Anda di halaman 1dari 36

TOILET TRAINING, SEX EDUCATION,

KONSEP NEONATES ESENSIAL DAN IMUNISASI PADA ANAK

Disusun oleh :
Kesye Yonathan Oroh
711430119021

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MANADO


JURUSAN KEPERAWATAN
2023
A. Toilet Training
Konsep Toilet Training

Pengertian Toilet Training


Toilet training merupakan salah satu tugas utama orang tua dalam
peningkatan kemandirian tahap perkembangan pada anak usia (1-3 tahun).
Dimana pada usia ini anak berada pada tahap awal (anal stage) yaitu
kepuasan anak berfokus pada lubang anus. Toilet training bertujuan untuk
melatih agar anak mampu mengontrol buang air besar dan buang air kecil.
Toilet training terdiri dari bowel control (kontrol buang air besar) dan
bladder control (kontrol buang air kecil). Saat yang tepat untuk memulai
melatih anak melakukan toilet training adalah setelah anak mulai bisa
berjalan (sekitar usia 1-5 tahun). Anak mulai bisa dilatih kontrol buang air
besar setelah 18-24 bulan dan biasanya lebih cepat dikuasai dari pada
kontrol buang air kecil, tetapi pada umumnya anak bisa melakukan kontrol
buang air besar saat usia sekitar 3 tahun (Maidartati, 2018).

Toilet training atau latihan berkemih dan defekasi merupakan salah


satu tugas perkembangan anak pada usia toddler, dimana pada usia ini
kemampuan untuk mengontrol rasa ingin berkemih, mengontrol rasa ingin
defekasi mulai berkembang. Melalui toilet training anak akan belajar
bagaimana mereka mengendalikan keinginan untuk buang air kecil dan
besar, selanjutnya mereka menjadi terbiasa menggunakan toilet secara
mandiri (Indanah & Azizah, 2014).

Pengaruh Kesiapan Dalam Pencapaian Toilet Training


Toilet training merupakan aspek penting dalam perkembangan
anak pada masa usia toddler dan dibutuhkan perhatian dari orang tua
dalam berkemih dan defekasi. Melatih anak untuk buang air kecil dan

5
6

buang air besar bukan pekerjaan sederhana, namun orang tua harus tetap
termotivasi untuk merangsang anaknya agar terbiasa buang air kecil dan
buang air besar sesuai waktu dan tempatnya. Mengenali keinginan untuk
buang air kecil dan defekasi sangat penting untuk menentukan kesiapan
mental anak. Anak harus dimotivasi untuk menahan dorongan untuk
menyenangkan dirinya sendiri agar toilet training dapat berhasil. Dalam
melakukan latihan buang air kecil dan besar pada anak membutuhkan
persiapan secara fisik, psikologis, maupun secara intelektual, melalui
persiapan tersebut diharapkan anak mampu mengontrol buang air kecil
atau besar secara mandiri (Andriyani & Viatika, 2016).

Kesiapan fisik menunjukkan pada usia 18-24 bulan anak mulai


mampu mengontrol sfingter anal dan uretra serta buang air kecil dan
buang air besar secara teratur. Kesiapan mental, anak akan mulai mampu
mengungkapkan secara verbal maupun nonverbal, keterampilan kognitif
terus meningkat untuk menirukan perilaku yang tepat. Kesiapan
psikologis, anak mulai mampu mengekspresikan keinginannya dan merasa
ingin tahu apa yang biasa dilakukan oleh orang dewasa dan kesiapan
parental, orang tua mempunyai keinginan untuk meluangkan waktu untuk
mengajarkan toilet training (Indriasari & Putri, 2018). Keberhasilan toilet
training tidak hanya dari kemampuan fisik , psikologis, dan emosi anak itu
sendiri tetapi juga dipengaruhi oleh perilaku orang tua atau ibu untuk
mengajarkan toilet training secara baik dan benar, sehingga anak dapat
melakukan dengan baik dan benar hingga besar kelak (Andriyani &
Viatika, 2016).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesiapan seperti kesiapan


fisik, emosional dan verbal. Kesiapan fisik anak akan mulai menunjukkan
kontrol berkemih dan defekasi. Kesiapan emosional anak akan
menunjukkan rasa percaya diri atau rasa ketakutan, karena toilet training
merupakan hal baru yang akan ia pelajari. Kesiapan verbal anak harus
mampu mengkomunikasikan keinginan berkemih dan defekasi, mampu
7

mengikuti perintah sederhana serta mampu memahami beberapa kata yang


digunakan dalam penggunaan toilet training(Indriasari & Putri, 2018).

Tindakan Ibu yang Berkaitan dengan Toilet Training


Ibu merupakan tokoh sentral yang akan berperan sebagai pendidik
pertama dan utama dalam keluarga sehingga ibu harus menyadari untuk
mengasuh anak secara baik dan sesuai dengan tahapan perkembangan
anak. Dalam melakukan toilet training, pengetahuan ibu sangat
diperlukan. Pengetahuan yang kurang menyebabkan orang orang tua
memiliki sikap negatif dalam melatih toilet training seperti memarahi dan
menyalahkan anak saat buang air kecil atau besar di celana, bahkan ada
orang tua yang tidak pernah memberikan toilet training pada anaknya
(Denada & Nazriati, 2015).

Cara Memulai Toilet Training


Cara latihan toilet training Menurut (Maidartati, 2018) pada anak
toddler merupakan suatu hal yang harusdilakukan pada orang tua anak,
mengingat dengan latihan itu di harapkan anakmempunyai kemampuan
sendiri dalam melaksanakan buang air kecil dan buang airbesar tanpa
merasakan ketakutan atau kecemasan sehingga anak akan
mengalamipertumbuhan dan perkembangan sesuai tumbuh kembang anak.
Banyak cara yangdilakukan oleh orang tua dalam melatih anak untuk
buang air besar dan buang airkecil, di antaranya:

1) Teknik lisan, merupakan usaha untuk melatih anak dengancara


memberikan intruksi pada anak dengan kata-kata sebelum atau
sesudah buangair kecil dan buang air besar. Cara ini kadang-
kadang merupakan hal biasadilakukan pada orang tua akan tetapi
apabila kita perhatikan bahwa teknik lisan inimempunyai nilai
yang cukup besar dalam memberikan rangsangan untuk buang
8

