
pemilihan umum, itu akan memperoleh kekuasaan politik dan mempertahankannya jika
sudah diperoleh guna melaksanakan program yang telah ditetapkan oleh mereka (Miriam
Budiardjo, 1988).64

Awal mula dari masa Orde Baru di mulai, partai politik cenderung diberi kesempatan
untuk bergerak lebih leluasa. Akan tetapi semua itu berubah pasca dari diadakannya
pemilihan umum di tahun 1971 telah berbeda. Yang mana dalam hal ini partai Golkar muncul
sebagai pemenang pertama dengan disusul oleh tiga partai besar lainya diantaranya, NU,
Parmusi dan PNI. Dan agaknya partai-partai harus menerima kenyataan bahwa peranan
mereka dalam decision-making process untuk sementara akan tetap terbatas (Budiardjo,
2010:172). Penyederhanaan jumlah partai pada awal masa Orde Baru menunjukkan peranan
Presiden Soeharto yang semakin dominan, hal ini sangat membatasi ruang gerak masyarakat
terutama untuk menyalurkan aspirasi ataupun memberikan kritik kepada pemerintah.65

Lantas pada periode sistem politik Demokrasi Parlementer bisa dibilang partai politik
menunjukkan fungsi dan peranan yang kuat. Adanya Partai politik dan parlemen (DPR)
mereka adalah kerangka pokok mekanisme sistem politik Indonesia kala itu. Akibat itu
stabilitas dari kondisi politik dan pemerintahan ini terlalu digantungkan pada “dukungan”

63
Admin Fisip, “Bahan Ajar Partai Politik dan Pemilu” (2019), Online Acces,
https://adm.fisip.unpatti.ac.id/wp-content/uploads/2019/10/BAHAN-AJAR-PARPOL-DAN-PEMILU-
dikonversi.pdf
64
A. Gau Kadir. “Dinamika Partai Politik Di Indonesia”. Dalam jurnal Sosiohumaniora, (2014), 16(2),
132-133.
65
Arief Hidayat, PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK PADA MASA ORDE BARU (1966-1998).
Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi, (2018), 17(2), hlm. 157
partai-partai politik dalam parlemen. Alhasil itu membuat sistem politik tersebut menerapkan
sistem multi partai. Betapa sulit membangun pola-pola kerja sama (koalisi) antar partai-partai
politik dalam membentuk kabinet. Tidak ada satupun kabinet yang dapat menyelesaikan masa
tugasnya. Jatuh bangunnya kabinet, menunjukkan tidak stabilnya politik dan pemerintahan
pada masa itu. Itulah sebabnya, pada periode Demokrasi Terpimpin muncul kebijaksanaan
untuk menyederhanakan partai politik dengan mengurangi jumlah partai politik melalui
penetapan Presiden No. 7/1959 yang menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi suatu
partai politik untuk diakui oleh pemerintah. Di sini Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945
yang menganjurkan pendirian partai-partai politik tersebut dicabut.

Kemunculan dari Penetapan Presiden atau PP tersebut lantas turut dikuatkan pula oleh
Peraturan Presiden No. 13/1960, meninjau mengenai Pengakuan, Pengawasan dan
Pembubaran Partai-partai. Berkat adanya dua peraturan tersebut, itu artinya mereka akan
memuat persyaratan lebih ketat. Dan itu harus dipenuhi untuk dapat mendirikan sebuah partai
politik baru, nah di antara persyaratan itu ialah bahwa partai politik juga perlu punya cabang
yang tersebar di sekitar seperempat jumlah Daerah Tingkat I. Lagi, itu juga ikut jumlah anak
cabang partai politik minimal meliputi seperempat jumlah Daerah Tingkat II sebagai syarat
lebih lanjut. Dan keberadaan dari partai politik minimal mempunyai anggota nya yakni 50.
Selain itu juga, disebutkan pula bahwasannya Presiden turut memiliki wewenang dalam hal
mengawasi seluruh partai politik.

Dan dari dasar persyaratan itu semua lah membuat partai politik yang ada diharuskan
untuk mendaftar kembali. Dengan demikian itu tidak anyal membuat sejumlah partai politik
mengajukan tentunya permohonan kepada pemerintah untuk membentuk partai politik. Ini
bisa dibilang akibatnya mengimbas kepada partai kecil yang tidak dapat memenuhi
persyaratan untuk dibuat pemerintah.

Berkaitan dengan pengakuan atas eksistensi partai politik ataupun pembubaran partai
politik turut dibuat melalui Keputusan Presiden No.128/1961. Yang mana di sini pemerintah
hanya memberikan pengakuan pada PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Murba, PSII-Arudji
dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) saja. Lalu dengan disampaikannya
Keputusan Presiden No. 440/1961, maka pemerintah mengakui pula adanya Parkindo dan
Partai Islam Parti. Dengan demikian tercatat hanya keberadaan dari sembilan partai politik
yang diakui pemerintah di masa Demokrasi Terpimpin (Syamsuddin, dkk; 1988). Selanjutnya
dijelaskan bahwa pada era ini untuk perangkat fungsi dan peranan partai politik terhitung
masih lemah. Itu dikarenakan segala hal berkenan kebijaksanaan politik dan pemerintahan di
bawah otoritas langsung Presiden. Jadi partai politik berposisi yang mana mereka harus
menyesuaikan kebijaksanaan Presiden.66

Semakin berjalannya waktu, era Orde Baru berjalan dimulai pada tahun 1966. Yang mana
Presiden Soekarno resmi digantikan oleh Presiden Soeharto hingga kepemimpinan beliau
harus berakhir di tahun 1998. Ciri khas yang paling menonjol di dalam periode ini pula
tentunya yakni fenomena perkembangan partai politik. Kemunculan dari kebijakan
penyederhanaan jumlah partai politik. Di mulai dari pemilu 1971 sampai dengan Pemilu
1997, yang mana di sini justru dianggap menguntungkan pihak pemerintah. Sejak dari
perimbangan suara di MPR dan DPR yang didominasi oleh partai Golkar. Dan keadaan ini
semakin memberikan kemungkinan bagi Soeharto untuk terus menjadi Presiden Republik
Indonesia selama enam periode. Apalagi karena pada masa Orde Baru presiden dipilih oleh
anggota MPR, maka membuat praktik penerapan dari demokrasi Pancasila yang berjalan
selama Orde Baru nyatanya justru membawa ketidakpuasan bagi rakyat Indonesia. Ini semua
sebab dari aspirasi rakyat sendiri yang mana tidak dapat tersalurkan dan malahan kurang
mendapat perhatian oleh pemerintah. Politik dari pemerintahan sayangnya lebih berpihak
pada golongan tertentu saja, terutama dari mereka para penguasa. Maka dari itu pemerintahan
Orde Baru saat itu memiliki penilaian bahwa mereka tidak mampu untuk menciptakan
kehidupan masyarakat yang sesuai dengan adil dan makmur dasar dari Pancasila dan UUD
1945.67

Pada dasarnya untuk kebijakan dari penyederhanaan partai politik berlangsung juga pada
masa sistem pemberlakuan politik Demokrasi Pancasila. Yang mana di masa ini bisa dibilang
akibatnya hanya terdapat sembilan partai politik (PNI, NU, Parkindo, Partai Katolik, PSII,
IPKI, Perti, Partai Murba dan Parmusi) dan Golongan Karya (Golkar) saja. Berlanjut di
sekitaran tahun 1970, pemerintah mulai menghimbau agar kesembilan partai politik itu untuk
mengambil langkah-langkah nyata menuju ke arah penyederhanaan sistem kepartaian yang
telah ditentukan. Nah, atas dasar himbauan inilah maka di tahun 1971, di dalam kubu DPR
muncul sebuah kelompok yakni “Persatuan Pembangunan”. Mereka adalah organisasi
sekaligus sebuah wadah kerjasama bagi partai-partai NU, Parmusi, PSII dan Perti. Mereka
yang beraliran dari pihak “Islam”. Serta dari kemunculan kelompok partai “Demokrasi
Pembangunan”. Kelompok tersebut didapuk sebagai untuk tempat bernaung partai-partai

66
A. Gau Kadir. Op.cit. Hlm. 135
67
Arief Hidayat, Op.cit. hlm. 163
seperti PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI dan Partai Murba yang mana mereka beraliran
“nasional/demokrasi”.68

Belum lagi pada pemilihan umum anggota DPR pertama yang terselenggara di tahun
1971, tepatnya di bulan Mei pasca kampanye panas majalah berita dari Jakarta Tempo
disamakan dengan perang saudara. Kontestan utama yang maju dalam pemilihan umum
tersebut tidak lain adalah Golkar yang didukung Soeharto, Angkatan Bersenjata serta PPP
(Partai Persatuan Pembangunan). Suasana penuh ketegangan ini rupanya terus berlanjut
kurang lebih selama beberapa bulan hingga pasca Pemilu diadakan. Sempat di atas
permukaan ketegangan yang berlangsung ini juga tidak luput kehebohan kondisi dari pihak
lain, terutama antara kubu Muslim dan mahasiswa versus kubu Presiden dan Hankam.
Meskipun dipandang kurang menarik, namun kemungkinan jika terdapat pula indikasi
indikasi terutama perselisihan dalam kelompok elit utama. Namun akhirnya di penghujung
tahun perselisihan itu segera meningkat pesat.69 Kondisi tegang dari kelompok ini selanjutnya
masih melakukan fusi sampai tahun 1973 sehingga memunculkan keberadaan “Partai
Persatuan Pembangunan” atau PPP yang berikutnya menjadi fusi dari partai-partai politik
“Islam” dan “Partai Demokrasi Indonesia” atau PDI sebagai fusi dari partai-partai politik
nasional atau demokrasi.70

Terhitung sampai penghujung tahun 1973 Soeharto yang tampaknya masih menjadi
penguasa politik Indonesia. Meskipun di masa itu tergantung pada penentuan penerusan garis
utama kebijakan-kebijakan sebelumnya, rupanya masih tidak mampu mengisolasi dan
mengatasi lawan-lawannya yang ada. Perlu penjagaan dari keberpihakan konsensus luas
intra-militer, dan mengendalikan sektor sipil yang mana pasca kejadian komunis merajalela
di akhir Soekarno, dilakukannya ini yakni dengan cara koersi langsung relatif minim (Liddle,
1992:16). Berdasarkan faktor perkembangan partai politik tersebut dari sejak awal hingga
berakhirnya masa Orde Baru, kondisi nya berada pasang surut dalam masalah pembangunan
bangsa khususnya dalam bidang peningkatan mengenai partisipasi politik masyarakat ke
dalam segenap aspek kehidupan pembangunan nasional Indonesia di masa presiden Soeharto.
Ditunjukkannya dari kebijakan-kebijakan oleh Orde Baru terhadap partai politik menjadikan
seuluh partai politik merasa tidak mampu menjalankan fungsi mereka menuju demokratisasi
sesuai dengan fungsinya.71

68
Op.cit. Hlm. 135
69
Op.cit, hlm. 158
70
Op.cit, Hlm. 135
71
Op.cit. hlm 156
Dengan demikian maka di tampil tiga organisasi kekuatan sosial politik baru dari pihak
tertentu yakni PPP, Golkar dan PDI, Mereka dihadirkan sebagai infra baru dari struktur
sistem politik Demokrasi Pancasila era Orde Baru Soeharto. Kemunculan mereka telah juga
diatur dalam perundang-undangan maklumat No. 3/1975. Berisikan peraturan untuk Partai
Politik dan Golongan Karya inilah. Dan mereka dengan kekuatan sosial politik baru berada di
pihak PPP, PDI dan Golkar inilah yang berperan seakan memutari sistem politik Indonesia di
era Orde Baru. Dan kegunaan untuk semakin menyesuaikan perannya, maka ketiga organisasi
kekuatan politik mereka ini lantas semakin berkembang dengan melangkah berazaskan
Pancasila sebagai satu-satunya asas tunggal dalam sistem politik di Indonesia. Era orde baru
ini fungsi dan peranan partai politik hari demi hari. Hal ini antara lain disebabkan pula karena
penerapan kebijakan dari “sistem massa mengambang/floating mass”. Yang mana dalam hal
ini Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 memberikan pernyataan bahwa partai politik tidak
diperbolehkan membentuk kepengurusan baru di kecamatan dan desa. Tentunya hal-hal
seperti ini sangat tidak memungkinkan partai politik melakukan kegiatan politik di pedesaan.
Apalagi zona tersebut merupakan dimana sebagian besar rakyat Indonesia bermukim. Namun
partai Golkar saja yang bisa melalui jalur birokrasi pedesaan. Hingga mereka mampu
menampilkan diri bagaimana fungsi dan peranan dominan mereka. Meskipun demikian, tetap
saja memasuki era reformasi. Dimana arus demokratisasi deras membuat tuntutan
pembentukan partai politik baru juga berkembang.

Menengok kembali sekilas juga bagaimana proses penerapan demokratisasi di Indonesia,


masa itu ditandai dengan runtuhnya rezim orde baru. Dalam hal ini yang kemudian mulai
tergantikan oleh keberadaan dari masa reformasi, hasil baru dari sistem demokrasi. Reformasi
politik di tahun 1998 ini yang kemudian membalikkan kembali situasi politik dan sukses
mempengaruhi konstelasi keberadaan partai politik di Indonesia. Mencuat nya orde baru,
lantas akan otomatis mengembalikan sistem kepartaian di Indonesia. Masa di mana sistem
dwipartai yang diisi oleh PDI (Partai Demokrasi Indonesia) dan PPP (Partai Persatuan
Pembangunan), ditambah satu golongan karya sebagai mesin politik pendukung rezim.

Dalam sistem kepolitikan dan kepartaian seperti ini, kemenangan otomatis di dalam
pemilu selalu jatuh ke tangan Golkar. Seakan mereka mendominasi kemenangan telak
tersebut dan diraih oleh Golongan Karya atau yang biasa disebut Golkar. Dominasi ini bisa
terjadi apabila Golkar akan sepenuhnya berubah menjadi mesin politik utama dalam alat
mutlak pendukung rezim otoriter pimpinan Soeharto. Apalagi suporter dari Golkar ialah
kekuatan militer dan pejabat birokrasi, belum lagi para pegawai negeri sipil yang mana setiap
kali pemilu maka akan diarahkan untuk terus memilih Golkar.

Kejatuhan kepresidenan Soeharto serta rezim Orde baru sukses menjadi patron politik
milik Golkar. Akibatnya lantas organisasi politik terbesar Indonesia kala itu lantas kehilangan
pegangan dan haluan politiknya. Maka kemudian dari berbagai tekanan politik berusaha
mulai dialamatkan kepada Golkar. Apalagi terutama karena Golkar dianggap sebagai
penyebab dari seluruh faktor utama krisis moneter. Yang kemudian dalam hal ini lantas
memunculkan banyak prediksi dari berbagai pihak dan kalangan baik politisi maupun oleh
mereka ahli politik. Pendapat jika Golkar kemudian tidak akan mampu bertahan hidup dalam
masa pasca orde lama yakni reformasi. Semua orang mengatakan Golkar akan segera
menyusul runtuhnya kekuasaan Soeharto dengan rezim Orde Baru sukses mereka.
Kemunculan dari penentangan dan anjuran agar Golkar lebih cepat dibubarkan datang
bertubi-tubi oleh semua kalangan baik dari kalangan politisi dari partai yang berseberangan
dengan partai Golkar maupun dari masyarakat Indonesia. Inilah yang membuat citra yang
melekat pada partai Golkar tidak lain hanya sebagai organisasi dan alat/mesin politik
pendukung untuk rezim orde baru. Masa di mana orde baru dianggap selalu menyebar teror
ke dalam setiap pemilihan umum, ini berupaya agar masyarakat memilihnya. Dan karena
seluruh faktor tersebut lah yang semakin mendukung semua prediksi dan asumsi agar Golkar
segera diturunkan dari deretan partai politik era reformasi.72

Sayang sekali, meskipun semua tuntutan kondisi dari prediksi, tekanan, dan penentangan
terhadap Golkar ini sia-sia dan seolah hanya menjadi pepesan kosong. Hal ini dikarena
kemudian Golkar masih tetap bisa bertransformasi menjadi Partai Golkar untuk mengikuti
pemilihan umum di tahun 1999 era reformasi. Mereka masih berhasil bahkan mereka sukses
dengan suara terbanyak kedua setelah PDIP yang saat itu dipimpin oleh Megawati. Hingga
ketika itu kemunculan baru PDIP yang mana mereka memberikan vibes sebagai partai yang
menjadi simbol partai politik demokratis dan memimpin reformasi sebagai manifesto
perlawanan terhadap orde baru bersama Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipimpin
Amien Rais, juga Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dipimpin oleh KH. Abdurrahman
Wahid.73

72
Muhammad Ridha. “Dilema Pelembagaan Partai Golongan Karya (Golkar) di Tingkat Lokal:
Fenomena Politik Klan”. CosmoGov: Jurnal Ilmu Pemerintahan, (2016), 2(1), hlm. 174-175.
73
Ibid
Setelah menyikapi tuntutan-tuntutan yang ditujukan untuk mereka, maka Undang-Undang
No. 2 tahun 1999 berisi peraturan mengenai partai politik memberikan peluang bagi seluruh
warga negara Republik Indonesia untuk membentuk partai politik disahkan. Hal ini juga
lantas dipandang sejalan dengan hubungannya dengan pasal 28 dalam Undang Undang Dasar
1945 tentang kebebasan berserikat dan berkumpul. Tumbuhnya keberadaan baru dari partai-
partai politik yang baru, menjadikan perkembangan intensif pada pemilu legislatif di tahun
1999. Yang mana waktu itu tampil 48 partai politik bersaing sengit, dan pemilu legislatif
tahun 2004 juga tampil 24 partai politik. Sayangnya partai politik peserta pemilu turun 50%
dari pemilu sebelumnya. Namun di masa pemilu legislatif tahun 2009 naik lagi hingga 38
partai politik peserta pemilu yang bersaing dan pemilu legislatif 2014 tampil 12 partai politik.
Dam nampaknya untuk penerapan sistem multi partai semakin memungkinkan jumlah partai
politik tidak stabil. Kondisi ini berubah menjadi keadaan yang mana partai politik baru bisa
saja muncul dari adanya berbagai tuntutan perubahan dalam lapisan masyarakat. Bisa
dibilang efek negatifnya justru memungkinkan proses politik berjalan kurang efisien dan
efektif.74

D. KEBIJAKAN EKONOMI LIBERAL ORDE BARU

Berawal dari rezim Orde Lama yang pertama kali memegang tampuk pemerintahan pada
periode 1959-1965, bisa dibilang memungkinkan pembalikan total dari seluruh sistem politik
yang berada di periode demokrasi parlementer di tahun 1955 sampai 1959. Hal itu lantas
mulai ditandai dengan kondisi perubahan baru dengan semakin menguatnya posisi dari kursi
lembaga kepresidenan. Hal ini justru memungkinkan kepemimpinan dari Presiden Sukarno
waktu itu berubah menjadi salah satu kekuatan politik utama di negara Indonesia. Meskipun
pada waktu itu beliau masih menamakannya sistem demokrasi terpimpin. Sayangnya bila di
lihat lagi, kata demokrasi itu dinilai tidak memiliki korelasi dengan penghormatan atas dasar
hak-hak asasi manusia. Apalagi ini terlihat dari bukti lawan-lawan politiknya yang tidak
sesuai dengan kebijaksanaannya akan langsung disingkirkan.75

Di pihak lain muncul dua kekuatan politik baru yang saat itu di luar dari lembaga
kepresidenan, yakni pertama, PKI atau Partai Komunis Indonesia. Yang mana mereka
sebelumnya hanya memiliki peranan sebagai kekuatan politik oposisi dan kemudian tiba-tiba
bisa masuk ke dalam lembaga-lembaga kenegaraan politik. Hal itu lantas diperkirakan

74
A. Gau Kadir. Op.cit. Hlm. 135
75
Budi Rajab. “Negara Orde Baru: Berdiri di Atas Sistem Ekonomi dan Politik yang Rapuh.” Dalam
jurnal Sosiohumaniora, (2004), 6(3), hlm. 187
mungkinkan karena Presiden Sukarno yang saat itu dalam mewujudkan agenda politiknya
membutuhkan aliansi baru dari salah satu partai politik yang besar contohnya PKI ini. Aliansi
itu juga tidak disia-siakan, apalagi karena ini berarti juga merupakan suatu peluang untuk
memperluas basis dan jaringan politik PKI. Kedua, alasannya yakni karena Angkatan Darat
juga muncul sebagai kekuatan politik yang semakin menonjol dan kuat. Terutama sejak
negara mulai diberlakukan dalam keadaan darurat di pertengahan sekitar tahun 1950-an
sebagai adanya konflik berbagai gerakan separatisme di berbagai daerah saat itu.

Tercatat dari sejak awal bila Angkatan Darat telah mengamati bahwa PKI sendiri
merupakan ancaman potensial yang kelak dapat membahayakan negara kesatuan dan ideologi
negara. Maka dari itu Angkatan Darat mendorong semakin terbentuk berbagai organisasi
massa berbentuk fungsional atau bisa dibilang mereka mendukung organisasi-organisasi
kemasyarakatan dan keagamaan demi menahan aksi-aksi yang dilakukan oleh Partai
Komunis Indonesia tersebut. Dengan demikian, maka akan sangat terlihat di dalam peta
politik yang berjalan di masa rezim Orde Lama akan selalu dicirikan dengan terjadinya tarik-
ulur yang sangat kuat antara ketiga kekuatan politik yang utama. Kekuatan politik itu
tentunya adalah dari pihak Presiden Sukarno, PKI, dan Angkatan Darat (Crouch, 1982: 21-
24).76

Dari melihat pandangan kondisi yang begitu buruk semasa rezim Orde Lama tersebut,
lantas menjadikan rezim Orde lama mulai akhir dekade 1960-an mulai mampu melakukan
pemulihan (recovery) ekonomi secara luar biasa cepatnya. Langkah yang dilakukan yakni
pertama-tama terwujud adalah semakin tajamnya penurunan inflasi lalu mulai meningkatnya
angka pertumbuhan (Prawiro, 1998: 33-35). Dalam kaitannya ini untuk penanganan inflasi di
sekitaran tahun 1966- 1968, bisa dibilang jika Indonesia mulai memperoleh julukan sebagai
salah satu negara pengendali angka inflasi paling efektif sepanjang abad ke 20 (Hill, 1996: 4).
Dan pasca lebih dari satu dasawarsa berlangsung mereka melaksanakan pembangunan
ekonomi, negara Indonesia kemudian mulai dikategorikan sebagai salah satu pemilik dari
kisah sukses sejumlah negara Asia yang mana berhasil dalam pertumbuhan ekonominya. Dan
pada sekitar awal tahun 1990-an, melanjutkan keberhasilan nya Indonesia kembali dengan
memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dan menjadikan Indonesia masuk ke dalam
klasifikasi dari sekian di antara kelompok negara berkembang pada waktu itu yang segera
akan menjadi negara industri baru atau biasanya di juluki newly industrialized country. Ini

76
Ibid
mengikuti jejak negara-negara sebelumnya yang berada di Asia lainnya, seperti Taiwan,
Korea Selatan, Singapura, dan Hongkong (Hill, 1996: 5).

Sayang nya di tiga puluh tahun kemudian, justu kelangsungan dari pertumbuhan ekonomi
Indonesia perlahan mulai mengalami krisis dan stagnasi. Serta diperkirakan menuju ke
kebangkrutan. Letupan awalnya yakni timbulnya permasalahan depresiasi kala itu,
menyebabkan menurunnya kurs rupiah sebagai mata uang asing, Demikian lantas menjadi
permasalahan pertama Indonesia mulai terseret dan bersangkut-paut dengan krisis moneter. 77
Padahal sejak awal perjalanan pembangunan ekonomi Indonesia di era kemerdekaan sudah
mengalami pasang surut. Dan berlanjut di antara tahun 1945-1966, masa yang merupakan
transisi perekonomian Indonesia karena sebagian besar kegiatan domestik saat itu dibebani
oleh krisis politik yang seakan tanpa akhir. Dan berkat sistem ekonomi yang diterapkan pada
saat itu turut serta menyebabkan kiblat dari kesistem ekonomi menjadi sosialis. Dan ini
dilakukan dengan cara yang begitu dominannya peranan pihak pemerintah melalui BUMN-
BMUN mulai bekerja tidak efisien. Puncaknya sangat terlihat di tahun 1966, ekonomi
Indonesia sudah tergolong ambruk dan itu telah ditandai dengan angka tinggi inflasi nyaris
tanpa batas sekitaran 650%. Di tahun itu turut tercatat pengangguran terlalu banyak hingga
tak terbendung, serta kemiskinan kian bertambah. Setelah itu terjadi perubahan tampuk
kepemimpinan kepresidenan, yang mana massa itu disebut masa Orde Baru. Kehadiran baru
itu mulai menata ekonomi mulai sedikit demi sedikit dengan hasil capaian yang lumayan,
Contohnya bahkan investasi mulai bergulir dan pengangguran dapat ditekan. Hanya saja di
tahun sekitaran 1974 tiba-tiba meletus peristiwa Malari. Peristiwa tersebut hadir karena
pemantik dari sentimen investasi asing terlebih lagi itu berasal dari Jepang. Keadaan ekonomi
di tahun 1981 atau 1982 mengalami chaos kembali imbas dari krisis minyak. Ini adalah saat
dimana harga minyak anjlok drastis hingga menjadi sekitar 9 dolar AS/barel, padahal bila
ditinjau 70-80% penerimaan negara saat itu tergantung dari minyak.78

Suhu politik pada awal tahun 1960-an semakin panas. Letupan konflik sporadis antar
ketiga kekuatan politik mulai muncul ke permukaan, dan pertentangan itu pada mulanya
banyak terjadi di daerah-daerah pedesaan (Lyon, 1984: 202-220). Memang polarisasi
pengelompokan sosial-politik masyarakat pada masa Orde Lama sangat tajam, setiap
kelompok menempatkan kelompok lain sebagai lawan. Riuh-rendahnya percaturan politik
yang ditandai dengan konflik tersembunyi sampai benturan terbuka di antara berbagai
77
Budi Rajab. Op.cit, hlm. 183.
78
Ida Bagus Gede Udiyana, dkk. (2008, January). Struktur dan Sistem Pembangunan Ekonomi
Indonesia Masa Orde Baru. In Forum Manajemen. Hlm. 41-42.
kekuatan politik di dalam lembaga kenegaraan dan institusi kemasyarakatan telah
mengakibatkan terabaikannya pembangunan ekonomi. Perekonomian Indonesia waktu itu
tidak menunjukkan adanya perkembangan, tingkat produktivitas dan pertumbuhan pada
berbagai sektor ekonomi sama sekali tidak ada, dan kebutuhan-kebutuhan konsumsi
masyarakat juga tidak bisa dipenuhi. Sementara itu, jumlah utang luar negeri meningkat,
demikian juga dengan inflasi. Mungkin keadaan perekonomian Indonesia yang buruk itu
dapat digambarkan dari hasil kajian Panglaykim dan Arndt, yang menyimpulkan bahwa
apabila Indonesia memenuhi semua kewajiban utang luar negeri, konsekuensinya tidak ada
lagi devisa yang tersisa untuk membiayai anggaran pembangunan rutin yang dibutuhkan.
Pada tahun 1965 inflasi naik mencapai 550%, bahkan tahun 1966 menjadi 650%. Era 1950-
an anggaran belanja negara mengalami defisit 10% sampai 30% dari total penerimaan dan
naik di tahun 1960-an menjadi lebih dari 100% (Hill, 1996: 2-3).79

Parahnya keadaan ekonomi Indonesia di masa Orde Lama itu bisa dilihat pula pada
pendapatan per kapita yang menurun sekitar 3,7% antara tahun 1961 dan 1965. Kalau
pendapatan per kapita itu diukur dengan dolar AS, nilai rupiah terhadap dolar AS merosot
dari Rp 186,67,- per dolar AS pada tahun 1961 menjadi Rp 14.083,- per dolar AS tahun 1965
(Prawiro, 2000: 11). Persoalan ekonomi yang dihadapi Indonesia itu adalah akibat dari
polarisasi masyarakat yang begitu jauh yang mengakibatkan hubungan-hubungan politik
menjadi disosiatif, serta berlebihannya kekuasaan politik mencampuri sektor ekonomi,
sehingga manajemen yang rasional tak dapat diterapkan. Utang luar negeri tidak mampu
dibayar, penerimaan ekspor jatuh ke tingkat yang hampir-hampir tidak dapat lagi mencukupi
kebutuhan minimum negara. Di samping itu, pada waktu itu Indonesia sedang mengadakan
konfrontasi dengan Malaysia serta upaya pembebasan Irian Barat. Biaya untuk konfrontasi
dengan Malaysia saja telah menyerap sekitar 19% dari total pengeluaran pemerintah pada
tahun 1965 sebagai tambahan atas anggaran rutin sektor pertahanan sebesar 21% (Hill, 1996:
2-3).80

Situasi politik pada pertengahan tahun 1965 semakin panas dan mulai menunjukkan
tanda-tanda akan terjadinya konflik terbuka, ditambah lagi dengan terjadinya krisis ekonomi
yang begitu dalam. Pada akhirnya memang konflik itu terjadi, dan dari ketiga kekuatan
politik utama itu Angkatan Darat dengan didukung oleh kelompok-kelompok agama dan
organisasi-organisasi politik dan sosial, para mahasiswa dan kaum intelektual yang anti

79
Budi Rajab. Op.cit, hlm. 188
80
Ibid
komunis dapat menguasai keadaan Indonesia yang sedang chaos. Partai Komunis Indonesia
dan organisasi massa pendukungnya dilumpuhkan dan kemudian diputuskan sebagai partai
terlarang. Demikian juga dengan Presiden Sukarno beserta lingkaran terdekatnya, meskipun
tidak diperlakukan seperti PKI, kekuatan politik dan pengaruhnya dieliminasi.81

Sejak itu perlahan-lahan pemerintah mulai menggeser beban kegiatan ekonomi ke sektor
swasta untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi, salah satunya lewat deregulasi perbankan yang
dikeluarkan sejak tahun 1983 (Pakjun 1983). Kebijakan ini memberikan keleluasaan kepada
bank domestik maupun asing untuk beroperasi dan membuka cabang di Indonesia. Langkah
pemerintah berdampak ekonomi tumbuh dengan cepat sehingga rata-rata setiap tahun
perekonomian tumbuh sekitar 7%. Pada saat itu pemerintah sudah menerapkan sistem
ekonomi kapitalis, konsep dasar kapitalisme adalah pemberian hak untuk individu (private
property right) yang seluas-luasnya sehingga mereka bisa melakukan kegiatan ekonomi,
peran negara sangat dibatasi dalam kegiatan ekonomi, semuanya diserahkan kepada individu
(private).. Tugas negara adalah menciptakan infrastruktur, rasa aman, melindungi pasar
(market) dan menciptakan kondisi adanya kepastian hukum.82

