Hubungan ini berawal dari perdagangan Indonesia dengan Jepang di awal abad ke-20,
hal ini ditandai dengan datangnya Karayuki-san1 atau biasa disebut dengan Joshigun.
Menurut kodansha Encyklopedia of Japan, Definisi Karayuki-san adalah wanita yang pergi
bekerja dibidang prostitusi dan ditempatkan di daerah Siberia, Manchuria, Cina, Asia
Tenggara, daerah Pasifik Selatan, India, sampai Amerika dan Afrika setelah masa zaman
Meiji atau sekitar tahun 1868. Jumlah mereka di perkirakan sekitar 100.000 orang lebih,
jumlah mereka yang bertransmigrasi tidak dapat diketahui secara pasti. Meskipun mereka
tinggal jauh dari negara asalnya, mereka memiliki rasa nasionalisme yang kuat dengan
Jepang. Hal ini ditunjukan dengan melakukan pengiriman uang untuk sanak keluarga yang
berada di Jepang.
Pada zaman Meiji2 terdapat seorang pendidik dan cedikiawa yang kemuka di Jepang,
Fukuzawa Yukichi menulis artikel yang memuat tentag peran karayuki-san yang penting bagi
Jepang. Artikel tersebut berjudul “Jinmin no Iju to Shoju no Dekasegi” atau dalam
terjemahannya menjadi “Perburuhan Imigran dan Pelacur” diterbitkan dalam surat kabar Jiji-
Shinpo pada 18 Januari 1896 Mesehi. Ketika Karayuki-san memberikan uang kepada sanak
keluarganya di Jepang, secara tidak langsung memebantu Jepang untuk mendapatkan
devisanya. Hal ini sangat membatu pemerintah Jepang dalam bagian keuangan untuk
mendukung pengembangan dan pembangunan ekonomi negaranya.
Pada tahun 1880-an karayuki-san tersebar dan sering ditemui di pusat penempatan
mereka di Asia Tenggara. Kemudian di daerah jajahan Inggris sepeti Singapura terjadi
pemusatan. Selanjutnya, mereka mulai masuk Indonesia dan banyak dijumpai di Medan,
Pelembang, Batavia, Surabaya, dan Sandakan (kota di bagian Sabah, Malaysia). Mereka
umumnya bisa dijumpai di perkebunan atau pelabuhan-pelabuhan yang dikunjungi oleh
orang-orang Belanda. Setelah masuknya rombongan karayuki-san, kemudian disusul oleh
1
Karayuki-san berasal dari 2 suku kata yakni kara yang berarti Cina dan Yuki adalah menuju atau pergi kearah
suatu tempat. Jadi secara harfiah karayuki-san berarti orang-orang (wanita) yang pergi untuk bekerja ke Cina.
(Tokyo: Tokyo Shoseki, 1992) hlm. 82
2
Zaman Meiji atau dalam bahasa Jepang di sebut Meiji Ishin adalah peristiwa runtuhnya rezim Tokugawa dan
kembali ke masa kaisar
rombongan orang Jepang dari golongan pedagang kelontong 3. Singapura menajdi pintu
gerbang untuk orang Jepang yang datang ke Indonesia.
Kedatangan dua jenis kelompok dari Jepang ke Indonesia ini tidak ada hubungannya
secara langsung. Dilain sisi Shimizu Hajime, seorang ahli sejarah ekonomi Jepang dalam Ajia
Keizai (majalah ilmiah yang terbit berkala), menyatakan bahwa pedagang kelontong pada
awalnya hanya melayani kebutuhan karayuki-san saja. Aktivitas mereka antara lain sewa-
menyewa kamar (untuk kebutuhan kegiatan karayuki-san) serta mebuka kedai makanan yang
menyediakan masakan Jepang, membuka salon yang memberikan jasa pelayanan
pemasangan sanggul khas cara Jepang. Orang-orang Jepang juga berkeliling mejajakan alat-
alat tulis, ikat pinggang untuk kimono, barang-barang kelontong, dan juga obat-obatan.
Bahakan berkelanjutan hingga para pedagang melirik pangsa pasar local di Indonesia,
kegiatan ini terus berkembang hingga tahun 1920-an.4
Ide migrasi ke daerah selatan pertama kali dicetuskan oleh Shiga Shigetaka pada
tahun 1887 melalui karyanya yang berjudul Nanyo-jiji (Situasi Lautan Selatan). Pada awalnya
ide-ide tersebut adalah ide asli dari cedikiawan dan cenderung merupakan ide bebas dan opini
pirbadi. Seiring perkembangannya di Zaman Taisho pemikiran-pemikiran itu dipolitisir oleh
pemerintah, terutama Angkatan Laut. Tujuan utamanya adalah untuk melakukan ekspansi
terotialnya, khusunya wilayah perairan. Bahkan dalam zaman Showa pemikiran tersebut
diwujudkan dalam sebuah undang undang dan menjadi salah satu dasar kebijakan politik luar
negeri Jepang untuk menaklukan tentara-tentara Barat, pada masa bersiap Perang dunia II.5
3
Yano Toru. Nanshin no Keifu (Tokyo: Chuo Koronsha, 1975) hlm 37. Yano menuliskan memoir seorang
pasangan suami istri yang berbeda latar belakang, suami seorang germo dan istri karayuki-san. Untuk menutupi
profesinya seorang germo (pinup dalam bahasa Jepang), maka mereka berjualan barang yang buatan dari
Jepang, sehingga posisinya lebih terhormat.
4
Shimizu Hajime, et al . ,”Zenki Hojin no Tonan Ajia Shinshutsu”, Perkembangan Migrasi Orang-Orang Jepang
di Asia Tenggara sebelum Perang”.
5
Dalam naskah yang dibuat 1980 Juni yang merupakan koleksi Australia, berjudul “Southeast Asia in Modern
Japanese Thought: The Development and Transformastion of Nanshin Ron”
Pada tahun 1900, Hindia Belanda membuat peristiwa sejarah dengan berdirinya
Asosiasi Kerja Sama Masyarakat Jepang (Nihon Kaigan Kyokai). Anggota dari asosiasi
tersebut kebanyakan wanita yang tinggal di Batavia (diperkirakan para karayuki-san).
