Anda di halaman 1dari 30

Sejarah Pemerintahan dan Ketatanegaraan Pada Masa Jepang

A. Awal mula hubungan Indonesia dan Jepang

Hubungan ini berawal dari perdagangan Indonesia dengan Jepang di awal abad ke-20,
hal ini ditandai dengan datangnya Karayuki-san1 atau biasa disebut dengan Joshigun.
Menurut kodansha Encyklopedia of Japan, Definisi Karayuki-san adalah wanita yang pergi
bekerja dibidang prostitusi dan ditempatkan di daerah Siberia, Manchuria, Cina, Asia
Tenggara, daerah Pasifik Selatan, India, sampai Amerika dan Afrika setelah masa zaman
Meiji atau sekitar tahun 1868. Jumlah mereka di perkirakan sekitar 100.000 orang lebih,
jumlah mereka yang bertransmigrasi tidak dapat diketahui secara pasti. Meskipun mereka
tinggal jauh dari negara asalnya, mereka memiliki rasa nasionalisme yang kuat dengan
Jepang. Hal ini ditunjukan dengan melakukan pengiriman uang untuk sanak keluarga yang
berada di Jepang.

Pada zaman Meiji2 terdapat seorang pendidik dan cedikiawa yang kemuka di Jepang,
Fukuzawa Yukichi menulis artikel yang memuat tentag peran karayuki-san yang penting bagi
Jepang. Artikel tersebut berjudul “Jinmin no Iju to Shoju no Dekasegi” atau dalam
terjemahannya menjadi “Perburuhan Imigran dan Pelacur” diterbitkan dalam surat kabar Jiji-
Shinpo pada 18 Januari 1896 Mesehi. Ketika Karayuki-san memberikan uang kepada sanak
keluarganya di Jepang, secara tidak langsung memebantu Jepang untuk mendapatkan
devisanya. Hal ini sangat membatu pemerintah Jepang dalam bagian keuangan untuk
mendukung pengembangan dan pembangunan ekonomi negaranya.

Pada tahun 1880-an karayuki-san tersebar dan sering ditemui di pusat penempatan
mereka di Asia Tenggara. Kemudian di daerah jajahan Inggris sepeti Singapura terjadi
pemusatan. Selanjutnya, mereka mulai masuk Indonesia dan banyak dijumpai di Medan,
Pelembang, Batavia, Surabaya, dan Sandakan (kota di bagian Sabah, Malaysia). Mereka
umumnya bisa dijumpai di perkebunan atau pelabuhan-pelabuhan yang dikunjungi oleh
orang-orang Belanda. Setelah masuknya rombongan karayuki-san, kemudian disusul oleh

1
Karayuki-san berasal dari 2 suku kata yakni kara yang berarti Cina dan Yuki adalah menuju atau pergi kearah
suatu tempat. Jadi secara harfiah karayuki-san berarti orang-orang (wanita) yang pergi untuk bekerja ke Cina.
(Tokyo: Tokyo Shoseki, 1992) hlm. 82
2
Zaman Meiji atau dalam bahasa Jepang di sebut Meiji Ishin adalah peristiwa runtuhnya rezim Tokugawa dan
kembali ke masa kaisar
rombongan orang Jepang dari golongan pedagang kelontong 3. Singapura menajdi pintu
gerbang untuk orang Jepang yang datang ke Indonesia.

Kedatangan dua jenis kelompok dari Jepang ke Indonesia ini tidak ada hubungannya
secara langsung. Dilain sisi Shimizu Hajime, seorang ahli sejarah ekonomi Jepang dalam Ajia
Keizai (majalah ilmiah yang terbit berkala), menyatakan bahwa pedagang kelontong pada
awalnya hanya melayani kebutuhan karayuki-san saja. Aktivitas mereka antara lain sewa-
menyewa kamar (untuk kebutuhan kegiatan karayuki-san) serta mebuka kedai makanan yang
menyediakan masakan Jepang, membuka salon yang memberikan jasa pelayanan
pemasangan sanggul khas cara Jepang. Orang-orang Jepang juga berkeliling mejajakan alat-
alat tulis, ikat pinggang untuk kimono, barang-barang kelontong, dan juga obat-obatan.
Bahakan berkelanjutan hingga para pedagang melirik pangsa pasar local di Indonesia,
kegiatan ini terus berkembang hingga tahun 1920-an.4

Ide migrasi ke daerah selatan pertama kali dicetuskan oleh Shiga Shigetaka pada
tahun 1887 melalui karyanya yang berjudul Nanyo-jiji (Situasi Lautan Selatan). Pada awalnya
ide-ide tersebut adalah ide asli dari cedikiawan dan cenderung merupakan ide bebas dan opini
pirbadi. Seiring perkembangannya di Zaman Taisho pemikiran-pemikiran itu dipolitisir oleh
pemerintah, terutama Angkatan Laut. Tujuan utamanya adalah untuk melakukan ekspansi
terotialnya, khusunya wilayah perairan. Bahkan dalam zaman Showa pemikiran tersebut
diwujudkan dalam sebuah undang undang dan menjadi salah satu dasar kebijakan politik luar
negeri Jepang untuk menaklukan tentara-tentara Barat, pada masa bersiap Perang dunia II.5

Munculnya paham pemikiran nashin-ron memberikan arti penting dalam derasnya


arus perpindahan dan migrasi penduduk Jepang kearah Selatan. Ditambah dengan berbagai
informasi tentang prospek perdagangan sangat cerah di negara-negara daerah Selatan.
Informasi tentang hal tersebut telah meyakinkan kalangan perdagangan yang merasa
memiliki peningkatan yang sangat baik serta peruntungan yang besar. Kalangan pedagang
muda juga melakukan hal tersebut, khusunya untuk memperoleh peruntungan yang besar di
luar negeri dari pada bekerja di dalam negeri.

3
Yano Toru. Nanshin no Keifu (Tokyo: Chuo Koronsha, 1975) hlm 37. Yano menuliskan memoir seorang
pasangan suami istri yang berbeda latar belakang, suami seorang germo dan istri karayuki-san. Untuk menutupi
profesinya seorang germo (pinup dalam bahasa Jepang), maka mereka berjualan barang yang buatan dari
Jepang, sehingga posisinya lebih terhormat.
4
Shimizu Hajime, et al . ,”Zenki Hojin no Tonan Ajia Shinshutsu”, Perkembangan Migrasi Orang-Orang Jepang
di Asia Tenggara sebelum Perang”.
5
Dalam naskah yang dibuat 1980 Juni yang merupakan koleksi Australia, berjudul “Southeast Asia in Modern
Japanese Thought: The Development and Transformastion of Nanshin Ron”
Pada tahun 1900, Hindia Belanda membuat peristiwa sejarah dengan berdirinya
Asosiasi Kerja Sama Masyarakat Jepang (Nihon Kaigan Kyokai). Anggota dari asosiasi
tersebut kebanyakan wanita yang tinggal di Batavia (diperkirakan para karayuki-san).
Berkembangnya jaringan pertokoan Jepang di Hindia Belanda di buktikan dengan adanya
Asosiasi Masyarakat Jepang (Nihonjinkai) pada tahun 1903 yang tercatat dalam catatan
pemerintah Belanda, De Japansche Vereeniging, di Batavia. Pada tahun 1903 juga tercatat
296 anggota yang kebanyakan pemiliki dan pengelola took Jepang.6

Kegiatan dagang yang dirasa sukses membuat para prionir-prionir toko Jepang untuk
mengajak sanak keluarga maupun kenalannya untuk ikut bergabung dalam mengembangkan
usahanya dan bermigrasi ke Indonesia. Hal ini sangat berdampak cukup signifikan
menjadikan cakupan wilayah dan jaringan toko Jepang di Hindia Belanda menjadi luas.
Mereka juga didukung oleh pemerintah Hindia Belanda dengan disahkan undang-undang
baru pada tahun 1899. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa derajat orang-orang
Jepang setara dengan masyarakat pendatang yang termasuk golongan kulit putih. Didukung
dengan menangnya Jepang melawan Rusia pada thaun 1905. Dampak yang diperoleh Jepang
dengan peristiwa ini adalah kedudukan Jepang yang diakui menjadi setara dan sejajar dengan
bangsa Barat. Tidak disia-siakan oleh orang Jepang, kesempatan ini menjadi sebuah motivasi
untuk mencari peruntungan dengan cara menyebrangi ke daerah selatan termasuk Hindia
Belanda.

Sekitar tahun 1920-an, perdagangn eceran barang kelontong produk-produk impor


Jepang yang sangat murah dan lebih berkualitas mulai, menggerser kedudukan barang-barang
produk Belanda yang relatif mahal dan kualitas kurang. Hal ini membuat pemerintah Belanda
kawatir sehingga mengeluarkan peraturan undang-undang yang membatasi gerak pedagang
dari Jepang pada tahun 1933. Meskipun sudah mengalurkan Undang-Undang Pembatasan,
namun pada kenyataannya produk-produk impor dari Jepang masih menguasai pasar Hindia
Belanda dengan dimuatnya berita ini pada De Java Nippo.7 Di harian ini memuat hasil
penelitian impor perdagangan pemerintah Hindia Belanda dan Jepang tahun 1934. Berita
tersebut semakin menguatkan jika barang dari Jepang masih saja menguasai pasar di Hindia
Belanda dengan besar 78%, 61% bir dari Jepang, dan barang-barang keramik hampir
keseluruhan dikuasi impor dari Jepang.

