Anda di halaman 1dari 14

DOI: https://doi.org/10.35905/al-maiyyah.v15i1.

765

AL-MAIYYAH
Media Transformasi Gender dalam Paradigma Sosial Keagamaan
ISSN 1979-245X (print) VOLUME 15 NO. 1 JUNI 2022
ISSN 2548-9887 (online) Page 16-29

Andi Depu and Women’s Leadership in the Colonial Era: A Study of


Feminism
Miftahul Jannah
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
miftahuljannah198@gmail.com

Abstract: This research departs from the problem of the existence of stereotypes against women who have
intellectual qualities below men, because emotional feelings dominate in women. This has implications for
the view that women are unfit to lead and ideal women are those who work in the kitchen, but such
stereotypes actually lead to various discriminations against women. In this article, we will present the
figure of Andi Depu as a female leader in Balanipa, who fought against the invaders. The methodology used
in this study, namely the type of research: Library Research or literature study, nature of the research:
qualitative, research method: descriptive analysis and using a feminist approach. The results in this study,
namely: Andi Depu's leadership is a form of anti-thesis to the perception of society that views women as
weak creatures, so they cannot be used as leaders. In addition, Andi Depu's leadership is also a form of anti-
thesis to the misogynistic view which states that women only play a role in the domestic sphere and do not
have a social role.
Keywords: Andi Depu, Feminism, Women's Leadership

Abstrak: Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya stereotip terhadap perempuan yang
dianggap memiliki kualitas akal di bawah laki-laki karena perasaan emosional perempuan lebih
mendominasi. Hal tersebut berimplikasi pada adanya pandangan ketidakpantasan perempuan
untuk memimpin dan perempuan hanya dianggap ideal jika mereka bekerja di dapur. Stereotip
tersebut menimbulkan beragam diskriminasi terhadap perempuan. Artikel ini bertujuan untuk
mengkaji kepemimpinan Andi Depu dari sudut pandang feminisme yang mencoba
memperlihatkan sosok perempuan sebagai fakta historis yang memimpin sebuah kerajaan dan
sebagai bentuk antitesis terhadap pandangan diskriminatif terhadap perempuan. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah studi pustaka dengan menggunakan pendekatan kajian
feminisme. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepemimpinan Andi Depu merupakan bentuk
antitesis terhadap persepsi masyarakat yang memandang perempuan sebagai makhluk yang
lemah, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai pemimpin. Selain itu, kepemimpinan Andi Depu
menjadi bentuk antitesis terhadap pandangan misoginis yang menyatakan bahwa perempuan
hanya berperan dalam ranah domestik dan tidak memiliki peran sosial.
Kata Kunci: Andi Depu, Feminisme, Kepemimpinan Perempuan

PENDAHULUAN
Feminisme merupakan sebuah ideologi pembebasan atas perempuan (Izziyana,
2017) gerakan feminisme berupaya untuk melakukan advokasi terhadap perempuan
dalam menyuarakan kesetaraan dan keadilan gender, mengingat perempuan selalu
mengalami diskriminasi akibat konstruksi masyarakat terhadap pembedaan peran laki-
laki dan perempuan (Hidayati, 2019). Salah satu bentuk diskriminasi yang kerap
dialami oleh perempuan yaitu perempuan merupakan manusia kelas dua yang

16
DOI: https://doi.org/10.35905/al-maiyyah.v15i1.765

memiliki kualitas akal di bawah laki-laki, karena perempuan adalah manusia yang tidak
rasional; lebih mengedepankan sisi emosional (Syafe’i, 2015).
Pandangan tersebut menjadi sebuah problem dalam kajian gender karena
menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan, yaitu adanya subordinasi atau
penomorduaan terhadap perempuan, salah satunya perempuan tidak dibenarkan untuk
menjadi pemimpin (Rahim, 2016). Pandangan demikian juga terdapat dalam Islam,
yang menjadikan Qs. An-Nisā ayat 34 sebagai dalil bahwa perempuan tidak dapat
menjadi pemimpin baik dalam domestik maupun ruang publik (Muhammad, 2019),
sebagaimana yang dilakukan Al-Mawdudi seorang pemikir Islam, sekaligus pemimpin
Jama’ati Islami, yang mensyaratkan laki-laki untuk menjabat sebagai kepala negara.
Selain berlandaskan pada Qs. An-Nisā ayat 34, ia berpandangan bahwa menjadi
pemimpin akan memberikan potensi kepada perempuan untuk bergaul dengan laki-
laki, yang dalam Islam hukumnya dilarang (Muhammad, 2019). Pandangan Al-
Mawdudi tersebut memperlihatkan pembagian kelas terhadap perempuan secara
transparan bahwa perempuan harus mengalah dari persoalan sosial dan memberikan
kuasa kepada laki-laki untuk menguasai panggung sosial.
Adanya penolakan terhadap perempuan untuk menjadi seorang pemimpin,
menunjukkan terjadinya dominasi yang kuat dalam konstruksi masyarakat yang
diperankan oleh laki-laki. Fatalnya lagi, perempuan turut memainkan perannya dalam
melanggengkan dominasi tersebut. Namun, terlepas dari persoalan tidak
dibolehkannya perempuan menjadi pemimpin, fakta sosial memperlihatkan beberapa
figur perempuan mampu memainkan peran sebagai pemimpin. Sebagaimana dalam
Islam yang juga mengamini kisah kepemimpinan Ratu Bilqis sebagai penguasa negeri
Saba. Ratu Bilqis mampu menjadikan negeri Saba menjadi negeri yang aman sentosa,
dengan sistem demokrasi yang diterapkan, sehingga kepemimpinannya dikenal sukses
gemilang (Wijaya, 2020).
Pandangan atas ketidakrasionalan seorang perempuan telah mengakar dalam
kehidupan masyarakat. Banyaknya institusi yang mendominasi dalam kehidupan
manusia melanggengkan anggapan tersebut, sehingga terkadang banyak yang
menafikan keberadaan perempuan-perempuan untuk mampu memperlihatkan
manifestasi sebagai manusia yang memiliki potensi akal. Atas dasar ini, artikel ini
menghadirkan salah satu sosok perempuan pemimpin, Andi Depu sebagai pemimpin
perempuan dari Tanah Mandar Sulawesi Barat, yang telah dinobatkan oleh Presiden

