Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TEORI TENTANG PEMBINAAN AKHLAK SOSIAL


SANTRI USIA 13-18 TAHUN

A. Akhlak Sosial
1. Pengertian Akhlak Sosial
Manusia adalah makhluk sosial, dia tidak bisa hidup seorang diri,
atau mengasingkan diri dari kehidupan bermasyarakat. Dengan dasar
penciptaan manusia yang memikul amanah menjadi khalifah di muka bumi,
maka islam memerintahkan umat manusia untuk saling taawu, saling tolong
menolong, untuk tersebarnya nilai rahmatan lil alamin ajaran islam.
Istilah akhlak sudah sangat akrab di tengah kehidupan kita, akhlak
biasa dikaitkan dengan tingkah laku manusia. Kata akhlak berasal dari bahasa
arab, jamak dari khuluqun yaitu budi pekerti, tingkah laku, perangai atau
tabiat (A. Mustafa, 2010: 11).
Selain pengertian di atas dalam buku Ilmu Akhlak menjelaskan kata
“akhlak” berasal dari bahasa arab, yaitu jama dari kata “khuluqun” yang
secara linguistik diartikan dengan budi pekerti, perangai, tingkah laku atau
tabiat, tata krama, sopan santun, adab dan tindakan. Kata akhlak juga berasal
dari kata “khalaqa” atau “khaliqun” artinya kejadian, serta erat hubungannya
dengan “khaliq” artinya pencipta dan “makhluq” artinya yang diciptakan
(Beni Akhmad, 2010: 13).
Ibnu Miskawaih (w. 421 H/1030 M), yang dikenal sebagai pakar
bidang akhlak terkemuka mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yang
tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Sementara itu, imam Al- Ghazali
(1015-1111M), mengatakan bahwa akhlak adalah sifat yag tertanam dalam
jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gemblang dan
mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan (Beni Akhmad, 2010:
14).

13
14

Definisi-definisi akhlak tersebut secara substansial tampak saling


melengkapi dan memiliki lima ciri penting dari akhlak, yaitu:
a) Akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa
seseorang sehingga menjadi kepribadian;
b) Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tampa
pemikiran. Ini tidak berarti bahwa melakukan suatu perbuatan yang
bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur, atau
gila;
c) Akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang
mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar.
Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar
kemauan, pilihan, keputusan yang bersangkutan.
d) Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya,
bukan main-main atau karena bersandiwara;
e) Sejalan dengan ciri-ciri di atas perbuatan akhlak (khusus akhlak yang
baik), akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan ikhlas
semata-mata karena Allah SWT.
Menurut Kamus Populer Ilmu Pengetahuan, Sosial dapat diartikan
bentuk santunan kemasyarakatan; suka bergaul. Dalam buku Ilmu Sosial
Budaya Dasar, sosial adalah masyarakat (Lies Sudibyo, 2013: 7).
Dari pengertian akhlak dan sosial di atas dapat disimpulkan bahwa
akhlak sosial adalah tingkah laku seorang individu yang berkaitan dengan
atau berhubungan dengan individu lain. Akhlak sosial dapat juga dikatakan
sebagai interaksi sosial. Menurut Young, interaksi sosial adalah kunci dari
semua kehidupan sosial karena tampa interaksi sosial tidak akan ada
kehidupan sosial (Zainal, 2003 : 107).
2. Bentuk-bentuk Akhlak Sosial
Manusia sejak lahir membutuhkan orang lain, oleh sebab itu manusia
perlu bersosialisasi dengan orang lain dalam kehidupan bermasyarakat.
Dengan demikian, sebagai manusia kita tidak bisa hidup menyendiri. Hidup
sosial bermasyarakat seringkali menjadikan kita harus lebih waspada dan
15

mawas diri, karena hidup dengan sejumlah orang tentunya mempunyai


karakter, sifat dan watak yang berbeda-beda.
Akhlak amali artinya akhlak praktis yaitu akhlak dalam arti yang
sebenarnya, berupa perbuatan, yaitu less talk do more, akhlak yang
menampakan diri ke dalam perwujudan amal perbuatan yang real, bukan
sekedar teori. Dapat dicontohkan akhlak dalam beribadah yaitu dengan
melaksanakan shalat, shaum ramadhan dan lain-lain.
Allah SWT memerintahkan seluruh umat manusia untuk selalu
berbuat kebaikan dimanapun seseorang itu berada dan kapan pun. Hal ini
sesuai dengan firman Allah dalam surat An-Nahl ayat 97 yaitu:

          

        

Artinya: “Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun
perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan
Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya
akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih
baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (Hasbi Ash-Shiddieqy,
1995: 2199).

Maksud ayat di atas adalah bahw orang yang senantiasa berbuat baik
akan Allah berikan ganjaran krepadanya berupa hidup yang baik, hidup yang
penuh kebahagiaan, yaitu hidup yang diselubungi rada qana’ah penuh dengan
taufik .
Berikut ini adalah beberapa akhlak sosial islam yang bisa dijadikan
landasan hidup bermasyarakat:
a) berlaku adil
berblaku adil adalah tindakan yang paling mendekati takwa,
sebagaimana firman Allah dalam Q.S. An-Nisa: 58 sebagai berikut:
16

          

             

  


Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh
kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya
Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya
kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar
lagi Maha melihat.” (Hasbi Ash-Shiddieqy, 1995: 357).

b) Saling menyayangi
Bersikap saling menyayangi adalah adalah bagian dari akhlakul
karimah yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Kasih sayang
terhadap sesama akan mengantarkan seseorang senantiasa
melakukan kebajikan. Sikap kasih sayang banyak diterangkan dalam
Al-Quran, diantaranya dalam Q.S. Al-Isra: 24 sebagai berikut:

         

  

Artinya: “dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan


penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku,
kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua
telah mendidik aku waktu kecil.” (Hasbi Ash-Shiddieqy,
1995: 755).
Maksud ayat di atas adalah bahwasannya sebagai seorang anak, kita
diwajibakan berbuat baik kepada kedua orang tua. Hal ini bisa
dilakukan dengan carra tidak mengeluarrkan kata-kata yang
menyakiti hati mereka, jangan membentak-bentak mereka,
hendaklah mengatakan perkataan-perkataan yang baik dan
17

senantiasa berdo’a kepada Allah agar memberikan rahmat kepada


keduanya (Hasbi Ash-Shiddieqy, 1995: 2243).