airkecil atau buang air besar dimana dengan lisan ini persiapan
psikologis pada anakakan matang dan akhirnya anak mampu
dengan baik dalam melaksanakan buangair kecil dan buang air
besar.
2) Teknik modeling merupakan usaha untuk melatihanak dalam
melakukan buang air besar dengan cara meniru untuk buang air
besaratau memberikan contoh. Cara ini juga dapat di lakukan
dengan memberikancontoh-contoh buang air besar dan buang air
kecil atau membiasakan buang air kecildan besar secara benar.
Dampak yang jelek pada cara ini adalah apabila contoh yang di
berikan salah sehingga akan dapat diperlihatkan pada anak
akhirnya anak jugamempunyai kebiasaan yang salah.
3) DTT (Discrete Trial Training), prinsip metode DTT menggunakan
stimulus untuk memicu respon. Stimulus diberikan kepada siswa
sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya untuk memicu munculnya
respon positif. Respon positif ini berupa perilaku mengikuti
instruksi, berusaha pergi ke toilet ketika akan BAK, upaya bantu
diri dalam perilaku BAK di toilet, dan upaya mengkomunikasikan
keinginan BAK baik secara verbal maupun nonverbal. Metode
DTT banyak digunakan pada pembelajaran untuk anak autistik.
Metode ini merupakan metode yang sangat penting untuk
pembelajaran bagi anak autistik(Koerniandaru, 2016).
4) Teknik Oral seperti memberikan pengetahuan dengan penyuluhan
pada ibu meliputi kesiapan balita, usia balita, dan metode yang
tepat untuk pelaksanaan toilet training serta melakukan pelatihan
seperti menggunakan pispot yang memberikan perasaan aman pada
anak. Apabila pispot tidak tersedia, anak dapat duduk atau jongkok
di atas toilet dengan bantuan. Perkuat toilet training dengan
memotivasi anak untuk duduk pada pispot atau closed duduk dan
jongkok dalam jangka waktu 5 sampai 10 menit.
5) Metode Bazelton, strategi ini didasarkan pada pedoman “pasif”, di
samping kematangan fisiologis anak, pelatihan harus ditunda
9

sampai anak menunjukkan minat dan kemampuan psikososial


untuk memulai pelatihan. Strategi ini dirancang untuk
meminimalkan konflik dan kecemasan anak serta menekankan
pentingnya fleksibilitas. Pelatihan harus dilakukan dengan cara
yang relatif lembut dan dengan keyakinan bahwa anak akan belajar
pergi ke kamar mandi sendirian, pada waktu yang tepat.
6) Metode pelatihan eliminasi dini, metode ini kurang dikenal dalam
masyarakat. Metode ini dimulai selama minggu-minggu pertama
kehidupan, menggunakan strategi pengamatan tanda-tanda
eliminasi yang berasal dari bayi. Setelah tanda-tanda ini dikenali
oleh ibu (atau pengasuh), bayi diletakkan diatas pispot, sementara
bayi dipegang oleh ibu/pengasuh. Strategi ini saat ini digunakan
oleh bebrapa komunitas di Cina, India, Afrika, Amerika Selatan
dan Tengah, dan bagian Eropa.
7) Metode Spock, metode ini muncul sebelum metode Bazelton.
Metode ini menggunakan strategi dengan tidak memaksa anak
dalam melakukan toilet training.

Hal-Hal yang Di Perhatikan Dalam Latihan Toilet Training


Mengajari anak menggunakan toilet adalah sebuah proses yang
membutuhkan kesabaran, pengertian, kasih sayang dan persiapan.
Mengajari cara buang air paling mudah adalah ketika anak sudah merasa
siap melaksanakan tahapan ini dan dia mau bekerja sama. Memulai
sebelum anak siap hanya akan mengundang masalah dan sering
menyebabkan kecelakaan dalam pemakaian toilet. Mengompol dan buang
air besar dicelana biasanya merupakan akibat dari ketidakmampuan anak
mengenali dorongan untuk pergi ke toilet atau mengatur otot-otot
pelepasan. Ini bukan usaha untuk melawan atau tanda ketidakpatuhan.
Tampaknya anak juga akan frustasi jika dia tidak dapat melakukan seperti
yang diharapkan (Rahayunigsih & Rizky, 2013).
10

Belajar menggunakan toilet tidak bisa dilakukan sampai anak


mampu dan ingin. Anak harus belajar mengenali kebutuhan tersebut,
belajar menahan air besar atau kecil sampai dia berada di toilet, dan
kemudian melepaskannya. Kebanyakan anak tidak siap baik secara
fisiologis maupun psikologis untuk mencapai tahap tersebut paling tidak
pertengahan tahun kedua. Sebagian besar anak, tanpa memperhatikan
waktu dimulainya usaha berlatih menggunakan toilet, mampu
melakukannya dengan benar pada usia dua setengah hingga tiga tahun.
Semakin awal melatihnya bukan berarti akan lebih cepat berhasil, tetapi
mengulur-ulur proses tersebut juga akan memberi kesempatan timbulnya
konflik (Rahayunigsih & Rizky, 2013).

Perilaku ibu dalam penerapan toilet training adalah ketika anak


sudah mampu melakukan toilet training dengan benar ibu memberikan
imbalan berupa pujian, makanan, atau benda yang disenangi oleh anak.
Imbalan tersebut sebagai konsekuensi dan penguatan atas perilaku positif
anak dalam penerapan toilet training(Koerniandaru, 2016).

Dampak Masalah Toilet Training


Dampak yang paling umum dalam kegagalan toilet training seperti
adanya perlakuan atau aturan yang ketat dari orang tua kepada anaknya
yang dapat mengganggu kepribadian anak yang cenderung bersifat
retentive dimana anak cenderung bersifat keras kepala. Hal ini dapat
terjadi apabila orang tua sering memarahi anak pada saat buang air kecil
atau buang air besar saat bepergian karena sukar mencari toilet. Bila orang
tua santai dalam memberikan dalam memberikan aturan dalam toilet
training maka anak akan dapat mengalami kepribadian eksprensif dimana
anak cenderung ceroboh, emosional dan seenaknya dalam melakukan
kegiatan sehari-hari (Elsera, 2016).

Toilet training yang kurang berhasil juga mempengaruhi terjadinya


enuresis dan encopresis di masa mendatang. Kegagalan dalam toilet
11

training juga dapat terjadi karena adanya perlakuan atau aturan yang ketat
dari orang tua, sehingga anak mengalami distress psikologi (Indriasari &
Putri, 2018).

Kegagalan dalam mengontrol proses berkemih dapat


mengakibatkan mengompol pada anak, keadaan demikian apabila
berlangsung lama dan panjang akan mengganggu tugas perkembangan
anak. Selain itu dampak jangka panjang dari tidak dilakukannya toilet
training adalah Infeksi Saluran Kemih (ISK). Anak-anak yang belum
pernah dilatih dengan benar tentang toilet training dapat mengakibatkan
enuresis, ISK, disfungsi berkemih, sembelit, encoperis dan penolakan
untuk pergi ke toilet lebih sering (Andriyani & Viatika, 2016).

