Anda di halaman 1dari 22

10

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Mahasiswa

1. Definisi Mahasiswa

Definisi mahasiswa secara etimologis berasal dari kata “maha” yang

artinya besar dan “siswa” yaitu murid. Hal yang membedakan mahasiswa dengan

siswa biasa yaitu sikap mental (attitude), perilaku, serta aspek kemandirian

(Ganda, 2004). Sejalan dengan Ganda, menurut Siswoyo (2007) mahasiswa

didefinisikan sebagai individu yang sedang menuntut ilmu di tingkat perguruan

tinggi. Mahasiswa dinilai memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi, kecerdasan

dalam berpikir dan terencana dalam bertindak.

Menurut Kholidah dan Alsa (2012) mahasiswa adalah salah satu bagian

dari civitas akademika pada perguruan tinggi yang merupakan calon pemimpin

bangsa di masa yang akan datang. Untuk itu diharapkan mahasiswa perlu

memiliki cara pandang yang baik, jiwa kepribadian serta mental yang sehat dan

kuat.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa mahasiswa

merupakan individu yang sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang memilki

tugas yaitu belajar ilmu pengetahuan, berorganisasi, bermasyarakat dan belajar

menjadi pemimpin, mahasiswa juga diharapkan memiliki mental (attitude) yang

sehat dan kuat dan cara pandang yang baik.


11

2. Peranan Mahasiswa

Mahasiswa sebagai individu yang mampu untuk melakukan perubahan di

masyarakat selalu dituntut untuk menunjukkan peranannya dalam kehidupan

nyata. Menurut Cahyono (2019), ada empat peran penting mahasiswa, antara lain:

a. Mahasiswa sebagai Agent of change

Mahasiswa diharapkan menjadi agen perubahan di lingkungan masyarakat

dan menjadi garda terdepan dalam perubahan tersebut

b. Mahasiswa sebagai Social Control

Mahasiswa diharapkan menjadi panutan dalam lingkungan masyarakat

yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan yang dimilikinya dan mampu mentaati

norma-norma yang berlaku di sekitarnya.

c. Mahasiswa sebagai Iron Stock

Mahasiswa diharapkan menjadi generasi penerus bangsa yang tangguh di

masa depan karena memiliki kemampuan dan akhlak mulia.

d. Mahasiswa sebagai Moral Force

Mahasiswa dituntut untuk memiliki akhlak yang baik, karena mahasiswa

berperan sebagai teladan di tengah-tengah masyarakat. Segala tingkah laku

mahasiswa akan diamati dan dinilai oleh masyarakat.


12

3. Ciri-ciri Mahasiswa

Menurut Kartono (1985) bahwa seseorang dikatakan sebagai mahasiswa

apabila memiliki ciri-ciri berikut ini:

1. Mempunyai kemampuan dan kesempatan untuk mengenyam

pendidikan tinggi, sehingga dapat digolongkan ke dalam

golongan intelektual.

2. Karena mendapatkan kesempatan tersebut, maka mahasiswa

diharapkan mampu bertindak sebagai seorang pemimpin yang

terampil, di berbagai tingkatan masyarakat maupun dalam

dunia kerja.

3. Mahasiswa diharapkan mampu menjadi daya penggerak yang

dinamis dalam suatu proses modernisasi.

4. Mahasiswa diharapkan bisa memasuki dunia kerja dan menjadi

tenaga kerja yang berkualitas dan profesional.

4. Tugas dan Kewajiban Mahasiswa

Menurut Siallagan (2011), mahasiswa sebagai masyarakat kampus

mempunyai tugas utama yaitu belajar, membaca buku, membuat karya ilmiah,

presentasi, diskusi, mengikuti seminar, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang

melibatkan mahasiswa. Di samping tugas utama tersebut, ada tugas lain yang

lebih penting terhadap makna mahasiswa itu sendiri, yaitu sebagai agen perubah

dan pengontrol sosial masyarakat. Tugas inilah yang mampu menjadikan

mahasiswa sebagai generasi penerus harapan bangsa.


