Anda di halaman 1dari 23

HIPERTENSI

Hipertensi adalah suatu keadaan dimana tekanan darah sistolik >140 mmHg dan/atau diastolik
>90 mmHg.

Klasifikasi Hipertensi

Klasifikasi TD Sistolik (mmHg) TD diastolik (mmHg)


Optimal <120 <80
Normal 120-129 80-84
Normal Tinggi 130-139 85-89
Hipertensi derajat 1 140-159 90-99
Hipertensi derajat 2 160-179 100-109
Hipertensi derajat 3 ≥ 180 ≥110
Hipertensi sistolik terisolasi ≥ 140 <90
Sumber: Williams B, Mancia G, Spiering W, Agabiti RE, Azizi M, Burnier M, et al; ESC
Scientific Document Group. 2018 ESC/ESH Guidelines for the management of arterial
hypertension. Eur Heart J. 2018;39:3021-104.

Tata Laksana Hipertensi

Pola hidup sehat dapat mencegah ataupun memperlambat awitan hipertensi dan dapat
mengurangi risiko kardiovaskular. Pola hidup sehat juga dapat memperlambat ataupun
mencegah kebutuhan terapi obat pada hipertensi derajat 1, namun sebaiknya tidak menunda
inisiasi terapi obat pada pasien dengan HMOD atau risiko tinggi kardiovaskular. Pola hidup
sehat telah terbukti menurunkan tekanan darah yaitu pembatasan konsumsi garam dan alkohol,
peningkatan konsumsi sayuran dan buah, penurunan berat badan dan menjaga berat badan ideal
(IMT 18,5 – 22,9 kg/m2), aktivitas fisik teratur ringan sampai sedang (minimal 30 menit
sehari, contohnya: mengepel lantai, menyapu lantai, dan mencuci mobil), serta menghindari
rokok.

Obat-Obat Untuk TataLaksana Hipertensi

a. Pemilihan Obat Hipertensi

Strategi pengobatan yang dianjurkan pada panduan tata laksana hipertensi saat ini adalah
dengan menggunakan terapi kombinasi pada sebagian besar pasien, untuk mencapai tekanan
darah sesuai target. Bila memungkinkan dalam bentuk single pill combination (SPC), untuk
meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan. Lima golongan obat antihipertensi utama yang
rutin direkomendasikan yaitu: ACEi, ARB, beta bloker, CCB dan diuretik.
Obat anti hipertensi oral Obat Dosis (mg/hari) Frekuensi Waktu Pemberian
Kelas Obat
Obat-obat Lini Utama
Tiazid atau diuretik tipe Hidroklorothiazid 25 - 50 1 Pagi hari
tiazid
Indapamide 1,25 – 2,5 1 Pagi hari
Penghambat ACE Captopril 1,25 - 150 2 atau 3 Malam hari

Enalapril 5 - 40 1 atau 2 Malam hari


Lisinopril 10 - 40 1 Malam hari
Perindopril 4 - 16 1 Malam hari
Ramipril 2,5 - 10 1 atau 2 Malam hari
Imidapril 5-10 1 Malam hari
ARB Candesartan 8 - 32 1 Malamhari

(Eprosartan) 600 - 800 1 atau 2 Tidak ada data


Irbesartan 150 - 300 1 Malam hari
Losartan 50 - 100 1 atau 2 Malam hari
Olmesartan 20 - 40 1 Malam hari
Telmisartan 80 - 320 1 Malam hari
Valsartan 80 - 320 1 Malam hari
CCB – Amlodipine 2,5 - 10 1 Pagi hari
dihidropiridine
(Felodipin) 5 – 10 1 Tidak ada data
Nifedipine 60 - 120 1 Malam hari
Lecarnidipine 10-20 1 Pagi hari
CCB - Diltiazem SR 180 - 360 1 Malam hari
non
dihidropiridine
Diltiazem CD 100 - 200 1 Malam hari
Verapamil SR 120 - 480 1 Malam hari
Obat-obat Lini Kedua
Diuretik loop Furosemid 20 - 80 2 Pagi hari
(Torsemid) 5 – 10 1 Pagi hari
Diuretik hemat kalium (Amilorid) 5 – 10 1 atau 2 Tidak ada data
(Triamferen) 50 - 100 1 atau 2 Tidak ada data
Diuretik antagonis (Eplerenon) 50 - 100 1 atau 2 Tidak ada data
aldosteron
Spironolakton 50 – 100 1 Pagi hari
Penyekat beta - Atenolol 25 - 100 1 atau 2 Pagi atau malam hari
kardioselektif tidak ada perbedaan
signifikan
Bisoprolol 2,5 - 10 1 Tidak ada data
b. Strategi Kombinasi Obat Hipertensi