Faktor Pendukung Toilet Training


Seorang anak mungkin akan kesulitan untuk memahamu cara
menggunakan perkakas toilet pada awal toilet training. Oleh karena itu,
apabila dilakukan pengalihan dari penggunaan popok ke penggunaan
toilet, terlebih dahulu dilakukan dengan alat bantu berupa toilet mini
menurut (Murhadi & Almanar, 2019):

1. Peragakan cara penggunaan toilet. Kemudian anak dibiasakan


duduk di toilet dengan menggunakan popok saat akan BAB dan
BAK. Sehingga setelah tiba waktunya untuk menggunakan toilet,
anak sudah mengenal toilet dan cukup paham mengenai cara
penggunaannya.
2. Sesuaikan ukuran toilet. Ukuran toilet yang biasanya ada di rumah
dan tempat-tempat lain adalah ukuran yang disesuaikan
berdasarkan tinggi dan berat badan orang dewasa. Maka ada
kecenderungan bahwa toilet berukuran jauh lebih besar dari yang
dibutuhkan anak. Untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan dengan
meletakkan penyangga, kursi toilet, maupun mengganti dudukan
toilet menjadi ukuran yang sesuai dengan anak.
12

3. Gunakan kursi toilet. Kursi atau bangku toilet digunakan sebagai


panjatan anak menuju toilet yang tinggi dan sebagai pijakan saat
duduk di toilet. Hal ini menjaga keamanan anak jika sedang tidak
diawasi dan perasaan mengendalikan diri sendiri yang dimiliki
seorang anak.
4. Jaga kebersihan. Untuk menjaga keseimbangannya saat BAB dan
BAK, ada kemungkinan seorang anak akan menggunakan tangannya
sebagai tumpuan pada toilet. Maka dalam hal ini, toilet harus
dibersihkan terlebih dahulu dengan menggunakan antikuman. Selain
itu anak harus dibiasakan untuk mencuci tangan dan berdiri dengan
pijakan bangku.
5. Jangan paksakan pelatihan pada anak jika anak belu siap atau masih
ketakutan menghadapi toilet. Hal ini akan berakibat pada tidak
optimalnya perlatihan toilet tersebut. Pada keadaan ini, gunakan
toilet mini sebagai alternatif pilihan.

B. Sex Education
Pendidikan seks adalah suatu informasi mengenai persoalan seksualitas manusia
yang jelas dan benar. Informasi itu meliputi proses terjadinya pembuahan,
kehamilan sampai kelahiran, tingkah laku seksual, hubungan seksual, dan
aspekaspek kesehatan, kejiwaan dan kemasyarakatan.

Pendidikan Seks adalah suatu pengetahuan yang kita ajarkan mengenai segala
sesuatu yang berhubungan dengan jenis kelamin. Ini mencakup mulai dari
pertumbuhan jenis kelamin (Laki-laki atau wanita). Bagaimana fungsi kelamin
sebagai alat reproduksi. Bagaimana perkembangan alat kelamin itu pada wanita dan
pada laki-laki. Tentang menstruasi, mimpi basah dan sebagainya, sampai kepada
timbulnya birahi karena adanya perubahan pada hormon-hormon. Termasuk
nantinya masalah perkawinan, kehamilan dan sebagainya.

Pendidikan seks atau pendidikan mengenai kesehatan reproduksi atau yang lebih
trend-nya “sex education” sudah seharusnya diberikan kepada anak-anak yang
sudah beranjak dewasa atau remaja, baik melalui pendidikan formal maupun
informal. Ini penting untuk mencegah biasnya pendidikan seks maupun pengetahuan
tentang kesehatan reproduksi di kalangan remaja. Beberapa Hal Pentingnya
Pendidikan Seks bagi Remaja
13

• Untuk mengetahui informasi seksual bagi remaja


• Memiliki kesadaran akan pentingnya memahami masalah seksualitas
• Memiliki kesadaran akan fungsi-fungsi seksualnya
• Memahami masalah-masalah seksualitas remaja
• Memahami faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya masalah-masalah
seksualitas
14

Fenomena yang berkaitan dengan masalah penyimpangan seksual remaja tercatat pada
data UNFPA (Data Kependudukan PBB) yang menunjukan, setiap tahunnya 15 Juta
remaja berusia 15 – 19 Thn melahirkan dan 4,4 Juta diantaranya memilih aborsi.
Sebagian menjalani aborsi yang tidak aman.

Sementara remaja yang melahirkanpun masih beresiko. Hasil penelitian menunjukan


melahirkan pada usia kurang dari 18 thn beresiko kematian 2-5 kali lebih tinggi dari
usia 20-29thn

Aktifitas seksual remaja merambah ke masalah lain yaitu 100 juta tertular penyakit
kelamin. Secara global, 40% dari kasus HIV/AIDS terjadi pada usia 15-24 thn. Ini
berarti tiap hari ada 7000 remaja terinfeksi HIV.

Penyimpangan seksual di kalangan remaja,dalam hal ini negara-negara barat,


majalah Time (Pikiran Rakyat, 29 Januari 1995) memberitakan tentang gejala aborsi
di Negara-negara tersebut.

NEGARA Remaja yang Melakukan Aborsi

Perancis 180 dari 450


Inggris 175 dari 450
Kanada 180 dari 450
Swedia 210 dari 320
Belanda 50 dari150

Untuk kondisi di Indonesia, majalah sabili (No 12 Th.XI 1 Januari 2004)


melaporkan hasil penelitian tentang penyimpangan seksual di kalangan remaja,
yaitu :

1. Hasil penelitian Yayasan Priangan Jawa Barat di tujuh kota besar di JABAR
menunjukkan bahwa sebanyak 21% siswa SLTP dan 35% siswa SMU
disinyalir telah melakukan homoseksual
15

2. Hasil survey Pelajar Islam Indonesia (PII) dengan menyebarkan angket ke


400 responden yang berusia antara 12-24 tahun yang berdomisili diberbagai
kota di Jawa Barat menunjukkan 75% pelajar dan mahasiswa telah
melakukan

3. penyimpangan perilaku 45% melakukan penyimpangan seksual, yang


diantaranya 25% pelajar pria melakukan homoseksual
4. Penelitian terhadap mahasiswi di Jogja yang dilakukan oleh Iip, sebanyak
97% mahasiswi sudah tidak perawan lagi

Sementara meninjau berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia, agaknya masih


timbul pro kontra di masyarakat, lantaran adanya anggapan bahwa membicarakan
seks adalah hal yang tabu dan pendidikan seks akan mendorong remaja untuk
berhubungan seks. Sebagian besar masyarakat masih berpandangan stereotype
dengan pendidikan seks seolah sebagai suatu hal yang vulgar.

