Bab 8 Tujuan Hidup Manusia
Bab 8 Tujuan Hidup Manusia
Oleh
Tatang Syaripudin
(Digunakan terbatas sebagai bahan diskusi mahasiswa Departemen Psikologi FIP UPI pada mata kuliah
Filsafat Manusia)
B. NON TELEOLOGISME
(MEKANISME: MATERIALISTIS KAUSAL-MEKANISTIS)
Di awal uraian pada bab ini dinyatakan bahwa salah satu ciri makhuk hidup adalah
bergerak, terdapat gerak dari pasif ke aktif. Makhluk hidup mampu mengatur dirinya,
melakukan sesuatu, dan memperobjek yang lain. Tetapi jika kita mengamati alam raya ini,
bukankah benda-benda mati juga bergerak? Jarum jam bergerak, sepeda motor atau mobil
bergerak, bumi bergerak atau berputar pada porosnya sambil berputar mengelilingi matahari,
robot bergerak. Peluru kendali, ia tidak hanya bergerak, tetapi juga mengatur arah
gerakannnya menuju sasaran atau objeknya. Demikian juga bahwa mesin dapat mengatur
dirinya sendiri, van Peursen (1988:178) mencontohkan thermostat pada kulkas. Jika suhu di
dalam kulkas naik sampai nol derajat Celcius, maka mesin menghidupkan dirinya sendiri
dengan tujuan untuk dapat menurunkan lagi suhu di dalam kulkas. Demikian juga peluru
kendali, jika objek sasarannya bergerak – berbelok ke kanan atau ke kiri, naik ke atas atau
turun ke bawah – peluru kendali akan mengejar objek sasarannya dengan mengatur gerakan
sesuai gerakan objek sasarannya.
Menyimak ilustrasi di atas, tampak tidak ada perbedaan tentang gerak antara mahluk
hidup – demikian halnya manusia – dengan benda mati. Paham semacam ini dianut oleh oleh
aliran Mekanisme atau Materialisme Kausal-Mekanistik. Mekanisme adalah paham atau
aliran filsafat yang menjelaskan semua kejadian – termasuk dalam bidang kehidupan dan roh
– bertolak dari proses-proses yang bersifat kausalitas-mekanistik. Gagasan Mekanisme
kadang-kadang bersifat luas, karena segala proses kehidupan diterangkan secara physics-
chemis (fisika-kimia). Tetapi juga kadang-kadang bersifat sempit, karena menyamakan
organisme yang hidup dengan sebuah mesin yang rumit dan halus. Tokoh-tokohnya antara
lain Jullien de La Mettrie , Ludwig Feuerbach, dan Needham (van Peursen, 1988:185).
Aliran Mekanisme tidak mengakui adanya perbedaan prinsipal antara hidup dan mati,
aliran ini hanya mengakui adanya perbedaan gradual saja antara hidup dan mati. Secara
fisiologis, hidup atau kehidupan itu semata-mata diatur oleh proses-proses physics-chemis
(fisika-kimia) dengan hukum-hukumnya. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa gangguan-
gangguan pada aspek fisika-kimiawi dapat menimbulkan gangguan-gangguan hidup bahkan
meniadakan kehidupan. Titus (1959, 294-…) menjelaskan pandangan Materialisme
Mekanik, bahwa unsur-unsur fisik yang sama yang ditemukan pada batu-batuan dan planet
juga terdapat dalam organisme. Karena itu, maka semua bentuk dapat diterangkan menurut
hukum yang mengatur materi dan gerak. Segala kejadian dan kondisi adalah akibat dari suatu
sebab atau kondisi-kondisi dan kejadian sebelumnya. Benda-benda organik atau bentuk-
bentuk yang lebih tinggi dalam alam – yaitu manusia – hanyalah merupaka bentuk yang
lebih kompleks dari bentuk inorganik atau bentuk yang lebih rendah. Bentuk yang lebih
tinggi tidak mengandung materi atau energi baru, dan sains adalah cukup untuk dapat
menerangkan segala yang ada dan terjadi. Semua proses alam, baik inorganik maupun
organik telah ditentukan dan dapat diramalkan jika sebab atau fakta tentang kondisi
sebelumnya dapat diketahui.
Bagi penganut Mekanisme atau Materialisme Kausal-Mekanistik semua perubahan –
termasuk gerak – bersifat pasti atau telah tertentukan oleh hukum causalitas-alam- tertutup.
