Anda di halaman 1dari 30

Executive Summary

1
Jika 20 tahun dari hari ini
kau menengok ke
hari pertama kau meniti dunia kerja,
Apa yang hendak kau rayakan?!
Apa yang hendak kau syukuri?!
Apa yang hendak kau kepalkan tangan
Sebagai ……Yessss!!!

Karakter besar
adalah
Sesederhana seorang petani.
mencangkul, membajak tanah,
Menanam benih, mengairi isi pematang
Dan menabur pupuk
Semata karena tahu
Ia sedang menanam apa dan akan
Memanen apa

2
SIGN-IN

3
Buku ini bukan sekedar tentang

If you fail to plan


Then you plan to fail

Tapi lebih dari itu

Good is not enough


You need to be A GREAT Character

4
Pra-bab : Sign - in
A. BEKERJA : MEMILIH YANG TIDAK SELALU PILIHAN UTAMA
Ketika ibu menenteng jemari anaknya masuk kelas nol besar, atau bahkan saat pendaftaran
masuk sekolah lebih tinggi seperti SD atau SMP, si anak tidak perlu menjawab untuk apa ia
masuk kelas dan mengapa harus mendengarkan bapak-ibu guru yang selalu membuatnya
mengantuk dan kepingin cepat-cepat bel istirahat. Semata karena masuk sekolah itu
perilaku kanak-kanak yang cukup dipandu orangtuanya. Paham atau tidak paham, begitulah
seharusnya. Betapapun begitu, momentum sederhana menurut ukuran orang dewasa, bagi
si anak yang memulai sekolah barunya bak memasuki pandora misterius, penuh
ketidakpastian dan kecemasan, dan merupakan great moment penuh tantangan
penyesuaian diri yang tidak sepele. yaitu membangun relasi dengan lingkungan baru dengan
tuntutan baru.

Apalagi memasuki dunia kerja. Bekerja adalah perilaku sejatinya dewasa, ditandai dengan
proses rumit, mulai dari mencari lowongan, memilih lowongan, melamar, mengikuti seleksi,
hingga akhirnya diterima sebagai karyawan pada perusahaan peringkat pilihan pertama
ataupun yang bukan prioritas pilihannya. Bekerja, selain berjuang melalui kompetisi untuk
mendapatkannya, juga adalah pilihan. Pilihan sangat rumit. Lebih rumit lagi dinegeri ber-
angkatan kerja lebih dari 150 juta orang usia produktif. Kadang demikian rumitnya pilihan
bekerja sampai ada orang bekerja pada pekerjaan yang “tidak ada pilihan lain”. Itupun
sebenarnya tetap pilihan, untuk memilih jenis yang “tidak ada pilihan lain” tersebut.

Sebagai sebuah pilihan, adalah kesia-siaan jika memasuki dunia kerja dijalani tanpa sepenuh
kesadaran dan orientasi (baca: arah) lewat mana dan mau kemana pintu dunia kerja
dimasuki. Adalah terlalu menyederhanakan tujuan, jika bekerja dimaknai dalam rangka
mencari uang semata. Seseorang bisa mendapatkan uang pada pekerjaan lain yang
dimasukinya walaupun bukan pilihan yang diminatinya, jika sekedar untuk mendapatkan
uang. Tapi mengapa bersusah payah memasuki pekerjaan yang dengan sengaja dipilih?!

5
pada efisiensi bahan bakar, pada daya muat, pada kecepatan lajunya, atau pada aspek
keselamatan sampai di tujuan.

Bak orang mengendarai mobilnya, sebelum bertanya mau kemana, layak ditanya mengapa
memilih mobil itu. Ada yang memilih mobil tertentu karena dengan mengendarainya saja
sudah cukup memberi “tongkrongan” yang “gue sekali gitu loooh”. Ada yang mendasarkan
asal sekedar naik mobil, enak atau tidak enak dijalani saja, yang penting melaju pada tujuan
dan kalau tidak melaju, ya ganti pilihan kendaraan lain ditengah jalan.

Padahal Reason adalah landasan utama dan pertama mendapatkan arti sebuah pekerjaan
yang dipilih, dari sekian banyak pilihan tersedia – baik yang diakui sebagai pilihan ataupun
lowongan yang dipandang “bukan pilihan”. Berbagai bab dalam buku ini mengilhami
beragam tantangan bekerja, namun pada akhirnya eksistensi bekerja bagi seseorang
terletak pada pemaknaan reason - alasan kenapa, mau kemana dan untuk tujuan apa –
pekerjaan itu dipilih, dijalani dan esok ditempuh hingga puncak yang menghabiskan usia
produktif seseorang.

Contoh sederhana: mengapa setiap pembukaan lowongan PNS di berbagai daerah selalu
menimbulkan kericuhan lantaran animo pelamar yang sama sekali tidak masuk akal
dibanding jumlah formasi yang tersedia. Pernah terjadi 5 formasi lowongan PNS dilamar
oleh 14.000 pelamar. Menakjubkan! cobalah wawancarai para pelamar yang mengantri
mengambil formulir lamaran. Masing-masing mengemukakan reason jangka panjang yang
amat unik, bahkan kadang mencengangkan. Dari jenis jawaban yang amat klasik
tradisional yaitu bahwa menjadi PNS adalah cita-cita orangtua. Sudah dididikkan dalam
keluarga bahwa amatlah membanggakan kalau anaknya bekerja menjadi pamong praja.
Sungguhpun prestise menjadi pegawai negeri di sebagian besar generasi masa kini sudah
memudar, namun jawaban demikian tidak jarang dijumpai. Ada pula pada jawaban kurang
pas namun tetap relevan sebagai reason, yaitu enak bekerja sebagai pegawai negeri karena
(kini tidak lagi, sebenarnya) relatif tidak stress, kurang menuntut, namun pasti dapat
6
pensiun hari tua. Nah, itulah reason, walaupun sama sekali bertolak belakang dengan
reason pelamar perusahaan multinasional yang ditekan target harian dan beban dipotong
gaji kalau tidak mencapai quota tugas mereka.

Reason bekerja secara pas, relevan, dan tepat menjadi kunci awal memahami berbagai
nuansa yang akan diuraikan pada buku ini. Ironinya, pas-tidak pas sebenarnya bukan
penilaian milik pribadi lagi ketika seseorang memasuki dunia kerja. Relevan atau tidak
relevan tergantung pada kerangka bagaimana perusahaan yang dimasukinya mem-posisi-
kan diri di lapangan bisnis dimana perusahaan itu berada, instansi pemerintahan sekalipun.
Dengan kata lain pemahaman si karyawan atas tuntutan bisnis organisasi dimana ia
berkiprah merupakan patokan sebarapa jauh reason bekerja yang bersangkutan sejalan
dengan requirements pekerjaannya. Secara sederhana, semakin identik reason bekerja diri
seseorang dengan tuntutan kerja posisi yang dimasukinya, semakin besar prospek sukses.
Lebih luas lagi, semakin identik aspirasi seseorang dengan tujuan eksistensi perusahaan
tersebut dilapangan bisnis dimana perusahaan itu berkiprah, maka semakin karyawan
tersebut berada pada jalur yang benar.
MEMASUKI DUNIA KERJA :
Bermilyar anggaran diinvestasikan perusahaan
• Dengan Reason
melalui pembekalan, training dan pengembangan untuk
yang tepat
kepentingan mengidentikkan reason seseorang bekerja
dengan tujuan korporasi, mengindikasikan bahwa • Tumbuh &
perusahaan tidak semata mencari calon karyawan menyesuaikan diri
terbaik menurut standar IQ ataupun kecemerlangan
• Positioning
pendidikan si calon pekerja. Lebih dalam dari itu, Menjangkau masa depan
semua alat seleksi pelamar ditujukan agar
perusahaan dapat menemukan pelamar yang pas
dengan profil yang dikehendaki perusahaan agar sukses memikul beban kerja menuju
tujuan, dan pada gilirannya yang bersangkutan dapat diprediksi berpeluang sukses pula,
dibanding pelamar lain yang profilnya tidak pas.
7
Sebaliknya, semua alat seleksi juga digunakan agar kalangan yang terakhir disebut diatas
dapat ter-filter dengan sendirinya dan cukuplah berada di koridor yang dikirimi surat
“terimakasih atas lamarannya, namun dengan menyesal bla-bla-bla…….”. Karena bisa
dibayangkan “kisruh karir” yang akan dialami si karyawan, sekaligus pula perusahaan yang
dimasukinya, manakala reason bekerja seseorang berseberangan atau bertolak belakang
dengan perjuangan yang sedang dijalankan sebagai missi perusahaan dalam medan
kompetisi bisnisnya.

