Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN RESMI

TEKNOLOGI CAIR-SEMIPADAT

JUDUL :
PEMBUATAN DAN EVALUASI SEDIAAN SUSPENSI

Disusun Oleh:
Tanggal Percobaan : 1 Maret 2021 dan 8 Maret 2021
Kelompok/Kelas : 1/4B

Disusun Oleh
Boby Irawan 22010319140067
Yunanto Dwi Laksono 22010319140076
Christy 22010319130050
Michele 22010319130051
Sesilia Ivanna Hapsari 22010319130064

PROGRAM STUDI FARMASI, DEPARTEMEN KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2021
PERCOBAAN I
PEMBUATAN DAN EVALUASI SEDIAAN SUSPENSI

I. TUJUAN
Mahasiswa diharapkan dapat membuat dan mengevaluasi sediaan
suspensi untuk penggunaan obat dalam sesuai dengan formula.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Pengertian Suspensi
Suspensi adalah sediaan yang mengandung bahan obat padat dalam
bentuk halus dan tidak larut, serta terdispersi harus halus, tidak cepat
mengendap, dan bila digojog perlahan-lahan, endapan harus segera
terdispersi kembali. Suspensi dapat ditambahkan zat tambahan untuk
menjamin stabilitas suspensi. Akan tetapi, kekentalan suspensi juga
harus menjamin sediaan agar mudah digojog dan dituang (Anief, 2007).
Prinsip dari pembuatan suspensi bahwa bahan padat yang tidak larut
disuspensikan dengan penambahan suspending agent. Bila zat padatnya
bersifat hidrofobik, maka dibasahi terlebih dahulu dengan zat pembasah
(wetting agent). Setelah dihomogenkan dengan suspending agent,
ditambahkan akuades dalam jumlah tertentu, digerus hingga diperoleh
massa seperti bubur dan diencerkan dengan sirup (Banakar, 1991).

2.2 Syarat Sediaan Suspensi yang Baik


Menurut DepKes RI (1979), syarat suspensi yang baik adalah
sebagai berikut:
• Zat terdispersi harus halus dan tidak boleh mengendap
• Jika dikocok harus segera terdispersi kembali
• Dapat mengandung zat dan bahan menjamin stabilitas suspensi
• Kekentalan suspensi tidak boleh terlalu tinggi agar mudah dikocok
atau sedia dituang
• Karakteristik suspensi harus sedemikian rupa sehingga ukuran
partikel dari suspensi tetap agak konstan untuk jangka penyimpanan
yang lama
Menurut DepKes RI (1995), syarat suspensi yang baik adalah
sebagai berikut:
• Suspensi tidak boleh diinjeksikan secara intravena dan intratekal
• Suspensi yang dinyatakan untuk digunakan untuk cara tertentu harus
mengandung anti mikroba
• Suspensi harus dikocok sebelum digunakan

2.3 Faktor yang Mempengaruhi Stabilitas Suspensi


Salah satu masalah yang dihadapi dalam proses pembuatan suspensi
adalah dengan cara memperlambat penimbunan partikel serta menjaga
homogenitas partikel. Cara tersebut merupakan salah satu tindakan untuk
menjaga stabilitas suspensi. Beberapa faktor yang mempengaruhi
stabilitas suspensi adalah (Syamsuni, 2006):
2.3.1 Ukuran Partikel
Ukuran partikel erat hubungannya dengan luas penampang
partikel tersebut serta daya tekan ke atas dari cairan suspensi itu.
Hubungan antara ukuran partikel merupakan perbandingan
terbalik dengan luas penampangnya. Sedangkan antara luas
penampang dengan daya tekan ke atas terdapat hubungan linier.
Artinya, semakin kecil ukuran partikel semakin besar luas
penampangnya (dalam volume yang sama). Sedangkan semakin
besar luas penampang partikel, daya tekan ke atas cairan akan
semakin besar, akibatnya memperlambat gerakan partikel untuk
mengendap sehingga untuk memperlambat gerakan tersebut
dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel (Syamsuni,
2006).
2.3.2 Kekentalan (Viskositas)
Kekentalan suatu cairan mempengaruhi pula kecepatan
aliran cairan tersebut, semakin kental suatu cairan, kecepatan
alirannya semakin turun atau semakin kecil. Kecepatan aliran dari
cairan tersebut akan mempengaruhi pula gerakan turun partikel
yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian, dengan menambah
kekentalan atau viskositas cairan, gerakan turun partikel yang
dikandungnya akan diperlambat. Perlu diingat bahwa kekentalan
suspensi tidak boleh terlalu tinggi agar sediaan mudah dikocok
dan dituang. Hal ini dapat dibuktikan dengan Hukum Stokes
(Syamsuni, 2006).
2.3.3 Jumlah Partikel (Konsentrasi)
Jika di dalam suatu ruangan terdapat partikel dalam jumlah
besar, maka partikel akan sulit melakukan gerakan bebas karena
seiring terjadi benturan antara partikel tersebut. Oleh benturan ini
akan menyebabkan terbentuknya endapan zat tersebut, oleh
karena itu semakin besar konsentrasi partikel, maka besar
kemungkinannya terjadi endapan partikel dalam waktu singkat
(Syamsuni, 2006).
2.3.4 Sifat atau Muatan Partikel
Suatu suspensi kemungkinan besar terdiri atas beberapa
macam campuran bahan yang sifatnya tidak terlalu sama. Dengan
demikian, ada kemungkinan terjadi interaksi antar bahan yang
menghasilkan bahan yang sukar larut dalam cairan tersebut.
Karena sifat bahan tersebut sudah merupakan sifat alam,
praktikan tidak dapat mempengaruhinya (Syamsuni, 2006).
Stabilitas fisik suspensi farmasi didefinisikan sebagai kondisi
suspensi dimana partikel tidak mengalami agregasi dan tetap
terdistribusi merata. Jika partikel mengendap, partikel tersebut
akan mudah tersuspensi kembali dengan pengocokan ringan.
Partikel yang mengendap ada kemungkinan dapat saling melekat
oleh suatu kekuatan untuk membentuk agregasi dan selanjutnya
membentuk compacted cake, peristiwa itu disebut ‘caking’
(Syamsuni, 2006).
Jika dilihat dari faktor-faktor di atas, maka faktor konsentrasi
dan sifat partikel tersebut merupakan faktor yang tetap, artinya
tidak dapat diubah lagi karena konsentrasi merupakan jumlah
obat yang tertulis dalam resep dan sifat partikel merupakan sifat
alam. Yang dapat diubah atau disesuaikan adalah ukuran partikel
dan viskositas (Syamsuni, 2006).
Ukuran partikel dapat diperkecil dengan menggunakan
mixer, homogenizer, colloid mill, dan mortir. Sedangkan
viskositas fase eksternal dapat dinaikkan dengan menambahkan
zat pengental yang dapat larut ke dalam cairan tersebut. Bahan-
bahan pengental ini sering disebut suspending agent (bahan
pensuspensi), yang umumnya bersifat mudah mengembang
dalam air (hidrokoloid) (Syamsuni, 2006).

