com - Para warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) tak
hanya harus menjalani hukuman akibat perbuatan mereka. Para warga binaan, terutama yang dijatuhi hukuman lebih dari sepuluh tahun pidana penjara kerap kali harus menghadapi persoalan rumah tangganya, bahkan hingga digugat cerai pasangan. Tingginya angka perceraian narapidana diungkapkan Kalapas Klas I Cipinang, Tonny Nainggolan. Tonny mengaku kerap menerima surat dari Pengadilan Agama terkait gugatan cerai kepada para warga binaan. “Hampir setiap minggu hampir lima surat perceraian saya dapat dari pengadilan agama,” kata Tonny dalam diskusi yang digelar Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjenpas Kemkumham) di Jakarta, Rabu (19/5/2021) Tonny mengatakan, hal ini bisa terjadi karena banyak dari warga binaan merupakan tulang punggung keluarga. Dengan demikian, ketika mereka menjalani hukuman badan, tidak ada lagi yang menafkahi keluarganya. “Bisa saja ia tulang punggung, atau bisa juga napas kehidupan," ungkapnya. Hal senada dikatakan Kalapas Klas I Tangerang, Victor Teguh Prihartono. Dikatakan Victor, tingginya kasus perceraian narapidana terjadi juga di lapas-lapas lainnya. Umumnya, kata Victor, kasus perceraian terjadi lantaran narapidana tidak mampu menafkahi keluarga mereka. "Lebih banyak mereka yang (dijatuhi hukuman) sepuluh tahun. Tidak memandang kasus apa. Tapi ketika di dalam dia tidak mampu menghidupi keluarga dan kenyataan enggak mampu mereka diminta cerai," katanya. Victor mengatakan, sebagai petugas, pihaknya berupaya untuk memfasilitasi penyelesaian persoalan yang dihadapi para warga binaan. Namun, para warga binaan tidak diizinkan menghadiri sidang. "Pada prinsipnya kita tidak izinkan dan Panitera Pengadilan Agama yang datang untuk menyampaikan itu," katanya. Untuk menekan tingkat perceraian narapidana, Victor mengatakan, pihaknya berupaya memberikan pembinaan, termasuk pembinaan keterampilan. Dengan demikian, keterampilan tersebut dapat menjadi bekal warga binaan menjalani masa hukuman, maupun setelah menghirup udara bebas nantinya. "Secara keseluruhan warga binaan wajib bekerja. Wajib mengikuti kegiatan kepribadian, kemandirian sehingga fungsi kami harus memberikan semaksimal mungkin kegiatan bisa dilakukan. Banyak keterampilan yang diberikan," katanya. Kegemaran Menghukum Tingginya angka perceraian narapidana ini merupakan salah satu buntut dari persoalan besar dalam sistem peradilan di Indonesia yang masih berorientasi pada penghukuman. Hal ini setidaknya tercermin dari proses penegakan hukum terhadap pengguna narkoba. Para pengguna yang seharusnya direhabilitasi berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika justru dijatuhi hukuman pidana penjara layaknya pengedar atau bandar. Akibatnya lapas penuh sesak. Saat ini terdapat 259.677 warga binaan pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Padahal kapasitas ruang pemasyarakatan hanya sekitar 135.647 orang. Dari jumlah warga binaan yang saat ini menghuni lapas, sebanyak 128.893 orang di antaranya merupakan narapidana narkotika. Leopold Sudaryono dari The Asia Foundation mengatakan, kegemaran menghukum atau sentimen penghukuman (punitive sentiment) menunjukkan adanya persoalan dalam sistem peradilan. Dikatakan, sentimen punitive disebabkan mengendapnya memori kolektif masyarakat atas ketidakadilan atau lemahnya penegakan hukum selama masa Orde Baru. Akibatnya, saat era reformasi, pemenjaraan menjadi primum remedium atau menjadi pilihan utama. Padahal, salah satu asas hukum di Indonesia menyatakan hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum atau ultimum remedium. Leopold menekankan, tingginya angka perceraian yang menimpa napi memiliki dampak berganda. Pertama, napi