Banyak kasus klaim perusahaan pada seorang karyawan yang dianggap tidak produktif.
Umumnya kekecewaan perusahaan tersebut berimbang – dan saling bertumpu - dengan
banyak karyawan yang mengeluhkan fasilitas maupun imbal jasa dari perusahaan,
disamping keresahan atas ketidakpuasan lainnya.

Hal ini dimaklumi muncul pada kedua belah pihak – karyawan dan perusahaan – lantaran
sebetulnya karyawan tidak “menemukan dirinya” dalam pekerjaan tersebut. Biarpun
dalam kenyataannya - karena satu dan lain sebab - sebutlah kedua belah pihak tetap
mempertahankan hubungan kerjanya, namun hampir dipastikan perusahaan akan
terhambat oleh morale kerja si karyawan dan begitu pula karyawan yang bersangkutan
pun tidak akan maju pesat. Suatu situasi loose-loose, frustrasi bagi semua pihak.

Tentunya mengidentikkan reason dengan tujuan korporasi tidak selalu berjalan alamiah.
Disisi perusahaan, berbagai sistem digerakkan seperti gigi geligi mesin produksi disusun
dan dilaksanakan dengan komitmen menuju arah tersebut, terlepas dari kenyataan tingkat
kesempurnaan pelaksanaannya. Namun yang pasti proses memilih pekerjaan disisi calon
karyawan dan proses menyeleksi pelamar disisi perusahan pada akhirnya berpadu pada
satu muara paling fundamental, yaitu menemukan siapa yang tepat untuk bekerja mengisi
lowongan yang tersedia.

8
TIPS 1 : HINDARI KESALAHAN UMUM PELAMAR :
BEKERJA PADA PADA PERUSAHAAN YANG DULUAN MEMANGGIL

Situasi yang paling klasik adalah dimana Anda diterima bekerja pada perusahan/
lowongan yang lebih dahulu meproses lamaran Anda, sungguhpun pekerjaan itu
sebenarnya bukanlah preferensi pilihan Anda. Baru 1-2 bulan Anda bekerja, perusahaan
lain yang memproses belakangan dan ternyata merupakan pekerjaan yang Anda lebih
minati, lalu memanggil Anda. Nah, lalu Anda mengikuti kembali proses rekrutmen
perusahaan ini, sekalipun kontrak bekerja dengan perusahaan yang lebih awal sudah
Anda tandatangani.

1. KONSEKWEN DALAM PILIHAN. Jika Anda menerima perusahaan yang lebih duluan
memanggil, pastikan Anda telah melepas cita-cita memilih posisi lain yang Anda
lamar. Setiap pilihan ada konsekwensi, termasuk konsekwensi melepaskan pilihan
lain.
2. KATAKAN TIDAK JIKA BUKAN PILIHAN ANDA. Anda boleh saja mengikuti proses
lamaran yang lebih awal, namun hanya hingga saat harus memutuskan. Misalnya saat
tahapan seleksi akhir, Anda harus mengemukakan bahwa perlu menunggu hingga
jelas pilihan lainnya tidak memanggil Anda. Jika akibatnya Anda dianggap gugur dari
seleksi yang sudah berjalan, segeralah mengambil keputusan. Katakan tidak, dan
langkah ini memerlukan keberanian Anda mengambil resiko ketidakpastian dimasa
depan jika meng-iya-kan padahal Anda berpikir bahwa proses yang lebih awal ini
bukanlah untuk pekerjaan yang anda kehendaki.
3. PROAKTIF MENELUSURI PROSES LAMARAN ANDA. Daripada Anda menghadapi konflik
bathin atas lamaran yang belum berjalan sementara sudah ada lowongan lain (yang
tidak Anda prioritaskan) yang berjalan lebih awal, silahkan hubungi Divisi HR
perusahan preferensi Anda tersebut. Tanyakan adakah proses yang dapat ditunggu
atas lamaran Anda. Jika tidak, buat apa menunggu godot, melangkahlah dengan pasti
pada lowongan yang sungguhpun bukan prioritas Anda, tapi sekali lagi dengan
konsekwensi melepaskan “impian” sebelumnya.
9
TIPS 2 : TIDAK MEMILIKI REASON LEBIH DARI SEKEDAR BEKERJA UNTUK
BERPENGHASILAN ?!
RUMUSKAN DALAM 6 BULAN PERTAMA BEKERJA
Sekolah dan kuliah tidak mengajari Anda merumuskan tujuan bekerja secara idealistik,
sehingga Anda belum tentu paham menetapkan reason Anda memasuki suatu
lapangan/perusahaan tertentu. Tidak perlu cemas, wajar saja. Tapi jangan dibiarkan
berlarut, waktu anda hanya 6 (enam) bulan untuk mempelajari sekeliling lingkungan kerja
Anda untuk selanjutnya Anda mengkonfirmasi diri Anda agar reason keberadaan Anda di
perusahaan tersebut identik dengan missi perusahaan tersebut.

1. PELAJARI MISSI DAN BUDAYA PERUSAHAAN. Terimalah missi perusahaan yang Anda
masuki memberi “warna” bagi reason Anda bekerja. Contoh: Anda bekerja di
Rumahsakit, silahkan dalam profesi apapun latar belakang Anda agar diarahkan guna
memberikan pelayanan demi kesehatan pemakai jasa rumahsakit tersebut.
Keberartian hidup profesional Anda adalah ketika si sakit dan keluarganya
memperoleh pelayanan kesehatan yang bersahabat, effektif memulihkan, dan
semakin berkembang dalam memberi kenyamanan si sakit.
2. TERLIBATLAH SECARA AKTIF DALAM MENCAPAI TUJUAN PERUSAHAAN. Anda eksis
dalam perusahaan manakala Anda bekerja dalam rangka menjalankan salah satu
peran yang bersetujuan dengan tujuan perusahaan. Sekedar bekerja sesuai dengan
job-description namun “tidak bunyi” dalam keikutsertaan bagi objectives perusahaan,
maka Anda tidak dianggap eksis dalam realita organisasi perusahaan tersebut.
3. PROMOSIKAN EKSISTENSI ANDA DENGAN PENCAPAIAN KERJA. Indikasi Anda telah
menyatu dengan reason bekerja pada organisasi yang memiliki missi bisnis yang jelas
adalah bahwa hasil kerja Anda diakui membantu missi organisasi tersebut. Hasil kerja
itulah yang langsung maupun tidak langsung “mempromosikan” keberadaan posisi
dan sumbangsing Anda, sekaligus melambangkan kokohnya reason kerja pada diri
Anda.