2.4 Macam-Macam Sediaan Suspensi


2.4.1 Berdasarkan Sistem
a. Sistem Flokulasi
Flokulasi adalah suatu gumpalan yang terbentuk dengan
sangat cepat karena pada partikelnya terdapat ikatan yang
lemah. Walaupun demikian, sistem flokulasi mudah untuk
tersuspensi kembali setelah mendapat penggojogan (Harkness,
2010).
Secara umum, sifat flokulasi adalah (Syamsuni, 2006):
• Partikel merupakan agregat yang bebas
• Sedimentasi terjadi cepat
• Sedimen terbentuk cepat
• Sedimen tidak membentuk cake yang keras dan padat akan
mudah terdispersi kembali seperti semula
• Wujud suspensi kurang bagus sebab sedimentasi terjadi
cepat dan di atasnya terjadi daerah cairan yang jernih dan
nyata
b. Sistem Deflokulasi
Deflokulasi terjadi ketika partikel-partikel mengendap
sendiri secara perlahan, kemudian membentuk sedimen
tertutup, dan yang keras dan sulit terdispersi kembali
(Harkness, 2010).
Secara umum, sifat deflokulasi adalah (Syamsuni,
2006):
• Partikel suspensi dalam keadaan terpisah satu dengan yang
lainnya
• Sedimentasi yang terjadi lambat, masing-masing partikel
mengendap terpisah dan partikel berada pada ukuran
terkecil
• Sedimen terbentuk lambat
• Akhirnya sedimen akan membentuk cake yang keras dan
sukar terdispersi kembali
• Wujud suspensi bagus karena zat tersuspensi dalam waktu
relatif lama. Terlihat bahwa ada endapan dan cairan atas
tersebut
Pada akhirnya, flokulasi dan deflokulasi sama-sama
merupakan peristiwa memisahnya (mengendapnya fase
terdispersi) antara fase terdispersi dan fase pendispersi.
Namun diantara keduanya memiliki perbedaan pada rentang
waktu pembentukannya. Rentang waktu yang dibutuhkan pada
flokulasi untuk memisahkan dua fase jauh lebih cepat
dibandingkan dengan deflokulasi. Selain itu, endapan dari
flokulasi dapat didispersikan kembali sedangkan endapan
deflokulasi tidak karena telah terbentuk caking (Harkness,
2010).
2.4.2 Berdasarkan Rute Pemberian
a. Suspensi Oral
Suspensi oral adalah sediaan cair yang mengandung
partikel padat dalam bentuk halus yang terdispersi dalam fase
cair dengan bahan pengaroma yang sesuai yang ditujukan
untuk penggunaan oral. Beberapa suspensi yang diberi etiket
sebagai susu atau magma termasuk dalam kategori ini.
Beberapa suspensi dapat langsung digunakan, sedangkan yang
lain berupa campuran padat dalam bentuk halus yang harus
dikonstitusikan terlebih dahulu dengan pembawa yang sesuai,
segera sebelum digunakan. Sediaan ini disebut “Untuk
Suspensi Oral” (Syamsuni, 2006).
b. Suspensi Topikal
Suspensi topikal adalah sediaan cair yang mengandung
partikel padat dalam bentuk halus yang terdispersi dalam
pembawa cair yang ditujukan untuk penggunaan pada kulit.
Losion eksternal harus mudah menyebar di daerah pemakaian,
tidak mudah mengalir dari daerah pemakaian, dan cepat kering
membentuk lapisan film pelindung. Beberapa suspensi yang
diberi etiket sebagai “lotion” termasuk dalam kategori ini
(Syamsuni, 2006).
c. Suspensi Tetes Telinga
Suspensi tetes telinga adalah sediaan cair yang
mengandung partikel-partikel halus yang ditujukan untuk
diteteskan pada telinga bagian luar (Syamsuni, 2006).
d. Suspensi Oftalmik (Optalmik)
Suspensi optalmik adalah sediaan cair yang steril yang
mengandung partikel-partikel sangat halus yang terdispersi
dalam cairan pembawa untuk pemakaian pada mata. Obat
dalam suspensi harus dalam bentuk termikronisasi agar tidak
menimbulkan iritasi atau goresan pada kornea. Suspensi obat
mata tidak boleh digunakan jika terdapat massa yang mengeras
atau terjadi penggumpalan (Syamsuni, 2006).
e. Suspensi untuk Injeksi
Suspensi untuk injeksi adalah sediaan cair steril berupa
suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak
boleh menyumbat jarum suntiknya (syringe ability) serta tidak
disuntikkan secara intravena atau ke dalam larutan spinal
(Syamsuni, 2006).
f. Suspensi untuk Injeksi Terkonstitusi
Suspensi untuk injeksi terkonstitusi adalah sediaan
padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai untuk
membentuk larutan yang memenuhi semua persyaratan untuk
suspensi steril setelah penambahan bahan pembawa yang
sesuai (Syamsuni, 2006).

2.5 Keuntungan dan Kerugian Suspensi


2.5.1 Keuntungan Suspensi
Keuntungan sediaan suspensi adalah sebagai berikut
(Parrot, 1971):
• Baik digunakan untuk orang yang sulit mengkonsumsi tablet,
pil, kapsul. terutama untuk anak-anak
• Memiliki homogenitas yang cukup tinggi
• Lebih mudah diabsorpsi daripada tablet, karna luas
permukaan kontak dengan permukaan saluran cerna tinggi
• Dapat menutupi rasa tidak enak/pahit dari obat
• Dapat mengurangi penguraian zat aktif yang tidak stabil
dalam air
2.5.2 Kerugian Suspensi
Kerugian sediaan suspensi adalah sebagai berikut (Parrot,
1971):
• Memiliki kestabilan yang rendah
• Jika terbentuk caking maka akan sulit terdispersi kembali,
sehingga homogenitasnya menjadi buruk
• Aliran yang terlalu kental menyebabkan sediaan sulit untuk
dituang
• Ketepatan dosis lebih rendah dibandingkan sediaan larutan
• Suspensi harus dilakukan pengocokan sebelum digunakan
• Pada saat penyimpanan kemungkinan perubahan sistem
dispersi akan meningkat apabila terjadi perubahan
temperatur pada tempat penyimpanan