Berkembangnya jaringan pertokoan Jepang di Hindia Belanda di buktikan dengan adanya
Asosiasi Masyarakat Jepang (Nihonjinkai) pada tahun 1903 yang tercatat dalam catatan
pemerintah Belanda, De Japansche Vereeniging, di Batavia. Pada tahun 1903 juga tercatat
296 anggota yang kebanyakan pemiliki dan pengelola took Jepang.6
Kegiatan dagang yang dirasa sukses membuat para prionir-prionir toko Jepang untuk
mengajak sanak keluarga maupun kenalannya untuk ikut bergabung dalam mengembangkan
usahanya dan bermigrasi ke Indonesia. Hal ini sangat berdampak cukup signifikan
menjadikan cakupan wilayah dan jaringan toko Jepang di Hindia Belanda menjadi luas.
Mereka juga didukung oleh pemerintah Hindia Belanda dengan disahkan undang-undang
baru pada tahun 1899. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa derajat orang-orang
Jepang setara dengan masyarakat pendatang yang termasuk golongan kulit putih. Didukung
dengan menangnya Jepang melawan Rusia pada thaun 1905. Dampak yang diperoleh Jepang
dengan peristiwa ini adalah kedudukan Jepang yang diakui menjadi setara dan sejajar dengan
bangsa Barat. Tidak disia-siakan oleh orang Jepang, kesempatan ini menjadi sebuah motivasi
untuk mencari peruntungan dengan cara menyebrangi ke daerah selatan termasuk Hindia
Belanda.
6
Kelompok kerja sama orang-orang Jepang di Lautan Selatan (Indonesia), Nan’ yo Kakuchi Hojin Dantai
Meibo, Daftar Nama perkumpulan Orang Jepang di Hindia Belanda (Tokyo, 1940) hlm. 3
7
Meta Sekar Puji Astusi, Apakah Mereka Mata-Mata?: Orang Jepang di Indonesia (1868-1942), hlm. 10
Saat jepang sedang gencar-gencarnya melakukan perluasa terotialnya pada tahun
1930-an, hal ini membuat Jepang membutuhkan persediaan bahan bakar yang cukup untuk
kapal-kapalnya. Sehingga Jepang mulai melirik Hindia Belanda, karena menjadi salah satu
negara penghasil minyak tersebar dan memiliki jarak tempuh yang dekat dari Jepang.
Kemudian melakukan studi untuk mengetahui sejauh mana prospek Hindia Belanda. Pada
thun 1935, hasil studi yang dilakukan diterbitkan oleh Jepang dari observasi komite Tai
Nanyo Kenkyu Iinkai (Komite Penyelidikan Kebijakan untuk Daerah Selatan)8 yang didahului
kunjungan misi di Hindia Belanda tahun 1934.
Pada masa tersebut kebijakan politik Jepang mulai berubah bertahap dan dipolitisasi oleh
Pemerintah Jepang terhadap Hindia Belanda. Hubungan yang semula hanya untuk
perdagangan mulai keluar dari jalurnya, Jepang mulai ingin menguasai sumber-sumber
minyak di Hindia Belanda. Hingga memicu konflik yang serius, pemerintah Hindia Belanda
mulai resah atas kenyataan yang dilakukan oleh Jepang.
Hal ini sebagai tanda bahwa pemerintah Hindia Belanda mencurigai kegiatan
perdagangan yang dilakukan oleh took-toko Jepang yang berada di Indonesia merupakan
bentuk penyamaran dari kegiatan spionasenya. Pertanyaan yang selalu muncul adalah
“Apakah benar pedagang Jepang itu semuanya adalah mata-mata?”, bagi pemerhati berbagai
kalangan sejarawan yang banyak memakai sumber dari Barat, khususnya Belanda. Hal ini
berkaitan dengan keterbatasan pakar bahasa Jepang yang fokus terhadap sejarah. Dilain sisi,
kebanyakan sumber referensi sejarah di Indonesia dari Belanda. Masa-masa sensitif sejarah
kependudukan Indonesia oleh Jepang pada tahun 1942-1945 menjadi generalisasi kecurigaan
bangsa Indonesia terhadap Jepang pada umumnya.
8
Henry P. Frei, Japan’s Southward Advance and Australia: From the Sixteenth Century to World War II
(Victoria: Melbourne University Press, 1922) hlm. 139.
9
Onghokham, Runtuhnya Hindia Belanda (Jakarta: PT Gramedia 1989), hlm. 39.
Kebijakan Pemerintahan Pendudukan Jepang di Indonesia
Pada intinya, kebijakan pemerintah Jepang terhadap rakyat Indonesia memiliki dua
prioritas: menghapus pengaruh Barat di kalangan masyarakat (pribumi), dan memobilisasi
mereka untuk kemenangan tentara Jepang. Seperti pemerintah kolonial Belanda, pemerintah
militer Jepang bermaksud menguasai Indonesia untuk kepentingannya sendiri. Mereka
menghadapi banyak masalah yang sama pemerintah kolonial Belanda menghadapi banyak
pemecahan yang sama. Namun, dalam perang untuk memaksimalkan sumber daya, Jepang
memutuskan untuk berkuasa melalui mobilisasi (khususnya Jawa dan Sumatera). Ketika
perang berlangsung, upaya mereka untuk memobilisasi rakyat Indonesia semakin intensif10.
10
Ricklefs, M. (2008 ). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Banda Aceh : Serambi Ilmu Semesta, 425-426.
11
Fadli, M. R., & Kumalasari, D. (2019). Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pada Masa Pendukan
Jepang. Jurnal Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya, 197.
12
Ibid.
Untuk memobilisasi rakyat pihak pemerintahan Jepang mencari pemimpinpemimpin
politik baru di Jawa. Pertama-pertama mereka menghapuskan semuaorganisasi politik, pada
Maret 1942 semua kegiatan politik dilarang kemudian semua perkumpulan yang ada secara
resmi dibubarkan dan pihak Jepang mulai membentuk organisasi organisasi baru sejak mula
pertama. Islam terlihat menawarkan suatu jalan utama bagi mobilisasi. Pada akhir Maret
1942, pihak Jepang di Jawa sudah mendirikan sebuah Kantor Urusan Agama 13. Kebijakan
Jepang terhadap Islam di Indonesia telah menciptakan pesona bersama dengan kebijakan
Nippon’s Islamic Grass-root policy. Sehingga Jepang lebih dekat dengan aspirasi umat islam
dari pada nasionalis sekuler, jepang ternyata memiliki tujuan kenapa lebih dekat karena agar
bisa mendukung tujuan-tujuan perang yang dimana cepat dan mendesak14.