Ini adalah konsep metafisika yang memperluas konsep mesin dan menekankan sifat mekanik
mengenai segala proses baik inorganik maupun organik. Karena gerak pada benda mati
maupun pada makhluk hidup adalah akibat dari sebab atau digerakkan oleh sebab, maka
gerak pada benda mati dan juga pada makhluk hidup hakikatnya tidak bertujuan.
Sehubungan dengan itu, maka dapat disimpukan bahwa hidup manusia pun tidak bertujuan.
Ini sebagaimana dinyatakan Titus (1959:296): bagi penganut Materialisme mekanik,
perubahan yang menyangkut atom dan manusia telah tertentukan oleh hukum causalitas yang
sempurna dan tertutup, yang hanya dapat dijelaskan oleh sains semata-mata, dan tidak perlu
memakai ide seperti “tujuan” (purpose). Implikasi dari pandangan tersebut, banyak ahli pikir
yang berpendapat, jika sains dapat menjelaskan segala sesuatu dengan sebab mekanik saja,
akibatnya tak ada alasan untuk percaya kepada tujuan dari alam. Hukum yang sama berlaku
bagi manusia, hewan-hewan yang lebih rendah dan planet. “Hidup hanya merupakan proses
fisiologi dan hanya mempunyai arti fisiologi”.
Karena kelangsungan realitas merupakan suatu arus yang mengalir berdasarkan hukum
kausalitas alam yang tertutup, maka segala yang sedang terjadi sekarang ini sudah
tertentukan oleh causa-causa yang terjadi sebelumnya. Selanjutnya, apa-apa yang terjadi
sekarang ini merupakan causa-causa bagi apa yang akan terjadi di masa datang. Karena itu,
dalam konteks hidup manusia, maka manusia hanya tinggal melaksanakan hidup yang telah
digariskan oleh causa-causa sebelumnya. Tidak ada kemungkinan bagi manusia untuk
memiliki tujuan dari setiap gerakannya, sebab gerak manusia tertentukan atau ditentukan
oleh causa-causa sebelumnya (predeterminasi). Paham yang menyatakan bahwa alam
semesta - termasuk di dalamnya bahwa hidup manusia tidak memiliki tujuan – disebut aliran
Non Teleologisme atau Mekanisme sebagaimana terwujud pada Materialisme Kausal
Mekanistik.
C. TELEOLOGISME (VITALISME/FINALISME)
Sebagaimana telah dideskripsikan dalam uraian yang lalu, bagi penganut
Nonteleologisme seperti terdapat dalam pandangan Materialime Kausal Mekanistik, hidup
atau gerak dalam hidup itu terjadi karena causa-causa tertentu yang telah ada sebelumnya.
Dengan kata lain, Nonteleologisme melihat hidup atau gerak dalam hidup itu “dari
belakang”. Sebaliknya, Teleologisme atau Finalisme melihat hidup atau gerak hidup itu
“dari depan”, yaitu dari tujuan atau finish-nya. Karena itu, Teleologisme dikenal juga
sebagai aliran Finalisme.
Telelogisme adalah aliran filsafat yang berpendirian bahwa alam semesta mempunyai
suatu tujuan, sehingga perkembangannya mengarah kepada tujuan tersebut. Makhluk mati
(benda mati) maupun makhluk hidup semua mempunyai tujuan. Pendirian atau paham ini
antara lain telah dirintis oleh Aristoteles. Sebagaimana dijelaskan oleh Bertens (1999: 176).
Menurut Aristoteles, tiap-tiap benda alamiah memiliki kodrat yang merupakan penyebab
finalnya. Ini berarti bahwa tiap-tiap benda alamiah akan mencoba merealisasikan kodratnya
atau tujuannya. Di lain pihak, alam semesta sebagi suatu keseluruhan – semua komponen
atau bagian-bagiannya – bekerjasama secara harmonis. Peristiwa di alam semesta tidak
terjadi secara kebetulan, tetapi mengejar suatu tujuan. Aristoteles berpendirian, bahwa
peristiwa-peristiwa yang selalu terjadi dengan cara yang sama, harus mempunyai penyebab
atau sebab final (tujuan). Mustahil peristiwa-peristiwa itu hanya kebetulan berlangsung
dengan cara yang sama. Dalam menjelaskan teleologi, Aristoteles seringkali mengibaratkan
atau membandingkannya dengan seorang manusia yang berakal budi. Ia misalnya
menyatakan: “Alam bertindak sebagai seorang tuan rumah yang baik, karena tidak
membuang apa-apa yang dapat digunakan lagi”. “Alam tidak membuat sesuatu apa pun
dengan sia-sia dan tidak membuat sesuatu berlebihan”. “Alam bertindak seolah-olah ia
mengetahui konsekuensi perbuatannya”. Teleologi juga mencakup alam yang tidak hidup
(benda mati) yang terdiri dari empat anasir (api, udara, air, dan tanah). Keempat anasir ini
mengejar tujuan masing-masing. Api dan udara membumbung ke atas, sedangkan air dan
tanah bergerak ke bawah.