Terdapat berbagai macam strategi untuk memulai dan meningkatkan dosis obat penurun TD,
yaitu pemberian monoterapi pada tatalaksana awal, kemudian meningkatkan dosisnya bila
belum mencapai target, atau diganti dengan monoterapi lain. Namun, meningkatkan dosis
monoterapi menghasilkan sedikit penurunan TD dan memberikan efek yang merugikan.
Sementara beralih dari satu monoterapi ke yang lain, memakan waktu dan seringkali tidak
efektif. Untuk alasan-alasan ini, pedoman terbaru semakin berfokus pada pendekatan
bertingkat, memulai pengobatan dengan monoterapi yang berbeda dan kemudian secara
berurutan menambahkan obat lain

sampai kontrol TD tercapai. Pedoman merekomendasikan target TD yang lebih ketat


(pengobatan) nilai ≤130/80 mmHg pada populasi umum dan ≤140/90 mmHg pada pasien
hipertensi yang lebih tua), yang akan membuat pencapaian kontrol TD bahkan lebih
menantang.
Beberapa alasan perlu dipertimbangkan untuk mengidentifikasi mengapa saat ini strategi
pengobatan telah gagal mencapai tingkat kontrol TD yang lebih baik. Pertama adalah adanya
sekitar 5 - 10% dari pasien hipertensi yang menunjukkan resistensi terhadap pilihan obat anti
hipertensi, kedua adalah peranan dokter atau perawatan tidak optimal yang mengakibatkan
kegagalan kontrol TD, ketiga tingkat kepatuhan pasien yang beragam, keempat adalah
penggunaan pengobatan kombinasi tidak memadai/ lebih banyak pasien yang di terapi
dengan menggunakan monoterapi, dan yang kelima adalah kompleksitas strategi pengobatan
saat ini yang juga akan mempengaruhi kepatuhan pasien dalam berobat.
Pertimbangan di atas menunjukkan bahwa strategi pengobatan berbasis bukti yang paling
efektif untuk meningkatkan kontrol TD adalah pertama penggunaan pengobatan kombinasi
terutama dalam konteks target TD yang lebih rendah; kedua dianjurkan penggunaan terapi
SPC untuk meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan; dan ketiga adalah mengikuti
algoritma terapi dengan menggunakan terapi SPC sebagai terapi awal, kecuali pada pasien
dengan TD dalam kisaran tinggi-normal dan pada pasien lanjut usia yang renta (frail).
Pilihan kombinasi obat anti hipertensi

Strategi pengobatan pada hipertensi dan penyakit ginjal kronik

Hipertensi Dengan Kondisi Spesifik


Beberapa kondisi klinis tertentu akan mempengaruhi strategi tata laksana hipertensi, seperti
yang di uraikan di bawah ini:
a. Hipertensi Resisten
Tekanan darah yang tidak mencapai target TDS <140 mmHg dan/atau TDD <90 mmHg,
walaupun sudah mendapatkan 3 antihipertensi berbeda golongan dengan dosis maksimal
seperti diuretik (hydrochlorotiazide/HCT) ACEi atau ARB dan CCB, serta pasien sudah
menjalankan rekomendasi modifikasi gaya hidup. Dalam hal ini, kondisi hipertensi resisten
sudah dikonfirmasi dengan ABPM atau HBPM dan sudah menyingkirkan kemungkinan
hipertensi resisten palsu dan hipertensi sekunder.
 Hipertensi Resisten Palsu
Hipertensi resisten palsu dapat ditemukan bila: pengukuran TD di klinik yang tidak adekuat;
kalsifikasi arteri brakialis, white coat hypertension; kekurangpatuhan pasien, akibat berbagai
hal seperti efek samping pengobatan, jadwal obat rumit, hubungan dokter dan pasien tidak
harmonis, edukasi pasien tidak optimal, masalah daya ingat dan psikiatri, dan biaya
pengobatan tinggi; dosis obat tidak optimal, atau kombinasi obat tidak tepat; dan tidak
optimal.
Dalam menegakkan diagnosis hipertensi resisten, diperlukan beberapa informasi yang rinci
mengenai riwayat kebiasaan dan gaya hidup, jenis dan dosis obat antihipertensi sebelumnya,
pemeriksaan fisik yang menunjang adanya HMOD dan tanda hipertensi sekunder, adanya
hipertensi resisten berdasarkan pemeriksaan TD klinik, pemeriksaan laboratorium seperti
abnormalitas elektrolit, gula darah (untuk diabetes melitus), kerusakan ginjal yang lanjut
maupun pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi hipertensi sekunder, serta
penilaian kepatuhan terapi antihipertensi.

Hipertensi Krisis (Hipertensi Emergensi dan Urgensi)


 Hipertensi Emergensi
Hipertensi emergensi adalah hipertensi derajat 3 (TDS ≥180 dan/atau TDD ≥110) dengan
HMOD akut. Hal ini sering kali mengancam jiwa dan memerlukan penanganan segera dan
seksama. Untuk menurunkan tekanan darah biasanya memerlukan obat intravena. Besar dan
cepatnya peningkatan TD sama pentingnya dengan menentukan batas TD yang dapat
mempengaruhi besarnya kerusakan organ.
Gambaran hipertensi emergensi adalah sebagai berikut:

1) Hipertensi maligna: hipertensi berat (umumnya derajat 3) dengan perubahan gambaran


funduskopi (perdarahan retina dan atau papiledema), mikroangiopati dan koagulasi
intravaskular diseminata serta ensefalopati (terjadi pada sekitar 15% kasus), gagal jantung
akut, penurunan fungsi ginjal akut. Gambaran dapat berupa nekrosis fibrinoid arteri kecil di
ginjal, retina dan otak. Makna maligna merefleksikan prognosis yang sangat buruk apabila
tidak ditangani dengan baik.