6
Kelompok kerja sama orang-orang Jepang di Lautan Selatan (Indonesia), Nan’ yo Kakuchi Hojin Dantai
Meibo, Daftar Nama perkumpulan Orang Jepang di Hindia Belanda (Tokyo, 1940) hlm. 3
7
Meta Sekar Puji Astusi, Apakah Mereka Mata-Mata?: Orang Jepang di Indonesia (1868-1942), hlm. 10
Saat jepang sedang gencar-gencarnya melakukan perluasa terotialnya pada tahun
1930-an, hal ini membuat Jepang membutuhkan persediaan bahan bakar yang cukup untuk
kapal-kapalnya. Sehingga Jepang mulai melirik Hindia Belanda, karena menjadi salah satu
negara penghasil minyak tersebar dan memiliki jarak tempuh yang dekat dari Jepang.
Kemudian melakukan studi untuk mengetahui sejauh mana prospek Hindia Belanda. Pada
thun 1935, hasil studi yang dilakukan diterbitkan oleh Jepang dari observasi komite Tai
Nanyo Kenkyu Iinkai (Komite Penyelidikan Kebijakan untuk Daerah Selatan)8 yang didahului
kunjungan misi di Hindia Belanda tahun 1934.

Pada masa tersebut kebijakan politik Jepang mulai berubah bertahap dan dipolitisasi oleh
Pemerintah Jepang terhadap Hindia Belanda. Hubungan yang semula hanya untuk
perdagangan mulai keluar dari jalurnya, Jepang mulai ingin menguasai sumber-sumber
minyak di Hindia Belanda. Hingga memicu konflik yang serius, pemerintah Hindia Belanda
mulai resah atas kenyataan yang dilakukan oleh Jepang.

Konflik yang berkelanjutan sangat serius, membuat pemerintah Hindia Belanda


menganggap bahwa kegiatan perdagangan orang-orang Jepang adalah kegiatan spionase
pemerintah Jepang. Dalam buku Runtuhnya Hindia Belanda yang dituli soleh Onghokham
menyebutkan bahwa:

… Sumber lain dari spoionase Jepang adalah perusahaan-perusahaan seperti Veem


dan lain, yang besar dan yang dimilki oleh pemimpin-pemimpin ekstrim nasionalisme di
Jepang seperti Nanyo Veem yang dimiliki Ishihara…. Mereka berusaha di lapangan-
lapangan eksploitasi hutan-hutan, pertambangan dan lain-lain….9

Hal ini sebagai tanda bahwa pemerintah Hindia Belanda mencurigai kegiatan
perdagangan yang dilakukan oleh took-toko Jepang yang berada di Indonesia merupakan
bentuk penyamaran dari kegiatan spionasenya. Pertanyaan yang selalu muncul adalah
“Apakah benar pedagang Jepang itu semuanya adalah mata-mata?”, bagi pemerhati berbagai
kalangan sejarawan yang banyak memakai sumber dari Barat, khususnya Belanda. Hal ini
berkaitan dengan keterbatasan pakar bahasa Jepang yang fokus terhadap sejarah. Dilain sisi,
kebanyakan sumber referensi sejarah di Indonesia dari Belanda. Masa-masa sensitif sejarah
kependudukan Indonesia oleh Jepang pada tahun 1942-1945 menjadi generalisasi kecurigaan
bangsa Indonesia terhadap Jepang pada umumnya.

8
Henry P. Frei, Japan’s Southward Advance and Australia: From the Sixteenth Century to World War II
(Victoria: Melbourne University Press, 1922) hlm. 139.
9
Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda (Jakarta: PT Gramedia 1989), hlm. 39.
Kebijakan Pemerintahan Pendudukan Jepang di Indonesia

Pada intinya, kebijakan pemerintah Jepang terhadap rakyat Indonesia memiliki dua
prioritas: menghapus pengaruh Barat di kalangan masyarakat (pribumi), dan memobilisasi
mereka untuk kemenangan tentara Jepang. Seperti pemerintah kolonial Belanda, pemerintah
militer Jepang bermaksud menguasai Indonesia untuk kepentingannya sendiri. Mereka
menghadapi banyak masalah yang sama pemerintah kolonial Belanda menghadapi banyak
pemecahan yang sama. Namun, dalam perang untuk memaksimalkan sumber daya, Jepang
memutuskan untuk berkuasa melalui mobilisasi (khususnya Jawa dan Sumatera). Ketika
perang berlangsung, upaya mereka untuk memobilisasi rakyat Indonesia semakin intensif10.

Untuk melemahkan pengaruh Barat, pihak Jepang melarang penggunaan bahasa


Belanda dan Inggris. Namun, penggunaan bahasa Jepang dianjurkan. Buku dalam bahasa
Belanda dan Inggris, dan pendidikan tinggi dilarang. Kalender Jepang digunakan untuk
tujuan resmi, patung-patung Belanda disingkirkan, jalan-jalan diganti namanya, dan sekolah-
sekolah direnovasi11. Jepang menerapkan politik bahasa yang berupa kebijakan Language
Planning di Indonesia. Jepang melarang penggunaan bahasa Belanda serta memperluas
penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang di Indonesia. Usaha Jepang untuk
memastikan kebijakannya ini dapat berjalan dengan lancar juga tidak main-main. Jepang
mengumumkan satu-persatu hal-hal apa saja yang diharuskan untuk menggunakan bahasa
Jepang dan bahasa Indonesia, seperti merek, nama toko, surat, dan lain–lain.

Memulai kampanye propaganda intensif untuk meyakinkan rakyat Indonesia, bahwa


Jepang adalah saudara dalam perang yang agung membentuk tatanan baru di Asia. Para
petani juga mendapat kabar hal ini dilakukan melalui pengeras suara radio yang dipasang
pada tiang-tiang di setiap desa. Namun, upaya propaganda tersebut seringkali gagal karena
kenyataan pendudukan Jepang, yaitu kekacauan ekonomi, teror, kerja paksa dan penyerahan
beras, kesombongan dan kekejaman rakyat Jepang. Sehingga pada saat itu orang-orang yang
telah menyambut baik orang-orang jepang akhirnya mereka dengan cepat menjadi berkecil
hati12.

10
Ricklefs, M. (2008 ). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Banda Aceh : Serambi Ilmu Semesta, 425-426.

11
Fadli, M. R., & Kumalasari, D. (2019). Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pada Masa Pendukan
Jepang. Jurnal Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya, 197.

12
Ibid.
Untuk memobilisasi rakyat pihak pemerintahan Jepang mencari pemimpinpemimpin
politik baru di Jawa. Pertama-pertama mereka menghapuskan semuaorganisasi politik, pada
Maret 1942 semua kegiatan politik dilarang kemudian semua perkumpulan yang ada secara
resmi dibubarkan dan pihak Jepang mulai membentuk organisasi organisasi baru sejak mula
pertama. Islam terlihat menawarkan suatu jalan utama bagi mobilisasi. Pada akhir Maret
1942, pihak Jepang di Jawa sudah mendirikan sebuah Kantor Urusan Agama 13. Kebijakan
Jepang terhadap Islam di Indonesia telah menciptakan pesona bersama dengan kebijakan
Nippon’s Islamic Grass-root policy. Sehingga Jepang lebih dekat dengan aspirasi umat islam
dari pada nasionalis sekuler, jepang ternyata memiliki tujuan kenapa lebih dekat karena agar
bisa mendukung tujuan-tujuan perang yang dimana cepat dan mendesak14.

Kemudian pada tanggal 8 September 1942, Jepang memberlakukan UU No. 2 Jepang


menguasai atau mengkontrol semua organisasi yang ada di Indonesia. Semua kegiatan yang
berkaitan politik itu dilarang karena mengingat kebijakan Jepang Politik sudah diterapkan
serta berbagai bentuk perkumpulan pun juga dilarang. Pada saat berlakunya undang-undang
yang diterapkan oleh Jepang, sebenarnya memiliki dampak terhadap organisasi nasional yang
masih aktif dan bersemangat dalam memperjuangkannya Kemerdekaan Indonesia harus
dilemahkan. Misalnya, oleh Parindra dan GAPI (Persatuan Politik Indonesia). Untuk
mendapatkan kekuatan dan dukungan dari masyarakat Indonesia, maka pemerintah militer
Jepang membentuk Gerakan Tiga A. Maksud dan tujuan dalam pembentukan gerakan ini
adalah upaya Jepang untuk merekrut dan mengerahkan tenaga rakyat Indonesia yang akan
digunakan dalam Perang Asia Timur Raya. Tidak hanya satu organisasi ini aja adapun
organisasi yang di bentuk oleh Jepang yang diberi nama PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat)
yang dimana sebelumnya Jepang sebuah tawaran kerja sama dengan pemerintah Indonesia15.

Jepang berharap para pemimpin Indonesia, melalui PUTERA akan membujuk kaum
nasionalis sekuler dan intelektual untuk mencurahkan pikiran dan energi mereka untuk
perang melawan Sekutu. Selain itu, PUTERA tidak menghasilkan karya-karya khusus dalam
gerakannya. Namun setidaknya, mampu membangun mentalitas bangsa dalam persiapan

13
Ricklefs, Op. Cit. hal 428.

14
Fadli, M. Rijal dan Hidayat, Bobi. (2018). KH. Hasyim Asy’ari Dan Resolusi Jihad Dalam
Usaha Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945. Lampung: Laduny
Alifatama, 35.

15
Insneini F. Hendri dan Apid. (2008). Romusha Sejarah Yang Terlupakan (1942-1945).
Yogyakarta: Ombak, 31-32.
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Perkembangan PUTERA ke seluruh pelosok Indonesia
telah memungkinkan pemuda Indonesia untuk mengorganisir perkumpulan-perkumpulan
yang bertujuan untuk memenangkan dan memupuk kemerdekaan yang dirindukan bangsa
Indonesia, karena Jepang berkomitmen untuk membantu cita-cita tersebut. Selain itu,
perkumpulan-perkumpulan pemuda di berbagai daerah mulai tumbuh, seperti berdirinya Jong
Celebes, Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, dll, yang aktif pada masa penjajahan
Belanda. Kemudian mulailah membangun beberapa partai politik Pada masa penjajahan
Jepang, karena Jepang menjanjikan kemerdekaan Untuk Indonesia, maka gerakan
kemerdekaan lainnya seperti BPUPKI (Bataan Penyelidikan Kemerdekaan Indonesia) dan
PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Taktik Jepang dalam meraih simpati
rakyat Indonesia membuat Indonesia Itu bisa membantu Jepang saat itu, tapi itu semua hanya
janji manis Hadiah dari Jepang untuk orang Indonesia16.