10
B. PENYESUAIAN DIRI – KUNCI IDENTITAS DEWASA
Mencari dan menemukan profil karyawan yang begitu saja pas 100% dengan tuntutan
perusahaan tentulah hanya 1 dari seribu pelamar. Dari 100 yang tersaring seleksi pun belum
tentu ada 2 yang perfect pas. Beranjak dari realitas tersebut, merupakan agenda tak
terhindarkan bahwa karyawan mutlak harus melakukan penyesuaian diri atas lingkungan dan
tuntutan kerja pada perusahaan yang dimasukinya, disamping disisi perusahaan melakukan
pemupukan, pembinaan dan pelatihan agar karyawannya semakin “fit” melaksanakan
tugasnya. Buku ini memberikan illustrasi apa yang dapat dijalankan oleh karyawan segera
setelah menempati lowongannya, agar memastikan siap menghadapi berbagai kondisi
menyelaraskan diri dengan arah kebijakan perusahaan.

Tumbuh dengan menyesuaikan diri adalah kata kunci fundamental bagi kedewasaan
seseorang. Jika pada masa kecil penyesuaian diri lebih dalam rangka mengadopsi perilaku
lingkungan (misalnya seorang anak bermain layangan karena untuk “eksis” di kalangan
sepermainannya harus pandai bermain layangan), maka penyesuaian diri dalam kerangka
dewasa adalah dalam rangka survival menghadapi liku-liku kehidupan, demi agar idealisme
hidupnya mewujud. Bisa saja tidak seluruh cita-citanya tercapai, namun ia bisa bertahan hidup
melalui serangkaian “kompromi”, penundaan atau apapun langkah melewati celah peluang
hidup yang tersedia.

Langkah penyesuaian diri tersebut ditumpahkan seseorang dalam wadah organisasi bisnis
sebagai karyawan, agar membentuk karakter sukses guna berjalan meniti karirnya. Buku ini
sejak halaman pertama akan menyergap pembaca menyimak tuntutan jaman yang diemban
“kendaraan” yang ditumpangi karyawan, yaitu perusahaan. Pada bab tersebut diuraikan kunci-
kunci sukses yang berdasarkan pengamatan jangka panjang telah membuktikan effektifitas
“jalur tol” menaiki jenjang karir. Bahkan digarisbawahi titik-titik rawan yang, bak ranjau
ditengah medan laga, harus diwaspadai. Pandai-pandailah mana yang boleh dijadikan pijakan
sikap, mana gejala organisasi yang harus diatasi dan mana pula gejolak dinamika yang mutlak
mesti ditaklukan. Terhadap semua itu, pertumbuhan perjalanan karir seorang karyawan akan
melewati koridor belajar yang tak pelak harus secepat mungkin.
11
Belajar juga berarti mengadaptasi apa yang sebelumnya tidak dikuasai, hingga ia benar-benar
beranjak ketingkat penguasaan hingga layak mendapatkan promosi jabatan. Belajar dalam
makna demikian tidak lagi seperti belajar dalam bangku sekolah, dari satu mata pelajaran ke
mata berikutnya, dan bukan dari satu ujian tertulis ke ujian lanjutannya. Belajar menuju tingkat
penguasaan lebih tinggi dalam bekerja harus dimaknai berwujud penyelesaian tugas yang
semakin effektif, semakin berlimpah horison pengambilan keputusan, dan pada akhirnya
semakin memudahkan solusi dan innovasi.

Dengan kata lain pula, adalah anggapan yang salah pendapat yang menyatakan bahwa atasanlah
yang menaikkan jabatan seseorang. Serapat-rapatnya sentimen atasan untuk menaikkan atau
membiarkan jabatan bawahannya, tetap akan terpulang pada si bawahan tersebut bagaimana
dan secepat apa ia dapat tumbuh dalam penyesuaian diri sebagaimana illustrasi diatas. Tanpa
adaptasi dan penyesuaian diri, betapapun tangga promosi terbuka lebar, seorang karyawan akan
terlihat bodoh dihadapan tumpukan tugas yang ada dalam lingkup kerjanya. Kebodohannya
ditandai dengan rutinitas bekerja yang dari itu ke itu lagi, terlepas dinamika tantangan
membenturkan pada ragam faktor masalah. Padahal pastilah lingkup kerja seseorang seiring
berjalan waktu akan makin lama makin luas dan banyak, dan pada akhirnya menggilas siapapun
yang tidak mampu menguasainya, cepat atau lambat.

Belajar dalam makna penyesuaian diri orang dewasa, berarti proses kompleks yang bukan saja
linier berhubungan sebab-akibat. Ratusan faktor terlibat terhadap satu fenomena sekaligus,
dimana pilah-memilah dan pilih-memilih menjadi proses yang tidak selalu ada rumus bakunya.
Namun lepas dari kompleksitas itu, output dan outcome lah yang menjadi ukuran keberhasilan
belajar. Organisasi bisnis tidak mempedulikan keringat dan air mata dalam memproses, yang
dipedulikan hanyalah hasil akhir. Hasil akhir berupa apa wujud hasil (output) dan dampak kondisi
dari wujud tersebut (outcome), dan itulah yang diukur sebagai hasil belajar dalam belanga
tanggungjawab tugas jabatan. Hal ini pula yang akan menjadi pijakan obyektif maupun subyektif
guna seorang karyawan dipromosikan naik pangkat atau tidak.

12
Dari segi periode waktu, ditengarai bahwa kematangan penyesuaian diri selama masa karir itu
dibentuk dalam 7 (tujuh) tahun pertama karir seseorang. Manakala dalam periode tersebut
penyesuaian diri berjalan intensif dan effektif, maka seorang karyawan pada periode selanjutnya
akan tidak kerepotan menghadapi kesulitan perintang kinerja, dan pada gilirannya mampu
menelorkan prestasi dan produktifitas yang memuluskan jalan yang bersangkutan meninti karir
hingga puncak yang diidamkan setiap orang dalam bekerja.

Buku ini secara menyeluruh dan mendalam berusaha menelusuri “benteng-benteng penghambat”
penyesuaian diri, dimulai dari Mindset dalam pikiran. Mindset adalah apapun yang terpaku dan
diyakini oleh pikiran sehingga mentolelir atau, sebaliknya, meniadakan perilaku tertentu.
Tampilnya suatu perilaku didukung oleh koneksitas satu gagasan dengan gagasan lainnya.
Demikian pula sebaliknya tidak tampilnya suatu perilaku disebabkan diskoneksi satu gagasan
dengan lainnya. Memastikan mindset yang pas, sesuai dengan tuntutan kompetisi jaman, sejalan
dengan tuntutan penetrasi bisnis, dan selaras pula dengan best practice menuju masa depan,
adalah keseluruhan isi dari buku ini.

MINDSET :
Sekali lagi, paling tidak dalam bahasan penyesuaian diri,
mindset lah yang mempermudah, memperlancar, serta • Membatasi perilaku
memuluskan suatu tindakan adaptif. Atau sebaliknya, tampil atau tidak tampil
keruwetan mindset pula yang merintangi tampilnya suatu
• Umumnya terbentuk dari
langkah seseorang.
pengalaman masa silam

Persoalan yang sangat menjebak adalah: mindset itu • Yang diperlukan adalah
perilaku konstruktif
sebagian besar terbentuk karena pengetahuan yang
masa depan
dituntun oleh pengalaman masa terdahulu. Padahal
dalam kaitan seorang karyawan mengemban tugas
perusahaan, yang diperlukan bukanlah mindset yang
menengok ke belakang, melainkan mindset yang konstruktif untuk masa depan.