2.6 Cara Pembuatan Suspensi


2.6.1 Metode Dispersi
Serbuk yang terbagi halus didispersi dalam cairan
pembawa. Umumnya yang digunakan sebagai pembawa adalah
air. Dalam formula suspensi yang paling penting adalah partikel-
partikel harus terdispersi dalam fase air. Mendispersi serbuk yang
tidak larut dalam air kadang-kadang sulit. Hal ini disebabkan
karena adanya udara, lemak, kontaminan pada permukaan serbuk,
dan lain-lain (Lachman et al., 1994).
Metode ini dilakukan dengan cara menambahkan serbuk
bahan obat ke dalam musilago yang telah terbentuk, kemudian
baru diencerkan. Perlu diketahui bahwa kadang-kadang terjadi
kesukaran pada saat mendispersikan serbuk ke dalam pembawa.
Hal tersebut karena adanya udara, lemak, atau kontaminan
serbuk. Serbuk yang sangat halus mudah termasuki udara
sehingga sukar dibasahi tergantung pada besarnya sudut kontak
antara zat terdispersi dengan medium. Jika sudut kontak ±90°,
serbuk akan mengambang di atas cairan. Serbuk yang demikian
disebut memiliki sifat hidrofob. Untuk menurunkan tegangan
permukaan antara partikel zat padat dengan cairan tersebut perlu
ditambahkan zat pembasah atau wetting agent (Syamsuni, 2006).
2.6.2 Metode Presipitasi (Presipitasi dengan Pelarut Organik,
perubahan pH Media, dan Penguraian Rangkap)
Obat-obatan yang tidak larut dalam air dapat diendapkan
dengan menggunakan pelarut-pelarut organik yang bercampur
dengan air, dan kemudian menambahkan fase organik ke air
murni dibawah kondisi standar disebut juga dengan metode
presipitasi dengan pelarut organik (Lachman et al., 1994).
Metode presipitasi dengan perubahan pH media, metode ini
hanya dapat diterapkan pada obat-obat yang kelarutannya
tergantung pada harga pH. Metode penguraian rangkap hanya
melibatkan proses kimia yang sederhana (Lachman et al., 1994).

2.7 Evaluasi Sediaan Suspensi


2.7.1 Uji Organoleptis
Uji organoleptis sediaan suspensi berguna untuk
mengetahui bentuk, warna, bau dari sediaan suspensi yang dibuat
(Wirasti dkk, 2020).
Perubahan organoleptis pada sediaan suspensi dapat
diakibatkan oleh ketidakseragaman distribusi bahan penyusun
suspensi, pertumbuhan kristal, atau adanya perubahan pada
partikel sediaan suspensi (Jain, 2011).
2.7.2 Uji pH
Evaluasi pengukuran pH sediaan suspensi dilakukan
menggunakan pH meter digital dengan cara mencelupkan
elektroda pH meter kedalam sediaan suspensi (Sana, 2012).
2.7.3 Uji Volume Sedimentasi
Volume sedimentasi dapat dihitung dengan
membandingkan tinggi suspensi akhir (Hu) dengan tinggi
suspensi mula-mula (Ho). Semakin besar fraksi ini, semakin baik
kemampuan suspensinya. Pembuat formulasi harus memperoleh
rasio Hu/Ho, dan memplotkannya sebagai ordinat dengan waktu
sebagai absisnya (Lachman et al, 1994).
Pengujian volume sedimentasi bertujuan untuk mengetahui
rasio pengendapan (F) yang terjadi selama penyimpanan waktu
tertentu. Pengujian volume sedimentasi yang mana suspensi
dengan Volume sedimentasi yang baik dari keempat formula
adalah pada F1 yang mempunyai harga < 1 atau > 1. Redispersi
dipengaruhi oleh viskositas dari sediaan, dimana semakin tinggi
viskositas maka redispersibilitas yang dihasilkan semakin rendah
(Popa & Ghica, 2011).

III. METODE
3.1 Alat
a. Cawan Porselen
b. Mortir dan stamper
c. Gelas ukur
d. Waterbath
e. Batang pengaduk
f. Stopwatch
g. pH meter
h. Gelas ukur
i. Tabung reaksi
j. Kertas milimeter blok
k. Gelas beker
l. Tisu

3.2 Bahan
a. Kloramfenikol
b. CMC Na
c. Tween 80
d. PEG 400
e. Syrupus simplex
f. Nipagin
g. Perasa (orange)
h. Akuades
i. Alkohol
3.3 Formula
Bahan R1 R2 R3 R4 R5
Kloramfenikol (mg) 250 250 250 250 250
CMC Na (mg) 50 25 50 50 25
Tween 80 (mg) 75 50 50 25 75
PEG 400 (mg) 1000 1000 1000 500 500
Syrupus simplex (mg) 1500 1500 1500 1500 1500
Nipagin (mL) 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5
Perasa (mL) q.s q.s q.s q.s q.s
Akuades ad (mL) 60 60 60 60 60

3.4 Cara Kerja


a. Pembuatan Sediaan Suspensi
• Penimbangan Bahan

Bahan sesuai formula

Timbangan

• Disiapkan alat dan bahan


• Ditimbang semua bahan sesuai formula

Hasil
• Kalibrasi Alat
Akuades
Gelas ukur

• Diukur sebanyak 60 ml akuades


• Dimasukkan akuades ke dalam botol yang akan
digunakan untuk sediaan suspensi
• Diberi tanda pada batas air.

Hasil
• Pembuatan Suspensi
CMC Na
Mortir
• Dibuat mucilago dengan memasukkan CMC Na ke dalam
mortir dan dilarutkan dalam air panas.
• Ditambahkan kloramfenikol, kemudian diaduk hingga
homogen
• Ditambahkan tween 80 dan PEG 400, dan diaduk hingga
homogen
• Dilarutkan nipagin dalam aquadest dalam wadah lain.
• Dimasukkan ke dalam campuran suspensi, dan diaduk
hingga homogen.
• Ditambahkan syrupus simplex kemudain diaduk hingga
homogen
• Ditambahkan perasa orange ke dalam campuran, dan
diaduk hingga homogen
• Ditambahkan akuades hingga 60 ml dan diaduk hingga
homogen.
• Dituangkan ke dalam botol 60 ml yang telah dikalibrasi.
• Jika suspensi belum mencapai tanda batas kalibrasi,
ditambahkan aquadest ke dalam botol hinggga batas
kalibrasi.

Hasil

b. Evaluasi Sediaan Suspensi


• Uji Organoleptis

Sediaan suspensi
Gelas ukur

• Diamati bentuk, warna, bau, dan rasa dari sediaan suspensi


menggunakan panca indera.

Hasil
• Uji pH

Sediaan suspensi
Gelas beker

• Ditekan tombol on pada pH meter.


• Dikocok suspensi kemudian dimasukkan ke dalam gelas
beker.
• Dibuka penutup pH meter.
• Dibersihkan pH meter menggunakan alkohol dengan
cara menyemprotkannya kemudian dikeringkan
menggunakan tissue.
• Dimasukkan pH meter ke dalam sediaan suspensi
• Ditekan read pada monitor pH meter.
• Ditunggu hingga muncul simbol √𝐴 .
• Dicatat pH sediaan.
• Dibersihkan pH meter menggunakan alkohol dan
dikeringkan menggunakan tissue.
• Ditutup kembali pH meter.
• Dimatikan alat pH meter dengan menekan tombol on.

Hasil
• Uji Sedimentasi

Sediaan suspensi
Gelas ukur

• Diletakkan kertas milimeter blok dibelakang tabung


reaksi
• Diukur sebanyak 10 ml larutan suspensi menggunakan
gelas ukur.
• Dimasukkan 10 ml suspensi kedalam tabung reaksi.
• Diberi tanda untuk tinggi volume awal suspensi.
• Diamati dan diberi tanda setelah 15 menit, 30 menit, 60
menit, dan 27 jam.
• Dihitung volume sedimentasinya.