Melihat situasi perang, badan-badan propaganda seperti Gerakan Tiga A dan


PUTERA yang telah dibentuk saat itu tidak lagi efektif menjalankan tugasnya. Kemudian
muncul gerakan baru yaitu Jawa Hokokai yang didirikan pada tanggal 29 April 1944.
Gerakan Jawa Hokokai merupakan forum atau tempat untuk semua organisasi multi-etnis,
bukan hanya organisasi eksklusif para pemimpin sekuler dan nasionalis Islam. Tapi lembaga
dari semua lapisan masyarakat termasuk asosiasi pemuda, perempuan dan masyarakat non-
pribumi. Ada juga beberapa organisasi terpenting yang sudah ada sebelum Jawa Hokakai
berdiri17.

Pada bulan Oktober 1943, Jepang mendirikan Peta (Pembela Tanah Air), organisasi
pemuda terpenting di Indonesia. Organisasi tersebut adalah tentara sukarelawan bangsa
Indonesia. Pada akhir perang, anggotanya berjumlah 37.000 di Jawa, 1.600 di Bali dan sekitar
20.000 di Sumaera (kelompok ini sering dikenal dengan nama Jepangnya Prajurit Relawan
Giyugun). Tidak seperti Heiho, Peta bukan anggota penuh tentara Jepang, tetapi bertugas
sebagai gerilya tambahan melawan invasi Sekutu. Pada bulan Oktober 1943, Jepang
mendirikan Peta (Pembela Tanah Air), organisasi pemuda terpenting di Indonesia. Organisasi
tersebut adalah tentara sukarelawan bangsa Indonesia. Pada akhir perang, anggotanya
berjumlah 37.000 di Jawa, 1.600 di Bali dan sekitar 20.000 di Sumaera (kelompok ini sering
dikenal dengan nama Jepangnya Prajurit Relawan Giyugun). Tidak seperti Heiho, Peta bukan
anggota penuh tentara Jepang, tetapi bertugas sebagai gerilya tambahan melawan invasi
16
Fadli (2019), Op. Cit. hal 198-199.
17
Imran, Amrin. (2012). Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid VI. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 52.
Sekutu. Adapun beberapa anggota perwiranya meliputi para pejabat, para guru, para kyai,
dan orang-orang Indonesia yang sebelumnya menjadi perlawanan kolonial Belanda. Di antara
mereka terdapat seorang bekas guru sekolah Muhammadiyah yang bernama Soedirman18.

Jepang telah melibatkan masyarakat Indonesia semaksimal mungkin dengan


menyediakan wadah bagi umat Islam Indonesia dalam sebuah organisasi untuk memudahkan
pemerintah Jepang dalam memobilisasi mereka dalam perang yang semakin sengit di Asia
Timur Raya. Organisasi Islam yang ada MIAI kemudian diubah menjadi Majelis Syuro
Muslim Indonesia (Masyumi). Pada Oktober 1943, kelompok tersebut memasuki orbit
propaganda Jepang, meningkatkan semangat jihad melawan musuh. Masyumi selalu terlibat
dalam politik Jepang, meskipun menggambarkan dirinya sebagai organisasi keagamaan.
Namun, itu semua demi kemenangan Jepang 19. Berdasarkan penjelasan sebelumnya, bahwa
sebelum Masyumi berdiri, sudah jelas bahwa Jepang berusaha mendekati umat Islam di
Indonesia. Cara yang paling umum untuk mempropagandakan Jawa oleh Kolonil Hory.
Kemudian kepala departemen Agama, akan mengadakan pertemuan dengan para kiyai dan
ulama. Supaya menambah kepercayaan terhadap apa yang telah dilakukan pemerintah, maka
sebab itu didatangkan orang Islam dari Jepang untuk menciptakan solidaritas dan semangat
kerja sama terhadap pemerintahan militer, pemerintah mengadakan latihan para tokoh Islam.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pemerintah telah melakukan indoktrinasi jihad
sebanyak 17 kali antara Juli 1943 hingga Mei 1945. Setelah itu, pemerintah merekrut pemuda
Muslim sebagai basis kekuasaan, dan pada tahun 1944, sehingga menjadi organisasi militer
Islam Hizbullah organisasi militer Islam Hizbullah. Hizbullah adalah organisasi pemuda yang
di dukung oleh Jepang, disamping itu adapun organisasi pemuda lain yang mendapat latihan
militer seperti Keibodan (pertahan sipil) dan Seinendan (barisan pemuda) yang anggota
pengikutnya pemuda Islam maupun non Islam20.

Keibodan adalah organisasi pemuda berusia 20-35 tahun dengan tugas kepolisian,
tugas jaga, keamanan desa, dll. Hal yang menarik dari kelompok yang berada di bawah
naungan Keimubu (polisi) dan memiliki sekitar satu juta anggota ini, Keibodan jauh dari
pengaruh nasionalis. Sementara itu, Seinendan merupakan tim yunior yang memperkuat

18
Ricklefs, Op. Cit. hal 435.
19
Suhartono. (2001). Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Boedi Utomo Sampai Proklamasi
1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 127.

20
Fadli (2019), Op. Cit. hal 200.
pertahanan di garis belakang. Jepang, melalui Seinendan, mencoba untuk membangkitkan
semangat pembangunan Jawa baru. Yaitu menumbuhkan rasa patriotisme dalam
kepahlawanan Jepang (Bushido) dengan menumbuhkan kedisiplinan pada generasi muda dan
meningkatkan hasil panen21.

Pembagian Wilayah Pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia

Sejak berkuasanya tentara Jepang di Indonesia pada tanggal 7 Maret 1942 oleh
Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Jepang Untuk Asia Tenggara, oleh karena itu jepang
membagi 3 bagian wilayah pemerintahannya sebagai berikut: pertama Jawa dan Madura
ditempatkan di bawah komando Panglima Angkatan Darat (Riku-gun) Jepang ke-16. Kedua
di Sumatera, Tentara Jepang ke-25 ditempatkan di Bukittinggi dan ketiga pulau-pulau lain di
Indonesia oleh Panglima Angkatan Darat (Riku-gun), yang dikelola oleh Angkatan Laut
Jepang (Kaigun) di Makassar.

Angkatan bersenjata Jepang mengatur wilayah Indonesia sesuai dengan undang-


undang dan peraturan yang ditetapkan oleh para komandan berbagai Panglima darat atau oleh
angkatan laut sebagai penguasa pemerintah daerah yang bersangkutan. Pusat-pusat militer
dan politik ini disebut "Departemen Militer dan Politik" atau “Gun Sei Bu”. Setiap
kementerian militer didukung oleh komandan lokal, selain memulihkan ketertiban dan
keamanan, juga bertanggung jawab untuk memecat karyawan Belanda dan membentuk
pemerintah daerah. Pemerintah militer Jepang telah mengangkat banyak Orang Indonesia
mengisi lowongan di posisi senior yang sebelumnya dipegang oleh Belanda.

Hukum pemerintahan sebelumnya (Pemerintah Hindia Belanda) "masih dianggap sah


untuk saat ini, asalkan tidak melanggar aturan pemerintah militer.” Seperti disebutkan di atas,
Panglima Tentara Jepang ke-16 yang ditempatkan di Jakarta adalah Gunseireikan Militer dan
Politik, dan jabatan Gunseireikan militer dan22 politik diubah menjadi Seiko Sikikan pada
tanggal 1 September 1943. Ia memiliki kekuasaan pemerintahan tertinggi di Jawa dan
Madura, sehingga ia juga memiliki kekuasaan yang dulunya berada di tangan Gubernur.
Jenderal Hindia Belanda. Sejak 8 Agustus 1942, Jawa dan Madura secara administratif dibagi
menjadi:

a. Syuu, (bisa setara dengan Karesidenan sebelumnya); Syuu terbagi menjadi Ken dan Si.

21
Amrin, Loc.Cit.
22
Marsono. (2005 ). Sejarah Pemerintahan Dalam Negeri . Jakarta : Cv. Eko Jaya, hal 64
b. Ken dan Si (masing-masing dapat disamakan dengan mantan Regenschap atau kabupaten,
dab Stadsgemeente atau Kotapraja) Ken terbagi atas Gun.

c. Gun (bisa disamakan dulu dengan District atau Kawedanan) Gun dibagi menjadi Putra.

d. Son (bisa disamakan dengan ondersistrict atau kecamatan terdahulu), Son dibagi menjadi
Ku.

e.Ku (mungkin setara dengan Indonesische Gemeente atau Desa terduhulu).

Pemerintahan Swapraja Yogyakarta dan Surakarta dikenal sebagai pemerintahan


Kooti Seperti pemerintahan Syu di Jawa, Solo Kooti dan Yogya Kooti dibagi menjadi distrik
Ken, Gun, Son dan Ku. Kota Jakarta menjadi Pemerintah Kota Tokubetsu Si atau pemerintah
Kota Khusus.

Dilihat dari pembagian di atas, tampaknya provinsi kita sebagai daerah otonom belum
menerapkannya. Menurut Osamu Seirei No. 28 tanggal 8 Agustus 1942 yang mulai berlaku
pada tanggal 8 Agustus 1942, nama-nama kabupaten Syu di Jawa dan Madura serta
kabupaten-kabupaten tertentu diubah sebagai berikut23:

Gambar table nama pembagian wilayah yang dikeluarkan pemerintahan Jepang

(Sumber: buku Sejarah Pemerintahan Dalam Negeri: 2005; Marsono)

23
Ibid., hal 65.
Kedudukan Kepala Daerah, dalam hal ini terutama Regent (Bupati), yang dualistis
atau mempunyai dwifungsi yaitu sebagai orgaan Pemerintah Pusat dan sebagai kumpulan
Pemerintah Daerah Otonom, di dalam masa pemerintahan Bala Tentara Jepang masih tetap
dilangsungkan.