17
DOI: https://doi.org/10.35905/al-maiyyah.v15i1.765

Joko Widodo sebagai pahlawan Nasional yang berdasarkan Keputusan Presiden


Nomor; 123/TK/2018 tanggal 6 November 2018 (Nurhadi, 2018).
Andi Depu adalah perempuan yang berasal dari keturunan Arajang Balanipa,
seorang perempuan yang hadir di tengah-tengah budaya yang masih menganut budaya
patriarki. Andi Depu sejak dini hanya bisa mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat
selama tiga tahun, bahkan tidak sempat selesai karena kondisi budaya saat itu anak laki-
laki yang lebih diprioritaskan (Munir, 2018). Oleh karena itu, artikel ini mengangkat
kisah Andi Depu dipandang dari sudut kepemimpinan. Selain itu, mengingat Andi
Depu merupakan perempuan yang berasal dari salah satu daerah serta suku yang
kurang dikenal di nusantara, sehingga penting untuk memperkenalkan bahwa terdapat
sosok perempuan yang pernah berjuang untuk mempertahankan Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) melawan penjajah.
Penelitian tentang sosok Andi Depu sebagai salah satu pahlawan nasional masih
terbilang sedikit. Penelitian tentang Andi Depu dilakukan oleh Muh. Darwis Tahir,
dengan judul “Perjuangan Andi Depu dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia di
Mandar 1945-1950”. Penelitian tersebut mencoba untuk mengkaji sejarah Andi Depu
dengan menggunakan pendekatan politik, pendekatan sosiologi dan pendekatan
antropologi (Tahir, 2017). Penelitian lain ditulis oleh Nur Padilah dan Anny Wahyuni
dengan judul “Karakter Religius dan Keberanian dari Kepemimpinan Tokoh Andi Depu dalam
Memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia”. Penelitian ini, memiliki kesamaan dengan
penelitian sebelumnya yang melakukan sebuah kajian kritis terhadap data-data yang
dijadikan rujukan dalam penelitian, tetapi penelitian ini fokus terhadap karakter religius
dan keberanian Andi Depu (Nurpadilah & Wahyuni, 2021).
Penelitian yang dilakukan oleh penulis berbeda dari kedua penelitian tersebut,
karena dalam tulisan ini penulis mengkaji kepemimpinan Andi Depu dari sudut
pandang feminisme yang mencoba memperlihatkan sosok Andi Depu sebagai fakta
historis yang memimpin sebuah kerajaan dan sebagai bentuk antitesis terhadap
pandangan seksis pada perempuan yang dikatakan tidak mampu untuk menjadi
seorang pemimpin karena memiliki potensi akal di bawah laki-laki.

METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian dalam
bentuk studi kepustakaan (Zed, 2008). Riset Pustaka dilakukan dengan mengumpulkan
buku-buku yang berkaitan dengan Andi Depu, serta buku-buku yang membahas

18
DOI: https://doi.org/10.35905/al-maiyyah.v15i1.765

tentang kepemimpinan dan kajian feminisme sebagai bahan analisis. Penelitian ini
bersifat kualitatif, data yang diperoleh melalui metode pengamatan dan dilakukan
penalaran atas dokumen tersebut, untuk kemudian disajikan dalam bentuk kata-kata
(Gunawan, 2013). Sebagaimana yang dilakukan dalam penelitian ini, peneliti
melakukan penalaran atas dokumen yang ada, kemudian mengambil makna dari kisah
Andi Depu melalui kacamata feminisme berdasarkan data yang ada.
Dalam penelitian ini, penulis tidak hanya melakukan pendeskripsian, tetapi
penulis melakukan elaborasi dengan sumber-sumber yang lain. Penulis menuturkan
dan menyelesaikan masalah yang ada berdasarkan data-data yang bersifat deskriptif,
kemudian menganalisis dan menginterpretasikan (Zed, 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN


Andi Depu merupakan anak dari La’ju Kanna Doro Arajang (Raja) Balanipa ke
50. Ayah Andi Depu memiliki beberapa istri, sementara ibu Andi Depu yang bernama
Samaturu merupakan istri ketiga yang berasal dari bangsawan Mamuju berdarah
Balanipa dari Arajang Balanipa ke 36. Samaturu dikaruniai 4 putra dan 1 putri, yaitu H.
Abd. Madjid, H. Abdul Razak, H. Hafied, Hj. Andi Depu yang dulunya bernama
Sugiranna Andi Sura dan Andi Mania, yang terakhir H. Abdul Malik Pattana Endeng
(Munir, 2018).
Andi Depu menikah pada usia 15 tahun dengan Andi Baso Pawiseang (Arajang
Balanipa ke 51), anak dari Pammase atau Pallabuang, keturunan Arajang Balanipa yang
ke 46. Keduanya dikaruniai satu anak bernama Bau Parenrengi Depu. Andi Depu
merupakan Arajang Balanipa yang ke 52 setelah suaminya. Dalam dirinya mengalir
empat darah bangsawan, yaitu Mandar, Gowa, Jawa, dan Bali. Ada dua versi mengenai
kelahirannya, ada yang mengatakan bulan Agustus 1907 dengan tanggal yang tidak
diketahui, dan ada yang mengatakan tanggal 19 September 1907. Ia lahir di Tinambung,
Kabupaten Polewali Mandar (Munir, 2018).
Pendidikan Sekolah Dasar yang ditempuh oleh Andi Depu bukanlah sesuatu
yang umum, apalagi Andi Depu adalah seorang perempuan dan anak dari Arajang,
pada waktu itu perempuan tidak lazim jika bersekolah, karena anak laki-laki yang lebih
diprioritaskan. Akhirnya, Andi Depu lebih banyak di rumah. Orang tuanya khawatir
dengan kondisi yang mengancam anak gadis dalam masa kolonial Belanda. Meskipun
ia terkurung dalam rumah, orang tuanya tetap mengajarkan persoalan ilmu agama,
seperti mengajarkan membaca Al-Qur’an (Munir, 2018).

19
DOI: https://doi.org/10.35905/al-maiyyah.v15i1.765

Andi Depu semasa kecil dikenal memiliki karakter seperti laki-laki, ia memiliki
hobi memanjat pohon, menunggang kuda, membuat mainan dan aksesoris, serta
terbiasa manette atau menenun sarung sutra yang disebut Lipasa’be Mandar (Sarung
Mandar). Andi Depu juga dikenal ramah, ia tak membeda-bedakan seseorang dalam
bergaul, baik dalam kalangan bangsawan maupun rakyat biasa. Ia juga tidak memadang
jenis kelamin, ia berteman baik dengan laki-laki maupun perempuan. Interaksi dengan
berbagai lapisan masyarakat membuat Andi Depu selalu keluar masuk istana secara
diam-diam untuk sekadar mengunjungi keluarga serta teman-temannya (Munir, 2018).
Andi Depu aktif dalam organisasi masyarakat yang berbasis Islam. Hal tersebut
memberikan pengaruh dalam diri Andi Depu sehingga lahir kepekaan terhadap
lingkungan sosial, ditambah lagi dengan kehidupannya yang tinggal di lingkungan
kerajaan, serta lingkungan dengan berbagai problem sosial politik di masa penjajahan
Belanda, yang pada waktu itu memberikan instruksi pelarangan berdirinya organisasi
yang berafiliasi pada persoalan politik (Munir, 2018).
Pada tahun 1927, ayah Andi Depu bersama istrinya menunaikan ibadah haji.
Pada waktu itu, perjalanan haji memakan waktu selama berbulan-bulan. Karena jabatan
Maradia/kerajaan tidak boleh dibiarkan kosong, akhirnya dengan persetujuan
pemerintah Hindia Belanda di Mandar, maka disetujuilah suami Andi Depu sebagai
pemimpin, sampai Ayah Andi Depu kembali. Penunjukan tersebut tidak lepas dari
Asisten Residen Belanda yang berkedudukan di Majene, mereka melihat suami Andi
Depu lebih mudah dirangkul dan menunjukkan kerja sama yang baik.
Ayah Andi Depu ternyata meninggal dunia ketika berada di Jeddah. Akhirnya,
kedudukan ayahnya sebagai Arajang Balanipa dilanjutkan oleh suami Andi Depu.
Karena penunjukkan tidak diselenggarakan secara resmi, dan suami Andi Depu hanya
berkedudukan sebagai pengganti raja sementara, akhirnya Asisten Residen dan Dewan
Kerajaan Balanipa melakukan konsultasi untuk melakukan pemilihan Arajang Balanipa
sebagai pengganti Ayah Andi Depu. Ada dua syarat dari pemilihan tersebut, yaitu
sudah menikah dan mengetahui adat dengan baik.
Ada tiga kandidat yang merupakan anak kandung dari Arajang ke 50 I Lajju
Kanna I Doro Tomate di Judda, Andi Depu termasuk dalam kandidat tersebut. Karena
sebelumnya tidak ada perempuan yang menjabat sebagai Arajang, akhirnya prioritas
diberikan kepada anak laki-laki, yaitu Andi Muhammad dan Abdul Malik. Akan tetapi,
keduanya menolak, Andi Muhammad menolak dengan alasan sedang menjabat sebagai