Pada periode awal Orde Baru timbul situasi ketidakpastian, keamanan tidak terjamin dan
kehidupan ekonomi terganggu, sepertinya tidak ada harapan lagi bagi Indonesia untuk meraih
kemajuan, apalagi bila perubahan tersebut diinginkan secara cepat. Digambarkan oleh Booth
dan McCawley (1990), pada masa itu tingkat produksi dan investasi di berbagai sektor
menunjukkan kemunduran semenjak tahun 1950. pendapatan riil per kapita dalam tahun 1966
sangat mungkin lebih rendah daripada tahun 1938. Sektor industri menyumbangkan hanya
sekitar 10 % dari GDP dan dihadapkan pada masalah pengangguran kapasitas yang serius. Di
awal dasawarsa tersebut defisit anggaran belanja negara mencapai 50 % dari pengeluaran
total negara, penerimaan ekspor sangat menurun, dan selama tahun 1964 – 1966 hiperinflasi
melanda negara ini dengan akibat lumpuhnya perekonomian.83

Dari beberapa analisis yang dilakukan, setidaknya terdapat empat faktor penting yang
menyebabkan terjadinya kemunduran ekonomi pada masa awal Orde Baru. Pertama, tidak
adanya stabilitas politik. Kedua, orientasi dan prioritas dalam kebijaksanaan pemerintah yang
terlalu mengejar sasaran-sasaran politik dan idiil. Ketiga, hubungan dengan luar negeri,
khususnya negara-negara barat, juga tidak terlalu baik, oleh karena mereka ini tidak

81
Ibid, 188-189
82
Ibid
83
Ida Bagus Gede Udiyana, dkk. Op.ci,t hlm 46-47.
dipandang masuk dalam kubu ideologis yang sama. Hasilnya bantuan ekonomi luar negeri
lebih banyak dari Blok Timur, yang oleh berbagai kelemahan dalam perencanaan dan
pelaksanaannya jarang menghasilkan proyek-proyek yang layak dan produktif. Keempat,
kecenderungan ideologis pemerintah pada masa itu untuk mengatur ekonomi dengan campur
tangan langsung yang luas sekali (ekonomi terpimpin), misalnya untuk menentukan harga,
mengatur produksi dan impor dengan sistem lisensi, dan sebagainya (Sadli, 1987).84

Sukses Thatcer dan Reagan meraih tampuk kekuasaan pada akhir 1970-an menghantarkan
neoliberalisme ke permukaan, sistem ekonomi ini dapat pula dikatakan sebagai revitalisasi
liberalisme ekonomi klasik setelah keterpurukannya dalam Great Depression tahun 1930-
an.25 Dalam neoliberalisme, manusia ditempatkan sebagai homo economicus, artinya setiap
aktivitas yang dilakukannya selalu dalam kerangka finansial. Sebagai contoh, seorang guru
yang mengajar muridnya dapat dikatakan sedang mengakumulasi modal, begitu juga dengan
seorang pemuka agama yang berceramah di depan umatnya dapat pula dikatakan sedang
mengakumulasi modal, dll. Konstelasi ekonomi internasional yang demikian tampaknya
berimplikasi pula pada pemerintahan Orde Baru, sejak tahun 1982-di mana resesi ekonomi
terjadi akibat jatuhnya harga minyak sekaligus mengakhiri periode oil boom, liberalisme
ekonomi menjadi kebijakan Orde Baru yang lebih tampak kemudian.85

Sistem ekonomi kapitalis adalah sistem perekonomian yang memberikan kebebasan


secara penuh kepada setiap orang untuk melaksanakan kegiatan perekonomian seperti
memproduksi barang, menjual barang, menyalurkan barang dan lain sebagainya. Dalam
sistem ini pemerintah bisa turut ambil bagian untuk memastikan kelancaran dan
keberlangsungan kegiatan perekonomian yang berjalan, tetapi bisa juga pemerintah tidak ikut
campur dalam ekonomi. Dalam perekonomian kapitalis setiap warga dapat mengatur
nasibnya sendiri sesuai dengan kemampuannya. Semua orang bebas bersaing dalam bisnis
untuk memperoleh laba sebesar-besarnya. Semua orang bebas melakukan kompetisi untuk
memenangkan persaingan
bebas dengan berbagai cara. Dalam berbagai paparan teoritis, kolonialisme, imperialisme,
kapitalisme, dan globalisasi merupakan fenomena-fenomena yang terkait.86

84
Ibid, hlm. 47
85
Wahyu Budi Nugroho. “Konstelasi Ekonomi, Sosial Dan Politik Di Era Orde Baru”. Dalam makalah
disampaikan dalam peringatan 19 tahun Reformasi yang diselenggarapan oleh BEM-PM. UniversitasUdayana,
Fakuktas Ekonomi dan Bisnis pada 27-28 Mei 2017. Hlm, 6-7
86
Radlyah Hasan Yan. “Eksistensi Sistem Ekonomi Kapitalis Di Indonesia”. Dalam Jurnal Ilmiah Al-
Syir'ah, (2016), 8(1). Hlm 1-2.
Imperialisme berarti politik untuk menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk
kepentingan diri sendiri yang dibentuk sebagai imperium. Menguasai disini tidak berarti
merebut dengan kekuasaan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan ekonomi, kultur,
agama, dan ideologi, asalkan dengan paksaan. Dalam definisi lain, imperialisme dikatakan
sebagai upaya perluasan dengan paksaan wilayah satu negara dengan melakukan penaklukan
teritorial yang menjadi dasar pembentukan dominasi politik dan ekonomi terhadap negara-
negara lain yang bukan merupakan koloninya.87 Untuk memahami apakah sebuah negara itu
bercorak kapitalisme ataukah sebaliknya yaitu sosialisme, maka indikator yang paling mudah
untuk digunakan adalah dengan melihat seberapa besar pihak-pihak yang menguasai sektor
ekonominya. Jika sektor-sektor ekonomi lebih banyak dikuasai oleh swasta, maka negara
tersebut cenderung bercorak kapitalisme dan sebaliknya, jika ekonomi lebih banyak
dikendalikan oleh negara, maka lebih bercorak sosialisme. Dengan menggunakan tolok ukur
diatas, kita dapat menelusuri sejauh mana cengkeraman kapitalisme telah menjalar ke
Indonesia. Sesungguhnya jejak kapitalisme di Indonesia dapat ditelusuri ketika Indonesia
mulai memasuki era pemerintahan Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru dimulai sejak Bulan
Maret 1966. Orientasi pemerintahan Orba sangat bertolak belakang dengan era sebelumnya.88

Kebijakan Orba lebih berpihak kepada Barat dan menjauhi ideologi sosialis. Dengan
membaiknya politik Indonesia dengan negara-negara Barat, maka arus modal asing mulai
masuk ke Indonesia, khususnya PMA (Penanaman Modal Asing) dan utang luar negeri mulai
meningkat. Menjelang awal tahun 1970-an atas kerja sama dengan Bank Dunia, Dana
Moneter Internasional (IMF), Bank Pembangunan Asia (ADB) dibentuk suatu konsorsium
Inter-Government Group on Indonesia (IGGI) yang terdiri atas sejumlah negara industri maju
termasuk Jepang untuk membiayai pembangunan di Indonesia. Saat itulah Indonesia
dianggap telah menggeser sistem ekonominya dari sosialisme lebih ke arah semi kapitalisme
(Tambunan, 1998). Memasuki periode akhir 1980-an dan awal 1990-an sistem ekonomi di
Indonesia terus mengalami pergeseran. Menilik kebijakan yang banyak ditempuh pemerintah,
kita dapat menilai bahwa ada sebuah mainstream sistem ekonomi telah dipilih atau telah
‘dipaksakan’ kepada negara kita.89

Dalam sektor pertanian, liberalisasi tampak pada kebijakan investasi asing Orde Baru
dalam hal pupuk kimia dan pestisida. Revolusi Hijau yang dilakukan Orde Baru sejak 1970-
an memang menghantarkan Indonesia pada negara swasembada beras, namun ada harga
87
Ibid, hlm. 2
88
Loc.cit. hlm. 14-13
89
Ibid
mahal yang harus dibayar setelahnya. Ketergantungan sektor pertanian pada basis teknologi
revolusi industri berupa pupuk kimia dan pestisida menjadi momok kemudian. Tahun 1995,
kebijakan pemerintah mengurangi subsidi sektor pertanian membuat petani kian merana,
terlebih kebijakan Orde Baru yang meliberalisasi perdagangan akibat tekanan WTO.
Kebijakan tersebut mengakibatkan masuknya investasi asing dalam bidang pertanian, pada
akhirnya sektor pupuk kimia dan pestisida dikuasai oleh korporasi transnasional raksasa
seperti Monsanto dan Syngenta. Dampaknya kemudian, petani dirugikan akibat patokan
harga yang terlalu tinggi dari perusahaan-perusahaan raksasa tersebut.

Liberalisasi ekonomi tampak pula dalam kebijakan pemerintah terhadap tepung terigu
melalui Surat Keputusan Menteri Keuangan No.81 Tahun 1992 yang memberi kewenangan
mutlak bagi PT Bogasari Flour Mills untuk mengimpor dan menggiling tepung terigu dalam
negeri. Melalui kebijakan tersebut praktis PT Bogasari Flour Mills yang dimiliki Liem Sio
Liong dan Sudwikatmono menguasai mayoritas tata niaga tepung terigu atau dengan kata lain
telah memegang monopoli atas komoditas tersebut. Tidak hanya itu, PT Bogasari Flour Mills
juga memiliki kekuatan melakukan diversifikasi pada industri hilir yakni produksi makanan
cepat saji dan makanan kecil dengan bahan baku tepung terigu melalui PT Indofood Sukses
Makmur. Akibat penguasaan industri hulu hingga hilir tersebut, harga terigu dan produk
turunannya yang kemudian ditetapkan dengan semena-mena pada akhirnya merugikan akses
masyarakat terhadap komoditas pangan tersebut.90

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tersebut disokong oleh beberapa praktik negatif
berikut (Ahmad E.Y, 2007):

1. Pertama deregulasi perbankan tidak dibarengi dengan instrumen pengawasan dan


penegakan regulasi (law enforcement). Akibatnya banyak perbankan beroperasi
secara tidak hati- hati (imprudent), seperti pelanggaran legal lending limit (LLL).
2. Kedua, dunia bisnis di Indonesia tumbuh karena proteksi yang berlebihan dari
pemerintah baik, dalam bentuk fasilitas monopoli, kartel, konsesi, tata niaga, dan lain-
lain. Implikasinya, daya saingnya sangat rapuh sehingga ketika dihadapkan dengan
kompetisi terbuka (dalam pasar international) korporasi tersebut langsung ambruk..
3. Ketiga, tanpa disadari pula dunia korporasi Indonesia sangat tergantung dari bahan
baku impor serta struktur keuangan yang lebih besar utang ketimbang asetnya

90
Wahyu Budi Nugroho. Op.cit. Hlm, 7-8
(khususnya dari utang luar negeri). Hasilnya begitu utang jatuh tempo perusahaan
tidak mampu membayar.91

Berdasarkan situasi dan kondisi tersebut diatas dampak langsung adalah jatuhnya nilai
tukar rupiah. Begitu mata uang rupiah ambruk, sektor swasta maupun pemerintah betul-betul
tidak berdaya sehingga menimbulkan krisis moneter, kemudian berubah menjadi krisis
ekonomi/politik yang sungguh tidak gampang ditanggulangi. Jika pada periode-periode
sebelumnya setiap goncangan ekonomi relatif lebih mudah untuk dipulihkan, maka krisis
tahun 1997 memerlukan waktu yang cukup panjang untuk merekonstruksi. Sekian banyak
alternatif pemecahan ekonomi politik sudah disusun, misalnya desentralisasi ekonomi,
perbaikan iklim usaha, tata kelola pemerintahan, independensi bank sentral, dan efisiensi
BUMN; namun hasilnya tetap kurang menggembirakan hingga kini.92

Setelah 10 tahun pasca krisis ekonomi kondisi tetap belum banyak berubah. Misalnya,
angka kemiskinan meningkat, memburuknya jumlah pengangguran (tercatat sampai tahun
2006 pengangguran terbuka dan setengah menganggur mencapai 40 juta jiwa), sektor
pertanian yang semakin tidak terawat, dan ludesnya kekayaan Sumber Daya Alam (SDA)
akibat proses eksploitasi yang tidak terukur, jadi tampak figur krisis ekonomi kali ini jauh
dahsyat dan dramatis dibandingkan dengan krisis-krisis (ekonomi) sebelumnya, sehingga
penanganannya juga menjadi sangat rumit (Ahmad E.Y, 2007).93

Dari berbagai keberhasilan pembangunan ekonomi yang berlangsung di bawah rezim


Orde Baru, bila ditelaah sebenarnya di dalamnya banyak menyimpan persoalan kritis.
Persoalan-persoalan itu muncul dari konsep dan kebijaksanaan pembangunan itu sendiri,
bukan sekedar efek samping (side effect), yang sampai pertengahan tahun 1990an terasa tidak
ada upaya sungguh-sungguh untuk mengoreksinya. Terutama dalam kaitannya dengan
sumber pembiayaan pembangunan ekonomi, sebenarnya sudah cukup lama para pakar dan
pengamat ekonomi dan politik, salah satunya begawan ekonomi Indonesia, Prof. DR.
Soemitro Djojohadikoesoemo, mengisyaratkan agar pemerintah Indonesia mulai mengurangi
ketergantungannya pada utang luar negeri. Alasannya, meskipun utang luar negeri itu
berbunga rendah dan berjangka panjang, serta pemerintah selalu menepati ketentuan waktu
pembayaran cicilan dan bunganya, bebannya begitu besar. Memang secara teoritis-normatif

91
Ida Bagus Gede Udiyana, dkk. Op.cit. Hlm, 42.
92
Ibid
93
Ibid, hlm. 42-43
utang luar negeri tersebut diperlakukan sebagai pelengkap dalam pembiayaan pembangunan
ekonomi.94

Namun demikian, terlepas dari ukuran kuantitatif berapa persen kontribusi utang luar
negeri pada anggaran pembangunan ekonomi, yang pasti sejak tahun 1966 secara kumulatif
utang luar negeri Indonesia terus bertambah besar, bukannya malah berkurang. Sampai tahun
1997 jumlahnya sudah mencapai di atas 100 milyar dolar AS. Dengan jumlah utang sebesar
itu, bersama-sama Brazil dan Meksiko, Indonesia menjadi negara dengan utang luar negeri
terbesar di dunia. Indikatornya adalah Debt Service Ratio (DSR) yang maksimalnya adalah
20%, tetapi DSR Indonesia sudah jauh di atas 30%. Ini berarti membengkaknya defisit
transaksi berjalan karena keharusan membayar cicilan dan bunga utang. Bila melihat pada
APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara), anggaran itu nampak berimbang, tetapi
sebenarnya secara keseluruhan, yaitu anggaran pembangunan digabung dengan anggaran
rutin, selalu defisit. Defisit inilah yang kemudian ditutup terus menerus dengan utang luar
negeri (Gie, 1998: 88).95

94
Budi Rajab. Op.cit. hlm. 193-194
95
Ibid, hlm. 194
BAB IV
KETATANEGARAAN PADA MASA REFORMASI
Reformasi Pada Masa Pemerintahan Presiden B. J. Habibie
Krisis moteter yang terus terjadi di Indonesia sejak 1997 menjadi latarbelakang
mundurnya Presiden Soeharto setelah memerintah Indonesia dari tahun 1966 hingga 1998.
Pada saat terjadinya krisis moneter, kondisi perekonomian Indonesia sangat terpuruk serta
melemah sehingga membuat masyarakat Indonesia merasakan ketidakpuasan. Ketidakpuasan
tersebut yang membuat munculnya demonstrasi besar-besaran di Indonesia yang dilakukan
oleh berbagai kalangan dengan mayoritasnya adalah mahasiswa di berbagai wilayah
Indonesia. Berbagai kerusuhan terjadi pada saat itu, tidak hanya di pusat saja, tetapi hampir di
setiap daerah. Akibatnya, pemerintahan orde baru dibawah kepemimpinan presiden Soeharto
pada saat itu mendapatkan banyak tekanan politik baik dari dalam maupun luar negeri.96
Tekanan dari luar negri sendiri contohnya adalah, pemerintah Amerika Serikat yang secara
terbuka meminta agar presiden Soeharto mengundurkan diri atas jabatannya sebagai presiden
agar keadaan serta kericuhan yang terjadi tidak berlangsung lama. Saat presiden Soeharto
sudah terdesak akan tekanan dari masa demonstran, akhirnya Presiden Soeharto
mengundurkan diri dari jabatan Presiden secara resmi pada 21 Mei 1998 di Istana Merdeka
setelah 32 tahun berkuasa. Sejak saat itu, maka kepemimpinan presiden beralih ke tangan B. J
Habibie yang sebelumnya merupakan wakil presiden Soeharto yang naik pada 14 Maret
1998. Beliau resmi menggantikan Soeharto sebagai presiden Republik Indonesia pada tanggal
21 Mei 1998.

Reformasi merupakan suatu gerakan yang menginginkan agar diadakannya sebuah


perubahan dalam kehidupan masyarakat, bangsa, serta negara ke arah yang lebih baik lagi
kedepannya secara konstitusional. Reformasi dimaknai sebagai suatu perubahan sosial yang
digagas oleh berbagai pihak. Gerakan reformasi berkenaan dengan seluruh aspek kehidupan
96
A. Makmur Makkka, Ilmu Pengetahuan,Teknologi dan Pembangunan Bangsa. Menuju Dimensi Baru
Pembangunan Indonesia (Jakarta : Cidesindo, 1995) hlm. 58
yang berlangsung secara perlahan atau dengan jangka Panjang yang alami yang artinya tidak
dengan sengaja dipercepat dengan rencana yang kurang tepat atau kurang matang. Reformasi
tersebut diprakarsai serta digerakkan secara langsung oleh setiap elemen masyarakat untuk
melakukan berbagai perubahan di dalam aspek kehidupan masyarakat secara mendasar.

Naiknya B. J. Habibie menjadi presiden Indonesia, merupakan titik awal lahirnya


reformasi di Indonesia sebagaimana tuntutan dari setiap lapisan masyarakat pada saat
pemerintahan presiden Soeharto. Gerakan reformasi tersebut mampu menumbangkan rezin
Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun berkuasa. Tujuan dari adanya
tuntukan reformasi tersebut antara lain adalah menuntut turunya harga-harga bahan pokok
yang melambung tinggi sejak bulan Juli 1997, menuntut MPR agar tidak kembali
mencalonkan Soeharto sebagai presiden Indonesia untuk yang ketujuh kalinya, menjelang
lengsernya Soeharto, para pejabat membuat perjanjian secara simbolik serta beberapa
langkah kebijakan pada ekonomi demi mengatasi keadaan dan membertahankan kekuasaan.97
Setelah terlaksananya tuntutan-tuntutan tersebut, masyarakat dapat menyampaikan segala
pendapatnya secara bebas, karena Presiden B. J. Habibie memberikan ruang bagi siapa saja
yang ingin menyampaikan pendapat, baik secara demonstrasi maupun rapat umum. Akan
tetapi, jika seorang mahasiswa yang ingin berdemonstrasi diharuskan untuk mendapatkan izin
dari pihak kepolisian serta menentukan dimana lokasi yang akan dipakai untuk unjuk rasa.
Hal tersebut mengacu pada UU No. 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Republik Indonesia.
Selain bebas menyampaikan pendapat, peran ABRI di DPR juga dikurangi secara bertahap
dari 75 menjadi 38 serta dulunya ABRI terdiri dari empat Angkatan yaitu Angkatan Laut,
Angkatan Darat, Angkatan Udara, dan Kepolisian pada tanggal 5 Mei 1999 polri memisahkan
diri dengan nama Kepolisian Negara lalu ABRI berubah nama menjadi TNI.

B.J. Habibie melakukan beberapa langkah perubahan seperti liberalisasi partai politik,
kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan undang-undang subversi. Meski
begitu, B.J. Habibie sempat ingin meloloskan UU Pertolongan Darurat, namun urung
dilakukan karena tekanan politik yang kuat dan tragedi Semanggi II yang menewaskan
mahasiswa UI Yun Hap. Peristiwa penting selama pemerintahan B.J. Habibie adalah
keputusannya untuk mengizinkan Timor Timur mengadakan referendum yang berpuncak
pada pemisahan wilayah dari Indonesia pada bulan Oktober 1999. Keputusan ini tidak
populer di mata publik, sehingga ayah B.J. Habibie yang berkuasa pun sering dianggap

97
Edward Aspinall, dkk, Titik Tolak Reformasi Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. (Yogyakarta : LKIS,
2000) hlm 37
sebagai salah satu tokoh kelam dalam sejarah Indonesia. Presiden Habibie langsung
membentuk kabinet. Salah satu tugas penting adalah memenangkan dukungan Dana Moneter
Internasional dan komunitas donor untuk rencana pemulihan ekonomi. Dia juga
membebaskan para tahanan politik dan mengurangi kontrol pada kebebasan berpendapat dan
kegiatan organisasi.

B.J. Habibie melakukan beberapa langkah perubahan seperti liberalisasi partai politik,
kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan undang-undang subversi. Meski
begitu, B.J. Habibie sempat ingin meloloskan UU Pertolongan Darurat, namun urung
dilakukan karena tekanan politik yang kuat dan tragedi Semanggi II yang menewaskan
mahasiswa UI Yun Hap. Peristiwa penting selama pemerintahan B.J. Habibie adalah
keputusannya untuk mengizinkan Timor Timur mengadakan referendum yang berpuncak
pada pemisahan wilayah dari Indonesia pada bulan Oktober 1999. Keputusan ini tidak
populer di mata publik, sehingga ayah B.J. Habibie yang berkuasa pun sering dianggap
sebagai salah satu tokoh kelam dalam sejarah Indonesia. Presiden Habibie langsung
membentuk kabinet. Salah satu tugas penting adalah mendapatkan kembali dukungan IMF
dan komunitas donor untuk rencana pemulihan ekonomi. Dia juga membebaskan tahanan
politik dan mengurangi kontrol atas kebebasan berbicara dan berorganisasi. Meski hasil
pemilu 1999 tertunda, secara umum proses pemilu multipartai pertama di era reformasi
adalah langsung, terbuka, bebas dan rahasia (banjir), adil, dan bersih dibandingkan dengan
era orde baru. Tidak sedikit terlihat tanda-tanda masyarakat menolak hasil pemilu karena
berlangsung dengan aman. Realitas ini menunjukkan bahwa yang tidak mau mengaku kalah
hanyalah mereka yang tidak siap berdemokrasi.Ini hanya ekspresi sebagian elit politik, bukan
rakyat.

Pidato pertama Presiden B. J Habibie pada tanggal 21 Mei 1998 pada saat beliau
dilantik secara resmi menjadi presiden, disiarkan langsung dari Istana Merdeka melalui TVRI
dan RRI. Habibie menyatakan tekadnya untuk melaksanakan reformasi sesuai dengan
keinginan dari masyarakat Indonesia pada saat itu. Pidatonya dapat dikatakan sebagai visi
dari kepemimpinannya sebagai presiden serta tanggung jawab dalam melaksanakan reformasi
secara cepat dan tepat. Beberapa poin penting dari pidato Presiden B. J. Habibie adalah
menyiapkan proses reformasi dalam tiga bidang, yaitu memperbarui berbagai perundang-
undangan dalam rangka untuk meningkatkan kualitas kehidupan perpolitikan yang bernuansa
PEMILU sebagaimana yang menjadi amanat oleh GHBN (bidang politik,), meninjau kembali
undang-undang subvensi (bidang hukum), serta mempercepat penyelesaian undang-undang
yang menghilangkan segala pratik monopoli dan persaingan yang buruk (bidang ekonomi).
Saat menjadi seorang presiden, Habibie mempercayai bahwa terdapat tiga faktor yang utama
dan terpenting mengenai pendekatan Indoensia terhadap urusan Internasional. Ketiga faktor
tersebut antara lain adalah, kebutuan untuk memaknai bahwa kebangkitan bangsa sudah
terjadi, tidak ada jalan keluar dari fakta bahwa ada perhatian besar bagi HAM serta nilai-
nilainya yang menjadi tanggung jawab integral rakyat Indonesia, serta padangan bahwa umat
manusia berada pada posisi untuk mengendalikan serta mengembangkan aspek fisik serta
nonfisik dari kekuasaan.

Pemikiran B. J. Habibie dalam hal politik menuai berbagai pro kontra, pertama beliau
merevisi mengenai kebijakan yang telah final yaitu status Timor Timur yang merupakan
milik dan bagian dari Republik Indonesia. Menurutnya Timor Timur tidak bisa hanya
ditentukan oleh Jakarta saja, tetapi oleh seluruh rakyat di tanah Loro Sae. Maka dari itu,
diberikannya dua opsi. Apabila otonomi luas yang ditawarkan oleh pusat tidak diterima oleh
masyarakat Timor Timur, maka opsi kedua harus dipilih yaitu negara harus melepaskan
Timor Timur dari RI. Selai itu, B. J. Habibie sangat memahami segala aspirasi masyarakat
dalam menyuarakan pemilihan presiden secara langsung, yang artinya jika seluruh
masyarakat Indonesia menghendaki, maka beliau akan mendukung segala ketentuan tersebut
agar dibicarakan secara tuntas termasuk mengamandemen batang tubuh dalam UUD 1945
mengenai pemilihan Presiden serta Wakil Presiden oleh MPR atau Majelis Permusyawaratan
Rakyat.

Setelah dilantiknya Presiden Habibie, Kabinet Reformasi berhasil dibentuk setelah


sehari beliau menjadi seorang presiden. Kabinet Reformasi pembangunan terdiri dari 36
Mentri yang menjadi bangian cabinet tersebut, diantaranya adalah 4 Menteri Negara yang
bertugas sebagai Menteru Koordinato, 20 Menteri Negara yang bertugas memimpin
Departemen, serta 12 Menteri Negara yang memiliki tugas memimpin hal-hal tertentu. Di
dalam Kabinet Reformasi Pembangunan yang terbentuk tersebut, terdapat 20 orang yang
semula merupakan Menteri dari cabinet pembangunan era presiden Soeharto. Kabinet era
reformasi yang dibentuk dibawah kepemimpinan Presiden Habibie terdiri dari beberapa
elemen kekuatan politik dalam masyarakat, seperti partai politik (PPP, Golkar, serta PDI),
ABRI, golongan intelektual dari perguruan tinggi, unsur daerah, serta Lembaga swadaya ,
masyarakat.
Sidang pertama Kabinet Reformasi Pembangunan pada 25 Mei 1998, Presiden
Habibie memberikan arahan bagi penmerintah untuk mengatasi krisis ekonomi menggunakan
dua sasaran pokok, yaitu penyediaan bahan makanan pokok bagi masyarakat dan berputarnya
kembali roda perekonomian masyarakat. Kabinet Reformasi Pembangunan memiliki fokus
perhatian akan peningkatan kualitas, produktivitas, dan daya saing ekonomi masyarakat. Hal
tersebut dilakukan dengan meberikan kesempatan kepada perusahaan kecil, menengah, serta
koperasi karena dianggap mampu bertahan dalam menghadapi krisis. Pada saat siding
pertama tersebut, presiden juga memerintahkan agar departemen-departemen secepatnya
untuk mengambil langkah dalam persiapan dan pelaksanaan reformasi, khusunya dibidang
politik, ekonomi, dan hukum. Perangkat perundang-undangan harus diperbaharui, seperti
pemilu, UU mengenai pemerintahan partai politik dan Golkar, UU mengenai susunan dan
kedudukan DPR, MPR, dan DPRD, serta UU mengenai Pemerintahan Daerah. Banyak dan
kuatnya tuntutan atas reformasi politik, berbagai kalangan menuntut adanya amandemen
UUD 1945. Tuntutan tersebut mengenai pemikiran bahwa adanya sumber permasalahan pada
pemerintahan selama ini ada pada UUD 1945. Hal tersebut karena dalam UUD 1945 sangat
memberikan kekuasaan penuh dan sangat besar kepada seorang Presiden, tidak adanya Check
and balances system, sangat fleksibel, sehingga membuat pelaksanaannya banyak disalah
gunakan oleh oknum, pengaturan Hak Asasi Manusia yang sangat minim serta kurangnya
peraturan yang membahas mengenai mekanisme pemilu dan demokrasi.
Sesuai dengan adanya Tap MPR No. X/MPR/1998, Kabinet Reformasi Pembangunan
berupaya dalam melaksanakan berbagai agenda politik. Salah satu upaya yang telah
dilakukan adalah merubah budaya politik yang sebelumnya telah diwariskan oleh
pemerintahan pada masa orde lama, seperti pemusatan kekuasaan, terbatasnya partisipasi
politik oleh masyarakat, pemusatan kekuasaan, pelanggaran prinsip-prinsip demokrasi,
terabaikannya nilai-nilai Hak Asasi Manusia. Lalu hal yang dilakukan dalam mengatasi hal
tersebut di era reformasi adalah
1. Dilakukannya otonomi daerah yang bersifat demokratis dan semakin luas dengan
menerapkan keijakan desentralisasi, otonomi daerah, dan berbagai perimbangan
keuangan antara pusat dengan daerah. Hal tersebut diharapkan mampu meminimalisir
ancaman disintegrasi bangsa. Otonomi daerah tersebut ditetaplan pada ketetapan MPR
No XV/MPR/1998.
2. Pencabutan pembatasan dalam bidang partai politik yang sebelumnya sangat terbatas
demi kebebasan berpolitik. Dari adanya kebijakan tersebut, pada bulan Oktober 1998
sudah ada kurang lebih 80 partai politik yang terbentuk. Bahkan menjelang pemilihan
umum tahun 1998, sebanyak 141 partai tercatat sudah terdaftar. Akan tetapi, setelah
diadakannya verifikasi oleh komisi pemilihan umum, ada sebanyak 95 partai dan yang
lolos hanya 48 partai yang dan berhak mengikuti pemilihan umum. Dalam hal
perpolitikan, pemerintah juga menghapus larangan mengeluarkan pendapat,
berserikat, serta mengadakan rapat umum demi kebebasan berpolitik. Media massa
cetak juga diberikan kebebasan dengan pencabutan untuk meminta Surat Izin Terbit
(SIT), sehingga membuat media massa cetak tidak lagi merasa khawatir dibradel
melalui mekanisme pencabutan Surat Izin Terbit. Salah satu hal terpenting kebebasan
berpolitik ini adalah kebebasan dalam menyampaikan pendapat bagi pekerja media
massa dan dapat kebebasan dalam mendirikan organisasi-organisasi profesi, yang
sebelumnya pada masa orde lama mereka diharuskan untuk menjadi satu-satunya
aggota organisasi persatuan wartawan bentukan dari pemerintah yang sangat dikontrol
dan dikendalikan.
3. Adanya kekuasaan yang otoriter sebelumnya, pemerintahan reformasi dibawah
pemerintahan presiden Habibie menghindari penguasa yang otoriter dengan
memberlakukan pembatasan masa jabatan seorang presiden. Seorang presiden hanya
diberikan kesempatan untuk menjabat sebagai presiden sebanyak dua kali dalam
mengajukan dirinya sebagai presiden.

