Anda di halaman 1dari 10

TUJUAN HIDUP MANUSIA

Oleh
Tatang Syaripudin
(Digunakan terbatas sebagai bahan diskusi mahasiswa Departemen Psikologi FIP UPI pada mata kuliah
Filsafat Manusia)

A. Misteri tentang Hidup


Hidup seringkali dibandingkan dengan mati, misal: makhluk hidup kebalikannya adalah
makhluk mati atau benda mati. Vloemans (Soelaeman, 19788:8) mengidentifikasi tujuh
karakteristik hidup, yaitu :
1. Bergerak.
2. Tumbuh atau adanya pertumbuhan.
3. Asimilasi.
4. Memperbanyak diri atau berkembang biak (melanjutkan keturunannya).
5. Memberikan reaksi terhadap stimulus yang datang dari lingkungannya sejalan dengan
kebutuhan hidupnya.
6. Mempertahankan diri.
7. Memiliki daya peyesuaian diri terhadap lingkungan.
Dengan mengenal ciri-ciri hidup, jika kita menemukan sesuatu, maka kita akan dapat
dengan mudah mengambil simpulan, apakah sesuatu itu makhluk hidup atau benda mati.
Sepintas lalu perbedaan antara hidup dan mati tampak sederhana dan jelas, sehingga kita
dapat membedakan dan menyimpulkan mana makhluk hidup dan mana benda mati. Namun
demikian, jika diteliti atau ditelaah lebih dalam, ternyata masalah hidup mengandung
problematika cukup pelik. Hal ini sebagaimana telah disinggung pembahasannya pada bab
III. Menurut aliran Evolusionisme Klasik dan Evolusionisme Materialistik, hidup atau
kehidupan berasal dari benda mati atau materi (dari hal fisik/material muncul yang
psikhis/spiritual). Adapun menurut aliran Kreasionisme – tokohnya antara lain Teilhard de
Chardin – hidup atau kehidupan itu bukan permulaan dari munculnya yang psikhis dari
materi (makhluk hidup bukan berasal dari benda mati), melainkan suatu peningkatan
perubahan bentuk jiwa, yang terjadi secara mendadak. Kehidupan adalah ledakan energi
dalam di bawah ketegangan biologis yang kuat ke taraf perkembangan berikutnya. Kapan
dan bagaimana permulaan munculnya hidup atau kehidupan, rahasia ini tetap berada di
tangan Tuhan Pencipta alam semesta untuk selamanya.
Peliknya problematika tentang hidup disinggung juga oleh Schumacher (1980:24-25)
ketika ia membahas tentang Levels of Being dalam karyanya A Guide for the Perplexed.
Schumacher menjelaskan: tak seorang pun akan mengalami kesulitan dalam mengenali
perbedaan antara sebatang tumbuhan yang hidup dengan sebatang tumbuhan yang mati, dan
karena itu sebatang tumbuhan yang mati turun level atau turun tingkatannya menjadi benda
mati. Kekuatan apa yang hilang dari tumbuhan yang mati? Yang hilang daripadanya tiada
lain adalah apa yang kita sebut hidup. Perbedaan antara makhluk hidup dan benda mati
begitu jelas, ini tampak jelas bagi siapa pun. Namun demikian, sains seperti fisika dan kimia
mutlak tak dapat menyatakan sesuatu apapun tentang hidup atau kekuatan hidup itu. Sains
tak memiliki konsep-konsep yang berkaitan dengan hidup. Sebab itu, para saintis melarang
kita berbicara tentang kekuatan hidup, karena kekuatan seperti itu tak pernah ditemukan
berwujud; sekalipun perbedaannya ada. Hidup atau kekuatan hidup memang ada, dapat
dilihat dan dipikirkan, namun tak dapat diterangkan berdasarkan sains. Menurut
Schumacher, hidup atau kekuatan hidup perlu mendapat perhatian serius, terutama karena
kita mampu memusnahkannya, sekalipun sepenuhnya di luar pengetahuan dan kemampuan
kita untuk menciptakannya. …. Sifat misterius hidup atau kekuatan hidup akan tetap tinggal
dan kita tak akan berhenti kagum. Bayangkan, benda mati tak dapat berbuat apapun,
sebaliknya makhluk hidup, ia dapat mencerap makanan dan minuman dari lingkungannya,
tumbuh, berkembang biak dan sebagainya. Semakin kita merenungkannya, semakin jelaslah
bahwa peningkatan dari benda mati ke level tumbuhan (makhluk hidup) terdapat apa yang
disebut “ontological discontinuity” (ketaksinambungan ontologis) atau terdapat suatu
lompatan di dalam level of being (tingkat keberadaan).