20
DOI: https://doi.org/10.35905/al-maiyyah.v15i1.765

Maradia Tomadio Campalagian, sementara Abdul Malik menolak dengan alasan tidak
sanggup untuk memegang jabatan Arajang (Munir, 2018).
Dewan Adat pun bertanya kepada Andi Depu atas ketersediaannya menjadi
Arajang Balanipa. Andi Depu dengan suara tegas menerima jabatan tersebut. Tidak ada
yang tahu alasan Andi Depu menerima jabatan sebagai Arajang dengan tegas, yang
pada saat itu kekuasaan sementara dipegang oleh suaminya; Apakah karena ia
mengetahui bahwa suaminya memiliki kedekatan dengan kolonial Belanda dan selalu
meremehkan kemampuan pribumi? Pemerintah Hindia Belanda menolak untuk
menerima wanita menjadi raja atau maradia. Belanda menolak perempuan sebagai
penguasa, karena berpengalaman sering dipersulit oleh kehadiran perempuan dalam
struktur pemerintahan. Dewan adat Balanipa juga tidak dapat mengubah dan
membatalkan keputusan, sebagaimana arahan raja pertama Kerajaan Balanipa, I
Manyambungi Todilaling bahwa setiap putusan Dewan Adat harus dijalankan.
Pada tahun 1942 tentara Jepang masuk ke wilayah Mandar, keadaan politik
masyarakat sangat berubah, berbagai aturan pelarangan telah dikeluarkan oleh tentara
Jepang, Andi Depu kemudian memulai perjuangan dengan memberikan semangat
terhadap rakyatnya. Semangat itu terlihat dengan kerelaannya untuk meninggalkan
suami dan istananya. Kemudian, ia berpindah bersama anaknya ke rumah orang tuanya
dan menjadikan rumah tersebut menjadi markas.
Pada tahun 1944 Andi Depu mendirikan organisasi bernama Fujinkai (Gerakan
Wanita Mandar). Melalui organisasi ini Andi Depu melakukan perjuangan, yang
kemudian dikenal sebagai organisasi perkumpulan di wilayah Pitu ulunna salu, piyu
ba’bana binanga (Sulawesi Barat). Organisasi ini merupakan organisasi yang dibawahi
oleh tentara Jepang yang sengaja dibentuk untuk merangkul kaum perempuan,
hebatnya Andi Depu justru mengambil kesempatan ini untuk dekat rakyat, agar tidak
mudah dipengaruhi oleh Jepang.
Kemudian, pada tahun 1945 rakyat Mandar dengan semangat nasionalismenya
membentuk organisasi kelaskaran di Balanipa yang disebut Kris Muda (Kebangkitan
Rahasia Islam Muda). Ririn Amin Daud dan A.R. Tamma merupakan dua tokoh yang
merintis organisasi tersebut. Mereka kemudian memilih Andi Depu sebagai pemimpin,
karena melihat Andi Depu memiliki semangat yang kuat melawan penjajah serta
memiliki pengaruh yang kuat terhadap rakyat (Munir, 2018). Dengan organisasi Kris
Muda inilah Andi Depu melakukan perlawanan terhadap penjajah. Kris Muda ini

21
DOI: https://doi.org/10.35905/al-maiyyah.v15i1.765

semakin berkembang dan meluas ke daerah di luar Mandar, seperti Makassar, Bantaeng,
Sinjai, Bone, Pinrang, dan Bulukumba.
Munculnya nama Andi Depu sebagai panglima Kris Muda membuat masyarakat
simpatik untuk bergabung dalam organisasi tersebut, bahkan para ulama dengan
sukarela mendukung organisasi tersebut, seperti K.H. Muhammad Tahir, K.H. Ahmad
Alwy, K.H. Muhammad Saleh, K.H. Jalaluddin, K.H. Abd. Jalil, K.H. Muhsin Tahir, K.H.
Najmuddin, K.H. Mahmud, dan lain-lain.
Perlawanan yang kerap dilakukan oleh Andi Depu untuk melawan penjajah dan
tekad yang kuat untuk memasukkan wilayah Mandar sebagai bagian dari NKRI
membuatnya menjadi incaran kolonial, sehingga Andi Depu pernah ditangkap oleh
tentara. Ia dipenjara selama tiga tahun. Hidup selama tiga tahun di penjara bukanlah
waktu yang pendek, tetapi hal tersebut tidak membuat semangat Andi Depu surut. Jiwa
nasionalismenya tetap mengalir dalam tubuhnya, yang diturunkan dari leluhurnya
yang juga menentang keras penjajah.
Andi Depu dalam menjalankan kepemimpinannya memiliki karakteristik yang
berbeda dengan pemimpin lain. Andi Depu mampu mengemban amanah sebagai
pemimpin meskipun ia adalah seorang perempuan.
Andi Depu adalah perempuan yang pemberani. Dalam kisahnya, ia hampir
ditebas oleh tentara NICA (Nederlands Indie Civil Administration) bersama tiang
bendera, karena ia menolak untuk menurunkan bendera merah putih yang berkibar di
halaman rumahnya. Ia kemudian berteriak “Allahu Akbar. Hei, kau anjing Belanda,
kalau kau berani tebaslah tiang ini bersama dengan tubuhku” Andi Depu menentang
tentara NICA, yang kemudian teriakannya didengar oleh masyarakat. Seketika para
warga pun ikut meneriakkan takbir yang membuat tentara urung untuk menebas tiang
bendera tersebut.
Andi Depu dikenal sebagai pemimpin yang mampu memberikan pengaruh
terhadap masyarakat. Hal tersebut ditandai dengan dipilihnya Andi Depu sebagai
panglima Kris Muda, terbukti dengan peningkatan anggota Kris Muda dalam jangka
waktu yang singkat. Para bangsawan serta para ulama pun ikut menggabungkan diri
dalam kelompok yang dipimpin oleh Andi Depu.
Andi Depu dikatakan sebagai pemimpin yang idealis, karena ia mampu
mempertahankan keyakinannya untuk tetap berjuang melawan penjajah dan berjuang
untuk kemerdekaan, serta rela untuk berpisah dengan suami yang dinilai memiliki