Kebijakan-kebijakan yang tetapkan oleh Presiden Habibie pada saat itu memang dapat
dikaitkan dengan adanya berbagai tekanan serta keinginan masyarakat yang merasakan
ketidakadilan saat pemerintahan orde baru. Akan tetapi, tidak hanya mengenai keinginan
masyarakat Indonesia saja, Presiden Habibie juga mampu melakukan berbagai inisiatif
reformasi yang dianggap menuai pro kontra seberti yang telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya. Keadaan tersebut membuat kondisi politiknya sendiri mendapat dampak buruk.
Mengenai dukungan Habibie terhadap kebebasan Pers, liberialisasi partai-partai politik,
melanjutkan serta mengingkatkan kerja sama dengan organisasi multilateral seperti CGI,
IMF. ADB, World Bank, serta ILP. Dan kebijakan desentralisasi dengan mengalihkan
kekuasaan kepada daerah-daerah dengan menunjukan komitmennya dalam proses reformasi
demi pembangunan Indonesia. Masalah keputusannya bagi Timor Timur seperti yang
sebelumnya dibahas, sudah jelas bahwa Presiden Habibie lah yang memberikan keluasan bagi
masyarakat Timor Timur dalam pilihan integrasi atau kemerdekaan, karena beliau juga
memikirkan dampak dimasa depan dengan tidak ingin Timor Timur tetap menjadi beban bagi
Indonesia nantinya. Jika dilihat dari jejak historis juga sudah sangat berbeda, di mana Timor
Timur merupakan daerah bekas jajahan Portugis sedangkan Indonesia merupakan bekas
jajahan Belanda. Tentu, masyarakat setempat Timor Timur pastinya ingin mendapatkan
kemerdekaan dan kebebasan setelah sekian lama menjadi negara jajahan serta menolak untuk
tunduk lagi dibawah pemerintahan Indonesia. Berbagai protes dan unjuk rasa terjadi pada
masa itu, yaitu di masa lepasnya Timor Timur dari Indonesia dan menjadi negara merdeka
dengan nama Timur Leste. Berbagai kalangan dari masyarakat Indonesia merasa Presiden
Habibie gagal dalam melaksanakan tugas pemerintahannya, tidak sedikit yang menginginkan
Timor Timur tetap menjadi bagian dari negara Indonesia. Karena salah satu hal itu lah
Presiden Habibie dicap gagal dalam mempersatukan bangsa Indonesia.

Terlepas dari keadaan pro dan kontra terhadap kebijakan Presiden Habibie tersebut,
beliau dapat dilihat sebagai pemimpin yang membawa pembaruan yang lebih baik dan tidak
dipandang sama dengan tokoh yang beliau gantikan. Presiden Habibie juga tidak dipandang
sebagai kepentingan politik mantan presiden sebelumnya yaitu Soeharto, yang mana pada
saat pemerintahannya Soeharto merupakan tokoh yang memiliki power dan tidak dapat
dibantah oleh siapa pun. Pada 21 Mei 1998, tidak sedikit orang yang mempercayai Soeharto
akan bersungguh-sungguh menanggalkan kepemimpinannya dan menyerahkannya kepada B.
J. Habibie. Meskipun merupakan salah satu jabatan tersingkat serta merupakan jabatan
presiden pertama kali tersingkat dari masa jabatan presiden sebelumnya yaitu orde lama dan
orde baru. B. J. Habibie memberikan berbagai perubahan besar bagi Indonesia, selain
kebijakan-kebijakannya yang dianggap gagal tidak sedikit juga kebijakan Habibie yang
memberikan dampak baik bagi pemerintahan Indoensia.

Presiden B.J. Habibie dan Keppres No. 1 Keppres No. 30 Tahun 1998 tanggal 2
Desember 1998 telah mengarahkan Jaksa Agung baru Andy Ghalib untuk segera mengambil
tindakan hukum guna mengusut mantan Presiden Soeharto yang diduga melakukan praktik
KKN, namun pemerintah diyakini telah gagal melaksanakan agenda reformasi untuk
memeriksa aset Soeharto dan mengadilinya. Namun, hasilnya kurang memuaskan, karena
pada 11 Oktober 1999, pejabat Jaksa Agung Ismujoko mengeluarkan SP3 yang menyatakan
bahwa penyelidikan masalah dana Soeharto terkait yayasan dihentikan. Pasalnya, Kejaksaan
Agung tidak menemukan cukup bukti untuk melanjutkan penyidikan selain menemukan bukti
baru. Untuk kasus lain tidak jelas. Berawal dari persoalan di atas, pemerintah dianggap gagal
melaksanakan agenda reformasi untuk menelisik aset Soeharto dan mengadilinya. Hal ini
berdampak pada demonstrasi pada Sidang Istimewa Partai Revolusi Rakyat 10-13 November
1998, aksi yang berujung bentrok antara mahasiswa dan aparat keamanan. Lebih parah lagi,
di akhir Sidang Istimewa MPR, Jumat (13/11/1998) malam. Rentetan penembakan membabi
buta terjadi antara pukul 15.45 hingga tengah malam WIB. Konflik di kawasan Semanggi
diberi nama “Blood Clover” atau “Tragedi Semanggi” karena banyaknya korban.

Kebijakan B. J. Habibie yang mendapatkan hasil baik antara lain adalah permasalahan
yang dikeluarkan Presiden Habibie seperti penguatan nilai tukar rupiah menjadi Rp.6000
yang sebelumnya Rp.17.000. Langkah-langkah dalam merealisasikan pemikirannya bagi
perekonomian Indonesia pada saat itu diawali dengan memisahkan Bank Indonesia (BI) dari
campur tangan pemerintah, hal tersebut sebelumnya belum pernah dilakukan dan bank-bank
yang ada masih diurus oleh kepentingan pemerintah. Maka dari itu, Presiden B. J. Habibie
membuat kebijakan yang mengendaki pada kemandirian BI serta tidak menghendaki jika
presiden, Menteri, bahkan siapapun ikut campur dalam urusan Bank Indonesia. Beliau juga
terpacu dalam melakukan penataan ulang mengenai utang swasta domestik serta utang luar
negeri dan mempercepat rekapitalisasi perbankan. Standard and Poor’s Corporation
menyatakan bahwa segala upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia tersebut
didukung sepenuhnya oleh IMF serta mendapatlan hasil baik dalam pemulihan disiplin
moneter, dapat menstabilkan nilai tukar rupiah, serta dapat menurunkan inflasi menjadi 25%
pada Maret 1999, yang semula tinggi hingga 70% pada tahun 1998.98

Presiden B.J. Habibie dan Keppres No. 1 Keppres No. 30 Tahun 1998 tanggal 2
Desember 1998 telah mengarahkan Jaksa Agung baru Andy Ghalib untuk segera mengambil
tindakan hukum guna mengusut mantan Presiden Soeharto yang diduga melakukan praktik
KKN, namun pemerintah diyakini telah gagal melaksanakan agenda reformasi untuk
memeriksa aset Soeharto dan mengadilinya. Namun hasilnya kurang memuaskan, karena
pada 11 Oktober 1999, pejabat Jaksa Agung Ismujoko mengeluarkan SP3 yang menyatakan
akan menghentikan penyidikan masalah dana Soeharto terkait yayasan. Pasalnya, Kejaksaan
Agung tidak menemukan cukup bukti untuk melanjutkan penyidikan selain menemukan bukti
baru. Untuk kasus lain tidak jelas. Berawal dari persoalan di atas, pemerintah dianggap gagal
melaksanakan agenda reformasi untuk menelisik aset Soeharto dan mengadilinya. Hal ini
berdampak pada demonstrasi pada Sidang Istimewa Partai Revolusi Rakyat 10-13 November
1998, aksi yang berujung bentrok antara mahasiswa dan aparat keamanan. Lebih parah lagi,
di akhir Sidang Istimewa MPR, Jumat (13/11/1998) malam. Rentetan penembakan membabi
buta terjadi antara pukul 15.45 hingga tengah malam WIB. Konflik di kawasan Semanggi
diberi nama “Blood Clover” atau “Tragedi Semanggi” karena banyaknya korban.

98
A. Makmur Makkka, Biografi Bacharuddin Jusuf Habibie dari Ilmuwan Negara Sampai Minandito.
(Jakarta : Pt. THC mandiri, 2012) hlm 217
Pemilu yang dilaksanakan pada tahun 1999 merupakan salah satu keberhasilan yang
dicapai oleh presiden Habibie pada masa pemerintahannya. Pemilu 1999 tersebut merupakan
penyelenggaraan pemilu multipartai yang diikuti oleh 48 partai politik. Sebelum diadakannua
pemilu yang dipercepat tersebut, pemerintah mengajukan RUU mengenai partai politik,
pemilu, serta tentang susunan dan kedudukan MPR, DPRD, dan DPR. Setelah RUU disetujui
DPR serta disahkan untuk menjadi UU, presiden akan membentuk Komisi Pemilihan Umum
(KPU) yang anggotanya terdiri atas wakil partai politik dan wakil pemerintah. Hal yang
membedakan pemilu 1999 dengan pemilu sebelumnya (kecuali pemilu 1955) adalah
dikuti oleh banyak partai politik. Ini dimungkinkan karena adanya kebebasan
untuk mendirikan partai politik. Dengan masa persiapan yang tergolong
singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada pemilu 1999 ini dapat dikatakan
sesuai dengan jadwal, 7 Juni 1999.99 Tidak seperti yang diprediksi dan dikhawatirkan oleh
banyak pihak, ternyata pemilu 1999 bisa terlaksana dengan damai tanpa ada kekacauan yang
berarti meski dikuti partai yang jauh lebih banyak, pemilu kali ini juga mencatat
masa kampanye yang relatif damai dibandingkan dengan pemilu sebelumnya.
Berdasarkan laporan Komisi Pemilihan Umum (KPU), hanya 19 orang meninggal semasa
kampanye, baik karena kekerasan maupun kecelakaan
dibanding dengan 327 orang pada pemilu 1997 yang hanya diikuti oleh
tiga partai. Ini juga menunjukkan rakyat kebanyakan lebih rileks melihat
perbedaan. Pemilu 1999, dinilai oleh banyak pengamat sebagai Pemilu yang
paling demokratis dibandingkan 6 kali pelaksanaan Pemilu sebelumnya. Berdasarkan
keputusan KPU, Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), pada 1
September 1999, melakukan pembagian kursi hasil pemilu. Hasil pembagian
kursi itu menunjukan lima partai besar menduduki 417 kursi di DPR, atau
90,26 % dari 462 kursi yang diperebutkan. PDI-P muncul sebagai pemenang
pemilu dengan meraih 153 kursi. Golkar memperoleh 120 kursi, PKB 51 Kursi, PPP 48 kusi,
dan PAN 34 kursi.

Perolehan Suara dan Kursi Pemilihan Umum 1999

Nama Partai Perolehan Presentase Perolehan kursi Presentase


suara

99
Daniel Dhakidae, dkk, 2002, Wajah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Pemilihan umum
1999, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, h. vii.
PDIP 35.689.073 33,74 153 33,11

Golkar 23.741.749 22,44 120 25,97

PPP 11.329.905 10,71 58 12,55

PKB 13.336.982 12,61 51 11,03

PAN 7.528.956 7,12 34 7,35

PBB 2.049.708 1,93 13 2,81

Tap MPR No.X/MPR/1998 mengenai redormasi bidang Hukum, bidang hukum


diarahkan sebagai penanggulangan krisis serta pelaksanaan agenda reformasi di bidang
hukum sekaligus yang dimaksudkan sebagai penunjang reformasi politik, ekonomi, serta
sosial budaya. Dalam waktu 16 bulan saja berhasil menyelesaikan 68 produk perundang-
undangan dengan waktu yang relatif singkat. Rata-rata sebanyak 4,2 undang-undang telah
dihasilkan setiap bulannya, undang-undang tersebut jauh melebihi angka produktivitas
legislatif selama masa pemeritahan orde baru yang pada saat itu hanya dapat menghasilkan
4,07 undang-undang saja per tahun atau setiap bulannya hanya 0,34. Dalam menegakkan
kinerja pada aparatur penegak hukum, kepolisian juga dipisahkan keberadaannya dari Tentara
Nasional Indonesia yang sebelumnya sudah dibahas diatas. Hal tersebut diharapkan agar
fungsi kepolisian negara agar lebih terkait ke dalam kerangka sistem penegakan hukum.
Tekad untuk mengadakan reformasi menyeluruh dalam kehidupan nasional, telah berulang
kali ditegaskan oleh B.J Habibie bahwa Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar
tertinggi negara yang selama ini seakanakan disakralkan haruslah ditelaah kembali untuk
disempurnakan sesuai
dengan kebutuhan zaman. dapat melihat penyelesaian konstitusi Penting untuk memastikan
bahwa pemerintah di masa depan Berkembang semakin sesuai dengan semangat dan
kebutuhan demokrasi Mewujudkan masyarakat madani yang ideal. jadi Ketetapan MPR No.
11 Tahun 1978 tentang Habibie pada masa pemerintahan B.J. Referendum harus diadakan
sebelum diundangkan Mencabut Amandemen Konstitusi. Dari tanggal 1 sampai 21 Oktober
1999, diadakan rapat paripurna MPR Hasil pemilu 1999. 1 Oktober 1999, 700 anggota
DPR/MPR Periode 1999-2004. Melalui mekanisme pemungutan suara, Amin Rais dari Partai
Pemberdayaan Nasional (PAN) terpilih menjadi ketua MPR dan Akbar Tanjung dari partai
tersebut Golkar terpilih sebagai Ketua DPR.Pada tanggal 14 Oktober 1999, Presiden B.J.
Habibie menyampaikan pidato pertanggungjawaban di depan Kongres MPR Jenderal.
Persepsi umum tentang pidato pemimpin partai Balasan Presiden Habibie, 15-16 Oktober
1999, dari 11 fraksi Menyampaikan sudut pandang umum, dengan hanya empat skor yang
bersifat umum ditolak dengan tegas, sedangkan enam fraksi lainnya ragu-ragu pertimbangan.
Catatan dan pertanyaan disediakan untuk sebagian besar faksi Kembali ke tanggung jawab
Habibie. pertanyaan Umum Masalahnya Timor-Leste, pemberantasan KKN, masalahnya
masalah ekonomi dan hak asasi manusia. Setelah mendengar jawaban-jawaban Presiden
Habibie atas pandangan-pandangan yang berlaku dari berbagai fraksi, Kongres Rakyat pada
rapat dini hari tanggal 20 Oktober 1999 akhirnya Penolakan pertanggungjawaban Presiden
Habibie melalui proses pemungutan suara. sesuai Rabu pagi pukul 00.35, Ketua MPR Amin
Rais menutup rapat paripurna 20 Oktober 1999 pukul 08.30 WIB Pengumuman di rumah
hasil rapat ingkar tanggung jawab Presiden Habibie tempat tinggalnya. Presiden Habibie
menunjukkan kenegarawanannya Dengan menyatakan menerima keputusan MPR dengan
itikad baik Menolak laporan pertanggungjawaban. Waktu itu, Habibi juga Mengumumkan
pengunduran dirinya untuk pencalonan presiden berikutnya. Pada tanggal 20 Oktober 1999,
Agenda Pemilihan Sidang Paripurna Kongres Rakyat XIII Presiden mengimplementasikan.
beberapa calon termasuk Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Yusril Ihza
Mahendra. Pelamar Yang terakhir baru-baru ini mengumumkan pengunduran dirinya
Mengadakan pemilihan presiden. Didukung oleh poros tengah (Koalisi partai Islam)
Abdurrahman Wahid menang pemilu Presiden melalui proses pemungutan suara. Ia
mengungguli Megawati Didukung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),
Postscript adalah pemenang pemilihan umum 1999. Peristiwa itu menandai berakhirnya
kekuasaan Presiden Habibie hanya bertahan dalam waktu singkat sekitar 17 bulan.

Presiden pada awal reformasi, yaitu B. J. Habibie, memiliki minat yang sangat besar
terhadap bidang sains serta teknologi yang terkhusus di bidang pesawat terbang. 100 Hal
100
A. Makmur Makkka, Total Habibie Kecil Tapi Otak Semua. (Depok: Edelweiss, 2013) hlm 155
tersebut menjadikan presiden Habibie dipercaya oleh pemerintah Jerman Barat bahkan juga
dipercaya oleh Soeharto sejak tahun 1980-an untuk membantu beliau dan menjadi orang
terdekatnya (menjadi Menteri negara riset dan teknologi). Banyak yang menilai B. J. Habibie
sebagai seorang anak emas dari presiden Soeharto pada masa pemerintahan Orde Baru.
Ternyata, hubungan dekat yang terjalin tersebut sudah berlangsung sejak tahun 1950-an
ketika Soeharto masih menjadi komandan tentara yang bertugas di Sulawesi Selatan. Habibie
menganggap Soeharto sebagai bapak dan guru baginya dalam berbagai hal dalam kehidupan.
Ketika Habibie ditunjuk sebagai orang yang tepat dalam menggantikan posisi Soeharto di
pemerintahan, B. J. Habibie dituntut untuk memenuhi berbagai tuntutan reformasi. Semangat
dalam menjalankan pemerintahan tanpa menggunakan kekerasan sangat ditegaskan oleh B. J.
Habibie disaat ia pertama dilantik menjadi presiden Republik Indonesia hingga ia mundur
dari jabatannya.

Dalam menjalankan tugasnya, tidak hanya hal baik saja yang ia terima, tetapi akibat
tindakannya yang bertentangan dengan kesepakatan MPR mengenai masalah Timor Timur,
B. J. Habibie dianggap tidak berkonsultasi terlebih dahulu sebelumnya dalam mengambil
kebutusan yang besar dan sangat berpengaruh terhadap Indonesia tersebut. Kepetusan
tersebut adalah menawarkan opsi kedua, yaitu otonomi luas bagi Timor Timur serta
kemerdekaan bagi Timor Timur. Pada akhirnya, tanggal 30 Agustus 1999 pelaksanaan
penentuan nasib mengenai masalah Timor Timur berlangsung aman serta dimenangkan oleh
kelompok Pro Kemerdekaan yang artinya pada saat itu Timor Timur akan lepas dari wilayah
NKRI. Lepasnya Timor Timur dari wilayah NKRI memang sangat disesali bagi beberapa
warga negara Indonesia, tetapi disisi lain hal tersebut juga membersihkan Indonesia dari
tuduhan pelanggaran HAM di Timor Timur. Kasus tersebut lah yang membuat pihak oposisi
merasa tidak puas dengan kinerja B. J. Habibie dan mereka semakin hari semakin giat dalam
menjatuhkan B. J. Habibie.

Pada tanggal 14 Oktober tahun 1999, Presiden B. J. Habibie menyampaikan pidatonya


untuk membicarakan mengenai pertanggungjawabannya di depan siding Umum MPR. Akan
tetapi, pada saat itu terjadi berbagai penolakan akan pertanggungjawaban tersebut, karena
Presidem B. J. Habibie yang dicap sebagai seorang yang menjadi bagian dari rezim Orba.
Lalu pada tanggal 20 Oktober 1999, Ketua MPR Amien Rais menutup rapat paripurna
dengan mengatakan “Dengan demikian pertanggungjawaban Presiden B. J. Habibie ditolak”
Pada hari itu juga Presiden B. J. Habibie mengatakan bahwa dirinya mundur dari pencalonan
presiden. Pada tahun 1999, pemilu diadakan dengan sistem KPU sebagai tempat
pemilihannya, yang terdiri dari berbagai partai politik. Pemilihan presiden pada saat itu
didominasi oleh partai nasionalis serta partai Islam lainnya. Pada pemilihan presiden ini,
PDIP unggul dengan suara terbanyak. Meskipun PDIP memiliki suara terbanyak, mereka
tidak bisa menjadikan Megawati Soekarno Putri sebagai presiden ke empat RI karena alasan
adanya kolisi partai partai Islam dan beberapa beberapa partai baru menjadi kubu tersendiri di
DPR, yang di kenal dengan poros tengah, sehingga posisi PDIP menjadi kalah kuat. Dengan
hal tersebut maka Abdurrahman Wahid sebagai ketua partai PKB ditetapkan sebgai presiden
RI keempat mengantikan B. J. Habibie.

Kebijakan dan Berbagai Hal Saat Pemerintahan Abdurahman Wahid

Terpilihnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden RI keempat pada


Oktober 1999 setelah menang dari Megawati melalui pemungutan suara yang tertutup dan
rahasia, dari 691 anggota MPR yang ikut dalam pemilihan tersebut. Abdurrahman Wahid
memperoleh 373 suara sedangkan Megawati memperoleh 313 suara, lima suara menyatakan
abstain.101 Dengan ini telah diputuskan K.H Abdurrahman Wahid sebagai presiden dan
Megawati menjadi wakil presiden. Saat menjalankan pemerintahan Abdurrahman Wahid
membentuk Kabinet yang disebut Persatuan Nasional, kabinet ini adalah koalisi yang
meliputi anggota partai politik antara lain PDI-P, PKB, Golkar, PAN, dan Partai Keadilan
(PK), non partisipan juga TNI termasuk dalam kabinet tersebut.

Dalam pidato pertamanya, Gus Dur mengucapkan sumpah sebagai Presiden Republik
Indonesia dan menegaskan bahwa dirinya akan melanjutkan dan meningkatkan kualitas
kehidupan demokrasi di Indonesia. Ia berjanji untuk bekerja keras meningkatkan pendapatan
rakyat melalui program ekonomi kerakyatan, menengakan keadilan, mendatangkan
kemakmuran, mempertahankan kedaulatan bangsa dan negara, dan menerapkan kebijakan
yang saling menghormati dan menghargai dalam menjalin hubungan internasional.102

Sejumlah kalangan dari para politisi dan pakar berbagai bidang menyaran ada
beberapa masalah yang harus diprioritaskan oleh Kabinet Persatuan Nasional. 103 Pertama,
mempercepat pemulihan kondisi ekonomi yang semakin terpuruk sejak krisis moneter pada
pertengahan 1997 dan bahkan krisis multidimensional. Rakyat kecil semakin miskin dan
sengsara, kredit macet semakin meningkat dan kredit baru semakin sulit, kepercayaan
101
Iskandar, 2004
102
“Selamat Datang Presiden KH Abdurrahman Wahid”, dalam, “Tajuk”, Republika, 21 Oktober 1999
103
“Harapan Banyak Pihak Terhadap Gus Dur. Pemulihan Ekonomi Harus Dipercepat”. Republika 21 Oktober
1999.
terhadap pemerintahan semakin turun, sementara situasi politik di dalam negeri semakin tidak
menentu.

Gus Dur diharapkan menjadi sosok yang dapat memulihkan kepercayaan dunia
Internasional, terlebih dia terpilih secara Demokratis melalui siding umum MPR. Pemerintah
baru harus menjalankan kembali apa yang telah disepakati bersama antara Indonesia dan
Dana Moneter Internasional (IMF). Dibanding dengan Thailand dan Korea Selatan yang
sudah pulih dari krisis, kondisi Indonesia belum juga stabil. Salah satu penyebabnya adalah
karena ketidak percayaan dunia Indonesia terhadap Indonesia.

Selanjuta, memulihkan persatuan dan kesatuan bangsa yang sedang terancam proses
disintegrasi. Abdurrahman Wahid harus berupaya keras merukunkan kembali kelompok-
kelompok masyarakat yang terlibat pertikaian sengit, persatuan kesukuan, dan terperangkap
dalam isu SARA sebagai akibat kesalah pahaman atau provokasi. Ditambah lagi kesenjangan
sosial, kesenjangan antara pusat dan daerah, kepincangan pembangunan, dan kecemburuan
sosial.

Mengatasi masalah disintegrasi bangsa ini memang berat dan sulit, maka Gus Dur
membuat Forum Demokrasi (Fordem) yang dibentuknya pada tahun 1986. Gus Dur juga
meminta dukungan, pendapat, serta saran para tokoh masyarakat dan ahli dari berbagai
kalangan. Beruntungnya Gus Dur diterima oleh semua kalangan di Indonesia, baik mayoritas
maupun minoritas, Islam maupun non-Islam.

Harapan besar dibebankan kepada Abdurrahman Wahid sebagai presiden untuk


merekatkan komitmen awal kelompok politik poros tengah sebagai promotor utama.
Terpilihnya Gus Dur juga menjadi kejutan besar dalam kehidupan politik bangsa. Ada
beberapa alasan yang menjadikan hal ini kejutan, yang pertama Gus Dur menghadapi
masalah kesehatan, khususnya penglihatan setelah mengalami stroke berat. Kedua, Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan Gus Dur hanya menduduki posisi keempat dalam
pemilu 1999 dengan memperoleh 12,4 persen suara atau 51 kursi di MPR/DPR RI.104

Berkaitan dengan ancaman disintergrasi abngsa, pilihan pada Gus Dur Tidak
terelakan. Pemilu 1999 tidak menghasilkan mayoritas absolut di MPR/DPR RI. Akibatnya,
lembaga-lembaga ini gagal menyelesaikan konflik politik pada berbagai level. Disisi lain,
periode pasca pemilu 1999 ditandai dengan kritalisasi dua kelompok besar, kelompok pro-
Habibie yang didukung oleh nasionalis Islam dan pro-Mega yang didukung oleh nasionalis
104
skuler. Konflik anatara dua kelompok ini tidak hanya terjadi di MPR/DPR, juga pada tingkat
horizontal, pada lapis akar rumput. Hal ini menciptakan baying-bayang akan terjadinya
deadlock di MPR sekaligus pertumpahan dari di Indonesia karena timbulnya perang saudara.

1. Kabinet Persatuan Nasional

Berbekal pandangan demokrasi yang kental sejak masa mudanya dan selalu menjadi
warna dasar perjuangan, Abdurrahman Wahid membentuk Kabinetnya. Dalam menyusun
kabinet Persatuan Nasional, kabinet ini dijanlankan dengan kompromi politik lebih tinggi
daripada pertimbangan profesional. Terdiri atas berbagai partai yang mendukungnya untuk
menjadi Presiden, terlebih ini juga lahir dari era krisis yang multi dimensi. Selain
menjalankan tugas itu beliau juga harus memenuhi harapan rakyat dalam mencapai Indonesia
baru yang tertib, efisien, dan demokratis. 105 Kabinet ini menjadi harapan dalam membangun
pemerintah yang lebih bersih dan efektif.

Ketika mengumunkan susunan kabinet, Gus Dur mengatakan bahwa kabinetnya tidak
mempunyai nama dan bersifat persatuan nasional. KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden
mengatakan telah berbagi tugas dengan Wakil Presiden (WAPRES) Megawati. Presiden
lebiih berkonsentrasi untuk menangani perekonomin dan kasus Aceh, sedangkan Wapres
menangani permasalahan Indonesia Timur termasuk kasus Ambon. 106 Presiden menegaskan,
pemerintahan yang dipimpinnya harus dapat mengatasi ancaman disintegritas karena muncul
beberapa daerah menginginkan merdeka dan muncul kerusuhan didaerah tersebut.

Banyak yang menyebut Kabinet Persatuan Nasional ini dengan “Kabinet Pelangi”
karena merupakan hadil kompri dan pertukaran kepentingan dari berbagai kekuatan. Hal ini
membuat adanya semacam garansi dari para tokoh elite politik yang berpengaruh seperti
Megawati, Amien Rais, Akbar Tanjung, Wiranto, selain itu Gus Dur sendiri tentunya.107

Selang beberapa waktu setelah itu, terdapat komplikasi politik. Berjalan beberapa
bulan Kabinet Persatuan Nasional telah dibongkar pasang (resuffled). Anggota kabinet
beberapa diberhentikan atau mengundurkan diri. Terdapat 17 anggonta yang terkena hal itu,
Mentri Jusuf Kalla, Wiranto, Mahendra, Kwik Kian Gie, Juwono Sudarsono, Bambang

105

106
“Pembagian Tugas Kepresidenan. Gus Dur Tangani Ekonomi dan Aceh, Megawati Urusi Indonesia Timut”,
Republika, 24 Oktober 1999.
107
Anggota Kabinet Digaransi Tokoh Politik”, Rebupblika, 27 Oktober 1999
Sudiboyo, Prakoso, Nurmadi Ismail, Basri Hasanuddin, Hamzah Haz, Bomer Pasaribu, Ryaas
Rasyid, Hidayat Jaelani, Mahadi Sinambela, Anak Agung Gede, dan Hasballah M. Saad.

2. Lembaga Pemerintah

Reformasi terhadap semua lembaga pemerintahan seperti departemen, non-


departemen, dan kementrian agama sudah dilakukan oleh Gus Dur sejak awal menjalankan
pemerintahan. Ada beberapa departemen yang diubah pada pemerinntahannya yaitu
Departemen Penerangan dan Departemen Sosial dibubarkan, kedua departemen ini sudah ada
sejak puluhan tahun yang lalu. Satu Departemen yang sudah ada sejak kabinet pertama pasca
kemerdekaan, Departemen Pekerjaan Umum diubah menjadi Kementrian Negara
Permukiman dan Prasarana Wilayah. Lembaga non-departemen yang brtubah adalah
Sekretariat Negara (Sekretaris Negara dan Sekretaris Kabinet).108

Pembubaran Departemen Penerangan dan Departemen Sosial membuuat masalah


semakin panjang. Ribuan karyawan dari dua departemen tersebut mengadakan demo kepada
Gus Dur yang dipimpin langsung oleh Menpen Yunus Yosiah. Mereka datang ke Istana
Negara menuntut pertanggungjawaban Gus Dur. Lantaran kedua departemen tersebut
memeiliki 50.875 pegawai.109

Menanggapi demo yang dilakukan, Gus Dur justru menegaskan pembubaran


Departemen Penerangan sesuai prinsip yang ia pegang dari dulu, yaitu bahwa pemerintah
sebaiknya tidak banyak mencampuri urusan rakyat. Rakyat sudah terlalu lama menderita di
tangan pemerintah. Maka Gus Dur bertekad untuk memperbaikinya dengan melakukan
penataan dan efesiensi. Cara yang digunakan oleh Dus Dur adalah mengahapus Deppen.
Menurutnya pekerjaan penerangan dapat dilakukan oleh masyarakat sendiri. Bantuan yang
diberikan pemerintah pun tidak harus membentuk departemen. Departemen terlalu berlenihan
untuk menngurus penerangan.110

Reformasi yang dilakukan oleh Gus Dur terhadap Sekertriat Negara dan Sekertariat
Kabinet merupakan awal dari reformasi birokrasi. 111 Beberapa alasan yang melandasi langkah
tersebut dilakukan adalah berikut.