Lebih lanjut Schumacher (1980: 36-49) menjelaskan ciri lain dari benda mati dan
makhluk hidup, yaitu apa yang ia sebut sebagai “gerak maju” (progressions), salah satu dari
konsep gerak maju ini adalah gerak maju dari pasif ke aktif. Benda mati atau makhluk tak
bernyawa bersifat pasif. Benda mati seperti batu, besi, kayu, dan sejenisnya bersifat pasif, tak
dapat melakukan sesuatu, tak dapat mengatur sesuatu dan tak dapat memanfaatkan sesuatu,
benda mati semata-mata berstatus sebagai objek. Sebaliknya, makhluk hidup, pada level
terendah saja yaitu tumbuhan tak sepenuhnya pasif. Tumbuhan bukan semata-mata objek,
dalam batas tertentu tumbuhan mempunyai kemampuan untuk beradaptasi dengan keadaan
lingkungan yang berubah-ubah. Sebatang tumbuhan sampai batas tertentu merupakan sebuah
“subjek”. Pada hewan, dengan adanya kesadaran (consciousness) terdapat gerak maju dari
pasif ke aktif yang lebih maju daripada pada tumbuhan. Hewan bergerak berpindah tempat
bukan sekedar bergerak mengarah kepada sinar matahari sebagaimana tumbuhan, hewan
bergerak cepat dengan kesadaran, misalnya untuk mendapatkan makanan atau menghindari
bahaya. Di sini tampak adanya “kehidupan batin” (inner life) seperti rasa takut, rasa girang,
dsb. Tiap makhluk yang memiliki “kehidupan batin” pasti bukan hanya sekedar objek, tetapi
ia pun adalah subjek, yang bahkan dapat memperlakukan makhluk lain sebagai objek.
Apalagi pada manusia yang memiliki penyadaran diri (self-awareness) – makhluk yang
dapat mengatakan “inilah aku”, seorang pribadi – terdapat gerak maju dari pasif ke aktif
yang lebih maju lagi, yaitu dari objek kepada subjek. Sekalipun dalam keadaan tertentu
mungkin manusia tetap berstatus sebagai objek, tetapi sebagai subjek dengan kebebasannya
manusia mampu melakukan sesuatu, mengatur sesuatu, dan memanfaatkan sesuatu.
Berkenaan dengan gerak maju dari pasif ke aktif ini, muncul permasalahan: dari mana
asal-usul gerak tersebut? Apakah gerak dalam hidup itu betujuan? Jika gerak dalam hidup itu
bertujuan, selanjutnya muncul lagi pertanyaan apakah tujuan hidup manusia?

B. NON TELEOLOGISME
(MEKANISME: MATERIALISTIS KAUSAL-MEKANISTIS)
Di awal uraian pada bab ini dinyatakan bahwa salah satu ciri makhuk hidup adalah
bergerak, terdapat gerak dari pasif ke aktif. Makhluk hidup mampu mengatur dirinya,
melakukan sesuatu, dan memperobjek yang lain. Tetapi jika kita mengamati alam raya ini,
bukankah benda-benda mati juga bergerak? Jarum jam bergerak, sepeda motor atau mobil
bergerak, bumi bergerak atau berputar pada porosnya sambil berputar mengelilingi matahari,
robot bergerak. Peluru kendali, ia tidak hanya bergerak, tetapi juga mengatur arah
gerakannnya menuju sasaran atau objeknya. Demikian juga bahwa mesin dapat mengatur
dirinya sendiri, van Peursen (1988:178) mencontohkan thermostat pada kulkas. Jika suhu di
dalam kulkas naik sampai nol derajat Celcius, maka mesin menghidupkan dirinya sendiri
dengan tujuan untuk dapat menurunkan lagi suhu di dalam kulkas. Demikian juga peluru
kendali, jika objek sasarannya bergerak – berbelok ke kanan atau ke kiri, naik ke atas atau
turun ke bawah – peluru kendali akan mengejar objek sasarannya dengan mengatur gerakan
sesuai gerakan objek sasarannya.