22
DOI: https://doi.org/10.35905/al-maiyyah.v15i1.765

kedekatan dengan kolonial (selalu menganggap pribumi sebagai makhluk yang lemah)
pandangan demikian tidak disepakati oleh Andi Depu. Andi Depu tidak
mengedepankan perasaan cintanya kepada suami, tetapi lebih memilih kepentingan
masyarakat Mandar.
Terdapat tiga bentuk gaya kepemimpinan berdasarkan pandangan Situmorang
(Rosintan, 2014) Pertama, Gaya kepemimpinan maskulin yaitu gaya kepemimpinan yang
bernuasa power over yaitu mengedepankan dan menonjolkan kekuasaan untuk
memimpin. Terdapat dua dimensi yang menonjol dalam kepemimpinan maskulin,
yaitu: (1) ketegasan (Assertive) yang memiliki keyakinan atas kualitas diri atau
kemampuan diri sendiri serta percaya diri tanpa harus bersikap agresif; (2) orientasi
pada tugas (Task Oriented) kefokusan untuk mencari langkah-langkah serta kebijakan
dalam mencapai tujuan tertentu.
Kedua, gaya kepemimpinan feminism berpandangan bahwa seorang pemimpin
memiliki proses tertentu dalam menjalankan tugasnya, seperti; sebagai pengurus untuk
orang lain dan sebagai penanggung jawab. Dalam hal ini, gaya kepemimpinan feminim
memiliki empat unsur, yaitu: (1) charismatic atau value based: seorang pemimpin yang
harus memiliki kemampuan untuk melihat arah kedepan atau disebut visioner, menjadi
sosok pemimpin yang percaya diri, memiliki motivasi yang kuat dan antusias; (2) team
oriented: pemimpin adalah pribadi yang berorientasi pada kelompok, kolaboratif, serta
loyal, ia komunikatif dan mampu melakukan koordinasi terhadap tim. Dalam hal ini,
secara alamiah seorang pemimpin perempuan lebih demokratis dan kolaboratif
dibandingkan dengan laki-laki; (3) self protective: gaya kepemimpinan ini menunjukkan
bahwa seorang pemimpin tidak mudah dalam bersosialisasi serta cenderung bersifat
prosedural dan formal. Dalam hal ini, perempuan dinilai lebih banyak berorientasi yang
berdasarkan pada hubungan, dan memiliki tingkat keegoisan yang lebih rendah dalam
suatu kelompok.
Ketiga, gaya kepemimpinan transaksional yaitu seorang pemimpin yang
berfokus pada transaksi interpersonal antara pemimpin dan bawahan, seperti
melibatkan suatu pertukaran kesepakatan klasifikasi sasaran, penugasan kerja,
penghargaan, serta standar kerja. Gaya kepemimpinan transaksional memiliki beberapa
unsur-unsur yaitu: (1) contigent reward: adanya pemberian penghargaan terhadap
karyawan yang bekerja sesuai dengan harapan; (2) active management by exception:
pengawasan terhadap karyawan yang bekerja sesuai dengan harapan, untuk

23
DOI: https://doi.org/10.35905/al-maiyyah.v15i1.765

memastikan apakah karyawan bekerja dengan baik; (3) passive managemen by axception:
Pemimpin tidak melakukan pengawasan secara ketat, tetapi menunggu tugas selesai
dikerjakan oleh bawahan, kemudian pemimpin melakukan kritik, koreksi jika
menemukan kesalahan atas pekerjaan bawahannya.
Berdasarkan analisis penulis, Andi Depu memiliki dua gaya kepemimpinan
yaitu maskulin dan feminis. Adapun gaya kepemimpinan maskulin Andi Depu adalah
ia menjalankan kepemimpinan dengan tegas, ia tidak ingin tunduk terhadap perintah
penjajah, bahkan kepada suaminya, karena mengingat hal tersebut tidak sesuai dengan
visi misi Andi Depu dalam mempertahankan rakyat. Ia melihat adanya kedekatan
suaminya dengan tentara Belanda dan suaminya selalu menganggap enteng
kemampuan masyarakat lokal.
Kemudian, gaya kepemimpinan feminis juga ada dalam diri Andi Depu. Ia
menjadi sosok pemimpin yang percaya diri, ia percaya akan kemampuannya dalam
memimpin bahkan orang-orang di luar dirinya juga turut percaya akan semangat Andi
Depu. Hal tersebut terlihat dari rasa simpatik masyarakat, bahkan para ulama ketika
Andi Depu menjadi panglima Kris Muda, mereka mendukung penuh perjuangan Andi
Depu.
Sejarah telah mencatat kepemimpinan Andi Depu dalam memimpin Kerajaan
Balanipa sebagai raja ke 52, sebuah kerajaan yang terletak di daerah Sulawesi Barat
tepatnya di Kabupaten Polewali Mandar yang penduduknya didominasi suku Mandar.
Mandar merupakan salah etnis yang ada di Indonesia, yang penamaannya tentu
didasari oleh berbagai alasan, sebagaimana yang disebutkan dalam buku Pendekatan
Budaya Mandar karya Ibrahim Abbas menyebutkan beberapa kata yang diperkirakan
sebagai asal usul kata Mandar, (Abbas, 2015). Ibrahim menyebutkan beberapa variasi
definisi penamaan suku Mandar, salah satunya yaitu: kata Mandar diangkat dari bahasa
Ulu Saluq “Mandaq” yang maknanya sama dengan “Makassaq” atau “Masseq” yang
berarti kuat. Manusia Mandar adalah makhluk Tuhan yang mulia, memiliki jiwa yang
kuat, serta semangat yang kuat dalam mengarungi kehidupan. Kekuatan tersebut hadir
karena dalam dirinya terdapat leburan nur kekuatan yang dipancarkan dari Tuhan Yang
Mahakuat.
Pendefinisian terhadap asal-usul penamaan suku Mandar tersebut
memperlihatkan sosok Andi Depu sebagai bentuk manifestasi dari kesukuan Mandar
yang memiliki jiwa yang kuat dalam mengarungi kehidupan. Sebagaimana semangat