13
MENGAPA TUJUH TAHUN PERTAMA
PERIODE EMAS MEMBENTUK KARIR GEMILANG ?!

Riset dalam 19 tahun terakhir terhadap kalangan akhir generasi X dan awal generasi Y
meniti karir dari usia 24-32 tahun - yang relatif identik dengan masa awal bekerja -
menunjukkan potensi dan peluang meletakkan dasar pengembangan diri. Tampak jelas
bahwa masa 7 tahun tersebut menjadi Golden period yang tidak dapat diulang kembali
dalam kapasitas yang sama dengan intensitas dan kecepatan derajat leverage
(pengungkit) karir. Hal-hal tersebut terutama menyangkut :

1. MOBILITAS LELUASA. Relatif karyawan pada masa tersebut masih berstatus lajang,
dan oleh sebab itu memiliki keleluasaan melakukan mobilitas termasuk jam kerja
yang panjang, relokasi keluar daerah, rotasi antar departemen. Dunia akan tinggal
separuh saja setelah usia 33, karena banyak alasan yang menghambat penjelajahan
2. SEGAR UNTUK BELAJAR. Modal tumbuh adalah belajar, tanpa belajar maka
pertumbuhan basa basi saja. Sedangkan alamiahnya belajar hanya pada peringkat
pemula. Bisa saja belajar pada peringkat selanjutnya, namun kapasitasnya akan
berangsur menurun secara stamina, hasrat maupun daya “loading” setelah usia 33.
3. STATUS “KERTAS KOSONG”. Maestro Picasso sekalipun akan lebih mudah melukis
demikian indah dari kertas kosong. Kalo sudah ada coretan pengalaman, prosesnya
panjang lagi untuk mengkoreksi dan meng-improvisasi. Picasso sekalipun, lagi-lagi,
tidak mungkin melukis sempurna disana. Apalagi orang dengan pengalaman karir
yang membentuk pola kepribadian sudah menetap pasca usia 33.
4. BANYAK GURU & PANUTAN. Disekeliling mereka yang masih merasa “hijau”, pasti ada
yang menonjol dan berkarakter hingga bisa dijadikan panutan atau guru imajiner.
Tempat rujukan standar tersebut akan dengan mudah mengisi ruang bagaimana
seharusnya bersikap. Kaca cermin hidup seperti “figur hampir sempurna” akan
disimak dan dicontoh oleh anak muda. Ketika yang muda itu menua, mencari figur
imajiner saja pun sudah sulit ditemukan, lantaran pilihan semakin bersyarat dan “figur
hampir sempurna” itu cenderung dikritisi.
14
Berdasarkan pikiran yang berisi memori pengalaman masa terdahulu, mindset yang tertanam
didalamnya tidak cukup kuat untuk memberi “perintah perilaku” yang relevan dengan masalah
yang mempertimbangkan masa depan. Wajarlah jika mindset masa silam ini lebih cenderung
“terpeleset” melahirkan perilaku yang berasal dari “database” tempo doeloe. Bekerja semata
untuk tujuan menghasilkan uang (sehingga sebaiknya jangan bikin gara-gara, cukup
berperilaku manis), bekerja yang penting adalah nyaman dan mendapat perlindungan atasan
(sehingga perilaku yang tampil lebih pada mencari cara agar disayang secara relasional oleh
atasan), bahkan secara ekstrim berperilaku “asal tidak ketahuan” (karena demikian
pengalaman dimasa nyontek dibangku kuliah), lebih menggejala dalam lingkungan kerja yang
tidak matang oleh mindset karir.

Sebaliknya pemupukan perilaku baru yang lebih relevan bagi dunia kerja cenderung lambat
tumbuh kecuali dengan pengawasan ketat dan hukuman. Perilaku seperti bekerja keraslah
maka penghasilan akan lebih terjamin, datangkan semangat dari diri agar etos kerja tidak
lembek, dan pentingkan pembuktian kesanggupan berkinerja dihadapan atasan daripada
kemampuan basa basi memujinya, ternyata tidak banyak dijumpai. Ironisnya lagi, perilaku
kebalikan dari relevansi kerja tersebut menggejala pada hampir semua jenjang karir, baik
dikalangan karyawan dengan pengalaman dibawah 5 tahun hingga kalangan karyawan diatas
20 tahun. Artinya mindset bekerja secara konstruktif itu, jika tidak diseriuskan dibangun
dengan sengaja, langka tumbuh dengan sendirinya. Mindset awam yang berasal dari
pengalaman diluar bekerja sukar digantikan begitu saja.

Buku ini tergugah dari gejala epidemi berbagai penyakit organisasi yang pada essensinya
berasal dari kegagalan pembentukan mindset bekerja effektif diatas. Jika seseorang tidak
cukup tangguh mengambil keputusan, misalnya, alih-alih daripada belajar sungguh-sungguh
untuk bersikap assertif dan tajam dalam memutuskan suatu hal, malah “melarikan diri”
dengan langkah “cari aman”, “buang body” dan sejenisnya. Semua itu nyata berasal dari
mindset irrelevan yang terbawa dari luar dunia kerja, namun sudah terlanjur tertanam oleh
budaya khalayak “potong kompas” dan “cari aman” tersebut.
15
C. MENUJU HORISON MASA DEPAN
Menjangkau masa depan adalah positioning utama buku ini. Pertama, karena buku ini
diarahkan bagi para profesional agar tidak hanya mampu, namun cepat dan effektif,
menjangkau karir puncaknya dimasa datang. Kedua, karena bahasan buku ini men-transisi-kan
masa kini pada dinamika pergeseran putaran dunia bisnis dan dunia kerja yang sedang meng-
establish-kan hukum kesuksesan masa datang dan sudah barang tentu menjungkir balikkan
sebagian rumus masa terdahulu.

Betapa lengkap misteri dunia kerja dan karir lantaran diawali pilihan “kendaraan” (perusahaan
dan lapangan) tempat berkarir yang belum tentu merupakan pilihan yang benar. Kalaupun
benar, selanjutnya untuk menjadi “penumpang” (karyawan) pada “kendaraan” (perusahaan)
tersebut pun tidak otomatis fit pada peran/jabatan yang diemban sehingga harus melakukan
penyesuaian diri berkelanjutan. Penyesuaian tersebut memakan tenaga dan waktu yang tidak
sedikit – kecuali jika memanfaatkan masa 7 golden years secara effektif - hingga “kendaraan”
bersama “penumpang”nya berorientasi penuh menuju destinasi horison masa depan yang
jelas. Lengkap sudah rangkaian perjuangan sebagai tantangan ketidakpastian yang harus
dijawab para pendaki karir.

Jika seseorang mendekati masa pensiun, apa yang disebut “masa depan” mungkin lebih
konkrit gambarannya. Namun bagi mereka yang baru mengawali atau ditengah karir, masa
depan itu demikian abstrak. Bagaimana mengimajinasikannya, sebagian orang tidak akan
sama membayangkannya dengan sebagian lain.

Bab demi bab buku ini hendak mendirikan pilar-pilar konseptual dari apa yang disebut masa
depan, yang pada gilirannya memudahkan imajinasi mengenai definisi masa depan tergambar
secara effektif. Sekedar tergambar namun tidak cukup operasional bagaimana mendekatinya
sebagai sebuah destinasi, tidaklah bermanfaat. Sebutlah masa depan itu adalah sebuah rumah
mentereng dikawan Bel-Air – Hollywood. Lha, lalu bagaimana mengarungi perjalanan hidup
agar bisa memiliki kavling disana?! Itulah bedanya “masa depan” dengan “angan angan”………..

16
Ditengah halaman buku ini mengajak pembaca mengapresiasi beberapa langkah strategis.
Beberapa penelitian dikedepankan sebagai tips yang prakteknya telah dibuktikan sebagai
“jalan tol” karir, mulai dari berangkat dari lembah karir, meniti punggung bukit tantangan karir,
dan diprediksikan bahwa setiap strategi tersebut akan menuju perjumpaan puncak karir.
Kehidupan profesional me-label definisi “puncak karir” sebagai jabatan puncak dengan
imbalan yang juga puncak idaman.

Namun seseorang dalam perjalanan meniti dunia kerja – diawal atau dipertengahan - tidak
boleh menandai bahwa kenyamanan kerja harus sudah diraih saat ini. Hal itu bertentangan
dengan “prinsip masa depan”. Hal itu malah sebaliknya, cenderung memperangkap pada sikap
dikelabui oleh “prinsip instant”. Pengertian dikelabui dalam makna di-inabobo-kan oleh apa
yang tersedia disini dan saat ini (here and now), seolah melenakan usaha jangka kedepan,
padahal sikap yang diperlukan adalah merentangkan benih agar memanen apa yang jauh
lebih besar dan lebih bermakna daripada yang ada saat ini. Itulah makna sebenarnya dengan
masa depan.