Hasil

IV. DATA PENGAMATAN


4.1. Formula I
No. Nama Hasil
1. Uji Organoleptis Bentuk : cair
Bau. : jeruk
Warna : putih kekuningan
Rasa :-
2. Uji pH 7,31
3. Uji Sedimentasi Vo : 7,4 cm (larutan atas agak
jernih)
15 menit : 0.3 cm
30 menit : 0,5 cm
1 jam : 0,6 cm
24 jam : 0,7 cm
4.2. Formula II
No. Nama Hasil
1. Uji Organoleptis Bentuk : cair
Bau : jeruk
Warna : putih kekuningan
Rasa :-
2. Uji pH 7,32
3. Uji Sedimentasi Vo : 8 cm (larutan atas agak keruh)
15 menit : 0.4 cm
30 menit : 0,7 cm
1 jam : 0,7 cm
24 jam : 1 cm

4.3. Formula III


No. Nama Hasil
1. Uji Organoleptis Bentuk : cair
Bau : sedikit berbau jeruk
Warna : putih kekuningan
Rasa :-
2. Uji pH 7,33
3. Uji Sedimentasi Vo : 7,1 cm (larutan atas jernih)
15 menit : 0.4 cm
30 menit : 0,6 cm
1 jam : 0,7 cm
24 jam : 0,8 cm
4.4. Formula IV
No. Nama Hasil
1. Uji Organoleptis Bentuk : cair
Bau : sedikit berbau jeruk
Warna : putih kekuningan
Rasa :-
2. Uji pH 7,18
3. Uji Sedimentasi Vo : 7,8 cm (larutan atas agak
jernih)
15 menit : 0.7 cm
30 menit : 0,8 cm
1 jam : 0,9 cm
24 jam : 1 cm