108
Seratus Hari Reformasi di Istana Presiden (bagian 1). Mendekatkan Istana dengan Rakyat”, Media Indonesia,
14 Februari 2000.
109
Mahrus Irsya. 2000. Langkah Awal Reformasi Birokrasi (Memahami Perombakan di Sekretariar Negara),
Kompas,, 29 Januari 2000.
110
111
Pertama, Sekretariat Negara dimasa Orde Baru menjadi salah satu pusat kekuasaan
ynag paling dekat dengan Soharto. Sekretariat Negara menangani banyak urusan, sarat
dengan muatan politik dan segala aspek yang menyertainya sehingga kekuasaan setneg
semakin meluas dan menumpuk. Pada tahun 1980-an, setneg sempat menjadi pengadaan
barang dan jasa yang akan digunakan oleh seluruh instansi. Setneg juga mengelola sejumlah
yayasan, seperti Badan Otorita Kemayoran, Yayan Gelora Senayan, terlibat dalam pemeblian
peralatan militer, sampai melaksanakan ke giatan penyaluran bantuan ternak.

Setneg adalah secretariat yang mengatur lalu lintas urusan pemerintah yang dipandang
sebagai urusan rumah tangga Soeharto. Hal ini membuat setneg mejadi tempat bertemunya
segala urusan bisnis anak cucu Soeharto, dan para anak pejabat, kepentingan berbagai
departemen, swasta, dan pemerintah.

Senahai akibat dari fungsi dan kewenangan yang begitu banyak dan mendalam
tersebut, dirancang suatu metode yang sistematis untuk memberikan fasilitas yang lengkap
dan insentif yang tinggi kepada jajaran Setneg, melebihi jumlah yang diterima oleh pegawai
negeri lainnya agar dapat memberikan loyalaitas yang tinggi terhadap Soeharto.

Gus Dur merombak banyak tubuh Setneg serta mengubah struktur dan fungsinya.
Semula lembaga ini dijalankan oleh satu mentri, maka Gus Dur memecah menjadi lima
Sekertriat, yang masing-masing dipimpin oleh sorang sekertaris, yaitu Sekretaris Negara,
Sekretaris Kabinet, Sekretaris Kepresidenan, Sekretaris Militer, dan Sekretaris Pengendalian
Pemerintah.112

- Perubahan yang Terjadi Pada Masa Abdurrahaman Wahid


1. Politik
Pada bidang politik Abdurrahman Wahid melakukan pembubaran Departemen
Penerangan. Dimasa Orde Baru departemen ini digunakan Soeharto untuk mengekang
kebebasan pers, dengan dibubarkan departemen tersebut menjadikan kebebasan pers
terjamin.113 Departemen Koperasi dan Pengusaha Kecil Menengah (PKMP, yang pada masa
Habibie menjadi penggerak utama ekonomi kerakyat dijadikan sebagai kementrian non
portofolio dengan kata lain menteri negara. Hasilnya Departemen Koperasi dan Pengusaha
Kecil tidak punya kaki di daerah ini sekaligus menandai kembalinya sistem ekonomi yang

112
113
Andrew, 2012
berpihak kepada rakyat banyak.114 Kemudian Panglima TNI yang selama ini di bawah
Angkatan Darat, diberikan kepada Laksamana Widodo HS dari Angkatan Laut. Pencabutan
kebijakan TAP MPRS No.25-1966 tentang larangan terhadap Partai Komunis, ajaran
Marxisme, Leninisme, dan Komunisme. Lawan politik Abdurrahman Wahid menganggap
kebijakan ini hanya untuk kepentingannya semata dan mendapat simpati dari para keluarga
mantan tahanan politik yang terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).115

Abdurrahman Wahid mulai membuka hubungan langsung dengan Israel, hal ini tidak
berjalan mudah. Protes dan unjuk rasa ketidak setujuan dilakukan dimana-mana, akibat
keinginan membuka hubungan langsung itu Gus Dur yang sampai saat itu masih tercatat
sebagai salah satu Yayasan Shimon Peres di Tel Aviv, dituduh sebagai antek Yahudi oleh
para demonstran. Melihat gelagat tidak menguntungkan, para wakil rakyat lantas meminta
pemerintah menunda hubungan tersebut.116 Pemerintah menyatakan untuk menunda, namun
Abdurrahman Wahid tetap menganggap hubungan dagang dengan Israel itu sah-sah saja.
Faktor yang membuat presiden tetap membuka kontrak dagang dengan Israel karena kaum
Nasrani dan Yahudi masih mengakui adanya Tuhan, yang dilain sisi terdapat Negara yang
lebih baik ekonominya seperti Russi dan Cina, kedua negara tersebut dirasa kurang layak
karena terang terangan atheis dan menentang tuhan. 117 Anggapan bahwa Agama Islam masih
satu rumpun dengan orang Nasrani dan Yahudi. Membuka hubungan dagang dengan Israel
lebih menguntungkan dari pada membiarkan secara sembunyi-sembunyi sebagaimana terjadi
selama ini.

Data resmi singapura menunjukan bahwa perdagangan Israel menunjukan nilai ekspor
Indonesia sepanjang tahun 1999 ke Negeri Zionis itu mencapai US$ 11 juta. Sedang impor
Indonesia dari negeri itu mencapai US$ 6 juta. Semua dilakukan melalui pihak ketiga, seperti
Singapura dan Belgia.118 Kebijakan lain yang dikeluarkan Abdurrahman Wahid adalah
mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 6/2000 yang mencabut intruksi Presiden
No.14/1967 yang dikeluarkan oleh Soeharto. Isi peratran No.14/1967 melarang segala bentuk
ekspresi agama dan adat Tionghoa di tempat umum. Dengan pencabutan larang itu maka
terbuka jalan bagi etik Tionghoa untuk menghidupkan budaya tradisional mereka. Dalam
114
Ishack, 2008
115
AHMAD NURHUDA, YERA ZETTIRA AGEST. 2021. “MASA PEMERINTAHAN ABDURRAHMAN
WAHID (1999-2001)”. TARIKHUNA: JOURNAL OF HISTORY AND HISTORY EDUCATION. Universitas
Islam Negeri Imam Bonjol. Hlm. 114
116
Ibid. hlm 114
117
118
Ishak, 2008
tahun 2000 itu juga Abdurrahman Wahid mengumumkan Tahun baru Imlek sebagai hari libur
nasional. Dengan demikian etnik cina bebas dari diskriminasi seperti yang dilakukan selama
kekuasaan Orba.

- Hal Lain yang Dilakukan Oleh Abdurrahman Wahid

Setelah kekuasaan Soeharto berakhir dan berganti ke Abduraham Wahid (biasa


disebut Gus Dur), dengan harapan kaum pro-demokras di Indonesia agar lebih baik ternyata
belum begitu berhasil ketika pemerintahan Gus Dur. Pemerintahannya belum berhasil
menghapus praktik-praktik korupsi yang diwariskan, terlebih lagi belum berhasil menyeret
pelaku korupsi ke meja hijau. Dictator penguasa sebelumnya yakni Soeharto yang ditetapkan
penyelewangan uang sebesar 1,8 miliar atau US$ 420 juta dari tujuh yayasan amal yang
dipimpin, lolos dari jeratan hukum dengan alasan sakitnya.119 Sedangkan putranya bernama
Hutomo Mandala Putra, hanya dihukum penjara selama 18 bulan oleh Mahkama Agung gara-
gara kasus tukar guling senilau US$ 11 juta, akhirnya menyerahkan diri setelah sempat
menjadi buronan.120

Presiden Gus Dur ngotot mencampuri urusan kabinet guna membebaskan tiga
konglomerat dari sanksi hukum yang mengancam karena keterlibatan ketiganya dalam urusan
megahutang pada bank miliki pemerinrahan, ketiga konglomerat itu Mrimutu Sinivasan
(Texmaco Group), Syamsul Nursalim (Gajah Tunggal Group), dan Prajogo Pangestu (Barito
Pacific Group). Kasus megahutang merupakan bagian daru Bantuan Likuditas Bank
Indonesia (BLBI) sebesar 144,5 triliyun dari Bank Indonesia kepada 48 bank swasta yang
diberikan Maret 1998.121 Akibat dari kasus itu negara mengalami kerugian sebesar Rp 138,4
triliyunn atauu 97,5% dari total dama BLBI (CFPS, 2000; Aditjondro 2001).122 Selain dari
tiga klongomerat yang diatas ada juga pemilik tekstil dan truk bernama Sinivasan, konon
telah mempekerjakan 150.000 anggota Nu di Jawa Timur, dan mencoba melobi Presiden Gus
Dur dengan memberikan instensif kepada sejumlah kiai NU (Straits Time, 27 April 2000).

Seperti yang dilakukan pada saat pemerintahan Soeharto, anggota-anggota


dilingkungan gusdur juga meraup uang sebesar Rp35 milar dari Yayasan Buna Sejahtera
(Yantera), yang merupakan dana pensiun para karyawan Bulog. Dengan Alias An Peng Sui
atau yang bernama asli Muhamad Alip Agung Suwondo, oknum yang menjadi sasaran

119
120
121
122
penerima dana milik para karyawan Bulog, dia adalah pemegang saham utama perusahaan
penerbangan Air Wagin Airlines (AWAIR) yang baru saja didirikan. Perusahaan
penerbangan ini didirikan Gus Dur sebelum menjadi presiden pada akhir September 1999.123
Akibatnya terdapat kecurigaan atas penyelewengan sebagain dana yang diberikan Sultan
Brunai tidak digunakan untuk proyek-proyek kemanusiaan di kawasan Aceh yang diklaim
Gus Dur, melainkan untuk membiayai perusahaan penerbangan yang baru.124

Seperti dana yang digunakan non-budgeter Bulog, proyek-proyek kemanusian untuk


Aceh menjadi alasan Gus Dur menerima US$ 22 juta yang disumbang oleh Sultan Hasanal
Bolkiah dari Brunei Darussalam. Setelah menyatakan bahwa seumbangan tersebut disimpan
oleh Haji Masnuh, seorang kroni dari Gus Dur, maka 237 anggota DPR membentuk panitia
khusus (Pansus) untuk menyelidiki skandal dari dua pres yang dijuluki “Brunei-gate” dan
“Bulog-gate”, yang mengarah mengadili presiden (impeachment).125

Gus Dur memang ahli manajemen konflik karena dalam waktu sekejap bisa
melumpuhkan kekuatan TNI Polri yang memang sudah ingin berganti paradigma. Letjen
Agus Wirahadikusumah yang reformis diorbitkan untuk menjadi Panglima Kostrad dan Prof.
Baharudin Lopa, S.H. yang sangat jujur itu digiring menjadi Jaksa Agung, keduanya
meninggal ditengah perjalanan jihadnya126

Contoh kasus yang diciptakan oleh Presiden Abdurrahman Wahid antara lain adalah

a. Menurut Presiden apabila dijatuhkan melalui memorandum I, Memorandum II,


dan selanjutnya siding MPR Imaka keadaan akan menjadi darurat. Oleh karena
itu, sebaiknya perlu dikeluarkan dekrit, sedangkan menurut Amien Rais (Ketua
MPR) apabila MPR dibubarkan oleh presiden, hal tersebut menyalahi konstitusi
karena presiden dipilih oleh MPR.
b. Menurut Gus Dur jabatan Wakapolri yang sudah dibekukan, diaktifkan kembali
dan diangkat Jendral Polisi Chairudin Ismail untuk memangkunya, sedangkan
Jendral Polisi S. Bimantoro tidak setuju dengan usul tersebut dengan tetap
menjabat Kapolri nonaktif.
c. Menurut Presiden Wahid, pencalonan Prof. Dr. Bagir Manan S.H. dan Prof Dr.
Muladi S.H. untuk menjadi calon ketua Mahkamah Agung adalah tidak tepat
123
124
Aditjondro 2001a
125
ibid
126
Drs H. Inu Kencana Syafiie, MSI. 2003. Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia. Jakarta : Bumi
Aksara. Hlm. 70
karena keduanya terlibat kasus masa lalu, sedangkan menurut DPR RI Akbar
Tanjung, hal ini terlalu mencampuri urusan yudikatif dan legislative.
d. Menurut Presiden Abdurrahman Wahid, Jendral Endriartono Sutarto tidak taat
kepada presiden apabila menolak dekrit, sementara sebagian besar pewira
Angkatan Darat mengumumkan darurat walaupun menguntungkan mereka tetapi
akan mempersulit keadaan TNI.
e. Menurut Presiden, Megawati tidak menciptakan suasana dwi tunggal jika
partainya menggelar sidang Istimewa MPR, namun menurut Megawati hal
tersebut dapat dilakukan sepanjang konstitusional.

Saat pengangkatan Presiden Abdurrahman Wahid juga menciptakan konflik, berikut


beberapa konflik tersebut.

1. Prof Dr. Ryaas Rasyid, M.A yang gentar dengan keberadaan federalisme,
diberikan jabatan Mentri Otonomi Daerah.
2. Dr. A.S. Hikam yang banyak mengkritik keadaan Kementrian Riset, diberikan
jabatan mentri ditempat tersebut.
3. Dra Khofifah Indar Parawangsa yang menghendaki emansipasi melalui
pembubaran Kementrian Peranan Wanita, diberikan jabatan Mentri
Pemberdayaan Perempuan.127

Masyarakat Indonesia belum mengarti dengan apa yang dilakukan oleh Presidean
Wahid dalam manuvernya. Beliau sengaja melemahkan eksekutif, dengan demikian sebagai
Bapak Demokrasi maka isu-isu akan menjadi wacana yang menarik dan menghimpun massa.

Jika dibayangan isu kominus, isu Israel, isu judi, isu assalamualaikum, dan lain-lain
akan membuaat umat bersatu karena diciptakannya musuh monumental, kemudian beliaulah
yang akan mendamaikan dan menggiring persatuan tersebut, masalah ketegangan dianggap
kemesraan setelah keresahan itu dilewati. Gus Dur akan berada diantara tengah-tengah massa
karena memiliki Banser NU. Tetapi orang hanya berani mengkritik dan menjuluki beliau
turunan Sinchan.128

Akhirnya Gus Dur yang begitu banyak konflik digulingkan lewat kasus Bruneigate
dan Buloggate yang dikonstitusionalkan melalui Memorandum I, Memorandum II, dan

127
Ibid. hlm. 70
128
Ibid. hlm. 71
Sidang Istimewa MPR RI. Setelahnya Megawati melangkah muluh ke kursi kepresidenan,
bukankah Megawati yang menang di pemilu 1999?.

Kepemimpinan Megawati Soekarno Putri (2001-2004)

Kepemimpinan Megawati Soekarno Putri berawal dari 23 Juli 2001, anggota MPR
secara aklamasi menempatkan Megawati sebagai Presiden setelah menggantikan KH
Abdurrahman Wahid. Megawati dalam berbagai kesempatan, selalu memberitahukan bahwa
dia adalah anak Proklamator yang sejak kecil sudah tinggal di istana kepresidenan, Megawati
juga seorang pemimpin partai yang memiliki kekuasaan besar. Pemimpin simbolis adalah
seoarang pemimpin yang berusaha mengomunikasikan cara ia memperoleh status, martabat,
dan reputasi atau dengan kata lain memberitahukan previllage yang ia punya.129

Menurut Westwood, kekuasaan adalah arsitek dunia sosial 130. Kekuasaan yang
menentukan peran dalam interaksi dan struktur sosial. Dengan ini, perempuan harus memiliki
kekuatan dan kesempatan untuk menjalankan hal yang sama agar mereka dapat pemahaman
dan kekuasaan yang setara dengan laki-laki. Dengan pernyataan tersebut, Megawati telah
mampu merancang kesamaan peran perempuan sebagai pemimpin, dalam posisi perempuan.

Pada masa jabatan, Megawati telah menujukan bahwa dirinya sebagai pemimpin yang
karismatik. Bukan hanya karena faktor keturunan, tetapi karena kepribadian yang teguh
pendirian. Megawati memiliki visi dan misi yang memperjuangkan 4 pilar berbangsa dan
bernegara,antara lain: Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal ika, dan tetap menjaga
keutuhan NKRI.131

- Karya Megawati Selama Menjadi Presiden


Hadirnya Megawati menjadi presiden perempuan pertama Republik Indonesia
mejadikan ia sebagai simbol gerakan adanya perempuan dalam politik Indonesia. Megawati
yang dilantik pada tanggal 23 Juli 2001 sekaligus menyampaikan pidatonya, ia
menyampaikan langkah-langkah yang akan diambilnya selaku presiden RI. Ia mempunyai
kewajiban dalam menyusun pemerintahan dan kabinet mentri. Megawati terus berjuang untuk
membuktikan bahwa ia bisa memimpin Indonesia.

129
Klapp, Orrin Edgar. 1964. Pemimpin Simbolik: “Drama Publik dan Pria Publik”. AS: Penerbit Irvington
130
Westwood, Sallie. 2002. “Kekuasaan dan Sosial”. 1 edisi. London dan New York: Routledge
131
Megawati Soekarnoputri: ‘Saya Tidak Pernah Merasa Kalah’ “, Tempo, No. 44/XXXVII
Megawati mempunyai pengalaman lebih terkait dengan posisi ayahnya, megawati
juga memiliki pengalaman hidup yang berbeda dari anak-anak lainnya dengan ini ia bisa
mengetahui isi yang ada di dalam pemerintahan. 132 Kepresidenan Megawati tidak lepas dari
politik luar negeri, kebijakan politik baru dalam pemerintahan Megawati dimulai dengan
kerjasama negara-negara lain, yang utama adalah berhubungan baik dengan negara tetangga.
Banyak dinamika yang terjadi ketika pemimimpinan Megawati, ia bisa sedikit memperbaiki
Indonesia yang pada saat itu mengalaim krisis multidimensional. Hal ini dirangkum dalam
Stabilitas Nasional yang meliputi ketahanan pangan, ekonomi, dan sedikit pemberantasan
korupsi.

- Kabinet Gotong Royong

Berbekal pendangan marhaenisme yang berbasis pada rakyat keil (wong cilik) yang
pada slogan dalam kampanye Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Megawati
memulai pemerintahannya dengan membentuk Kabinet Gotong Royong. Bentuk dan susunan
kabinet ini tidak banyak berubah dari Kabinet Persatuan Nasional saat era Gus Dur. Dia
menghidupkan kembali Departemen Sosial dan Departemen Penerangan (dengan mengubah
bentuknya menjadi Kementrian Negara Komunikasi dan Informasi).

Dalam mengelola kabiner, ada enam hal pokok yang ditetapkan

1. Mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka utuh Negara


Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
2. Meneruskan proses reformasi dan demokratisasi dalam seluruh aspek kehidupan
nasional melalui kerangka, arah, dan agenda yang lebih jelas, dengan terus
meningkatkan penghormatan terhadap Hak Asasi Menusia.
3. Normalisasi kehidupan ekonomi dan kemasyarakatan untuk meperkuat dasar bagi
kehidupan perekonomian rakyat.
4. Melaksanakan penegakan hukum secara konsisten, mwujutkan rasa aman serta
temtram dalam kehidupan masyarakat, melakukan pemberantasan Korupsi, Kolusi,
Nepotisme (KKN).
5. Melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif, memulihkan martabat bangsa dan
negara serta kepercayaan luar negeri, termasuk lembaga-lembaga pemberi pnejaman
dan kalangan investor terhadap pemerintah.

132
Indah Rizki AN 2018. Kebijakan Politik Presiden Megawati 2001-2004. Jurnal Historis Vol 2, Edisi 1 ISSN
No. 2252-4673
6. Mempersiapkan penyerlenggaraan Pemilihan Umum 2004 yang aman, tertib, rahasia,
dan langsung.

Megawati juga mencabut kebijakan pemberian tunjangan jabatan kepada pejaban


easelon I hingga eselon IV, yang trlah ditertibkan oleh Gus Dur.133

- Penjuakan Aset Negara dan Privatisasi

Kebijakan privatisasi yang dilakukan oleh Megawati memberikan kewenangan yang


sangan luas kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kewenangan yang disampaikan
dalam Sidang Kabinet 13 Agustus 2001, mencakup pengelolaan dan pendayagunaan BUMN,
dan pengendalian operasional Badan Penyerhatan Perbankan Nasional (BPPN) yang tidak
ditangan oleh Mentri Keuangan. Jabatan BUMN waktu itu masih dipengang oleh Laksamana
Sukardi.

Mentri Keuangan Boediono selanjutnya diharapkan bisa konsentrasi penuh pada


peningkatan dan pengamanan penerimaan negara, serta pengadmonistrsian Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan perbendaharaan negara. Sementara itu, Mentri
Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepada Bappenas Kwik Kian Gie diharapkan
berkonsentrasi pada perencanaan pembangunan, pencarian seumber pembiayaan, serta
pengalokasian dana.

Wewenang dan tangung jawab terhadap BPPN dan BUMN akhirnya resmi diserahkan
oleh Menkeu Boediono kepada Mentri Negara BUMN Lasamana Sukardi sebluan kemudian
pada 17 September 2001. Dalam hal ini, soal BUMN didasarkan pada perturan pemerintah
(PP) No. 63 Tahun 20001 tanggal 13 September 2001, sedangakan oleh BUMN berdasarkan
PP No. 64/2001.134

Dalam pelaksanaannya, tugas, fingsi, serta wewenang mentri Negara BUMN


mencakup penjualan asset negara yang berasal dari jaminan yang disita dari bank-bank yang
menyalahakangunakan Bantuaan Likuidasi Bank Indonesia (BLBI). Aset negara tersebut
selanjutnya dikelola oleh BPPB, seperti dilakukan pada BCA, Bank Danamon, Bank Bali,
dan sebagainya. Disamping itu, jua termasuk penjualan asset BUMN, seperti PT Indosat.

- Hal-hal Lain Yang Terjadi pada Kepemerintahan Megawati

133
L. Misbah HIdayat. 2007. Reformasi Administrasi : Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden.
Jakarta : Gramedia. Hkm 80
134
“BPPN dan BUMN Resmi Dipegang Laksamana”, KOmpas, 18 September 2001, hlm. 14
Banyak dugaan korupsi malah tertuju pada suami Megawati, Taufik Kiemas, yang
merupakan pengusaha asal Sumatra Selatan. Dugaan tersebut mulai muncul saat Megawati
menjabat Wakil Presiden. Taufik kon telah membebaskan Marimutu Sinivasan, bos
Texmaco, salah seorang penunggak hutang IBRA yang paling besar dari penyelidikan
135

kriminal. Hal ini dilakukan Taufik setelah dianugrahi jabatan sebagai komisaris darisang
klongomerat.136

Taufik keimas telah menarik perhatian pers, karena disebut-sebut memenangkan


empat mega proyek, proyek Jakarta Outer Ring Road (JORR) di Jakarta senilai US$ 2,3
miliar, proyek kerea ganda dari Merak di Jawa Barat ke Banyuwangi di Jawa Timur senilai
US$ 2,4 milar, jalan Trans-Borneo senilai US$ 23 miliar, dan jalan lintas Trans Papua Barat
senilai US$ 1,7 miliar.137

BAB V
PERKEMBANGAN BIROKRASI DAN SEJARAH KORUPSI DI INDONESIA

A. Awal Kemerdekaan Hingga Orde Lama

Birokrasi pada masa Orde Lama

Orde Lama adalah sebuah sebutan yang ditujukan bagi Indonesia di bawah kepemimpinan
presiden Soekarno. Soekarno memerintah Indonesia dimulai sejak tahun Pada periode ini,
Presiden Soekarno berlaku sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Presiden
Pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno. Birokrasi di Indonesia mengalami sejarah yang
cukup panjang dan beragam, sejak masa kemerdekaan tahun 1945. Pada masa awal
kemerdekaan, ada semacam kesepakatan pendapat bahwa birokrasi merupakan sarana politik
yang baik untuk mempersatukan bangsa. Anggapan ini beralasan karena hanya birokrasilah
satu-satunya sarana yang dapat menjangkau rakyat sampai ke desa-desa. Semangat kejuangan
masih sangat kental mewarnai birokrasi di Indonesia.138

135
Tajuk, 2 Maret 2000: 18-21
136
Detikcom, 20 Mei 2000
137
Panji Masyarakt, 30 Agustus 2000: 24-31
138
Wayu Yudiatmaja. “Politisasi Birokrasi: Pola Hubungan Politik dan Birokrasi di Indonesia”.
Jurnal Ilmu Administrasi Negara. hal. 18
Pada masa Orde Lama ini birokrasi pemerintahan Indonesia mengalami banyak sekali
perubahan kebijakan baik dari struktur maupun sistem administrasi pemerintahan itu sendiri.
Perubahan ini dilakukan mengingat pada saat itu banyak terjadi maladministrasi dalam
pelayanan terhadap masyarakat. Bentuk maladministrasi birokrasi pada zaman orde lama
adalah tidak professional dalam bekerja, tidak mampu memberikan pelayanan kepada
masyarakat dan birokrasi tidak netral dan tidak ada sifat disiplin. Pemerintahan pada saat itu
terdiri dari Sukarno sebagai presiden dan Hatta sebagai wakil presiden. Seiring
berkembangnya negara pada saat itu, sistem pemerintahan terus berubah. Indonesia telah
beberapa kali menghapus sistem pemerintahan. Sejak awal sistem presidensial (1945-1949),
sistem parlementer (1949-1950) dan kembali ke sistem presidensial (1959) hingga
sekarang.139

Politisasi birokrasi di era orde lama yang dimulai dengan menjamurnya partai politik
pasca keluarnya Maklumat X wakil Presiden membentuk partai tersebut pada 3 November
1945. Menguatnya posisi tawar partai politik sedikit banyak mempengaruhi birokrasi publik
karena hampir semua pegawainya adalah anggota partai tertentu sehingga terfragmentasi.
Birokrat lebih menyukai politik pragmatis dan berurusan dengan partai politik daripada
melayani publik, sehingga fungsi pelayanan tidak memainkan peran semestinya pada saat itu.
Selanjutnya, adopsi bentuk pemerintahan parlementer dan sistem politik yang sesuai tahun
1950-1959 membawa konsekuensi seringnya pergantian kabinet hanya dalam beberapa bulan.
Akibatnya, birokrasi sangat terfragmentasi politik. Pergantian pejabat politik (menteri) yang
terus menerus berdampak pada birokrasi publik. Para menteri yang berkuasa secara bebas
mengangkat pejabat birokrasi dan pejabat publik dari partai politik mereka sendiri, dan
politisasi birokrasi sangat kuat pada saat itu. Seperti kata Thoha, pejabat pemerintah harapan
netralitas telah pandai menggoda kekuatan politik yang ada, selain itu, ideologi revolusioner
yang diusung Sukarno juga berperan besar dalam politisasi birokrasi. Keinginan Soekarno
untuk mengerahkan seluruh komponen bangsa, termasuk birokrasi untuk mendukung revolusi
yang digagasnya membuat birokrasi terpolitisasi sedemikian rupa. Ideologi ini kemudian
yang ditentang oleh Bung Hatta yang menginginkan birokrasi profesional dan berfungsi
secara total sebagi public servant. Puncak dari perbedaan pemahaman ini adalah mundurnya
Hatta dari jabatan wakil presiden.140

139
Rodi Wahyudi. “Maladministrasi Birokrasi di Indonesia Dalam Perspektif Sejarah”. Jurnal Niara.
Vol. 13. No. 1 (2020). hal. 150
140
Wayu Yudiatmaja. loc.cit. hal. 19
Para birokrat masih gigih memperjuangkan negara dan persatuan bangsa, sehingga
tidak jarang kelompok mayoritas menundukkan kelompok minoritas demi persatuan bangsa
dan keutuhan bangsa. Yuanshen dapat dikesampingkan sementara oleh dewa negara. Satu-
satunya organisasi politik asli yang mengancam negara dan bangsa Indonesia adalah Partai
Komunis Indonesia (PKI). Mereka mengobarkan pemberontakan untuk menguasai birokrasi
pemerintah sekaligus menggusur pemerintah yang sah. Pada periode selanjutnya, birokrasi
Indonesia mulai dikuasai oleh keinginan-keinginan primitif yang kuat. Birokrasi
pemerintahan mulai menjadi sasaran kekuatan politik yang ada. Partai politik mulai berupaya
menguasai birokrasi pemerintah. Bahkan antara tahun 1950 dan 1959, birokrasi pemerintahan
berada di bawah pimpinan partai yang mayoritas di Republik Demokratik. DPP semakin kuat,
tetapi birokrasi sebagai pelaksana politik semakin lemah. Hal ini disebabkan karena partai-
partai politik yang dibentuk pada waktu itu berdasarkan Manifesto 3 November 1945
memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk membentuk partai-partai politik yang
mereka pilih sendiri. Pada akhirnya, partai mengendalikan kementerian dan kementerian, dan
tidak jarang kabinet pemerintah mengalami pasang surut tergantung pada perpecahan yang
diinginkan partai. Birokrasi periode ini juga memiliki kesetiaan ganda; di satu sisi kepada
partai yang didukungnya, dan di sisi lain kepada rakyat yang dilayaninya.141

Kemudian pada periode 1960-1965, birokrasi menjadi sasaran kekuatan politik yang
ada. Ada tiga kekuatan politik yang cukup besar saat itu, Nasionalisme, Agama, dan
Komunisme (Nasakom), yang mencoba membagi wilayah atau bidangnya di berbagai sektor.
Di bawah label "Booting Democracy", ketiga kekuatan politik ini masuk ke dalam birokrasi
pemerintahan. Keadaan sistem politik primitif memiliki pengaruh yang kuat terhadap
birokrasi, sehingga birokrasi pemerintah mulai menunjukkan dirinya melawan kekuatan
politik yang ada. Lebih tepatnya, birokrasi pada saat itu telah jatuh ke dalam jerat yang
dipasang oleh kekuatan politik Nasacombe. Hal ini terlihat dari pecahnya peristiwa G.30
S/PKI dimana pasukan komunis telah memasuki hampir semua departemen pemerintahan,
sedangkan kekuatan nasionalis dan agama hanya menduduki sebagian kecil dari departemen
yang ada. Kemudian pada masa antara 1965 sampai masa Orde Baru (era pemerintahan
Soeharto), birokrasi lebih jelas kepemihakannya kepada kekuatan sosial politik yang
dominan; dalam hal ini Golkar. Salah satu faktor yang menentukan kemenangan Golkar pada
enam kali pemilu (sampai 1997) adalah karena peranan birokrasi yang cukup kuat. Kesadaran

Agus Dwiyanto. 2016. Memimpin Perubahan di Birokrasi Pemerintah : Catatan Kritis Seorang
141

Akademisi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. hal. 54


politik di masa awal kemerdekaan yang memandang birokrasi sebagai alat pemersatu bangsa
yang sangat ampuh, rupanya dipakai pula pada masa tersebut.