Tidak seperti halnya dengan Burgermeester (Walikota) yang di dalam masa


pemerintahan Hindia Belanda dahulu yang hanya merupakan kumpulan dari Stadsgemeente
sebagai Daerah Otonom saja, sedangkan dalam pemerintahan Bala Tentara Jepang
kedudukan Walikota (Sityoo) menjadi ganda seperti kedudukan Bupati (Kentyoo), dengan
demikian maka:

a. Walikota (Si-tyoo) selain mengurus urusan rumah tangga dan tugas pembantuan (atau
medebewind) dalam Si, juga mengurus urusan pemerintahan umum yang dilaksanakan oleh
Pangreh Praja yang berada di Si tersebut.

b. Secara administratif, Si tidak lagi menjadi wilayah Kentyoo sebagai instansi pemerintah
pusat Kentyoo,Ini mencakup wilayah Sekretaris, tetapi wilayah Kantor Sekretaris Yao
sebagai lembaga pemerintah pusat.

c. Urusan pemerintahan yang sebelumnya ditangani oleh Bupati, Bupati, Kepala Kecamatan,
Lurah atau Kepala Desa (wijkmeester), masing-masing di wilayah Si berikutnya masukkan
kekuatan Sityoo.

Kepala pemerintahan Syuu disebut Syuu-tyoo, dan gelar "Tyookan" dalam bahasa
Syuu-tyoo berarti "lebih besar", menunjukkan bahwa orang Jepang lebih tinggi dan lebih
mulia daripada penduduk setempat. Orang Aborigin tidak diklasifikasikan sebagai pejabat,
tetapi hanya disebut "tyoo", yang berarti "kepala", misalnya, Ken-tyoo berarti kepala distrik.
yang menjadi perwira jepang Syuutyo biasanya pengecualian, hanya ada dua Syuu yang
dipimpin oleh orang Indonesia, yaitu misalnya, Ken-tyoo berarti kepala kabupaten. siapa
yang menjadi dan bertindak perwira militer Jepang Syuutyo biasanya pengecualian, hanya
ada dua Syuu yang dipimpin oleh orang Indonesia, yaitu pertama Jakarta Syuu dan kedua
Bojonegoro Syuu.

Kepala pemerintahan Ken dikenal sebagai Ken-tyoo. Semua Ken-tyoo di Jawa dan
Madura adalah orang Indonesia. Kepala pemerintahan Gun-tyoo, Son-tyoo dan . Ku-tyoo
adalah mereka semua orang Indonesia.
Mengenai Si, dapat ditambahkan di sini bahwa Si diangkat oleh Gunseikan (pejabat
pemerintah Angkatan Darat) Jepang) disebut Tokubetsu-si dan kepala disebut Tokubetsu
Sityoo. “Tokubetsu” artinya “luar biasa” atau “istimewa”, jadi di Indonesia hanya satu Si
yang diangkat oleh Gunseikan yaitu Si Jakarta, Tokubetsu-Sityoo Jakarta diduduki oleh
Jepang. Dalam kedudukan Tokubetsu Sityookan ini sebagai kepala administrasi berada pada
tingkat yang sama dengan kedudukan Syuu-tyookan24.

Jadi pada tanggal 8 Agustus 1942, bahwa ditetapkannya daerah pemerintahan


tertinggi adalah Syu. Ada 17 pulau di Jawa, antara lain Banten, Batavia, Bogor, Purangan,
Cirebon, Pekalongan, Semarang, Wanyuma, Pati, Kedu, Surabaya, Boyo Negro, Madien,
Kediri, Malang, Besuki, dan Madura. Meskipun tidak ada perubahan struktural, ada
perbedaan dalam penegakan pemerintah. Meski luas area Syu sama dengan karesidenan
sebelumnya, namun fungsi dan kekuatannya berbeda. Residentie pernah menjadi pembantu
Gubernur Daerah (Residen). Dan Syu adalah pemerintah daerah otonom tertinggi, bawahan
Syucokan, dan posisinya sama dengan gubernur. Syucokan memiliki kekuatan tertinggi di
wilayah Syu karena dia memiliki kekuasaan legislatif dan eksekutif, sehingga dapat
disebutkan sebagai satu otokrasi yang terdapat dari bawah sampai ke atas. hingga demikian
struktur pemerintahan Syu berbeda dengan struktur pemerintahan Residentie pada zaman
Hindia Belanda, karena shucokan kekuasaannya sama dengan gubernur, tetapi daerah
kekuasaannya seluas daerah residentie (setingkat wilayah kecamatan sekarang)25.

Pada saat melakukan tugasnya Shucokan dibantu oleh Cokan Kanbo (Majelis
Permusyawaratan) yang mempunyai tigaBu atau juga disebut bagian sebagai berikut:

a. Naiseibu (baigan pemerintahan umum)

b. Keizaibu (bagian ekonomi)

c. Keisatsubu (bagian kepolisian)

Suku Shucokan secara resmi diangkat oleh Gunseikan pada September 1942.
Peresmian tersebut menandai dimulainya pelaksanaan organisasi pemerintah daerah dan
pemberhentian sementara pejabat Indonesia26.

Transformasi Pangreh Praja


24
Ibid., hal 66.
25
Harry J. Benda, et al., Japanese Military Administration in Indonesia, ( New Haven: Yale University, 1965),
hal.66.
26
A.G. Pringgodigdo, Tatanegara di Djawa Pada Waktu Pendudukan Djepang: Dari Bulan Maret Sampai Bulan
Desember 1942, (Jogjakarta, 1952), hal 23.
Dampak ketika pendudukan Jepang dapat dilihat dari perubahan peran pangreh praja.
Secara umum pemerintahan yang dijalankan Jepang di Indonesia adalah mewarisi mekanisme
sistem serta pemerintah Belanda yang ada ketika mereka (Belanda) menduduki Jawa. Tetapi,
peran dan sifat pegawai negeri tidak selalu sama dan tidak berubah. Sebaliknya, sifta dan
peran pegawai negeri mengalami perubahan yang besar, karena mereka terkena campur
tangan dan kontrol yang cukup besar. Pada pembahasan berikutnya akan mengulas kebijakan
Jepang terhadap pangreh praja, dan akibat-akibat perubahan dalam peran dan sifat mereka. 
A. Pangreh Praja saat Zaman Belanda
Pada zaman Belanda, rakyat pribumi diperintah oleh penguasa pribumi, dan secara
tidak langsung juga penguasa Belanda. Penguasa pribumi, kelas penguasa tradisional dari
zaman sebelum kolonial, disebut priyayi,27 mengurus administrasi sehari-hari vis-a-vis
penduduk pribumi. Langkah legislatif yang dilakukan dalam membentuk pemerintah tidak
langsung pada zaman Deandles antara 1809 dan 1811. Masa ini kurang lebih satu dasawarsa
setalah runtuhnya VOC dan pembentukan pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1799.
Deandels, dalam suatu upaya untuk mengkondisikan pemerintah kolonial, salah satu upaya
yang dilakukan adalah menggabungkan kelas penguasa tradisional dari kerajaan Mataram
dengan lembaga kolonial, serta mempekerjakan mereka sebagai pegawai bergaji. Kemudian,
pada tahun 1820 status penguasa tradisional menjadi pegawai diatur dalam "Reglement op de
verplichten, titles en rangen der Regenten op het eiland Java" (Peraturan tentang kewajiban,
jabatan dan gelar bupati di pulau Jawa)28. Pada tahun 1836, Dalam ayat 67
Regeeringsreglement prinsip pemerintah tidak langsung dimuat. Ayat tersebut berisi bahwa
penduduk pribumi harus ditempatkan dibawah kekuasaan dan kepemimpinan langsung dari
penguasa mereka sendiri, sejauh kondisi mengizinkan.29
Dalam kerangka acuan konstitusional, hierarki pemerintah daerah (Binnenlands
Bestuur) disusun dalam bentuk dualism yang jelas yaitu Inlands Bestuur (pemerintahan
pribumi) di satu pihak , dan Europess Bestuur (pemerintahan eropa) di pihak lain. Kedua
sistem tersebut hidup sejajar dan yang terbaru berada dalam posisi untuk mengontrol yang
terdahulu.30 Terdapat perbedaan upah anatar pegawai pribumi dan Eropa pada jenjang yang
sama, contoh perbedaan upah pada 1900

27
“Priyayi” awalmulanya adalah pengawal raja di kerajaan Mataram, kemudian artinya berubah menjadu
“pegawai pemerintah” secara umun vis-a-vis wong cilik (rakyat biasa). Soemarsaid Moertono, State and
Statecraft in Old Java,hlm. 93-101.
28
B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Bandung: Sumur Bandung, 1960, hlm. 215.
29
Ibid. hl. 188
30
Tentang hubungan antara kedua sistem Bestuur,[Catatan mengenai Hubungan antara Pemerintah eropa dan
Pribumi: Jawa dan Madura], De indische Gids, vol. 2, 1889
Pribumi Eropa
Regent/Bupati F. 12.000 Asissten resident F. 7.200
Wedana F. 2.500 Controleur F. 3.600-4.800
Asissten wedana F. 780-1.200 Aspirant controleur F. 2.700

Berikut contoh struktur hierarki pemerintahan yang direvisi sedikit demi sedikit,31 sampai
terbentuk 3 bagan dan berlangsung hingga 1942 ketika Jepang tiba:

Gurbernur Jendral

Gurbernur

Bupati Asissten Residen

Patih Controleur
Gurbernur

Wedana

Asissten Wedana Aspirant Controleur

B. Pemerintahan Pendudukan Jepang


1. Penghapusan dualisme pemerintahan daerah

Pemerintahan militer Jepang membawa perubahan dalam dualisme pemerintahan


daerah serta fungsi ganda pangreh praja, hal ini baik di kehendaki maupun tidak. Langkah
yang pertama kali dilakukan adalah berlakunya undang-undang Nomor 27 dan 28 Tangga 5
agustus tahun 1942 mengenai perubahan-perubahan keorganisasian dalam pemerintah daerah.
31
Seperi kantor “patih” dan “wedana” ditambah pada tahun 1874
32
Dengan peraturan pemerintah ini, hierarki dari Europees Bestuur dihapuskan, dan
penggantian nama-nama Jepang bagi unit-unit pemerintahan daerah serta kepala-kepala
ditetapakan seperti table berikut:

Unit Administrasi Kepala


Shu Dulu residentie Shuchokan Dulu Resident
ken Dulu regentschap Kencho Dulu regent/bupati
gun Dulu district Guncho Dulu wedana
son Dulu onderdistrict Soncho Dulu asisten wedana

Pada awal pemerintahan militer Jepang seluruh posisi shuchokan dipegang oleh orang
Jepang, kemudian pada November tahun 1943 dan Desember tahun 1944, tiga diantaranya di
berikan kepada orang Indonesia, yaitu Jakarta, Bojonegoro, dan Kedu.33 Pada November
1943, terbentuk kedudukan fuku shuchokan (wakil residen) dan diberikan kepada orang-
orang Indonesia. Kepala unit yang lebih rendah lainnya diberikan kepada orang-orang
Indonesia seperti, Kencho, Guncho, dan Shuncho. Kerena seluruh pegawai negeri Belanda
diganti dan fungsi-fungs seblumnya dipegang oleh assisten resident, controleur, dan aspiramt
controleur dialihkann kepada oorang-orang Indonesia, mereka mendapat tanggung jawab dan
kekuasaan yang besar dari sebelumnya. Bekas kota praja (staatgemeente) disebut shi, dan
dengan diberi status yang sama dengan ken. Wali kota disebut dengan shicho dan deluruh
jabatan diberikan kepada orang Indonesia, sedangkan zaman Belanda seluruh jabatan
wailkota di pegang oleh orang Belanda, kecuali Bogor dan Madiun.34

2. Sikap Jepang terhadap pangreh praja

Suatu perubahan yang sangat penting daripada perubahan-perubahan kelembagaan ini


terlihat dari sikap tuan-tuan kolonial baru terhadap pangreh praja. Jepang mempunyai
perasaan seperti mencintai sekaligus membenci, bahkan bertentangan dengan terhadap
pangreh praja. Hal ini karena bayangan mereka tentang pangreh praja terpengaruh
kebudayaan Barat dalam cara berpikir, pola tingkah laku, dan gaya hidup terlihat seperti pro-

32
Kan Po, No. 1 (Agustus 1942), hlm. 7-8
33
Kedudukan shuchokan di Jakart diberikan kepada Soetarjo Kertohadikoesoemo, Bojonegoro kepada Soerio,
dan Kedu Kepada Pandji Soeroso. Ketiganay adalah mantan pangreh praja, tetapi Pandji adalag seorang
nasionalis yang aktif dalam Sarekat Islam dan Parindra.
34
A.G Pringgododigdo, Tatanegara di Djawa pad Waktu Pendudukan Djepang dari Bulan Maret sampai Bulan
Desember 1942, Jogja: Gajah Mada University Press, 1952, hlm. 27
Belanda. Hal ini membuat Jepang curiga tentang kesetiaan pangreh praja dan menjaga agar
tetap jauh dai pangreh praja.

Kecenderungan ini diperkuat dengan adanya tujuan yang mendesak pada permulaan
pendudukan Jepang ialah memulihkan stabilitas politik dan soial, menyebar luaskan
penerangan maksud Jepang, dna memoblisasi penduduk agar membatu Jepang dalam upaya
perang. Demi tujuan ini, banyak kelompok elit yang kurang bercorak terhadap Belanda
terlihat lebih mendukung Jepang. Terlebih kelompok-kelompok politis nasionalis dan
pemimpin Islam yang terasingkan pada zaman Belanda, menjadi pihak koopertif yang ideal,
baik dalam pengertian orientasi ideologis aupun dalam pengaruh politik mereka atas rakyat.
Kelompok-kelompok tersebut yang dicari oleh Jepang untuk dijadikan sekutu. Selain itu,
Jepang ditafsirkan sebagai penyebab turunnya status dan arti pangreh praja.

Pertimbangan sesungguhnya yang mendorong Jepang tidaklah sesederhana yang


terlihat. Sekalipun ada kecurigaan yang mendalam mengenai kesetiaan pangreh praja, Jepang
juga menyadari bahwa kelompok sosial yang paling bisa diandalkan dalam pelaksanaan
secara nyata dari pemerintahan dan kontrol keseharian atas penduduk, tidak berbeda dari
pegawai negeri yang ada. Mereka terlatih dengan baik dan terbiasa dengan prosedur-prosedur
birokratis. Sepatutnya tidak dilupakan bahwa sebagian besar pelaksanaan administrasi pada
pemerintahan pusat ataupun karesidenan setelah Agustus 1942 dipegang oleh orang Jepang,
bukanlah orang-orang militer namun birokrat karier yang termasuk ke dalam Departemen
Dalam Negeri.35 November 1944, Jumlah perwira militer yang menduduki jabatan-jabatan
administratif hanya 57 orang daro 3.692 administrator dan pegawai pemerintahan militer
Jepang di Jawa.36 Banyaknya adalah mentan gubernur dan pejabat-pejabat berkedudukan
tinggi di prefektorat Jepang atau dari kantor-kantor gubernur di Taiwan dan Korea. Mereka
memiliki pengalaman yang luas dalam pemerintahan kolonial. Berikut nama-nama shuchokan
yang diangkat pada tanggal 24 Agustus 1942, serta latar belakang mereka.

Shuchokan pada 1942


Keresidenan/Kerajaan/Kota Nama Kedudukan Sebelumnya
Khusus

35
Pada Agustus 1942 ditetapkan bahwa 632 pejabat tinggi (koto bunkan) dikirim ke Jawa sebagai administrator.
“Gunsei Sokan Shiji” (7 Agustus 1942) dalam Boeicho Boei Kenkyujo Senshi-bu, Nanpo no Gunsei
[Pemerintahan Militer di Wilayah Selatan], Tokyo: asagumo Shinbunsha, 1985, hlm. 198-199.
36
Mori, “Gunsei Shubo”.
Banten Watanabe Hiroshi Kepala Divisi Ekonomi,
Prefektur kanagawa, Jepang
Jakarta Kotamadya Hatakeda Masafuku Gurbernur Prefektur Aichi,
Jepang
Khusus Jakarta Tsukamoto Sakae Tidak diketahui
Priangan Matsui Kumajiro Tidak diketahui
Bogor Sonoyama Kozo Tidak diketahui
Cirebon Ichibanngase Yoshio Gubernur Provinsi Tainan,
Taiwan
Banyumas Iwashig Ryuji Kepala Divisi Umum,
Prefektur Mie, Jepang
Kedu Ishikawa Sadatoshi Direktur Biro Angkutan
Kantor Gubernur Jendral
Taiwan
Pekalongan Tokonami Tokuji Kepala Seksi Umum Biro
Personalia, Dept. kesehatan,
Jepang
Semarang Komiyama Kyozo Letnan Jendral AD

Soerakarta Miyano Shozo Gubernur, Prefektur Saitama,


Jepang

Yogyakarta Yamanouchi Keiki Gubernur, Prefektur Yamagata,


Jepang

Rembang Nakamura Motoharu Kepala Divisi Kepolisian,


Prefektur Niigata, Jepang
Madiun Takemasa Ryuichi Kepala Divisi Urusan Umum,
Prefektur Hokkaido, Jepang
Kediri Kihara Enji Direktur Biro Monopoli,
Kantor Gubernur Jendral,
Taiwan
Madura Yamamoto Yoshiaki Kepala Divisi Umum,
Prefektur Akita, Jepang
Bojonegoro Yokohama Kazuyoshi Mayor Jendral AD

Besuki Takashi Ryo Mayor Jendral AD

Malang Tanaka Minoru Letnan Jendral AD

Surabaya Yasuoka Masomi Letnan Jendral AD

Dari data tersebut hanya lima dari duapuluh data karesidenan yang dijabat oleh orang-
orang militer.37 Dan tiga dari lima belas residen sipil merupakan pejabat dipindahkan dari
Taiwan. Landasan yang mereka pikir adalah khas birokrat Jepang, dengan orientasi praktis
dan penilaian rasional.

Disatu sisi, meskipun pemerintahan Jepang mungkin penuh dengan elemen-elemen


dramatis dan sifat militant, terutama dalam bidang seperti propaganda dan molitas politik,
tetapi di sisi lain terlihat elemen-elemen yang sangat dingin dan rasional dalam pemerintahan
keseharian. Kaum peneliti Barat cenderung menekankan sifat pemerintahan dengan gata
terdahulu karena kekhasannya, tetapi pemerintahan militer Jepang dalam banyak hal
memiliki sifat serupa dangan birokrasi modern lainnya. Gaya dan metode dasar administrasi
Jepang tidak Jauh beda dengan pemerintahan Belanda. Birokrat-birokrat dalam pemerintahan
militer Jepang hampir secara naruliah mencari kerja sama dengan kelompok sosial yang
sama, sebagai mana Belanda pernah bergantung pada mereka.

Orang-orang yang menjabat dalam Gunseikabu sejak awal telah mempunyai perasaan
campuran antara curiga dan berharap terhadap pengreh praja. Akan tetapi, keseimbangan
antara kedua perasaan tersebut berubah sedikit demi sedikit mejadi kecenderungan berharap.
Perubahan ini sebagian dimungkinkan karena orng-orang yang secara terbuka menunjukan
sikap anti Jepang telah disngkirkan dari kedudukan pangreh praja, dan karena Jepang telah
cukup memulihkan kepercayaan diri dalam pemerintahan.