Masa depan didefinisikan dalam kerangka standar tertinggi sesuai aspirasi maksimal, dan
menjadi ukuran imajinatif yang belum layak didangkalkan atau dikompromikan, kecuali saat
tidak ada waktu lagi.

Jebakan paling dalam yang menenggelamkan pendefinisian masa depan sudah akan
menghalangi sejak jadi pemula dunia kerja, yaitu dengan memaknai pekerjaan sebagai
alakadar mendapatkan income. Pemula dunia kerja bisa terpeleset, memandang kerja sebagai
perubahan dari posisi menganggur atau lulus sekolah. Sebagian lainnya terjebak indoktrinasi
nilai budaya yang sudah tidak relevan lagi dengan apa yang berlaku dalam hukum industri,
komersial dan profesionalitas masa kini. Bekerja demi menjamin rasa aman dihari tua,
misalnya, tanpa terkait dengan “biaya” menjalani pekerjaan melalui prestasi dan
produktifitas, adalah pantulan konsep bekerja masa silam. Dalam relevansi terhadap masa

17
maka wujud masa depan dalam bayangan kalangan ini terpatok pada “memiliki pekerjaan”
dengan segala status yang menyertainya. Dengan demikian, sifat masa depan seolah sudah
dalam genggamannya saat ini, tanpa perlu diraih, tanpa memerlukan usaha kerja keras
mencapainya.

Tampaknya jebakan tersebut sederhana, namun dalam realita sikap dan etos kerja kalangan
ini berbeda jauh tanah dengan langit.

Dalam bahasa terang, bekerja sedangkal untuk mendapat uang gaji diakhir bulan, demikian
rutin seterusnya hingga 25 tahun berikutnya seseorang mendapat sertifikat pensiun plus
pesangonnya, selesai. Ini tidak dikategorikan “masa depan” menurut buku ini. Masa depan
dalam definisi buku ini adalah perwujudan hasil berbasis acuan standar yang semakin tinggi
seiring berjalannya waktu hingga melampaui apa semula mustahil dipunyai. Jelaslah bahwa
masa depan adalah destinasi akselaratif - pelabuhan tujuan yang dinamis tergantung
percepatan yang berlangsung selama proses, dan di-bahan bakar-i oleh aspirasi tak kunjung
berbatas – dan oleh sebab itu menjadi sumber kepuasan diakhir maupun dalam
perjalanannya.

MASA DEPAN :
Adalah wajar jika kadang jangkauan memikirkan masa
depan itu tidak setajam apa yang dianjurkan buku ini. • Perwujudan dibalik
Buku ini hendak mengisi bagian kosong disisi ini. Agar horison Vs here and Now
profesional yang menjalani dunia kerja dapat
• Standar akseleratif
memaklumi secara komprehensif rule of the game dipacu kesadaran waktu
dunia kerja. Lebih jauh bahkan agar setiap profesional
yang sedang meramu masa depan melalui karirnya • Mengisi dinamika
komparasi dan kompetisi
melempar pandangan jauh kedepan hingga mampu
mempersiapkan diri secara matang dalam menjemput
kegemilangan dibalik horison masa kerjanya, dan tidak
memandang secara jangka pendek saja.
18
MENGIMAJINASIKAN MASA DEPAN KARIR
Kalangan profesional mengimajinasikan masa dalam meniti karir sungguh perlu
merefleksikan orientasi menjangkau apa yang diharapkan mewujud dibalik horison ruang
dan waktu perjalanan karirnya. Namun sebagai sifat journey, masa depan bukanlah
sebuah terminal pasti. Dalam peta kehidupan selayaknya, “terminal” tersebut dinamis
bererak sesuai aspirasi. Aspirasi inilah yang perlu dipacu sehingga “mimpi masa depan”
memiliki standar makin tinggi, yang bertumpu dari satu kinerja ke kinerja berikutnya.
Bukan sesuatu yang statis. Berikut tips sederhana menginajinasikannya

1. BUATLAH MILESTONE. Pada setiap momentum waktu dalam karir Anda, khususnya
dengan mengandalkan pada titik tumpu keberhasilan (sekecil apapun) , gunakan
untuk membayangkan apa yang ingin dicapai pada momentum berikutnya. Itulah
yang dimaksud dengan milestone, Jelas perjalanan karir melewati satu milestone yang
jika telah dicapai akan melahirkan milestone berikut Setelah lulus masa probation,
buatlah milestone menjadi supervisor dalam 2 tahun saja, misalnya.
2. BANGUN PILAR MASA DEPAN. Tengok milestone masa depan yang sudah anda capai.
apa pilar yang melandasi pencapaian itu?! Nah, ketika Anda merumuskan milestone
berikutnya, sebutkan secara spesifik pilar apa yang diperlukan guna mewujudkan
milestone berikutnya. Dengan kata lain, pertumbuhan karir Anda secara nyata ditopang
oleh pembelajaran atas pilar berikutnya tsb. Jika hal ini diikuti, nyata pula Anda tumbuh
melengkapi kompetensi Anda secara berkelanjutan
3. PIJAK LEBIH DARI SATU KOMPETENSI. Manakala beberapa milestone telah tercapai,
semburat cahaya mimpi masa depan anda telah saatnya mengembang secara extended
maupun expanded. Untuk itu Anda perlu bergerak dengan “alat” lebih dari satu
kompetensi. Beranikan diri Anda untuk berpijak pada lebih dari satu kompetensi. Luaskan
sesuai minat dan apa yang Anda semakin enjoy.

19
Dibayangi latar belakang aspirasi masa depan tersebut, maka wacana bahwa dunia kerja
adalah lapangan kompetisi dan komparasi tidak akan terlalu menjadi beban, karena antara
kepuasan yang akan diraih dengan “ongkos” mencapainya mestilah sepadan.

Dengan melihat jauh ke masa depan maka kompetisi menjadi lebih menggairahkan untuk
diarungi. Komparasi - bahkan antar sesama karyawan – sangat masuk akal diarenakan secara
sportif. Ada kelicikan dan didera oleh ambisi pihak lain pun bukan sesuatu yang perlu
dikeluhkan secara berlebihan atau membuat patah arang. Biasa saja, dunia tidak selalu bersih
dan lurus. Namun apapun “ketidakadilan” yang bisa saja menjadi batu sandungan, tak
terhidarkan bahwa kompetisi adalah thema alamiah semenjak penduduk bumi berjumlah
diatas 5 milyar. Siemua memaklumi bahwa sifat kompetisi sudah melampaui apa yang Charles
Darwin istilahkan dalam rangka survival saat teori tersebut didengungkannya. Komparasi
makin membuat riuh dan merupakan sisi lain dari mata uang kompetisi. Setiap saat dalam
dunia kerja dilakukan assessment test, evaluasi dan penilaian, dan setiap individu yang
menjalaninya harus senantiasa siap menampilkan keunggulannya pada berbagai komponen
yang dinilai. Siap tidak siap, pengukuran dalam rangka komparasi akan dialami para
profesional berulang-ulang dalam masa karirnya, dan dimasa datang akan makin kerap
berulang dibanding 20 tahun silam. Pengukuran dalam rangka komparasi – lazim disebut
assessment – sudah menjadi kebutuhan periodik demi mendekati obyektifitas .