Pada masa ini birokrasi telah mengalami politisasi yang luar biasa intens. Birokrasi
pemerintah sepenuhnya ditempatkan sebagai alat politik pihak yang berkuasa atau
berpengaruh. Apalagi pemerintahan pada saat itu adalah sistem parlementer. Ini benar-benar
arena bermain dalam birokrasi dan sistem kerja yang tidak sehat. Kinerja birokrat yang tidak
profesional, pergantian pejabat yang sering terjadi, dan meritokrasi membuat birokrat tidak
dapat mengimplementasikan kebijakan. Memangku jabatan bukan berdasarkan prestasi, tetapi
atas dasar loyalitas politik kepada partai.Birokrasi penuh dengan kontradiksi internal dan
saling curiga terhadap kepentingan politik, yang pada akhirnya berujung pada kemerosotan
kinerja birokrasi.142

Kebijakan massa mengambang memungkinkan birokrasi menjangkau setiap sudut


desa negara kita. Ini potensi kemenangan Golkar untuk menguasai birokrat, dan birokrat
sama dengan Golkar karena birokrat tidak punya pilihan selain menggunakan hak pilihnya
(menjadi pemilih) dan memilih Golkar. Dengan menggunakan model tiga cabang yang
dikenal dengan garis ABG (ABRI, Birokrasi, Keluarga Golkar), semakin terlihat bahwa
birokrasi dipolitisasi oleh kekuatan politik tertentu. Mulai dari presiden, menteri, gubernur,
dan seluruh jajaran yang tergabung dalam pemerintahan Golkar, menunjukkan betapa
sulitnya membedakan antara pemerintah (birokrasi) dan politik (Gorkar). KORPRI yang
diharapkan menjadi arena resmi semua pegawai negeri sipil yang bukan milik pemerintah
manapun, bersifat netral, mengingat satu-satunya kekuatan sosial politik yang memiliki akses
ke birokrasi adalah Golkar.Sesulit apa mempertahankannya? , kekuatan politik lainnya baru
saja melewati batas. Ketika pemerintahan Soeharto tumbang dan Habibie muncul
menggantikannya, angin reformasi mulai berhembus. Namun, keadaan birokrasi Indonesia
tidak banyak berubah. Seperti diketahui, pengangkatan Habibie (1998) menggantikan
Soeharto didukung penuh oleh Golkar. Habibie kemudian digantikan oleh duet Gus Dur-
Mega yang menghadirkan nuansa baru di ranah pemerintahan, termasuk birokrasi.
Pemerintahan Gus Dur dibangun di atas kompromi oleh hampir semua kekuatan politik yang
ada, sehingga apa yang disebut dengan persatuan nasional terdiri dari anggota partai-partai
besar yang meraih suara signifikan pada Pemilu 1999 Sebagai Kabinet, atau Kabinet Gotong

142
Ibid. hal. 55
Royong. Setelah itu wacana birokrasi kembali aktif. Salah satu bentuk gerakan reformasi
adalah bentuk birokrasi.143

Pada sistem birokrasi masa orde lama ini terdapat dua persoalan yang menjadi dilema
yaitu pertama, bagaimana cara menempatkan pegawai yang ikut berjuang untuk kemerdekaan
Indonesia, tetapi tidak bisa bekerja di kantor pemerintah. Kedua, bagaimana pula
menempatkan pegawai yang sebelumnya telah berpengalaman kerja dengan kolonial
Belanda, namun mereka dianggap berkhianat terhadap bangsa Indonesia. Melihat hal ini
maka perlu dilakukan sebuah reformasi birokrasi pemerintah agar dapat menciptakan
kestabilan sistem birokrasi pemerintah. Reformasi Birokrasi pemerintah ini sebelumnya
pernah dilakukan pada jaman pemerintahan Bung Karno dengan membuat slogan yang
terkenal yaitu retooling aparatur. Sehingga pada saat itu Bung Karno membutuhkan
kementerian yang memiliki tugas untuk melakukan retooling. Retooling walaupun
mempunyai konotasi untuk melakukan penghapusan pegawai yang kontra revolusi atau visi
misi pemerintah, kementerian ini memang pada hakikatnya berniat untuk melakukan
pembaharuan pegawai. Sejak saat itu kementerian ini berubah dari retooling yang
sebelumnya berkonotasi “pemecatan” pegawai menjadi penertiban dan pendayagunaan
aparatur.144

Akan tetapi, pengertian aparatur masih belum dapat memberikan solusi yang jelas
mengenai apa yang ingin diperbaharui. Hal tersebut masih ditekankan pada pegawai yakni
orang-orang atau sumber daya manusia yang bekerja sebagau aparat pemerintah dan negara.
Setelah proklamasi pemerintah pada akhirnya dapat melaksanakan pemerintahan sendiri, saat
itu sistem pemerintahannya masih meniru dan mewarisi sistem administrasi dari
pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Sistem pemerintahan kolonial ini digunakan karena
mengingat penjajahan oleh Belanda sendiri yang sangat lama mengakibatkan sistem
administrasi Belanda ini banyak berpengaruh dalam tatanan sistem pemerintahan Indonesia.
Namun sistem ini lambat laun telah dirasa tidak lagi memadai lagipula semangat ingin
membebaskan diri dari warisan kolonial dan semangat kemerdekann masih berkobar di
bangsa kita, sehingga mengakibatkan terbentuknya sistem administrasi negara yang baru.

143
Lili Romli. “Masalah Reformasi Birokrasi”. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS. Vol. 2. No. 2 (2008).
hal. 4
144
Rosalina Ginting & Titik Haryati. “Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia”. Jurnal Ilmiah CIVIS. Vol. 1.
No. 2 (2011). hal. 31
Pembaruan sistem administrasi ini mengikuti sistem yang ada di Amerika Serikat,
dimana telah berkembang sistem administrasi negara yang modern dan yang lebih praktis dan
efisien. Maka Presiden Soekarno mengutus Perdana Menteri H. Djuanda untuk mengundang
perwakilan dari Amerika Serikat yaitu Guru Besar Ilmu Administrasi Publik dari Cornell dan
Pittsburg didatangkan ke Indonesia untuk memberikan solusi dalam perbaikan dan
pengembangan sistem administrasi negara kita. Hasil dari perutusan ini adalah dilakukan
reformasi administrasi pemerintahan. Kemudian dimulai penataan kementerian sehingga
didirikan lembaga yang dijadikan sebagai pusar pelatihan dan pengembangan tenaga-tenaga
administrasi negara, didirikannya fakultas dan universitas yang mengajarkan Ilmu
Administrasi Negara seperti yang dikembangkan oleh Amerika Serikat, dan dibangun badan
perancang nasional yang kelak kemudian berubah menjadi Bappenas.145

Reformasi dilakukan pertama kali ketika jaman kepresidenan Soekarno yang didorong
oleh perubahan yang terjadi di lingkungan nasional maupun internasional. Lingkungan
strategis nasional yaitu tata sistem pemerintahan warisan kolonial Belanda yang mengalami
perubahan menjadi tatanan sistem administrasi yang bersifat modern pengaruh dari Amerika
Serikat. Pengaruh internasional terjadi berawal dari sistem administrasi yang modern, praktis
dan efisien yang diprakarsai oleh Amerika Serikat tadi. Leverage points ditandai dari adanya
perubahan baik dilingkungan strategis nasional maupun global. Pemerintahan Presiden
Soekarno mempunyai pandangan yang jelas terhadap administrasi negara. Perhatiannya untuk
mengembangkan sistem administrasi negara sangat besar dengan didirikannya pada waktu itu
Lembaga Administrasi Negara yang diharapkan sebagai lembaga kajian untuk
mengembangkan Ilmu Administrasi Negara yang bisa diterapkan dalam kegiatan sehari-hari
dari praktika kepemerintahan.

Sebagai bagian dari reformasi administrasi, reformasi birokrasi melibatkan cakupan


wilayah yang luas dan muatan yang kompleks, namun memiliki tujuan yang jelas, yaitu
meningkatkan kinerja administrasi birokrasi pemerintah. Agenda kebijakan reformasi
birokrasi bertujuan untuk meningkatkan kinerja administrasi individu, kelompok, dan
lembaga agar dapat mencapai tujuan kerjanya secara lebih efisien, ekonomis, dan cepat. Jelas
pandangan ini lebih ditujukan khusus untuk memperbaiki struktur birokrasi dan mengubah
perilaku pejabatnya, sehingga diperlukan upaya peningkatan kinerja birokrasi pemerintah.
Siagian (1983) melihat pentingnya arah reformasi administrasi di Indonesia yang lebih

145
loc. cit. hal. 31
diarahkan pada pembangunan infrastruktur administrasi, meliputi pengembangan birokrasi,
struktur organisasi, sistem kerja dan prosedur. Sementara itu, Tjokroamidjojo (1985) dalam
analisisnya tentang administrasi pembangunan di Indonesia menegaskan bahwa arah
reformasi birokrasi perlu menyasar tujuh bidang perbaikan administrasi, yaitu: perbaikan
bidang pembiayaan pembangunan; penyusunan program di berbagai bidang ekonomi dan non
ekonomi secara terpadu; reorientasi aparatur sipil negara menuju produktivitas, prestasi dan
penyelesaian masalah; perbaikan administrasi untuk mendukung pembangunan daerah;
manajemen partisipatif yang mendorong keterampilan dan semangat masyarakat; kebijakan
administrasi untuk menjaga stabilitas di proses pembangunan, penyelenggaraan negara yang
bersih (good governance).146

Korupsi pada masa Orde Lama

Korupsi sebenarnya bukan penyakit asing. Merupakan penyakit keturunan karena


pucuk kebusukan sudah ada pada tubuh bangsa Indonesia tidak hanya pada masa penjajahan
Indonesia oleh negara jajahan, tetapi juga pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan kepulauan.
penyebaran dan penanggulangannya. Seorang ahli menulis bahwa pada masa kerajaan Islam
Nusantara, undang-undang di Malaka yang dijadikan acuan hukum oleh beberapa kerajaan
Islam di wilayah Sumatera termasuk undang-undang yang secara khusus melarang suap. ,
seperti makanan atau uang yang diberikan oleh Baitul Maru, dianggap suap dan sangat ilegal.
Pembusukan adalah salah satu masalah serius pada tubuh pemerintah. Ini bukan hanya
masalah lokal, tetapi telah menjadi fenomena internasional yang mempengaruhi seluruh
masyarakat dan mengganggu semua aspek kehidupan. Perhatian masyarakat internasional
terhadap fenomena korupsi ini sangat tinggi. Upaya pemberantasan korupsi didukung oleh
lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, ADB, dan IMF, serta organisasi
internasional seperti OECD dan APEC.

Melanjutkan dari Indonesia kuno, tengah, dan modern, korupsi tampaknya sudah
mengakar. Bahkan Azura menilai budaya korupsi sudah mencapai tingkat yang berbahaya
bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan berbangsa Indonesia, bisa dibilang sudah
dengan saya. Kelahiran bangsa tampaknya dibarengi dengan korupsi. Karena negara memiliki
kekuasaan yang mudah disalahgunakan jika tidak dipercaya. Masalah ini diperjelas dalam
pernyataan terkenal Lord Acton, "Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut

146
Rina Martini. “Politisasi Birokrasi di Indonesia”. POLITIKA. Vol. 1. No. 1 (2010). hal. 71
cenderung korup absolut." Indonesia bukan tanpa usaha untuk memberantas korupsi. Sejak
era orde lama dan orde baru hingga era reformasi, pemerintah telah berupaya memberantas
korupsi. Bahkan TAP MPR dikeluarkan pada masa Orde Baru untuk memberantas korupsi
dan pada tahun 1971 pemerintah Indonesia memberlakukan UU No 3 Tahun 1971. korupsi
masih dilakukan oleh para pengkhianat negara. Soeharto juga mengundurkan diri atas dugaan
referensi KKN. Program pemberantasan KKN yang dipimpin mahasiswa pada tahun 1998
berujung pada lengsernya Soeharto.147

Korupsi tentu saja dapat dipahami secara sederhana sebagai tindakan “mencuri” uang
negara dari rakyat. Kata korupsi sendiri berasal dari nama latin ``corruptio'' (berasal dari kata
kerja corrumpere), yang berarti merusak, merusak, menggoyahkan, memutarbalikkan, atau
menyuap.Menurut Wikipedia Indonesia, korupsi merujuk pada politisi dan pegawai negeri. ,
dan pihak-pihak lain yang terlibat dalam perbuatannya, secara tidak adil dan melawan hukum
mengeksploitasi kepercayaan publik yang dipercayakan kepadanya untuk keuntungan
sepihak.Hingga Orde Reformasi saat ini telah melahirkan berbagai peraturan perundang-
undangan untuk memberantas korupsi. Prosedur penetapan pengganti UU No. 24 Tahun 1960
tentang Penyidikan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
Tindak Pidana Korupsi Nomor 3 Tahun 1971, Pasal 31 Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi Tahun 1999. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-
undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-
undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi PBB Menentang Korupsi Tahun
2003.148

Namun sejauh ini, pertanyaan mendasarnya adalah apakah regulasi yang ada cukup
untuk memberantas korupsi di negara kita.Atau adakah isu lain yang menjadi fokus dalam
memerangi korupsi? Secara khusus, untuk memberikan analisis alternatif terhadap pandangan
yang selama ini hanya menganggap persoalan moral sebagai penyebab utama munculnya
korupsi dalam kehidupan kita. Masalah utama korupsi adalah moralitas individu di negara
kita. Ini adalah ucapan umum yang Anda dengar di mana-mana. Terlepas dari kebenaran
yang dikandungnya, kalimat tersebut terasa sangat salah. Dimensi moral tidak boleh langsung
dianggap sebagai salah satu aspek korupsi di Indonesia. Moral seseorang sangat dipengaruhi
oleh lingkungan dan hubungan sosialnya. Tingkat moralitas yang dibangun dalam diri

147
Rosihan Anwar. 2006. Sukarno-Tentara-PKI. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Hlm 285

148
Ibid. hal. 286
seseorang tergantung pada seberapa banyak ia menyerap nilai-nilai yang dihasilkan oleh
lingkungannya (pervasive values). Semangat rakyat anjlok selama 32 tahun Orde Baru
berkuasa kepentingan politik yang dominan saat itu. Negara sengaja membangun stigma dan
penyalahgunaan melalui pemerintah dengan melegalkan praktik korupsi pejabat publik.
Korupsi juga dilegalkan secara terang-terangan di mata masyarakat kita sendiri, karena
bentuk dan pola praktik kekuasaan cenderung menindas, penyalahgunaan dana publik dalam
bentuk korupsi mungkin sudah diketahui semua orang (bahkan ada yang pura-pura tidak
tahu). Namun budaya politik bungkam yang didominasi oleh pemerintah membuat
masyarakat terlihat diam dan acuh tak acuh karena ketakutan yang sengaja dan sistematis
diciptakan pemerintah saat itu. Adu mulut berarti mengolah kekuatan, yang tentu saja
berujung pada tekanan dan penindasan terhadap mereka yang berani angkat bicara.

Meski Indonesia baru saja merdeka, masalah korupsi sudah ada dalam kehidupan
masyarakat Indonesia pada masa Orde Lama. Pada masa pemerintahan kabinet Ali I, terdapat
salah satu korupsi yang dilakukan oleh Husin Rimbala adalah pemimpin partai Indonesia
yang berkomplot untuk memenangkan pemilihan parlemen, membiarkan rakyatnya tetap
berkuasa di pemerintahan. Upaya akan dilakukan untuk menjalankan kampanye sebagai
sosialisasi dan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Kampanye pemilu partai politik
tentu membutuhkan sumber daya yang sangat besar, sehingga seluruh anggota partai dan
pimpinan didorong untuk mencari dukungan dari pihak lain, wajib ikut serta dalam ancaman
ideologi sesat partai politik.149

Husin Limbara mencoba membuat rencana untuk memenangkan pemilihan sebagai


ketua partai, tetapi ini membutuhkan banyak uang. Husin Limbara berbicara dengan Raden
Kaslan dan mewujudkan ide mengambil tindakan yang bisa menguntungkan partai. Raden
Kaslan menyarankan untuk membuat perusahaan fiktif (N.V) untuk mendapatkan dana
kampanye dengan cepat tanpa mengeluarkan banyak uang. Perusahaan fiktif (N.V.) yang
didirikan tokoh partai politik akan digunakan untuk mendapatkan izin impor dari
Kementerian Perekonomian. Lisensi impor dikeluarkan melalui konsultasi dengan pejabat
yang tergabung dalam pihak Indonesia sendiri. Perusahaan fiktif yang dibuat beroperasi atas
nama kerabat dan kolega pengurus partai, termasuk Suryono (anak Raden Kaslan) dan
istrinya Fatrna, sehingga menjaga kerahasiaan dan menyimpan keuntungan di satu tempat
terus menyesuaikan diri. Izin impor yang diajukan Raden Kaslan untuk perusahaan fiktif
149
Nugroho Pratama. 2013. Sejarah Penanganan Korupsi di Indonesia, Orde Lama[1]Orde Baru, (Jakarta:
Gramedia), hal. 2.
yang didirikannya ternyata menguntungkan tidak hanya bagi partai, tetapi juga bagi dirinya.
Dia memperoleh sebanyak-banyaknya terlepas dari kerugian yang ditanggung oleh bangsa
miskin dan rakyat biasa akibat inflasi nasional.Pemerintah telah menempatkan banyak
pengurus partai di kementerian-kementerian dengan fungsi politik penting dan mendanai
bank-bank negara. Ini jelas ditujukan untuk mengatur dan memfasilitasi tujuan partai dalam
mengeksploitasi kekuasaan yang dimilikinya saat ini. Tindakan ini didalangi oleh kader partai
yang dekat dengan kekuasaan dan menimbulkan korupsi, kolusi dan nepotisme karena
pemerintah melindungi kepentingan kader partai. Motif korupsi Sugeog tidak seperti yang
lain di Partai Indonesia: permintaan istrinya untuk rumah baru, bebas dari belenggu
kemiskinan, untuk kelahiran bayi adalah objek korupsi yang dilakukan oleh Sugeng.

Kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia pada tahun 1950-
an merupakan salah satu faktor terjadinya korupsi, dan pegawai negeri khususnya memiliki
kesempatan yang sangat baik untuk melakukan hal tersebut. Hal ini dikarenakan keinginan
untuk mendapatkan hasil yang segera tanpa harus menunggu lebih lama atau bekerja lebih
keras lagi, korupsi adalah hal yang wajar dan dapat diterima. Awalnya, korupsi yang
dilakukan Sugeng berupa penjualan izin kepada pengusaha yang membutuhkan tanpa
sepengetahuan Kementerian Perdagangan. Namun ia menjadi kecanduan, kehilangan kendali
atas dirinya sendiri, bahkan mencari perlindungan dari pihak tersebut untuk menghindari
hukum. Akibat bergabung dengan partai Indonesia, orang kaya tidak hanya melakukan
korupsi, tetapi juga berkolusi dengan anggota partai dalam pekerjaannya mengeluarkan izin
khusus.Kerja sama Sugeng dengan pihak Indonesia yang dilindungi partai itu saling
menguntungkan. Di sisi lain, pihak diuntungkan dengan menggunakan Sugeng untuk
mengeluarkan izin khusus. Mengenai keuangan partai, sumber sejarah menunjukkan korupsi
besar-besaran di tingkat menteri selama kabinet Ali Sastroamijojo untuk mengumpulkan uang
untuk kampanye partai. Dalam hal ini, PNI paling diuntungkan karena memegang jabatan
keuangan, ekonomi, dan perdana menteri dalam kabinet Ali.

Masalah pemberian izin khusus, yang diidentifikasi dalam SDJ sebagai


penyimpangan dari perilaku pemerintah, juga ada dalam konteks sejarah rezim Ali I pada
tahun 1954. Iskak. Kebijakan politik Pak Iskaq Tjolaoadisoerjo, khususnya yang berkaitan
dengan 'izin khusus' impor, telah dikritik habis-habisan oleh Masyumi dan PSI sebagai sia-sia
dan diskriminatif. Korupsi yang dilakukan oleh pemerintah dicermati oleh parlemen yang
tergabung dalam kelompok oposisi.Kedudukan Kabinet akan diperkuat dengan dukungan dari
mereka yang melakukannya. Singkatnya, ada banyak trik yang digunakan partai politik untuk
memenangkan pemilu. Namun, satu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa penipuan dan
penggelapan ini mendapat sorotan dari masyarakat luas. Partai politik masih malu dan ragu
karena praktik dan penipuan ini dipantau dan dikritik oleh oposisi dan rekan-rekan mereka.
Untuk mencegah dan melindungi praktik korupsi tersebut, SDJ menjelaskan bahwa partai
politik menggunakan propaganda melalui media untuk memberitakan fakta yang
menguntungkan pemerintah. Propaganda dilakukan dengan mempekerjakan wartawan Halim
untuk menjalankan Suluh Merdeka setiap hari. Harapan penguasa saat itu adalah agar
wartawan Halim memberitakan hal-hal yang baik seolah-olah tidak ada kecurangan
pemerintah dan menyadarkan masyarakat, karena kelompok oposisi melaporkan telah terjadi
korupsi pemerintah.

Pada 1961, kasus korupsi yang melibatkan Yayasan Masjid Istiqlal juga terungkap.
Pada 25 Januari 1964, ada berita kasus korupsi di Rumah Sakit Umum Semarang.
Pembangunan "Rumah Pers". Dalam hal ini, berdasarkan kasus korupsi yang terjadi pada
masa Orde Lama, penulis menemukan beberapa kasus korupsi yang berhasil diekspos di
media massa. Sedikitnya kasus korupsi yang terekspos di media massa bukan karena korupsi
yang berkurang pada masa Orde Lama, namun menurut Jenderal AH Nasution, sebagian
besar pengumuman hasil korupsi yang terungkap sebagian besar diajukan dan baru
dilaporkan ke pemerintah. Pihak yang berwenang yaitu kejaksaan. Hal ini, menurut Jenderal
A.H. Nasution, kasus-kasus korupsi yang muncul menunjukkan ada yang tidak beres dengan
BUMN atau pemerintah. Peristiwa korupsi yang terjadi pada masa Orde Lama seringkali
disebabkan oleh kurangnya pengawasan terhadap bawahan oleh atasan, dan orang-orang yang
tidak bertanggung jawab memanfaatkan keadaan tersebut untuk kepentingan diri sendiri.
Pasalnya, kemerdekaan baru Indonesia pada era Orde Lama telah menggoyahkan sistem
pemerintahan Indonesia.150

Salah satu upaya pemerintah Orde Lama memberantas korupsi adalah pendidikan
lembaga antikorupsi. Badan antikorupsi pertama disebut Komisi Peralatan Peralatan Nasional
17, atau disingkat PARAN. Pengertian PARAN sendiri adalah menata ulang, baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama, susunan dan tata kerja semua lembaga pemerintahan
di bidang legislatif, eksekutif dan bidang lainnya di daerah dan pusat, berkoordinasi dengan

150
Hikmatus Syuraida. “Perkembangan Pemberantasan Korupsi Di Indonesia Era Orde Lama Hingga Era
Reformasi”. AVATARA. Vol. 3. No. 2 (2015). hal. 234
Manifesto Politik dan USDEK, serta secara nasional Mencapai jangka panjang. -tujuan
jangka pendek dan jangka pendek. PARAN diketuai oleh Jenderal A. H. Nasution melakukan
PARAN pendataan kekayaan dan aset yang dimiliki oleh pejabat negara dalam melaksanakan
reformasi kelembagaan di bidang legislatif, administrasi dan bidang lainnya.

Dalam hal ini, PARAN hanya melakukan tindakan pencegahan untuk mengatasi
masalah korupsi, namun pada akhirnya PARAN menindak tegas para pelaku korupsi yang
dikenal dengan Operasi Budi. Jika PARAN intinya adalah memantau harta milik pejabat dan
mengumpulkan data, Operasi Budi membawa penipuan ilegal langsung ke pengadilan. Dalam
hal ini, tugas Operasi Budi menjadi semakin sulit. Pada tanggal 27 April 1964, Presiden
mengeluarkan Surat Perintah Pelaksana No. 98 Tahun 1964 tentang pembentukan KOTRAR.
KOTRAR adalah singkatan dari Komando Tinggi Reformasi Alat Revolusi, sebuah badan
pemerintahan tetap yang dipimpin langsung oleh Presiden Sukarno. Dalam hal ini KOTRAR
bertugas untuk mengembangkan, memelihara dan mengusahakan alat-alat yang inovatif
untuk mencapai hasil yang efektif dan efisien dalam kegiatan yang ditujukan untuk mencapai
tujuan Revolusi Indonesia..Pada akhirnya, lembaga antikorupsi bentukan pemerintah era
Orde Lama gagal dan gagal menjalankan tugasnya dengan baik.151

B. Masa Orde Baru


Birokrasi masa orde baru

Keruntuhan Orde lama termasuk juga karena pengaruh dari adanya peristiwa G30S PKI.
Keruntuhan PKI yang pada saat itu telah menjadi partai terbesar di Indonesia memberikan
konsekuensi yang akhirnya berpengaruh pada tatanan politik di Indonesia. Birokrasi pada
masa orde baru memiliki hubungan erat terutama dengan pemeliharaan kepentingan politik.
Pada masa ini diterapkannya kebijakan yang bertujuan untuk pelaksanaan program
pembangunan nasional. Birokrasi berhubungan dengan ABRI. Jika dilihat dari birokrasi masa
pemerintahan orde lama yang menunjukan adanya peran kelompok-kelompok politisi dan
pamong praja. Namun di masa orde baru peran kelompok bersenjata ABRI dan Golkar yang
mana partai golkar memenangkan pemilu sebesar 63%152.

151
loc.cit. hal. 235

152
Zainul djumadin “Birokrasi dan politik pada era pemerintahan orde baru di Indonesia” LPU-UNAS, Jakarta.
Hlm 74.
Birokrasi secara umum berarti alat kelengkapan negara, terutama meliputi bidang
kelembagaan yang mempunyai tanggung jawab melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari.
Secara umum, pembangunan birokrasi mencakup berbagai aktivitas terencana yang
berkelanjutan yang ditujukan untuk meningkatkan efektivitas pemerintahan dalam
menjalankan fungsi-fungsinya. masa ini pemerintah orde baru memakai birokrasi daerah.

Adanya pemberlakuan kebijaksanaan restrukturisasi politik telah mengalami perubahan


dan perkembangan hal ini juga mencakup persoalan terkait dengan kekuasaan dan politik.
Birokrasi kemudian memainkan pera153n yang penting dalam masa keberlangunsan orde ini.
Penerapan sistem birokrasi pada orde ini telah didominasi oleh para kelompok militer. Jika
dilihat dari peran kelompok militer di Indonesia telah mengalami berbagai perjuangan
terutama dalam menghadapi tekanan agresi militer Belanda pada masa awal orde lama. Hal
ini kemudian melahirkan kelompok TNI guna untuk menjaga dan mempertahankan Negara
dari ancaman karena sebagai negara yang baru mengalami kemerdekaan. Pada masa itu pun
saat demokrasi terpimpin telah diterapkan peristiwa besar kemudian terjadi akibat kelompok
PKI yang membuat runtuhnya orde lama. Pada masa tersebut peran militer sangat diuji dan
penuh lika-liku perjuangan154.

Peran Presiden Soeharto masa ini sangat memberikan gambaran yang mencolok. Ia yang
juga berasal dari latar belakang yang sama yakni dari kelompok militer. Fakta ini kemudian
menjadi jawaban juga mengapa kemudian dominasi peran kelompok militer nantinya akan
sangat menonjol. Karena pemerintahannya yang didukung dari kelompok militer. Masa
pemerintahanya ini ia bahkan telah mendominasi elemen dalam pemerintahan baik di
dalamnya maupun luar. Dalam sistem birokrasi yang diterapkan membuat ada campur tangan
posisi birokrasi melalui Kelompok ABRI. Pemerintahan yang dijalankan baik itu terdapat
keterkaitan dengan peran kelompok elit dan militer yang hal ini menggambarkan adanya
tekanan dari kelompok militer khususnya kepada masyarakat. Kelompok yang soeharto
maksudkan disebut juga kelompok “inti” yang akan membantu soeharto dalam menjalankan
otoritas terhadap jajaran birokrasinya. Para Perwira memiliki peran sebagai kontrol sosial
bagi masyarakat dan integrasi kepemimpinan antara militer dan politik menempatkan peran
jenderal-jenderal ke dalam birokrasi sipil155.

153
154
Joshua Norman “ patrimonialisme dalam pemerintahan orde baru di Indonesia, 1965-1998” vol.2 hlm. 5
155
Ibid hlm.6
Jika dibandingkan dengan birokrasi masa orde lama dengan peran partai politik sangat
mendominasi, maka di orde baru ini kemudian mengalami pembatasan. Peran partai politik
hanya tidak sebesar masa orde lama terutama termasuk dengan peran pegawai negeri.
Soeharto bertujuan ingin mendisiplinkan kembali elemen-elemen dalam pemerintahan
dengan penetapan Undang-undang meliputi peraturan pemerintah nomor 6 tahun 1970, TAP
MPRS Nomor XLI/MPRS/1968, keputusan presiden no 82 tahun 1971, permendagri nomor
212 tahun 1969. Pada masa ini kelompok militer sebagai lembaga politik yang dominan dan
masa rezim ini bersifat Otoriter156.

Rezim ini seperti memberikan kontrol pada masyarakat mengenai berbagai kebijakan
yang telah diberlakukan. Adanya proses pembentukan suatu tatanan politik ini banyak
berdampak buruk bagi sistem demokrasi. Aparatur pemerintah sebagai alat untuk menopang
kekuasaan dan alat politik. Organisasi pemerintahan yang digunakan sebagai capaian suatu
negara seringkali mengalami hambatan. Birokrasi nyatanya banyak yang cenderung
berperilaku selayaknya raja dan pelayan yang harus tunduk pada kebijakan yang ditetapkan
dengan membatasi ruang gerak masyarakat terutama dalam demokrasi. Sistem birokrasi pada
masa ini identik dengan terlalu lamban dan berbelit-belit serta maraknya kasus korupsi yang
terjadi.