Jepang berharap para pemimpin Indonesia, melalui PUTERA akan membujuk kaum
nasionalis sekuler dan intelektual untuk mencurahkan pikiran dan energi mereka untuk
perang melawan Sekutu. Selain itu, PUTERA tidak menghasilkan karya-karya khusus dalam
gerakannya. Namun setidaknya, mampu membangun mentalitas bangsa dalam persiapan
13
Ricklefs, Op. Cit. hal 428.
14
Fadli, M. Rijal dan Hidayat, Bobi. (2018). KH. Hasyim Asy’ari Dan Resolusi Jihad Dalam
Usaha Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945. Lampung: Laduny
Alifatama, 35.
15
Insneini F. Hendri dan Apid. (2008). Romusha Sejarah Yang Terlupakan (1942-1945).
Yogyakarta: Ombak, 31-32.
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Perkembangan PUTERA ke seluruh pelosok Indonesia
telah memungkinkan pemuda Indonesia untuk mengorganisir perkumpulan-perkumpulan
yang bertujuan untuk memenangkan dan memupuk kemerdekaan yang dirindukan bangsa
Indonesia, karena Jepang berkomitmen untuk membantu cita-cita tersebut. Selain itu,
perkumpulan-perkumpulan pemuda di berbagai daerah mulai tumbuh, seperti berdirinya Jong
Celebes, Jong Java, Jong Sumatra, Jong Ambon, dll, yang aktif pada masa penjajahan
Belanda. Kemudian mulailah membangun beberapa partai politik Pada masa penjajahan
Jepang, karena Jepang menjanjikan kemerdekaan Untuk Indonesia, maka gerakan
kemerdekaan lainnya seperti BPUPKI (Bataan Penyelidikan Kemerdekaan Indonesia) dan
PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Taktik Jepang dalam meraih simpati
rakyat Indonesia membuat Indonesia Itu bisa membantu Jepang saat itu, tapi itu semua hanya
janji manis Hadiah dari Jepang untuk orang Indonesia16.
Pada bulan Oktober 1943, Jepang mendirikan Peta (Pembela Tanah Air), organisasi
pemuda terpenting di Indonesia. Organisasi tersebut adalah tentara sukarelawan bangsa
Indonesia. Pada akhir perang, anggotanya berjumlah 37.000 di Jawa, 1.600 di Bali dan sekitar
20.000 di Sumaera (kelompok ini sering dikenal dengan nama Jepangnya Prajurit Relawan
Giyugun). Tidak seperti Heiho, Peta bukan anggota penuh tentara Jepang, tetapi bertugas
sebagai gerilya tambahan melawan invasi Sekutu. Pada bulan Oktober 1943, Jepang
mendirikan Peta (Pembela Tanah Air), organisasi pemuda terpenting di Indonesia. Organisasi
tersebut adalah tentara sukarelawan bangsa Indonesia. Pada akhir perang, anggotanya
berjumlah 37.000 di Jawa, 1.600 di Bali dan sekitar 20.000 di Sumaera (kelompok ini sering
dikenal dengan nama Jepangnya Prajurit Relawan Giyugun). Tidak seperti Heiho, Peta bukan
anggota penuh tentara Jepang, tetapi bertugas sebagai gerilya tambahan melawan invasi
16
Fadli (2019), Op. Cit. hal 198-199.
17
Imran, Amrin. (2012). Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid VI. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve, 52.
Sekutu. Adapun beberapa anggota perwiranya meliputi para pejabat, para guru, para kyai,
dan orang-orang Indonesia yang sebelumnya menjadi perlawanan kolonial Belanda. Di antara
mereka terdapat seorang bekas guru sekolah Muhammadiyah yang bernama Soedirman18.
Keibodan adalah organisasi pemuda berusia 20-35 tahun dengan tugas kepolisian,
tugas jaga, keamanan desa, dll. Hal yang menarik dari kelompok yang berada di bawah
naungan Keimubu (polisi) dan memiliki sekitar satu juta anggota ini, Keibodan jauh dari
pengaruh nasionalis. Sementara itu, Seinendan merupakan tim yunior yang memperkuat
18
Ricklefs, Op. Cit. hal 435.
19
Suhartono. (2001). Sejarah Pergerakan Nasional: Dari Boedi Utomo Sampai Proklamasi
1908-1945. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 127.
20
Fadli (2019), Op. Cit. hal 200.
pertahanan di garis belakang. Jepang, melalui Seinendan, mencoba untuk membangkitkan
semangat pembangunan Jawa baru. Yaitu menumbuhkan rasa patriotisme dalam
kepahlawanan Jepang (Bushido) dengan menumbuhkan kedisiplinan pada generasi muda dan
meningkatkan hasil panen21.
Sejak berkuasanya tentara Jepang di Indonesia pada tanggal 7 Maret 1942 oleh
Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata Jepang Untuk Asia Tenggara, oleh karena itu jepang
membagi 3 bagian wilayah pemerintahannya sebagai berikut: pertama Jawa dan Madura
ditempatkan di bawah komando Panglima Angkatan Darat (Riku-gun) Jepang ke-16. Kedua
di Sumatera, Tentara Jepang ke-25 ditempatkan di Bukittinggi dan ketiga pulau-pulau lain di
Indonesia oleh Panglima Angkatan Darat (Riku-gun), yang dikelola oleh Angkatan Laut
Jepang (Kaigun) di Makassar.
a. Syuu, (bisa setara dengan Karesidenan sebelumnya); Syuu terbagi menjadi Ken dan Si.
21
Amrin, Loc.Cit.
22
Marsono. (2005 ). Sejarah Pemerintahan Dalam Negeri . Jakarta : Cv. Eko Jaya, hal 64
b. Ken dan Si (masing-masing dapat disamakan dengan mantan Regenschap atau kabupaten,
dab Stadsgemeente atau Kotapraja) Ken terbagi atas Gun.
c. Gun (bisa disamakan dulu dengan District atau Kawedanan) Gun dibagi menjadi Putra.
d. Son (bisa disamakan dengan ondersistrict atau kecamatan terdahulu), Son dibagi menjadi
Ku.