24
DOI: https://doi.org/10.35905/al-maiyyah.v15i1.765

yang ditunjukkan oleh Andi Depu sebagai pemimpin perempuan pertama di Kerajaan
Balanipa. Semangat yang digaungkan oleh Andi Depu sebagai pemimpin menunjukkan
ketidaksempitan pemikiran terhadap peran laki-laki dan perempuan. Andi Depu juga
tidak mempersoalkan organ reproduksi yang melekat pada dirinya sebagai perempuan,
sehingga ia berani untuk menjadi seorang pemimpin tanpa harus menafikan kodratnya
menjadi perempuan, yaitu menjadi seorang istri dan ibu untuk anaknya. Meskipun ia
bercerai dengan suaminya bukan karena persoalan gender, tetapi persoalan keyakinan
dan persoalan perjuangan.
Berdasarkan kajian feminisme liberal mengindikasikan Andi Depu sebagai salah
satu sosok pemimpin yang berada pada aliran feminisme liberal. Feminisme liberal
merupakan aliran yang dengan dasar pemikiran semua manusia baik laki-laki maupun
perempuan diciptakan seimbang dan serasi yang semestinya tidak terjadi penindasan
antara satu dengan lainnya. Mereka memandang masih perlu adanya perbedaan antara
laki-laki dan perempuan, akan tetapi membenarkan adanya kerja sama antara laki-laki
dan perempuan. Selain itu, mereka menafikan perubahan struktural secara menyeluruh,
tetapi cukup melibatkan perempuan di dalam berbagai peran, seperti ekonomi, politik,
dll. (Jaya, 2019).
Pembicaraan tentang keadilan dan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan
memang kerap mengalami perdebatan panjang di kalangan masyarakat. Persoalan
tersebut juga menjadi pembahasan yang menarik dalam kajian Islam. Pro dan kontra
terhadap keadilan dan kesetaraan gender dalam Islam menimbulkan konflik yang tidak
berkesudahan, meskipun masing-masing mengutip ayat yang sama, tetapi interpretasi
berbeda.
Terlepas dari pro dan kontra umat Islam terhadap kesetaraan dan keadilan
gender, terdapat suatu pandangan yang menarik mengenai feminisme dalam
pandangan Jaluddin Rahmat bahwa Islam adalah agama yang mendukung gerakan
feminisme. Hal tersebut bukanlah sesuatu yang berlebihan, karena pada dasarnya Islam
menentang segala bentuk penindasan termasuk penindasan terhadap perempuan.
Bahkan Yvonne Yazbeck Haddad menegaskan bahwa Al-Qur’an dalam hal ini Islam
merupakan sumber nilai yang pertama kali menggagas konsep keadilan dan kesetaraan
gender (Suryorini, 2012)
Salah satu ayat Al-Qur’an yang dijadikan sebagai dalil dalam mendukung gerakan
feminisme dalam Islam yaitu QS. Al-Ahzab: 35.

25
DOI: https://doi.org/10.35905/al-maiyyah.v15i1.765

َ‫صبِ ِريْن‬
ّٰ ‫ت َوال‬ ِ ‫صد ِٰق‬
ّٰ ‫ص ِدقِيْنَ َوال‬ ّٰ ‫ت َوال‬ ِ ‫ت َو ْال ٰقنِتِيْنَ َو ْال ٰقنِ ٰت‬
ِ ‫ت َو ْال ُمؤْ مِ نِيْنَ َو ْال ُمؤْ مِ ٰن‬ ِ ٰ‫ا َِّن ْال ُم ْسلِمِ يْنَ َو ْال ُم ْسلِم‬
‫ت َو ْالحٰ فِظِ يْنَ فُ ُر ْو َج ُه ْم‬ ّٰ ۤ ‫ص ۤاىِٕمِ يْنَ َوال‬
ِ ٰ‫ص ِٕىم‬ َّ ‫ت َوال‬ ِ ‫صد ِٰق‬ َ َ‫ص ِدقِيْنَ َو ْال ُمت‬ َ َ‫ت َو ْال ُمت‬ ِ ‫ت َو ْال ٰخ ِش ِعيْنَ َو ْال ٰخ ِش ٰع‬ ِ ‫صبِ ٰر‬ ّٰ ‫َوال‬
َ ‫ّٰللاُ لَ ُه ْم َّم ْغف َِرة ً َّواَجْ ًرا‬
‫عظِ ْي ًما‬ ّٰ َّ‫عد‬ َ َ‫ت ا‬ِ ‫ّٰللا َكثِي ًْرا َّوالذَّاك ِٰر‬ َ ّٰ َ‫ت َوالذَّاك ِِريْن‬ ِ ‫َو ْالحٰ ف ِٰظ‬