13

5. Mahasiswa di Masa Pandemi Covid-19

Menurut Hasibuan (2020) mahasiswa di masa pandemi covid-19 saat ini

diharuskan untuk merubah aktivitas belajarnya. Pembelajaran yang biasanya

dilakukan secara konvensional atau tatap muka dengan dosen, pada saat ini

diharuskan untuk melakukan aktivitas pembelajaran secara daring melalui

beberapa platform seperti contohnya “Whatsapp, Zoom, E-learning, Classroom”.

Hal tersebut dibutuhkan sarana dan keterampilan yang mumpuni untuk

menunjang proses pembelajaran secara daring atau online dengan baik.

B. Stres Akademik

1. Definisi Stres

Stres merupakan suatu keadaan tertekan baik itu secara fisik maupun

psikologis (Ardi dkk, 2007). Menurut King (2010) mengemukakan bahwa stres

adalah respon individu terhadap stressor, yaitu lingkungan atau peristiwa yang

mengancam individu tersebut dan membebani kemampuan kopingnya. Sejalan

dengan pendapat yang dikemukakan, Atkinson, dkk (2010) juga berpendapat

bahwa stres menurut pengertian umum merupakan hal yang terjadi pada individu

jika dihadapkan pada peristiwa yang dirasakannya sebagai sesuatu yang

mengancam kesehatan fisik atau psikologis individu tersebut.

Menurut Feldman (dalam Rahayu dan Hadriami 2015) stres merupakan

proses untuk menilai apakah peristiwa yang dihadapi individu adalah hal yang

mengancam, menantang, ataupun membahayakan. Setelah penilaian dilakukan


14

individu maka akan ada respon terhadap peristiwa tersebut baik secara fisiologis,

emosional, kognitif dan tingkah laku.

Berdasarkan pemaparan para ahli tersebut, peneliti menyimpulkan

pengertian stres adalah suatu kondisi pada individu yang disebabkan karena tidak

sesuainya keadaan biologis, psikologis dengan lingkungan sosial yang dinilai

sebagai sesuatu yang membebani dan membahayakan kesejahteraannya.

2. Definisi Stres Akademik

Menurut Sinaga (dalam Barseli, 2017), stres yang terjadi pada lingkungan

pendidikan biasa disebut stres akademik. Menurut Aryani (2016) stres akademik

merupakan respon fisik atau psikis karena ketidakmampuan dalam mengubah

tingkah laku atau penampilan dengan serangkaian kegiatan seperti: menulis,

membaca, mengamati, mendengarkan, meniru, sebagai akibat dari tekanan-

tekanan atau ketidaksesuaian antara tuntutan yang diterima dengan kemampuan

yang dimiliki.

Menurut Barseli (2017) stres akademik merupakan persepsi subjektif

terhadap suatu kondisi akademik atau respon yang dialami individu berupa reaksi

fisik, perilaku, pikiran, dan emosi negatif yang muncul akibat adanya tuntutan

sekolah atau akademik. Sejalan dengan pendapat Barseli, Kadappati (dalam

Hafifah, dkk 2017) juga mengemukakan bahwa stres akademik adalah sebuah

tekanan mental individu yang berkaitan dengan frustasi pada kegagalan pada

bidang akademik.
15

Govaerst dan Gregoire (2004) berpendapat bahwa stres akademik

merupakan persepsi seorang individu karena mengalami sebuah tekanan terhadap

stressor akademik yang berhubungan pada ilmu pengetahuan.

Berdasarkan beberapa pemaparan terkait definisi dari stres akademik maka

dapat disimpulkan bahwa stres akademik merupakan kondisi psikologis yang

dialami siswa atau mahasiswa karena disebabkan oleh faktor akademik seperti

banyaknya tuntutan tugas, persaingan antar teman, dan padatnya kegiatan

akademik yang dilakukan, sehingga terjadi ketidaksesuaian antara tuntutan

lingkungan dengan sumber daya yang dimiliki individu dan menjadikan individu

tersebut semakin terbebani.

