Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stres Akademik

2.1.1. Definisi Stres Akademik

Stres akademik menurut Kadapatti dan Vijayalaxmi (2012) adalah


kombinasi dari situasi stres dan tuntutan terkait akademik yang melampaui batas
yang dimiliki bagi setiap individu. Kemampuan mahasiwa dalam memperoleh
prestasi akademik dapat dipengaruhi dari faktor internal dan eksternalnya, mulai
dari kebiasaan dalam belajar, orang tua, kecerdasan, metode dan media
pembelajaran dan sebagainya. Jika pelajar tidak memiliki situasi yang mendukung
atau kondusif dalam belajar maka dapat menyebabkan stress akademik pada
mereka (Kadapatti & Vijayalaxmi, 2012).
Menurut Porwal dan Kumar (2014) stres akademik merupakan sesuatu
yang dirasasakan oleh pelajar yang tidak mampu dalam menjaga keseimbangan
antara kegiatan akademik, keluarga dan teman, sosial dan akademik dalam
kehidupan. Hal yang membuat munculnya stres akademik salah satunya ada rasa
takut dan gagal yang terkait dengan tugas-tugas akademik (Kolko, 1980,
sebagaimana dikutip dalam Porwal & Kumar, 2014). Selain itu Porwal dan Kumar
(2014) mengatakan guru atau pengajar menjadi salah satu penyebab munculnya
stres. Jika pengajar memiliki sifat atau cara mengajar yang ramah, maka ketika
pelajar akan melakukan interaksi dengannya terkait akademik akan merasa stres
yang lebih rendah. Sebaliknya, jika pengajar tidak ramah, maka pelajar akan
merasa tidak nyaman, takut hingga muncul stress (Porwal & Kumar, 2014).
Stres akademik menurut Gadzella et al. (2012), adalah adanya stimulus
yang dirasakan oleh individu atau pelajar terkait adanya stressor akademik serta
memunculkan reaksi terhadap adanya stressor yang dialami. Pada teori Gadzella
et al., (2012) menyebutkan terdapat stressor yang memunculkan stres akademik,
yaitu terdapat lima kategori, seperti pemaksaan diri, tekanan, konflik, dan
perubahan. Pada reaksi dari stressor memiliki empat kategori didalamnya, yaitu
dari reaksi emosi, reaksi fisik, reaksi perilaku dan kognitif.

9
Penelitian ini akan mengacu pada teori Gadzella. Pada teori Gadzella
dianggap lebih relavan dengan penelitian karena dapat menjelaskan stres
akademik pada mahasiswa melalui stressor dan reaksi stres yang didapatkan.
Selain itu, alat ukur Gadzella sudah diketahui keakuratan atau kevalidan dalam
mengukur stres akademik, sehingga peneliti dapat digunakan pada penelitian ini.

2.1.2. Dimensi Stres Akademik

Gadzella (sebagaimana yang dikutip dalam Misra & Castillo, 2004),


mengatakan bahwa stres akademik memiliki beberapa dimensi di dalamnya, yaitu:
a. Stressor akademik
Gadzella mengatakan, stressor akademik bisa didapatkan karena
adanya situasi diluar keseharian individu sehingga membuat seseorang
harus menyesuaikan diri. Terdapat seperti beberapa lima kategori, yaitu:
1. Frustrasi (frustrations). Individu mengalami keterlambatan dalam
mencapai tujuan, sulit menghadapi kehidupan sehari-hari, gagal
mencapai tujuan yang direncanakan, kurang sumber daya, tidak
diterima lingkungan sosialnya, ada rasa kecewa dalam
berhubungan serta melewatkan kesempatan yang ada.
2. Konflik (conflicts). Terkait dengan individu yang berhadapan
dengan dua pilihan atau lebih yang diinginkan, ataupun hal-hal
yang tidak diinginkan. Namun, dapat juga dihadapkan oleh
alternatif yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, sehingga
akan menimbulkan konflik bagi individu.
3. Tekanan (pressure). Individu yang berhadapan dengan hal terkait
persaingan, deadline, tuntutan akademik yang berlebihan.
4. Perubahan (changes). Perubahan yang dirasakan individu dapat
berupa perubahan yang berbeda dalam satu waktu, pengalaman
yang tidak menyenangkan, sehingga terganggunya kehidupan
sehari-hari dan tujuan.
5. Pemaksaan diri (self imposed). Hal ini akan terkait dengan
keinginan individu dalam bersaing/berkompetisi, dapat disukai