Dilihat dari pembagian di atas, tampaknya provinsi kita sebagai daerah otonom belum
menerapkannya. Menurut Osamu Seirei No. 28 tanggal 8 Agustus 1942 yang mulai berlaku
pada tanggal 8 Agustus 1942, nama-nama kabupaten Syu di Jawa dan Madura serta
kabupaten-kabupaten tertentu diubah sebagai berikut23:
23
Ibid., hal 65.
Kedudukan Kepala Daerah, dalam hal ini terutama Regent (Bupati), yang dualistis
atau mempunyai dwifungsi yaitu sebagai orgaan Pemerintah Pusat dan sebagai kumpulan
Pemerintah Daerah Otonom, di dalam masa pemerintahan Bala Tentara Jepang masih tetap
dilangsungkan.
a. Walikota (Si-tyoo) selain mengurus urusan rumah tangga dan tugas pembantuan (atau
medebewind) dalam Si, juga mengurus urusan pemerintahan umum yang dilaksanakan oleh
Pangreh Praja yang berada di Si tersebut.
b. Secara administratif, Si tidak lagi menjadi wilayah Kentyoo sebagai instansi pemerintah
pusat Kentyoo,Ini mencakup wilayah Sekretaris, tetapi wilayah Kantor Sekretaris Yao
sebagai lembaga pemerintah pusat.
c. Urusan pemerintahan yang sebelumnya ditangani oleh Bupati, Bupati, Kepala Kecamatan,
Lurah atau Kepala Desa (wijkmeester), masing-masing di wilayah Si berikutnya masukkan
kekuatan Sityoo.
Kepala pemerintahan Syuu disebut Syuu-tyoo, dan gelar "Tyookan" dalam bahasa
Syuu-tyoo berarti "lebih besar", menunjukkan bahwa orang Jepang lebih tinggi dan lebih
mulia daripada penduduk setempat. Orang Aborigin tidak diklasifikasikan sebagai pejabat,
tetapi hanya disebut "tyoo", yang berarti "kepala", misalnya, Ken-tyoo berarti kepala distrik.
yang menjadi perwira jepang Syuutyo biasanya pengecualian, hanya ada dua Syuu yang
dipimpin oleh orang Indonesia, yaitu misalnya, Ken-tyoo berarti kepala kabupaten. siapa
yang menjadi dan bertindak perwira militer Jepang Syuutyo biasanya pengecualian, hanya
ada dua Syuu yang dipimpin oleh orang Indonesia, yaitu pertama Jakarta Syuu dan kedua
Bojonegoro Syuu.
Kepala pemerintahan Ken dikenal sebagai Ken-tyoo. Semua Ken-tyoo di Jawa dan
Madura adalah orang Indonesia. Kepala pemerintahan Gun-tyoo, Son-tyoo dan . Ku-tyoo
adalah mereka semua orang Indonesia.
Mengenai Si, dapat ditambahkan di sini bahwa Si diangkat oleh Gunseikan (pejabat
pemerintah Angkatan Darat) Jepang) disebut Tokubetsu-si dan kepala disebut Tokubetsu
Sityoo. “Tokubetsu” artinya “luar biasa” atau “istimewa”, jadi di Indonesia hanya satu Si
yang diangkat oleh Gunseikan yaitu Si Jakarta, Tokubetsu-Sityoo Jakarta diduduki oleh
Jepang. Dalam kedudukan Tokubetsu Sityookan ini sebagai kepala administrasi berada pada
tingkat yang sama dengan kedudukan Syuu-tyookan24.
Pada saat melakukan tugasnya Shucokan dibantu oleh Cokan Kanbo (Majelis
Permusyawaratan) yang mempunyai tigaBu atau juga disebut bagian sebagai berikut:
Suku Shucokan secara resmi diangkat oleh Gunseikan pada September 1942.
Peresmian tersebut menandai dimulainya pelaksanaan organisasi pemerintah daerah dan
pemberhentian sementara pejabat Indonesia26.
27
“Priyayi” awalmulanya adalah pengawal raja di kerajaan Mataram, kemudian artinya berubah menjadu
“pegawai pemerintah” secara umun vis-a-vis wong cilik (rakyat biasa). Soemarsaid Moertono, State and
Statecraft in Old Java,hlm. 93-101.
28
B. Schrieke, Indonesian Sociological Studies, Bandung: Sumur Bandung, 1960, hlm. 215.
29
Ibid. hl. 188
30
Tentang hubungan antara kedua sistem Bestuur,[Catatan mengenai Hubungan antara Pemerintah eropa dan
Pribumi: Jawa dan Madura], De indische Gids, vol. 2, 1889
Pribumi Eropa
Regent/Bupati F. 12.000 Asissten resident F. 7.200
Wedana F. 2.500 Controleur F. 3.600-4.800
Asissten wedana F. 780-1.200 Aspirant controleur F. 2.700
Berikut contoh struktur hierarki pemerintahan yang direvisi sedikit demi sedikit,31 sampai
terbentuk 3 bagan dan berlangsung hingga 1942 ketika Jepang tiba:
Gurbernur Jendral
Gurbernur
Patih Controleur
Gurbernur
Wedana
Pada awal pemerintahan militer Jepang seluruh posisi shuchokan dipegang oleh orang
Jepang, kemudian pada November tahun 1943 dan Desember tahun 1944, tiga diantaranya di
berikan kepada orang Indonesia, yaitu Jakarta, Bojonegoro, dan Kedu.33 Pada November
1943, terbentuk kedudukan fuku shuchokan (wakil residen) dan diberikan kepada orang-
orang Indonesia. Kepala unit yang lebih rendah lainnya diberikan kepada orang-orang
Indonesia seperti, Kencho, Guncho, dan Shuncho. Kerena seluruh pegawai negeri Belanda
diganti dan fungsi-fungs seblumnya dipegang oleh assisten resident, controleur, dan aspiramt
controleur dialihkann kepada oorang-orang Indonesia, mereka mendapat tanggung jawab dan
kekuasaan yang besar dari sebelumnya. Bekas kota praja (staatgemeente) disebut shi, dan
dengan diberi status yang sama dengan ken. Wali kota disebut dengan shicho dan deluruh
jabatan diberikan kepada orang Indonesia, sedangkan zaman Belanda seluruh jabatan
wailkota di pegang oleh orang Belanda, kecuali Bogor dan Madiun.34
32
Kan Po, No. 1 (Agustus 1942), hlm. 7-8
33
Kedudukan shuchokan di Jakart diberikan kepada Soetarjo Kertohadikoesoemo, Bojonegoro kepada Soerio,
dan Kedu Kepada Pandji Soeroso. Ketiganay adalah mantan pangreh praja, tetapi Pandji adalag seorang
nasionalis yang aktif dalam Sarekat Islam dan Parindra.