3. Aspek-Aspek Stres Akademik

Adapun aspek-aspek stres yang dikemukakan oleh Sarafino dan Smith (2011)

terdiri dari dua aspek, yaitu :

a. Aspek Biologis

Setiap orang yang menghadapi suatu kondisi tertentu yang mengancam dan

berbahaya bagi dirinya dapat memunculkan reaksi fisiologis pada tubuh terhadap

stres, misalnya detak jantung yang menjadi lebih cepat (Sarafino & Smith, 2011).

Reaksi fisiologis lainnya menurut Yumba (dalam Hesketh, 2010) ditandai dari

perilaku seseorang seperti tangan dan kakinya terasa dingin, berkeringat, perut

terasa tidak karuan. Stres akademik berhubungan kuat dengan simptom

psikosomatis, seperti sakit kepala dan sakit pada bagian perut, dirasakan

setidaknya satu minggu sekali yang dapat menggangu kesehatan dan


16

kesejahteraan mereka untuk kedepannya. Serangkaian reaksi fisiologis disebut

dengan General Adaption Syndrom (GAS), yang terdiri atas tiga tahap, yaitu

pertama alarm reaction merupakan tahap pertama respon tubuh (fight or flight)

bahaya yang berguna untuk memobilisasi sumber daya tubuh. Kedua, stages of

resistance, merupakan tahap dimana tubuh mulai beradaptasi dengan stresor,

namun pada tahap ini individu dapat rentan terhadap masalah kesehatan. Ketiga,

stages of exhaustion, merupakan ketegangan fisiologis dimana tubuh tidak mampu

bertahan melawan stressor sehingga membuat kekebalan tubuh menjadi menurun

dan menyebabkan stres.

b. Aspek Psikososial

Stresor dapat menghasilkan perubahan-perubahan psikologis serta sosial dari

individu, perubahan tersebut antara lain:

1) Kognitif

Stres dapat mengganggu fungsi kognitif dengan mengalihkan perhatian

individu. Putwain (dalam Sarafino & Smith, 2011) menjelaskan bahwa kognitif

berkaitan dengan ingatan, kesulitan dalam berkonsentrasi, mudah lupa, dan

ketidakmampuan dalam pemecahan masalah. Selama stres mencerminkan bahwa

stres dapat mengalihfungsikan sumber daya kognitif.

2) Emosi

Emosi cenderung membarengi stres dan orang sering menggunakan keadaan

emosional mereka untuk menilai kondisi stres yang dialami. Stres menimbulkan
17

perasaan takut sebagai reaksi emosi umum yang sering dialami oleh individu,

merasa cemas, merasa sedih, merasa marah karena frustasi yang dapat

menyebabkan perilaku agresif, hingga merasa depresi.

3) Perilaku Sosial

Stres dapat mengubah perilaku seseorang terhadap orang lain. Seseorang yang

merasa berada dalam situasi stres menjadi kurang ramah dan tidak peka terhadap

kebutuhan orang lain (Sarafino & Smith, 2011). Ketika stres dan rasa marah

disatukan dapat meningkatkan perilaku sosial yang negatif seperti perilaku agresif

dan cenderung bermusuhan dengan orang lain.

Sedangkan Hardjana (1994) mengungkapkan aspek stres akademik terdiri

dari:

1) Biologis

Kondisi dari stres berupa gejala fisik. Gejala fisik dari stres yang dialami

individu antara lain: sakit kepala, sakit punggung, gangguan tidur, sembelit,

gangguan pencernaan, gangguan makan, gangguan kulit dan produksi keringat

yang berlebihan.

2) Intelektual

Kondisi stres dapat mengganggu proses berpikir individu. Individu yang

mengalami stres cenderung mengalami gangguan daya ingat, perhatian dan

konsentrasi, sulit membuat keputusan, produktivitas menurun, kehilangan rasa


18

humor yang sehat, pikiran dipenuhi dengan satu hal saja, mutu kerja rendah,

pikiran kacau.

3) Emosional

Kondisi stres dapat menganggu kestabilan emosi individu. Individu yang

mengalami stres akan menunjukkan gejala mudah marah, kecemasan yang

berlebihan terhadap segala sesuatu, gugup, mudah tersinggung, gelisah, harga diri

menurun, gampang menyerang orang lain, merasa sedih dan depresi.