Masa orde baru sekaan dijadikan sebagai “alat politik” dalam membuat birokrasi menjadi
partisan untuk kepentingan Partai golongan Karya 157. Telah disinggung di awal bahwa orde
baru juga ingin menciptakan stabilitas ekonomi yang juga melahirkan kontrol terhadap
kehidupan politik rakyat. Birokrasi seakan sebagai sebuah konspirasi agar memperkuat
kekuasaan pemerintah dan berperan sebagai pilar kekuatan politik.

Perkembangan politisasi birokrasi di Indonesia masa ini menunjukan bahwa salah satu
partai politik berpengaruh di Indonesia yakni Golkar seakan mendapat dukungan penuh dari
birokrasi dan militer. Sebenarnya partai Golkar sendiri tidak ingin dianggap sebagai partai
politik namun pada kenyataannya peran partai ini juga menjuru pada permasalahan politik.
Partai ini seperti mendapat dukungan dari orang dalam yakni dari golongan militer sendiri.

Pemerintahan Orde Baru mulai menggunakan birokrasi sebagai kelancaran program


pembangunan nasional. Reformasi birokrasi yang dilakukan diarahkan pada :

156
Andian Firnas 2016 “Politik dan birokrasi: masalah netralitas birokrasi di Indonesia era Reformasi” jurnal review politik
vol.06, no 01 hlm. 162
157
Ibid. hlm.164
1. Memindahkan wewenang administratif dalam hierarki birokrasi.
2. Untuk membuat agar birokrasi responsif terhadap kehendak kepemimpinan pusat.
3. Untuk memperluas wewenang pemerintah baru dalam rangka mengkonsolidasikan
pengendalian atas daerah-daerah.

Kontrol pada masyarakat dapat dilihat dari faktanya bahwa pada masa itu PNS hanya
diperbolehkan untuk memberikan aspirasi mereka kepada partai ini. Sehingga ada tiga tempat
kepada partai ini yakni dari golongan PNS, golongan militer dan birokrasi. Dapat dilihat
peranan birokrasi seakan sebagai pancingan untuk mendukung pemenangan partai politik
dalam pemerintahan158. Peranan birokrasi pada masa ini menurut Imawan ialah memiliki
andil dalam memegang sentral kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya dan masyarakat.
Aspek-aspek kehidupan rakyat seakan tidak terlepas dari kebijakan birokrasi dalam
pemerintahan.

Karena mencakupnya aspek-aspek kehidupan tersebut akhirnya membuat birokrasi masa


pemerintahan ini banyak terjadi KKN. Kesulitan yang dialami masyarakat dengan kebijakan
yang diberlakukan seperti halnya izin mendirikan bangunan, harus menjalani berbagai proses
yang terlalu berbelit-belit dan harus berhubungan langsung dengan yang bersangkutan baik
dimulai dari tingkat desa, kecamatan dan seterusnya. Kultur kekuasaan politik melekat sekali
pada birokrasi di masa ini. Adapun berbagai dampak yang terjadi adalah fakta bahwa
birokrasi ini pemerintah tidak lagi berfokus pada abdi masyarakat namun pada abdi negara.

Birokrasi Orde Baru terkena Parkinsonisasi, yaitu proses menjadikan fungsi birokrasi
untuk menampung kader-kader politik penguasa atau rezim. Sistem birokrasi seakan selalu
berusaha menggambarkan antara kekuasaan seorang raja. Karena keadaan pada rezim ini
yang lama kealaman memberikan kesulitan pada masyarakat membuat akhirnya kepercayaan
masyarakat terhadap birokrasi kurang. Apalagi saat terjadinya krisis ekonomi yang melanda
dan membuat kesengsaraan dengan kondisi ini masyarakat semakin kurang percaya terhadap
pemerintah karena penerapan dari awal yang seakan didikan sebagai alat politik negara.

Birokrasi masa ini sebagai strategi politik yang sekaligus mengontrol publik. Adanya
sistem korporatisme negara yang berarti kepentingan banyak diterapkan oleh rezim
pemerintahan otoritarian. Unit konstituennya memiliki jumlah terbatas dan tunggal. Birokrasi

158
Soebhan, S. R. (2000). Model Reformasi Birokrasi Indonesia. Ppw Lipi, hlm.4
sebagai alat pembangunan nasional. Berbagai kebijakan politik dari pemerintah selalu
menempatkan birokrasi sebagai sentral bagi pengaturan kehidupan masyarakat. Efek dari
kebijakan yang menjadikan birokrasi sebagai instrumen kekuasaan adalah tumbuh suburnya
budaya birokrasi yang sangat sentralistik dan berorientasi pada kekuasaan159.

Para birokrat era Orde Baru menyusun strategi politik korporatisme negara yang
ditujukan untuk membantu infiltrasi sosial dan kontrol penuh atas massa. Strategi politik
birokrasi adalah strategi untuk mengelola sistem advokasi melalui jaringan fungsional non-
ideologis, yang memberikan lisensi berbeda kepada kelompok fungsional dalam masyarakat.
Monopoli atau lisensi yang bertujuan menghilangkan konflik antar kelas atau kelompok
kepentingan dalam masyarakat yang menyebabkan hilangnya keragaman sosial, politik dan
budaya.Kelemahan birokrasi Masa ini diantaranya ialah karena terbatasnya ruang untuk
mengemukakan pendapat membuat banyak kasus terjadinya pelanggaran Hak Asasi manusia
diantara peristiwa-peristiwa penembakan yang akhirnya demonstrasi terjadi dimana-mana.
Pemerintah era ini juga dikenal dengan banyaknya korupsi, kolusi dan nepotisme yang
merajalela.

Karena pada konsep awal bahwa yang memiliki kekuasaan atau tempat pada
pemerintahan sebagian besar pasti akan mendapatkan kesejahteraan sedangkan hal ini
terbalik dengan mereka yang tidak memiliki kuasa atas parlemen. Pembangunan yang
ditujukan pemerintah untuk memajukan ekonomi hanya berpusat di Jawa dan kurangnya
perhatian terhadap pembangunan di luar wilayah ini. Akibatnya terjadinya
ketidakseimbangan antara posisi ini. Pada masanya memang pemerintahan masa Orde baru
telah dapat memberikan kesejahteraan pada masyarakat terutama juga pada bidang ekonomi
meliputi nasib para petani di Indonesia yang mendapat fasilitas yang cukup mewadahi.
Pembangunan yang kurang merata menjadi salah satu kelemahan dalam masa ini.

Kelebihan pada masa ini juga dapat dilihat dari pembangunan ekonomi sehingga
terjadinya peningkatan kemakmuran yang dirasakan masyarakat walaupun telah dijelaskan di
awal bahwa pembangunan tersebut tidak selamanya merata serta terjadinya Stabilitas politik
pada masa pemerintahan orde baru. Situasi politik yang dimaksud adalah jika kondisi dalam
politik mengalami kestabilan maka juga berpengaruh pada kestabilan ekonomi. Selain itu
kelemahan lainya mengenai ketidakterbukaan pemerintahan kepada pers.

159
Novy setia yunas 2016 “Kepemimpinan dan masa depan reformasi birokrasi di Indonesia “ jurnal trunojoyo
dimensvol.9 no 2 hlm. 107
Peran birokrasi tidak hanya memiliki akses yang kuat untuk membuat kebijakan yang
benar secara teknis, tetapi juga dapat memperoleh dukungan kuat dari masyarakat dan
komunitas bisnis., perencanaan pembangunan, pengelolaan infrastruktur, penyediaan
pendidikan dsb dan gambaran ini dapat dilihat dari masa pemerintahan orde baru.

A. Korupsi masa Orde Baru

Korupsi merupakan hal yang sering kita jumpai Dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Korupsi adalah masalah serius tidak hanya untuk Tidak hanya di Indonesia tapi di
semua negara dunia. Korupsi ada selama orang tahu itu kehidupan sosial. korupsi Itu mudah
pada awalnya, tetapi pada saat yang sama Korupsi dari waktu ke waktu berkembang menjadi
masalah yang sulit benar-benar diberantas. Ini dapat terjadi karena alasan berikut: Korupsi
yang sudah lama ada menjadi satu Sebuah budaya yang sangat sulit untuk dihilangkan dalam
kehidupan seseorang mensosialisasikan. efek tindakan Korupsi sangat merugikan orang lain
karena korupsi Perbuatan merampas hak orang lain dengan memanfaatkan situasi untuk
melakukannya dimiliki seseorang semakin korupsi.

Menurut Jack Bologne gone ada beberapa hal yang menjadi faktor mengapa orang
dapat melakukan tindak korupsi terutama para orang-orang yang telah memiliki kekuasaan
tinggi dan pendapatan tinggi namun masih tetap ingin mendapatkan keuntungan lebih.
Diantaranya meliputi sikap keserakahan dalam diri maupun pengaruh dari orang lain, adanya
kesempatan yang dapat digunakan untuk melakukan korupsi dapat dilihat jika lemahnya
penegakan hukum maka seperti memberikan kesempatan kepada para pengusaha atau pejabat
tinggi lainya untuk melakukan tindak pidana korupsi, ketiga yakni karena kebutuhan dalam
artian kebutuhan yang individu tersebut selalu merasa kurang dengan apa yang dicapai,
terakhir adalah pengungkapan. Dapat dikatakan bahwa korupsi tidak hanya sekedar untuk
memperoleh kepentingan seputar uang namun jabatan dan melakukan tindakan suap juga
termasuk dalam kategori ini. Dorongan untuk melakukan korupsi tidak hanya berasal dari
individu namun terkadang pengaruh orang lain.

Pada hari itu, Minggu 16 Agustus 1970, sehari sebelum peringatan 25 tahun kemerdekaan
Indonesia, Presiden Soeharto berpidato di rapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-GR)
Gotong Royong. Ini adalah pidato keempat Presiden Soeharto di sidang DPR-GR sejak
dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia pada sidang MPRS Maret 1968. Dalam
pidatonya, Presiden Soeharto secara terbuka mengecam pemerintahan lama yang
digantikannya, yaitu Presiden Sukarno. Prinsip-prinsip ekonomi dan organisasi ditinggalkan
di bawah slogan-slogan revolusioner, dengan dalih demi kepentingan revolusi. Dalam
pidatonya, Presiden Soeharto menyatakan, “Masalah ekonomi telah diabaikan dan negara kita
secara ekonomi telah menjadi salah satu negara terburuk di dunia. "Yang paling parah, seperti
yang dinilai oleh MPRS tahun 1966, adalah moralitas dan kebobrokan moral160."

Masa pemerintahan Orde baru yang kekuasaan berada pada kelompok militer dan partai
politik golkar. Memberikan berbagai permasalahan baru. Kebijakan yang banyak
menguntungkan pihak berkuasa membuat adanya kesewenang-wenangan yang akhirnya
terjadi. KKN berkemungkinan terjadi pada masa ini. Adanya monopoli yang dilakukan
penguasa yakni orang-orang yang memiliki jabatan tinggi dengan tujuan dari mereka
mendapat kesejahteraan tapi merugikan rakyat.

Upaya menangani kasus korupsi sangat sulit karena hingga saat ini pun penanganan dalam
mengungkap kasus korupsi masih sulit padahal dengan berbagai kebijakan tersebut
pemerintah masih kurang tegas. Pemberantasan Korupsi masa orde baru pada awalnya masih
mengikuti penanganan korupsi masa orde lama. Namun kemudian terdapat pembaharuan
pada tahun 1970 presiden soeharto kemudian membentuk komisi IV dengan tugasnya yakni
menangani masalah korupsi yang terjadi. Pada masa itu pembentukan komisi ini pernah
melakukan sebuah operasi tertib untuk memberantas korupsi. Kasus korupsi semakin banyak
pada saat memasuki tahun 1980 an yang masa kesadaran masyarakat terhadap sikap anti-
korupsi berkurang. semua kebijakan yang ada serta peraturan dan tindakan hukum harus
sesuai dengan kepentingan penguasa pemerintahan yang sedang berjalan pada saat itu161

Di era Orde Baru, Pemerintah mengeluarkan kebijakan UU yang mencakup terkait dengan
pelanggaran korupsi yang dilakukan para pejabat. Masa orde baru kebijakan mengenai
Korupsi yang dikeluarkan oleh pemerintah diantaranya:

160
Gedeona, T. H. (2013). Birokrasi Dalam Praktiknya Di Indonesia: Netralitas Atau Partisan? Jurnal

Ilmu Administrasi, 10(2), 232–245.

161
Sumarto, R. H. (2016). Model Kepemimpinan Dalam Reformasi Birokrasi Pemerintah. Efisiensi - Kajian
Ilmu Administrasi, 13(1). https://doi.org/10.21831/efisiensi.v13i1.7855
1. Adanya Undang-undang Nomor 3 tahun 1971 menggantikan Undang-undang
Nomor 24 prp tahun 1960. Isi dari UU ini adalah mengenai pemberantasan tindak
pidana korupsi. Namun kemudian mengalami perkembangan lagi162.
2. Pemerintah kemudian mengeluarkan kembali Undang-undang Nomor 11 tahun
1980. merupakan pembaharuan dari UU no 3 tahun 1971 yakni tentang tindak
pidana suap dan telah di Sah kan pada tanggal 27 oktober 1980. Hal yang berbeda
dari UU sebelumnya adalah isi dari UU ini lebih singkat jika dibandingkan pada
UU no 3 tahun 1971. UU ini hanya berisi 6 pasal saja namun tetap telah mencakup
secara rinci mengenai tindak pidana kasus suap mulai dari orang yang memberi
suap maupun yang telah menerima suap akan diberikan hukuman bagi
keduanya163.

Pemerintah juga membuat undang-undang no 11 tahun 1980 mengenai tindak pidana


kasus suap namun juga tidak menjalankan fungsi yang semestinya. Presiden Soeharto juga
membentuk badan-badan anti korupsi. Badan pemberantasan korupsi yang pertama dibentuk
di era Orde Baru adalah Team Pemberantasan Korupsi yang disingkat TPK. TPK dibentuk
melalui Keputusan Presiden RI Nomor 228 Tahun 1967 pada tanggal 2 Desember 1967.
Tugas dari TPK adalah membantu Pemerintah dalam memberantas perbuatan korupsi.
Namun kinerja dari TPK juga kemudian mengalami penurunan dan sulitnya dalam
pengungkapan kasus-kasus korupsi di masa tersebut164.

Kondisi pemerintahan dengan maraknya kasus korupsi sangat menimbulkan keresahan.


Apalagi dengan adanya fakta bahwa para pejabat yang tidak hanya ingin mendapat
keuntungan kekayaan materi (uang) namun juga keuntungan dalam memperoleh jabatan yang
lebih tinggi. Persoalan inilah membuat kondisi ini semakin memburuk. Korupsi juga banyak
dilakukan dari kalangan perusahaan-perusahaan untuk mendapat keuntungan lebih. Karena
kesempatan bagi para pengusaha dalam usaha pemerintah meningkatkan pembangunan
negara membuat hal ini sebagai kesempatan bagi para orang yang terlibat untuk melakukan
korupsi.

162
Hikmatus Syuraida, 2015 PERKEMBANGAN PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA ERA
ORDE LAMA HINGGA HERA REFORMASI, Jurnal Pendidikan sejarah vol 3 no 2. Hlm.234
163
Ibid hlm.234
164
yamsudin, M. (2008). Kecenderungan Paradigma Berfikir Hakim Dalam Memutus Perkara Korupsi.
Jurnal Media Hukum, 2(3), 35812.
Selain itu telah disinggung di awal bahwa terdapat usaha pemerintah dalam menangani
korupsi termasuk dengan membentuk komisi pemberantas korupsi nyatanya juga banyak
yang hanya digunakan sebagai alat untuk memperoleh simpati masyarakat dan tetap
berhubungan tentang politik. Dalam hal ini diperlukan kesadaran tersendiri bagi masyarakat
untuk menerapkan anti-korupsi dan penegakan hukum yang harus berlaku tegas. Namun pada
nyatanya di era ini sangat marak kasus korupsi tanpa penegakan hukum yang jelas disamping
itu juga pengungkapan kasus korupsi yang sulit dilakukan oleh pemerintah.

Karena permasalahan kasus ini akhirnya menimbulkan dampak-dampak baru. Kerugian


yang sudah pasti akan menjadi faktor utama mulai dari negara, kondisi di bidang ekonomi
yang mengalami kemerosotan, serta dalam kondisi sosial mengenai kepercayaan pemerintah
terhadap masyarakat begitupun sebaliknya rakyat yang kurang percaya dengan para pejabat
pemerintahan dan para pemodal asing dalam suatu perusahaan.

Berikut usaha pemerintah dalam menangani kasus korupsi diantaranya:

- Terbentuknya TPK

Pada masa orde lama sebenarnya pemerintah juga telah membentuk badan yang
dinamakan PARAN (Panitia retooling Aparatur Negara) lalu tidak berjalan dengan baik.
Karena beberapa kebijakan seperti menyerahkan daftar kekayaan pejabat pemerintahan yang
hal ini tidak berjalan dengan baik. Kemudian saat orde lama telah runtuh dan digantikan
dengan Orde baru, presiden soeharto membentuk badan yang digunakan memberantas
korupsi. Disampaikan dalam pidatonya pada tanggal 16 agustus 1967, presiden menyatakan
untuk membentuk TPK (Tim pemberantas korupsi) tim ini nantinya bertujuan untuk
memberantas kasus korupsi yang terjadi di masa tersebut. Karena banyaknya kasus korupsi.
TPK ini didalamnya berisi Panglima ABRI, Jaksa Agung, dan Menteri Kehakiman165.

Masa bekerjanya TPK ternyata tidak menimbulkan hasil yang begitu baik apalagi tahun
1970 an terjadi kemerosotan dari kerja TPK hingga terjadinya demonstrasi juga karena kasus
korupsi yang membesar oleh para pejabat ataupun pengusaha yang menanam modal di
Indonesia. Karena terjadinya demonstrasi besar-besaran karena permasalahan korupsi.

165
Hermanto, H. (2001). Korupsi Dan Pembangunan. Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan,
vol 2 hlm.2
Membuat akhirnya Tim pemberantas korupsi ini akhirnya dibubarkan karena tidak
memberikan hasil yang maksimal dalam memberantas korupsi.

- Terbentuknya komisi empat

Komisi ini dibentuk setelah dibubarkannya TPK karena kinerja yang tidak maksimal.
Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan berwibawa seperti
Prof Johannes, I.J Kasimo, Mr Wilopo dan A. Tjokroaminoto. diketuai oleh Moh. Hatta dan
Mantan perdana menteri Wilopo. Walaupun komisi empat tidak selamanya berhasil
memecahkan berbagai kasus korupsi. Namun ada beberapa kasus besar korupsi yang telah
diungkap diantaranya memberantas kasus korupsi yang terjadi di perusahaan pertamina dan
menangani kasus yang menjerat Ibnu sutowo. Ia merupakan direktur pertamina. Namun pada
perjalanan kasus ini mengalami pemberhentian. Dapat dilihat bahwa penanganan kasus
korupsi seakan ditutupi yang pada akhirnya kasus ini akhirnya ditutup dan Ibnu Suwoto
dalam catatan persidangan tidak dinyatakan korupsi.
- Operasi tertib (OPSTIB)

Setelah Komisi empat juga mengalami kegagalan dalam pemberantasan korupsi akhirnya
terbentuklah kembali Operasi tertib. Berdasarkan Inpres No. 9/1997 OPSTIB ini dipimpin
oleh laksamana Sudomo. Namun pada akhirnya operasi ini juga masih tidak dapat
memecahkan kasus korupsi dengan baik. Karena dalam hal ini kasus korupsi banyak yang
berasal dari para tokoh petinggi. Opstib berada dibawah komando pemulihan keamanan dan
ketertiban. Dalam kinerja opstib mengalami kegagalan karena tidak terstrukturnya satuan
tugas ini diantaranya tidak ada laporan pasti tentan data-data maupun aplikasi lainnya yang
membuat satuan tugas ini tidak berjalan dengan lancar166.

Kasus-kasus korupsi yang terjadi di era Orde Lama kebanyakan terjadi karena kurangnya
pengawasan yang dilakukan oleh atasan terhadap bawahannya sehingga banyak orang-orang
yang tidak bertanggungjawab yang memanfaatkan situasi tersebut untuk mendapatkan
keuntungan pribadi. Hal tersebut bisa terjadi dikarenakan di era Orde Lama, kondisi
Indonesia yang masih baru merdeka menyebabkan sistem pemerintahan yang ada di
Indonesia masih kurang stabil.

Kasus Korupsi masa Orde Baru

- kasus perusahaan pertamina


166
Hermanto H. op cit
Kasus merupakan salah satu kasus korupsi yang dapat dikatakan besar karena
menimbulkan kerugian dengan nilai yang tinggi. Pertamina yang merupakan perusahaan
minyak gas. Ini berawal dari adanya investasi yang dilakukan perusahaan ini dengan bidang
usaha lain dan hal ini mengeluarkan biaya hingga 3,5 miliar dan 600 ribu dolar AS. Kasus
terjadi ketika pengawasan kurang ditegakkan dalam investasi ini. Akibatnya terjadi kerugian
biaya yang besar pengawasan dari pihak pertamina terhadap perusahaan asing .Kasus ini
kemudian ditangani oleh Komisi empat namun pada akhirnya kasus ini tidak berjalan lancar
dan berakhir tidak diteruskan dalam artian telah diputuskan oleh pengadilan. Menyoroti ibnu
sutowo sebagai pemilik pertamina namun berakhir komisi empat meminta Ibnu sutowo
memperbaiki agi permasalahan di pertamina167.

Pada kasus ini terdapat fakta bahwa dibawah pimpinan ibnu sutowo, pengolahan
pertamina dilakukan secara tertutup. Pertanggungjawaban mengenai praktek pertamina
adalah kepada militer yang pada saat itu peran militer era orba sangat mendominasi. Adanya
perhitungan neraca yang tidak pernah diumumkan termasuk juga lama. Jika dilihat adanya
pajak yang disetor pemerintah hingga naik menjadi 50% di tahun 1973. Pada berbagai faktor
yang membuat PT ini mengalami kegagalan adalah adanya hutang yang menumpuk hingga
tahun 1976 pertamina mengalami kebangkrutan dan hutang senilai hampir 10 miliar.
Membuat kerugian yang besar dan pimpinan terpaksa harus dilengserkan.

- Badan Urusan Logistik

Dalam kasus ini terjadi adanya pengadaan terkait dengan penjualan beras melalui jalur
ilegal. Ada sekitar 69,571 miliar biaya yang digunakan namun hanya kembali sekitar 56,7
miliar. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa kerugian atau jumlah penggelapan dana yang
dilakukan sangat banyak 12,871 miliar tidak kembali. Kejanggalan yang terjadi di
perusahaan ini sebenarnya telah dicurigai pada tahun 1966. Ada berbagai bidang dalam
perusahaan ini termasuk bagian kelembagaan, manajemen dan kepemimpinan tidak dilakukan
dengan baik.

Kasus ini sulit ditelusuri karan BULOG sendiri dalam menikmati dana di luar anggaran
pendapatan dan belanja negara sulit diperiksa karena alur keuangan bulog yang membuat
DPR dan BPK kesulitan dalam menelisik lebih dalam. Bulog menggunakan berbagai
perantara dalam kinerjanya yakni dari para pedagang ataupun di kirimkan melalui pasar dan

167
Heru tri hanggoro 2018 “wmpat kasus korupsi besar pada awal orde baru”
https://historia.id/politik/articles/empat-kasus-korupsi-besar-pada-awal-orde-baru-P4ebm diakses 05/12/2022
tidak pernah terjun langsung kelapangan untuk memberikan kebutuhan beras ke masyarakat.
Karena faktor tersebutlah maka jika terjadinya penyelundupan barang. Orang-orang didalam
Bulog tidak begitu tercurigai. Ada sekitar 1,3 miliar terhambat dalam ketidaksesuain operasi
bulog yang dilakukan168.

Dalam hasil penyelidikan ini diketahui dalang dibalik korupsi rata-rata berasal dari para
petinggi di perusahaan ini artinya orang-orang dalam perusahaan yang ternyata melakukan
penggandaan uang tersebut. TPK yang saat itu mencoba memecahkan kasus korupsi dalam
perusahaan ini tidak begitu menghasilkan hasil yang baik. Akhirnya perjalanan kasus ini
berhenti seperti kasus yang terjadi pada perusahan pertamina. Walaupun pada akhirnya
kepala Bulog Achmad tirtosudiro diberhentikan Pada tahun 1973 tepatnya di bulan juni.

- PT. Telekomunikasi

PT. Telkom merupakan perusahaan milik Badan usaha Negara (BUMN) Dalam kasus ini
yang juga ditangani oleh TPK, Nampak TPK mulai melakukan usahanya dengan serius
karena penanganan TPK dirasa tegas jika dibandingkan dengan penanganan kedua kasus
diatas. Ada kerugian hampir 1 miliar rupiah. Tidak hanya itu dalam kasus ini terdapat
manipulasi yang dilakukan PT telekomunikasi ini. Termasuk juga terkait harga pembelian
rumah yang ditinggikan oleh perusahaan. Ada ketidak benaran mengenai jumlah luas tanah
yang ditulis dengan jumlah yang sebenarnya terjadi. Pemanipulasian ini terjadi secara terus
menerus dan akhir dari kasus ini dapat dikatakan jelas karena telah ada para pelaku yang
tertangkap sebagai orang-orang dibalik kasus korupsi ini. Pada akhirnya PT ini telah
mendapat vonis hukuman penjara169.

- Jajasan Pers dan Grafika

Dalam kasus ini menimpa seorang pemimpi dari perusahaan ini sebagai pelaku. Ia
dituntut oleh jaksa umum pengadilan Jakarta pada tahun 29 juli 1969. Pemimpin dari pt ini
bernama Hiswara Dharmaputra. Ada kerugian mencapai puluhan juta. Dalam fakta
persidangan ternyata korupsi yang ia lakukan telah berlangsung lama dimulai dari tahun
1968. Penggelapan dana yang dilakukan sangat menimbulkan kerugian terutama juga bagi PT

168
CNN Indonesia 2021 “ Korupsi era orde baru dan munculnya raja baru usai reformasi”
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210608192828-12-651889/korupsi-era-orde-baru-dan-munculnya-
raja-baru-usai-reformasi, diakses 5/12/2022
169
Ibid
JPG sendiri. pada fakta yang terjadi adalah ia telah melakukan penggelapan dana sebanyak
lebih dari satu kali.

- Kasus Bapindo

Bapindo (Bank Pembangunan Negara) yang dulunya merupakan Bank industri negara
(BIN) yang telah didirikan sejak tahun 1951 dengan tujuan untuk memberikan dan
mengembangkan sektor ekonomi lainya. dalam kasus ini dijelaskan adanya permohonan
kredit bagi proyek key petrokimia kepada bapindo (bank pembangunan Indonesia). Dalam
perjalanan kasus ini pada akhirnya adalah proses pembangunan pabrik golden key yang
mengalami kegagalan dalam hal ini berdampak pada kerugian dari Bapindo. Jika dilihat ada
sekitar 1,3 triliun negara dirugikan karena adanya proyek yang tidak mengalami
perkembangan bahkan menjadi permasalahan baru. Tokoh eddy tanziil sebagai dalang dari
kerugian ini dan sebenarnya telah mendapatkan hukuman selama kurang lebih 20 tahun dan
mengharuskan untuk mengganti uang negara. Namun seperti mendapat keringanan hukum
pada akhirnya ia dibebaskan..

- Korupsi soeharto.

Adanya tuduhan atas korupsi yang dilakukan presiden soeharto sendiri, diantaranya dan-
dana tersebut tersebar dalam yayasan milik soeharto diantaranya: yayasan dana sejahtera
mandiri, yayasan dharma bhakti, yayasan supersemar, yayasan dana gotong royong
kemanusiaan, yayasan bakti muslim Pancasila, yayasan trikora dan yayasan dana abadi karya
bhakti . Dalam kasus ini sekiranya terdapat kerugian bagi negara mencapai ginga 3,07 triliun.
Pada akhirnya kerugian yang didapat oleh negara harus segera tergantikan. Maka dari itu
yayasan supersemar juga berkewajiban untuk mengembalikan namun pada nyatanya yayasan
tersebut dananya tidak mencukupi untuk mengganti kerugian170.

Kasus penyalahgunaan dana Soeharto melibatkan tujuh yayasan yakni Yayasan Dana
Mandiri Sejahtera, Yayasan Supersemar, Yayasan Sosial Dharma Bhakti (Dharmeis),
Yayasan Dana Tetap Kariya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, dan
Gotong Royong. dulu. Mendanai Yayasan Kemanusiaan dan Yayasan Trikora. Pada tahun
1995, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden No. 90 Tahun 1995. Perintah eksekutif
tersebut mewajibkan pengusaha untuk menyumbangkan 2% dari keuntungan mereka ke
Yayasan Dana Mandiri. Sejak 1 September 1998, Kejaksaan Agung menemukan tanda-tanda

170
Jh Pakpahan 2017 Skripsi “ Upaya pemberantasan korupsi masa orde baru” undip semarang hlm.8
kecurangan penggunaan dana yayasan yang dikuasai Soeharto. Ini jelas dari anggaran dasar
Yayasan ini.

Pada 11 Oktober 1999, pemerintah Indonesia menanggapi tuduhan korupsi Soeharto tidak
terbukti. Kejaksaan Agung kemudian mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (SP3) dalam
kasus Soeharto. Properti yang ditemukan diserahkan kepada pemerintah

Beberapa kasus korupsi diatas memberikan dampak buruk mulai dari negara dan
masyarakat. Dari negara sendiri kerugian yang membuat negara semakin miskin dan
penumpukan utang terjadi di mana-mana termasuk dengan tanggungan utang yang harus
dibayar dari negara lain. Hal ini menimbulkan keresahan bagi semua pihak. Dalam segi
kondisi masyarakat dapat dikatakan masyarakat semakin kurang mempercayai para pejabat
dalam pemerintahan. Apalagi yang telah disinggung di awal bahwa bahkan orang yang
memiliki jabatan tertinggi dalams uatu negaratersebut juga terlibat kasus korupsi. Hal ini
memberikan trauma tersendiri bagi masyarakat yang hanya mengalami kerugian.

Selain faktor tersebut kesadaran pada setiap individu kurang diperhatikan. Kesadaran
untuk tidak melakukan korupsi adalah suatu keharusan tapi pada kenyataanya baying-
bayangan uang dan jabatan sangat menggiurkan para pejabat untuk melakukan korupsi.
Selain pada kesadaran setiap individu juga kepekaan masyarakat yang tidak banyak lebih
memilih tidak memperdulikan kasus korupsi yang terjadi. Kerugian pasti akan didapat namun
mereka hanya ingin berfokus pada kehidupan yang telah mereka jalani mengenai pekerjaan,
kesibukan dan penghasilan.