Makna disisi berbeda dari semua diatas, tidak ada yang “tanpa ongkos” dalam menjalani karir.
Sebaliknya, modal yang harus dipersiapkan sudah harus dipupuk sejak hari pertama bekerja
agar profesional menjadi pemenang setiap kali pertaruhan kualitas unggul dikompetisikan.
Koridor karir akan selalu tertumbuk pada titik penyempitan, dan hanya yang unggul saja yang
akan lolos melewati celah sempit tersebut. Sebagian besar lainnya akan terdampar di piramida
SDM korporasi pada peringkat bawah. Semakin besar perusahaan dimana si profesional
berada, semakin banyak pula pesaing unggul sebagai pembanding terhadap diri profesional
yang bersangkutan, terlepas formasi lowongannya lebih banyak atau lebih sedikit.

20
MOMOK ASSESSMENT
Assessment – dalam wujud test, pengukuran kompetensi, atau metode evaluasi lainnya –
sebagaimana disebutkan akan berlangsung makin kerap dan berulang-ulang dalam
dekade mendatang. Menjadi sangat mengganggu karir Anda jika Anda tidak memiliki
sikap yang pas terhadap assessment, sebab Anda bak tersandung kerikil berulang-ulang.
Melelahkan, tidak konstruktif, bahkan berpotensi tidak mengoptimalkan diri anda setiap
kali assessment. Berikut tips effektif menghadapinya

1. YANG DIUKUR ADALAH PENGALAMAN. Adalah salah jika assessment dipandang


mengukur Anda dalam moment saat Anda di-test. Apa yang diukur saat test adalah
apa yang tersimpan dalam pikiran dan gallery perilaku Anda yang sudah ada jauh
sebelum di-test. Oleh sebab itu persiapan assessment adalah selama karir Anda
berjalan. Jadi saat Anda di-test semuanya sudah berjalan lancar
2. JANGAN RAGUKAN METODE PENGUKURAN. Semakin menyusahkan jika saat
assessment, Anda sibuk mempertanyakan apakah pengukuran ini valid atau tidak.
Umumnya hal ini membuat anda tidak fokus, kurang motivasi dan cenderung lalai.
Padahal metode tersebut telah dikaji secara ilmiah oleh ahlinya. Ikuti saja dan
tampilkan kinerj maksimal anda sesuai stimulan pengukuran tersebut
3. JANGAN MEMPERSIAPKAN DIRI PRA-ASSESSMENT. Kecemasan yang muncul sebelum
test atau assessment membuat seolah Anda harus mempersiapkan diri. Jika ada test
presentasi maka anda latihan presentasi. Proses belajarnya tidak demikian, prosesnya
adalah Anda sehat, segar, tidak stress, dan leluasa bersikap sebagaimana biasanya
Anda bertindak dalam situasi tidak menekan. Semakin Anda “mempersiapkan diri”
seperti latihan, semakin Anda menjebak diri pada situasi stress dan tidak malah
menajamkan apa yang akan diukur
4. JIKA ADA UMPAN BALIK, SIMAK UNTUK ASSESSMENT BERIKUTNYA. Saat Anda
memperoleh sessi umpan balik, catat secara serius apa yang masih perlu
disempurnakan dari diri anda, dan mana kompetensi yang perlu dibangun dimasa
datang. Lebih baik lagi jika Anda mencatat apa requirements kompetensi pekerjaan
berikutnya.
21
D. KEPUASAN : HIDUP SEIMBANG
Buntut “ongkos karir“ perlu diklarifikasi semenjak cukup sensitif dalam kaitan kesejahteraan
mental seorang profesional. “Ongkos karir” yang sangat jelas adalah kelelahan kerja keras
memupuk kualitas unggul agar berbuah kompetensi dan performansi berkelanjutan, dari satu
tugas ke tugas lainnya yang terekam oleh sistem korporasi. Kelalaian upaya berkinerja disatu
titik saja sudah cukup memberi noda, menurunkan derajat keunggulan kompetisi, dan
mengakibatkan nilai komparasi bagi peningkatan karir semakin kokoh atau sebaliknya
tergoyahkan. Muara dinamika ketidakpastian tersebut biasanya secara negatif berupa stress,
kecemasan. Sedangkan secara positif membuahkan kadar kepercayaan diri, mengisi kepuasan
bathin, serta membentuk karakter kepribadian yang lebih matang.

Hidup harus berkeseimbangan. Ongkos yang dikeluarkan seorang karyawan guna menyangga
peningkatan karirnya tersebut harus diimbangi dengan kualitas hidup manusiawi yaitu
kepuasan kerja. Diawal masa bekerja, kepuasan dapat dipicu oleh reward finansial yang
merupakan kompensasi yang diberikan perusahaan. Namun dengan berjalannya waktu dan
tangga karir, sungguhpun fungsi imbalan tetap berperanan, namun essensi reward dari luar diri
harus perlahan bertransformasi menjadi reward yang lebih bersifat intrinsic. Artinya disamping
reward finansial sebagai kompensasi, diperlukan juga reward yang semakin berkaitan dengan
kesejahteraan diri yang memelihara motivasi, nurturing etos dan visi hidup, kebermaknaan,
atau dalam istilah kemasannya disebut “aktualisasi diri”, sebuah nilai yang bersifat unik dan
personal sekali . Sesuatu yang tidak bisa digeneralisasi, bisa berlaku untuk seseorang namun
belum tentu cukup tajam artinya bari seseorang lainnya.

Secara fundamental sifat pekerjaan itu sendiri harus sudah menjadi imbalan bagi kepuasan
sebagai profesional. Itu makanya sejak awal halaman buku ini telah digarisbawahi apakah
seseorang pas, cocok, sesuai dengan orang yang memasuki pekerjaan tersebut. Ada kebanggan
memiliki pekerjaan, kebahagiaan melakukan tugas, kenikmatan menghadapi tantangan yang
tampil di lapangan tugas. Buku ini berusaha elaboratif dalam membahas bahwa seseorang
harus merasa memiliki (ownership) pekerjaan itu sendiri. Hal itu, antara lain terkait dengan

22
bahasan mengenai bagaimana reward dari dalam diri memberi ikatan antara pemangku jabatan
dengan pekerjaannya, mengingat peran reward dalam diri sangat dominan bagi ketangguhan
meniti karir.

Para ahli bahkan belakangan memberikan istilah khusus atas nilai reward diri atas pekerjaan,
yaitu refleksi energi berakumulasi akibat pengalaman positif, kepuasan berlelah keterlibatan
penuh pada pekerjaan, bahkan “dikompori” oleh tantangan yang semakin asyik diatasi. Itulah
yang disebut engagement, keterikatan unik antara diri dengan pekerjaan yang membuat
seseorang tidak berhenti pada titik target, namun melampauinya. Gairah yang terbentuk atas
kebanggan berkiprah, melampaui titik puas, bahkan sampai membangkitkan “turbin” sendiri
yang tiada mengenal lelah dan batas waktu. Engagement kadang ditengarai dalam format
workaholic. Tapi pandangan tersebut hanyalah bias orang awam dengan standar rata-rata
karyawan mediocre. Tampilan hakiki engagement tak lain dari setting energizer mandiri dilubuk
mentalitas yang menenggelamkan seseorang pada pekerjaan tanpa merusak sistem istirahat,
sistem yang memberi perhatian pada kesejahteraan fisik dan spiritual. Suatu bentuk kepuasan
yang tak terlukiskan oleh kata-kata, namun terasakan hingga relung perasaan sekeliling anggota
tim kerjanya. Lingkungan pun jadi demikian menyenangkan manakala semangat kerja beraura
gairah positif, sekaligus menghasilkan produktifitas tinggi.

Sekali lagi, mulanya dorongan engagement adalah terpeliharanya kebutuhan fisik oleh
pendapatan sebagai remunerasi dari pekerjaan. Pada saat tersebut, seorang profesional tidak
boleh terpeleset pada kenyamanan dan rasa keseimbangan yang melenakan. Hal itu perlu
disadari sebagai momentum yang mleluasakan dirinya berkiprah lebih mendalam pada
pekerjaannya. Para ahli lalu menandai bahwa kondisi diatas merupakan momentum
mengintegrasikan aspirasi (jangkauan keinginan mewujudkan sesuatu) dengan mimpi masa
depannya, dan lalu diracik menjadi suatu rumusan visi. Kalangan ini biasa menandai
pekerjaannya secara visioner, menjangkau apa yang layak diwujudkan melampaui apa yang
terpikirkan orang lain.