4) Interpersonal

Kondisi stres dapat mempengaruhi tingkah laku sehari-hari yang cenderung

negatif sehingga menimbulkan masalah dalam hubungan interpersonal seperti

mendiamkan orang lain, senang mencari kesalahan orang lain, menutup diri secara

berlebihan, kehilangan kepercayaan pada orang lain, mudah membatalkan janji,

menyerang dengan kata-kata, dan mengambil sikap terlalu membentengi atau

mempertahankan diri.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Stres Akademik

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi stres akademik, menurut

Gunawati (dalam Barseli, 2017) yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Lebih

lanjut dijelaskan sebagai berikut.

Faktor internal yang mengakibatkan stres akademik :


19

1) Pola pikir

Individu yang berpikir tidak dapat mengendalikan situasi, cenderung

mengalami stres lebih besar. Semakin besar kendali bahwa ia dapat melakukan

sesuatu, semakin kecil kemungkinan stres yang akan dialami siswa.

2) Kepribadian

Kepribadian seorang siswa dapat menentukan tingkat toleransinya terhadap

stres. Tingkat stres siswa yang optimis biasanya lebih kecil dibandingkan siswa

yang sifatnya pesimis.

3) Keyakinan

Penyebab internal selanjutnya yang turut menentukan tingkat stres siswa

adalah keyakinan atau pemikiran terhadap diri. Keyakinan terhadap diri

memainkan peranan penting dalam menginterpretasikan situasi-situasi di sekitar

individu. Penilaian yang diyakini siswa dapat mengubah pola pikirnya terhadap

suatu hal bahkan dalam jangka panjang dapat membawa stres secara psikologis.

Faktor eksternal yang mengakibatkan stres akademik :

1) Pelajaran lebih padat

Kurikulum dalam sistem pendidikan standarnya semakin lebih tinggi.

Akibatnya persaingan semakin ketat, waktu belajar bertambah, dan beban siswa

semakin meningkat. Walaupun beberapa alasan tersebut penting bagi


20

perkembangan pendidikan dalam negara, tetapi tidak dapat menutup mata bahwa

hal tersebut menjadikan tingkat stres yang dihadapi siswa meningkat.

2) Tekanan untuk berprestasi tinggi

Para mahasiswa sangat ditekan untuk berprestasi dengan baik dalam ujian-

ujian mereka. Tekanan ini terutama datang dari orangtua, keluarga, guru, tetangga,

teman sebaya, dan diri sendiri.

3) Dorongan status sosial

Pendidikan selalu menjadi simbol status sosial. Orang-orang dengan

kualifikasi akademik tinggi akan dihormati masyarakat dan yang tidak

berpendidikan tinggi akan dipandang rendah. Siswa yang berhasil secara

akademik sangat disukai, dikenal, dan dipuji oleh masyarakat. Sebaliknya, siswa

yang tidak berprestasi di sekolah disebut lambat, malas atau sulit. Mereka

dianggap sebagai pembuat masalah, cenderung ditolak oleh guru, dimarahi

orangtua, dan diabaikan teman-teman sebayanya.

4) Orangtua saling berlomba

Pada kalangan orangtua yang lebih terdidik dan kaya informasi, persaingan

untuk menghasilkan anak-anak yang memiliki kemampuan dalam berbagai aspek

juga lebih keras. Seiring dengan perkembangan pusat-pusat pendidikan informal,

berbagai macam program tambahan, kelas seni rupa, musik, balet, dan drama yang

juga menimbulkan persaingan siswa terpandai, terpintar, dan serba bisa.


21

C. Motivasi Berprestasi

1. Definisi Motivasi Berprestasi

Motivasi berprestasi pertama kali dirumuskan oleh Murray. Murray

(dalam Mulya, 2016) memakai istilah kebutuhan berprestasi (need for

achievement) untuk motivasi berprestasi, yang dideskripsikan sebagai hasrat

tendensi untuk mengerjakan sesuatu yang sulit dengan secepat dan sebaik

mungkin. Chaplind (dalam Yogiswari, 2016) juga berpendapat bahwa motivasi

berprestasi adalah kecenderungan seseorang untuk mencapai kesuksesan atau

memperoleh apa yang menjadi tujuan akhir yang dikehendaki, keterlibatan

individu terhadap suatu tugas, harapan untuk berhasil dalam suatu tugas yang

diberikan, serta dorongan untuk menghadapi rintangan-rintangan untuk

melakukan pekerjaan secara cepat dan tepat.