10
banyak orang, banyak mengkhawatirkan sesuatu, hingga
prokrastinasi. Pada mahasiswa yang terus mengkhawatirkan
sesuatu yang belum terjadi, entah dari pengerjaan tugas, tidak bisa
mengerjakan ujian, khawatir tidak bisa mengikuti kelas dengan
baik, dan lainnya.
b. Reaksi dari stressor akademik
Reaksi terhadap stressor akademik merupakan dimensi kedua dari
stres akademik, yaitu:
1. Adanya reaksi fisik (Physiological). Dapat berupa perubahan
berbicara menjadi tergagap, gemetar, berlebihan keluar keringat,
lelah, sakit perut, pusing, peningkatan atau penurunan berat badan
yang cukup signifikan.
2. Reaksi emosi (Emotional). Reaksi ini dapat berupa munculnya rasa
takut, sedih, bersalah, marah dan emosi lainnya.
3. Reaksi perilaku (Behavioral). Individu menjadi menangis,
menyakiti diri sendiri, mencoba bunuh diri, mudah marah,
menggunakan mekanisme pertahanan, serta melakukan pembatasan
dengan individu lainnya.
4. Penilaian kognitif (Cognitive Appraisal). Individu dapat
mengetahui situasi yang bisa mengakibatkan stres sehingga rasa
stres dan menekan dapat diatasi.

2.1.3. Faktor yang Memengaruhi Stres Akademik

Gadzella dan Baloglu (sebagaimana dikutip dalam Aryani, 2016) faktor


yang memengaruhi stres akademik adalah:
a. Faktor Keluarga. Kondisi yang dialami keluarga juga akan
mempengaruhi stres akademik individu. Ketika kondisi belajar tidak
kondusif karena ada masalah dalam keluarga, akan menciptakan stres
pada diri individu.
b. Faktor sekolah/perguruan tinggi. Pada faktor ini akan terkait dengan
academic pressures, yang mencakup adanya pengaruh lingkungan

11
akademik. Serta peer pressures, yang mencakup adanya konflik,
persaingan, penerimaan atau penolakan dalam pertemanan di lingkup
akademik dan sebagainya.
c. Faktor lingkungan fisik. Hal ini berkaitan dengan kenyamanan dan
ketidaknyamanan kondisi lingkungan sekitar individu yang akan
berpengaruh pada situasi individu dalam memahami pembelajaran.

2.2. Penyesuaian di Perguruan Tinggi

2.2.1. Definisi Penyesuaian di Perguruan Tinggi

Penyesuaian di perguruan tinggi menurut Mattanah (2016), adalah


penyesuaian diri yang dilakukan mahasiswa dengan baik di perguruan tinggi serta
mereka dapat secara aktif dalam membuat pengalaman mereka di perguruan
tinggi. Pengalaman yang terjadi dapat membawakan kesenangan dan juga
kesehatan baik dari mental, fisik dan psikososialnya (Mattanah, 2016).
Penyesuaian di perguruan tinggi diperlukan agar dapat memiliki pengalaman yang
baik di perguruan tingginya bagi mahasiswa.
Penyesuaian di perguruan tinggi merupakan salah satu indikator suksesnya
kehidupan mahasiswa di universitas, seperti dengan adanya kemampuan
mahasiswa dalam menghadapi masalah yang dihasilkan dari akademik, kebutuhan
sosial dan emosi (Al-Khatib et al., 2012). Menurut Al-Khatib et al., (2012) college
adjustment atau penyesuaian di perguruan tinggi dapat didefinisikan dimana
seorang mahasiswa memiliki kemampuan dalam memahami materi dan juga
mengawali hubungan pertemanan dengan mahasiswa lainnya, serta mampu dalam
memecahkan masalah psikologis dan sosialnya. Maka dari itu, dengan adanya
penyesuaian di perguruan tinggi dapat membentuk pengalaman dan hubungan
baik dengan orang yang berada di perguruan tinggi serta dapat meningkatkan
pencapaian akademik mahasiswa.
Baker dan Siryk (sebagaimana dikutip dalam Haktanir et al., 2021)
mendefinisikan penyesuaian di perguruan tinggi sebagai adanya kemampuan

12
individu untuk bisa mengatasi tuntutan akademik serta lingkungan sosial di
universitas, dan juga memiliki rasa keterikatan pada perguruan tinggi.
Dari beberapa definisi penyesuaian peruguruan tinggi tersebut, penelitian
ini akan mengacu pada teori Baker dan Siryk. Pada teori penyesuaian di
perguruan tinggi dari Baker adanya teori yang relevan dan jelas dalam
menggambarkan penyesuaian perguruan tinggi pada mahasiswa di lingkungan
akademik. Penyesuaian yang dilakukan mahasiswa berdasarkan pada lingkungan
akademik, sosial, personal emosi dan juga kelekatan pada perguruan tinggi. Selain
itu, alat ukur Baker sudah diketahui keakuratan atau kevalidan dalam mengukur
penyesuaian di perguran tinggi, sehingga peneliti dapat digunakan pada penelitian
ini.