23
Siapapun yang telah mencanangkan visi dalam karirnya, dia telah lebih dari setengah jalan
menjangkau masa depannya, terlepas apakah hal itu pada akhirnya tercapai atas tidak.
Karena diakhir perjalanan karir bukan lagi setting fisik yang digenggamnya, melainkan
pemaknaan mulia yang memberi inti keberlimpahan yang dimilikinya

Pantaslah pada titik memuncak tersebut, imbalan finansial akan turun peringkatnya
menjadi nomor kesekian. Pujian atasan atau orang lain dalam organisasi mungkin masih
berarti, namun jauh lebih berarti “tepukan dalam hati” kepada diri sendiri atas sukses
dalam definisi yang kadang sangat pribadi.

Illustrasi sepanjang buku ini menggarisbawahi profil profesional sukses dalam karir
sebagaimana gambaran karyawan yang berhasil mentransformasikan reward extrinsic dan
menggantikannya menjadi reward intrinsic tersebut.
Oleh sebab itu perusahaan berkepentingan dengan hasil PROFESIONAL:
survey kepuasan kerja, terutama engagement survey.
Tidak dalam rangka semata untuk kebanggan perusahaan • Lapangan kompetisi
memiliki karyawan yang puas, namun dalam rangka
& komparasi unggul

mengukur jaminan kinerja mesin organisasi dimasa • Transformasi dari


selanjutnya. Tanpa profesional yang sanggup reward ekstrinsik
mentransformasikan dirinya agar berorientasi pada ke intrinsik
reward intrinsic, perusahaan akan terbebani habis
• Bertolak dari
untuk menyediakan reward finansial yang sudah barang domain kedewasaan
tentu tidak pernah kunjung sepenuhnya memuaskan
karyawan. Jangan dilupakan bahwa pada perusahaan
yang tingkat gajinya melampaui perusahaan-perusahaan
lain pun tidak dijamin tingkat kepuasan karyawannya tinggi. Tidak ada korelasi langsung dan
berdiri sendiri antara jumlah pendapatan dengan kepuasan. Bahkan dalam berbagai studi
mengenai remunerasi, dipahami bahwa komponen take home pay (penerimaan total cash

24
yang dibawa pulang setiap bulan) perlu disiasati oleh ragam tunjangan dalam rangka
mendukung effektifitas remunerasi. Artinya, jika reward extrinsic menjadi satu-satunya andalan
kepuasan (karyawan) penerimanya, dan lamban sekali sang karyawan mentransformasikan
persepsi mengenai gajinya tanpa didampingi oleh sejumlah reward intrinsic yang harus
dibangun sendiri dalam pemaknaan mentalnya, maka perjalanan karir seorang profesional akan
berkejaran dengan tumpukan ketidakpuasan yang menyiksa daripada sebaliknya “menabung”
kepuasan sebagai pijakan untuk berkinerja lebih maksimal.

Dalam bingkai transformasi kepuasan dari reward finansial dari luar ke reward intrinsik
pemaknaan diri, dimaklumi bahwa proses tersebut adalah sepenuhnya “domain kedewasaan”
seorang profesional, dan bukan mekanisme yang dikuasai perusahaan. Hanya kedewasaan
pemikiran karyawan yang bersangkutan saja yang lebih berperan membangun suasana
kepuasaan yang dilandasi EQ (bukan sekedar IQ) sehingga berdampak pada produktifitas
perusahaan.

Apa hubungannya antara kedewasaan dengan keberhasilan karir bagi seorang profesional
dalam perusahaan?! Kedewasaan ditandai dengan kemampuan penuh untuk menyesuaikan diri
terhadap lingkungan, dan tampil secara nyata manakala yang bersangkutan berhadapan dengan
tugas dan tantangan. Kapasitas intelektualnya sepadan antara analisasi dengan masalah yang
dihadapi, sekaligus mampu memberikan respons yang pas terhadap tantangan tersebut. Uraian
tersebut, jika diaplikasikan pada pekerjaan, cukup menjelaskan bagaimana keberhasilan karir
memerlukan kematangan kedewasaan. Pekerjaan setiap saat menghadapi tantangan
penyelesaian, dan hanya seorang yang matang kedewasaannya lah yang dapat bersikap luwes,
kreatif, dan cerdik mensiasati agar menemukan langkah menerobos kendala penyelesaian
tugasnya. Seperti telah disebutkan, hal ini bukan sekedar IQ, melainkan emosi (EQ) yang
berperan secara memadai sehingga tidak terbentur pada pola frustrasi yang tidak
menguntungkan.

25
APA DAN BAGAIMANA MENJADI DEWASA ?!

Illustrasi apa itu dewasa dapat diambil dari masa kebalikannya, yaitu kanak-kanak.
Seorang anak balita yang ingin kerupuk dan tidak mendapatkan keinginannya akan
frustrasi dan menangis. Ia menangis berguling-guling sebagai upayanya memperoleh
perhatian pihak lain agar pihak lain menyesaikan masalahnya dengan memberi kerupuk.
Selayaknya pilar kedewasaan dibangun sekokoh mungkin melalui langkah :

1. TIDAK TERJEBAK FRUSTRASI. Bagaimana Anda menghadapi frustrasi, itulah ukuran


kedewasaan Anda. Jika membiarkan Anda tenggelam mengakumulasi derita, Anda
tidak mengambil pelajaran dari pengalaman menabrak tembok. Dewasa adalah
mensiasati, menemukan langkah menerobos, dan memberi pertimbangan atas dan
menuju terobosan yang dimatangkan oleh analisa, bobot resiko, dan bagi pamrih
tujuan.
2. KOLABORASI. Dewasa adalah menimbang proporsi ego. Sekedar merasa benar, dan
memenuhi “panggung” dengan tarian ego diri saja bukanlah ciri kedewasaan.
Memberi ruang bagi mendengarkan pihak lain, mematangkan pikiran bersama orang
lain, dan langkah kolaboratif, lebih mencerminkan penerimaan akan eksistensi selain
ego diri
3. PERWUJUDAN BERTAHAP. Apapun didunia ini memerlukan waktu dan proses.
Kesanggupan menantikan hasil melalui dedikasi persisten adalah lambang kualitas
kedewasan. Oleh karena itu selalu hadir gagasan strategis, dan dibumbui dengan daya
tahan yang memadai untuk mengelola hambatan, menyingkirkan masalah dengan
usaha sendiri ataupun bersama. Bertahap namun berprogres
4. MENGUTAMAKAN IDEALISME. Kompromi bisa saja positif, namun terlampau
mengkompromikan tujuan akhir mengindikasikan lembeknya idealisme yang
diperjuangkan, alias tertaklukan kebutuhan seadanya. Kedewasan adalah menjaga
dan membela nilai yang melandasi jiwa, walau hanya sampai derajat realistik.
Selebihnya adalah mengapresiasi usaha.

26
Pernah mengalami dilayani kasir bermuka masam, bete, dan tak ramah ?! Itulah contoh
konkrit bagaimana kualitas pelayanan perusahaan, misalnya, amat tergantung pada
kedewasaan karyawannya. Kesal dalam pekerjaan adalah wajar, namun jika diekspresikan
tidak pada tempatnya akan mengganggu dan terkesan kekanak-kanakan dalam melayani
konsumen. Ambang frustrasinya harus terkendali, nalar dan sikapnya akan mencari jalan -
melalui penyesuaian diri yang memadai – sehingga lebih bijak memilih perilakunya.