Menyimak ilustrasi di atas, tampak tidak ada perbedaan tentang gerak antara mahluk
hidup – demikian halnya manusia – dengan benda mati. Paham semacam ini dianut oleh oleh
aliran Mekanisme atau Materialisme Kausal-Mekanistik. Mekanisme adalah paham atau
aliran filsafat yang menjelaskan semua kejadian – termasuk dalam bidang kehidupan dan roh
– bertolak dari proses-proses yang bersifat kausalitas-mekanistik. Gagasan Mekanisme
kadang-kadang bersifat luas, karena segala proses kehidupan diterangkan secara physics-
chemis (fisika-kimia). Tetapi juga kadang-kadang bersifat sempit, karena menyamakan
organisme yang hidup dengan sebuah mesin yang rumit dan halus. Tokoh-tokohnya antara
lain Jullien de La Mettrie , Ludwig Feuerbach, dan Needham (van Peursen, 1988:185).
Aliran Mekanisme tidak mengakui adanya perbedaan prinsipal antara hidup dan mati,
aliran ini hanya mengakui adanya perbedaan gradual saja antara hidup dan mati. Secara
fisiologis, hidup atau kehidupan itu semata-mata diatur oleh proses-proses physics-chemis
(fisika-kimia) dengan hukum-hukumnya. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa gangguan-
gangguan pada aspek fisika-kimiawi dapat menimbulkan gangguan-gangguan hidup bahkan
meniadakan kehidupan. Titus (1959, 294-…) menjelaskan pandangan Materialisme
Mekanik, bahwa unsur-unsur fisik yang sama yang ditemukan pada batu-batuan dan planet
juga terdapat dalam organisme. Karena itu, maka semua bentuk dapat diterangkan menurut
hukum yang mengatur materi dan gerak. Segala kejadian dan kondisi adalah akibat dari suatu
sebab atau kondisi-kondisi dan kejadian sebelumnya. Benda-benda organik atau bentuk-
bentuk yang lebih tinggi dalam alam – yaitu manusia – hanyalah merupaka bentuk yang
lebih kompleks dari bentuk inorganik atau bentuk yang lebih rendah. Bentuk yang lebih
tinggi tidak mengandung materi atau energi baru, dan sains adalah cukup untuk dapat
menerangkan segala yang ada dan terjadi. Semua proses alam, baik inorganik maupun
organik telah ditentukan dan dapat diramalkan jika sebab atau fakta tentang kondisi
sebelumnya dapat diketahui.
Bagi penganut Mekanisme atau Materialisme Kausal-Mekanistik semua perubahan –
termasuk gerak – bersifat pasti atau telah tertentukan oleh hukum causalitas-alam- tertutup.
Ini adalah konsep metafisika yang memperluas konsep mesin dan menekankan sifat mekanik
mengenai segala proses baik inorganik maupun organik. Karena gerak pada benda mati
maupun pada makhluk hidup adalah akibat dari sebab atau digerakkan oleh sebab, maka
gerak pada benda mati dan juga pada makhluk hidup hakikatnya tidak bertujuan.
Sehubungan dengan itu, maka dapat disimpukan bahwa hidup manusia pun tidak bertujuan.