Selama ini, jika kita berbicara mengenai seks, maka yang terbersit dalam benak
sebagian besar orang adalah hubungan seks. Padahal, seks itu artinya jenis kelamin
yang membedakan pria dan wanita secara biologis. Seksualitas menyangkut
beberapa hal antara lain dimensi biologis, yaitu berkaitan dengan organ reproduksi,
cara merawat kebersihan dan kesehatan; dimensi psikologis, seksualitas berkaitan
dengan identitas peran jenis, perasaan terhadap seksualitas dan bagaimana
menjalankan fungsinya sebagai makhluk seksual; dimensi sosial, berkaitan dengan
bagaimana seksualitas muncul dalam relasi antar manusia serta bagaimana
lingkungan berpengaruh dalam pembentukan pandangan mengenai seksualitas dan
pilihan perilaku seks; dan dimensi kultural, menunjukkan bahwa perilaku seks itu
merupakan bagian dari budaya yang ada di masyarakat

Berdasarkan kesepakatan internasional di Kairo 1994 (The Cairo Consensus)


tentang kesehatan reproduksi yang berhasil ditandatangani oleh 184 negara
termasuk Indonesia, diputuskan tentang perlunya pendidikan seks bagi para remaja.
Dalam salah satu butir konsensus tersebut ditekankan tentang upaya untuk
mengusahakan
dan merumuskan perawatan kesehatan seksual dan reproduksi serta
menyediakan informasi yang komprehensif termasuk bagi para remaja.

Ada dua faktor mengapa sex education sangat penting bagi remaja. Faktor
pertama adalah di mana anak-anak tumbuh menjadi remaja, mereka belum
paham dengan sex education, sebab orang tua masih menganggap bahwa
membicarakan mengenai seks adahal hal yang tabu. Sehingga dari ketidak
fahaman tersebut para remaja merasa tidak bertanggung jawab dengan seks atau
kesehatan anatomi reproduksinya.

Faktor kedua, dari ketidakfahaman remaja tentang seks dan kesehatan anatomi
reproduksi mereka, di lingkungan sosial masyarakat, hal ini ditawarkan hanya
sebatas komoditi, seperti media-media yang menyajikan hal-hal yang bersifat
pornografi, antara lain, VCD, majalah, internet, bahkan tayangan televisi pun
saat ini sudah mengarah kepada hal yang seperti itu. Dampak dari
ketidakfahaman remaja tentang sex education ini, banyak hal-hal negatif terjadi,
seperti tingginya hubungan seks di luar nikah, kehamilan yang tidak diinginkan,
penularan virus HIV dan sebagainya.

Berbicara mengenai ”sex education”, tidak hanya mengenai organ tubuh


reproduksi saja, tetapi banyak hal yang harus kita pelajari antara lain ekonomi,
sosial budaya, bahkan politik. Banyaknya PSK (Pekerja Seks Komersial) di
mana-mana, hal ini disebabkan faktor ekonomi, sehingga mereka tidak lagi
bertanggung jawab terhadap organ reproduksinya dan tidak menyadari akan
terjadinya penularan virus HIV dan penyakit kelamin lainnya.

Dengan belajar tentang sex education, diharapkan remaja dapat menjaga


organorgan reproduksi pada tubuh mereka dan orang lain tidak boleh
menyentuh organ reproduksinya khususnya bagi remaja putri. Organ reproduksi
remaja adalah hak remaja dan menjadi tanggung jawab remaja itu sendiri untuk
melindungi dari halhal yang tidak diinginkan.

C. Konsep Neonates Esensial (mempertahankan status pernapasan pada BBL,


mempertahankan termoregulasi,pencegahan infeksi, kecukupan nutrisi)
Bayi Baru Lahir (BBL) sangat rentan terhadap infeksi yang
disebabkan oleh paparan atau kontaminasi mikroorganisme selama
proses persalinan berlangsung maupun beberapa saat setelah lahir. Hal-
hal yang harus diperhatikan dalam perawatan neonatal esensial pada
saat lahir meliput
1. Kewaspadaan umum (Universal Precaution)
Bayi Baru Lahir (BBL) sangat rentan terhadap infeksi yang
disebabkan oleh paparan atau kontaminasi mikroorganisme selama
proses persalinan berlangsung maupun beberapa saat setelah lahir.
Beberapa mikroorganisme harus diwaspadai karena dapat
ditularkan lewat percikan darah dan cairan tubuh adalah virus
HIV, Hepatitis B dan Hepatitis C. Sebelum menangani BBL,
pastikan penolong persalinan telah melakukan upaya pencegahan
infeksi berikut:
a. Persiapan Diri
1) Sebelum dan setelah bersentuhan dengan bayi, cuci tangan
dengan sabun kemudian keringkan (lihat lampiran 1 pedoman
cuci tangan).
2) Memakai sarung tangan bersih pada saat menangani
bayi yang belum dimandikan.
b. Persiapan alat
Pastikan semua peralatan dan bahan yang digunakan, terutama
klem, gunting, alat-alat resusitasi dan benang tali pusat telah
di Desinfeksi Tingkat Tinggi (OD) atau sterilisasi. Gunakan
bola karet pengisap yang baru dan bersih jika akan melakukan
pengisapan lendir dengan alat tersebut. Jangan menggunakan
bola karet pengisap yang sama untuk lebih dari satu bayi.
Bila menggunakan bola karet pengisap yang dapat digunakan
kembali, pastikan alat tersebut dalam keadaan bersih dan steril,
Pastikan semua pakaian, handuk, selimut dan kain yang
digunakan untuk bayi, sudah dalam keadaan bersih dan hangat.
demikian pula halnya timbangan, pita pengukur, termometer,
stetoskop dan benda-benda lain yang akan bersentuhan
dengan bayi, juga bersih dan hangat. Oekontaminasi
dan cuci semua alat setiap kali setelah digunakan (Iihat lampiran
2 pencegahan infeksi untuk alat dan bahan habis pakai)

e. Persiapan tempat
Gunakan ruangan yang hangat dan terang, siapkan tempat
resusitasi yang bersih, kering, hangat, datar, rata dan cukup keras,
misalnya meja atau dipan. Sebaiknya dekat pemanear panas dan
tidak berangin, tutup jendela dan pintu. Gunakan lampu pijar
60 watt dengan jarak 60 cm dari bayi sebagai alternatif bila
pemancar panas tidak tersedia.

2. Penilaian awal
Untuk semua BBL, lakukan penilaian awal dengan menjawab 4
pertanyaan:
Sebelum bayi lahir:
a. Apakah kehamilan cukup bulan ?
b. Apakahair ketuban jernih, tidak bercampur mekonium ?

Segera setelah bayi /ahir, sambil meletakkan bayi di atas kain


bersih dan kering yang telah disiapkan pada perut bawah ibu, segera
lakukan penilaian berikut:
a. Apakahbayi menangisatau bernapas/ tidak megap-megap ?
b. Apakah tonus otot bayi baik/ bayi bergerak aktif?