Terakhir adalah ketegasan pemerintah dalam menangani kasus korupsi tidak selamanya
dilakukan dengan benar. Banyak terjadi ketidakadilan dalam memberikan vonis bagi mereka
yang melakukan korupsi. Bahkan terkadang keringanan atas hukuman dan kebebasan untuk
beraktivitas di lingkup masyarakat masih meluas. Bahkan mereka masih memegang jabatan
tertinggi dalam suatu lembaga. Berbagai badan dan komisi yang dibentuk masa pemerintahan
ini banyak yang tidak berjalan dengan baik karena kasus korupsi yang terjadi pelakunya ialah
orang yang terlibat di lingkup dalam dan mendapat lindungan dari hukum. Ketika kesadaran
dan ketidak tegasan dalam menangani korupsi masih berkembang dan tidak mengalami
kemajuan yang baik maka kesulitan juga untuk negara dapat maju dan berkembang dengan
tidak mengizinkan pelaku dari korupsi untuk berkeliaran di lingkup negara. Perkembangan
suatu negara juga dapat dilihat dari kepedulian masyarakat dan para bagian penting dalam
susunan negara yang punya kesadaran tersendiri.
C. Masa Reformasi

Masa Reformasi Hingga Pasca Reformasi


Rezim Orde Baru merupakan rezim yang sangat menonjolkan kekuasaaan negara
yang sentralistik. Negara tampil sebagai satu-satunya kekuatan yang tidak dapat ditandingi
oleh kelompok masyarakat manapun juga. Negara menikmati otonominya berhadapan dengan
masyarakat yang pada gilirannya sering memaksakan kepentingannya.
Jaringan negara terutama lembaga-lembaga eksekutif, telah berkembang menjadi alat-
alat efektif dalam mengelola dan menangani mobilisasi untuk mendukung kebijakan yang
dikeluarkan oleh negara (Hikam, 1997: 135). Lebih dari itu negara juga berhasil mengontrol
masyarakat dengan berbagai kebijakan dan perundangan-undangan serta proses pembentukan
tatanan politik, yang secara keseluruhan amat berdampak negatif terhadap nilai-nilai
demokrasi.
Sistem Orde Baru merupakan pemerintahan yang menekankan sentralisasi kekuasaan
negara. Negara tampaknya menjadi satu-satunya kekuatan yang tidak dapat dihadapi oleh
sekelompok orang. Negara menikmati kemandiriannya dalam masyarakat, yang pada
gilirannya sering menegaskan kepentingannya. Jejaring negara, khususnya lembaga
administratif, telah menjadi alat yang efektif dalam mengatur dan mengatur mobilisasi dalam
mendukung kebijakan negara. Selain itu, negara berhasil mengontrol masyarakat melalui
berbagai kebijakan dan undang-undang serta proses pembentukan tatanan politik yang secara
keseluruhan berdampak sangat negatif terhadap nilai-nilai demokrasi.171

Kontrol politik salah satunya dilakukan dengan menjadikan mesin/birokrasi


pemerintah sebagai tulang punggung kekuasaan pemerintah. Kemudian, birokrasi dijadikan
sebagai mesin politik dalam proses pemilihan umum. Organisasi birokrasi yaitu Badan
Layanan Umum Republik Indonesia (KORPRI) merupakan bagian dari garis Golkar yaitu
garis B yang berfungsi untuk memperkuat dukungan pejabat di semua pemilihan umum.
Pejabat hanya perlu menyalurkan aspirasi politiknya melalui Golkar dan menegakkan
kebijakan monoloyalitas. Selain itu, pejabat birokrasi dipekerjakan sebagai administrator
politik dan menjadi bagian dari kelompok Golkar di parlemen.172

a. Birokrasi Pemerintahan Pada Masa Reformasi

171
Hikam, AS, Demokratisasi dan Civil Society. (Jakarta : LP3ES, 1997)
172
Ibid.
Pada masa awal konsep birokrasi, para ahli sering menganggap netralitas birokrasi.
Kontroversi antara Karl Marx dan Hegel, masing-masing menekankan konsep netralitas
birokrasi dengan argumentasi yang berbeda. Marx mulai mengembangkan konsep birokrasi
dengan menganalisis dan mengkritik filsafat negara Hegel. Sementara itu, analisis Hegelian
menunjukkan bahwa administrasi negara atau birokrasi merupakan jembatan antara negara
dan rakyat. Hegel percaya bahwa birokrasi harus melayani kebaikan bersama, karena
kebijakan pemerintah seringkali hanya menguntungkan satu kelompok dalam masyarakat.
Menurut Thoha, birokrasi Hegel berkeyakinan bahwa birokrasi adalah jembatan yang
menghubungkan negara dan rakyatnya.173

Masyarakat kerakyatan ini terdiri dari para profesional dan pengusaha yang mewakili
berbagai kepentingan khusus, sedangkan negara mewakili kepentingan umum. Birokrasi
negara bertindak sebagai perantara antara kedua subjek ini, memungkinkan pesan
kepentingan khusus disalurkan ke kepentingan umum. Dengan kata lain, birokrasi Hegelian
ini menekankan bahwa posisi birokrasi harus netral terhadap kekuatan sosial lainnya.

Pada saat yang sama, menurut Marx, negara tidak mewakili kepentingan umum. Namun,
itu mewakili kepentingan khusus kelas penguasa. Dilihat demikian, birokrasi sebenarnya
adalah perwujudan dari suatu kelompok sosial yang sangat khusus. Lebih tepatnya, menurut
Marx, birokrasi adalah instrumen yang digunakan kelas penguasa untuk menjalankan
kekuasaannya atas kelas sosial lainnya. Dalam hal ini, menjadi jelas bahwa masa depan dan
kegunaan birokrasi, seperti yang dipahami oleh Marx, pada tingkat tertentu sangat erat
kaitannya dengan kelas penguasa negara.174

Sarjana lain, Max Weber, melihat birokrasi, atau pejabat pemerintah, sebagai faktor
penting dalam pertumbuhan dan perkembangan organisasi pemerintah. Organisasi
pemerintah merupakan alat untuk mencapai tujuan tertentu dalam negara. Oleh karena itu,
perhatian Weber terfokus pada struktur yang diatur secara normatif dan memiliki mekanisme
untuk mempertahankan struktur tersebut. Selanjutnya menurut Weber, birokrasi ini dapat
terjadi baik di organisasi pemerintah maupun di organisasi non-pemerintah. Ini bisa terjadi di
perusahaan birokrasi. Demikian pula, birokrasi terjadi dalam organisasi besar. Birokrasi
adalah suatu sistem pengelolaan organisasi besar untuk mencapai pengelolaan yang efektif,

173
Thoha, Miftah, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. (Jakarta : kencana, 2008)
174
Said, M Mas’ud. Birokrasi di Negara Birokratis : Makna, Masalah dan Dekontruksi Birokrasi di Indonesia.
(Malang: UMM Press, 2009)
rasional dan efisien.175 Dalam konteks ini, birokrasi yang dimaksud dalam dokumen ini
adalah birokrasi pemerintah, yaitu H. Pejabat dari jabatan sederhana atau struktural sampai
jabatan fungsional yang berhadapan langsung dengan masyarakat.

Birokrasi pemerintahan Republik Indonesia dituding tidak efisien, terlalu besar baik
struktur maupun jumlah orang, serta cenderung lamban dan tidak fleksibel dalam
memberikan pelayanan publik. Kritik ini sering diungkapkan secara terbuka, meski tidak
dijawab oleh siapa pun yang memerintah negara ini setelah runtuhnya rezim Soeharto.
Dengan kata lain, pemerintahan pasca Soeharto mewarisi sistem birokrasi Orde Baru baik di
tingkat pusat maupun daerah. Padahal, sistem pemerintahan birokrasi ini "memerintah"
negara berpenduduk 200 juta jiwa ini.

Pemimpin politik boleh datang dan pergi, satu per satu, tetapi sistem birokrasi hampir
pasti relatif stabil, bahkan ketika birokrat berganti, bermutasi, berganti jabatan, baik untuk
promosi maupun karena mengundurkan diri untuk mencapai pensiun. Dalam sistem birokrasi
pemerintahan warisan Orde Baru, rata-rata sistem berbagai penyelenggaraan urusan publik
merajalela, nepotisme dan kolusi serta berbagai kejahatan birokrasi lainnya yang berdampak
pada adanya biaya tinggi bagi sebagian masyarakat. Kenyataan bahwa pengguna layanan
publik, baik warga negara maupun investor asing, harus membayar sudah menjadi kenyataan
sehari-hari. Kondisi ini seharusnya mendorong pemerintah untuk segera melakukan
reformasi birokrasi pemerintahan secara lebih serius, terencana dan terarah dengan program-
program reformasi pemerintahan yang jelas. Jika reformasi birokrasi pemerintah dimaknai
sebagai upaya pembenahan birokrasi, sebenarnya bukanlah upaya baru pada masa reformasi,
melainkan program pemerintah dari era Orde Baru.176

Secara konseptual, birokrasi yang ideal adalah birokrasi yang profesional; H. Birokrasi
handal dalam memberikan pelayanan, menuntut, bertanggung jawab, netral dan selalu
berlandaskan pada prinsip-prinsip etika. Profesionalisme birokrasi mengacu pada
kemampuan yang terkait dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, secara harfiah
kemampuan mengoperasikan peralatan teknis modern. Melalui penggunaan peralatan teknis
modern yang tepat sasaran, kelemahan negatif berupa lambatnya proses kerja birokrasi dapat
diatasi. Idealnya, hanya dengan sikap dan perilaku yang netral birokrasi dapat memberikan
pelayanan kepada masyarakat secara adil. Dengan kata lain, birokrasi harus berfungsi

175
Thoha, Miftah, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. (Jakarta : kencana, 2008)
176
Rauf, Maswadi, Konsensus Politik : Sebuah Penjajagan Teoritis, (Jakarta:Dirjen Dikti, 2000)
sebagai lembaga administrasi publik yang dirancang untuk mencapai efisiensi dan efektivitas
dalam setiap kegiatannya.177

Melihat kondisi aktual di Indonesia, konsep birokrasi nampaknya hanya berada pada
tahap ideal. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang berkembang dari tradisional
menuju modern. Oleh karena itu cirinya tetap komunitas dan bukan masyarakat. Hubungan
antar anggota masyarakat masih bersifat personal dan berdasarkan kekerabatan dan tradisi.
Demikian pula dengan karakteristik masyarakat tipe ini mewarnai model hubungan internal
birokrasi sehingga birokrasi merupakan birokrasi tradisional yang bercirikan nilai-nilai
tradisional dan relatif. Birokrasi di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, secara
historis diambil dari kelompok elit (Priyayi), sehingga tidak memahami dasar kehidupan dan
aspirasi. Karena itu, birokrasi biasanya tidak tanggap terhadap kepentingan rakyat di
lapangan.

Sejak awal masa penjajahan Belanda, birokrasi (pangreh praja) lebih dipahami sebagai
instrumen kekuasaan pemerintah, baik kerajaan maupun kolonial. Itu digunakan oleh
pemerintah kolonial untuk berurusan dengan penduduk setempat, jadi sangat kuat dalam
berurusan dengan orang-orang. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa secara historis,
orientasi pelayanan publik tidak pernah mengakar dalam birokrasi Indonesia. Akar sejarah
birokrasi Indonesia yang berasal dari kaum Priyay memberikan posisi yang lebih tinggi
kepada birokrat dibandingkan kelompok lain dalam masyarakat. Pemisahan antara birokrat
(pemerintah) dan rakyat semakin menguat, yang kemudian mempengaruhi cara berpikir para
birokrat yang seringkali menampilkan diri sebagai citra diri yang baik hati, yaitu sebagai
pegawai negeri yang mengayomi rakyat, guru atau pendidik bagi rakyat yang harus
menampilkan diri sebagai cinta. kelompok yang dermawan, baik hati, dan melindungi semua
orangnya.178

Apalagi, citra diri seperti itu menggambarkan birokrasi sebagai struktur yang dominan
dan melihat kemampuan masyarakat yang kurang. Masyarakat dipandang sebagai pihak
pasif yang tidak banyak mengetahui urusan pemerintahan, sehingga harus menerima apa
yang diinginkan pemerintah. Pengaruh karakteristik struktural dan kultural birokrasi yang
dominan, turun-temurun, dan baik hati tercermin dalam sikap dan perilaku birokrat yang
sulit dikendalikan, tidak tercela, cerdas, tidak kritis, dan rentan. Melayani orang-orang yang
sederajat sehingga pelayanan publik menjadi tidak memadai. Reformasi atau periode pasca-
177
Ibid.
178
Gaffar, Afan. Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Soeharto di Indonesia dimulai pada tahun 1998, lebih tepatnya ketika Presiden Soeharto
mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998 dan digantikan oleh Wakil Presiden B.J.
habibi Periode ini dibenarkan oleh lingkungan sosial-politik yang lebih terbuka.179

Pada masa pemerintahan B.J. Habibie memiliki masa jabatan terpendek dibandingkan
dengan presiden Indonesia sebelumnya, namun pada masa pemerintahan B.J. Habibie
menerima banyak kebijakan selama masa pemerintahannya. Inilah skala pengaruh besar
Habibie terhadap perubahan di Indonesia.

Adapun permasalahan yang dikeluarkan B.J Habibie pada masanya seperti penguatan
nilai tukar rupiah dari Rp.17.000 menjadi Rp.6.000.180 Searah dengan pemikirannya untuk
keluar dari krisis ekonomi dan mewujudkan perekonomian yang sehat, langkah pertama
yang dilakukan Habibie ialah melakukan pemisahan Bank Indonesia BI dari campur tangan
Pemerintah. Hal ini tidak pernah dilakukan sebelumnya. Ia menghendaki kemandirian BI
dan tidak menghendaki presiden, menteri, atau siapapun ikut campur dalam urusan Bank
Indonesia. Habibie juga terpacu untuk melakukan penataan ulang mengenai utang swasta
domestik dan utang luar negeri serta mempecepat rekapitalisasi perbankan. Standard and
Poor’s Corporation menyatakan bahwa upaya-upaya yang ditempuh Pemerintah Indonesia
dan didukung IMF itu telah dapat memulihkan disiplin moneter, menstabilkan nilai tukar
rupiah, dan menurunkan inflasi dari 70% pada tahun 1998 menjadi 25% pada maret 1999.181

Selain mengatasi krisis ekonomi Habibie juga melakukan reposisi dan pencabutan
dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) sekaligus menghapus bisnis-
bisnis militer atau biasa disebut sebagai agenda reformasi TNI yang merupakan tuntutan
masyarakat dalam melaksanakan reformasi. Pada reposisi ABRI dimana kedudukannya
dipisah antara Kepolisian RI yang mana bertugas untuk keamanan dan ketertiban masyakat
sedangkan TNI bertugas hanya pada pertahanan negara yang dilaksanakan pada 1 April
1999.182

179
Ibid.
180
Edward Aspinall, dkk, Titik Tolak Reformasi Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. (Yogyakarta: LKIS,
2000) hlm 37
181
A. Makmur Makkka, Biografi Bacharuddin Jusuf Habibie dari Ilmuwan Negara Sampai Minandito. (Jakarta
: Pt. THC mandiri, 2012) hlm 217
182
A. Makmur Makkka, Total Habibie Kecil Tapi Otak Semua. (Depok: Edelweiss, 2013) hlm 155
Penghapusan dwinfungsi ABRI dilaksanakan setelah reformasi, peran ABRI di DPR
mulai dikurangi secara bertahap yaitu dari 75 menjadi 38 orang.183 Seperti yang telah
dinyatakan Jendral TNI Wiranto bahwa secara bertahap akan mundur dari area politik dan
memusatkan perhatian pada pertahanan negara. Anggota yang masih menduduki jabatan
birokrasi diperintahkan untuk memilih yaitu kembali kesatuan ABRI, atau pensiun dari
militer untuk berkarir di sipil. Dari hal tersebut, keanggotaan ABRI dalam DPR/DPD makin
berkurang dan akhirnya ditiadakan.

Disamping itu bisnis-bisnis militerpun juga ikut dihapuskan. Bisnis-bisnis militer yang
dicabut pada waktu itu seperti, Yayasan Darma Putra Kostrad, Yamabri, Inkopau, Inkopad,
Bank Bahari, Inkopol, bahkan sampai pedesaan bisnis militer di koperasi dicabut seperti
Puskud, dsb.184

Dalam rangka mengatasi krisis ekonomi Presiden B.J Habibie melihat adanya masalah
yang sangat mengganjal yang menjatuhkan kredibilitas Indonesia di mata international,
termasuk melakukan negosiasi dengan lembaga ekonomi internasional yang mengaitkan
dengan masalah HAM (hak asasi manusia). Hal itu berkaitan dengan masalah Timor-
Timur.185 Isu pelanggaran HAM di Timor-Timur terus diangkat oleh PBB oleh negara-negara
anti Indonesia.

Indonesia mengambil langkah dalam mengatasi krisis tesebut, kemudian B.J. Habibie
mencari penyelesaian mengenai masalah Timor-Timur. Presiden B.J. Habibie memberikan
kebebasan kepada rakyat Timor-Timur untuk menentukan nasibnya sendiri, apakah akan
bergabung dengan Indonesia atau memisahkan diri dari Indonesia.

Pada tanggal 30 Agustus 1999 merupakan hari bagi rakyat Timor-Timur untuk
memberikan suara dalam jajak pendapat untuk menentukan akan bergabung dengan
Indonesia ataukah melepaskan diri. Hasil jajak pendapat diumumkan pada 4 September 1999
di Dili dan New York, dari hasil tersebut diketahui bahwa 78,2% memilh merdeka dan
21,8% memilih tetap bergabung dengan Indonesia. Sehubungan dengan hasil jajak pendapat
yang menghendaki Timor-Timur merdeka, pemerintah Indonesia menyatakan menghormati
pilihan tersebut.186
183
http://hankam.kompasiana.com/2012/07/31/reposisi-dan-reintegrasi-polri-482080.html (akses pada tanggal 6
Desember 2022)
184
Ibid.
185
A. Makmur Makkka. Testimoni Untuk B.J. Habibie. (Yogyakarta : Ombak, 2009) hlm 29

186
A. Makmur Makkka, 2012, Op cit ,Halaman 235
Selanjutnya kebijakan yang dikeluarkan ialah undang-undang politik sebagai dasar
penyelenggaraan pemilu. Untuk melaksanakan Pemilu 1999, lebih dahulu dipersiapkan
sejumlah undang-undang sebagai landasan baru proses pemilu. Undang-undang tersebut
antara lain memunculkan ratusan partai-partai politik sebagai wujud demokrasi. Setelah
diseleksi dengan persyaratan ketat, jumlah partai politik yang awalnya ratusan tinggal 48
partai.187

Banyak kalangan baik dari dalam maupun luar negeri menilai bahwa Pemilu 1999
merupakan pemilu paling demokratis pertama setelah tahun 1995. KPU (Komisi Pemilihan
Umum) sebagai penyelenggara pemilu diisi wakil-wakil semua partai politik dan diketuai
oleh Rudini. Bahkan ketika KPU belum berhasil mengumumkan hasil pemilu, Habibie
mengambil alih dan mengumumkan hasil pemilu. Ia menandatangani suara pemenang
pemilu sebagai kepala negara.188

b. Birokrasi Masa Pasca Reformasi

Berbicara tentang sistem politik dan pemerintahan Indonesia saat ini, pasca reformasi
agama tahun 1998, sebenarnya merupakan kelanjutan dari pencarian bentuk atau model
sistem politik Indonesia yang ideal. Model atau bentuk ideal sistem politik seperti apa yang
benar-benar diharapkan? Yang pertama, bentuk atau model ini dapat menjamin adanya sistem
politik yang demokratis, sebagaimana dikatakan para ilmuwan politik, di mana setiap orang
atau kelompok memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses politik,
berpartisipasi dalam perumusan kebijakan publik, dan untuk berpartisipasi dalam proses
politik. memilih pejabat. Pejabat (baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif).189

Kedua, model atau format politik demokrasi stabil dalam jangka panjang. Stabilitas yang
diperlukan disini diperlukan dalam jangka panjang, agar apa yang telah dicapai dapat
dipertahankan di segala bidang dan tidak mengalami pasang surut dengan perubahan politik.
Ketiga, sistem yang demokratis dan stabil dalam jangka panjang idealnya mengarah pada
perkembangan kehidupan ekonomi yang positif. Ada sesuatu yang tampaknya kontradiktif.
Pengalaman berbagai negara menunjukkan bahwa demokrasi tidak selalu sejalan dengan
pembangunan ekonomi. Sejarah politik kita menunjukkan bahwa perubahan politik besar di

187
A. Makmur Makkka, 2009, Op Cit, halaman 38
188
Fahri Ali. Esai Politik tentang Habibie dari Teknokrasi ke Demokrasi. (Jakarta : Mizan, 2013) hlm 87

189
Ibid.
masa lalu seolah menegaskan bahwa ketiga hal tersebut tidak dapat dicapai secara bersamaan
atau berjalan beriringan.

Perubahan politik terpenting tahun 1998, yang ditandai dengan lengsernya Presiden
Soeharto, membawa konsekuensi yang luas, termasuk kembalinya demokrasi ke dalam
kehidupan politik nasional. Pemilihan LUBER yang sebenarnya terjadi pada tahun 1999 dan
melibatkan 48 partai. Demokratisasi ini terjadi karena pola hubungan antara Presiden dan
DPR telah berubah secara mendasar. Dulu hanya sebagai pembuat segel, kini DVR berfungsi
sebagai pengawas Presiden. Di sini mereka mencoba meluncurkan model atau format politik
yang tidak lagi bersifat executive-loving (atau bahkan dominan) seperti di era Orde Baru,
tetapi juga tidak terlalu legistatif-heavy seperti di Orde Lama atau demokrasi parlementer
yang sudah jadi. stigma negatif. Jika ini gagasan utamanya, maka sistem presidensial harus
diimbangi dengan sistem multipartai untuk mewujudkan parlemen yang benar-benar
berfungsi di bawah kendali presiden. Padahal, sistem presidensial yang dipadukan dengan
sistem multipartai merupakan jawaban atas pelajaran masa lalu. Jawabannya bukan tanpa
masalah baru. Para ahli politik komparatif seperti Scott Mainwaring atau Juan Linz and
Arturo Valensuela mengatakan bahwa sistem ini setidaknya memiliki 3 (tiga) kelemahan
utama.190

Pertama, kemungkinan kelumpuhan atau stagnasi pemerintahan akibat konflik antara


eksekutif dan legislatif. Jika setiap orang merasa dilegitimasi oleh rakyat (dual legitimasi),
Presiden akan dipilih langsung oleh rakyat dan DPR atau DPR. Kebuntuan politik dalam
sistem politik pasca-Trias dapat menyebabkan pemerintahan terpecah, dengan Presiden dan
DPR dikendalikan oleh partai yang berbeda. Bahkan Amerika Serikat, negara dengan sistem
presidensial paling stabil, pernah mengalaminya. Kasus terbaru terjadi pada masa
pemerintahan Presiden Bill Clinton, yang berasal dari Partai Demokrat dan menghadapi
Kongres yang dikendalikan oleh Partai Republik, membuat definisi anggaran (APBN)
diblokir. Namun, pengalaman ratusan tahun dan mekanisme internal institusional telah
membuat administrasi yang buntu atau terpecah menjadi ancaman bagi stabilitas politik dan
eksistensi demokrasi.

Kedua, sistem presidensial dicirikan oleh kekakuan sistemik karena masa jabatan
eksekutif yang terbatas, sehingga tidak mungkin menggantikan presiden dalam jangka
menengah, jika kinerjanya tidak memuaskan publik. Ketiga, prinsip “pemenang mengambil

190
Juan Linz and Arturo Valensuela, 1994, (hlm. 6-8)
semua” yang melekat dalam sistem presidensial memberikan kesempatan kepada presiden
untuk melaksanakan keputusan politiknya atas nama rakyat, dibandingkan dengan badan
parlementer (DPR) yang didominasi kepentingan partisan partai politik. Selain itu, Juan Linz
mencatat bahwa masalah dengan sistem presidensial cenderung muncul ketika digabungkan
dengan sistem multipartai, terutama ketika terdapat tingkat fragmentasi dan polarisasi yang
relatif tinggi.

Presidensialisme dan multipartai bukan hanya kombinasi yang sulit, tetapi juga
membuka kemungkinan kelumpuhan pemerintah. Dan persoalan menjadi lebih rumit ketika
tidak ada partai yang memiliki mayoritas di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Masalah
menjadi lebih rumit ketika lembaga kepresidenan yang seharusnya terdiri dari satu badan
eksekutif (presiden dan wakil presiden) berasal dari dua partai yang berbeda (kohabitasi).
Presiden berasal dari partai kecil sedangkan Wakil Presiden berasal dari partai besar.
Eksperimen pencarian sistem politik yang ideal terasa semakin panjang jika kita menganggap
kabinet sebagai lembaga politik yang bertugas menerjemahkan kebijakan presiden ke dalam
program dan proyek yang harus dilaksanakan.

Sementara itu, Kabinet Pelangi SBY yang merupakan lembaga pendukung presiden
sebagian besar diisi oleh orang-orang dari partai politik (kader partai). Hal ini memang
diperlukan ketika Presiden mengharapkan dukungan yang signifikan dari DPR. Namun
kemudian tugas utama kabinet berubah dan lebih banyak melakukan tugas kompromi dan
mediasi dengan partai politik. Satu hal yang disepakati banyak pengamat adalah kemampuan
membangun jembatan yang sangat efektif dalam menjaga hubungan konsultatif dengan
legislatif. Di sisi lain, menurut beberapa pengamat politik, kompromi dan penyesuaian
mengandung beberapa isu negatif.191

Pertama, karena begitu banyak pihak yang terlibat dalam politik kompromi, keputusan
sering dibuat dengan lambat dan tidak memihak. Hal ini terutama berlaku tidak hanya untuk
sejumlah besar pihak yang terlibat, tetapi juga untuk implikasi politik di masa depan.
Seringkali dalam situasi ini, objektivitas dikesampingkan dan jalan tengah yang tidak
sempurna menjadi pilihan pemerintah. Kasus lumpur Lapindo dan pemberantasan korupsi
secara selektif adalah contohnya.

191
Dwiyanto, Agus, dkk. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. (Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan
Lingkungan Hidup, 2002)
Kedua, keterlibatan banyak pihak menyebabkan keputusan-keputusan yang ditujukan
untuk kebaikan bersama dan masa depan bangsa diperumit oleh kepentingan-kepentingan
partai politik (elite politik) saat ini. Nada oligarki ini membuat masalah seperti kemiskinan,
pengangguran, dan kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok tampak seperti iseng-
iseng. Ketiga, kebijakan kompromi dan akomodasi yang mengedepankan tone politik pada
berbagai persoalan, pada akhirnya memperlambat penguatan dan pematangan sistem politik,
sistem demokrasi dan kebijakan politik tersebut akan dapat berubah di masa mendatang.
Perubahan ini diperlukan karena implementasi sistem membutuhkan perbaikan sistemik pada
tiga tingkatan, yaitu penguatan masyarakat sipil, perbaikan sistem pemilihan presiden dan
penyederhanaan partai politik.

Pemantapan dan penguatan masyarakat madani mewujudkan masyarakat yang berwatak


mandiri, kesadaran yang tinggi akan kehidupan politik dan hukum, sikap majemuk, rasional
dan objektif. Pengalaman berbagai negara menunjukkan bagaimana komunitas ini bisa
menjadi faktor utama dalam menggulingkan rezim otoriter di Eropa Timur, Amerika Latin,
dan Asia. Upaya yang diperkirakan oleh banyak kalangan dan beberapa ahli tidak akan
mudah dicapai di Indonesia, karena pemulihan ekonomi masih tertinggal dari ekspektasi
(pertumbuhan ekonomi akan melambat menjadi 6,0% dari perkiraan 6,32%).192

Di tingkat pilpres, minimnya dukungan partai di DPR merupakan hal yang positif.
Proporsi yang terlalu besar mengaburkan atau memperkecil kemungkinan munculnya calon-
calon alternatif, yang tidak harus berasal dari partai atau kelompok partai utama, dan merusak
makna pluralisme politik. Pada saat yang sama, persentase yang terlalu rendah menghasilkan
terlalu banyak calon dan tidak menjamin dukungan yang cukup kuat di DPR. Jalan tengah
terbaik tampaknya memiliki kandidat alternatif yang berdiri di samping dua kandidat dari
faksi utama. Oleh karena itu, tingkat pembiayaan 20-30% merupakan tingkat pembiayaan
yang cukup sesuai.

Selain syarat dukungan minimum, model sistem pemilu sangat menentukan


keberhasilan dan kualitas sistem presidensial. Seperti diketahui, dikenal tiga model dalam
proses pemilihan presiden langsung, yaitu model electoral college (seperti di Amerika
Serikat), model satu putaran (multi-round) dan model dua putaran (absolute mayorty). Bagi
Indonesia, model ketiga, seperti yang digunakan sebelumnya, merupakan pilihan penting.
Namun, biayanya lebih tinggi dan waktunya lebih lama.

192
Ibid.
Penyederhanaan partai diperlukan karena secara teoretis dengan penyederhanaan
jumlah partai politik, dimungkinkan pasangan calon presiden yang mencalonkan diri dalam
pemilihan presiden tidak berasal dari satu partai politik atau kelompok partai politik. jumlah
yang terlalu kecil (minoritas). Yang mengarah ke seorang presiden yang digambarkan Juan
Linz sebagai orang luar yang tidak berpengalaman. Dengan jumlah partai yang sedikit, selisih
suara biasanya tidak terlalu besar. Sama dengan kelompok politik potensial. Situasi seperti itu
tidak hanya menjadikan presiden terpilih sebagai tokoh nasional berkaliber terbaik, didukung
oleh partai menengah dan besar, tetapi juga memiliki jaminan dukungan yang relatif lebih
kuat dan lebih luas di DPR. Selain penyederhanaan jumlah, pembenahan partai politik ke
depan adalah upaya menjadikan partai lebih maju, modern, dan sehat.

c. Korupsi dari Masa Reformasi (Masa Pemerintahan B.J. Habibie) Hingga Pasca
Reformasi

Korupsi sering terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi adalah
masalah serius tidak hanya di Indonesia tetapi di semua negara di dunia. Korupsi sudah ada
sejak manusia mengenal kehidupan bermasyarakat. Apa yang dimulai sebagai penipuan
sederhana telah berkembang menjadi penipuan dan merupakan masalah yang sulit diberantas.
Hal ini terjadi karena korupsi bertahun-tahun sudah menjadi budaya yang sangat sulit
dibuang dalam kehidupan bermasyarakat. Korupsi adalah perbuatan memanfaatkan keadaan
atau kekuasaan seseorang untuk merampas hak orang lain, sehingga akibat perbuatan korupsi
sangat merugikan orang lain. Meningkatnya korupsi di masyarakat menunjukkan bahwa
korupsi pemerintah telah menjadi hal yang biasa. Jika dibiarkan, moral negara akan anjlok
dan negara akan musnah.