kehilangan dukungan keluarga dan motivasi yang sangat dibutuhkan dalam merehabilitasi diri dan perilakunya. Dan kedua, keluarga yang terpecah rentan meningkatkan resiko stigma sosial dan inter-generational crime pada anak. "Pada akhirnya kedua dampak ini justru menjauhkan pemenjaraan dari tujuan awal pemidanaan, yakni melindungi masyarakat dari kejahatan," tegasnya. Terkait dengan kelebihan kapasitas lapas, Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Sesditjenpas), Heni Yuwono mengatakan, kebijakan asimilasi warga binaan di masa pandemi berdampak signifikan pada kepadatan lapas. Asimilasi warga binaan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 32 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, dan Cuti Bersyarat bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. "Itu pengurangannya sangat signifikan jumlahnya, tapi itu kasus-kasus tertentu yang memang kita tidak izinkan seperti kasus narkotika, kasus korupsi dan kasus extraordinary crime lain," katanya. Sementara terkait dengan pemidanaan pengguna narkoba, Heni Yuwono mendorong dilakukannya komunikasi yang intensif para pemangku kebijakan untuk menyamakan persepsi mengenai penerapan UU Narkoba. UU tersebut mewajibkan setiap pengguna narkoba untuk direhabilitasi, bukan dijebloskan ke penjara. Untuk itu, dibutuhkan kejelian penegak hukum dalam menentukan seseorang sebagai penyalah guna atau pengedar narkoba. "Ini perlu kejelian dan duduk bersama bagaimana menyamakan persepsi antara batas pengguna dan kriteria penggunanya itu seperti apa. Tidak bisa secara parsial tapi juga holistik," katanya.
Saksikan live streaming program-program BTV di sini
Sumber: BeritaSatu.com Urutan Kerangka Proposal 1. Halaman Judul. Secara umum struktur atau urutan kerangka pada proposal penelitian tidak berbeda jauh dengan urutan laporan hasil penelitian. ... 2. 2. Daftar Isi. ... 3. 3. Bab I – Pendahuluan. ... Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian. 4. 4. Bab II – Tinjauan Pustaka. ... 5. Bab III – Metodologi. ... 6. 6. Daftar Pustaka. ... 7. 7. Lampiran Para warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) tak hanya harus menjalani hukuman akibat perbuatan mereka. Para warga binaan, terutama yang dijatuhi hukuman lebih dari sepuluh tahun pidana penjara kerap kali harus menghadapi persoalan rumah tangganya, bahkan hingga digugat cerai pasangan. Tingginya angka perceraian narapidana diungkapkan Kalapas Klas I Cipinang, Tonny Nainggolan. Tonny mengaku kerap menerima surat dari Pengadilan Agama terkait gugatan cerai kepada para warga binaan. “Hampir setiap minggu hampir lima surat perceraian saya dapat dari pengadilan agama,” kata Tonny dalam diskusi yang digelar Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Ditjenpas Kemkumham) di Jakarta, Rabu (19/5/2021) Tonny mengatakan, hal ini bisa terjadi karena banyak dari warga binaan merupakan tulang punggung keluarga. Dengan demikian, ketika mereka menjalani hukuman badan, tidak ada lagi yang menafkahi keluarganya. “Bisa saja ia tulang punggung, atau bisa juga napas kehidupan," ungkapnya. Hal senada dikatakan Kalapas Klas I Tangerang, Victor Teguh Prihartono. Dikatakan Victor, tingginya kasus perceraian narapidana terjadi juga di lapas-lapas lainnya. Umumnya, kata Victor, kasus perceraian terjadi lantaran narapidana tidak mampu menafkahi keluarga mereka. "Lebih banyak mereka yang (dijatuhi hukuman) sepuluh tahun. Tidak memandang kasus apa. Tapi ketika di dalam dia tidak mampu menghidupi keluarga dan kenyataan enggak mampu mereka diminta cerai," katanya. Victor mengatakan, sebagai petugas, pihaknya berupaya untuk memfasilitasi penyelesaian persoalan yang dihadapi para warga binaan. Namun, para warga binaan tidak diizinkan menghadiri