Dalam Bagan Alur Manajemen BBL (di bawah) dapat dilihat alur
penatalaksanaan BBL mulai dari persiapan, penilaian dan keputusan
serta alternatif tindakan apa yang sesuai dengan hasil penilaian
keadaan BBL. Untuk BBL cukup bulan dengan air ketuban jernih
yang langsung menangis atau bernapas spontan dan bergerak aktif
cukup dilakukan manajemen BBL normal.
Gambar 39
Manajemen bayi baru
lahir
Gambar 40
Manajemen bayi baru lahir
normal

Jika bayi kurang bulan ( < 37 minggu/259 hari) atau bayi lebih bulan
(≥42 minggu/283 hari) dan atau air ketuban bercampur dengan
mekonium dan atau tidak bernafas atau megap-megap dan atau tonus
otot tidak baik lakukan manajemen BBL dengan asfiksia.
Gambar 41
Manajemen bayi baru lahir dengan asfiksia

3. Pencegahan kehilangan panas


Saat lahir, mekanisme pengaturan suhu tubuh pada BBl, belum
berfungsi sempurna. Oleh karena itu, jika tidak segera dilakukan
upaya pencegahan kehilangan panas tubuh maka BBl dapat
mengalami hipotermia. Bayi dengan hipotermia, berisiko tinggi
untuk mengalami sakit berat atau bahkan kematian. Hipotermia
mudah terjadi pada bayi yang tubuhnya dalam keadaan basah atau
tidak segera dikeringkan dan diselimuti walaupun berada di dalam
ruanqan yang relatif hangat. Bay; prematur atau berat lahir rendah
juga sangat rentan untuk mengalami hipotermia. Walaupun demikian,
bayi tidak boleh menjadi hipertermia (temperatur tubuh lebih dari
37,S°C)

a. Mekanisme kehilangan panas


BBLdapat kehilangan panastubuhnya melalui cara-cara berikut:
1) Evaporasi adalah kehilangan panas akibat penguapan cairan
ketuban pada permukaan tubuh oleh panas tubuh bayi sendiri.
Hal ini merupakan jalan utama bayi kehilangan panas. Kehilangan
panas juga terjadi jika saat lahir tubuh bayi tidak segera
dikeringkan atau terlalu cepat dimandikan dan tubuhnya tidak
segera dikeringkan dan diselimuti.
2) Konduksi adalah kehilangan panas tubuh melalui kontak
langsung antara tubuh bayi dengan permukaan yang dingin. Meja,
tempat tidur atau timbangan yang temperaturnya lebih rendah dari
tubuh bayi akan menyerap panas tubuh bayi melalui mekanisme
konduksi apabila bayi diletakkan di atas benda-bendatersebut.
3) Konveksi adalah kehilangan panas tubuh yang terjadi saat bayi
terpapar udara sekitar yang lebih dingin. Bayi yang dilahirkan
atau ditempatkan di dalam ruangan yang dingin akan cepat
mengalami kehilangan panas. Kehilangan panas juga terjadi jika
ada aliran udara dingin dari kipas angin, hembusan udara dingin
melalui ventilasi/pendingin ruangan.
4) Radiasi adalah kehilangan panas yang terjadi karena bayi
ditempatkan di dekat benda-benda yang mempunyai suhu lebih
rendah dari suhu tubuh bayi. Bayi dapat kehilangan panas
dengan cara ini karena benda-benda tersebut menyerap radiasi
panas tubuh bayi (walaupun tidak bersentuhan secara langsung).

Gambar 42
Mekanisme Kehilangan Panas pada Bayi Baru Lahir

b. Mencegah kehilangan panas


Cegahterjadinya kehilanganpanasmelalui upaya berikut:
1) Ruangbersalinyang hangat
2) Suhu ruangan minimal 25°C. Tutup semua pintu danjendela.
3) Keringkantubuh bayi tanpa membersihkanverniks
4) Keringkan bayi mulai dari muka, kepala dan bagian tubuh lainnya
kecuali bagian tangan tanpa membersihkan verniks. Verniks
akan membantu menghangatkan tubuh bayi. Segeraganti handuk
basahdengan handuk atau kain yang kering.
5) Letakkan bayi di dada atau perut ibu agar ada kontak kulit ibu ke
kulit bayi. Letakkan bayi tengkurap di dada atau perut ibu.
Luruskan dan usahakan ke dua bahu bayi menempel di dada
atau
perut ibu. Usahakan kepala bayi berada di antara payudara ibu
dengan posisi sedikit lebih rendah dari puting payudara ibu.
6) Inisiasi Menyusui Dini (Iihat bagian Inisiasi Menyusu Dini)
7) Gunakan pakaian yang sesuai untuk mencegah kehilangan
panas Selimuti tubuh ibu dan bayi dengan kain hangat yang sama
dan pasang topi di kepala bayi. Bagian kepala bayi memiliki
permukaan yang relatif luas dan bayi akan dengan cepat kehilangan
panasjika bagiantersebut tidak tertutup.
8) Jangan segera menimbang atau memandikan bayi baru
lahir Lakukan penimbangan setelah satu jam kontak kulit ibu ke
kulit bayi dan bayi selesai menyusu. Karena BBL cepat dan
mudah kehilangan panas tubuhnya (terutama jika tidak
berpakaian), sebelum melakukan penimbangan, terlebih dulu
selimuti bayi dengan kain atau selimut bersih dan kering. Berat
bayi dapat dinilai dari selisih berat bayi pada saat berpakaian
atau diselimuti dikurangi dengan berat pakaian atau selimut. Bayi
sebaiknya dimandikan pada waktu yang tepat yaitu tidak kurang
dari enam jam setelah lahir dan setelah kondisi stabil.
Memandikan bayi dalam beberapa jam pertama setelah lahir
dapat menyebabkan hipotermia yang sangat membahayakan
kesehatan BBL.
9) Rawat Gabung
Ibu dan bayi harus tidur dalam satu ruangan selama 24 jam.
Idealnya BBL ditempatkan di ternpat tidur yang sarna dengan
ibunya. Ini adalah cara yang paling mudah untuk menjaga agar
bayi tetap hangat, mendorong ibu segera menyusui bayinya dan
mencegah paparan infeksi pada bayi.
10) Resusitasi dalam lingkungan yang hangat
Apabila bayi baru lahir memerlukan resusitasi harus
dilakukan dalam lingkungan yang hangat.
11) Transportasi hangat
Bayi yang perlu dirujuk, harus dijaga agar tetap hangat
selama dalam perjalanan.
12) Pelatihan untuk petugas kesehatan dan Konseling
untuk keluarga Meningkatkan pengetahuan petugas
kesehatan dan keluarga tentang hipotermia meliputi tanda-
tanda dan bahayanya.