Ini sebagaimana dinyatakan Titus (1959:296): bagi penganut Materialisme mekanik,
perubahan yang menyangkut atom dan manusia telah tertentukan oleh hukum causalitas yang
sempurna dan tertutup, yang hanya dapat dijelaskan oleh sains semata-mata, dan tidak perlu
memakai ide seperti “tujuan” (purpose). Implikasi dari pandangan tersebut, banyak ahli pikir
yang berpendapat, jika sains dapat menjelaskan segala sesuatu dengan sebab mekanik saja,
akibatnya tak ada alasan untuk percaya kepada tujuan dari alam. Hukum yang sama berlaku
bagi manusia, hewan-hewan yang lebih rendah dan planet. “Hidup hanya merupakan proses
fisiologi dan hanya mempunyai arti fisiologi”.
Karena kelangsungan realitas merupakan suatu arus yang mengalir berdasarkan hukum
kausalitas alam yang tertutup, maka segala yang sedang terjadi sekarang ini sudah
tertentukan oleh causa-causa yang terjadi sebelumnya. Selanjutnya, apa-apa yang terjadi
sekarang ini merupakan causa-causa bagi apa yang akan terjadi di masa datang. Karena itu,
dalam konteks hidup manusia, maka manusia hanya tinggal melaksanakan hidup yang telah
digariskan oleh causa-causa sebelumnya. Tidak ada kemungkinan bagi manusia untuk
memiliki tujuan dari setiap gerakannya, sebab gerak manusia tertentukan atau ditentukan
oleh causa-causa sebelumnya (predeterminasi). Paham yang menyatakan bahwa alam
semesta - termasuk di dalamnya bahwa hidup manusia tidak memiliki tujuan – disebut aliran
Non Teleologisme atau Mekanisme sebagaimana terwujud pada Materialisme Kausal
Mekanistik.

C. TELEOLOGISME (VITALISME/FINALISME)
Sebagaimana telah dideskripsikan dalam uraian yang lalu, bagi penganut
Nonteleologisme seperti terdapat dalam pandangan Materialime Kausal Mekanistik, hidup
atau gerak dalam hidup itu terjadi karena causa-causa tertentu yang telah ada sebelumnya.
Dengan kata lain, Nonteleologisme melihat hidup atau gerak dalam hidup itu “dari
belakang”. Sebaliknya, Teleologisme atau Finalisme melihat hidup atau gerak hidup itu
“dari depan”, yaitu dari tujuan atau finish-nya. Karena itu, Teleologisme dikenal juga
sebagai aliran Finalisme.
Telelogisme adalah aliran filsafat yang berpendirian bahwa alam semesta mempunyai
suatu tujuan, sehingga perkembangannya mengarah kepada tujuan tersebut. Makhluk mati
(benda mati) maupun makhluk hidup semua mempunyai tujuan. Pendirian atau paham ini
antara lain telah dirintis oleh Aristoteles. Sebagaimana dijelaskan oleh Bertens (1999: 176).
Menurut Aristoteles, tiap-tiap benda alamiah memiliki kodrat yang merupakan penyebab
finalnya. Ini berarti bahwa tiap-tiap benda alamiah akan mencoba merealisasikan kodratnya
atau tujuannya. Di lain pihak, alam semesta sebagi suatu keseluruhan – semua komponen
atau bagian-bagiannya – bekerjasama secara harmonis. Peristiwa di alam semesta tidak
terjadi secara kebetulan, tetapi mengejar suatu tujuan. Aristoteles berpendirian, bahwa
peristiwa-peristiwa yang selalu terjadi dengan cara yang sama, harus mempunyai penyebab
atau sebab final (tujuan). Mustahil peristiwa-peristiwa itu hanya kebetulan berlangsung
dengan cara yang sama. Dalam menjelaskan teleologi, Aristoteles seringkali mengibaratkan
atau membandingkannya dengan seorang manusia yang berakal budi. Ia misalnya
menyatakan: “Alam bertindak sebagai seorang tuan rumah yang baik, karena tidak
membuang apa-apa yang dapat digunakan lagi”. “Alam tidak membuat sesuatu apa pun
dengan sia-sia dan tidak membuat sesuatu berlebihan”. “Alam bertindak seolah-olah ia
mengetahui konsekuensi perbuatannya”. Teleologi juga mencakup alam yang tidak hidup
(benda mati) yang terdiri dari empat anasir (api, udara, air, dan tanah). Keempat anasir ini
mengejar tujuan masing-masing. Api dan udara membumbung ke atas, sedangkan air dan
tanah bergerak ke bawah.