3. Pengangkatan pangreh praja dengan cara tidak konvensional

Pengangkatan kencho secara tidak konvensional contohnya adalah Atik Suardi di


Kabupaten Jakarta (Kemudian di reorganisasi menjadi Tangerang) pada September 1943. Ia

37
Kasusunya sangat berbeda disbanding Sumatera. Disana kesembilan shuchokunadalah perwira militer pada
pengangkaran pertama, dan hanya di empat keresidenan yang kemudian diganti oleh orang sipil (Nanpo no
Gunsei, hlm. 191-196). Namun, tidak jelas dari mana asal perbedaan ini.
telah bekerja lama sebagai guru di HIS dan MULO, sampai diberi jabatan sebagai Naiseibu
(Bagian Urusan Dalam) di Shucho (pemerintah karesidenan) Jakarta pada Oktober 1942.38
Belum pernah terjadi seorang guru sekolah dipromosikan sebagai soerang bupati atau kencho
dan ia merupakan kenco pertama yang tidak memiliki gelar, seperti Raden, Tumenggung,
atau Adipati Aryo. Tentu, pengangkatan ini diterima oleh kalangan terpelajar sebagai sensasi
dan dianggap sebagai tantangan terhadap tradisi. 39

Berikut pengangkatan yang tidak konvensional

Pengangkatan Kencho Secara Tidak Konvensional


Tanggal Nama Kencho Kabupaten Jabatan Sebelumnya
September 1943 Atik Suardi Tangerang (Jakarta) Guru Sekolah
Agustus 1944 Dr. M. Murdjani Indramayu Dokter dan
Nasionalis
September 1944 Mas Besar Tegal Wali Kota Tegal
Februari 1945 Mochtar Prabu Nganjuk Insinyur
Mangkunegara
Juni 1945 R. Rusman Banyuwangi Guru Sekolah
Sumodinoto
Juni 1945 R. M. Sidarto Ngawi Hakim pengadilan
daerah
Juni 1945 R. Sajidiman Magetan Dokter; Kepala RS
Puspowidjojo Kota Madiun
Sumber: Kan Po, no.28, 33, 61, 69, dan orang Indoneisa yang terkemoeka, hlm 194

Dr. M. Murdjani adalah seorang dokter lulusan NIAS dan telah aktif dalam gerakan
nasionalis sebagai anggota Parindra. Pada kekuasaan Jepang ia diangkat sebagai Sangikai
Priangan shu dan direktur Poetra Cabang Bandung, dengan berprofesi dokter swasta.40 Ia
terpilih menjadi kencho Indramayu setelah pemberontakan petani di Kabupaten ini pada
1944. Pengangkatannya berdasarkan pertimbangan bahwa ia terpilih sebagai seorang
38
Terkemoka, hlm. 26.
39
Mengenai pengangkatan Atik, laporan terhadap Beppan yang disebutkan di atas (6 oktober 1943) menyatakan
sebagai berikut : “Olok-olok menyatakan bahwa seseorang tidak pernah mendengar adanya seorang guru
sekolah diangkat menjadi Bupati. Akan tetapi, secara umum tindakan pemerintah ini mendapatkan persetujuan”.
(Brungmans, hlm. 160).
40
Terkemoka, hlm. 334; dan catatan wawancara dengan Ny. Soeminimoerdjani, janda, oleh William Federick (3
Desember 1971)
nasionalis, hal ini tepat untuk meredam kekecewaan serta kemarahan rakyat di tengah-tengah
meningkatnya keresahan sosial.41 Pengakatanya rekomendasi dari Sukarno.42

Mas Besar mempunyai pengalaman sebagai pangreh praja sejak 1942, ketika diangkat
sebagai wali kota Tegal. Sebelumnya ia adalah seorang pengacara yang aktif dalam gerakan
nasionalis (Terkemoekan, hlm 54).

Mochtar Prabu Mangkunegara adalah lulusan sekolah teknik (K.W.S. Koningin


Wilhelmina School) dan bekerja sebagai pegawai teknik pada Departemen Pembangunan
sewaktu zaman Belanda. Setelah Jepang tiba mula-mula ia direkrut sebagai pegawai
Departemen Propaganda (Sendenbu) dan kemudian diangkat sebagai penasihat (sanyi) pada
Departemen Perhubungan (Kotsubu), selanjutnya dipromosikan menjadi walikota.

Usman Sumodinoro, soerang lulusan guru tinggi (Hoogere Kweek School, H.K.S)
telah lama bekerja sebagai guru di HIS dan akhirnya menjadi kepala sekolah di Semarang
sampai ia diangkatan menjadi kencho.43 R. M. Sidarto adalah seorang pengacara lulusan
Sekolah Hukum (Rechtsschool) dan bekerja di pengadilan daerah (Landraard) di berbagai
tempat sejak 1918.44

Sajidiman Puspowidjojo adalah seorang dokter lulusan STOVIA. Sebelum


pengngangkatan sebagai kencho, ia adalah direktur rumah sakit Kota Madiun dan sekaligus
bertugas sebagai wakil ketua Sangikai Madiun Shu.45

Tentu saja pengangkatan-pengangkatan yang tidak konvensional tersebut jumlahnya


sedikit (hanya 7 dari 72 atau sekitar 10% dari seluruh pengangkatan selama pendudukan).
Sebagai besar pengangkatan baru masih dilakukan sesuai dengan pola tradisional, 16
pengangkatan baru merupakan kenaikan dari ifuku kencho (patih). Namun, apa yang penting
bukanlah frekuensinya, tetapi jelas terbukti bahwa mulai diperkenalkan suatu perubahan.

Pengangkatan-pengakatan yang tidak konvensional terebut juga dilakukan pada


jabatan-jabatan pangreh praja rendahan lainnya. Frederick menyatakan bahwa Ismoetiar,
mantan penggerak utama Parindra dan pengelola Rukun Tani di Jawa Timur, berlatar
41
Karena permintaan padi untuk sementara dihentikan dan situasinya membaik setalh pengangkatan kencho
nasionalis ini, petani Indramasy menyambutnya seagai “hadiah dari Sukarno” (Parwoto Soemodilogo,
Menindjaoe keadaan di Indramajoe”, Bagian II hlm. 5). Namun, ia laporan yang sama sengat kritis atas
pengangkatan orang yang tidak berlatar belakang pangreh praja ini.
42
Menurut jandanya, Sukarno mendatangi suaminya dan memintanya untuk menjadi kencho Indramayu.
Wawancara dengan Ny. Soemini Moerdjani oleh W. Federick.
43
Terkemoeka, hlm. 232.
44
Ibid. hlm 409.
45
Ibid. hlm 155
belakang sosial kelas menengah dan hanya berpendidikan sekolah pribumi terpilih menjadi
patih Pasuruan di bawah Jepang.46 Ismoetiar adalahcontoh khas dari apa yang disebut oleh
Frederick sebagai “priyayi baru”, dan ia menekankan bahwa ada perekrutan pangreh praja
yang positif dari lapisan sosial ini.

Pengangkatan secara tidak konvensional akan lebih terlihat jelas dalam kasus sonho
(asissten wedana). Sumber utama perekrutan soncho secara tidak konvensional ialah guru
sekolah (terutama guru sekolah pribumi, tetapi kadang juga dari sekolah-sekolah Barat) dan
kucho (kepala desa). Kedudukan sosial guru sekolah sangat jauh meningkat sewaktu
pendudukan Jepang dan upah mereka ditingkatkan. Para guru juga diberi peran-peran
penditng dalam bidang sosial dan propaganda. Tidak mengehrankan kalau mereka dianggap
debagai cadangan yang ideal untuk pangreh praja di masa depan. Dalam keadaan mendesak,
mereka dengan mudah dan cepat dapat bergeser ke tugas pangreh praja, dan bagi pemerintah
jauh lebih mudah dibandingkan dengan melatih petani.47

Salah seorang shonco yang direkrut dari kalangan guru sekolah ialah Moh. Siddik. Ia
lulusan HBS dan bekerja sebagai guru MULO di Surabaya sampai Jepang tiba. Karena pada
waktu invasi Jepang semua sekolah barat ditutup, ia kembali ke Bodowoso, Besuki, tempat
tinggal orang tuanya. Untuk sementara waktu, ia menganggur dan kemudian
direkomendasikan oleh Shuchokan (redien) Besuki untuk ikut dalam “latihan” pejabat-
pejabat pemerintah di Gunseikanbu. Moh. Siddik pergi ke Jakarta memenuhi saran tersebut
dan menjalani latihan selama enam bulan. Di sana terdapat 76 siswa yang terdiri dari pejabat
pemerintah dan calon pejabat pemerintah. Sementara itu, ia menjalani ujian penerimaan
pegawai pemerintah dan lulus. Sekembalinya ke Bondowoso, pertama-tama ia diberi jabatan
sebagai seorang keranid Naiseibu (Bagian/Urusan Dalam) di Shoucho (kantor keresidenan)
Besuki. Kemudian pada akhir 1944, Moh. Siddik diangkat sebagai soncho Panji, ken
Panarukan. Sebagai soncho, ia begitu berhasil mengumpulkan padi untuk pemerintah
sehingga jumlahnya lebih banyak dari sasaran yang diinginkan. 48 Mungkin ia merupakan
calon yang memiliki kemampuan luar biasa, dinilai dari pendidikan, latihan, dan
keberhasilannya dalam ujian penerimaan. Selain itu, keberhasilannya sebagai soncho Panji
dengan sempurna memenuhi harapan tinggi pihak Jepang. Ia pasti memiliki sifat ideal
sebagai pengganti bagi pangreh praja.

46
Ibid., hlm. 340
47

48
Kebijakan Jepang Terhadap Umat Islam di Indonesia

Masa pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun adalah salah satu yang paling
menentukan dalam sejarah Indonesia. Sebelum invasi Jepang, dalam pemerintahan Belanda
di Indonesia tidak ada satupun tantangan yang serius ketika berkuasa di Indonesia. Pada 9
Maret 1942, Panglima Tertinggi Angkatan Perang Belanda, Jenderal Ter Poorten, bersama
Gubernur Jenderal Pemerintah kolonial Belanda, Tjarda van Starkenborgh Stachouwer.
Akhirnya Serahkan Indonesia ke Jepang dan pendudukan Jepang dimulai49.