4. Pemotongan dan perawatan tali pusat


a. Memotong dan mengikat tali pusat
1) Klem, potong dan ikat tall pusat dua menit pasea bayi lahir.
Penyuntikan oksitosin pada ibu dilakukan sebelum tali pusat
dipotong.
2) Lakukan penjepitan ke-l tali pusat dengan klem logam DTT
3' em dari dinding perut (pangkal pusat) bayi. Dari titik jepitan,
tekan tali pusat dengan dua jari kemudian dorong isi tali pusat
ke arah ibu (agar darah tidak terpanear pada saat dilakukan
pemotongan tali pusat). Lakukan penjepitan ke-2 denganjarak
2 em dari tempat jepitan ke-1 ke arah ibu.
3) Pegang tali pusat di antara kedua klem tersebut, satu tangan
menjadi landasantali pusat sambil melindungi bayi, tangan
yang lain memotong tali pusat di antara kedua klem tersebut
dengan menggunakangunting DTT atau steril.
4) Ikat tali pusat dengan benang on atau steril pada satu sisi
kemudian melingkarkan kembali benang tersebut dan
mengikatnya dengan simpul kunei padasisi lainnya.
5) Lepaskan klem logam penjepit tali pusat dan masukkan ke
dalam larutan klorin 0,5%.
6) Letakkan bayi tengkurap di dada ibu untuk upaya Inisiasi
Menyusu Dini.

b. Nasihat untuk merawat tali pusat


1) Cuci tangan sebelum dan sesudahmelakukan perawatan tali
pusat.
2) Jangan membungkus puntung tali pusat atau mengoleskan
cairan atau bahan apapun ke puntung tali pusat. Nasihatkanhal
ini juga kepada ibu dan keluarganya.
3) Mengoleskan alkohol atau povidon yodium masih
diperkenankan apabila terdapat tanda infeksi, tetapi tidak
dikompreskan karena menyebabkantali pusat basahatau lembab.
4) Berikan nasihat pada ibu dan keluarga sebelum meninggalkan
bayi:
5) Lipat popok di bawah puntung tali pusat.
6) Luka tali pusat harus dijaga tetap kering dan bersih, sampai sisa
tali pusat mengeringdan terlepas sendiri.
7) Jika puntung tali pusat kotor, bersihkan (hati-hati) dengan
air D'Tf dan sabun dan segera keringkan secara seksama
dengan menggunakan kain bersih.
8) Perhatikan tanda-tanda infeksi tali pusat: kemerahan pada kulit
sekitar tali pusat, tampak nanah atau berbau. Jika terdapat tanda
infeksi, nasihati ibu untuk membawa bayinya ke fasilitas
kesehatan.

5. lnisiasi menyusu dini (IMD)


Prinsip pemberian ASI adalah dimulai sedini mungkin, eksklusif
selama 6 bulan diteruskan sampai 2 tahun dengan makanan
pendamping ASI sejak usia 6 bulan. Pemberian ASI juga
meningkatkan ikatan kasih sayang (asih), memberikan nutrisi terbaik
(asuh) dan melatih refleks dan motorik bayi (asah).
Langkah inisiasi menyusu dini dalam asuhan bayi baru lahir
Langkah 1: Lahirkan, lakukan penilaian pada beyi. keringkan:
a. Saat bayi lahir, catat waktu kelahiran
b. Sambil rneletakkan bayi di perut bawah ibu lakukan penilaian
apakah bayi perlu resusitasiatau tidak

c. Jika bayi stabil dan tidak memerlukan resusitasi, keringkantubuh


bayi mulai dari muka, kepala dan bagian tubuh lainnya dengan
halus tanpa menghilangkan verniks. Verniks akan membantu
menyamankan bayi. Setelah dikeringkan, selimuti bayi dengan kain
kering untuk menunggu 2 menit sebelum tali pusat di klem.
d. Hindari mengeringkan punggung tangan bayi. Bau cairan amnion
pada tangan bayi membantu bayi mencari puting ibunya yang
berbau sama.
e. Periksa uterus untuk memastikan tidak ada lagi bayi dalam
uterus (hamil tunggal) kemudian suntikkan oksitosin 10 UI intra
muskular pada ibu.

Langkah 2 : Lakukan kontak kulit ibu dengan kulit bayi selama paling
sedikit satu jam:
a. Setelah tali pusat dipotong dan diikat, letakkan bayi tengkurap di
dada ibu. Luruskan bahu bayi sehingga bayi menempel di dada
ibu. Kepala bayi harus berada di antara payudara ibu tapi lebih
rendah dari puting.
b. Selimuti ibu dan bayi dengan kain hangat dan pasangtopi di kepala
bayi.
c. Lakukankontak kulit bayi ke kulit ibu di dada ibu paling sedikit
satu jam. Mintalah ibu untuk memeluk dan membelai bayinya.
Jika perlu letakkan bantal di bawah kepala ibu untuk
mempermudah kontak visual antara ibu dan bayi. Hindari
membersihkan payudara ibu .
d. Selama kontak kulit bayi ke kulit ibu tersebut, lakukan Manajemen
Aktif Kala 3 persalinan.

Langkah 3: Biarkanbayi mencari dan menemukanputing ibu dan mulai


menyusu :
a. Biarkanbayi mencari dan menemukanputing dan mulai menyusu
b. Anjurkan ibu dan orang lainnya untuk tidak menginterupsi
menyusu misalnya memindahkan bayi dari satu payudara ke
payudara lainnya. Menyusu pertama biasanya berlangsung sekitar
10-15 menit. Bayi cukup menyusu dari satu payudara. Sebagian
besar bayi akan berhasil menemukan puting ibu dalam waktu 30-
60 menit tapi tetap biarkan kontak kulit bayi dan ibu setidaknya 1
jam walaupun bayisudah menemukan puting kurang dari 1 jam.
c. Menunda semua asuhan bayi baru lahir normal lainnya hingga bayi
selesai menyusu setidaknya 1 jam atau lebih bila bayi baru
menemukan puting setelah 1 jam
d. Bula bayi harus pindah dari kamar bersalin sebelum 1 jam atau
sebelum bayi menyusu, usahakan ibu dan bayi dipindah bersama
dengan mempertahankan kontak kulit ibu dan bayi
e. Jika bayi belum menemukan puting ibu IMD dalam waktu 1 jam,
posisikan bayi lebih dekat dengan puting ibu dan biarkan kontak
kulit dengan kulit selama 30-60 menit berikutnya.
f. Jika bayi masih belum melakukan IMD dalam waktu 2 jam,
pindahkan ibu ke ruang pemulihan dengan bayi tetap di dada ibu.
Lanjutkan asuhan perawatan neonatal esensial lainnya (
menimbang, pemberian vit K1, salep mata) dan kemudian
kembalikan bayi kepada ibu untuk menyusu
g. Kenakan pakaian pada bayi atau tetap diselimuti untuk menjaga
kehangatannya. Tetap tutup kepala bayi dengan topi selama
beberapa hari pertama. Bila suatu saat kaki bayi terasa dingin saat
disentuh buka pakaiannya kemudian telungkupkan kembali di dada
ibu dan selimuti keduanya sampai bayi hangat kembali.
h. Tempatkan ibu dan bayi di ruang yang sama. Bayi harus selalu
dalam jangkauan ibu 24 jam dalam sehari sehingga bayi bisa
menyusu sesering keinginannya
i. Perhatikan lima urutan perilaku bayi saat menyusu pertama kali
berikut ini
Langkah Perilaku yang teramati Perkiraan waktu
1 Bayi beristirahat dan melihat 30-40 menit
pertama
2 Bayi mulai mendecakkan bibir 40-60 menit setelah
dan membawa jarinya ke mulut lahir dengan kontak
3 Bayi mengeluarkan air liur kulit dengan kulit
31

4 Bayi menendang, terus menerus tanpa


menggerakkan kaki, bahu, terputus
lengan dan badannya kearah
dada ibu dengan mengandalkan
indra penciumannya
5 Bayi meletakkan mulutnya ke
puting ibu

D. Imunisasi Pada Anak

1. Pengertian Imunisasi

Imunisasi berasal dari kata imun, kebal atau resisten. Anak diimunisasi, berarti diberikan

kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu. Anak kebal atau resisten terhadap suatu penyakit

tetapi belum tentu kebal terhadap penyakit yang lain. Imunisasi adalah suatu upaya untuk

menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga

apabila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit

ringan (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).