Q.S. Al-Fath: 29

           

          

           

       

          

      

Artinya: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang


bersama dengan Dia adalah keras terhadap orang-orang
kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. kamu Lihat
mereka ruku' dan sujud mencari karunia Allah dan
keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka
mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka
dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, Yaitu
seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya Maka tunas
itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah Dia
dan tegak Lurus di atas pokoknya; tanaman itu
menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah
hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan
kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang
saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” .”
(Hasbi Ash-Shiddieqy, 1995: 3771).

Berikut ini adalah teladan kasih sayang yang dilakukan Rasulullah”


18

1) Kasih sayang terhadap sesama muslim


2) Kasih sayang terhadap orang musyrik
3) Kasih sayang terhadap anak-anak
4) Kasih sayang terhadap alam

c) Mencintai sesama
Seseorang belum bisa dikatakan beriamna sempurna sebelum dia
mampumencintai orang lain seperti mencintai dirinya sendiri.

Pada dasarnya akhlak dibagi menjadi dua bagian, yaitu akhlak


mahmudah (akhlak terpuji) dan akhlak madzmumah (akhlak tercela). Di
bawah ini, penulis menuliskan macam-macam akhlak lainnya yaitu:
a) Akhlak terhadap Allah
Akhlak terhadap Allah dimaksudkan sebagai gambaran kondidi
hubungan manusia dengan Alah. Menurut Abuddin Nata, akhlak
kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau perbuatan yang
seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai makhluk, kepada Tuhan
sebagai kholik.
b) Akhlak terhadap sesama
Akhlak terhadap sesama manusia adalah gambaran manusia dengan
sesama manusia dalam kehidupan berinteraksi sosial.
c) Akhlak terhadap diri sendiri
Adapun akhlak yang berkaitan dengan akhlak kepada diri sendiri
sebagai berikut:
1) Amanah, yaitu sikap tulus hati dan jujur dalam melaksanakan
sesuatu yang dipercayakan kepadanya.
2) Adil, yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya.
3) Memelihara kesucian diri, yaitu dengan menjaga kesucian dan
kehormatan diri dari tindakan tercela.
4) Keberanian, yaitu sikap mental yang menguasai hawa nafsu dan
berbuat menurut semestinya.
19

5) Sabar.
d) Akhlak terhadap keluarga
Akhlak terhadap keluarga diantarnya:
1) Akhlak terhadap orang tua.
2) Akhlak terhadap suami istri.
3) Akhlak terhadap anak.
4) Akhlak terhadap tetangga.
e) Akhlak terhadap lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia,
baik binatang, tumbuhan maupun benda-benda yang tidak bernyawa.
3. Aspek-aspek yang Mempegaruhi Akhlak Sosial
Setiap perilaku manusia didasarkan atas kehendak. Apa yang telah
dilakukan oleh manusia timbul dari kejiwaan. Walaupun panca indra
kesulitan melihat pada dasar kejiwaan namun dapat dilihat dari wujud
kelakuan. Maka setiap kelakuan pasti bersumber dari kejiwaan.
Segala tindakan dan perbuatan manusia yang memiliki corak yang
berbeda antara satu dengan yang lainnya, pada dasarnya merupakan adanya
pengaruh dari dalam manusia dan motivasi yang disuplai dari luar dirinya.
Istighfarotul Rahmaniyah (2010: 97-100) menjelaskan faktor-faktor yang
mempengaruhi seseorang dalam berperilaku, antara lain:
a) Insting (naluri), adalah seperangkat tabiat yang dibawa manusia
sejak lahir. Dalam insting terdapat tiga unsur kekuatan yang bersifat
psikis, yaitu mengenal (kognisi), kehendak (konasi), dan perasaan
(emosi). Dalam ilmu etika, insting insting berarti akal pikiran. Akal
dapat memperkuat akidah tapi harus ditopang oleh ilmu, amal an
taqwa kepada Allah.
b) Adat (kebiasaan), adalah setiap tindakan dan perbuatan seseorang
yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk yang sama
sehingga menjadi kebiasaan.
c) Pola dasar bawaan, dahulu orang beranggapan bahwa manusia
dilahirkan dalam keadaan yang sama, baik jiwa maupun bakatnya.
20