2) Hipertensi berat (derajat 3) yang di hubungkan dengan kondisi klinis lain, dan memerlukan
penurunan TD segera, seperti diseksi aorta akut, iskemi miokard akut atau gagal jantung akut.

3) Hipertensi berat mendadak akibat feokromositoma dan disertai dengan kerusakan organ.

4) Ibu hamil dengan hipertensi berat atau preeklampsia.


Gejala emergensi tergantung kepada organ terdampak, seperti sakit kepala, gangguan
penglihatan, nyeri dada, sesak napas, pusing kepala atau gejala defisit neurologis. Gejala
klinis ensefalopati hipertensi berupa somnolen, letargi, kejang tonik klonik dan kebutaan
kortikal hingga gangguan kesadaran. Meskipun demikian, lesi neurologis fokal jarang terjadi
dan bila terjadi, maka hendaknya dicurigai sebagai stroke.
Kejadian stroke akut terutama hemoragik dengan hipertensi berat disebut sebagai hipertensi
emergensi. Namun demikian penurunan tekanan darah hendaknya dilakukan dengan hati-hati.
Pemeriksaan yang umum di lakukan pada keadaan hipertensi emergensi adalah funduskopi,
EKG 12-lead, pemeriksaan kimia darah (haemoglobin, hitung trombosit, fibrinogen,
kreatinin, eGFR, elektrolit, LDH dan haptoglobin), rasio albumin kreatinin urin, urinalisa
untuk melihat sel darah merah, leukosit dan sedimen, dan tes kehamilan pada wanita usia
reproduktif.
Selain itu terdapat beberapa pemeriksaan lainnya yang di indikasikan pada keadaan klinis
tertentu, seperti troponin, CKMB dan NT pro BNP pada keadaan yang melibatkan jantung
seperti gagal jantung akut; foto polos dada pada keadaan overload cairan; ekokardiografi
pada keadaan disesksi aorta, gagal jantung atau iskemia jantung; CT angiography dada
dan/atau abdomen pada keadaan yang dicurigai penyakit aorta yang akut misal diseksi aorta;
CT atau MRI otak; USG ginjal pada keadaan gangguan fungsi ginjal atau dicurigai stenosis
arteri renalis; dan pemeriksaan penapisan obat di urin pada keadaan dimana dicurigai adanya
penggunaan methamphetamine atau kokain.
Hipertensi Urgensi
Hipertensi urgensi merupakan hipertensi berat tanpa bukti klinis keterlibatan organ target.
Umumnya tidak memerlukan rawat inap dan dapat diberikan obat oral sesuai dengan
algoritma tata laksana hiperteni urgensi.
Peningkatan tekanan darah mendadak dapat diakibatkan obat-obat simpatomimetik. Keluhan
nyeri dada berat atau stres psikis berat juga dapat menimbulkan peningkatan tekanan darah
mendadak. Kondisi ini dapat diatasi setelah keluhan membaik tanpa memerlukan tata laksana
spesifik terhadap tekanan darah.
1) Tata Laksana Hipertensi Emergensi
Terdapat beberapa pertimbangan strategi tata laksana hipertensi emergensi, antara lain:
a) Memastikan organ target yang terlibat dan tata laksana spesifik untuk kelainan yang di
temukan
b) Penentuan waktu dan besarnya penurunan TD yang aman sesuai dengan rekomendasi yang
ada; dan

c) Jenis tata laksana yang dibutuhkan untuk menurunkan TD. Obat intravena dengan waktu
paruh pendek merupakan pilihan ideal untuk titrasi tekanan darah secara hati-hati, dilakukan
di fasilitas kesehatan yang mampu melakukan pemantauan hemodinamik kontinyu.

Tata laksana hipertensi emergensi yang memerlukan penurunan TD segera dengan obat
intravena

Klinis Waktu dan Obat pilihan Alternatif


target pertama
penurunan TD
Hipertensi Labetalol NItroprusid
maligna dengan o Beberapa jam Nikardipin Urapidil
atau tanpa gagal o Menurunkan
ginjal akut MAP 20-25%

Ensefalopati Segera Labetolol NItroprusid


hipertensi menurunkan Nikardipin
MAP 20-25%
Sindrom Segera Nitrogliserin (Urapidil)
Koroner Akut menurunkan Labetalol
TDS menjadi <
140 mmHg
Edema paru Segera Nitroprusid atau (Urapidil)
akut menurunkan nitrogliserin
TDS menjadi < (dengan loop
140 mmHg diuretic)
Diseksi Aorta Segera Esmolol dan Labetalol
Akut menurunkan nitroprusid atau ATAU
TDS menjadi < nitrogliserin metoprolol
120 mmHg atau nikardipin
DAN frekuensi
nadi menjadi <
60 kali per
menit
Eklampsia dan Segera Labetalol atau Pertimbangkan
pre eclampsia menurunkan nikardipin dan persalinan
berat/HELLP TDS menjadi < magnesium
160 mmHg sulfat
DAN TDD
menjadi < 105
mmHg
Obat-obat hipertensi emergensi yang tersedia di Indonesia
Hipertensi arteri pulmonal