Imunisasi merupakan salah satu cara yang efektif untuk mencegah penularan penyakit

dan upaya menurunkan angka kesakitan dan kematian pada bayi dan balita (Mardianti & Farida,

2020). Imunisasi merupakan upaya kesehatan masyarakat paling efektif dan efisien dalam

mencegah beberapa penyakit berbahaya (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2020).

Imunisasi merupakan upaya pencegahan primer yang efektif untuk mencegah terjadinya

penyakit infeksi yang dapat dicegah dengan imunisasi (Senewe et al., 2017).

Jadi Imunisasi ialah tindakan yang dengan sengaja memberikan antigen atau bakteri dari

suatu patogen yang akan menstimulasi sistem imun dan menimbulkan kekebalan, sehingga

hanya mengalami gejala ringan apabila terpapar dengan penyakit tersebut.


9

2. Manfaat Imunisasi

Manfaat imunisasi tidak bisa langsung dirasakan atau tidak langsung terlihat. Manfaat

imunisasi yang sebenarnya adalah menurunkan angka kejadian penyakit, kecacatan maupun

kematian akibat penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Imunisasi tidak hanya

dapat memberikan perlindungan kepada individu namun juga dapat memberikan perlindungan

kepada populasi

Imunisasi adalah paradigma sehat dalam upaya pencegahan yang paling efektif

(Mardianti & Farida, 2020). Imunisasi merupakan investasi kesehatan untuk masa depan karena

dapat memberikan perlindungan terhadap penyakit infeksi, dengan adanya imunisasi dapat

memberikan perlindunga kepada indivudu dan mencegah seseorang jatuh sakit dan

membutuhkan biaya yang lebih mahal.

3. Hambatan imunisasi

Perbedaan persepsi yang ada di masyarakat menyebabkan hambatan terlaksananya

imunisasi. Masalah lain dalam pelaksanakan imunisasi dasar lengkap yaitu karena takut anaknya

demam, sering sakit, keluarga tidak mengizinkan, tempat imunisasi jauh, tidak tahu tempat

imunisasi, serta sibuk/ repot (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).

Pemahaman mengenai imunisasi bahwa imunisasi dapat menyebabkan efek samping

yang membahayakan seperti efek farmakologis, kealahan tindakan atau yang biasa disebut

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) seperti nyeri pada daerah bekas suntikan,

pembengkakan lokal, menggigil, kejang hal ini menyebabkan orang tua atau masyarakat tidak

membawa anaknya ke pelayanan kesehatan sehingga mengakibatkan sebagian besar bayi dan

balita belum mendapatkan imunisasi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).

9
10

4. Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi

Berdasarkan Info Datin Kementerian Kesehatan (2016), penyakit yang dapat dicegah

dengan imunisasi yaitu :

a. Pada imunisasi wajib antara lain: polio, tuberculosis, hepatitis B, difteri,

campak rubella dan sindrom kecacatan bawaan akibat rubella (congenital rubella

syndrome/CRS)

b. Pada imunisasi yang dianjurkan antara lain: tetanus, pneumonia (radang paru),

meningitis (radang selaput otak), cacar air. Alasan pemberian imunisasi pada

penyakit tersebut karena kejadian di Indonesia masih cukup tinggi dapat dilihat

dari banyaknya balita yang meninggal akibat penyakit yang dapat dicegah dengan

imunisasi (PD3I)

c. Pada imunisasi lain disesuaikan terhadap kondisi suatu negara tertentu

5. Imunisasi di Indonesia

Di Indonesia program imunisasi yang terorganisasi sudah ada sejak tahun 1956, pada

tahun 1974 dinyatakan bebas dari penyakit cacar (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,

2015). Kegiatan imunisasi dikembangkan menjadi PPI (Program Pengembangan Imunisasi)

pada tahun 1977, dalam upaya mencegah penularan terhadap beberapa Penyakit yang Dapat

Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) seperti Tuberkulosis, Difteri, Pertusis, Campak, Polio,

Tetanus serta Hepatitis B (Permenkes, 2017).

Perkembangan teknologi, informasi dan komunikasi khususnya dalam bidang kesehatan

mendorong peningkatan kualitas pelayanan imunisasi ditandai dengan penemuan beberapa

vaksin baru seperti Rotavirus, Jappanese Encephalitis, dan lain-lain. Selain itu perkembangan

teknologi juga telah

10
11

menggabungkan beberapa jenis vaksin sebagai vaksin kombinasi yang terbukti dapat

meningkatkan cakupan imunisasi, mengurangi jumlah suntikan dan kontak dengan petugas

(Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2015).

6. Program Pemerintah untuk Imunisasi

Berdasarkan Keputusan Meteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017 Tentang

Penyelenggaraan Imunisasi, pokok-pokok kegiatan pemerintah untuk imunisasi yaitu:

a. Imunisasi Rutin

Kegiatan imunisasi rutin adalah kegiatan imunisasi secara wajib dan berkesinambungan

harus dilaksanankan pada periode waktu yang telah ditetapkan sesuai dengan usia dan jadwal

imunisasi. Berdasarkan kelompok umur sasaran, imunisasi rutin dibagi menjadi:

1) Imunisasi rutin pada bayi

2) Imunisasi rutin pada wanita usia subur

3) Imunisasi rutin pada anak sekolah

Berdasarkan tempat pelayanan imunisasi rutin dibagi menjadi:

1) Pelayanan imunisasi di dalem Gedung dilaksanakan di puskesmas, puskesmas

pembantu, rumah sakit, rumah bersalin dan polindes

2) Pelayanan imunisasi di luar Gedung dilaksanakan di posyandu, kunjungan

rumah dan sekolah

3) Pelayanan imunisasi rutin juga dapat diselenggarakan oleh swasta seperti,

rumah sakit, dokter praktik dan bidan praktik

11
12

b. Imunisasi Tambahan

Imunisasi tambahan adalah kegiatan imunisasi yang tidak wajib dilaksanakan, hanya

dilakukan atas dasar ditemukannya masalah dari hasil pemantauan dan evaluasi, yang termasuk

imunisasi tambahan meliputi

2) Backlog fighting

Backlog adalah upaya aktif di untuk melengkapi Imunisasi dasar pada anak yang

berumur 1-3 tahun. Dilaksanakan di desa yang tidak mencapai (Universal Child Imumunization /

UCI) selama dua tahun.