Kemudian factor pendidikan yang dapat mengubah mereka berlainan


satu dengan yang lainnya. Pola dasar manusia mewarisi beberapa
sifat tertentu dari kedua orang tuanya, bias mewarisi sifat0sifat
jasmaniyah, juga mewarisi sifat-sifat ruhaniyahnya.
a) Lingkungan. Salah satu aspek yang juga memberikan sumbangan
terhadap terbentuknya corak sikap dan tingkah laku seseorang adalah
faktor lingkungan di mana ia berada. Ada dua jenis lingkungan, yaitu:
pertama lingkungan alam. Alam dapat menjadi aspek yang
mempengaruhi dan menentukan tingkah laku manusia. Menurut ahmad
amin, lingkungan alam telah lama menjadi perhatian para ahli sejak
zaman plato hingga sekarang, karena apabila lingkungan tidak cocok
dengan sushu tubuh seseorang, maka ia akan lemah dan mati. Begitu pula
dengan akal, apabila lingkungan tidak mendukung kepada
perkembangannya, maka akalpun mengalami kemunduran. Kedua
Lingkungan pegaulan (social). Masyarakat merupakan tempat tinggal
individu berinteraksi. Lingkungan dapat mengubah dalam perihal
keyakinan, akal pikiran, adat-istiadat, sifat, pengetahuan dan terutama
dapat mengubah etika perilaku individu. Artinya, dalam lingkungan
pergaulan proses saling mempengaruhi selalu terjadi. Lingkungan
pergaulan terbagi menjadi tujuh kelopok, yaitu: lingkungan keluarga,
sekolah, pekerjaan, organisasi, jamaah, ekonomi/perdagngan, lingkungan
pergaulan umum.
Untuk menjaga kemuliaan dan kedudukan universal manusia sebagai
satu kesatuan, Islam meletakan kaidah-kaidah yang akan menjaga hakikat
kemanusiaan tersebut dalam hubungan antar individu atau antar kelompok,
yaitu (Nina, 2012 :223) :
a) Asas pertama: saling menghormati dan memuliakan
b) Asas kedua: menyebarkan kasih sayang
c) Asas ketiga: keadilan
d) Asas keempat: persamaan
e) Asas kelima: perlakuan yang sama
21

f) Asas keenam: berpegang teguh pada keutamaan


g) Asas ketujuh: kebebasan
h) Asas kedelapan: berlapang dada dan toleransi
i) Asas kesembilan: saling tolong menolong
j) Asas kesepuluh: menepati janji

B. Santri Pesantren Tradisional


1. Pengertian Santri
Santri sebagai elemen selanjutnya dari kultur pesantren yang
merupakan unsur pokok yang tidak kalah pentingnya dari unsur lainnya.
Santri adalah siswa yang belajar di pesantren.
Istilah santri ditunjukan kepada orang yang sedang menuntut ilmu
agama di pondok pesantren, namun pengertian istilah santri memiliki arti dan
persepsi yang berbeda-beda.
Istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti guru ngaji,
sedangkan C.C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah
shastri dalam bahasa India berarti orang-orang yang tahu buku suci Agama
Hindu. Kata shastri berasal dari shastra yang berarti buku-buku suci, buku-
buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan (Zamakhsyari, 1982 :
18).
Menurut Nurcholish madjid, mengenai asal-usul perkataan “santri”
itu ada (sekurang-kurangnya) dua pendapat yang bisa kita jadikan
acuan.Pertama, adalah pendapat yang mengatakan bahwa santri itu berasal
dari perkataan “sastri”, sebuah kata dari bahasa sanskerta, yang artinya melek
huruf. Agaknya dulu, lebih-lebih pada permulaan tumbuhnya kekuasaan
politik islam di demak, kaum santri adalah kelas “literary” bagi orang Jawa.
Ini disebabkan pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab tertulis
dan berbahasa arab. Dari sini dapat kita asumsikan bahwa menjadi santri
berarti juga menjadi tahu agama (melalui kitab-kitab tersebut). Atau paling
tidak seorang santri itu bisa membaca Al-Qur’an yang dengan sendirinya
membawa pada sikap lebih serius dalam memandang agamanya. Kedua,
22

adalah pendapat yang mengatakan perkataan santri sesungguhnya berasal dari


bahasa jawa, persisnya dari kata cantrik, yang artinya seseorang yang selalu
mengikuti seorang guru ke mana guru ini pergi menetap.Tentunya dengan
tujuan dapat belajar darinya mengenai suatu keahlian (Nurcholish, 1997: 19-
20).
Dapat disimpulkan bahwa santri adalah seperti halnya murid yaitu
mereka yang mencoba dan mencari ilmu pengetahuan khususnya agama
Islam kepada guru atau kyai atau ustadz yang mereka anggap sebagai guru
besar yang dapat menuntun mereka dan menjadi landasan mereka.
Dalam sebuah tradisi pesantren dikenal adanya dua kelompok santri,
mereka adalah santri yang tinggal di asrama atau santri mukim dan santri
yang pulang dan pergi dari rumah atau sering disebut dengan santri
kalong.Santri mukim adalah para santri yang berasal dari daerah yang jauh
dan menetap di lingkungan pesantren diasrama pondok yang disediakan oleh
pesantren yang bersangkutan. Sedangkan santri kalong adalah murid-murid
atau para santri yang berasal dari desa-desa disekeliling pesantren, yang
biasanya tidak menetap dalam pesantren.
2. Macam-macam Santri
Menurut Dhofir dalam bukunya Tradisi Pesantren, terdapat dua
kelompok santri yaitu (Zamakhsyari, 1982: 52-53):
a) Santri mukim yaitu santri yang asalnya dari daerahjauh dan menetap
dalam kelompok pesantren. Santri mukim yang paling lama tinggal
di pondok pesantren tersebut biasanya merupakan kelompok sendiri
yang memegang tanggung jawab mengurusi kepentingan pesantren
sehari-hari; mereka juga memikul tanggung jawab mengajari santri-
santri muda tentang kitab-kitab dasar dan menengah. Dalam sebuah
pesantren yang besar dan masyhur akan terdapat putra-putra kyai
dari pesantren-pesantren lain yag belajar di sana.i menetap di suatu
pesanteren. Galba, mengutip penjelassannya Dhofier (1982)
menjelaskan tiga alasan mengapa santri menetap disuatu pesantren,
yaitu petama ia ngin mempelajari kitab-kitab lain yang membahas
23