“Sungguh, laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan
perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan
perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara
kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah
menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”. (QS. Al-Ahzab: 35).
M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Mishbah mengungkapkan bahwa ayat
tersebut pada dasarnya menekankan pada perempuan. Namun, jika tidak menyebutkan
laki-laki bisa jadi terdapat kesan bahwa perempuan dan laki-laki tidak sama dalam
keberagamaan, sehingga untuk menekankan persamaan tersebut, Allah Swt.
menyebutkan laki-laki dan perempuan untuk mempersamakan perempuan dan laki-
laki dalam segala amal kebaikannya. Atas dasar itu pula ayat tersebut dimulai dari
dengan innaa/ sesungguhnya, sebagai bentuk penekanan atau penegasan (Quraish,
2002).
Feminisme memiliki keterkaitan yang erat dengan konsep gender sebagai alat
analisis feminis dalam mengkritisi konteks sosial (Hasanah & Musyafak, 2017). Dalam
hal ini, berkaitan dengan Andi Depu yang memiliki keputusan untuk meleburkan diri
dalam mewujudkan perubahan sosial dengan mengambil peran sebagai pemimpin
merupakan suatu keputusan yang dinilai berani, mengingat Andi Depu berada di
tengah-tengah penduduk yang patriaki. Sebagaimana yang terjadi dalam kisahnya di
masa kecil yang dinilai juga mengalami diskriminasi, Andi Depu hanya bisa
mengenyam pendidikan di Sekolah Rakyat selama tiga tahun bahkan tidak sempat
selesai. Andi Depu lebih banyak di rumah dan orang tuanya juga khawatir dengan
kondisi yang mengancam anak gadis dalam masa kolonial Belanda. Meskipun ia
terkurung dalam rumah, orang tuanya tetap mengajarkan persoalan ilmu agama, seperti
mengajarkan membaca Al-Qur’an.
Meskipun begitu, Andi Depu tidak sepenuhnya mengalami bias gender atau
terperangkap dalam konstruksi sosial. Andi Depu kecil dikenal memiliki kebiasaan
yang aneh, sebagaimana ia menjadi anak perempuan berdasarkan konstruk masyarakat.
Ia suka memanjat pohon, menunggang kuda. Selain itu, ia gemar membuat mainan dan
aksesoris, serta terbiasa manette atau menenun sarung sutra yang disebut Lipasa’be
Mandar (Sarung Mandar), ia juga tak memadang jenis kelamin, ia berteman baik dengan

26
DOI: https://doi.org/10.35905/al-maiyyah.v15i1.765

laki-laki maupun perempuan. Tindakan yang demikian menunjukkan Andi Depu


memiliki dua karakter dalam dirinya, yaitu feminim dan maskulin. Feminisme sebagai
sebuah gerakan sosial yang membicarakan tentang budaya, atau sebagai bentuk reaksi
kritis terhadap kondisi sosial, khususnya tentang relasi laki-laki dan perempuan.
Feminisme mempertanyakan persoalan maskulinitas yang selalu dilekatkan pada laki-
laki, dan feminitas yang selalu dilekatkan kepada perempuan.
Gerakan ini juga merupakan bentuk kesadaran oleh sekelompok orang yang
melihat adanya ketidakadilan yang dialami perempuan dalam masyarakat, akibat
pandangan yang misoginis terhadap perempuan. Feminisme memang bergerak dalam
mengadvokasi gerakan perempuan, tetapi tidak menutup kemungkinan adanya
perbedaan pandangan dalam gerakan feminisme, terbukti dengan lahirnya beberapa
aliran feminisme, seperti feminisme liberal, feminisme Marxis-Sosial, feminisme radikal
dll. Perbedaan aliran tentu dilandasi oleh epistemologi yang berbeda dalam
memandang gerakan feminisme yang ideal. Terlepas dari perbedaan tersebut, semua
aliran feminisme pada dasarnya berada dalam satu napas untuk mengadvokasi gerakan
pembebasan perempuan dalam ruang-ruang ketidakadilan.
Ketidakadilan atas perempuan dalam kehidupan sosial, misalnya terkait
pemimpin, juga salah satu aspek yang mensubordinasi perempuan, karena
menganggap perempuan tidak layak untuk menjadi pemimpin. Ketidaklayakan
tersebut tentu dilandasi alasan perempuan dianggap hanya berperan dalam wilayah
domestik, yaitu hanya berperan dalam urusan rumah tangga. Selain itu, perempuan
dianggap memiliki kemampuan di bawah laki-laki, baik dalam kekuatan fisik ataupun
intelektual.
Dalam hal ini, kepemimpinan Andi Depu bisa menjadi antitesis terhadap
pandangan yang misoginis atas perempuan, yang dianggap tidak layak untuk menjadi
seorang pemimpin. Kepemipinan Andi Depu bisa menjadi rujukan untuk melihat
kemampuan seorang perempuan dalam memimpin suatu kelompok; ia mampu
memimpin masyarakat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Selain itu, ia menjadi
perempuan terdepan untuk melawan penjajah. Selain memiliki kemampuan untuk
memimpin dengan keberanian yang dimiliki, Andi Depu juga mampu memberikan
pengaruh dalam masyarakat, terbukti dengan dipilihnya Andi Depu sebagai pemimpin
pertama Kris Muda, yang diikuti oleh masyarakat, bahkan para ulama.