Santrock (2005) mengatakan bahwa motivasi berprestasi adalah keinginan

untuk menyelesaikan sesuatu untuk mencapai suatu standar kesuksesan, dan untuk

melakukan suatu standar usaha dengan tujuan untuk mencapai kesuksesan.

Sejalan dengan Santrock, Mc Clelland (dalam Agustin dan Dewi, 2018)

mengemukakan bahwa motivasi berprestasi merupakan kecenderungan individu

yang berusaha mengarahkan tingkah laku dalam pencapaian prestasi individu

tersebut.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi

berprestasi merupakan hasrat dari seorang individu dalam mengerjakan sesuatu


22

untuk mencapai sebuah standar kesuksesan dengan waktu yang secepat dan sebaik

mungkin, sehingga mampu lebih unggul dari orang lain.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Berprestasi

Beberapa hal yang mempengaruhi motivasi berprestasi menurut Fernald

dan Fernald (dalam Prabadewi, 2014) yaitu:

a. Keluarga dan Kebudayaan. Motivasi dapat dipengaruhi oleh lingkungan

sosial, pola asuh orangtua, dan teman.

b. Konsep diri, merupakan bagaimana seorang berpikir mengenai dirinya

sendiri. Apabila individu percaya bahwa dirinya mampu untuk melakukan

sesuatu, maka individu akan termotivasi untuk melakukan hal tersebut

sehingga berpengaruh dalam bertingkah laku.

c. Jenis kelamin, keidentikan prestasi tinggi dengan maskulinitas membuat

pria lebih maksimal dalam belajar dibanding wanita.

d. Pengakuan dan prestasi (Recognitionand and Achievement) individu akan

termotivasi untuk bekerja keras jika dirinya merasa diperdulikan orang

lain.

Morgan (dalam Nasution, 2017), mengatakan bahwa terdapat beberapa faktor

yang mempengaruhi motivasi berprestasi. Faktor-faktor tesebut antara lain:

a. Tingkah laku dan karakteristik

Karakteristik model yang ditiru oleh seseorang melalui

Observational learning. Motivasi berprestasi dipengaruhi oleh tingkah


23

laku dan karakteristik model yang ditiru seseorang melalui observational

learning. Melalui observational learning seseorang mengambil beberapa

karakteristik dari model, termasuk kebutuhan untuk berprestasi.

b. Harapan orang tua terhadap anaknya

Harapan orang tua berpengaruh terhadap perkembangan motivasi

berprestasi. Orang tua yang mengharapkan anaknya bekerja keras akan

mendorong anak tersebut untuk bertingkah laku yang mengarah pada

pencapaian prestasi.

c. Lingkungan

Faktor yang menguasai dan mengontrol lingkungan fisik dan sosial

sangat erat hubungannya dengan motivasi berprestasi, bila menurun akan

merupakan faktor pendorong dalam menuju kondisi depresi.

d. Penekanan Kemandirian

Terjadi sejak tahun-tahun awal. Anak didorong mengandalkan

dirinya sendiri, berusaha keras tanpa pertolongan orang lain, serta

diberikan kebebasan untuk mengambil keputusan penting bagi dirinya

akan meningkatkan motivasi berprestasi yang tinggi.

e. Praktik pengasuhan anak

Pengasuhan anak yang demokratis, sikap orang tua yang hangat dan

sportif, cenderung menghasilkan anak dengan motivasi berprestasi tinggi

atau sebaliknya, pola asuh yang cenderung otoriter menghasilkan anak

dengan motivasi berprestasi rendah.