islam secara lebih mendalam di bawah bimbingan kyai yang


memimpin pesantren. Kedua, ingin memperoleh pengalaman
kehidupan pesantren, baik dalam bidang pengajaaran, maupun
keorganisasiannya. Ketiga, ingin memusatkan studinya di pesantren
tanpa disibukkan oleh kewajiban sehari-hari di rumah keluarganya
(Galba, 1995: 54).
b) Santri kalong yaitu murid-murid yang berasal dari desa-desa yang
berasal dari sekeliling pesantren, yang biasanya tidak menetap dalam
pesantren. Untuk mengikuti pelajarannya di pesantren, mereka
bolak-balik (nglajo) dari rumahnya sendiri. Biasanya perbedaan
antara pesantren besar dan pesantren kecil dapat dilihat dari
komposisi santri kalong. Semakin besar sebuah pesantren, akan
semakin besar jumlah santri mukimnya. Dengan kata lain, pesantren
kecil akan memiliki lebih banyak santri kalong daripada santri
mukim.
Santri merupakan salah satu karakteristik sebuah pondok pesantren.
Tidak dapat dikatakan pondok jika tidak memiliki santri. Pondok secara
etimologi berarti bangunan untuk sementara, rumah, bangunan tempat tinggal
yang berpetak-petak yang berdinding bilik dan beratap rumbia.Adapun
pesantren secara etomologi berasaldari pe-santri-an yang berarti tempat santri,
asrama tempat santri belajar agama atau pondok (Mughits, 2008: 119-120).
Dalam pemakaian sehari-hari, istilah pesantren bisa disebut dengan pondok
saja atau kedua kata ini digabung menjadi pondok pesantren.
Perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan
akhiran an yang berarti tempat tinggal para santri. Dalam buku Yasmadi yang
berjudul Modernisasi Pesantren, mengutip pernyataan Nurcholis Madjid
yang memberikan pandangan tentang asal usul kata santri, dengan melihat
dua pendapat .Pertama pendapat yang mengatakan bahwa santri berasal dari
perkataan “sastri”, berasal dari bahasa sansakerta yang artinya melek huruf.
Kedua, pendapat yang mengtakan bahwa perkataan santri berasal dari bahasa
24

jawa, dari kata “cantrik”, yang berartiseseorang yang selalu mengikuti


seorang guru kemana guru itu pergi menetap (Yasmadi, 2005: 91).
Nurcholish Madjid menjelaskan bahwa pesantren atau pondok
adalah lembga yang bisa dikatakan merupakan wujud proses wajar
perkembangan system pendidikan nasional (Madjid, 1997: 3). Pesantren
berarti suatu lembaga pendidikan agama Islam yang tumbuh serta diakui
masyarakat sekitar, dengan sistem asrama (komplek) di mana santri-santri
menerima pendidikan agama melalui sistem pengajian atau madrasah yang
sepenuhnya berada di bawah kedaulatan dari laeder-ship seorang atau
beberapa orang kyai dengan ciri-ciri khas yang bersifat karismatik serta
independen dalam segala hal (Qomar, tanpa tahun: 2). Yang dimaksud
dengan pesantren adalah lembaga pendidikan islam yang umumnya dengan
cara non klasikal, pengajarnya seorang yang menguasai ilmu agama islam
melauli kitab-kitab klasik dengan tulisan arab.
3. Karakteristik Santri
Santri usia 13-18 tahun termasuk santri usia remaja, dalam hal ini
masa remaja disebut pula sebagai masa penghubung atau masa peralihan
antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, pada periode ini terjadi
perubahan-perubahan besar dan esemsial mengenai kematangan fungsi-fungsi
rohaniah dan jasmaniah, terutama fungsi seksual. Yang sangat menonjol pada
periode ini adalah kesadaran yang mendalam mengenai diri sendiri, dengan
mana anak muda mulai meyakini kemauan, potensi dan cita-cita sendiri.
Dengan kesadaran tersebut ia berusaha menemukan jalan hidupnya, dan
mulai mencari nilai-nilai tertentu, seperti kebaikan, keluhuran, kebijaksanaan,
keindahan, dan sebagainya (Kartono, 2007: 148).
Remaja adalah masa puber dan sudah akil baligh, dimana
perkembangan fisik dan mental mengalami revolusi yang cepat. Usia berkisar
12-21 tahun biasa dikatakan dalam ilmu psikologi sebagai usia anak remaja.
Terdapat istilah untuk remaja ini adalah adolescence.Pengertian dasar tentang
istilah adolescence hanyalah pertumbuhan kearah kematangan. Ini adalah
periode antara permulaan pubertas dengan kedewasaan yang secara kasar
25

antara usia 14-25 tahun untuk laki-laki dan antara usia 12-21 tahun untuk
perempuan (Hamalik, 2010: 117).
Masa remaja, menurut Stanley Hall, seorang bapak pelopor psikologi
perkembangan remaja, dianggap sebagai masa topan badai dan stres (strom
and stress), karena mereka telah memiliki keinginan bebas untuk menentukan
nasib diri sendiri. Jika terarah dengan baik, maka ia akan menjadi seorang
individu yang memiliki rasa tanggung jawab, tetapi jika tidak terimbang,
maka bisa menjadi seorang yang tidak memiliki masa depan yang baik
(Dariyo, 2004: 13).
Dalam psikologi perkembangan seorang remaja yang usia berkisar
12-21 tahun adalah termasuk adolescence yang mempunyai tiga tahap
perkembangan remaja (adolescence) yaitu (Sarlito, 2012: 30-31):
a) Remaja Awal (early adolescence)
Pada masa ini remaja masih terheran-heran akan perubahan-perubahan
yang terjadi pada tubuhnya. Mereka mengembangkan pikiran-pikiran
baru, cepat tertarik pada lawan jenis, dan mudah terangsang secara
erotik.Kepekaan yang berlebihan ini ditambah dengan berkurangnya
kendali terhadap ego menyebabkan para remaja ini sulit mengerti dan
dimengerti.
b) Remaja Madya (middle adolescence)
Pada tahap ini ia membutuhkan kawan-kawan. Ia senang kalau banyak
yang menyukainya. Ada kecenderungan narcistic yaitu kecenderungan
menyukai diri sendiri dan menyukai teman yang mempunyai sifat-sifat
yang sama. Ia berada pada posisi yang kebingungan dimana ia harus
berlaku peka atau tidak peka, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau
pesimis, idealis atau matrealis dan untuk remaja laki-laki harus
membebaskan diri dari oedipoes complex (perasaan cinta pada ibu sendiri
pada masa kanak-kanak) dengan cara mempererat hubungan dengan
kawan-kawan dari lain jenis.
c) Remaja Akhir (late adolescance)
26