4.5. Formula V
No. Nama Hasil
1. Uji Organoleptis Bentuk : cair
Bau : sedikit berbau jeruk
Warna : putih kekuningan
Rasa :-
2. Uji pH 7,26
3. Uji Sedimentasi Vo : 8 cm (larutan atas keruh)
15 menit : 0.3 cm
30 menit : 0,4 cm
1 jam : 0,5 cm
24 jam : 0,5 cm
V. PEMBAHASAN
Praktikum Teknologi Liquid Semi Solid dengan judul “Pembuatan dan
Evaluasi Suspensi” dilaksanakan pada hari Senin, 1 dan 8 Maret 2021 pukul
13:00-15:50 WIB secara daring dengan menggunakan platform Microsoft
Teams. Praktikum ini bertujuan agar mahasiswa dapat membuat dan
mengevaluasi sediaan suspensi untuk pembuatan obat dalam sesuai dengan
formula.
Menurut Anief (2007), suspensi merupakan sediaan yang
mengandung bahan obat padat dalam bentuk halus dan tidak larut, serta
terdispersi dalam cairan pembawa. Zat yang terdispersi harus halus dan tidak
boleh cepat mengendap. Jika dikocok perlahan-lahan endapan harus segera
terdispersi kembali. Suspensi dapat mengandung zat tambahan untuk
menjamin stabilitas suspensi. Kekentalan suspensi tidak boleh terlalu tinggi
agar sediaan mudah dikocok dan dituang. Partikel-partikelnya mempunyai
diameter yang sebagian besar lebih dari 0,1 mikron.
Sediaan ini dibuat menjadi suspensi oral dikarenakan menurut
DepKes RI (2014), kloramfenikol sebagai zat aktif sukar larut dalam air atau
praktis tidak larut air. Menurut Ansel (1995), kloramfenikol merupakan salah
satu antibiotika bakterisidal yang tidak stabil jika disimpan dalam waktu yang
lama. Oleh karena itu alasan pembuatan suspensi oral adalah karena obat-obat
tertentu tidak stabil secara kimia bila ada dalam larutan tetapi stabil bila
disuspensi, baik dalam suhu kamar ataupun suhu yang lebih tinggi. Dalam hal
seperti ini suspensi oral menjamin stabilitas kimia dan memungkinkan terapi
dengan cairan. Menurut Banakar (1991), prinsip dari pembuatan suspensi
adalah bahan padat yang tidak larut akan disuspensikan dengan penambahan
suspending agent. Dengan demikian, kloramfenikol yang tidak larut dalam air
juga akan menjadi stabil dalam sediaan suspensi oleh bantuan suspending
agent. Menurut Syamsuni (2006), sediaan suspensi memiliki keuntungan bagi
pasien yang sukar menelan tablet atau kapsul. Suspensi yang dibuat pada
percobaan ini akan diabsorpsi di saluran pencernaan (usus halus). Dengan
dibuatnya sediaan suspensi, luas permukaan kontak antara zat aktif dan saluran
cerna akan meningkat sehingga sediaan lebih mudah diabsorbsi.
Sistem pembuatan suspensi terbagi menjadi dua, yaitu sistem
flokulasi dan sistem deflokulasi. Pemilihan metode ini tergantung dari
bagaimana partikel atau bahan obat tersebut terdispersi ke dalam cairan.
Percobaan ini menggunakan metode deflokulasi dimana suspensi tidak mudah
mengendap selama penyimpanan dalam waktu tertentu. Menurut Rowe (2006),
sediaan suspensi menggunakan sistem deflokulasi dikarenakan terkandung
suspending agent CMC Na (Natrium Karboksimetil Selulosa) sebagai yang
menghambat pembentukan sedimentasi dengan cara mengentalkan bahan
pembawa dan menurunkan tegangan permukaan antar partikel. Bahan
pensuspensi yang dibuat dalam suspensi antiulcer ini adalah CMC Na. CMC
Na mempunyai kelebihan sebagai suspending agent yang dapat meningkatkan
viskositas serta dapat meningkatkan kestabilan dari suspensi yang dihasilkan.
Langkah pertama dalam pembuatan suspensi adalah kalibrasi botol
60 mL. Menurut Keenan (1991), kalibrasi alat dilakukan untuk menyesuaikan
indikasi dari suatu perangkat pengukuran agar sesuai dengan besaran dari
standar yang digunakan dalam akurasi tertentu. Kalibrasi botol pada percobaan
ini dilakukan dengan cara mengukur terlebih dahulu sebanyak 60 mL akuades
dengan gelas ukur. Kemudian, dimasukkan sejumlah akuades yang telah diukur
tersebut ke dalam botol untuk melihat apakah botol tersebut cukup untuk
menampung 60 mL cairan. Selanjutnya, diberi tanda garis batas sejajar dengan
pandangan mata bersudutkan 90º kemudian akuades dikeluarkan dari botol,
dan dikeringkan.
Langkah selanjutnya adalah pembuatan suspensi. Pada percobaan
ini, metode yang digunakan adalah metode dispersi atau cara basah. Menurut
Syamsuni (2006), metode dispersi dilakukan dengan cara penambahan serbuk
bahan obat (zat aktif) ke dalam mucilago yang telah terbentuk, kemudian baru
diencerkan. Pertama-tama, dibuat mucilago dengan memasukkan CMC Na
sebagai suspending agent ke dalam mortir serta dilarutkan menggunakan air
panas. Menurut Kamal (2010) CMC Na mudah larut dalam air dingin maupun
air panas, dapat membentuk lapisan, bersifat stabil dan tidak larut dalam pelarut
organik. Akan tetapi, ketika CMC Na dilarutkan dengan air panas, mucilago
yang dihasilkan akan lebih kental dan proses melarutnya akan lebih cepat.
Alasan penggunaan CMC Na pada percobaan ini adalah karena menurut David
(2005), viskositas larutan CMC Na termasuk cukup stabil pada rentang pH 4-
10, dimana kloramfenikol akan stabil pada pH 4,7-7,5. Jika mucilago sudah
terbentuk, maka selanjutnya ditambahkan zat aktif suspensi yaitu
kloramfenikol serta diaduk hingga homogen. Menurut Tjay (2007),
kloramfenikol berkhasiat sebagai antibiotika broad spectrum (spektrum luas)
dan bersifat bakteriostatis untuk sebagian bakteri gram positif dan gram negatif
serta bersifat bakterisid untuk beberapa bakteri lainnya. Menurut Gunawan, et
al, (2007), suspensi pada dasarnya memiliki kestabilan yang rendah sehingga
apabila tidak diaduk secara homogen maka akan memungkinkan terjadinya
kerusakan suspensi semakin besar. Selanjutnya, ditambahkan Tween 80 dan
PEG 400, dan diaduk hingga homogen. Menurut Fatmasari (2018), Tween 80
sebagai wetting agent atau surfaktan non-ionik akan membasahi zat aktif
(kloramfenikol) sehingga dapat tercampur homogen dengan zat lain,
meningkatkan viskositas, dan menurunkan tegangan permukaan. Menurut
Goodman dan Gilman’s (2009), PEG 400 berfungsi sebagai larutan pembawa
yang mencegah interaksi antara Tween 80 dan Nipagin. Langkah selanjutnya
adalah melarutkan nipagin dalam akuades pada wadah lain dan dimasukkan ke
dalam campuran suspensi lalu diaduk hingga homogen. Menurut Gunawan, et
al, (2007), nipagin yang juga disebut sebagai paraben berguna sebagai
pengawet. Menurut Banakar (1991), nipagin termasuk senyawa yang memiliki
kelarutan yang rendah apabila langsung dilarutkan ke dalam suspensi. Menurut
Goodman dan Gilman’s (2009), nipagin dikatakan memiliki kelarutan yang
lebih baik pada air dibandingkan ketika dilarutkan dalam bahan lain. Apabila
nipagin dimasukkan secara langsung dalam suspensi, maka nipagin tidak akan
tercampur secara homogen. Apabila nipagin masih sulit untuk dilarutkan pada
akuades dengan suhu ruang 25℃, maka disarankan untuk mencampur nipagin
dengan akuades yang telah dipanaskan (pada suhu 80℃). Setelah homogen,
maka selanjutnya ditambahkan syrupus simplex, kemudian perasa orange ke
dalam campuran, dan diaduk hingga homogen. Menurut Nash (1996), syrupus
simplex berguna sebagai pemanis dan pengental, kemudian perasa orange
berfungsi sebagai pemanis untuk memperbaiki penampilan dan rasa dari
suspensi yang dibuat sebab kloramfenikol memiliki rasa yang pahit dan pada
akhirnya suspensi dapat diterima oleh pasien. Lalu, campuran tersebut
ditambahkan akuades ad 60 mL dan diaduk kembali hingga homogen. Hasil
campuran suspensi di dalam mortir kemudian dimasukkan ke dalam botol yang
telah dikalibrasi 60 mL. Jika suspensi belum mencapai tanda batas kalibrasi,
ditambahkan kembali akuades ke dalam botol hingga batas kalibrasi dengan
menggunakan pipet tetes. Botol suspensi kemudian ditutup rapat dengan
penutupnya agar terhindar dari kontaminasi. Menurut Harkness (2010),
penggunaan botol yang tertutup rapat ditujukan agar sediaan suspensi tetap
stabil pada penyimpanan.
Setelah sediaan suspensi telah selesai, maka selanjutnya dilakukan
beberapa evaluasi terhadap sediaan suspensinya. Uji evaluasi yang dilakukan
adalah uji organoleptis, uji pH dan uji sedimentasi. Uji yang pertama adalah uji
organoleptis dilakukan dengan melakukan pengamatan bentuk, bau,warna, dan
rasa terhadap sediaan suspensi yang terbentuk. Menurut Gunasekaran (2015),
uji organoleptik pada suspensi bertujuan untuk memeriksa kesesuaian warna,
bau, rasa, dan melihat pemisahan pada fase suspensi dimana sedapat mungkin
mendekati spesifikasi sediaan yang telah ditentukan selama formulasi. Prinsip
uji ini adalah memeriksa bau, rasa, warna, dan pemisahan fase menggunakan
panca indera. Warna yang dihasilkan sesuai dengan formulasi bahan aktif dan
eksipien di dalamnya. Kemudian, aroma suspensi yang baik tidak berbau
tengik. Setelah itu, rasa dari suspensi harus bisa diterima oleh pasien.
Evaluasi sediaan suspensi yang kedua adalah uji pH. Langkah
pertama yang dilakukan adalah menghidupkan alat dengan menekan tombol
‘on' dan pada layar akan keluar angka 7. Menurut Buck (2002), pada ujung dari
pH meter, terdapat elektrolit yang biasanya berupa KCl (pH netral atau pH 7)
dimana KCl terbentuk dari reaksi KOH (basa kuat) dan HCl (basa lemah).
Dengan demikian, ketika alat pH meter dinyalakan, maka akan menunjukkan
angka 7. Angka 7 pada pH meter ini dikatakan sebagai titik asimetri atau titik
0 kalibrasi pH meternya. Cara kerja dari pH meter ini adalah dengan
membandingkan jumlah ion hidrogen yang berada dalam alat pH meter (KCl)
dengan jumlah ion hidrogen dari sampel yang akan diuji (dalam percobaan ini
sampelnya adalah suspensi). Ketika ion hidrogen pada sampel yang diuji lebih
banyak daripada ion hidrogen pada alat pH meter, maka alat pH meter akan
menunjukkan pH dibawah 7 (menunjukkan bahwa sampel yang diuji bersifat
asam). Sebaliknya, ketika ion hidrogen sampel yang diuji lebih sedikit dari
jumlah ion hidrogen pada alat pH meter, maka alat pH meter akan
menunjukkan pH diatas 7 (menunjukkan bahwa sampel yang diuji adalah
larutan basa). Dan apabila jumlah ion hidrogen sampel sama dengan ion
hidrogen pada alat pH meter, maka pH yang ditunjukkan adalah pH netral yaitu
7. Selanjutnya, suspensi dikocok terlebih dahulu dan dimasukkan ke dalam
gelas beker seluruhnya. Menurut Syamsuni (2006) pengocokan suspensi
sebelum dikonsumsi supaya zat aktif yang mengendap terdispersi kembali.
Selanjutnya buka penutup pH meter dan disemprot ujungnya menggunakan
alkohol 70% setelah disemprot dilap dengan tisu kering. Menurut Silakhuddin
dan Fatmasari (2015), alkohol berfungsi sebagai desinfektan pada pH meter
supaya tidak ada kontaminasi mikroorganisme maupun zat-zat yang tidak
diinginkan masuk ke dalam sediaan suspensi. Alkohol juga digunakan untuk
membersihkan pH meter dari sampel berminyak sisa percobaan sebelumnya
yang biasanya tidak dapat bersih jika hanya dibersihkan dengan air suling.
Alkohol 70% bersifat stabil dan tidak merusak material sehingga tidak akan
mempengaruhi kalibrasi pH dari alat. Terlebih dari itu, alkohol merupakan basa