2.2.2. Dimensi Penyesuaian di Perguruan Tinggi

Baker (2002) menjelaskan bahwa penyesuaian di perguruan tinggi terdiri


dari beberapa dimensi, yaitu:
a. Academic adjustment (penyesuaian akademik)
Dalam dimensi penyesuaian akademik akan mencakup motivasi,
aplikasi, kinerja dan juga lingkungan akademik. Pada motivasi, dimana
individu memiliki sikap dalam meraih tujuan akademik, adanya motivasi
dalam mengerjakan pekerjaan akademik di universitas. Pada aplikasi, akan
diketahui bagaimana individu dapat menerapkan motivasi pada pekerjaan
akademik, sehingga dapat terpenuhi sesuai dengan ketentuan akademik.
Pada kinerja, akan mengetahui keberhasilan dan keefektifan dari fungsi
akademik. Lalu, lingkungan akademik, yang berarti adanya kepuasan pada
apa yang ada di lingkungan akademik.
b. Social adjustment (penyesuaian sosial)
Pada dimensi ini akan terkait dengan aspek sosial yang berasal dari
lingkungan perguruan tinggi dengan adanya kemampuan berkomunikasi
pada mahasiswa, dalam struktur sosial yang ada di lingkungan perguruan
tingginya, memiliki kemampuan dalam berhubungan dengan mahasiswa
lainnya, orang baru hingga berteman.

13
c. Personal-emotional adjustment (penyesuaian personal emosional)
Dalam dimensi ini terdapat dua jenis, yaitu secara psikologis dan
fisik. Secara psikologis akan terkait perasaan akan kesejahteraan
psikologis individu. Secara fisik akan terkait pada kesejahteraan fisik
individu dengan adanya tuntutan lingkungan perguruan tinggi.
d. Goal-commitment institutional attachment (kelekatan pada perguruan
tinggi)
Pada dimensi ini mencakup dua bagian, yaitu individu memiliki
perasaan dan rasa puas terhadap perguruan tinggi pada umumnya.
Begitupun pada perguruan tinggi, individu merasakan rasa puas terhadap
perguruan tinggi mahasiswa.

2.2.3. Faktor yang Memengaruhi Penyesuaian di Perguruan Tinggi

Baker (2002), menyebutkan bahwa college adjustment atau penyesuaian di


perguruan tinggi terdapat faktor yang memengaruhi, yaitu:
a. Faktor internal
1. Kesehatan mental
Kesehatan mental individu akan mempengaruhi mahasiswa dalam
menyesuaikan diri di perguruan tinggi. Kesehatan mental akan terkait
dengan kesejahteraan psikologis, optimis, happiness, kepercayaan diri
serta sikap positif lainnya dengan penyesuaian di perguruan tinggi.
Kesehatan mental yang baik pada seseorang juga ditunjukkan ketika
adanya kemampuan mengontrol emosi sehingga akan mengurangi
perasaan tegang atau stres yang muncul. Selain itu, juga terdapat
beberapa permasalahan yang muncul terkait kesehatan mental, seperti
cemas, depresi, gejala makan, gejala disosiatif dan sebagainya.
2. Kognitif
Kognitif termasuk pada konsep locus of control yang akan
mengacu pada sejauh mana seseorang akan melakukan tanggung jawab
dari dalam dirinya ataupun diluar dirinya. Terdapat hasil penelitian
yang mengukur locus of control ditemukan bahwa adanya korelasi

14
yang signifikan dengan penyesuaian akademik dan penyesialan
personal-emotion.
b. Faktor eksternal
1. Adanya situasi stressful yang signifikan
Mahasiswa atau individu mungkin mengalami stres berat karena
situasi pribadi atau kehidupan yang dapat mengganggu kemampuan
mereka untuk transisi ke perguruan tinggi. Kurangnya dukungan sosial
dari teman sebaya, persahabatan atau hubungan cinta yang buruk,
perbedaan dengan dunia luar, dan perbedaan budaya atau ras dapat
membuat mereka tertekan.
2. Karakteristik keluarga
Adanya fungsi keluarga merupakan salah satu aspek yang
membentuk karakteristik keluarga. Menurut Hollmann dan Metzler
(sebagaimana yang dikutip Baker, 2002), ketika siswa memiliki
persepsi positif tentang fungsi keluarga, seperti menggugat dalam
hubungan otonom (dalam membuat suatu keputusan tanpa diganggu
gugat) dan keakraban keluarga maka penyesuaian dalam dunia
perkuliahanpun yang dilakukan akan baik.
3. Dukungan sosial
Penyesuaian perguruan tinggi dikaitkan dengan dukungan sosial.
Salah satu hal yang membantu transisi mahasiswa ke perguruan tinggi
adalah dukungan sosial dari keluarga atau teman. Frazier dan Cook
(sebagaimana yang dikutip dalam Baker, 2002), menyebutkan bahwa
dukungan sosual memiliki hubungan yang signifikan dengan variabel
SACQ yaitu, personal emotion adjustment. Jika mahasiswa memiliki
dukungan sosial baik, maka penyesuaian diri di perguruan tingginya
juga akan baik.
4. Karakteristik institusi
Karakteristik institusi terdapat beberapa, yaitu seperti aturan dari
instansi pendidikan atau universitas, organisasi di universitas,
pelayanan yang disediakan perguruan tinggi, jenis universitas, dan
sebagainya.