Dalam uraian di atas tampak Aristoteles menolak paham aliran Non-teleologisme.
Penolakan terhadap paham Non-teleologisme atau Materialisme Mekanistik juga didasarkan
atas pikiran bahwa makhluk hidup tak akan dapat dijelaskan hanya berdasarkan hukum
kausalitas semata; bagian-bagian dan kebertautannya hanya dapat diterangkan dengan
memperhatikan arah dan tujuannya. Ini sebagaimana dijelaskan E.S. Russell: bahwa tak ada
satu organisme pun yang dapat dimengerti, bahkan yang nampak sebagai suatu organisme,
tanpa mengaitkan proses-proses dalam organisme itu dengan suatu tujuan, suatu keterarahan
(directiviness, purposiveness, goal-directing)(van Peursen,1988:186).
Teleologisme atau Finalisme terwujudkan pula pada aliran Vitalisme, ialah suatu aliran
yang menjadikan gejala kehidupan sebagai masalah pokok dalam filsafat dan sebagai titik
pangkal untuk menjelaskan seluruh kenyataan. Dalam pandangan Vitalisme, kehidupan tidak
diterangkan secara mekanis atau physics-chemis, melainkan finalistis, artinya yang
menyebabkan dan menggerakkan kehidupan ialah tujuan (finish) (van Peursen 1988:184).
Vitalisme – khususnya Neo-Vitalisme – menyuarakan protes terhadap mekanisme, yaitu
paham yang ingin menerangkan semua kejadian, juga dalam bidang kehidupan dan roh,
dengan berpangkal pada proses-proses yang semata-mata berjalan secara kausal dan mekanis.
Pada bagian akhir (Bagian V) pembahasan tentang “Gerak Maju”, Schumacher
menyatakan adalah sah jika kita menambahkan teleologik atau mengejar suatu tujuan sebagai
salah satu karakteristik gerak maju dari pasif ke aktif. Schumacher menyatakan:
“Menyangkal tindakan teleologik pada tingkat manusia sama tololnya dengan
mempertalikannya pada tingkat benda tak bernyawa” (1980:46-47). Bahkan sebagaimana
telah dijelaskan, bagi Aristoteles teleologi bukan hanya ada pada makhluk hidup
sebagaimana halnya manusia, tetapi juga pada benda mati.
Silang paham antara Nonteleologisme dengan Telelogisme dicoba ditengahi oleh
Immanuel Kant. Kant mencoba memberikan tempat kepada aliran Nonteleologis
(Materialisme: Kausal-Mekanistik) dan Teleologisme (Finalisme) dengan menyatakan:
“Bahwa pada fenomena-fenomena berlaku hukum mekanistik; Sedangkan ciri keterarahan
kepada tujuan, khususnya dalam hubungan dengan nilai-nilai kebebasan, dianggapnya
berlaku pada noumena”. Sejalan dengan hal tersebut, maka Langeveld mengemukakan
bahwa pandangan kausalitis berlaku dalam bidang ilmu kealaman, sedangkan pada bidang
ilmu kerohanian (geisteswisenschaften) pandangan tersebut tidak berlaku (Soelaeman,
1978:25).
Daftar Pustaka
Bertens, K. (1999). Sejarah Filsafat Yunani dari Thales ke Aristoteles. Yogyakarta. Penerbit
Kanisius.
Henderson, S.V.P. (1959). Introduction to philosophy of education. Chicago: The University of
Chicago.
Schumacher, E.F. (1980). A Guide fo the Perplexed. London. ABACUS, Sphere Book Ltd.
Soelaeman, M. I. (1978). Masalah Tujuan Hidup Manusia. (Tidak diterbitkan). Bandung.
Titus, H. H. (1959). Living issues in philosophy. New York: American Book Coy.
Van Peursen C. A. (1988). Filosofische Orientatie. Terj: Orientasi di Alam Filsafat (Alih
bahasa: Dick Hartoko). Jakarta. PT Gramedia.