Dalam uraian di atas tampak Aristoteles menolak paham aliran Non-teleologisme.
Penolakan terhadap paham Non-teleologisme atau Materialisme Mekanistik juga didasarkan
atas pikiran bahwa makhluk hidup tak akan dapat dijelaskan hanya berdasarkan hukum
kausalitas semata; bagian-bagian dan kebertautannya hanya dapat diterangkan dengan
memperhatikan arah dan tujuannya. Ini sebagaimana dijelaskan E.S. Russell: bahwa tak ada
satu organisme pun yang dapat dimengerti, bahkan yang nampak sebagai suatu organisme,
tanpa mengaitkan proses-proses dalam organisme itu dengan suatu tujuan, suatu keterarahan
(directiviness, purposiveness, goal-directing)(van Peursen,1988:186).
Teleologisme atau Finalisme terwujudkan pula pada aliran Vitalisme, ialah suatu aliran
yang menjadikan gejala kehidupan sebagai masalah pokok dalam filsafat dan sebagai titik
pangkal untuk menjelaskan seluruh kenyataan. Dalam pandangan Vitalisme, kehidupan tidak
diterangkan secara mekanis atau physics-chemis, melainkan finalistis, artinya yang
menyebabkan dan menggerakkan kehidupan ialah tujuan (finish) (van Peursen 1988:184).
Vitalisme – khususnya Neo-Vitalisme – menyuarakan protes terhadap mekanisme, yaitu
paham yang ingin menerangkan semua kejadian, juga dalam bidang kehidupan dan roh,
dengan berpangkal pada proses-proses yang semata-mata berjalan secara kausal dan mekanis.
Pada bagian akhir (Bagian V) pembahasan tentang “Gerak Maju”, Schumacher
menyatakan adalah sah jika kita menambahkan teleologik atau mengejar suatu tujuan sebagai
salah satu karakteristik gerak maju dari pasif ke aktif. Schumacher menyatakan:
“Menyangkal tindakan teleologik pada tingkat manusia sama tololnya dengan
mempertalikannya pada tingkat benda tak bernyawa” (1980:46-47). Bahkan sebagaimana
telah dijelaskan, bagi Aristoteles teleologi bukan hanya ada pada makhluk hidup
sebagaimana halnya manusia, tetapi juga pada benda mati.
Silang paham antara Nonteleologisme dengan Telelogisme dicoba ditengahi oleh
Immanuel Kant. Kant mencoba memberikan tempat kepada aliran Nonteleologis
(Materialisme: Kausal-Mekanistik) dan Teleologisme (Finalisme) dengan menyatakan:
“Bahwa pada fenomena-fenomena berlaku hukum mekanistik; Sedangkan ciri keterarahan
kepada tujuan, khususnya dalam hubungan dengan nilai-nilai kebebasan, dianggapnya
berlaku pada noumena”. Sejalan dengan hal tersebut, maka Langeveld mengemukakan
bahwa pandangan kausalitis berlaku dalam bidang ilmu kealaman, sedangkan pada bidang
ilmu kerohanian (geisteswisenschaften) pandangan tersebut tidak berlaku (Soelaeman,
1978:25).

D. TUJUAN HIDUP MANUSIA


Dari uraian yang telah kita kaji terdahulu dapat dipahami, menurut Non Teleologisme
bahwa gerak dalam hidup manusia tertentukan dari belakang, yaitu oleh kausa-kausa yang
ada sebelum gerak dalam hidup itu terjadi. Sebab itu, hidup hakikatnya tiada berarti.
Sebaliknya, menurut aliran Teleologisme, manusia hidup bertujuan. Artinya, bahwa gerak
dalam hidup manusia ditentukan oleh apa yang ada di depannya, oleh final atau tujuannya.