Hipertensi arteri pulmonal adalah suatu keadaan patologis dimana didapatkan peningkatan
resistensi tekanan vaskular paru. Pemberian terapi vasodilator untuk hipertensi pulmonal
secara intravena dan oral pada perawatan perioperatif dan rawat intensif tidak bersifat secara
selektif pada arteri pulmonal karena rute pemberiannya yang dapat memengaruhi kondisi
sistemik. Pemberian obat vasodilator secara inhalasi dapat menjadi terapi yang lebih spesifik
terhadap arteri pulmonal paru dan mengurangi efek samping sistemik seperti kondisi
hipotensi yang tidak diharapkan.
Definisi Hipertensi Pulmonal

Hipertensi pulmonal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan rerata arteri pulmonal diatas
25 mmHg pada saat kondisi istirahat yang dievaluasi melalui kateterisasi jantung kanan.
Hipertensi pulmonal juga didefinisikan sebagai peningkatan tekanan rerata arteri pulmonal
diatas 30 mmHg pada saat kondisi exercise, akan tetapi pada pertemuan berkelanjutan
simposium Dana Point, California di tahun 2008 telah merevisi hal tersebut dan
menggunakan angka tekanan rerata pulmonal >25 mmHg saat istirahat sebagai definisi
hipertensi pulmonal.

Klasifikasi Hipertensi Pulmonal


Hipertensi Pulmonal diklasifikasikan menjadi 5 kategori berdasarkan etiologinya yaitu
hipertensi arteri pulmonal, hipertensi pulmonal karena penyakit jantung kiri, hipertensi
pulmonal yang berhubungan dengan kelainan paru, hipertensi pulmonal karena penyakit
thrombosis kronis atau emboli, dan hipertensi pulmonal karena mekanisme multi-faktorial
yang belum jelas.

Mekanisme kerja obat antihipertensi

1. Diuretik
Diuretik bekerja meningkatkan eksresi natrium, air dan klorida sehingga menurunkan volume
darah dan cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah.
Selain mekanisme tersebut, beberapa diuretic juga menurunkan resistensi perifer sehingga
menambah efek hipotensinya. Efek ini diduga akibat penurunan natrium di ruang interstisial
dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks kalsium.
Hal ini terlihat jelas pada diuretik tertentu seperti golongan tiazid yang mulai menunjukkan
efek hipotensif pada dosis kecil sebelum timbulnya diuresis yang nyata. Pada pemberian
kronik curah jantungakan Kembali normal, namun efek hipotensif masih ada. Efek ini diduda
akibat penurunan resistensi perifer.
Penelitian penelitian besar membuktikan bahwa efek proteksi kardiovaskular diuretic belum
terkalahkan oleh obat lain sehingga diuretic dianjurkan untuk sebagian besar kasus hipertensi
ringan dan sedang. Bahkan bila menggunakan kombinasi dua atau lebih antihipertensi, maka
salah satunya dianjurkan diuretic.

 Golongsan tiazid
Obat golongan ini bekerja dengan menghambat transport bersama (symport) Na-Cl di
tubulus distal ginjal, sehingga eksresi Na +¿¿ dan Cl−¿¿ meningkat.
Pada pasien gagal ginjal, tiazid kehilangan efektifitas diuretic dan antihipertensinya.
Untuk pasien ini dianjurkan penggunaan diuretic kuat. Tiazid terutama efektif pada
pasien hipertrnsi dengan kadar renin yang rendah, misalnya pada orang tua. Pada
kebanyakan pasien, efek antihipertensi mulai terlihat dengan dosis HCT 12,5mg/hari.
Bila digunakan sebagai monoterapi, dosis maksimal sebaiknya tidak melebihi 25 HCT
atau klortalidon perhari, karena peningkatan dosis selanjutnya akan meningkatkan
efek samping hipokalemia dan efek samping lainnya tanpa meningkatkan efek
antihipertensi secara nyata.
Tiazid dapat digunakan sebagai obat tunggal pada hipertensi ringan sampai sedang,
atau dalam kombinasi dengan antihipertensi lain bila TD tidak berhasil diturunkan
dengan diuretic saja.
Tiazid jarang menyebabkan hipertensi ortostatik dan ditoleransi dengan baik,
harganya murah, dapat diberikan 1 kali sehari, dan efek antihipertensinya bertahan
pada pemakaian jangka panjang.
Tiazid sering kali dikombinasikan dengan obat antihipertensi lain karena:
a) dapat meningkatkan efektivitas antihipertensi lain dengan mekanisme kerja
yang berbeda sehingga dosis ya dapat dikurangi
b) tiazid dapat mencegah retensi cairan oleh antihipertensi lain sehingga efek
obat obatan tersebut dapat bertahan
Efek antihipertensi tiazid mengalami antagonisme oleh antiinflamasi non steroid
(AINS), terutama indometasin, karena AINS menghambat sintesis prostaglandin yang
berperan penting dalam pengaturan aliran darah ginjal dan transport air dan garam.
Akibatnya terjadi retensi natrium dan air yang akan mengurangi efek hampir semua
obat antihipertensi.
Efek samping:
Tiazid, terutama dalam dosis tinggi dapat menyebabkan hipokalemia yang dapat
berbahaya pada pasien yang mendapat digitalis. Efek samping ini dapat dihindari bila
tiazid diberikan dalam dosis rendah atau dikombinasikan dengan obat lain seperti
diuretic hemat kalium, atau penghambat enzim konversi angiotensin (ACE –
inhibitor). Sedangkan suplemen kalium tidak lebih efektif. Tiazid juga dapat
menyebabkan hiponatremia dan hypomagnesemia serta hiperkalsemia. Selain itu,
tiazid dapat menghambat eksresi asam urat dari ginjal, dan pada pasien hiperurisemia
dapat mencetuskan serangan gout akut. Untuk menghindari efek metabolic ini, tiazid
harus digunakan dalam dosis rendah dan dilakukan pengaturan diet.
Tiazid dapat meningkatkan kadar kolestrol LDL dan trigliserida, tetapi kemaknaannya
dalam penigkatan resiko penyakit jantung coroner belum jelas. Pada penderita DM,
tiazid dapat menyebabkan hiperglikemia karena mengurangi sekresi insulin. Pada
pasien pria, gangguan fungsi seksual merupakan efek samping tiazid yang kadang
kadang cukup mengganggu.
Terdapat beberapa obat termasuk golongan tiazid antara lain:

Obat Dosis (mg) Pemberian Sediaan


Diuretik tiazid
Hidrokorotiazid 12,5 - 25 1 x sehari Tab 25 dan 50 mg
Klortalidon 12,5 - 25 1 x sehari Tab 50 mg
Indapamide 12,5 - 25 1 x sehari Tab 2,5mg
Bendroflumetiazid 2,5 -5 1 x sehari Tab 5mg
Metozalon 2,5 -5 1 x sehari Tab 2,5; 5 dan 10
mg
Metozalon rapid 0,5 - 1 1 x sehari Tab 0,5mg
acting
Xipamide 10 - 20 1 x sehari Tab 2,5mg

 Diuretik kuat (Loop Diuretic, ceiling diuretics)


Diuretik kuat bekerja di ansa henle asenden bagian epitel tebal dengan cara
+ ¿Cl−¿ ¿ ¿

menghambat kotransport Na +¿ K ¿
dan menghambat resorpsi air dan elektrolit. Mula
kerjanya lebih cepat dan efek diuretiknya lebih kuat dari pada golongan tiazid, oleh
karena itu diuretic kuat jarang digunakan sebagai antihipertensi, kecuali pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >2,5mg/dL) atau gagal jantung.
Efek Samping:
efek samping diuretic kuat hampir sama dengan tiazid, kecuali bahwa diuretic kuat
menimbulkan hiperkalsiuria dan menurunkan kalsium darah sedangkan tiazid
menimbulkan hipokalsiuria dan meningkatkan kalsium dalam darah
Obat Dosis (mg) Pemberian Sediaan
Diuretik kuat
Furosemid 20 -80 2 -3 x sehari Tab 40mg, amp
20mg
Torsemide 2,5 - 10 1 -2 x sehari Tab 5, 10, 20,
100mg
Ampul 10mg/dL
(2 dan 5ml)
Bumetanid 0,5 - 4 2 -3 x sehari Tab 0,5;1 dan
2mg
As. etakrinat 25 - 100 2 -3 x sehari Tab 25 dan 50mg

 Diuretik hemat kalium


Diuretik hemat kalium dapat menimbulkan hiperkalemia bila diberikan pada pasien
gagal ginjal atau bila dikombinasi dengan penghambat ACE, ARB, β−bloker , AINS
atau dengan suplemen kalium. Penggunaan harus dihindari bila kreatinin serum
>2,5mg/dL.
Obat Dosis (mg) Pemberian Sediaan
Diuretik Hemat Kalium
Amiloride 5 -10 1- 2x sehari
Spironolakton 25 – 100 1 kali sehari Tab 25 dan 100
mg
Triamterene 25 - 300 1 kali sehari Tab 50 dan 100
mg

2. Penghambat Sistem Adrenergik


A. Penghambat Adrenoseptor Beta ( β−Bloker ¿
Mekanisme antihipertensi:
berbagai mekanisme penurunan tekanan darah akibat pemberian β−Bloker dapat dikaitkan
dengan hambatan reseptor β 1, antara lain:
 penurunan frekuensi denyut jantung dan kontaksilitas miokard sehingga menurunkan
curah jantung
 hambatan sekresi renin di sel sel jukstaglomeruler ginjal akibat penurunan produksi
angiotensin II
 efek sentral yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada sensitivitas
baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergic perifer dan peningkatan
biosintesis prostasiklin.
Penurunan TD oleh β−Bloker yang diberikan per oral berlangsung lambat. Efek ini
mulai terlihat dalam 24 jam sampai 1 minggu setelah terapi dimulai, dan tidak
diperolehpenurunan TD lebih lanjut setelah 2 minggu bila dosisnya tetap. Obat ini
tidak menimbulkkan hipotensi ortostatik dan tidak menimbulkan retensi air dan
garam.