3) Crash program

Kegiatan ini ditujukan untuk wilayah yang memerlukan intervensi secara cepat karena

masalah khusus seperti:

a) Angka kematian bayi akibat PD3I tinggi

b) Infrastruktur (tenaga, sarana, dana) kurang

c) Desa yang selama tiga tahun berturut-turut tidak mencapai (Universal Child

Imumunization / UCI).

Kegiatan ini biasanya menggunakan waktu yang relatif panjang, tenaga dan biyaya yang

banyak maka sangat diperlukan adanya evaluasi indikator yang perlu ditetapkan misalnya

campak, atau campak terpadu dengan polio

4) PIN (Pekan Imunisasi Nasional)

Pekan Imunissai Nasional suatu kegiatan untuk memutus mata rantai penyebaran virus

polio atau campak dengan cara memberikan vaksin polio dan campak kepada setiap bayi dan

balita tanpa mempertimbangkan status imunisasi sebelumnya. Pemberian imunisasi campak dan

polio pada waktu PIN di samping untuk memutus rantai penularan juga berguna sebagai

imunisasi ulangan.

12
13

5) Kampanye (Cath Up Campaign)

Kegiatan-kegiatan imunisasi maasal yang dilakukan secara bersamaan di wilayah

tertentu dalam upaya memutuskan mata rantai penyakit penyebab PD3I.

6) Imunisasi dalam Penanggulangan KLB

Pelaksanaan kegiatan Imunisasi dalam penanganan KLB disesuaikan dengan situasi

epidemiologi penyakit.

7. Jadwal Imunisasi

Jadwal imunisasi IDAI tahun 2020 (IDAI, 2020)

Gambar 1 Jadwal Imunisasi

Jadwal Imunisasi Anak Umur 0 - 18 Tahun, makna warna pada jadwal imunasi yaitu,

kolom biru menandakan jadwal pemberian imunisasi optimal sesuai usia. Kolom kuning

menandakan masa untuk melengkapi imunisasi yang belum lengkap. Kolom merah muda

menandakan imunisasi penguat atau booster.

13
14

Kolom warna kuning tua menandakan imunisasi yang direkomendasikan untuk daerah endemik.

Imunisasi yang merupakan rekomendasi IDAI Tahun 2020 antara lain :

a. Vaksin Hepatitis B

Vaksin Hepatitis B monovalen paling baik diberikan kepada bayi segera setelah lahir

sebelum berumur 24 jam, didahului penyuntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya.

Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, segera berikan vaksin HB dan immunoglobulin hepatitis B

(HBIg) pada ekstrimitas yang berbeda, maksimal dalam 7 hari setelah lahir. Imunisasi HB

selanjutnya diberikan bersama DTwP atau DTaP (IDAI, 2020).

b. Vaksin polio

Vaksin Polio 0 sebaiknya diberikan segera setelah lahir. Apabila lahir di fasilitas

kesehatan diberikan bOPV-0 saat bayi pulang atau pada kunjungan pertama. Selanjutnya berikan

bOPV atau IPV bersama DTwP atau DTaP. Vaksin IPV minimal diberikan 2 kali sebelum

berusia 1 tahun bersama DTwP atau DTaP (IDAI, 2020).

c. Vaksin BCG

Vaksin BCG sebaiknya diberikan segera setelah lahir atau segera mungkin sebelum bayi

berumur 1 bulan. Bila berumur 2 bulan atau lebih, BCG diberikan bila uji tuberkulin negatif.

(IDAI, 2020).

d. Vaksin DPT

Vaksin DPT dapat diberikan mulai umur 6 minggu berupa vaksin DTwP atau DTaP.

Vaksin DTaP diberikan pada umur 2, 3, 4 bulan atau 2, 4, 6 bulan.

(IDAI, 2020).

14
15

e. Vaksin Hib

Vaksin Hib diberikan pada usia 2, 3, dan 4 bulan. Kemudian booster Hib diberikan pada

usia 18 bulan di dalam vaksin pentavalent (IDAI, 2020).

f. Vaksin pneumokokus (PCV)

PCV diberikan pada umur 2, 4, dan 6 bulan dengan booster pada umur 12- 15 bulan. Jika

belum diberikan pada umur 7-12 bulan, berikan PCV 2 kali dengan jarak 1 bulan dan booster

setelah 12 bulan dengan jarak 2 bulan dari dosis sebelumnya. (IDAI, 2020).

g. Vaksin rotavirus

Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama mulai umur 6 minggu, dosis

kedua dengan internal minimal 4 minggu, harus selesai pada umur 24 minggu. Vaksin rotavirus

pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama 6-12 minggu, dosis kedua dan ketiga dengan interval

4 sampai 10 minggu, harus selesai pada umur 32 minggu (IDAI, 2020).

h. Vaksin influenza

Vaksin influenza diberikan mulai umur 6 bulan, diulang setiap tahun. (IDAI, 2020).

i. Vaksin MR/MMR

Vaksin MR / MMR pada umur 9 bulan berikan vaksin MR. Bila sampai umur 12 bulan

belum mendapat vaksin MR, dapat diberikan MMR. Umur 18 bulan berikan MR atau MMR.

Umur 5-7 tahun berikan MR (dalam program BIAS kelas 1) atau MMR (IDAI, 2020).

15
16

j. Vaksin jepanese encephalitis (JE)

Vaksin JE diberikan mulai umur 9 bulan di daerah endemis atau yang akan

bepergian ke daerah endemis. Untuk perlindungan jangka panjang dapat berikan

booster 1-2 tahun kemudian (IDAI, 2020).

k. Vaksin varisela

Vaksin varisela diberikan mulai umur 12-18 bulan.


(IDAI, 2020).

l. Vaksin hepatitis A

Vaksin hepatitis A diberikan 2 dosis mulai umur 1 tahun, dosis ke-2

diberikan 6 bulan sampai 12 bulan kemudian (IDAI, 2020).

m. Vaksin tifoid

Vaksin tifoid polisakarida diberikan mulai umur 2 tahun dan diulang setiap

3 tahun (IDAI, 2020).

n. Vaksin human papilloma virus (HPV)

Vaksin HPV diberikan pada anak perempuan umur 9-14 tahun 2 kali

dengan jarak 6-15 bulan (atau pada program BIAS kelas 5 dan 6). (IDAI, 2020).

o. Vaksin dengue

Vaksin dengue diberikan pada anak umur 9-16 tahun dengan seropositif

dengue yang dibuktikan adanya riwayat pernah dirawat dengan diagnosis dengue

(pemeriksaan antigen NS-1 dan atau uji serologis IgM/IgG antidengue positif) atau

dibuktikan dengan pemeriksaan serologi IgG anti positif (IDAI, 2020).

16

Anda mungkin juga menyukai