15
.

2.3. Kerangka Berpikir

Fenomena dari penelitian ini ketika Indonesia mulai memberlakukan


kebijakan “new normal” dimana banyak dari instansi pendidikan yang melakukan
pembelajaran tatap muka terbatas. Hal tersebut juga mengakibatkan adanya
perubahan metode pembelajaran secara berkala bagi tiap mahasiswanya, dimana
adanya pembelajaran yang dilaksanakan secara online dan juga tatap muka
langsung secara terbatas.
Adanya perubahan yang terjadi membuat mahasiswa harus sebisa mungkin
melakukan penyesuaian di perguruan tinggi dan beradaptasi dengan baik agar
tidak menimbulkan stres terkait hal akademik. Menurut Baker dan Siryk (1999,
sebagaimana dikutip dalam Haktanir et al., 2021), penyesuaian di perguruan
tinggi merupakan adanya kemampuan individu untuk bisa mengatasi tuntutan
akademik serta lingkungan sosial di lingkungan universitas, dan juga memiliki
rasa keterikatan pada perguruan tinggi. Menurut Sun et al., (2011) stres akademik
merupakan adanya tekanan psikologis yang dirasakan individu lebih besar karena
adanya beberapa aspek pembelajaran akademik dibanding dengan peristiwa dari
kehidupan, seperti prestasi rendah, tekanan dari ujian transisi, dan beban kerja
belajar dikaitkan dengan kesehatan mental yang buruk. Oleh karena itu, jika
mahasiswa memiliki tingkat penyesuaian di perguruan tinggi yang tinggi
kemungkinan dapat mempengaruhi stres akademik pada mahasiswa. Jika,
penyesuaian di universitas yang dilakukan baik, sehingga hanya sedikit tekanan
stres akademik bagi mahasiswa.
Pada penelitian Kurniati dan Hamidah (2021) menunjukkan bahwa adanya
pengaruh secara signifikan antara penyesuaian diri di perguruan tinggi dengan
stres akademik mahasiswa baru di fakultas kedokteran. Begitupun pada penelitian
Saniskoro dan Akmal, (2017) menunjukkan adanya hubungan yang terjadi
dimensi social adjustment, institutional attachment, dan personal-emotion
adjustment dengan stres akademik mahasiswa. Oleh karena itu, jika mahasiswa
memiliki kemampuan yang tinggi pada social adjustment, institutional

16
attachment, dan personal-emotion adjustment di perguruan tinggi, maka stres
akademiknya akan semakin rendah. Begitupun sebaliknya.
Berdasarkan penelitian tersebut dapat diasumsikan, jika mahasiswa dapat
melakukan penyesuaian di perguruan tinggi dengan baik ketika adanya metode
pembelajaran yang berubah, maka kemungkinan akan rendahnya dalam
merasakan stres akademik. Serupa dengan penelitian Saniskoro dan Akmal
(2017), ketika mahasiswa memiliki kemampuan penyesuaian di perkuliahan yang
tinggi, maka akan rendahnya tingkat stres akademik pada mahasiswa. Namun, jika
mahasiswa tidak mampu melakukan adaptasi atau penyesuaian di perkuliahan
maka tingkat stres akademik mahasiswa akan meningkat. Maka dari itu, penelitian
memiliki kerangka berpikir bahwa dengan adanya penyesuaian di perguruan
tinggi yang baik akan mengurangi adanya tekanan stress akademik pada
mahasiswa, sehingga peneliti berasumsi kalau akan adanya pengaruh antar
penyesuaian di perguruan tinggi dengan stres akademik pada mahasiswa
Universitas Pembangunan Jaya.

Penyesuaian di
Stres akademik
perguruan tinggi

Gambar 2. 1 Kerangka Berpikir

2.4. Hipotesis

Berikut merupakan hipotesis dari penelitian ini:


H0: Tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara penyesuaian di perguruan
tinggi terhadap stres akademik pada mahasiswa Universitas Pembangunan
Jaya semester genap TA 2021/2022.
Ha: Terdapat pengaruh negatif yang signifikan antara penyesuaian di
perguruan tinggi terhadap stres akademik pada mahasiswa Universitas
Pembangunan Jaya semester genap TA 2021/2022.

17
18

Anda mungkin juga menyukai