Korupsi di Indonesia sudah mengakar sejak kemerdekaan pada masa Orde Lama dan
Orde Baru dan bertahan hingga era Reformasi (Agus Mulya Karsona, 23; 2011 dalam
Pendidikan Antikorupsi Perguruan Tinggi 2011). Pada masa Orde Lama, A.H. Nasution
beranggotakan dua orang, Prof. M. Yamin dan Ruslan Abdulghani. Tugas badan tersebut
adalah meminta pejabat pemerintah untuk mengisi formulir yang diberikan kepada mereka,
yang sekarang menjadi semacam daftar properti pribadi. Dalam perkembangannya, ternyata
kewajiban mengisi formulir tersebut mendapat reaksi keras dari aparat.

Keputusan Presiden No. 275 mengangkat A.H. Nasution menjadi menteri koordinator
Departemen Pertahanan dan Keamanan, dibantu oleh Willjono Projodikusmo, yang tugasnya
membawa kasus korupsi ke pengadilan. Badan ini kemudian dikenal sebagai "Operasi
Boedi". Sasarannya adalah perusahaan dan lembaga milik negara yang dianggap rentan
terhadap korupsi dan kolusi. Operasi Boedhi pun menemui kendala. Pada awal Orde Baru,
sekitar tahun 1966, dibentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dengan Jaksa Agung
sebagai pusatnya, namun pada tahun 1970, TPK tidak serius memberantas korupsi seperti
Soeharto. keberadaan TPK. Badan usaha milik negara seperti Bulog, Pertamina, dan
Kementerian Kehutanan, yang dianggap sarang korupsi, menjadi sorotan publik.193

Pada akhirnya, Suharto membentuk komite beranggotakan empat orang untuk


menanggapi gelombang dan demonstrasi mahasiswa. Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo, A.
Tjokroaminoto. Tugas Panitia IV adalah membersihkan Kementerian Agama PT Bulog.
Mantrust, Telekom, Pertamina. Namun kenyataannya, Komisi Empat hanyalah 'macan
ompong', karena pemerintah tidak menindaklanjuti temuannya terkait dugaan korupsi di
Pertamina.

Ketika Laksamana Sudomo diangkat menjadi Panglima Komando Keamanan dan


Ketertiban (Pangkop Kamtiv), dibentuklah Operasi Tertib (Opstive) dengan tugas antara lain
memberantas korupsi. Setelah Opstib didirikan, muncul ketidaksepakatan antara Sudomo dan
Nasution tentang cara memberantas korupsi.

Pada era reformasi, Presiden BJ Habibie mencanangkan Undang-Undang (UU) No. 28


Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Konspirasi dan Nepotisme (KKN). Pada saat ini, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pimpinan Presiden Abdurrahman Wahid
kemudian membentuk Satuan Tugas Bersama Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(TGPTPK) berdasarkan UU No. 19 tahun 2000, namun karena adanya uji materil oleh
Mahkamah Agung, TGPTPK kemudian dibubarkan. Bahkan bisa dikatakan Indonesia
mengalami kemunduran dalam memberantas KKN. Selain membubarkan TGPTPK, Presiden
Abdurrahman Wahid juga dinilai tidak mampu menunjuk pemimpin untuk mendukung
pemberantasan KKN. Hal itu terkait dengan proses penyidikan kasus dugaan korupsi yang
melibatkan konglomerat Sofyan Wanandi, yang sempat terhenti dengan Surat Perintah
Penyidikan (SP3) yang dikeluarkan Jaksa Agung Marzuki Darusmani, yang kemudian
mengaitkan Abdurrahman Wahid dengan kasus Buloggate. Pada era kekuasaan Megawatt,
wibawa hukum menurun sementara wibawa kekuasaan meningkat. Upaya pemberantasan
korupsi terus dilakukan dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui

193
Romli, L. . Reformasi partai politik dan sistem kepartaian di indonesia. (Politica, 2011) 2(2), 199–220.
UU No. 30 Tahun 2002 untuk memerangi, memberantas dan memberantas korupsi di
Indonesia.194

Di awal era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, pemberantasan korupsi nampaknya


belum terbukti, menurut hasil jajak pendapat yang dilakukan Kompas (21 Mei 2012),
misalnya kasus suap Senior. Deputi Direktur Bank Indonesia, Mafia Pajak Gayus Tambuna,
Korupsi Wisma Atlet Palembang dan Mafia Anggaran DPR. Di tingkat daerah, situasinya
hampir sama, sepertiga kepala daerah Indonesia terlibat kasus korupsi. Sejak bergulirnya
reformasi pada Mei 1998, publik nasional disuguhi liputan media tentang berbagai kasus
korupsi yang dilakukan para politisi, birokrat, dan lembaga penegak hukum yang bekerja
sama. Korupsi politik memiliki ciri negara korporat karena diprakarsai oleh elit politik.
Korupsi politik bukanlah jenis kejahatan biasa. Ini telah memasuki ranah kejahatan, yang
dapat berdampak pada kejahatan negara. Secara garis besar, korupsi politik dapat terjadi
dalam dua bentuk. Pertama, akumulasi dan ekstraksi modal, dimana elit politik/aktor
birokrasi menyalahgunakan kekuasaannya untuk mengeruk keuntungan dari sektor swasta,
pajak pemerintah atau sumber keuangan lainnya. Misalnya, teori pencarian keuntungan dapat
digunakan untuk membaca perilaku politisi atau pegawai negeri sipil untuk mendapatkan
keuntungan finansial dengan pensiun politik dengan membagikan janji proyek tertentu
kepada "pemodal" mereka (Saleh, 2019). Kedua, eksploitasi sumber tertentu, seperti
pemerasan atau penyitaan dana publik, untuk mengkonsolidasikan posisi kekuasaan.195

Strategi ini biasanya dilakukan dengan memberikan perlindungan hukum dengan


dukungan politik (political patronage) kepada kelompok ekonomi tertentu melalui
pembiayaan atau redistribusi material (Widoyoko, 2018). Bentuk korupsi politik juga dapat
diamati di lapangan empiris, mulai dari penyuapan, penggelapan, pemerasan, penipuan,
konflik kepentingan dalam perolehan barang dan jasa dan imbalan (Ardisasmita, 2006).
Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini mengalami kemajuan pesat dari waktu ke
waktu. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang didirikan pada masa reformasi agama
telah membuktikan diri dalam bentuknya yang sekarang mampu menghukum para koruptor
yang merugikan negara secara tepat. Pada masa orde lama, pemerintah melakukan berbagai
upaya pemberantasan korupsi yang telah menjadi warisan budaya bangsa Indonesia, namun
pada kenyataannya pelaksanaannya dinilai kurang optimal dan tidak serius. Pemerintah hanya
cenderung membuat undang-undang antikorupsi dan membentuk lembaga antikorupsi.

194
Ibid.
195
Lestari, Y. S. Kartel Politik dan Korupsi Politik di Indonesia. Pandecta, 2017 12(1).
Dalam praktiknya, mereka mendapat banyak dukungan publik, tapi pejabat yang diduga
korupsi cenderung berlindung pada presiden. Tindakan pemberantasan korupsi juga
dilakukan pada masa Orde Baru, tetapi tidak berjalan dengan baik ketika Presiden Soeharto,
pemimpin saat itu, dituduh melakukan korupsi. Model antikorupsi yang diterapkan
pemerintah Orde Baru pada awalnya mengikuti model Orde Lama. Pada tahun 1970, Presiden
Soeharto membentuk Komisi IV untuk menganalisis masalah korupsi birokrasi yang diketuai
oleh Wilopo. Namun hal ini diabaikan, membuktikan bahwa tidak ada undang-undang yang
dibuat untuk memberantas korupsi di Indonesia pada masa Orde Baru.

Habibie menggagas pemberantasan korupsi pada masa Reformasi melalui Ketetapan


MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Bersih Tanpa Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme. 4 Upaya Habibie untuk melaksanakan Ketetapan MPR adalah dengan mengubah
UU No 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan UU No 31
Tahun 1999. 5 Setelah pemerintahan Habibie, upaya pemberantasan korupsi semakin meluas,
dukungan publik terhadap pemerintahan reformasi semakin meningkat, dan pemerintah
semakin giat memberantas korupsi dan mengusut pejabat negara yang diduga terlibat praktik
korupsi. Pada masa Abdurrahman Wahid, beberapa lembaga nasional dibentuk untuk
mendukung upaya pemberantasan korupsi.196

Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi dan Tindak Pidana (TGP-TPK), Komisi


Ombudsman Nasional (KON), Komisi Penyelidikan Harta Kekayaan Pegawai Negeri Sipil
(KPKPN). 6 Upaya ini membuahkan hasil dan banyak pelaku kejahatan disidik dan dibawa
ke Lapas Nusa Kanbangan untuk diadili. Tindakan tegas yang dilakukan pemerintah saat itu
berhasil menakuti para pelaku yang tidak tertangkap. Upaya dan keseriusan pemerintah
dalam memberantas korupsi pada masa reformasi dibuktikan dengan terungkapnya berbagai
kasus korupsi yang berhasil ditangani KPK. Meski telah membuat langkah besar, KPK juga
menemui berbagai kendala untuk melemahkannya dalam mengungkap kasus-kasus korupsi di
Indonesia.

Setelah era Reformasi Orde Baru berakhir, Indonesia diperintah oleh Presiden B.J.
Habibi. Upaya pemerintah era reformasi untuk memberantas korupsi terdiri dari pembuatan
undang-undang antikorupsi dan pembentukan lembaga antikorupsi. Badan antikorupsi yang
dibentuk itu bernama Komisi Penyelidik Harta Kekayaan Pegawai Negeri Sipil, atau
disingkat KPKPN. KPKPN didirikan pada tanggal 13 Oktober 1999 dengan Keputusan

196
Ibid.
Presiden No. 127 Tahun 1999. Mandat dan kewenangan KPKPN adalah melakukan
pemeriksaan terhadap kekayaan milik penyelenggara negara untuk mencegah terjadinya
korupsi, kolusi, dan nepotisme. 22 Komisi Pemberantasan Korupsi belum mendapat
dukungan publik karena dinilai tidak mampu menangani korupsi yang meluas di semua
lapisan masyarakat. Akhirnya, Badan Pemberantasan Korupsi dilebur menjadi Komisi
Pemberantasan Korupsi pada 29 Juni 2004.197

Setelah pemerintahan Habibie digantikan oleh Abdurrahman Wahid, pemerintah menata


kembali Badan Pemberantasan Korupsi (disingkat TGPTPK). Alasan pembentukan TGPTPK
adalah upaya pemerintah untuk mengatasi masalah korupsi yang berkembang di Indonesia.
Mandat dan kewenangan TGPTPK adalah mengoordinasikan kasus korupsi dan penyidikan
praktik korupsi serta mengoordinasikan penuntutan praktik korupsi.Pada akhirnya badan
pemberantasan korupsi ini nir mampu berjalan menggunakan baik lantaran pada melakukan
penyelidikan pada mengungkap masalah korupsi, TGPTPK mengalami perkara pada hal
perizinan buat melakukan penyitaan dan penggeledahan pada mengungkap masalah korupsi
yang terjadi. 23 Pada tahun 2003 Presiden Megawati Soekarnoputri menciptakan Komisi
Pemberantasan Korupsi. Dalam memilih siapa yang akan menjabat menjadi kepala KPK yang
pertama, Komisi II DPR menciptakan sebuah tim yang akan melakukan penyeliikan pribadi
terhadap tempat tinggal dan famili calon-calon pimpinan KPK. Dalam pemilihan kepala
KPK, masih ada 10 orang calon diantaranya:

Amin Soemarijadi, Chairul Imam, Ery Riyana Hardjapamekas, Iskandar Sonhaji, Momo
Kelana, Marsilam Simanjuntak, Muhamad Yamin, Syahrudin Rasul, Taufikurahman Ruki,
dan Tumpak H. Panggabean. Setelah dibuat Komisi Pemberantasan Korupsi, poly masalah-
masalah korupsi yang berhasil dibongkar sang KPK. Bahkan KPK mampu dibilang menjadi
forum pemberantasan korupsi yang paling berhasil dibandingkan menggunakan forum atau
badan pemberantasan korupsi yang sebelumnya. Meskipun korupsi masih poly terjadi
dilingkungan warga juga pemerintahan, tetapi upaya yang dilakukan sang pemerintah pada
melakukan upaya pemberantasan korupsi secara monoton menurut era Orde Lama sampai
Reformasi tidaklah sia-sia.

Seiring berkembangnya Negara Indonesia, upaya dan output pemberantasan korupsi


yang dilakukan jua semakin berkembang dalam tiap zaman. Mekipun poly hambatan yang
waktu ini dihadai sang KPK tetapi usaha pada melakukan upaya pemberantasan korupsi nir

197
Koho, I. R. Oligarki dalam Demokrasi Indonesia. Lensa, 2021 4(50), 60–74.
boleh padam begitu saja. Tugas menurut pemberantasan korupsi nir hanya tugas menurut
badan pemberantasan korupsi saja, tetapi dukungan dan kerjasama warga yang anti korupsi
jua sangat berpengaruh pada suksesnya upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan. Jike
ditinjau menurut pengalamanpengalaman sebelumnya, badan-badan pemberantasan korupsi
menurut era Orde Lama sampai Reformasi yang awalnya mengalami keberhasilan tetapi
lama-kelamaan mengalami penurunan & dalam akhirnya nir mampu berjalan lagi lantaran
kurangnya dukungan dan agama warga terhadap badan anti korupsi yang dibuat sang
pemerintah.198

Upaya pemberantasan korupsi pada era Reformasi mengalami poly kemajuan


dibandingkan menggunakan eraera sebelumnya. apabila pada era sebelumnya upaya
pemberantasan korupsi mengalami kegagalan maka pada era Reformasi, pemberantasan
korupsi terutama yang dilakukan sang KPK mengalami poly kemajuan. Banyak menurut
masalah-masalah korupsi yng berhasil ditangani & diselesaikan sang KPK. Bahkan poly
menurut para pelaku korupsi yang ditangkap sang KPK adalah para pejabat tinggi negara. Hal
ini mengambarkan keseriusan KPK pada menangani masalah korupsi & nir memandang
jabatan atau posisi yang dimiliki sang para pelaku korupsi. Keseriusan KPK pada menagani
korupsi pada Indonesia menciptakan warga mendukung sepenuhnya tindakan-tindakan yang
dilakukan sang KPK.199

Daftar Pustaka

Abi Sholehuddin dan Aminuddin Kasdi. (2015). “Jargon Politik Masa Demokrasi
Terpimpin Tahun 1959-1965”, (Avatara: e-Journal Pendidikan Sejarah, Vol.
3 No. 1).

198
Ibid.
199
Romli, L. Reformasi partai politik dan sistem kepartaian di indonesia. (Politica, 2011)
Adnan Buyung Nasution. (2004). Pergulatan Tanpa Henti Menabur Benih
Reformasi, Otobiografi Aksara Karunia, Jakarta.

Agustam, 2011, Konsepsi dan Implementasi Demokrasi Pancasila dalam Sistem


Perpolitikan di Indonesia, Jurnal TAPIs 7(12), 79-91.

Arta, K. S. (2022). POLITIK INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI


TERPIMPIN 1959-1966. Candra Sangkala.

Danang Risdiarto. (2018). LEGALITAS DEKRIT PRESIDEN 5 JULI 1959 DAN


PENGARUHNYA BAGI PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI
INDONESIA, Legislasi Indonesia.

Dewi S., Shandy Utama, A. 2018. Pancasila sebagai Ideologi Bangsa Indonesia serta
Perkembangan Ideologi Pancasila pada Masa Orde Lama, Orde Baru
dan Era Reformasi. Jurnal PPKn & Hukum, 13(1), 17-37

Elly Noviati, C. 2013. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan. Jurnal Konstitusi, 10(2),
333-354.

Fisip, A. (2019). Bahan Ajar Partai Politik dan Pemilu. Universitas Pattimura,
https://adm.fisip.unpatti.ac.id/wp-content/uploads/2019/10/BAHAN-AJAR-
PARPOL-DAN-PEMILU-dikonversi.pdf

George Mc Turnan Kahin. (1995). Nasionalisme dan Revolusi di Indoensia. (Jakarta:


Pustaka Sinar Harapan kerja sama dengan Sebelas Maret University
Press).

G. Moedjanto. (1988). Indonesia Abad ke-20 II (Yogyakarta: Kanisius).

Hidayat, A. (2018). PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK PADA MASA ORDE


BARU (1966-1998). Jurnal Ilmiah Mimbar Demokrasi, 17(2), 155-164.

Indrajat, H. (2018). DEMOKRASI TERPIMPIN SEBUAH KONSEPSI PEMIKIRAN


SOEKARNO TENTANG DEMOKRASI. Jurnal Sosiologi .

Kadir, A. G. (2014). Dinamika Partai Politik Di Indonesia. Sosiohumaniora, 16(2),


132-136.
Ketut Sedana Arta. (2022). POLITIK INDONESIA PADA MASA DEMOKRASI
TERPIMPIN 1959-1966, Candra Sangkala

Meutia Farida Swasono. (1980). Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan. (Jakarta:
Sinar Harapan).

Nihaya M, H. 2011. Demokrasi dan Problematikanya di Indonesia. Jurnal Sulesana,


6(2), 15-26

Nopa Suryawan, I P., Laba Sumarjiana, I K. 2020. Ideologi di Balik Doktrik


Dwifungsi ABRI. Jurnal Santiaji Pendidikan, 10(2) 182-190.

Nugroho, S .A. (2020). SEGITIGA KEKUASAAN MASA DEMOKRASI


TERPIMPIN. ResearchGate.

Nugroho, W. B., & Sos, S. (2017). Konstelasi Ekonomi, Sosial Dan Politik Di Era
Orde Baru*. makalah disampaikan dalam peringatan, 19, 27-28.

Nur Amanah, A., dkk. 2015, Sejarah dan Sistem Ketatanegaraan Indonesia pada
tahun 1966-1998, Jurnal Artikel, 1-38

Purnamawati, E. 2020. Perjalanan Demokrasi di Indonesia. Jurnal Artikel, 18(2),


251-264.

Purnaweni, H. 2004. Demokrasi Indonesia: Dari Masa ke Masa. Jurnal Administrasi


Publik, 3(2), 118-131.

Rajab, B. (2004). Negara Orde Baru: Berdiri di Atas Sistem Ekonomi dan Politik
yang Rapuh. Sosiohumaniora, 6(3), 182.

Ridha, M. (2016). Dilema Pelembagaan Partai Golongan Karya (Golkar) di Tingkat


Lokal: Fenomena Politik Klan. CosmoGov: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 2(1),
160-182.

Rinardi, H. (2013). Proses Perubahan Negara Republik Indonesia Serikat Menjadi


Negara Kesatuan Republik Indonesia. Diponegoro University
Institutional Repository.
R. Abdoel Djamali. (2018). Pengantar Hukum Indonesia. RajaGrafindo,
Jakarta.Referensi

Aji, M. P. (2020). Perkembangan dan Dinamika Partai Politik di Era Reformasi.


Parapolitika: Journal of Politics and Democracy Studies, 1(1), 1–17.

Alberto Ferry Firnandus. (2015). Pemerintahan Presiden BJ Habibie (1998 - 1999) :


Kebijakan Politik Dalam Negeri. 01–50.

Handayani, S., & Wardani, R. (2022). DINAMIKA POLITIK PEMERINTAHAN


ERA REFORMASI PADA SISTEM KETATANEGARAAN
INDONESIA The Government Political Dynamics Of The Reform Era
In Indonesian Constitutional System. Wijaya Putra Law Review, 1(2),
156–169.

Pratiknya, A. W. (1999). Pencapaian dan perspektif reformasi pemerintahan B.J.


Habibie. Kepustakaan-Presiden.Perpusnas.Go.Id, 291–294.

Rajab, B. (2004). Negara Orde Baru: Berdiri di Atas Sistem Ekonomi dan Politik
yang Rapuh. Sosiohumaniora, 6(3), 182.

Rei. (1998). kabinet Reformasi Pembangunan BJ. Habibie : Kembangkan Pemerintah


Yang bersih. In Kompas. https://kepustakaan-
presiden.perpusnas.go.id/uploaded_files/pdf/article_clipping/normal/
KABINET REFORMASI PEMBANGUNAN BJ HABIBIE,
KEMBANGKAN PEMERINTAHAN YANG BERSIH.pdf

Ridha, M. (2016). Dilema Pelembagaan Partai Golongan Karya (Golkar) di Tingkat


Lokal: Fenomena Politik Klan. CosmoGov: Jurnal Ilmu Pemerintahan,
2(1), 160-182.

Wijaya, J. H., & Permatasari, I. A. (2019). Capaian Masa Pemerintahan Presiden BJ.
Habibie dan Megawati di Indonesia. Cakrawala, 12(2), 196–207.
https://doi.org/10.32781/cakrawala.v12i2.274
A. Makmur Makkka, Ilmu Pengetahuan,Teknologi dan Pembangunan Bangsa.
Menuju Dimensi Baru Pembangunan Indonesia (Jakarta : Cidesindo,
1995) hlm. 58

Edward Aspinall, dkk, Titik Tolak Reformasi Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto.
(Yogyakarta : LKIS, 2000) hlm 37 A. Makmur Makkka, Biografi
Bacharuddin Jusuf Habibie dari Ilmuwan Negara Sampai Minandito.
(Jakarta : Pt. THC mandiri, 2012) hlm 217

Daniel Dhakidae, dkk, 2002, Wajah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Pemilihan umum 1999, PT. Kompas Media Nusantara, Jakarta, h. vii.

A. Makmur Makkka, Total Habibie Kecil Tapi Otak Semua. (Depok: Edelweiss,
2013) hlm 15.

Sudrajat, A. Demokrasi Pancasila dalam Prespektif Sejarah. Jurnal Artikel, 1-17.

Udiyana, I. B. G., Pradnyana, I. G. G. O., & Astini, N. N. S. (2008, January). Struktur


dan Sistem Pembangunan Ekonomi Indonesia Masa Orde Baru. In
Forum Manajemen.

Wahyu Firdaus, D. Kebijakan Dwifungsi ABRI dalam Perluasan Peran Militer di


Bidang Sosial-Politik tahun 1966-1998. Jurnal Artikel, 1-13.

Wijaya, A. 2014. Demokrasi dalam Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia. Al –


Daulah: Jurnal Hukum dan Perundangan Islam, 4(1), 136-158.

Yan, R. H. (2016). Eksistensi Sistem Ekonomi Kapitalis Di Indonesia. Jurnal Ilmiah


Al-Syir'ah, 8(1).

Yudiatmaja, Wayu. Politisasi Birokrasi: Pola Hubungan Politik dan Birokrasi di


Indonesia. Jurnal Ilmu Administrasi Negara. hal. 10-27

Dwiyanto, Agus. 2016. Memimpin Perubahan di Birokrasi Pemerintah : Catatan


Kritis Seorang Akademisi. (Yogyakarta : Gadjah Mada University Press).

Wahyudi, Rodi. 2020. Maladministrasi Birokrasi di Indonesia Dalam Perspektif


Sejarah. Jurnal Niara. Vol. 13. No. 1. hal. 145-154
Romli, Lili. 2008. Masalah Reformasi Birokrasi. Jurnal Kebijakan dan Manajemen
PNS. Vol. 2. No. 2. hal. 1-7

Ginting, Rosalina & Haryati, Titik. 2011. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia.
Jurnal Ilmiah CIVIS. Vol. 1. No. 2. hal. 27-41

Martini, Rina. 2010. Politisasi Birokrasi di Indonesia. POLITIKA. Vol. 1. No. 1. hal.
67-74

Rosihan, Anwar. 2006. Sukarno-Tentara-PKI. (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia).

Pratama, Nugroho. 2013. Sejarah Penanganan Korupsi di Indonesia, Orde


Lama[1]Orde Baru, (Jakarta: Gramedia)

Syuraida, Hikmatus. 2015. Perkembangan Pemberantasan Korupsi Di Indonesia Era


Orde Lama Hingga Era Reformasi. AVATARA. Vol. 3. No. 2. Hal 230-238

Adyatama E. (2021). Deretan Kasus Korupsi yang Lahir dari Dinasti Politik.
Tempo.Com.

Afadhal.2003. Dinamika Birokrasi Lokal Era Otonomi Daerah. Jakarta : P2P LIPI.

Ardisasmita. (2006). Definisi Korupsi Menurut Perspektif Hukum dan


Eannouncement untuk Tata Kelola Pemerintahan yang Lebih Terbuka,
Transparan dan Akuntabel. Makalah Seminar Nasional Upaya Perbaikan
Sistem Penyelenggaraan Pengadaan Barang/Jasa Pemer.

Ashsyarofi, H. L. (2021). Korupsi Partai Politik Dan Aliran Dana Pilkada Dalam
Perspektif Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi. Jatiswara, 36(1), 49–61.

Budiardjo, M. (2015). Dasar-dasar Ilmu Politik. Gramedia pustaka utama.

Budiman, M. (2020). Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Terhadap Penyelenggara


Negara Pada Saat Pemilu/Pemilukada. Jurnal Litigasi, 21(2), 199–219.

Cresswell, John W, 2004. Research Design: Qualitative and Quantitative Approach,


California: Sage Publication.
CNN Indonesia 2021 “ Korupsi era orde baru dan munculnya raja baru usai
reformasi”https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210608192828-12-651889/
korupsi-era-orde-baru-dan-munculnya-raja-baru-usai-reformasi, diakses
05/12/2022

Effendy, Bahtiar, 2009. Pangreh Praja During the Japanese Occupa- tion. Jakarta :
Center for the Study of Islam and Society.

Ellis, 2007. Indonesia’s constitutional change reviewed, dalam R Mc.Leod &


MacIntyre, Indonesia: Democrasy and the promise of good governance,
Singapore:ISEAS.

Firnas, Muhamad Adian, 2004. .Konsep Masyarakat Madani dan Relevansinya


Terhadap Masyarakat Indonesia. Jurnal ISIP Vol.1.No.1.

Gaffar, Afan, 1999. Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta :


Pustaka Pelajar.

Gedeona, T. H. (2013). Birokrasi Dalam Praktiknya Di Indonesia: Netralitas Atau


Partisan? Jurnal Ilmu Administrasi, 10(2), 232–245.

Hayati, M., & Noor, R. S. (2020). Korelasi Pilkada Langsung Dan Korupsi Di
Indonesia. Morality: Jurnal Ilmu Hukum, 6(2).

Hendytio, Medelina K. 1998. “Menunggu Hasil Pembenahan Birokrasi Kita”. Dalam


Jurnal ANALISIS CSIS No. 1 Tahun XXVII. Kartasasmita, Ginanjar. 1997.
Administrasi Pembangunan. Jakarta : LP3ES.

Hermanto, H. (2001). Korupsi Dan Pembangunan. Jurnal Ekonomi & Studi


Pembangunan, 2(1), 78722.

Heru tri hanggoro 2018 “Empat kasus korupsi besar awal orde baru”
https://historia.id/politik/articles/empat-kasus-korupsi-besar-pada-awal-orde-baru-
P4ebm , diakses 05/12/2022

Joshua, N. (1998). Patrimonialisme dalam Pemerintahan Orde Baru di Indonesia,


1965-1998 Related papers. www.divapendidikan.com
Jh Pakpahan ( 2017) Skripsi “ Upaya pemberantasan korupsi masa orde baru” UNDIP
Semarang

Koho, I. R. (2021). OLIGARKI DALAM DEMOKRASI INDONESIA. Lensa, 4(50),


60–74.

Kuper, Adam , dan Jessica Kuper, 2000. Ensyclopedia Ilmu Sosial, Jakarta, Pustaka
Grafiti.

Lele, Gabriel, 2008. Memahami Etika Birokrasi Publik : Sebuah Diagnosis


Institusional. Jurnal Civil Service Vol.2.No.2. Jakarta : Badan Kepegawaian
Negara.

Lestari, Y. S. (2017). Kartel Politik dan Korupsi Politik di Indonesia. Pandecta, 12(1).

Dwiyanto, Agus, dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta:


Pusat Studi Kependudukan dan Lingkungan Hidup.

Mas’oed, Mohtar,1997. Politik,Birokrasi dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Nurdjaman, Progo. 2002. “Reformasi Birokrasi di Era Otonomi Daerah”. Makalah


disampaikan pada Seminar Nasional Reformasi Birokrasi di Era Otonomi
Daerah, Bandung.

Saefullah, A. Djadja. 2002. “Birokrasi dan Fenomena Kolusi, Korupsi, dan


Nepotisme” Makalah. Disampaikan dalam Seminar Nasional Reformasi
Birokrasi di Era Otonomi Daerah, Bandung.

Soebhan, S. R. (2000). Model Reformasi Birokrasi Indonesia. Ppw Lipi, 1–10.

Sumarto, R. H. (2016). Model Kepemimpinan Dalam Reformasi Birokrasi Pemerintah.


Efisiensi - Kajian Ilmu Administrasi, 13(1).
https://doi.org/10.21831/efisiensi.v13i1.7855

Syamsudin, M. (2008). Kecenderungan Paradigma Berpikir Hakim Dalam Memutus


Perkara Korupsi. Jurnal Media Hukum, 2(3), 35812.
Syuraida, H. (2015). Perkembangan Pemberantasan Korupsi Di Indonesia Era Orde
Lama Hingga era Reformasi. E-Jurnal Pendidikan Sejarah, Volume 3(2), 230–238.
https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/avatara/article/view/12011/11203

Thoha, Miftah, 2008. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Jakarta :


kencana.

Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik, Jakarta : Rajagrafindo.

Thoha, Mifthah, 2014. Birokrasi Politik dan Pemilihan Umum di Indonesia, Jakarta,
Prenadamedia Group,.

Tjokroamidjojo, Bintoro. 1999. “Agenda Aksi Reformasi Birokrasi”. Dalam


Administrasi Negara, Demokrasi, dan Masyarakat Madani. Jakarta : Lembaga
Administrasi Negara.

Yudiatmaja, W. E. (2018). Politisasi Birokrasi: Pola Hubungan Politik dan Birokrasi di


Indonesia. Jurnal Ilmu Administrasi Negara (JUAN), 3(1), 10–28.
https://doi.org/10.31629/juan.v3i1.662

Yunas, N. S. (2016). Kepemimpinan Dan Masa Depan Reformasi Birokrasi Di


Indonesia. Dimensi, 9(2), 103–114.

Anda mungkin juga menyukai