27
DOI: https://doi.org/10.35905/al-maiyyah.v15i1.765

Oleh karena itu, gerakan yang dilakukan oleh Andi Depu sebagai Arajang
Balanipa merupakan manifestasi dari gerakan feminisme; melakukan gerakan untuk
mengkritik persepsi masyarakat atas perempuan yang dipandang lemah untuk menjadi
seorang pemimpin. Peran Andi Depu juga menjadi antitesis atas pandangan misoginis
terhadap perempuan yang dipandang hanya berperan dalam ranah domestik, yang
pada nyatanya perempuan pun juga memiliki potensi dalam gerakan sosial.

KESIMPULAN
Kepemimpinan Andi Depu di kerajaan Balanipa menjadi bentuk antitesis
terhadap pandangan misoginis yang menganggap perempuan tidak memiliki
keberdayaan dalam melakukan aksi sosial, karena memiliki kualitas di bawah laki-laki,
baik fisik ataupun intelektual. Pandangan demikian sudah menjadi common sense dalam
masyarakat, sehingga gerakan perempuan menjadi terbatas. Oleh karena itu, sebagai
manusia yang berperadaban, penting untuk menghadirkan berbagai dalil pembuktian
sebagai antitesis terhadap tesis yang selama ini justru menimbulkan kekacauan dalam
kehidupan bermasyarakat.

DAFTAR PUSTAKA
Abbas, I. (2015). Pendekatan Budaya Mandar. Pemkab Majene.
Gunawan, I. (2013). Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik. Bumi Aksara.
Hasanah, U., & Musyafak, N. (2017). GENDER AND POLITICS: Keterlibatan
Perempuan dalam Pembangunan Politik. Sawwa: Jurnal Studi Gender, 12(3), 409–432.
https://doi.org/10.21580/sa.v12i3.2080
Hidayati, N. (2019). Teori Feminisme: Sejarah, Perkembangan dan Relevansinya dengan
Kajian Keislaman Kontemporer. Jurnal Harkat : Media Komunikasi Gender, 14(1), 21–
29.
Izziyana, W. V. (2017). Pendekatan Feminisme dalam Studi Hukum Islam. Istawa : Jurnal
Pendidikan Islam, 2(1), 139–158. https://doi.org/10.24269/ijpi.v2i1.366
Jaya, D. (2019). Gender dan Feminisme: Sebuah Kajian dari Perspektif Ajaran Islam
Gender and Feminism: A Research from the Perspective of Islamic Studies. At-
Tatbiq: Jurnal Ahwal al-Syakhsiyyah (JAS), 4(1), 19–40.
Muhammad, K. H. H. (2019). Fiqh Perempuan. IRCiSoD.
Munir, M. A. T. P. (2018). Jejak-jejak Ibu Agung Andi Depu. Rumpita.
Nurhadi, N. (2018). TRIBUNWIKI: Profil dan Kisah Perjuangan Hj Andi Depu, Pahlawan
Nasional dari Sulbar [Media Massa]. Tribuntimur.Com.
https://makassar.tribunnews.com/amp/2018/11/08/tribunwiki-profil-dan-
kisah-perjuangan-hj-andi-depu-pahlawan-nasional-dari-sulbar?page=2

28
DOI: https://doi.org/10.35905/al-maiyyah.v15i1.765

Nurpadilah, & Wahyuni, A. (2021). Karakter religius Dan keberanian dari


kepemimpinan tokoh Andi Depu dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
JEJAK : Jurnal Pendidikan Sejarah & Sejarah, 1(1), 85–94.
Quraish, M. S. (2002). Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran. Lentera
Hati.
Rahim, A. (2016). Peran Kepemimpinan Perempuan dalam Perspektif Gender. Jurnal Al-
Maiyyah, 9(2), 268–295.
Rosintan, M. (2014). Analisis Gaya Kepemimpinan Perempuan di PT. Ruci Gas
Surabaya. Agora, 2(2), 917–927.
Suryorini, A. (2012). Menelaah Feminisme dalam Islam. Sawwa: Jurnal Studi Gender, 7(2),
21–36. https://doi.org/10.21580/sa.v7i2.647
Syafe’i, I. (2015). Subordinasi Perempuan dan Implikasinya Terhadap Rumah Tangga.
ANALISIS: Jurnal Studi Keislaman, 15(1), 143–166.
Tahir, Muh. D. (2017). Perjuangan Andi Depu dalam Mempertahankan Kemerdekaan
Indonesia di Mandar 1945-1950,. UIN Alauddin Makassar.
Wijaya, D. A. (2020). Menatap Wajah Islam Indonesia. IRCISOD.
Zed, M. (2008). Metode Penelitian Kepustakaan. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

29

Anda mungkin juga menyukai