lemah yang pH nya mendekati 7 dan sifatnya mudah menguap. Adapun
penggunaan alkohol cukup disemprotkan pada alat uji pH meter dan tidak perlu
dicelupkan karena bagian pH meter yang dibersihkan merupakan elektroda.
Elektroda adalah batang seperti struktur yang biasanya terbuat dari kaca. Pada
bagian bawal elektroda terdapat bohlam, yang merupakan bagian sensitif dari
probe yang berisi sensor untuk membaca pH dan pada bagian ini tidak boleh
disentuh karena sangat sensitif sehingga pembersihannya cukup disemprotkan
alkohol saja agar pengelapannya dengan tisu lebih mudah dan dapat
meminimalisir terjadinya kerusakan alat. Setelah itu, dimasukkan pH meter ke
dalam sediaan suspensi. Langkah selanjutnya adalah menekan tombol 'read'
pada monitor lalu tunggu hingga muncul simbol akar A. Simbol akar A akan
menunjukkan bahwa pH meter yang digunakan stabil serta menunjukkan
bahwa nilai pH yang akan tetap dan tidak akan berubah lagi sehingga dapat
dianggap sebagai nilai pH dari sediaan suspensi tersebut. Setelah angka pada
monitor muncul selanjutnya mencatat dan membersihkan pH meter kembali
dengan alkohol supaya alat tetap steril dan tidak mengganggu hasil uji pada
percobaan berikutnya. Langkah terakhir adalah mematikan alat pH meter
dengan menekan tombol "on".
Evaluasi sediaan suspensi yang terakhir adalah uji sedimentasi.
Menurut Foust (1980), sedimentasi adalah suatu proses pemisahan suspensi
secara mekanik menjadi dua bagian yaitu slurry dan supernatant. Slurry adalah
bagian dengan konsentrasi partikel terbesar dan supernatant adalah bagian
cairan yang bening. Proses terjadinya sedimentasi ini memanfaatkan gaya
gravitasi, yaitu dengan mendiamkan suspensi hingga terbentuk endapan yang
terpisah dari beningan. Langkah pertama adalah meletakkan kertas milimeter
blok di belakang tabung reaksi. Sebelum digunakan, suspensi dikocok terlebih
dahulu kemudian tuangkan sebanyak 10 mL ke dalam labu ukur. Selanjutnya,
suspensi dipindahkan ke tabung reaksi seluruhnya dan diberi tanda untuk tinggi
volume awal. Kemudian diamati dan diberi tanda setelah 15 menit, 30 menit,
60 menit, dan 24 jam serta dihitung volume sedimentasinya.
5.1 Uji Organoleptis
Uji organoleptis merupakan salah satu uji evaluasi dari sediaan
suspensi. Uji organoleptis dilakukan untuk mengetahui rasa, warna, dan
bau dari sediaan suspensi yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan literatur
Sana (2012), evaluasi atau uji organoleptis sediaan suspensi dilakukan
untuk menilai perubahan rasa, warna, dan bau sediaan suspensi yang telah
dibuat.
Langkah kerja pertama uji organoleptis adalah disiapkan suspensi
yang akan diuji. Kemudian dengan bantuan alat senter, diamati dan dinilai
bentuk, warna, dan bau dari sediaan suspensi yang telah dibuat. Hal ini
sesuai dengan literatur menurut Sana (2012), dimana dikatakan
pengamatan tampilan dilakukan secara manual dengan pencahayaan
masing-masing formula sedangkan pengamatan bau dan rasa dilakukan di
awal pengujian. Pada percobaan ini tidak dilakukan uji organoleptis
terhadap rasa karena percobaan ini menggunakan teknik aseptis. Menurut
Wahyuni, et al., (2017), teknik aseptis adalah teknik pada prosedur kerja
yang meminimalisir kontaminan mikroorganisme dan dapat mengurangi
resiko paparan kontaminan dari praktikan.
Formula I pada uji organoleptis menghasilkan suspensi berbentuk
cair, berbau jeruk, dan berwarna putih kekuningan. Formulasi II
menghasilkan suspensi berbentuk cair dengan bau jeruk dan warna yang
putih kekuningan. Formulasi III menghasilkan suspensi berbentuk cair,
sedikit berbau jeruk, dan berwarna putih kekuningan. Formulasi IV
menghasilkan suspensi berbentuk cair, bau sedikit jeruk, dan warna putih
kekuningan. Formulasi V menghasilkan suspensi berbentuk cair, berbau
sedikit jeruk, dan berwarna putih kekuningan. Uji organoleptis dari kelima
formula telah sesuai dengan literatur menurut Syamsuni (2006), suspensi
yaitu sediaan cair yang terdiri dari bahan obat yang berbentuk padat dalam
bentuk halus yang terdispersi dalam cairan pembawa cair.
Bau dan rasa yang dihasilkan dari suatu sediaan suspensi bergantung
pada eksipien atau zat perasa yang digunakan. Pada pembuatan suspensi
ini digunakan essence orange, sehingga bau dan rasa suspensi yang
dihasilkan adalah jeruk. Hal ini sesuai dengan pendapat Aulton (2002),
penggunaan bahan perasa dapat menutupi rasa dan bau yang dihasilkan
oleh zat aktif yang kurang menyenangkan. Warna yang dihasilkan pada
suspensi adalah warna zat aktif dan eksipien yang digunakan pada
formulasi. Berdasarkan monografi bahan yang dijelaskan pada bagian
sebelumnya, diketahui bahwa kloramfenikol mempunyai warna putih
kelabu, CMC-Na mempunyai warna putih kekuningan, dan Tween-80
berwarna bening kekuningan. Oleh karena itu, didapatkan sediaan
suspensi berwarna putih kekuningan dan dapat disimpulkan bahwa
suspensi dengan formula I, II, III, IV, dan V telah memenuhi syarat uji
organoleptis.
5.2 Uji pH
Uji pH merupakan salah satu dari serangkaian uji evaluasi suspensi.
Uji pH bertujuan untuk mengetahui nilai pH dari sediaan suspensi yang
telah dibuat menggunakan alat pH meter digital. Menurut literatur Aremu,
et al, (2015), uji pH suspensi dilakukan dengan menggunakan pH meter
digital. Alat yang digunakan pada pengujian ini adalah gelas beker, pH
meter digital, lap kain, dan alat tulis, sedangkan bahan yang digunakan
adalah suspensi yang telah dibuat dan alkohol.
Langkah pertama yang dilakukan pada uji pH adalah dihidupkan alat
dan diklik tombol “ON”. Lalu, suspensi yang akan diuji dikocok terlebih
dahulu dengan tujuan agar partikel-partikel zat aktif padat dalam sediaan
suspensi yang tidak larut dapat terdispersi kembali. Hal ini sesuai dengan
literatur menurut Lachman, et al, (1994), bahwa pengocokan dilakukan
untuk mendispersikan kembali zat padat sediaan suspensi yang telah
mengendap. Suspensi kemudian dimasukkan ke dalam gelas beker.
Langkah selanjutnya adalah dibuka penutup pH meter dan dibersihkan alat
dengan menyemprotkan alkohol terlebih dahulu. Alat juga perlu
dikeringkan dengan dilap menggunakan tisu kering. Setelah dibersihkan,
alat pH meter dimasukkan ke dalam gelas beker yang telah berisi suspensi
dan ditekan tombol “Read” pada monitor sehingga alat akan memulai
pengukuran pH sediaan. Kemudian, ditunggu sampai muncul simbol akar
A pada monitor dan dicatat pH yang tertera pada layar. Hal ini sesuai
dengan dengan literatur menurut Aremu, et al, (2015), bahwa pH suspensi
ditentukan menggunakan pH meter yang telah dikalibrasi terlebih dahulu,
kemudian elektroda dari pH meter dicelupkan ke dalam suspensi dan
dibiarkan sejenak hingga nilai pH keluar pada layar. Setelah selesai, pH
meter dibersihkan kembali dengan menyemprotkan alkohol kembali dan
dikeringkan dengan tisu kering. Pada akhirnya, alat pH meter ditutup
kembali dan dimatikan dengan mengklik tombol ON.
pH suspensi yang dihasilkan dari formula I, formula II, formula III,
formula IV, dan formula V secara berurutan adalah 7,31; 7,32; 7,33; 7,18;
dan 7,26. Menurut Rowe (2006), pH terbaik dari sediaan obat adalah pH
yang netral (pH 7). pH 7 dari sediaan obat akan mengurangi potensi adanya
iritasi pada saluran pencernaan karena sifatnya yang netral. Oleh karena
itu, formula suspensi yang menunjukkan pH terbaik adalah formula
suspensi IV karena paling mendekati pH 7.
5.3 Uji Sedimentasi
Uji sedimentasi adalah salah satu uji kestabilan fisik suatu sediaan
suspensi dengan menilai tinggi sedimen yang timbul ketika suatu sediaan
suspensi didiamkan dalam jangka waktu tertentu. Menurut Wahyuni, et al,
(2017), tujuan dilakukannya uji volume sedimentasi ini adalah untuk
mengetahui rasio pengendapan yang terjadi selama penyimpanan dalam
waktu tertentu.
Langkah kerja pertama yang harus dilakukan adalah diletakkan
kertas milimeter blok di belakang tabung reaksi pada rak tabung untuk
dapat mengukur batas sedimen yang muncul. Kemudian, suspensi dikocok
dan diukur sebanyak 10 mL dengan menggunakan gelas ukur dan
kemudian dituangkan ke dalam tabung reaksi yang sebelumnya telah
terdapat kertas milimeter blok. Langkah selanjutnya adalah menandai
tinggi volume awal sediaan suspensi. Suspensi kemudian dibiarkan,
diamati, dan diberi tanda batas volume sedimentasi setelah 15 menit, 30
menit, 60 menit, dan satu hari (24 jam), kemudian dihitung volumenya.
Hal tersebut sesuai dengan literatur Anief (2010), bahwa cara kerja uji
sedimentasi suspensi dilakukan dengan dimasukkan sediaan suspensi
kedalam gelas ukur bervolume 10 mL dan dicatat volume awalnya.
Kemudian, suspensi dibiarkan tersimpan tanpa gangguan, dan disimpan
hingga batas waktu tertentu. Setelah disimpan, dicatat volume volume
akhir (Vu) dari suspensi. Rentang waktu 15 menit, 30 menit, 60 menit, dan
24 jam tidak menjadi acuan dalam setiap uji sedimentasi. Namun, dengan
adanya penandaan di setiap selang waktu tersebut maka dapat diketahui
seberapa besar perubahan volume yang terjadi terhadap volume awal
suspensi.
Hasil uji sedimentasi akan menghasilkan volume akhir pada akhir.
Pada Formulasi I didapatkan volume akhir setelah didiamkan selama 15
menit; 30 menit; 1 jam; 24 jam secara berurutan adalah 0,3 cm; 0,5 cm;
0,6 cm; 0,7 cm, Formulasi II didapatkan volume akhir setelah didiamkan
selama 15 menit; 30 menit; 1 jam; 24 jam secara berurutan adalah 0,4 cm;
0,7 cm; 0,7 cm; 1 cm, Formulasi III didapatkan Volume akhir setelah
didiamkan selama 15 menit; 30 menit; 1 jam; 24 jam secara berurutan
adalah 0,4 cm; 0,6 cm; 0,7 cm; 0,8 cm. Formulasi IV didapatkan Volume
akhir setelah didiamkan selama 15 menit; 30 menit; 1 jam; 24 jam secara
berurutan adalah 0,7 cm; 0,8 cm; 0,9 cm; 1 cm. Formulasi V didapatkan
Volume akhir setelah didiamkan selama 15 menit; 30 menit; 1 jam; 24 jam
secara berurutan adalah 0,3 cm; 0,4 cm; 0,5 cm; 0,5 cm.
Menurut Martin (2008), parameter hasil uji sedimentasi (F)
didapatkan dari volume awal suspensi dibagi dengan volume akhir
suspensi. Hasil nilai F pada uji sedimentasi suspensi diambil dari data
pengujian setelah 24 jam. Pada formula I didapatkan nilai F yaitu 0,094.
Pada formula II didapatkan nilai F yaitu 0,125. Pada formula III
didapatkan nilai F yaitu 0,11. Pada formula IV didapatkan nilai F yaitu
0,13. Pada formula V didapatkan nilai F yaitu 0,0625. Dari kelima formula,
formula yang terbaik adalah formula IV (nilai F sebesar 0,13) karena
paling mendekati nilai terbaik dari F. Menurut Wahyuni, et al, (2017), uji
sedimentasi akan menghasilkan suspensi yang baik apabila harga F
mendekati atau sama dengan satu. Perbedaan nilai F pada masing-masing
formulasi disebabkan oleh penggunaan CMC Na sebagai suspending agent
dengan jumlah yang berbeda. Hal ini berdasarkan pendapat Rowe (2006),
penggunaan suspending agent yang lebih tinggi akan menyebabkan
perlambatan endapan pada sediaan suspensi.