Tahap ini adalah tahap konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai
dengan pencapaian lima hal, yaitu minat yang semakin mantap terhadap
fungsi intelek, egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang
lain dan mencari pengalaman-pengalaman baru, terbentuk identitas
seksual yang tidak akan berubah lagi, gosentrisme (terlalu memusatkan
perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara
kepentingan diri sendiri dan orang lain, serta tumbuh “dinding” yang
memisahkan diri pribadinya (private self) dan masyarakat umum (The
Publik).

C. Pembinaan Akhlak Santri


1. Dasar Pembinaan
Pembinaan berasal dari kata bina yang mendapat imbuhan pem-an,
yang secara bahasa berarti membangun, mendirikan, atau mengusahakan agar
lebih baik. Sedangkan secara istilah, pembinaan berarti proses, perbuatan,
penyempurnaan, pembaharuan atau cara membina.
Dalam kosa kata bahasa Indonesia, kata dasar memiliki banyak arti,
diantaranya adalah tanah yang di bawah air, bagian yang terbawah, pedoman,
asas, pokok atau pangkal. Dalam bahasa Inggris, kata dasar merupakan
terjemahan dari kata foundation atau Fundamen yang berarti dasar atau
landasan. Dan dalam bahasa Arab, kata dasar merupakan terjemahan dari kata
asas (jamaknya usus), yang berarti foundation (dasar atau landasan) (Abuddin
Nata, 2012: 89).
Dari pengertian tersebut di atas, bahwa kata dasar digunakan dalam
berbagai kegiatan atau pekerjaan, baik yang bersifat fisik maupun non fisik,
yang pada intinya berarti sesuatu yang baerada di bawah tetapi dari segi
fungsinya mengandung arti yang utama, penting dan pokok.
Menurut Abuddin Nata, terdapat tiga macam dasar pendidikan, yaitu
dasar religious, dasar filsafat dan dasar ilmu pengetahuan.
a) Dasar religious
27

Dasar religious seperti dikemukakan oleh Abdul Mujib dan Jusuf


Mudzakir adalah dasar yang diturunkan dari ajaran agama. Dasar
religious berkaitan dengan memelihara dan menjunjung tinggi hak-
hak asasi manusia. Dasar religious adalah dasar dasar yang bersifat
humanisme-teosentri, yaitu dasar yang memperlakukan dan
memuliakan manusia sesuai dengan petunjuk Allah srta dapat pula
berarti dasar yang mengarahkan manusia agar berbakti, patuh, dan
tunduk kepada Allah.
b) Dasar filsafat
Dasar filsafat adalah dasar yang digali dari hasil pemikiran
spekulatif, mendalam sistematik, radikal dan universal tentang
berbagai hal yang selanjutnya digunakan sebagai dasar bagi
perumusan konsep ilmu pendidikan islam. Dalam filsafat akhlak
dijumpai bahwa akhlak adalah sifat atau keadaan yang telah melekat
dan mendarah daging serta membentuk karakter, watak dan tabiat
manusia.akhlak adalah sesuatu yang dapat dibentuk dan dibina
melalui kegiatan pendidikan dan pengajaran. Akhlak yang
dikehendaki adalah akhlak mulia, sebagaimana telah dicontohkan
oleh nabi Muhammad. Dengan akhlak mulia ini maka tercipta
kehidupan yang aman, damai, harmonis, sentosa, rukun dan tertib.
c) Dasar ilmu pengetahuan
Yang dimaksud dengan dasar ilmu pengetahuan adalah dasar nilai
guna dan manfaat yang terdapat dalam setiap ilmu pengetahuan.
Dalam hubungannya dengan ilmu pendidikan, berbagai manfaat dan
tujuan tersebut diantaranya ilmu psikologi, ilmu sejarah, ilmu social
dan budaya, ilmu ekonomi, ilmu politik dan ilmu administrasi.

Akhlak adalah implementasi dari iman dalam segala bentuk perilaku.


Di antara contoh akhlak yang diajarkan oleh lukman kepada anaknya adalah
akhlak anak terhadap ibu bapaknya, akhlak tehadap orang lain dan akhlak
terhadap penampilan diri (Daradjat, 1995: 58).
28

a) Akhlak terhadap ibu bapak, dengan berbuat baik dan berterima kasih
kepada keduanya. Firman Allah dalam Q.S. Luqman: 14 sebagai
berikut:

         

       

Artinya: “dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik)


kepada dua orang ibu bapanya, ibunya telah
mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah-
tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah
kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya
kepada-Kulah kembalimu.” (Hasbi Ash-shiddieqy, 1995:
3107).
Maksud ayat di atas adalah bahwa kita harus menghormati ibu
bapak, terutama ibu. Hal ini dikarenakan kesukaran yang diderita
oleh ibu lebih besar daripada kesukaran yang yang diderita ayah.
Derita ibu ialah sejak ia mengandung, melahirkan dan menyususi
sampai berumur dua tahun (Hasbi Ash-Shiddieqy, 1995: 3209).
Anak harus tetap hormat dan memperlakukan keduanya dengan baik,
kendatipun mereka mempersekutkan Tuhan, hanya yang dilarang
adalah mengikuti ajaran mereka untuk meninggalkan iman. Firman
Allah dama Q. S. Luqman: 15 sebagai berikut:

             

            

     


29

Artinya: “dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan


dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu
tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya,
dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan
ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian
hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Hasbi Ash-
shiddieqy, 1995: 3107).