Efek Samping:
β−Bloker dapat menyebabkan bradikardia, blockade AV, hambatan nodus SA dan
menurunkan kekuatan kontraksi miokard. Pendapatan terbaru membuktikan bahwa
β−Bloker , terutama carvedilol dan juga bisoprolol terbukti bermanfaat dan telah
direkomendasikan dalam JNC VI dan VII untuk pengobatan gagal jantung dalam
kombinasi dengan ACE – Inhibitor. Penghentian β−Bloker pada pasien dengan
angina tidak boleh dilakukan secara mendadak karena dapat menimbulkan
kambuhnya serangan hipertensi ke tingkat yang lebih tinggi (rebound hypertension).
contoh obat:
Nama obat Dosis awal Dosis Frekuensi Sediaan
(mg/hari) maksimal pemberian
(mg/hari)
a. kardioselektif
Asebutolol 200 800 1 – 2 x sehari Caps 200mg,
tab 400mg
Atenolol 25 100 1 x sehari Tab 50mg,
100mg
Bisoprolol 2,5 10 1 x sehari Tab 5mg
Metoprolol
- biasa 50 200 1 – 2 x sehari Tab 50mg,
100mg
- lepas 100 200 1 x sehari Tab 100mg
lambat
b. nonselektif
Alprenolol 100 200 2 x sehari Tab 50mg
Karteolol 2,5 10 2 -3 x sehari Tab 5 mg
Nadolol 20 160 1 x sehari Tab 40mg,
80mg
Oksprenolol
- biasa 80 320 2 x sehari Tab 40mg,
80mg
- lepas 80 320 1 x sehari Tab 80mg,
lambat 160mg
Pindolol 5 40 2 x sehari Tab 5mg,
10mg
Propanolol 40 160 2 – 3 x sehari Tab 10mg,
20mg
Timolol 20 40 2 x sehari Tab 10mg,
20mg
Karvedilol 12,5 50 1 x sehari Tab 25mg
Labetalol 100 300 2 x sehari Tab 100mg

B. Penghambat Adrenoseptor Alfa (α −bloker ¿


Mekanisme Antihipertensi:
Hambatan reseptor α 1 menyebabkan vasodilatasi di arteriol dan venula sehingga
menurunkan resistensi perifer. Di samping itu, venodilatasi menyebabkan aliran balik
vena berkurang yang selanjutnya menurunkan curah jantung. venodilatasi ini dapat
menyebabkan hipotensi ortostatik terutama pada dosis awal (fenomena dosis pertama),
menyebabkan refleks takikardia dan peningkatan aktivitas renin plasma. Pada
pemakaian pertama jangka Panjang refleks kompensasi akan hilang, sedangkan efek
hipertensi tetap bertahan.
Alfa bloker memiliki keunggulan antara lain efek positif terhadap lipid darah
(menurunkan LDL dan trigliserida dan meningkatkan HDL)dan mengurangi resistensi
insulin, sehingga cocok untuk pasien hipertensi dengan dislipidemia dan/atau diabetes
militus. Alfa Bloker juga sangat baik untuk pasien hipertensi dengan hipertrofi prostat,
karena hambatan reseptor alfa -1 akan merelaksasikan oto polos prostat dan sfinger
uretra sehingga mengurangi retensi urin.

Efek Samping:
Hipotensi ortostatik sering terjadi pada pemberian dosis pertama ata pada peningkatan
dosis (fenomena dosis pertama), terutama dengan obat yang kerjanya singkat seperti
prazosin. Pasien dengan deplesi cairan (dehidrasi, puasa) dan lanjut usia lebih mudah
mengalami dosis pertama. Gejalanya berupa pusing sampai sinkop. Untuk
menghindari hal ini, sebaiknya pengobatan dengan dosis kecil dan diberikan sebelum
tidur.

Obat Dosis awal Dosis Frekuensi Sediaan


(mg/hari) maksimal pemberian
(mg/hari)
Prazosin 0,5 4 1–2x Tab 1 & 2 mg
Terazosin 1-2 4 1x Tab 1 & 2 mg
Bunazosin 1,5 3 3x Tab 0,5 & 1
mg
Doksazosin 1-2 4 1x Tab 1 & 2 mg