VI. KESIMPULAN
Sediaan suspensi kloramfenikol 60 mL dibuat menggunakan metode
dispersi basah yaitu dengan membuat mucilago kemudian ditambahkan bahan
aktif dan eksipien lainnya. Evaluasi sediaan suspensi yang dilakukan meliputi
uji organoleptis, uji sedimentasi, dan uji pH. Berdasarkan uji organoleptis
semua sediaan suspensi kloramfenikol yang telah diformulasi berbentuk cair,
memiliki bau jeruk, dan berwarna putih kekuningan. Dari hasil uji pH dan uji
sedimentasi, formula suspensi terbaik adalah formula IV, dimana formula IV
menunjukkan pH sebesar 7,18 dan nilai F sedimentasi 0,13.
DAFTAR PUSTAKA

Anief, Moh. 2007. Ilmu Meracik Obat Teori dan Praktek. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Anief, Moh. 2010. Penggolongan Obat 10th Edition. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Ansel, H. C. 1995. Pharmaceutical Dosage Forms and Drug Delivery Systems,
Sixth Edition. London: Williams & Wilkins.
Aremu, O. I., & Oduyela, O. O. 2015. Evaluation of Metronidazole suspensions.
African Journal of Pharmacy and Pharmacology. 9(12): 439-450.
Aulton, M. E. 2002. Pharmaceutics The Science of Dosage Form Design Second
Edition. British: ELBS Fonded by British Government.
Banakar, U. V. 1991. Pharmaceutical Dissolution Testing. New York: Marcel
Dekker Inc.
Buck, D. F. 2002. Pharmaceutical Sciences. New York: Inc Lancester Basel.
David, B. T. 2005. Remington: The Science and Practise of Pharmacy.
Philadelphia: Lippincot William.
Departemen Kesehatan RI. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik.
Departemen Kesehatan RI. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik.
Departemen Kesehatan RI. 2014. Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta:
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Fatmasari, Q. W. 2018. Optimasi Tween dan PEG dalam Nanoemulsi Minyak Biji
Ketumbar (Coriandum sativum L) Sebagai Antioksidan. Skripsi. Jember:
Universitas Jember.
Foust, A. S. 1980. Principle of Unit Operation. New York: Wiley and Sons.
Gunasekaran, G. H. 2015. The Suspension’s Stability. USA: Pharmaceutical Press
Of Scientific and Research Publications.
Gunawan, S. G., Setiabudy, R., Nafrialdi., dan Elysabeth. 2007. Farmakologi dan
Terapi Edisi 5. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Goodman & Gilman’s. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th Edition.
Italia: Pharmaceutical Press.
Harkness, R. 2010. Interaksi Obat. Bandung: ITB Press.
Jain, G., Khar, R. K., dan Ahmad, F. J. 2011. Theory and Practice of Physical
Pharmacy. London: Elsevier.
Kamal, N. 2010. Pengaruh Bahan Aditif CMC (Carboxymethyl Cellulose)
Terhadap Beberapa Parameter pada Larutan Sukrosa. Jurnal Teknologi.
1(17): 78-84.
Keenan. 1991. Ilmu Kimia Universitas Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.
Lachman, L., Lieberman, H. A., & Kanig, J. L. 1994. Teori Dan Praktek Farmasi
Industri I (Edisi 3). Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Martin, A., Swarbrick, J. & Cammarata, A. 2008. Farmasi Fisik Edisi Ketiga.
Jakarta: Penerbit UI Press.
Nash, A. R. 1996. Pharmaceutical Suspension. New York: Banker Inc.
Parrott, E. L. 1971. Pharmaceutical Technology Fundamental Pharmaceutics, 3th.
Minneapolis: Burgess Publishing Company.
Popa, L., & Ghica, M. V. 2011. Ibuprofen Pediatric Suspension Design And
Optimized By Response Surface. Journal of Physical and Colloidal
Chemistry. 59(4): 500-506.
Rowe, R. 2006. Handbook of Pharmaceutical Excipients, 5th ed. London:
Pharmaceutical Press and American Pharmacists Association.
Sana, S. 2012. Formulation and evaluation of taste masked oral suspension of
Dextromethorphan hydrobromide. International Journal of Drug
Development and Research. 4(2): 159-172.
Silakhudin, A dan Fatmawati, D. 2015. Efektifitas Larutan Alkohol Yang Berulang
Kali Dipakai Dalam Daya Hambat Bakteri Streptococcus Mutans. Jurnal
Riset Kesehatan. 4(3): 807-812.
Syamsuni. 2006. Farmasetika Dasar Dan Hitungan Farmasi. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Tjay, T. H. 2007. Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek
Sampingnya, Edisi Keenam. Jakarta: PT Elex Media.
Wahyuni, R., Syofyan., dan Septa, Y. 2017. Formulasi dan Evaluasi Stabilitas Fisik
Suspensi Ibuprofen Menggunakan Kombinasi Polimer Serbuk Gom Arab dan
Natrium Karboksimetilselulosa. Jurnal Farmasi Higea. 9(1): 56-67.
LAMPIRAN