Maksud ayat di atas adalah jika orang tua mendesak supaya


mempersekutukan Allah, maka janganlah mentaati perintah
tersebut.
b) Akhlak terhadap orang lain, adalah adab, sopan santun dalam
bergaul, tidak sombong dan tidak angkuh. Firman Allah dalam Q. S.
Luqman: 18 sebagai berikut:

            

    

Artinya: “dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia


(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka
bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan
diri.” (Hasbi Ash-shiddieqy, 1995: 3107).
Maksud ayat di atas adalah ketika ada orang yang sedang berbica
kepada kita, hrendaklah kita memperkhatikannya, jangan
memalingkan muka atau menoleh ke arrah lain dari orang yang
sedang berbicara dengan kita. Allah pun tidak menyukai orang yang
bermegah-megahan terhaadap manusia, baik dengan hartanya,
dengan kemuliannya ataupun dengan kekuatannya. Karena itu Allah
melarang kita untuk brlaku sombong (Hasbi Ash-Shiddieqy, 1995:
3112).
30

2. Tujuan Pembinaan
Adapun yang berkaitan dengan tujuan, perlu diuraikan istilah tujuan
dalam bahasa arab dinyatakan dengan kata ghoyat, atau ahdaf atau maqosid
sedangkan dalam bahasa Inggris, tujuan dikatakan goal, purpose (Arifin,
2011: 53). Dengan demikian, tujuan adalah sesuatu yang hendak dituju yaitu
yang akan dicapai dengan suat kegiatan atau usaha pendidikan.
Pendidikan berusaha mengubah keadaan seseorang dari tidak tahu
menjadi tahu, dari tidak dapat berbuat menjadi dapat berbuat. Menurut Zakiah
Daradjat, tujuan pendidikan islam adalah kepribadian muslim, yaitu sustu
kepribadian yang seluruh aspeknya dijiwai oleh ajaran islam (Daradjat, 1996:
72). Tujuan dalam proses kependidikan islam adalah idealis (cita-cita) yang
mengandung nilai-nilai islami yang hendak dicapai dalam proses kependidikn
yang berdasarkan ajaran islam secara bertahap (Arifin, 2011: 54).
Tujuan pengajaran agama islam harus berisi hal-hal yang dapat
menumbuhkan dan memperkuat iman serta mendorong kepada kesenangan
mengamalkan ajaran agama islam. Tujuaan pengajaran agama secara utuh
dan lengkap tidak dapat dicapai dengan kegiatan pengajaran sekaligus dalam
waktu yang singkat, tetapi harus elalui tahap-tahap periodisasi, sesuai dengan
kondisi dan kondisi.
Arifin (2011: 56-58), dalam bukunya merumuskan dua tujuan
pendidikan islam secara teoritis sebagai berikut:
a) Tujuan keagamaan
Setiap orang islam pada hakekatnya adalah insane agama yang
bercita-cita, berpikir, beramal untuk hidup akhiratnya berdasarkan
atas petunjuk dari wahyu Allah melalui Rasulullah. Tujuan ini
difokuskan pada pembentukan pribadi muslim yang sanggup
melaksanakan syariat islam melalui proses pendidikan spiritual
menuju ma’rifat kepada Allah.
b) Tujuan keduniaan
Tujuan ini lebih mengutamakan pada upaya untuk mewujudkan
kehidupan sejahrtera di dunia dan kemanfaatannya. Tujuan
31

pendidikan menurut tuntutan hidup ilmu dan teknologi modern


seperti masa kini dan yang akan dating, meletakkan nilai-nilainya
pada kemampuan menciptakan kemajuan hidup manusia berdasarkan
ilmu dan teknilogi.
Menurut zakiah Daradjat (2011: 30-32) , ada beberapa macam tujuan
pendidikan diantaranya tujuan umu, tujuan akhir, tujuan sementara, dan
tujuan operasional.
a) Tujuan umum
Tujuan umum adalah tujuan yang akan dicapai dengan semua
kegiatan pendidikan, baik dengan pengajaran, atau dengan cara lain.
Tujuan ini meliputi seluruh aspek kemanusiaan yang meliputi sikap,
yingkah laku, penampilan, kebiasaan dan pandangan. Bentuk insan
kamil dengan pola taqwa harus dapat tergambar pada pribadi
seseorang yang telah dididik. Tujuan umum tidak dapat dicapai
kecuali setelah melalui proses pengajaran, pengalaman, pembiasaan,
penghayatan dan keyakinan.
b) Tujuan akhir
Pendidikan berlangsung seumur hidup, maka tujuan akhirnya
terdapat pada waktu hidup di dunia ini telah berakhir pula. Tujuan
akhir pendidikan islam dapat difahami dalam firman Allah Q. S. Ali
Imran: 102 sebagai berikut:

          

 

Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah


sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali
kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam.”
(Hasbi Ash-Shiddieqy, 1995: 310).
32

Mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah sebagi muslim yang
merupakan ujung dari taqwa sebagai akhir dari proses hidup jelas
berisi kegiatan pendidikan.
c) Tujuan sementara
Pada tujuan sementara bentuk insan kamil dengan pola taqwa sudah
terlihat meskipun dalam ukuran sederhana, sekurang-kurangnya
beberapa cirri pokok telah terlihat.
d) Tujuan operasional
Tujuan operasional adalah tujuan yang akan dicapai dengan sejmulah
kegiatan pendidikan tertentu. Kemampuan dan keterampilan yang
dituntut merupakan sebagian kemampuan dan keterampilan insan kamil
yang semkin sempurna.
3. Materi Pembinaan
Materi-materi yang diuraikan dalam Al-Qur’an menjadi bahan-bahan
pokok pelajaran yang disajikan dalam proses pendidikan islam, formal
maupun non formal. Dalam ilmu pendidikan islam, kurikulum merupakan
bahan-bahan ilmu pengetahuan yang diproses di dalam system kependidikan
islam. Ia juga menjadi salah satu bahan masukan yang mengandung fungsi
sebagai alat pencapai tujuan pendidikan islam.
4. Metode Pembinaan
Al-Ghazali mengemukakan metode mendidik anak dengan memberi
contoh, latihan dan pembiasaan kemudian nasehat dan anjuran sebagai alat
pendidikan dalam membina kepribadian anak sesuai dengan ajaran agama
islam. Pembentukan kepribadian itu berlangsung secara berangsur-angsur
yang merupakan proses menuju kesempurnaan. Dalam hal ini Al-Ghazali
mengatakan:
“apabila anak itu dibiasakan mengamalkan apa-apa yang baik, diberi
pendidikan ke arah itu, pastilah ia akan tumbuh di atas kebaikan tadi akibat
positifnya ia akan selamat sentosa di dunia dan akhirat. Kedua orang tuanya
dan semua pendidik, pengajar serta pengasuhnya ikut serta memperoleh
pahalanya. Sebaliknya jika jika anak itu sejak kecil sudah dibiasakan
33

mengerjakan keburukan dan dibiarkan begitu saja tanpa dihiraukan


pendidikan dan pengajarannya, yakni sebagaimana halnya seseorang yang
memelihara binatang, maka akibatnya anak itupun akan celaka dan rusak
binasa akhlaknya, sedang dosanya yang utama tentulah dipikulkan kepada
orang (orang tua, pendidik) yang bertanggung jawab untuk memelihara dan
mengasuhnya” (Jamaluddin Al-Qosimi, 1993: 534).
Dalam proses pendidikan islam, metode mempunyai kedudukan
yang sangat penting dalam upaya pencapaian tujuan, karena ia menjadi sarana
dalam menyampaikan materi pelajaran yang tersusun dalam kurikulum.
Seabagai salah satu komponen operasioanal ilmu pengetahuan islam, metode
harus bersifat mengarahkan materi peljran kepada tujuan pendidikan yang
hendak dicapai melaui proses tahap demi tahap, baik dalam kelembagaan
formal, non formal maupun informal. Dengan demikian menurut ilmu
pendidikan islam, suatu metode yang baik bila memiliki watak dan relevansi
yang senada dengan tujuan pendidikan islam.
Menurut Arifin (2011: 145-151), ada beberapa prinsip-prinsip
metodologis yang dijadikan landasan psikologi dalam memperlancar proses
kependidikan islam, yaitu:
a) Prinsip memberikan suasana kegembiraan
Salah satu firman Allah yang menyuruh para pendidik untuk
memberikan kegembiaan kepada orang-orang yang beriaman, orang
yang sabar, orang-orang yang berbuat kebaikan dalam Q.S. Al-
Baqoroh: 25 sebagai berikut:

         

            
34

             

  

Artinya: “dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang


beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya.
Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam surga-
surga itu, mereka mengatakan : "Inilah yang pernah
diberikan kepada Kami dahulu." mereka diberi buah-
buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada
isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya .”
(Hasbi Ash-Shiddieqy, 1995: 190).

b) Prinsip memberikan layanan dan santunan dengan lemah lembut


Firman Allah dalam Q.S. Ali Imran: 159 sebagai berikut:

            

           

         

Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku


lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap
keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri
dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah
dengan mereka dalam urusan itu, kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakkal kepada-Nya.” .” (Hasbi Ash-Shiddieqy, 1995:
324).
35

c) Prinsip memberikan model perilaku yang baik


Seorang anak dapat memperoleh contoh bagi perilakunya melalui
pengamatan dan peniruan. Sebaik-baik perilaku adalah perilakunya
nabi Muhammad SAW seperti dalam frman Allah dalam Q. S. Al-
Ahzab: 21 sebagai berikut:

            

    

Artinya: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri


teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan Dia banyak menyebut Allah.” (Hasbi Ash-shiddieqy,
1995: 3158).
Maksud ayat di atas adalah bahwasannya Rasulullah adalah contoh
yang baik dalam segi keberanian, kesabaran da tabah menghadapi
cobaan.orang yang mengharap pahala dari Allah dan takut akan
siksa-Nya sertabanyak mengingat Allah, memperoleh teladan yang
baikdari Rasulullah (Hasbi Ash-shiddieqy, 1995:3167).
d) Prinsip praktik secara aktif
Prinsip ini mendorong anak untuk mengamalkan pengetahuan atau
pengajaran yang telah diperolehnya sehingg nilai-nilai yang telah
ditransformasikan ke dalam dirinya menhasilkan buah yang
bermanfaat bagi diri dan masyarakat sekitar.
e) Prinsip kasih sayang
Firman Allah Q. S. Al-Anbiya: 107 sebagai berikut:

     