sidang. "Pada prinsipnya kita tidak izinkan dan Panitera Pengadilan Agama yang datang untuk menyampaikan itu," katanya. Untuk menekan tingkat perceraian narapidana, Victor mengatakan, pihaknya berupaya memberikan pembinaan, termasuk pembinaan keterampilan. Dengan demikian, keterampilan tersebut dapat menjadi bekal warga binaan menjalani masa hukuman, maupun setelah menghirup udara bebas nantinya. "Secara keseluruhan warga binaan wajib bekerja. Wajib mengikuti kegiatan kepribadian, kemandirian sehingga fungsi kami harus memberikan semaksimal mungkin kegiatan bisa dilakukan. Banyak keterampilan yang diberikan," katanya. Kegemaran Menghukum Tingginya angka perceraian narapidana ini merupakan salah satu buntut dari persoalan besar dalam sistem peradilan di Indonesia yang masih berorientasi pada penghukuman. Hal ini setidaknya tercermin dari proses penegakan hukum terhadap pengguna narkoba. Para pengguna yang seharusnya direhabilitasi berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika justru dijatuhi hukuman pidana penjara layaknya pengedar atau bandar. Akibatnya lapas penuh sesak. Saat ini terdapat 259.677 warga binaan pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Padahal kapasitas ruang pemasyarakatan hanya sekitar 135.647 orang. Dari jumlah warga binaan yang saat ini menghuni lapas, sebanyak 128.893 orang di antaranya merupakan narapidana narkotika. Leopold Sudaryono dari The Asia Foundation mengatakan, kegemaran menghukum atau sentimen penghukuman (punitive sentiment) menunjukkan adanya persoalan dalam sistem peradilan. Dikatakan, sentimen punitive disebabkan mengendapnya memori kolektif masyarakat atas ketidakadilan atau lemahnya penegakan hukum selama masa Orde Baru. Akibatnya, saat era reformasi, pemenjaraan menjadi primum remedium atau menjadi pilihan utama. Padahal, salah satu asas hukum di Indonesia menyatakan hukum pidana hendaklah dijadikan upaya terakhir dalam hal penegakan hukum atau ultimum remedium. Leopold menekankan, tingginya angka perceraian yang menimpa napi memiliki dampak berganda. Pertama, napi kehilangan dukungan keluarga dan motivasi yang sangat dibutuhkan dalam merehabilitasi diri dan perilakunya. Dan kedua, keluarga yang terpecah rentan meningkatkan resiko stigma sosial dan inter-generational crime pada anak. "Pada akhirnya kedua dampak ini justru menjauhkan pemenjaraan dari tujuan awal pemidanaan, yakni melindungi masyarakat dari kejahatan," tegasnya. Terkait dengan kelebihan kapasitas lapas, Sekretaris Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Sesditjenpas), Heni Yuwono mengatakan, kebijakan asimilasi warga binaan di masa pandemi berdampak signifikan pada kepadatan lapas. Asimilasi warga binaan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham) Nomor 32 Tahun 2020 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, dan Cuti Bersyarat bagi Narapidana dan Anak dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. "Itu pengurangannya sangat signifikan jumlahnya, tapi itu kasus-kasus tertentu yang memang kita tidak izinkan seperti kasus narkotika, kasus korupsi dan kasus extraordinary crime lain," katanya. Sementara terkait dengan pemidanaan pengguna narkoba, Heni Yuwono mendorong dilakukannya komunikasi yang intensif para pemangku kebijakan untuk menyamakan persepsi mengenai penerapan UU Narkoba. UU tersebut mewajibkan setiap pengguna narkoba untuk direhabilitasi, bukan dijebloskan ke penjara. Untuk itu, dibutuhkan kejelian penegak hukum dalam menentukan seseorang sebagai penyalah guna atau pengedar narkoba. "Ini perlu kejelian dan duduk bersama bagaimana menyamakan persepsi antara batas pengguna dan kriteria penggunanya itu seperti apa. Tidak bisa secara parsial tapi juga holistik," katanya.