C. Vasodilator
 Hidralazin
Mekanisme kerja:
hidralazin bekerja langsung merelaksasikan otot polos arteriol dengan
mekanisme yang belum dapat dipastikan. Sedangkan otot polos vena hampir
tidak dipengaruhi. Vasodilatasi yang terjadi menimbulkan reflek kompensasi
yang kuat berupa peningkatan kekuatan dan frekuansi denyut jantung,
peningkatan renin dan norepinefrin plasma. Hidralazin menurunkan tekanan
darah berbaring dan berdiri. Karena lebih selektif bekerja pada arteriol, maka
hidralazin jarang menimbulkan hipotensi ortostatik.
Efek Samping:
Hidralazin dapat menimbulkan sakit kepala, mual, flushing, hipotensi,
takikardia, palpitasi, angina pektoris. Iskemik miokard dapat terjadi pada
pasien PJK, yang dapat dicegah dengan pemberian bersama β−Bloker . Retensi
air dan natrium disertai edema dapat dicegah dengan pemberian bersama
diuretic.
 Minoksidil
Obat ini bekerja dengan membuka kanal kalium sensitive ATP (ATP -
dependent potassium channel) dengan akibat terjadinya efflux kalium dan
hiperpolarisasi membrane yang diikuti oleh relaksasi otot polos pembuluh
darah dan vasodilatasi. Efeknya lebih kuat pada arteriol dari pada vena. Obat
ini menurunkan tekanan sistol dan diastole yang sebanding dengan tekanan
teingginya tekana darah awal. Minoksidil lebih kuat dan kerja nya lebih lama
dibanding hidrazalin. Efek hipotensinya diikuti oleh refleks takikardia dan
peningkatan curah jantung. Cuarh jantung dapat meningkat 3 -4 kali lipat.
Efek Samping:
Tiga efek samping utama minoksidil yaitu retensi cairan dan garam, efek
samping kardiovaskular karena refleks simpatis dan hipertrikosis. Selain itu
dapat terjadi gangguan toleransi glukosa dengan tedensi hiperglikemia, sakit
kepala, mual, erupsi obat rasa lelah dan nyeri tekan didada.
 Diazoksid
mekanisme kerja, efek samping mirip dengan minoksidil.
D. Penghambat Sistem Renin – Angiotensin
Sistem Renin Angiotensin – Aldosteron (SRAA)
SRAA berperan dalam pengaturan tekanan darah dan volume cairan tubuh. Sistem ini
tidak terlalu aktif pada individu dengan volume darah dan kadar natrium normal, tapi
sangat penting bila ada penurunan tekana darah atau deplesi cairan atau garam. Reaksi
pertama tubuh terhadap penurunan tekanan volume darah alah peningkatan sekresi
renin dari sel jukstaglomeruler diarteriol aferen ginjal.
Renin adalah enzim proteolitik yang disintesis oleh sel sel jukstaglomeruler di ginjal
dan merupakan penentu (Rate limiting step) aktivitas SRAA. Sekresisnya meningkat
bila terjadi penurunan TD, stenosis arteri renalis, gagal jantung, perdarahan dan
dehidrasi, hiponatermia (akibat diet rendah garam) dan rangsangan adrenergic melalui
reseptor β 1 .
Angiotensinogen adalah suatu α globulin yang disintesis dalam hati dan beredar
didalam darah. Renin berfungsi mengubah angiotensinogen menjadi angiotensin I
(Ang I). yang merupakan hormon yang belum aktif. Selanjutnya Ang I akan diubah
oleh angiotensin converting enzyme (ACE) menjadi angiotensin II (Ang II) yang
memiliki efek vasokonstriksi yang sangat kuat dan merangsang sekresi aldosterone
dari korteks adrenal.
 Penghambat angiotensin Converting Enzyme (ACE Inhibitor) dan Antagonis
Reseptor Angiotensin II (Angiotensin receptor blocker, ARB)

Perbedaan Penghambat angiotensin Antagonis Reseptor


Converting Enzyme Angiotensin II
(ACE Inhibitor) (Angiotensin receptor
blocker, ARB)
Mekanisme Kerja ACE inhibitor Arb bekerja selektif pada
menghambat perubahan reseptor AT1. Pemberian
AI menjadi AII sehingga obat ini akan menghambat
terjadi vasodilatasi dan semua efek Ang II seperti:
penurunan sekresi vasokonstriksi, sekresi
aldosterone. Selain itu aldosterone,rangsangan
degradasi bradykinin juga saraf simpatis, efek sentral
dihambat sehingga kadar Ang II (Sekresi
bradykinin dalam darah vasopressin, rangsangan
meningkat dan berperan haus), stimulasi jantung,
dalam efek vasodilatasi efek renal serta efek jangka
ACE Inhibitor. Panjang berupa hipertrofi
Vasodilatasi secara otot polos pembuluh darah
langsung akan dan miokard
menurunkan tekanan
darah sedangkan
berkurangnya aldosterone
akan menyebabkan
eksresi air dan natrium
dan retensi natrium.
Hipertensi Rebound Tidak menimbulkan Tidak menimbulkan
hipertensi rebound hipertensi rebound
Renin Efektif pada kadar renin Tidak efektif pada kadar
tinggi, normal maupun renin yang rendah
rendah
Bradikin Penghambatan bradikin Tidak mempengaruhi
sehingga kadar bradikin metabolisme bradikin
meningkat dan berperan
dalam efek vasodilatasi
ACE Inhibitor
Efek samping Hipotensi, batuk kering, Hipotensi, hiperkalemia
hiperkalemia, edema
angioneurotic, efek
teratogenik
Proteinuria Mengurangi proteinuria Mengurangi proteinuria

Contoh obat:

Obat Dosis (mg/hari) Frekuensi Sediaan


pemberian
a. ACE- Inhibitor
Kaptropil 25 -100 2 – 3 x sehari Tab 12,5mg dan
25mg
Benazepril 10 – 40 1 – 2 x sehari Tab 5 dan 10mg
Enalapril 2,5 – 40 1 – 2 x sehari Tab 5 dan 10mg
Fosinopril 10 – 40 1 x sehari Tab 10mg
Lisinopril 10 – 40 1 x sehari Tab 5 dan 10mg
Perindopril 4–8 1 – 2 x sehari Tab 4 mg
Quinapril 10 – 40 1 x sehari Tab 5, 10 dan
20mg
Ramipril 2,5 – 20 1 x sehari Tab 10mg
Imidapril 2,5 – 10 1 x sehari Tab 5 dan 10mg
b. ARB
Losartan 25 – 100 1 – 2 x sehari Tab 50mg
Valsartan 80 -320 1 x sehari Tab 40mg dan
80mg
Irbesartan 150 – 300 1 x sehari Tab 75mg dan
150mg
Telmisartan 20 -80 1 x sehari Tab 20, 40mg dan
80mg
Candesartan 8 – 32 1 x sehari Tab 4,8 dan 16mg

Efek samping pada ARB, nilai serum kalium setelah beberapa hari menggunakan obat ARB.
Apirin atau asetosal dosis tinggi dikhawatirkan memiliki interaksi dengan ARB yang dapat
mengakibatkan ARB menjadi kurang efektif atau kontrol tekanan darah yang tidak stabil.
Selain itu, NSAID seperti ketorolac, asam mefenamat, dan natrium diklofenak dapat
mempengaruhi kontrol tekanan darah. Kombinasi ini juga dapat meningkatkan resiko
terjadinya gangguan ginjal dan hiperkalemia.
3. Antagonis Kalsium (Calsium Channel Bloker)
Golongan obat ini berkerja menurunkan menurunkan daya pompa jantung dengan
menghambat kontraksi otot jantung (kontraktilitas). Contoh obat yang tergolong jenis obat
ini adalah amlodipine, diltiazem dan nipedipine.

Hipertensi:
Tekanan darah (TD) ditentukan oleh dua faktor utama yaitu curah jantung (cardiac output)
dan resistensi vascular perifer (peripheral resistance).

BP = CO X PR

Blood Pressure Peripheral Resistance


Tekanan Darah Resistensi Perifer

Faktor yang menyebabkan pembuluh darah


menyempit/melebar

Cardiac ouput

curah jantung

factor volume darah dan


Diagnosis Hipertensi:
1. Anamnesa
Skrining penyakit, keluarga, pola hidup, Hipertensi sekunder, risiko kardiovaskular,
HMOD,PGK
2. Pemeriksaan Fisik
Deteksi HMOD dan Hipertensi sekunder
3. Tekanan darah
4. Tes Lab
Elektrolit, lipid, glukosa, asam urat, TSH, kreatinin, eGFR, urin

Klasifikasi Risiko Hipertensi:


Faktor risiko lain, Derajat Tekanan Darah (mmHg)
HMOD atau Normal Tinggi Derajat 1 Derajat 2
penyakit TDS 130 – 139 TDS 140 – 159 TDS ≥ 160
TDD 85 - 89 TDD 90 - 99 TDD ≥ 100
Tidak ada Faktor Risiko rendah Risiko rendah Risiko sedang
risiko lain
1 atau 2 faktor Risiko rendah Risiko sedang Risiko tinggi
risiko
≥ 3 faktor risiko Risiko Risiko Risiko tinggi Risiko tinggi
rendah sedang
HMOD, PGK, Risiko Risiko Risiko tinggi Risiko tinggi
derajat 3, atau DM, tinggi tinggi
tanpa kerusakan
organ

Faktor risiko kardiovaskular:


1. Karakteristik demografik dan parameter laboratorium
 jenis kelamin (laki – laki > perempuan)
 usia (> 65 tahun)
 merokok (saat ini atau riwayat)
 kolesterol total dan HDL
 asam urat
 diabetes
 overweight atau obesitas
 riwayat keluarga CVD dini (laki – laki usia<55 tahun dan perempuan <65
tahun)
 Riwayat keluarga atau orangtua dengan oneset dini hipertensi
 menopause oneset dini
 pola hidup
 factor psikososial dan sosialekonomi
 Denyut jantung (nilai istirahat > 80 kali/menit)
2. Adanya penyakit kadriovaskular atau ginjal
 penyakit serebrovaskular: stroke iskemik,perdarahan otak
 CAD : infark miokard, angina
 ditemukannya plak atheroma pada penderita
 gagal jantung
 penyakit arteri perifer
3. Adanya HMOD
 miktoalbuminaria (30 -300mg/24jam)
 PGK sedang, berat (<59 ml/menit/1,73m2)
 Retinopati hipersensitif

Hipertensi Kehamilan
HT gestasional: HT pada kehamilan > 20 minggu dan bertahan < 6 minggu postpartum
1. Bila TD persisten > 140/90 mmHg
Pilihan terapi: metildopa, labetolol, nifedipine atau nikardipin
KI : Acei, ARB, DRI (aliskiren)
2. Bila TD>170/110mmHg segera ke RS:
Pilihan terapi: IV Labetolol (IV nikardipin, hidrazalin)
oral: metildopa, nifedipine atau nikardipin
tambahkan MgSO4 untuk cegah preeklampsia
KI: Natrium nitroprusia
3. pada postpartum: hindari metildopa (depresi postpartum)
4. Ibu menyusui: Amlodipin
Hindari atenolol, propranolol, nifedipin

Anda mungkin juga menyukai