34
A.G Pringgododigdo, Tatanegara di Djawa pad Waktu Pendudukan Djepang dari Bulan Maret sampai Bulan
Desember 1942, Jogja: Gajah Mada University Press, 1952, hlm. 27
Belanda. Hal ini membuat Jepang curiga tentang kesetiaan pangreh praja dan menjaga agar
tetap jauh dai pangreh praja.
Kecenderungan ini diperkuat dengan adanya tujuan yang mendesak pada permulaan
pendudukan Jepang ialah memulihkan stabilitas politik dan soial, menyebar luaskan
penerangan maksud Jepang, dna memoblisasi penduduk agar membatu Jepang dalam upaya
perang. Demi tujuan ini, banyak kelompok elit yang kurang bercorak terhadap Belanda
terlihat lebih mendukung Jepang. Terlebih kelompok-kelompok politis nasionalis dan
pemimpin Islam yang terasingkan pada zaman Belanda, menjadi pihak koopertif yang ideal,
baik dalam pengertian orientasi ideologis aupun dalam pengaruh politik mereka atas rakyat.
Kelompok-kelompok tersebut yang dicari oleh Jepang untuk dijadikan sekutu. Selain itu,
Jepang ditafsirkan sebagai penyebab turunnya status dan arti pangreh praja.
35
Pada Agustus 1942 ditetapkan bahwa 632 pejabat tinggi (koto bunkan) dikirim ke Jawa sebagai administrator.
“Gunsei Sokan Shiji” (7 Agustus 1942) dalam Boeicho Boei Kenkyujo Senshi-bu, Nanpo no Gunsei
[Pemerintahan Militer di Wilayah Selatan], Tokyo: asagumo Shinbunsha, 1985, hlm. 198-199.
36
Mori, “Gunsei Shubo”.
Banten Watanabe Hiroshi Kepala Divisi Ekonomi,
Prefektur kanagawa, Jepang
Jakarta Kotamadya Hatakeda Masafuku Gurbernur Prefektur Aichi,
Jepang
Khusus Jakarta Tsukamoto Sakae Tidak diketahui
Priangan Matsui Kumajiro Tidak diketahui
Bogor Sonoyama Kozo Tidak diketahui
Cirebon Ichibanngase Yoshio Gubernur Provinsi Tainan,
Taiwan
Banyumas Iwashig Ryuji Kepala Divisi Umum,
Prefektur Mie, Jepang
Kedu Ishikawa Sadatoshi Direktur Biro Angkutan
Kantor Gubernur Jendral
Taiwan
Pekalongan Tokonami Tokuji Kepala Seksi Umum Biro
Personalia, Dept. kesehatan,
Jepang
Semarang Komiyama Kyozo Letnan Jendral AD
Dari data tersebut hanya lima dari duapuluh data karesidenan yang dijabat oleh orang-
orang militer.37 Dan tiga dari lima belas residen sipil merupakan pejabat dipindahkan dari
Taiwan. Landasan yang mereka pikir adalah khas birokrat Jepang, dengan orientasi praktis
dan penilaian rasional.
Orang-orang yang menjabat dalam Gunseikabu sejak awal telah mempunyai perasaan
campuran antara curiga dan berharap terhadap pengreh praja. Akan tetapi, keseimbangan
antara kedua perasaan tersebut berubah sedikit demi sedikit mejadi kecenderungan berharap.
Perubahan ini sebagian dimungkinkan karena orng-orang yang secara terbuka menunjukan
sikap anti Jepang telah disngkirkan dari kedudukan pangreh praja, dan karena Jepang telah
cukup memulihkan kepercayaan diri dalam pemerintahan.
37
Kasusunya sangat berbeda disbanding Sumatera. Disana kesembilan shuchokunadalah perwira militer pada
pengangkaran pertama, dan hanya di empat keresidenan yang kemudian diganti oleh orang sipil (Nanpo no
Gunsei, hlm. 191-196). Namun, tidak jelas dari mana asal perbedaan ini.
telah bekerja lama sebagai guru di HIS dan MULO, sampai diberi jabatan sebagai Naiseibu
(Bagian Urusan Dalam) di Shucho (pemerintah karesidenan) Jakarta pada Oktober 1942.38
Belum pernah terjadi seorang guru sekolah dipromosikan sebagai soerang bupati atau kencho
dan ia merupakan kenco pertama yang tidak memiliki gelar, seperti Raden, Tumenggung,
atau Adipati Aryo. Tentu, pengangkatan ini diterima oleh kalangan terpelajar sebagai sensasi
dan dianggap sebagai tantangan terhadap tradisi. 39
Dr. M. Murdjani adalah seorang dokter lulusan NIAS dan telah aktif dalam gerakan
nasionalis sebagai anggota Parindra. Pada kekuasaan Jepang ia diangkat sebagai Sangikai
Priangan shu dan direktur Poetra Cabang Bandung, dengan berprofesi dokter swasta.40 Ia
terpilih menjadi kencho Indramayu setelah pemberontakan petani di Kabupaten ini pada
1944. Pengangkatannya berdasarkan pertimbangan bahwa ia terpilih sebagai seorang
38
Terkemoka, hlm. 26.
39
Mengenai pengangkatan Atik, laporan terhadap Beppan yang disebutkan di atas (6 oktober 1943) menyatakan
sebagai berikut : “Olok-olok menyatakan bahwa seseorang tidak pernah mendengar adanya seorang guru
sekolah diangkat menjadi Bupati. Akan tetapi, secara umum tindakan pemerintah ini mendapatkan persetujuan”.
(Brungmans, hlm. 160).