36

Artnya: “ dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk


(menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (Hasbi Ash-
shiddieqy, 1995: 2566).
Maksud ayat di atas adalah bahwasannya nabi Muhammadlah orang
yang pertama kali menanamkan benih-benih demokrasi di
dunia ini. Beliaulah orang yang mula-mula menolong orang
lemah, membantu orang teraniaya, mengakui hak orang
fakir dan menyamakan pengikit-pengikutnya dengan
pengikut-pengikut orang lain (Hasbi Ash-Shiddieqy, 1995:
2566).
5. Peserta Pembinaan
Dalam pendidikan Islam, yang menjadi peserta didik bukan hanya
anak-anak, melainkan juga orang dewasa yang masih berkembang, baik fisik
maupun psikis. Jadi peserta didik merupakan subjek dan objek pendidikan
yang memerlukan bimbingan orang lain (pendidik) untuk membantu
mengarahkannya mengembangkan potensi yang dimilikinya, serta
membimbingnya menuju kedewasaan, dalam hal ini peserta pembinaan
adalah para santri.
Menurut Bukhori Umar (2010: 103), peserta didik adalah anggota
masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses
pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.
Pengertian lain dikemukakan oleh Erwati Aziz (3003: 50), peserta didik
adalah individu yang sedang tumbuh dan berkembang, baik secara fisik,
psikologis, sosial, dan religius dalam mengarungi kehidupan di dunia dan di
akhirat kelak.
Karakteristik peserta didik menurut teori fitrah seperti haknya
dijelaskan dalam firman Allah Q.S. Ar-Rum: 30 sebagai berikut:
37

             

           

Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah;


(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
(Hasbi Ash-Shiddieqy, 1995: 1018).
Maksud ayat di atas bahwasannya Allah menciptakan manusia
dengan fitrah dan tabiat menerima kepercayaan tauhid dan mengakuinya. .
apa yang telah Allah perintahkan untuk mengesakan-Nya, itulah agama
yang lurus, agama fitrah,, agama islam (Hasbi Ash-Shiddieqy, 1995: 3080).

Fitrah Allah dalam ayat di atas maksudnya ciptaan Allah. manusia


diciptakan Allah mempunyai naluri beragama Yaitu agama tauhid. kalau ada
manusia tidak beragama tauhid, Maka hal itu tidaklah wajar. mereka tidak
beragama tauhid itu hanyalah lantara pengaruh lingkungan.
Fitrah meliputi potensi rasa ingin tahu dan mencintai kebenaran,
potensi rasa menyukai dan mencintai kepada kebaikan, dan potensi rasa
menyukai dan mencintai keindahan. Rasa ingin tahu dan mencintai kebenaran
akan mendorong seseorang untuk belajar dan melakukan penelitian dan kajian
yang menghasilkan ilmu pengetahuan. Rasa ingin tahu dan mencintai
kebaikan mendorong seseorang untuk mengikuti segala perintah Tuhan yang
diyakini pasti mengandung kebaikan, yang selanjutnya menghasilkan etika
atau akhlak mulia.
Menurut Al-Ghazali, yang dikutip dalaam bukunya Bukhori Umar
(2010: 105-106) merumuskan sepuluh kode etikpeserta didik, yaitu:
a) Belajar dengan niat ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik
38

dituntut untuk selalu menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah


dan watak yang tercela. Seperti dari sikap menggunakan ilmu yang
dipelajari untuk menonjolkan atau menyombongkan diri.
b) Mengurangi kecenderungan pada duniawi.
c) Bersikap rendah hati, seperti menjalin hubungan yang harmonis
dengan guru, menyenangkan hati guru, memuliakan guru, menjaga
rahasia guru, dan lain sebagainya.
d) Menjaga pikiran dari pertentangan yang timbul dari berbagai aliran.
e) Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji, baik ilmu umum maupun
agama.
f) Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran
yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak).
g) Belajar dari ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu
pengetahuan secara mendalam.
h) Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari.
i) Memprioritaskan ilmu diniyah sebelum memasuki ilmu duniawi.
j) Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan yaitu
ilmu dapat bermanfaat, membahagiakan, dan menyejahterahkan,
serta memberi keselamatan hidup di dunia dan akhirat.
6. Pendidik
Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan
pertolongan pada peserta didiknya dalam perkembangan jasmani dan
rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaannya, mampu mandiri dalam
memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah SWT, dan mampu
melakukan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai makhluk individu yang
mandiri (Abuddin Nata, 2010: 159).
Para pendidik mencakup guru, orang tua, dosen, tokoh masyarakat,
dan siapa saja yang memfungsikan dirinya untuk mendidik. Siapa saja dapat
menjadi pendidik dan melakukan upaya untuk mendidik secara formal
maupun nonformal. Para pendidik haruslah orang yang patut diteladani
(Salahudin, 2011: 24). Orang yang membina, mengarahkan, menuntun, dan
39

mengembangkan minat, serta bakat anak didik, agar tujuan pendidikan


tercapai dengan baik.
Pendidik pertama dan utama adalah orangtua sendiri. Mereka berdua
yang bertanggung jawab penuh atas kemajuan perkembangan anak
kandungnya, karena sukses tidaknya anak sangat tergantung kepada
pengasuhan, perhatian, dan pendidikannya. Kesuksesan anak kandung
merupakan cermin atas kusuksesan orangtua juga. Sebagaimana firman Allah
SWT dalam Q.S At-Tahrin: 6 sebagai berikut:

           .7

           

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu


dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu;
penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada
mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Hasbi
Ash-Shiddieqy, 1995: 1391).

Menurut Al-Ghazali, tugas pendidik yang di utama adalah


menyempurnakan, membersihkan, menyucikan, serta membimbing hati
manusia untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT. Hal
tersebut karena tujuan pendidikan Islam yang utama adalah upaya untuk
mendekatkan diri kepada-Nya. Jika pendidik belum mampu membiasakan
diri dalam peribadatan kepada peserta didik, berarti ia mengalami
kegagalan di dalam tugasnya, sekalipun peserrta didik memiliki prestasi
akademis yang luar biasa. Hal tersebut mengandung arti akan keterkaitan
antara ilmu dan amal shaleh (Umar, 2010: 87).

Anda mungkin juga menyukai