Kedatangan Jepang disambut baik oleh masyarakat Indonesia. Jepang datang ke


Indonesia dengan semangat kemerdekaan dan pembebasan dari penjajahan Belanda.
Kedatangan Jepang difasilitasi oleh kelompok Islam anti-Belanda. Orang-orang di sebagian
besar Jawa mengibarkan bendera Jepang dan Indonesia dan menyambut tentara Jepang
dengan gembira. Hal ini tampaknya menjadi strategi Jepang untuk merebut simpati
masyarakat Indonesia50 .

Terlepas dari semua kekejaman yang diakibatkan langsung dari situasi perang dunia
2, strategi politik Jepang tidak terletak pada politik penindasan fisik. Oleh karena itu Jepang
menggunakan strategi dasar memobilitasi rakyat, demi tercapainya kemenangan Asia Timur
Raya51 . Jepang memahami mayoritas Muslim di Indonesia. Oleh karena itu landasan
kebijakan telah diletakkan dalam hal teritorialnya, yang dikenal dengan istilah kebijakan
menurut Harry J. Benda, disebut Nippon’s Islamic Grass Root Policy yaitu kebijakan politik
Jepang atas umat Islam untuk mengeksploitasi tokoh dan tokoh-tokoh Muslim hingga ke
tingkat desa52.

Kedatangan Jepang langsung dirasakan oleh umat Islam yang ditandai dengan
beroperasinya Shumubu (Kantor Urusan Publik). Pada bulan Maret 1942, diketuai oleh
Kolonel Horie di ibu kota53 , dan sebuah cabang dibuka pada tahun 1944 Dikenal di seluruh
Indonesia sebagai Shumuka. Dengan berdirinya cabang ini diharapkan dapat lebih
mendekatkan diri dengan kepengurusan pusat di Jakarta54. Shumubu berfungsi tidak berbeda
jauh seperti Office for Native Affairs (Kantor Urusan Pribumi) pada masa Belanda, akan

49
Ricklefs, Op. Cit. hal 298.
50
Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm 165-167.
51
Taufik Abdullah, et al., Sejarah Umat Islam Indonesia (Jakarta: MUI, 2003), hal-195.
52
Benda, Op. Cit., Bulan Sabit, hal-139.
53
Ibid., hal-142.
54
Ibid., hal- 197.
tetapi dalam perkembangannya Shumubu menangani urusan-urusan yang berkaitan dengan
fungsi Departemen dalam Negeri, Kejaksaan, Pendidikan, dan Keagamaan Umum55.

Pada saat yang sama, pemerintahan militer Jepang mengikis peran organisasi-
organisasi Islam yang sebelumnya memperoleh banyak konsesi. Shumubu, adalah konsesi
paling signifikan Jepang untuk Muslim, dengan ditunjuknya Dr. Hoesein Djajadiningrat
sebagai kepala Kantor, pada posisi tertinggi pertama di pusat yang dijabat ternyata bukan
orang Jepang. Akan tetapi harus sesuai dengan reorganisasi Shumubu, Djajadiningrat harus
mundur dan posisinya digantikan oleh K.H.Hasjim Asy’ari, Ketua Masyumi, Federasi baru
bentukan Jepang.

Namun, Shumbu tidak dapat memobilisasi rakyat seperti yang diharapkan Jepang,
karena pada saat itu umat Islam sulit dipimpin oleh orang asing. Jadi, pada saat yang sama,
pemerintah militer Jepang telah mengikis peran ormas Islam yang sebelumnya mendapatkan
banyak konsesi. Oleh karena itu, Kolonel Hori digantikan oleh Dr. Hoesein Djajaningrat
adalah pakar Islam, tetapi tidak pernah memimpin ormas Islam, sehingga tidak memiliki
pengaruh terhadap umat Islam. Selanjutnya, Shumubu mengalami reorganisasi lagi, dengan
menggantikan ketua Shumubu oleh K.H. Hasyim Asy’ari. K.H. Hasyim Asy’ari, adalah
seorang ulama dari pesantren Tebu Ireng56. Baru saja dibebaskan dari tahanan karena
menolak menjalan sebuah tradisi Sinkerei (menghormati matahari terbit), aktivitas sehari-
harinya diserahkan kepada wakilnya Wahid Hasyim. Pemerintah Jepang juga mengadakan
pelatihan bagi para pemimpin dan urusan kenegaraan57.

Seperti penjajah lainnya, perhatian utama Jepang tetap politik. Sikap Jepang terhadap
Islam itu sederhana hanya untuk kepentingan politik. Karena kepentingan terbaiknya adalah
politik, Jepang tidak segan-segan mengizinkan Ulama membentuk tentara seperti Hizbullah.
Tujuan dari izin Jepang ini adalah untuk memungkinkan Hizbullah mendukung perang
melawan Sekutu. Umat Islam menduduki posisi penting dalam politik kemapanan pemerintah
Jepang58.

Namun, tindakan Jepang ini, terlepas dari motivasi di baliknya, telah membawa
dampak positif bagi umat Islam di ranah politik. Di kalangan umat Islam, rasa percaya diri
muncul karena semakin besarnya peran umat Islam dalam pemerintahan pendudukan Jepang.
55
Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal- 20.
56
Ibid., hal 20-21.
57
Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1994), hal-25.
58
Benda, Op. Cit., Bulan Sabit, hal-216.
Selanjutnya, dengan pembentukan tentara Hizbullah, umat Islam dapat menggunakan senjata
modern, yang sama sekali tidak mungkin pada saat itu (kolonialisme Belanda)59 .

Selama Revolusi, tentara ini memainkan peran aktif dalam melawan Belanda. Di
antara slogan-slogan keagamaan yang sangat populer saat itu adalah "Hidup Mulia, atau mati
syahid". Sehingga semboyan semacam inilah semakin membakar semangat pemuda Islam
untuk bisa cepat-cepat meraih kemerdekaan yang sudah terlalu lama terlepas dari tangan60.

Selain itu, Jepang mendorong dan mengutamakan umat Islam untuk mendirikan
organisasi sendiri. Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, pemerintah Indonesia
secara resmi memberikan status penting kepada umat Islam. Pemerintah Jepang secara
bertahap mengakui organisasi Islam, tetapi tidak mengizinkan rekonstruksi organisasi
nasionalis sebelum perang seperti Partai Nasional Indonesia (PNI). Pada tanggal 10
September 1943, Muhammadiyah dan NU kembali disahkan, disusul oleh Perikatan Islam
(dulu bernama Persyarikatan Ulama) di Majalengka dan Sukabumi pada 1 Februari 194461.

Menurut Deliar Noer, ada beberapa faktor yang mendorong Jepang untuk
melegitimasi kembali ormas Islam. Pertama, Jepang mengalami kemunduran dalam Perang
Pasifik. hal tersebut Akibatnya, Jepang membutuhkan lebih banyak bantuan dari masyarakat,
terutama penduduk pedesaan. Oleh karena itu, kita membutuhkan sebuah organisasi yang
tunduk pada ketaatan rakyat. Kedua, organisasi-organisasi ini, meskipun tidak resmi, tetap
melakukan kegiatan dengan pemimpin dan guru setempat, bahkan sering berkoordinasi satu
sama lain. Ikatan tidak resmi mempersulit Jepang dibawah pengawasan. Dengan verifikasi,
pemantauan akan lebih mudah. Ketiga Pengakuan Jepang atas fungsi PUTERA, disusul
dengan Persatuan Pelayanan Rakyat (Jawa Hokokai) yang tidak dapat diperoleh Dukungan
penuh dari komunitas Islam. Keempat Jepang terlihat ingin memperbaiki beberapa kesalahan
yang telah diperbuatnya terhadap kalangan Islam, seperti mewajibkan pelaksanaan upacara
sinkerei di pagi hari, menahan K.H. Hasyim Asya’ari selama empat bulan, dan menutup
beberapa madrasah dan pesantren selama beberapa bulan pada awal pendudukan62.

Upaya Jepang dalam menyelenggarakan wadah tidak membuahkan hasil yang


maksimal, sehingga Jepang menghidupkan kembali MIAI. MIAI, berbeda dengan Gerakan
Tiga A, PUTERA, dan Jawa Hokokai, MIAI bukanlah organisasi yang didirikan di Jepang.

59
Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985), hal-99.
60
Maarif, Op. Cit., Islam dan Politik, hal-21.
61
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, 1945-196,5 (Jakarta: Grafiti Pers, 1987), hal-23.
62
Ibid., hal 23-24.
MIAI adalah organisasi Islam, berdiri di Surabaya pada tanggal 18-21 September 1937,
diprakarsai oleh beberapa tokoh antara lain: Wondoamiseno (Sekretaris), K.H. Mas Mansyur
(Bendahara), Abdul Wahab Hasbullah, Muhammad Dahlan (Anggota) dan lain-lain Islam di
Indonesia, misal: Muhammaddiyah, PSII, Al Irsyad, dan lainnya. MIAI didirikan dengan
tujuan persatuan Seluruh ormas Islam di bawah satu panji, mendorong kerjasama dalam
menyelesaikan persoalan umat Islam, mempererat hubungan dengan umat Islam di luar
negeri, meningkatkan keimanan, dan Kongres Muslim Indonesia didirikan63.

Organisasi MIAI adalah organisasi Islam yang diperbolehkan Jepang untuk


berkembang karena Jepang menganggap MIAI sangat anti Barat. Bahkan, Jepang juga telah
mendorong pertumbuhan kelompok tersebut melalui donasi dan pendirian masjid di berbagai
daerah. Sayangnya, MIAI tidak bisa digunakan oleh Jepang, sehingga harus dibubarkan pada
Oktober 1943 karena dianggap anti Jepang. Sebuah organisasi federative baru kemudian
dibentuk di Jepang, MASYUMI (Parlemen Muslim Indonesia), dengan pendukung utama
dari Muhammadiyah dan NU64.