Karena gerak dalam hidup atau hidup itu sendiri bertujuan, maka hidup hakikatnya
mempunyai arti, yaitu untuk mencapai suatu tujuan (Henderson, 1959). Sehubungan dengan
gagasan Teleologisme tersebut, muncul pertanyaan: apakah tujuan hidup manusia itu?
Henderson (1959) mendeskripsikan gagasan para filsuf tentang nilai tertinggi atau
kebaikan tertinggi (summum bonum) yang dikejar sebagai tujuan utama hidup manusia. Nilai
tertinggi ini meliputi nilai non material seperti: kebaikan, kebenaran, dan keindahan, dsb.,
dan juga nilai material seperti: penghargaan kita atas makanan, pakaian, rumah, kendaraan
dsb.
1. Kebahagiaan sebagai tujuan hidup manusia
Aristoteles. Menurut Aristoteles nilai tertinggi (summum bonum) dalam hidup
manusia adalah kebahagiaan. Namun cukup sukar untuk mecapai kebahagiaan tersebut.
Dalam bukunya Nichomacean Ethics Aristoteles mengemukakan bahwa kebahagiaan
berada diantara dua ekstrim ekses (melampaui batas) dan difisensi (kekurangan). Ekses
dan difisiensi dua-duanya adalah nilai buruk, diantara keduanya itulah terdapat nilai baik.
Karena itu, menurut Aristoteles baik (virtue) dan buruk (vice) tidak bertentangan.
Dermawan adalah kebaikan diantara dua keburukan, yaitu antara boros (berlebihan,
melampaui batas) dan kikir (kekurangan, terlalu sedikit). Keberanian adalah kebaikan
yang berada diantara berani mati (mati konyol) dan penakut sebagai keburukan.
Selanjutnya, bahwa kebahagiaan pribadi memang merupakan nilai tertinggi, tetapi
manusia adalah makhluk sosial, karena itu manusia adalah kawan manusia lainnya.
Epicurus. Epicurus juga percaya bahwa kebahagiaan adalah summum bonum
dalam hidup manusia. Tetapi cara mencapainya berbeda dengan gagasan dari Aristoteles.
Menurut Epicurus, cara mencapai kebahagiaan itu adalah dengan jalan menolak segala
sesuatu yang memungkinkan kesakitan; kesenangan – misal: mendengarkan music, dll –
diterima baik, tetapi harus diatur dan tidak boleh disalahgunakan.
Aristippos dan Michel On Fray. Paham kedua tokoh ini tergolong penganut
Hedonisme. Mereka melanjutkan pandangan Epicurus, yakni bahwa kepuasan indria
merupakan keharusan untuk menolak kesakitan. Mereka menyarankan: “makan, minum
dan menikahlah, sebab besok kita akan mati”.
Henderson (1959) menilai bahwa pandangan Aristoteles, Epicurus, Aristippos dan
Michel On Fray tergolong Eudaimonisme egoistis. Eudaimonisme adalah paham filsafat
yang memandang kebahagiaan sebagai tujuan akhir atau nilai tertinggi hidup manusia.
J. Bentham dan J.S. Mill. Kedua tokoh ini tergolong penganut Utilitarianisme.
Mereka berpendapat bahwa nilai tertinggi itu adalah kebahagiaan umum, bukan
kebahagiaan pribadi. Perbuatan manusia haruslah susila agar tercapai kebahagiaan
umum; kebahagiaan seseorang atau beberapa orang adalah kurang penting dibanding
kebahagiaan umum. Metafora: “Seseorang (wanita atau pria) tidak boleh minta cerai jika
hal tersebut tidak membahagiakan anak-anak, keluarga dan masyarakat”.
Henderson (1959) menilai pandangan J Bentham dan J.S. Mill sebagai
Eudaimonisme altruitis.
2. Ketenangan sebagai tujuan hidup manusia
Menurut paham Stoicisme, manusia tidak dapat mengharapkan untuk bahagia.