40
Terkemoka, hlm. 334; dan catatan wawancara dengan Ny. Soeminimoerdjani, janda, oleh William Federick (3
Desember 1971)
nasionalis, hal ini tepat untuk meredam kekecewaan serta kemarahan rakyat di tengah-tengah
meningkatnya keresahan sosial.41 Pengakatanya rekomendasi dari Sukarno.42
Mas Besar mempunyai pengalaman sebagai pangreh praja sejak 1942, ketika diangkat
sebagai wali kota Tegal. Sebelumnya ia adalah seorang pengacara yang aktif dalam gerakan
nasionalis (Terkemoekan, hlm 54).
Usman Sumodinoro, soerang lulusan guru tinggi (Hoogere Kweek School, H.K.S)
telah lama bekerja sebagai guru di HIS dan akhirnya menjadi kepala sekolah di Semarang
sampai ia diangkatan menjadi kencho.43 R. M. Sidarto adalah seorang pengacara lulusan
Sekolah Hukum (Rechtsschool) dan bekerja di pengadilan daerah (Landraard) di berbagai
tempat sejak 1918.44
Pengangkatan secara tidak konvensional akan lebih terlihat jelas dalam kasus sonho
(asissten wedana). Sumber utama perekrutan soncho secara tidak konvensional ialah guru
sekolah (terutama guru sekolah pribumi, tetapi kadang juga dari sekolah-sekolah Barat) dan
kucho (kepala desa). Kedudukan sosial guru sekolah sangat jauh meningkat sewaktu
pendudukan Jepang dan upah mereka ditingkatkan. Para guru juga diberi peran-peran
penditng dalam bidang sosial dan propaganda. Tidak mengehrankan kalau mereka dianggap
debagai cadangan yang ideal untuk pangreh praja di masa depan. Dalam keadaan mendesak,
mereka dengan mudah dan cepat dapat bergeser ke tugas pangreh praja, dan bagi pemerintah
jauh lebih mudah dibandingkan dengan melatih petani.47
Salah seorang shonco yang direkrut dari kalangan guru sekolah ialah Moh. Siddik. Ia
lulusan HBS dan bekerja sebagai guru MULO di Surabaya sampai Jepang tiba. Karena pada
waktu invasi Jepang semua sekolah barat ditutup, ia kembali ke Bodowoso, Besuki, tempat
tinggal orang tuanya. Untuk sementara waktu, ia menganggur dan kemudian
direkomendasikan oleh Shuchokan (redien) Besuki untuk ikut dalam “latihan” pejabat-
pejabat pemerintah di Gunseikanbu. Moh. Siddik pergi ke Jakarta memenuhi saran tersebut
dan menjalani latihan selama enam bulan. Di sana terdapat 76 siswa yang terdiri dari pejabat
pemerintah dan calon pejabat pemerintah. Sementara itu, ia menjalani ujian penerimaan
pegawai pemerintah dan lulus. Sekembalinya ke Bondowoso, pertama-tama ia diberi jabatan
sebagai seorang keranid Naiseibu (Bagian/Urusan Dalam) di Shoucho (kantor keresidenan)
Besuki. Kemudian pada akhir 1944, Moh. Siddik diangkat sebagai soncho Panji, ken
Panarukan. Sebagai soncho, ia begitu berhasil mengumpulkan padi untuk pemerintah
sehingga jumlahnya lebih banyak dari sasaran yang diinginkan. 48 Mungkin ia merupakan
calon yang memiliki kemampuan luar biasa, dinilai dari pendidikan, latihan, dan
keberhasilannya dalam ujian penerimaan. Selain itu, keberhasilannya sebagai soncho Panji
dengan sempurna memenuhi harapan tinggi pihak Jepang. Ia pasti memiliki sifat ideal
sebagai pengganti bagi pangreh praja.
46
Ibid., hlm. 340
47
48
Kebijakan Jepang Terhadap Umat Islam di Indonesia
Masa pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun adalah salah satu yang paling
menentukan dalam sejarah Indonesia. Sebelum invasi Jepang, dalam pemerintahan Belanda
di Indonesia tidak ada satupun tantangan yang serius ketika berkuasa di Indonesia. Pada 9
Maret 1942, Panglima Tertinggi Angkatan Perang Belanda, Jenderal Ter Poorten, bersama
Gubernur Jenderal Pemerintah kolonial Belanda, Tjarda van Starkenborgh Stachouwer.
Akhirnya Serahkan Indonesia ke Jepang dan pendudukan Jepang dimulai49.
Terlepas dari semua kekejaman yang diakibatkan langsung dari situasi perang dunia
2, strategi politik Jepang tidak terletak pada politik penindasan fisik. Oleh karena itu Jepang
menggunakan strategi dasar memobilitasi rakyat, demi tercapainya kemenangan Asia Timur
Raya51 . Jepang memahami mayoritas Muslim di Indonesia. Oleh karena itu landasan
kebijakan telah diletakkan dalam hal teritorialnya, yang dikenal dengan istilah kebijakan
menurut Harry J. Benda, disebut Nippon’s Islamic Grass Root Policy yaitu kebijakan politik
Jepang atas umat Islam untuk mengeksploitasi tokoh dan tokoh-tokoh Muslim hingga ke
tingkat desa52.
Kedatangan Jepang langsung dirasakan oleh umat Islam yang ditandai dengan
beroperasinya Shumubu (Kantor Urusan Publik). Pada bulan Maret 1942, diketuai oleh
Kolonel Horie di ibu kota53 , dan sebuah cabang dibuka pada tahun 1944 Dikenal di seluruh
Indonesia sebagai Shumuka. Dengan berdirinya cabang ini diharapkan dapat lebih
mendekatkan diri dengan kepengurusan pusat di Jakarta54. Shumubu berfungsi tidak berbeda
jauh seperti Office for Native Affairs (Kantor Urusan Pribumi) pada masa Belanda, akan
49
Ricklefs, Op. Cit. hal 298.
50
Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980), hlm 165-167.
51
Taufik Abdullah, et al., Sejarah Umat Islam Indonesia (Jakarta: MUI, 2003), hal-195.
52
Benda, Op. Cit., Bulan Sabit, hal-139.
53
Ibid., hal-142.
54
Ibid., hal- 197.
tetapi dalam perkembangannya Shumubu menangani urusan-urusan yang berkaitan dengan
fungsi Departemen dalam Negeri, Kejaksaan, Pendidikan, dan Keagamaan Umum55.