Dalam kerangka tantangan profesional lebih senior, dapat dimaklumi bahwa kedewasaan perlu
tampil pada cerminan lebih kompleks, misalnya pada pengambilan keputusan yang tidak
segera, mendadak atau sesaat. Demikianlah domain kedewasaan bermain secara menonjol,
dan hal ini kadang memerlukan “jam terbang”, pengalaman serta keluasan wawasan, dan
diistilahkan dalam dunia profesional sebagai “matang”.

Melalui wacana diatas, buku ini didedikasikan dan dipersembahkan sejak para profesional
menjadi pemula hingga perkembangan karir selanjutnya dengan mengingatkan agar berfokus,
sekali lagi, pada tujuh tahun pertama masa karirnya. Jelaslah karir yang akan dirintis adalah
milik profesional itu sendiri, sehingga selayaknya yang bersangkutan memiliki komitmen diri
demi ownership of future dalam perusahaan dimana ia bekerja. Dalam skala dan intensitas
tertentu, seorang profesional yang menjadi karyawan memiliki pengendalian atas nasibnya -
dan bahkan nasib perusahaannya - lebih besar daripada kuasa perusahaan. Anggapan
kebanyakan karyawan yang bersikap dengan bertendensi seolah perusahaan memiliki “kuasa”
atas nasib karyawannya, dan akibatnya menyalahkan banyak hal pada luar dirinya, bahkan
mengkambing-hitamkan kebijakan maupun perusahaan sebagai institusi, terpulang lagi
domain kedewasaan diatas. Perusahaan benar memiliki otoritas untuk law of order dalam
organisasi. Tanpa otoritas itu tidak akan ada ketertiban. Namun disisi lain, sehubungan
dengan “domain kedewasaa” tersebut, setiap individu profesional sebagai karyawan
semestinya lebih memiliki kontrol terhadap bagaimana ia akan tumbuh. Bisa saja ditemukan
situasi sosial dalam organisasi perusahaan yang tidak kondusif, malah memicu sikap kontra

27
Produktif, namun justru karena sifat alamiah kehidupan ini menawarkan pilihan dalam
“teori kedewasaan”. Terpulang kepada profesional yang bersangkutan untuk memilih
pandangan dan langkah konstruktif, dan bukan egoistik destruktif yang nanti tidak
menguntungkan pertumbuan profesionalisme karirnya. Makin relevan lah pembentukan
karakter dalam tujuah tahun pertama masa karir seorang profesional, karena pilihan dalam
situasi tersebut akan menjadi ciri dimasa depan bagaimana profil kedewasaan yang
bersangkutan.

Dari ujian kedewasaan itulah, muncul berbagai produk berupa tipe kepribadian beragam.
Ada kalangan yang “menyerah”, menjadi bagian dari arus umum, dan terpasung oleh pikiran
khalayak tapan sikap kritis. Ada juga yang lebih parah, menumbuhsuburkan diri sendiri
dengan rasa sakit hati. Atau ada pula yang mengambil jarak, bertenggang dengan
keterlibatan – tidak engaged - alias bersikap “safety player”. Mengapa masing-masing
memilih respons yang berragam tersebut?! Masing-masing mempunyai alasan, namun
alasan itu biasanya hanya valid dalam kaitan dengan kepentingannya.

Diantara semua kalangan itu, ada profesional yang rela berresiko diolok-olok penggunjing
karena berani menunjukkan pendirian, menampilkan identitas sesuai integritas pada nilai
yang diyakininya. Kalangan terakhir ini, lepas dari benar atau salah, sangat kental dalam
jangka panjang membentuk kedewasaan kepribadiannya. Tidak ada rumus khusus untuk
mengarahkan pada profil paling berfaedah, karena akan banyak variasi situasional yang
terjadi pada berbagai kasus. Buku ini, yang pasti menutup pesan bagi para profesional agar
melihat jauh ke depan – sejak menjadi pemula karir - sambil menggenggam nilai yang
mengkarakterisir identitas dirinya. Tanpa pegangan nilai tersebut, seorang profesional pada
akhirnya terdampar berkualitas kememimpinan sebagai loyang daripada emas. Di masa
kapanpun ia menyandang jabatan kepemimpinan dimasa datang, jejaknya telah tercetak
pada perjalanan tujuh tahun pertama karir sebelumnya. Karakter adalah reputasi dari awal,
dan sebaiknya dibangun sejak langkah pertama memasuki gerbang dunia kerja.

28
BAGAIMANA JIKA
ANDA MEMBACA BUKU INI SETELAH DIATAS USIA 30 ?!

Jawabannya sederhana. Jika yang menjawab adalah generasi Y dan Z, maka seloroh
nyelekit mereka adalah : kaciaaaan deh loe! Generasi X akan lebih serius menjawab:
well,…. Sorry my friend, it’s a little too late. Sementara generasi Baby boomer, memang
sudah terlampau kasip menyimaknya. Betapapun demikian, jika benar Anda diatas usia
30 maka Anda sebagai generasi X awal. Anda pun pasti punya jawaban berkelit: its not
the end of the world yet. Maka silahkan baca isi batang tubuh buku ini, dalam rangka :

ANDA TIDAK MAU TERTINGGAL PUTARAN JAMAN


Pembahasan karir dalam konteks memupuk dan mengoptimalkan masa 7 golden years
terjadi disebabkan oleh tuntutan jaman yang tak terhindarkan. Putaran peng-kini-an
(update) demikian cepat sehingga jika seluruh infrastruktur diri ( termasuk “gentong”
pengetahuan, kandungan pengetahuan diuji dengan kenyataan, muara pengalaman yang
mengantar pada cetakan karakter, dan tempaan-tempaan didalamnya) tidak effektif,
maka Anda cenderung tertinggal atau terbawa pun dalam kantong “sampah jaman”.

ANDA MEMPUNYAI PARTNER BERLATIH YANG TANGGUH


Generasi yang masih berada pada sedikit diatas seven golden years dapat dioptimalkan
menjadi kawan berlatih yang tangguh. Kawan bercermin melalui kompetisi, atau kolega
seiring dengan “check list” karir masing-masing, secara sportif dan positif akan
merasakan dinamika dalam gelombang yang relatif sama, dan bermanfaat saling ukur
parameternya masing-masing. Berapapun usia Anda, dengan patokan “golden years”
Anda masih dengan mudah berintrospeksi, bercermin tatkala bersebelahan dengan
wajah “kuyu dan tua” dari bayang diri kawan senior berbeda generasi .

Diatas semuanya, dunia yang bulat ini memang belum terbelah dan disempitkan oleh
berbagai kendala beban hidup dalam masa seven golden years, namun setelahnya pun
persepsi Andalah yang menyatakan Anda sudah tua dan kehilangan momentum.

29
Search kata kunci Search :
bernilai pada
Bekerja bagian
adalah ini :
pilihan kata kunci bab sign-in

Reason - landasan arti pekerjaan


Imbangi dengan kualitas
Reason harus sejalan dengan kepuasan kerja
requirements

“Kisruh karir” manakala reason Reward dari luar diri


berseberangan transformasikan jadi reward
intrinsik

Tumbuh dalam penyesuaian diri


Jauh lebih berarti “tepukan
Ikuti mindset tuntutan jaman dalam hati” kepada diri sendiri

Belajar berarti mengadaptasi Tidak ada korelasi langsung


antara jumlah income
Lingkup kerja makin luas dengan kepuasan
Menggilas siapapun yg tidak mampu

“Domain kedewasaan” karyawan


Awal “Benteng penghambat” lebih berperan
terletak pada Mindset

Positioning diri untuk Komitmen diri


menjangkau masa depan demi ownership of future

Tidak ada yang “tanpa biaya” Teori pilihan senantiasa


dalam menjalani karir Berlaku sepanjang karir

Orang berkarakter
Antisipatif sejak dini

30

Anda mungkin juga menyukai