24

3. Aspek-aspek Motivasi Berprestasi

McClelland (dalam Fakhria, dkk 2017) mengatakan terdapat lima aspek

utama yang membedakan tingkat motivasi berprestasi individu antara lain :

a. Tanggung jawab

Individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi akan merasa dirinya

bertanggungjawab terhadap tugas yang dikerjakannya dan akan berusaha sampai

berhasil menyelesaikannya, sedangkan individu yang memiliki motivasi

berprestasi rendah akan meninggalkan tanggug jawab untuk menyelesaikan tugas-

tugasnya.

b. Memperhatikan umpan balik

Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi sangat menyukai umpan

balik yang diberikan untuk mengetahui kesalahan yang ada dan tidak mengulangi

di masa yang akan datang, sedangkan individu yang memiliki motivasi berpestasi

rendah tidak akan menyukai umpan balik dan cenderung mengulangi kesalahan

yang sama pada masa yang akan datang.

c. Mempertimbangkan resiko

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi akan mempertimbangkan resiko

sebelum memulai pekerjaan atau tugas dan cenderung menyukai dan lebih

memilih tingkat resiko yang sedang serta memungkinkan untuk diselesaikan.

Sedangkan individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah cenderung akan


25

memilih pekerjaan atau tugas yang sangat mudah agar peluang mendapat

keberhasilan lebih besar.

d. Kreatif-Inovatif

Individu yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan bertindak kreatif dan

menemukan cara baru untuk menyelesaikan tugas sefektif dan seefisien mungkin.

Sedangkan individu yang memiliki motivasi berprestasi rendah akan memilih

tugas atau pekerjaan yang sifatnya rutinitas atau terstruktur karena tidak harus

menemukan cara baru untuk menyelesaikannya.

e. Berusaha untuk sukses

Individu dengan motivasi berprestasi tinggi akan berusaha sekeras mungkin

untuk mencapai kesuksesan yang dicita-citakan. Sedangkan individu dengan

motivasi berprestasi rendah akan melakukan usaha tetapi tidak secara maksimal

karena kurangnya motivasi yang ada pada individu tersebut.


26

D. Hubungan antara Motivasi Berprestasi dengaan Stres Akademik

Stres merupakan suatu keadaan tertekan baik itu secara fisik maupun

psikologis (Ardi, 2007). Menurut King (2010) mengemukakan bahwa stres adalah

respon individu terhadap stressor, yaitu lingkungan atau peristiwa yang

mengancam individu tersebut dan membebani kemampuan kopingnya

Menurut Barseli (2017) stres akademik merupakan persepsi subjektif

terhadap suatu kondisi akademik atau respon yang dialami individu berupa reaksi

fisik, perilaku, pikiran, dan emosi negatif yang muncul akibat adanya tuntutan

sekolah atau akademik. Govaerst dan Gregoire (2004) berpendapat bahwa stres

akademik merupakan persepsi seorang individu karena mengalami sebuah tekanan

terhadap stressor akademik yang berhubungan pada ilmu pengetahuan

Beberapa hal yang mempengaruhi stres akademik menurut Gunawati

(dalam Barseli, 2017) yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal

yang mengakibatkan stres akademik yaitu pola pikir, kepribadian, dan keyakinan,

sedangkan faktor eksternal yang mengakibatkan stres akademik yaitu tekanan

untuk berprestasi tinggi, pelajaran lebih padat, dorongan status sosial, orang tua

saling berlomba.

Santrock (2005) mengatakan bahwa motivasi berprestasi adalah keinginan

untuk menyelesaikan sesuatu untuk mencapai suatu standar kesuksesan, dan untuk

melakukan suatu standar usaha dengan tujuan untuk mencapai kesuksesan.

Sejalan dengan Santrock, Mc Clelland (dalam Agustin dan Dewi, 2018) motivasi
27

berprestasi merupakan kecenderungan individu yang berusaha mengarahkan

tingkah laku dalam pencapaian prestasi individu tersebut.

Menurut Kholidah dan Alsa (2012) mahasiswa adalah salah satu bagian

dari civitas akademika pada perguruan tinggi yang merupakan calon pemimpin

bangsa di masa yang akan datang. Untuk itu diharapkan mahasiswa perlu

memiliki cara pandang yang baik, jiwa kepribadian serta mental yang sehat dan

kuat. Mahasiswa juga dituntut mempunyai peranan dalam tatanan masyarakat,

seperti yang diungkapkan oleh Cahyono (2019) bahwa mahasiswa harus menjadi

Agent of change, mahasiswa sebagai Social Control, mahasiswa sebagai Iron

Stock, mahasiswa sebagai Moral Force.