Pada saat yang sama, pemerintahan militer Jepang mengikis peran organisasi-
organisasi Islam yang sebelumnya memperoleh banyak konsesi. Shumubu, adalah konsesi
paling signifikan Jepang untuk Muslim, dengan ditunjuknya Dr. Hoesein Djajadiningrat
sebagai kepala Kantor, pada posisi tertinggi pertama di pusat yang dijabat ternyata bukan
orang Jepang. Akan tetapi harus sesuai dengan reorganisasi Shumubu, Djajadiningrat harus
mundur dan posisinya digantikan oleh K.H.Hasjim Asy’ari, Ketua Masyumi, Federasi baru
bentukan Jepang.
Namun, Shumbu tidak dapat memobilisasi rakyat seperti yang diharapkan Jepang,
karena pada saat itu umat Islam sulit dipimpin oleh orang asing. Jadi, pada saat yang sama,
pemerintah militer Jepang telah mengikis peran ormas Islam yang sebelumnya mendapatkan
banyak konsesi. Oleh karena itu, Kolonel Hori digantikan oleh Dr. Hoesein Djajaningrat
adalah pakar Islam, tetapi tidak pernah memimpin ormas Islam, sehingga tidak memiliki
pengaruh terhadap umat Islam. Selanjutnya, Shumubu mengalami reorganisasi lagi, dengan
menggantikan ketua Shumubu oleh K.H. Hasyim Asy’ari. K.H. Hasyim Asy’ari, adalah
seorang ulama dari pesantren Tebu Ireng56. Baru saja dibebaskan dari tahanan karena
menolak menjalan sebuah tradisi Sinkerei (menghormati matahari terbit), aktivitas sehari-
harinya diserahkan kepada wakilnya Wahid Hasyim. Pemerintah Jepang juga mengadakan
pelatihan bagi para pemimpin dan urusan kenegaraan57.
Seperti penjajah lainnya, perhatian utama Jepang tetap politik. Sikap Jepang terhadap
Islam itu sederhana hanya untuk kepentingan politik. Karena kepentingan terbaiknya adalah
politik, Jepang tidak segan-segan mengizinkan Ulama membentuk tentara seperti Hizbullah.
Tujuan dari izin Jepang ini adalah untuk memungkinkan Hizbullah mendukung perang
melawan Sekutu. Umat Islam menduduki posisi penting dalam politik kemapanan pemerintah
Jepang58.
Namun, tindakan Jepang ini, terlepas dari motivasi di baliknya, telah membawa
dampak positif bagi umat Islam di ranah politik. Di kalangan umat Islam, rasa percaya diri
muncul karena semakin besarnya peran umat Islam dalam pemerintahan pendudukan Jepang.
55
Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin, 1959-1965,
(Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal- 20.
56
Ibid., hal 20-21.
57
Kuntowijoyo, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia (Yogyakarta: Shalahuddin Press, 1994), hal-25.
58
Benda, Op. Cit., Bulan Sabit, hal-216.
Selanjutnya, dengan pembentukan tentara Hizbullah, umat Islam dapat menggunakan senjata
modern, yang sama sekali tidak mungkin pada saat itu (kolonialisme Belanda)59 .
Selama Revolusi, tentara ini memainkan peran aktif dalam melawan Belanda. Di
antara slogan-slogan keagamaan yang sangat populer saat itu adalah "Hidup Mulia, atau mati
syahid". Sehingga semboyan semacam inilah semakin membakar semangat pemuda Islam
untuk bisa cepat-cepat meraih kemerdekaan yang sudah terlalu lama terlepas dari tangan60.
Selain itu, Jepang mendorong dan mengutamakan umat Islam untuk mendirikan
organisasi sendiri. Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, pemerintah Indonesia
secara resmi memberikan status penting kepada umat Islam. Pemerintah Jepang secara
bertahap mengakui organisasi Islam, tetapi tidak mengizinkan rekonstruksi organisasi
nasionalis sebelum perang seperti Partai Nasional Indonesia (PNI). Pada tanggal 10
September 1943, Muhammadiyah dan NU kembali disahkan, disusul oleh Perikatan Islam
(dulu bernama Persyarikatan Ulama) di Majalengka dan Sukabumi pada 1 Februari 194461.
Menurut Deliar Noer, ada beberapa faktor yang mendorong Jepang untuk
melegitimasi kembali ormas Islam. Pertama, Jepang mengalami kemunduran dalam Perang
Pasifik. hal tersebut Akibatnya, Jepang membutuhkan lebih banyak bantuan dari masyarakat,
terutama penduduk pedesaan. Oleh karena itu, kita membutuhkan sebuah organisasi yang
tunduk pada ketaatan rakyat. Kedua, organisasi-organisasi ini, meskipun tidak resmi, tetap
melakukan kegiatan dengan pemimpin dan guru setempat, bahkan sering berkoordinasi satu
sama lain. Ikatan tidak resmi mempersulit Jepang dibawah pengawasan. Dengan verifikasi,
pemantauan akan lebih mudah. Ketiga Pengakuan Jepang atas fungsi PUTERA, disusul
dengan Persatuan Pelayanan Rakyat (Jawa Hokokai) yang tidak dapat diperoleh Dukungan
penuh dari komunitas Islam. Keempat Jepang terlihat ingin memperbaiki beberapa kesalahan
yang telah diperbuatnya terhadap kalangan Islam, seperti mewajibkan pelaksanaan upacara
sinkerei di pagi hari, menahan K.H. Hasyim Asya’ari selama empat bulan, dan menutup
beberapa madrasah dan pesantren selama beberapa bulan pada awal pendudukan62.
59
Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985), hal-99.
60
Maarif, Op. Cit., Islam dan Politik, hal-21.
61
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, 1945-196,5 (Jakarta: Grafiti Pers, 1987), hal-23.
62
Ibid., hal 23-24.