Rumus perhitungan volume sedimentasi:


𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜

1. Formula I
a. Volume sedimentasi selama 15 menit
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0,3
=
7,4
= 0,04
b. Volume sedimentasi selama 30 menit
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0,5
=
7,4
= 0,07
c. Volume sedimentasi selama 1 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0,6
=
7,4
= 0,08
d. Volume sedimentasi selama 24 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0,7
=
7,4
= 0,09

2. Formula II
a. Volume sedimentasi selama 15 menit
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0,4
=
8
= 0,05
b. Volume sedimentasi selama 30 menit
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0,7
=
8
= 0,0875
c. Volume sedimentasi selama 1 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0,7
=
8
=0,0875
d. Volume sedimentasi selama 24 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
1
=
8
= 0,125

3. Formula III
a. Volume sedimentasi selama 15 menit
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0,4
=
7,1
= 0,06
b. Volume sedimentasi selama 30 menit
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0,6
=
7,1
= 0,08
c. Volume sedimentasi selama 1 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0,7
=
7,1
=0,1
d. Volume sedimentasi selama 24 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0,8
=
7,1
=0,11

4. Formula IV
a. Volume sedimentasi selama 15 menit
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0,7
=
7,8
= 0,09
b. Volume sedimentasi selama 30 menit
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0,8
=
7,8
= 0,1
c. Volume sedimentasi selama 1 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0,9
=
7,8
= 0,12
d. Volume sedimentasi selama 24 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
1
=
7,8
=0,13

5. Formula V
a. Volume sedimentasi selama 15 menit
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0,3
=
8
= 0,04
b. Volume sedimentasi selama 30 menit
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0,4
=
8
= 0,05
c. Volume sedimentasi selama 1 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0,5
=
8
=0,0625
d. Volume sedimentasi selama 24 jam
𝑉𝑢
𝐹=
𝑉𝑜
0,5
=
8
= 0,0625

Anda mungkin juga menyukai