Pada masa pandemi covid-19 saat ini mahasiswa tidak dapat melaksanakan

kegiatan pembelajaran secara tatap muka dengan dosen, menurut Hasibuan (2020)

mahasiswa diharuskan untuk merubah aktivitas belajarnya. Pembelajaran yang

biasanya dilakukan secara konvensional atau tatap muka dengan dosen, pada saat

ini diharuskan untuk melakukan aktivitas pembelajaran secara daring melalui

beberapa platform seperti contohnya “Whatsapp, Zoom, E-learning, Classroom”.

Hal tersebut dibutuhkan sarana dan keterampilan yang mumpuni untuk

menunjang proses pembelajaran secara daring atau online dengan baik.

Bagi mahasiswa yang sedang memprogram mata kuliah skripsi sebagai

prasyarat kelulusan untuk meraih gelar sarjana saat pandemic seperti ini menjadi

sebuah kendala. Kendala yang dialami seperti penelitian tidak bisa dilakukan di

lapangan, karena untuk menghindari bertemu dengan banyak orang dan


28

menghadirkan kerumunan massa. Kendala lainnya adalah seperti terbatasnya

untuk mendapatkan referensi yang sesuai dengan tema penelitian dan proses

bimbingan skripsi yang dilakukan secara daring.

Sebagian mahasiswa menganggap hal tersebut menjadi sebuah beban

tambahan karena harus memikirkan kuota internet serta sarana yang mumpuni

untuk dapat menyelesaikan skripsinya. Tekanan akademik yang dialami

mahasiswa skripsi pada saat pandemi covid-19 seperti saat ini dapat menyebabkan

stres akademik. Stres akademik yang terjadi pada mahasiswa yang sedang

mengerjakan skripsi karena adanya ketidaksesuaian antara tekanan yang dihadapi

dengan kemampuan yang dimiliki.

Stres akademik yang dialami mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi

dapat menurunkan motivasi yang dimilikinya. Motivasi yang sesuai pada

mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi adalah motivasi berprestasi, karena

mahasiswa yang sedang mengerjakan skripsi ingin mencapai sebuah pencapaian

yang diinginkan yaitu lulus dengan cepat untuk meraih gelar sarjana yang dicita-

citakan.

Mahasiswa yang memiliki motivasi untuk berprestasi dan berusaha

meningkatkan prestasinya lebih tinggi lagi akan mampu mengatasi kesulitan yang

dialami dan menghindari timbulnya stres akademik pada diri mahasiswa tersebut,

sedangkan mahasiswa yang memiliki motivasi untuk berprestasi rendah akan

merasa terbebani dengan tugas yang diberikan sehingga mengalami kesulitan dan
29

menimbulkan stres akademik sehingga target yang telah ditentukan akan sulit

tercapai.

Dengan demikian motivasi berprestasi sangat berpengaruh untuk

menghindari timbulnya stres akademik pada mahasiswa yang sedang mengerjakan

skripsi di masa pandemi covid-19. Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan

bahwa mahasiswa yang mempunyai motivasi berprestasi tinggi akan dapat

mengatasi kesulitan untuk menghindari timbulnya stres akademik, sebaliknya

mahasiswa yang motivasi berprestasinya rendah akan mengalami kesulitan dalam

pengerjaan tugas dan akan mengalami stres akademik yang tinggi.


30

E. Kerangka Konsep

Mahasiswa Skripsi di
Masa Pandemi Covid-19

Motivasi Berprestasi

Tinggi Rendah

Stres Akademik Stres Akademik


Rendah Tinggi

Gambar 2.1
31

F. Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian

hingga terbukti melalui data yang terkumpul. Hipotesis dikatakan sementara

karena jawaban yang diberikan baru berdasarkan teori (Sugiyono, 2014).

Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat

hubungan antara motivasi berpestasi dengan stres akademik pada mahasiswa yang

sedang mengerjakan skripsi di masa pandemi covid-19.

Anda mungkin juga menyukai