MIAI adalah organisasi Islam, berdiri di Surabaya pada tanggal 18-21 September 1937,
diprakarsai oleh beberapa tokoh antara lain: Wondoamiseno (Sekretaris), K.H. Mas Mansyur
(Bendahara), Abdul Wahab Hasbullah, Muhammad Dahlan (Anggota) dan lain-lain Islam di
Indonesia, misal: Muhammaddiyah, PSII, Al Irsyad, dan lainnya. MIAI didirikan dengan
tujuan persatuan Seluruh ormas Islam di bawah satu panji, mendorong kerjasama dalam
menyelesaikan persoalan umat Islam, mempererat hubungan dengan umat Islam di luar
negeri, meningkatkan keimanan, dan Kongres Muslim Indonesia didirikan63.
Di bawah kepemimpinan K.H. Hasyim Asy'ari dan K.H. Mas Mansyur. MASYUMI
tidak berkembang seperti yang diinginkan Jepang, dan akhirnya organisasi tersebut
63
Latiful Khuluq, Fajar Kebangkitan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari,(Yogyakarta: LKIS, 2000), hal-90.
64
Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, ( Jakarta: Gema Insani Press, 1996), hal- 150.
65
Noer, Op. Cit., hal 49-50 dan 55.
berkembang menjadi pusat kekuasaan bagi seluruh umat Islam di Indonesia. Jepang juga
banyak mendirikan organisasi lain untuk menarik simpati masyarakat Indonesia.
Kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Jepang dalam banyak hal kontras dengan
kebijakan-kebijakan agama di zaman Belanda. Pemerintah militer Jepang secara luas diyakini
memperhatikan Pengaruh yang signifikan terhadap Islam di Indonesia dan memberikan para
pemimpin Islam peran sosial dan politik yang penting67.
Selama beberapa bulan pertama, Jepang melarang operasi organisasi Islam dan partai
politik, melarang pengajaran dan menggunakan tulisan dan bahasa Arab, mengatur dan
mengendalikan pendidikan Islam, dan meminta izin untuk mengadakan pertemuan
keagamaan. Namun, selama penumpasan ini, Jepang juga meluncurkan beberapa kampanye,
meskipun tujuannya adalah untuk "memobilisasi" Islam di Indonesia, serta juga bisa
66
Thaba, Op. Cit., Islam dan Negara, hal-151.
67
Anas Saidi, Menekuk Agama, Membangun Tahta, (Depok:Desantara, 2004), hal-48.
dianggap sebagai “konsesi” pada Islam Indonesia, terutama dalam hal kaitannya dengan
dampak tindakan itu pasca-kemerdekaan.
Aiko Kurasawa mencatat bahwa pemerintah militer Jepang mengambil tiga tindakan
penting untuk mendapatkan dukungan dan simpati terhadap Islam. Pertama, mendirikan
organisasi Islam, Masyumi. Kedua, membentuk seksi-seksi urusan agama di setiap
pemerintahan residen. Ketiga, implementasi rencana "Praktek Keagamaan"68.
Berikut ada empat bagian dalam Shumubu ini, yaitu: pertama, bagian urusan umum
dan Kristen, kedua manajemen dan Islam, ketiga, bagian kontrol dan bimbingan organisasi
keagamaan, serta penelitian, dan keempat, propaganda, latihan dan penertiban secara berkala.
Meskipun sudah jelas sejak awal bahwa tujuan lembaga Shumubu dan MASYUMI
adalah untuk memobilisasi dukungan Islam untuk Jepang, peran yang dimainkan oleh kedua
lembaga tersebut Itu adalah akhir dari kebijakan Belanda tentang pemisahan gereja dan
negara. tidak ada pemimpin muslim sebelumnya percaya, sekarang sebagai badan yang
terintegrasi dengan hubungan langsung dengan badan tertinggi. Islam telah memperoleh
tempat khusus dalam sistem politik, yang mendirikan lembaga keagamaan yang sejajar
dengan administrasi pemerintahan duniawi.
MASYUMI mempelopori peran politik umat Islam dalam sejarah Indonesia merdeka.
Pada saat yang sama, Kantor Urusan Agama adalah sebuah lembaga, sekarang Kementerian
Agama, yang merupakan badan utama bagi umat Islam untuk mengatur dan merundingkan
kepentingan agama mereka. Sementara departemen agama ini berfokus pada agama-agama
lain, sebagian besar perhatiannya terfokus pada Islam. Begitupun demikian, tidak berarti apa
68
Ibid., hal-49.
yang telah dirumuskan oleh Belanda hilang sama sekali. Jejak-jejak kebijakan politik agama
kolonial itu masih menggoreskan pengaruhnya yang penting dalam kebijakan politik agama
pada masa-masa selanjutnya, setelah Indonesia merdeka69.
69
Referensi:
Abdul Aziz Thaba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru, ( Jakarta: Gema Insani Press,
1996).
Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin,
1959-1965, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996).
Ahmad Syafi’i Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985).
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, 1945-196,5 (Jakarta: Grafiti Pers, 1987).
A.G. Pringgodigdo, Tatanegara di Djawa Pada Waktu Pendudukan Djepang: Dari Bulan
Maret Sampai Bulan Desember 1942, (Jogjakarta, 1952).
Fadli, M. Rijal dan Hidayat, Bobi. (2018). KH. Hasyim Asy’ari Dan Resolusi Jihad Dalam
Usaha Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945. Lampung: Laduny
Alifatama.
Fadli, M. R., & Kumalasari, D. (2019). Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pada Masa
Pendukan Jepang. Jurnal Sejarah, Budaya, dan Pengajarannya.
Harry J. Benda, et al., Japanese Military Administration in Indonesia, ( New Haven: Yale
University, 1965).
Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980).
Insneini F. Hendri dan Apid. (2008). Romusha Sejarah Yang Terlupakan (1942-1945).
Yogyakarta: Ombak.
Imran, Amrin. (2012). Indonesia dalam Arus Sejarah, Jilid VI. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van
Hoeve.
Kurasawa, Aiko. Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945. cetakan
pertama. Depok: Komunitas Bambu, 25.
Latiful Khuluq, Fajar Kebangkitan Ulama: Biografi KH. Hasyim Asy’ari, (Yogyakarta:
LKIS, 2000), p.90. Latiful Khuluq, Fajar Kebangkitan Ulama: Biografi KH. Hasyim
Asy’ari, (Yogyakarta: LKIS, 2000).
Ricklefs, M. (2008). Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Banda Aceh : Serambi Ilmu
Semesta.
Taufik Abdullah, et al., Sejarah Umat Islam Indonesia (Jakarta: MUI, 2003).