Pembentukan Masyumi "tidak diragukan lagi merupakan kemenangan politik Jepang


atas Islam." Dengan langkah ini, Jepang segera berhasil menghilangkan bayangan MIAI,
sebuah federasi yang dikenal "anti-kolonialisme" yang telah mewakili berbagai kelompok
Islam sejak zaman Belanda, juga telah pensiun dari Wondoamiseno, ketua MIAI PSII (Partai
Sarikat Islam Indonesia). "Tidak kooperatif". Dengan bertambahnya berbagai ormas Islam
lokal, keanggotaan Masyumi berkembang pesat. Pada awalnya, yang bergabung adalah
Persatuan Umat Islam dan Perikatan Umat Islam. Tapi tidak disangka, akhirnya disusul oleh
Persatuan Islam (Persis) di Bandung, Jami’ah Al-Wasliyah dan Al-Ittihadiyah di Sumatera
Utara pada tahun 1948, Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) di Aceh pada tahun 1949,
Al-Irsyad pada tahun 1950, Mathlaul Anwar di Banten dan Nahdatul Wathan di Lombok.
Kelompok-kelompok ini bergabung dengan Partai Masyumi sebagai anggota istimewa.
Anggota istimewa Masyumi adalah anggota organisasi. Penambahan organisasi ini sangat
memudahkan keanggotaan Masyumi dan memperluas pengaruhnya ke seluruh pelosok
nusantara65.

Di bawah kepemimpinan K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Mas Mansyur. MASYUMI
tidak berkembang seperti yang diinginkan Jepang, dan akhirnya organisasi tersebut

63
Latiful Khuluq, Fajar Kebangkitan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari,(Yogyakarta: LKIS, 2000), hal-90.
64
Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, ( Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal- 150.
65
Noer, Op. Cit., hal 49-50 dan 55.
berkembang menjadi pusat kekuasaan bagi seluruh umat Islam di Indonesia. Jepang juga
banyak mendirikan organisasi lain untuk menarik simpati masyarakat Indonesia.

Dukungan kuat terhadap kelompok Islam membuat kelompok nasionalis sekuler


mengalami kemunduran hingga tidak mampu bersaing dengan Masyumi. Namun,
perkembangan berikutnya berbalik. Sebelum pengumuman tersebut, terutama setelah
berdirinya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada
tanggal 29 April 1945, Jepang memberikan kelompok nasionalis sekuler yang didukung lebih
besar dari pada kelompok Islam. Jepang tampaknya sedang menyiapkan dan membiarkan
kelompok nasionalis sekuler untuk mengkontrol politik Indonesia setelah kemerdekaan.
Dalam persaingan kepemimpinan nasional, kelompok Islam gagal menandingi popularitas
kelompok nasionalis sekuler, terutama Ir. Soekarno dan Hatta66.

Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Jepang dalam banyak hal kontras dengan
kebijakan-kebijakan agama di zaman Belanda. Pemerintah militer Jepang secara luas diyakini
memperhatikan Pengaruh yang signifikan terhadap Islam di Indonesia dan memberikan para
pemimpin Islam peran sosial dan politik yang penting67.

Kolonialisme Jepang tidak memiliki keterampilan akademik dan perlengkapan ilmiah


dari para pendahulunya, Namun secara mendasar, ia sangat menyadari pentingnya Islam
sebagai salah satu elemen kekuatan Indonesia. Dukungan Islam sangat diinginkan Jepang
untuk Perang Asia Raya. Jepang menginginkan orientasi dan komitmen Islam Indonesia pada
"matahari terbit". Dalam hal ini, penting untuk memperlemah pengaruh Belanda dan Arab di
Indonesia. Kerangka politik ini rupanya memungkinkan Jepang untuk menindas Islam di
Indonesia di satu sisi, dan mengakomodirnya dengan memberikan berbagai konsesi di sisi
lain.

Selama beberapa bulan pertama, Jepang melarang operasi organisasi Islam dan partai
politik, melarang pengajaran dan menggunakan tulisan dan bahasa Arab, mengatur dan
mengendalikan pendidikan Islam, dan meminta izin untuk mengadakan pertemuan
keagamaan. Namun, selama penumpasan ini, Jepang juga meluncurkan beberapa kampanye,
meskipun tujuannya adalah untuk "memobilisasi" Islam di Indonesia, serta juga bisa

66
Thaba, Op. Cit., Islam dan Negara, hal-151.
67
Anas Saidi, Menekuk Agama, Membangun Tahta, (Depok:Desantara, 2004), hal-48.
dianggap sebagai “konsesi” pada Islam Indonesia, terutama dalam hal kaitannya dengan
dampak tindakan itu pasca-kemerdekaan.

Aiko Kurasawa mencatat bahwa pemerintah militer Jepang mengambil tiga tindakan
penting untuk mendapatkan dukungan dan simpati terhadap Islam. Pertama, mendirikan
organisasi Islam, Masyumi. Kedua, membentuk seksi-seksi urusan agama di setiap
pemerintahan residen. Ketiga, implementasi rencana "Praktek Keagamaan"68.

Dalam pendirian ada beberapa bagian-bagiakeagamaan (Shumuka) di setiap


Karesidenan pada dasarnya merupakan pengembangan dari Kantoor voor het Indlandsche
Zaken (kantor urusan pribumi) yang ada pada masa Belanda (Shumubu, untuk tingkat
pusatnya). Namun, sifat politik badan tersebut telah meningkat secara dramatis, meluas setiap
keresidenan yaitu pekerjaan ke setiap penduduk ke bidang kerja yang sebelumnya dibagi
antara kementerian dalam negeri, kehakiman, pendidikan dan Ibadah Umum. Selain itu, di
Shumbu inilah penduduk lokal dan Muslim pertama kali memperoleh posisi politik di
pemerintahan yang tinggi. Dahulu, pada zaman Belanda, kontrol atau regulasi urusan agama
ini diserahkan kepada Penhuru, yang terkait dengan kabupaten. Keduanya dianggap di luar
dunia Islam karena pejabatnya selalu terdiri dari priyai.

Berikut ada empat bagian dalam Shumubu ini, yaitu: pertama, bagian urusan umum
dan Kristen, kedua manajemen dan Islam, ketiga, bagian kontrol dan bimbingan organisasi
keagamaan, serta penelitian, dan keempat, propaganda, latihan dan penertiban secara berkala.

Meskipun sudah jelas sejak awal bahwa tujuan lembaga Shumubu dan MASYUMI
adalah untuk memobilisasi dukungan Islam untuk Jepang, peran yang dimainkan oleh kedua
lembaga tersebut Itu adalah akhir dari kebijakan Belanda tentang pemisahan gereja dan
negara. tidak ada pemimpin muslim sebelumnya percaya, sekarang sebagai badan yang
terintegrasi dengan hubungan langsung dengan badan tertinggi. Islam telah memperoleh
tempat khusus dalam sistem politik, yang mendirikan lembaga keagamaan yang sejajar
dengan administrasi pemerintahan duniawi.

MASYUMI mempelopori peran politik umat Islam dalam sejarah Indonesia merdeka.
Pada saat yang sama, Kantor Urusan Agama adalah sebuah lembaga, sekarang Kementerian
Agama, yang merupakan badan utama bagi umat Islam untuk mengatur dan merundingkan
kepentingan agama mereka. Sementara departemen agama ini berfokus pada agama-agama
lain, sebagian besar perhatiannya terfokus pada Islam. Begitupun demikian, tidak berarti apa
68
Ibid., hal-49.
yang telah dirumuskan oleh Belanda hilang sama sekali. Jejak-jejak kebijakan politik agama
kolonial itu masih menggoreskan pengaruhnya yang penting dalam kebijakan politik agama
pada masa-masa selanjutnya, setelah Indonesia merdeka69.

69
Referensi:
Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, ( Jakarta: Gema Insani Press,
1996).

Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin,
1959-1965, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).

Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985).

Anas Saidi, Menekuk Agama, Membangun Tahta, (Depok:Desantara, 2004).

Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, 1945-196,5 (Jakarta: Grafiti Pers, 1987).

A.G. Pringgodigdo, Tatanegara di Djawa Pada Waktu Pendudukan Djepang: Dari Bulan
Maret Sampai Bulan Desember 1942, (Jogjakarta, 1952).

Fadli, M. Rijal dan Hidayat, Bobi. (2018). KH. Hasyim Asy’ari Dan Resolusi Jihad Dalam
Usaha Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945. Lampung: Laduny
Alifatama.

Fadli, M. R., & Kumalasari, D. (2019). Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pada Masa
Pendukan Jepang. Jurnal Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya.

Harry J. Benda, et al., Japanese Military Administration in Indonesia, ( New Haven: Yale
University, 1965).

Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980).

Insneini F. Hendri dan Apid. (2008). Romusha Sejarah Yang Terlupakan (1942-1945).
Yogyakarta: Ombak.

Imran, Amrin. (2012). Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid VI. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve.

Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (Yogyakarta:Shalahuddin Press,


1994).

Kurasawa, Aiko. Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945. cetakan
pertama. Depok: Komunitas Bambu, 25.
Latiful Khuluq, Fajar Kebangkitan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta:
LKIS, 2000), p.90. Latiful Khuluq, Fajar Kebangkitan Ulama: Biografi KH. Hasyim
Asy’ari, (Yogyakarta: LKIS, 2000).

Ricklefs, M. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Banda Aceh : Serambi Ilmu
Semesta.

Sekar, Meta. Apakah Mereka Mata-Mata?: Orang-orang Jepang di Indonesia (1868-1942).


Yogyakarta: Ombak, 2008.
Suhartono. (2001). Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Boedi Utomo Sampai Proklamasi
1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Taufik Abdullah, et al., Sejarah Umat Islam Indonesia (Jakarta: MUI, 2003).

Anda mungkin juga menyukai