Sebagai gantinya adalah “mengenal diri sendiri”. Sebagai pengganti ajaran bahwa
kebahagiaan dapat diperoleh melalui jalan menghindari kesakitan (sebagaimana
dikemukakan Epicurus), Stoicisme mengajarkan supaya manusia menekan hasrat untuk
bersenang-senang. Mereka mengajarkan bahwa nilai kebaikan tertinggi adalah terdapat
dalam hidup yang mengandung persetujuan dan harmoni dengan alam (natur/dasar).
Kebaikan tertinggi sebagai tujuan akhir manusia adalah ketenangan. Yang seharusnya
dicari bukanlah apa yang kita inginkan, melainkan kehendakilah sesuatu sebagaimana
adanya (terjadi), maka kita akan mendapatkan hidup yang tenang-aman-sentosa.
Henderson (1959) memandang Stoicisme sebagai paham Fatalisme (menyerah
kepada nasib).

3. Realisasi Diri sebagai tujuan hidup manusia


Sebagaimana telah dipaparkan di muka, beberapa filsuf yakin bahwa kebahagiaan
adalah tujuan akhir atau tujuan utama hidup manusia. Sebaliknya, menurut Nicolai
Hartman, kebahagiaan sebagai tujuan hidup adalah mengganggu, menyulitkan dan
mencemooh hidup manusia seumur hidup; membiarkan manusia hidup dengan tangan
hampa, bahkan keadaan terjelek dari keyakinan akan kebahagiaan sebagai tujuan akhir
hidup manusia yaitu perasaan bahwa hidup telah menipu manusia ketika justru
ketidakbahagiaanlah yang terjadi. Henderson (1959) tampaknya tidak ambil pusing
dengan perbedaan pandangan tersebut, yang jelas – menurut Henderson – bahwa
kebahagiaan sangat digandrungi manusia.
Dengan mengacu pada asumsi bahwa manusia adalah makhluk berpikir,
berimajinasi, berperasaan, dan makhlun yang mampu membedakan perbuatan baik
daripada perbuatan jahat (buruk), maka Henderson percaya bahwa manusia dapat
berkembang pada tingkatan di atas hewan. Dapat dibayangkan, tanpa berpikir manusia
akan binasa karena tidak mampu beradaptasi dengan lingkungannya; tanpa imajinasi
manusia tidak akan maju, ia akan tetap primitif; tanpa idealisme moral manusia akan
tetap sebagai “kera” yang mengutamakan self interest-nya (kepentingan dirinya sendiri).
Memang fakta menunjukan adanya orang-orang yang dikuasai oleh egoisme self-interest-
nya, tetapi kita juga meyakini bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk berbuat
dalam rangka kebaikan umum. Berkaitan dengan hal ini, manusia diberi kesempatan
untuk mengembangkan dan menggunakan semua kesanggupan di atas secara penuh,
sehingga mencapai kedudukan manusia ideal. Melalui pendidikanlah hal tersebut
diupayakan agar dapat terealisasikan. Jika kemampuan tersebut terealisasikan, maka
kebahagaan didapatkan. Jadi, menurut Henderson (1959) kebahagiaan itu adalah by
product dari upaya realisasi diri.
Sepanjang tidak membahayakan perkembangan intelegensi, imajinasi, dan moral,
tidak ada alasan bagi kita menolak upaya mencapai kebahagiaan. Adalah fakta bahwa
kebahagiaan merupakan alat bagi perkembangan kepribadian yang terbaik, terutama pada
anak atau manusia muda.

Daftar Pustaka

Bertens, K. (1999). Sejarah Filsafat Yunani dari Thales ke Aristoteles. Yogyakarta. Penerbit
Kanisius.
Henderson, S.V.P. (1959). Introduction to philosophy of education. Chicago: The University of
Chicago.
Schumacher, E.F. (1980). A Guide fo the Perplexed. London. ABACUS, Sphere Book Ltd.
Soelaeman, M. I. (1978). Masalah Tujuan Hidup Manusia. (Tidak diterbitkan). Bandung.
Titus, H. H. (1959). Living issues in philosophy. New York: American Book Coy.
Van Peursen C. A. (1988). Filosofische Orientatie. Terj: Orientasi di Alam Filsafat (Alih
bahasa: Dick Hartoko). Jakarta. PT Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai