Anda di halaman 1dari 11

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang tidak terlepas dari permasalahan terkait
dengan kepadatan penduduk yang berimbas kepada ketersediaan lapangan pekerjaan sehingga
muncul permasalahan lain yakni kemiskinan yang menjadi salah satu faktor tingginya angka
kriminalitas di Indonesia karena masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhannya.

Dengan kondisi yang bisa dibilang kepepet, akhirnya orang akan mempunyai cara tersendiri
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan menghalalkan segala cara. Seperti kegiatan
mencuri, menipu, pencopetan dan perampokan yang disertai dengan kekerasan yang
belakangan ini masih sering terjadi.

Pemerintah bukan berarti berdiam diri terhadap setiap masalah yang terjadi, melalui Sistem
Peradilan Pidana yang dianut Indonesia sebagai sebuah negera hukum, pemerintah berusaha
menciptakan keteraturan dan kesejahteraan bagi masyarakat dengan cara yang adil. Lembaga
Pemasyarakat sebagai puncak dari Sistem Peradilan Pidana merupakan bentuk perwujudan dari
pemerintah dalam menangani hal tersebut.

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dibuat untuk memberikan pembinaan. Sayangnya, tujuan


tersebut seringkali tidak tercapai. Lapas sebagai tempat membina narapidana justru berubah
menjadi sarang kejahatan.

Berdasarkan pasal 2 Undang-undang No 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, sistem


pemasyarakatan diterapkan untuk membentuk warga binaan (narapidana) sebagai manusia
seutuhnya. Kehadiran sistem pemasyarakatan sebagai pengganti sistem pemenjaraan
diharapkan bisa membuat warga binaan menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak
mengulangi perbuatannya lagi, sehingga dapat diterima masyarakat.

Dalam beberapa kasus, tujuan UU tersebut memang tercapai. Napi yang keluar dari lapas sadar
jalan hidupnya salah, memperbaiki diri, dan berbuat positif di masyarakat. Sayangnya, banyak
pula yang gagal dibina di lapas. Kasus Freddy Budiman dan Artalyta merupakan satu dari
sekian contoh kegagalan pembinaan di lapas.
Di Indonesia, lapas cukup baik untuk menakuti orang-orang di luar penjara dengan kengerian
di dalamnya. Orang akan membayangkan, jika dia masuk ke dalam penjara maka dia akan
dipukuli satu sel ramai-ramai di hari pertama, dapat jatah makanan tak bergizi, ruang lembab
kadang juga pengap, belum lagi bullying, dan kejahatan seksual.

Kegagalan pembinaan memang bisa muncul di tengah banyaknya masalah pengelolaan lapas
di Indonesia. Banyak masalah yang muncul mulai dari bangunan tidak memadai, penjagaan
yang minim, kurangnya penjaga hingga masalah kelebihan kapasitas.

Beberapa lapas di Indonesia tercatat mengalami kelebihan kapasitas. Menurut Sistem Database
Pemasyarakatan, hanya sedikit provinsi saja yang tidak melebihi kapasitas. Seperti Sulawesi
Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Gorontalo, Yogya dan Bengkulu. Di
Jakarta, kelebihan kapasitas lapas mencapai 172 persen, Kalimantan Selatan 197 persen, Riau
185 persen, dan Sumatera Utara 150 persen.

Di Indonesia, barangkali untuk urusan penjara, sekali pemerintah tetap pemerintah. Negara
harus dominan untuk urusan hukum. Di luar negeri, pemerintah membuka diri atas masalah
mereka. Di luar negeri tak hanya rumah sakit, sekolah dan perusahaan air saja yang swasta tapi
juga pengelola penjara.
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa swasta diikutsertakan dalam pengelolaan Lembaga Pemasyarakatan?
2. Bagaimana peran dan kedudukan swasta dalam keikutsertaannya mengelola Lembaga
Pemasyarakatan?
KAJIAN TEORITIK

Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik
Pemasyarakatan seperti yang diatur dalam Undang Undang nomor 12 tahun 1995 Pasal 1 ayat (3).
Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal
Pemasyarakatan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman).
Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau tahanan. Konsep pemasyarakatan
pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962, dimana disebutkan bahwa
tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat
adalah mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat.

Menurut Undang Undang nomor 12 tahun 1995 Pasal 1 ayat (1) menyebutkan Pemasyarakatan adalah
kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem,
kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata
peradilan pidana.

Menurut Huntington (1965) Lembaga merupakan pola perilaku yang selalu berulang bersifat kokoh dan
dihargai oleh masyarakat. Organisasi dan prosedur memiliki berbagai tingkatan dalam proses
pelembagaan. Pelembagaan merupakan sebuah proses dimana organisasi dan prosedur mendapatkan
nilai dan kemantapan. Sementara itu menurut Uphoff (1986) Lembaga merupakan sekumpulan norma
dan perilaku telah berlangsung dalam waktu yang lama dan digunakan untuk mencapai tujuan bersama.

Menurut Undang Undang nomor 12 tahun 1995 Pasal 1 Ayat 7 yang dimaksud dengan Narapidana
adalah terpidana yang menjalani hilang kemerdekaan di Lembaga Pemasyarakatan. Sementara itu
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Narapidana adalah
orang hukuman (orang yang sedang menjalani hukuman karena tindak pidana); terhukum
Pengertian pembinaan menurut kamus Bahasa Indonesia yang diambil dari kata dasar bina yaitu
mengusahakan agar lebih baik atau sempurna. Sehingga Pembinaan adalah proses atau cara
mengusahakan agar menjadi lebih baik. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 1999 disebutkan bahwa definisi pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas
ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan
jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan.

Swasta dalam ekonomi suatu negara terdiri dari segala bidang yang tidak dikuasai oleh pemerintah.
Organisasi nirlaba maupun laba dapat termasuk swasta, antara lain perusahaan, korporasi, bank,
dan organisasi non-pemerintah lainnya, termasuk juga karyawan yang tidak bekerja untuk pemerintah.
Dalam sektor ini, faktor-faktor produksi dimiliki oleh individu atau pribadi.
PEMBAHASAN

1. Pemberian kesempatan kepada swasta dalam hal pengelolaan Lembaga Pemasyarakatan

Permasalahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) atau lapas serta di Rumah Tahanan (Rutan) perlu
mendapat perhatian dari berbagai pihak. Banyak masalah yang terjadi di lapas dan rutan yang
dianggap perlu dibenahi, diantaranya sebagai berikut :

a. Penganiayaan Terhadap Napi


Contoh termutakhir bentuk kekerasan yang dilakukan petugas terhadap napi terjadi di
Lapas Kelas 1 Tangerang, Banten. Gara-gara memiliki ponsel, 2 napi, Beni dan Wawan
yang berusisa sekitar 25 tahun, tewas dianiaya sipir.

b. Angka Pelarian Tinggi


Buruknya manajemen lapas juga memicu tinginya angka pelarian napi. Belum lama ini, 22
narapidana di Lapas Merauke, Papua, menyerang sipir penjara dan melarikan diri. Kejadian
ini berawal ketika petugas yang akan mengunci pintu utama penjara diserang 50 napi.
Sebagian napi urung kabur setelah sipir mengeluarkan tembakan peringatan. Dalam bulan
ini, kejadian hampir serupa berlangsung di LP Binjai, Sumatra Utara dan LP Muaro
Padang, Sumatra Barat. Di LP Binjai, tiga napi nekat kabur saat petugas penjara sedang
menyiapkan acara shalat Idulfitri. Sedangkan di LP Muaro Padang, enam narapidana kabur
dari penjara pada 9 Oktober silam. Tiga napi yang kabur antara lain adalah tahanan dengan
hukuman mati kasus pembunuhan. Buntutnya, tiga pejabat LP Muaro Padang dicopot.
Mereka dianggap bertanggung jawab atas kaburnya enam napi dari LP kelas dua tersebut.

c. Lapas Sarang Narkoba


Lemahnya pengawasan petugas membuat peredaran narkoba juga marak di lembaga
pemasyarakatan. Tingkat kesejahteraan sipir yang minim memang seringkali menjadi salah
satu alasan klise. Yang seolah mentolerir konspirari hubungan sipir dengan narapidana.
Selain masalah kualitas dan kuantitas antara petugas penjara dengan napi sebagai penghuni
yang tidak sebanding, buruknya mental para sipir penjara merupakan salah satu pemicu
terjadinya kekerasan di dalam lembaga pemasyarakatan di Indonesia. (Nitibaskara, 1999).
Sudah bukan rahasia lagi, penjara bukanlah tempat yang kondusif bagi pengguna narkoba.
Dalam artian, penjara bukan menjadi jawaban untuk membantu pecandu narkoba untuk
mencapai kesembuhan. Sudah menjadi rahasia umum pula, kalau pecandu narkoba bisa
“naik pangkat” ketika sudah pernah mencicipi dinginnya lantai penjara. Awalnya hanya
pengedar, kemungkinan besar bisa menjadi bandar. Kondisi ini tentu kontradiktif dengan
tujuan awal pemidanaan bagi pecandu narkoba, memberi efek jera. Alih-alih menjadi
kapok, pecandu nakoba justru bisa menjadi rantai baru bagi peredaran narkoba. Tidak usah
jauh-jauh. Tertangkapnya KPLP Kerobokan akibat tersandung kasus narkoba bisa
dijadikan parameter. Pihak yang seharusnsya menjadi pengawas agar bisa menimalisir
peredaran narkoba justru berbisnis narkoba. Tentu bisa dibayangkan betapa kronisnya
bisnis narkoba di dalam LP.

Manajemen lapas yang masih buruk tak bisa dilepaskan dari kegaduhan yang kerap muncul.Tidak
hanya itu, sebagian besar penghuni lapas juga terbilang menjalani masa hukuman yang tidak
mengenakkan karena ketersediaan lauk-pauk yang kurang manusiawi. Mahalnya biaya yang
diperlukan setiap orang yang menjalani masa hukuman di penjara semakin menambah kompleks
persoalan rutan maupun lapas.

Diperlukan solusi komprehensif untuk mengurai dan membenahinya. Salah satu solusi alternatif
yang pernah diwacanakan dan dibahas di kalangan akademisi adalah diterapkannya wacana
privatisasi lapas. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM sendiri
mengakui sudah ada diskusi awal di kalangan mereka mengenai wacana privatisasi lapas ini.

Jika privatisasi lapas diterapkan, maka pemerintah memberikan kesempatan kepada swasta untuk
mengelola lapas termasuk pembinaan dan pemeliharaan terhadap warga binaan di dalamnya.

Bicara privatisasi lapas, negara yang lebih dulu menerapkan kebijakan tersebut adalah Amerika.
Penerapan privatisasi lapas dianggap bisa menjawab kebutuhan pemerintah akan penjara tambahan
dengan memberikan kesempatan bagi perusahaan swasta untuk menyediakan kebutuhan tersebut.

Perusahaan yang memenangkan tender bertanggung jawab mengelola operasi harian penjara baik
itu merekrut staf ataupun mendisplinkan warga binaan. Selanjutnya pemerintah akan membayar
perusahaan tersebut, biasanya per narapidana per hari. Saat ini, dua perusahaan profit terbesar
dalam industry penjara adalah CCA dan GEO Group.

Penjara swasta sudah ada di Amerika sejak tahun 80-an dan mulai populer di tahun 90-an. Penjara
swasta dilihat sebagai solusi permasalahan sistem penghukuman, yakni pertumbuhan populasi
penjara dan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk mengelola penjara.
Di akhir tahun 2000, penjara-penjara di Amerika berada di kondisi penuh dan overcapacity, dari
15% di state prison (penjara pemerintah) dan 31% di federal prisons (penjara federal). Dari data
tahun 2014, tingkat hunian penjara berdasarkan kapasitas resminya 103,9% atau overcapacity 3,9%.

Data terakhir tahun 2015, penjara swasta menampung lebih dari 120 ribu narapidana, setara 8%
dari seluruh narapidana di Amerika. CCA memiliki setidaknya 70 penjara, sedangkan GEO
memiliki 73 penjara. Total jumlah penjara 4,575 di Amerika tahun 2005 (data terakhir). Berarti dari
32 penjara terdapat 1 penjara yang dikelola oleh swasta.

Dari segi biaya, di Mississippi, penjara swasta menghabiskan $46,50 per narapidana per hari,
sedangkan penjara pemerintah berkisar $35,11 - $40,47. Begitu pula yang ditemukan di Tennessee
dan Louisiana, dimana meskipun mirip, biaya di penjara swasta lebih besar.

Salah satu kesuksesan penjara adalah ketika tingkat residivisme menjadi rendah. Dalam studi
perbandingan antara penjara swasta dan pemerintah di Mississippi, menunjukkan bahwa tingkat
residivisme kedua institusi tersebut hampir sama.

Dalam review Office of the Inspector General menunjukkan mayoritas di berbagai kategori, insiden
per kapita terkait keselamatan dan keamanan di penjara swasta lebih banyak daripada penjara
pemerintah.

2. Peranan swasta dalam keikutsertaannya mengelola Lembaga Pemasyarakatan


Meski dikelola oleh swasta, lapas harus memenuhi standar internasional. Idealnya, sebuah penjara
haruslah sesuai dengan Aturan Minimum Standar tentang Penanganan Tahanan yang diadopsi oleh
Kongres Perserikatan Bangsa-Bangsa yang Pertama tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan
Pelaku Kejahatan, Jenewa, 1955. Aturan itu disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial melalui
Resolusi 663 C (XXIV) tertanggal 31 Juli 1957 dan Resolusi 2076 (LXII) tertanggal 13 Mei 1977.

Banyak hal yang harus diperhatikan dan diwujudkan untuk membuat sebuah penjara yang beradab.
Sebuah penjara harus ada pemisahan. Pemisahan itu berdasarkan kategori jenis kelamin, usia,
catatan kriminal, alasan hukum penahanan. Narapidana kasus perdata pun seharusnya dipisahkan
dengan kasus pidana.

Soal ruangan, tempat tidur napi berupa sel-sel atau ruangan-ruangan individual. Masing-masing
tahanan pada malam hari menempati satu sel atau ruangan sendirian.
Jika pun harus berupa bangsal, maka para napi itu sudah diseleksi secara cermat. Ruang tidur para
napi pun haruslah sesuai dengan persyaratan kesehatan, dengan memperhitungkan secara
semestinya kondisi iklim dan, terutama, kandungan udara dalam ruangan, luas lantai minimum,
pencahayaan, penghangat ruang, dan ventilasi. Untuk urusan sanitasi pun harus memadai, agar napi
bisa buang hajat dengan nyaman, bersih dan layak.

Napi punya hak untuk tampil rapi. Alat cukur dan waktu untuk mencukur rambut dan jenggot pun
harus diadakan pula. Kepercayaan diri seseorang harus dijaga, termasuk dalam hal penampilan.

Tentu saja pakaian tahanan tak boleh pakaian pribadi yang dibawa sendiri oleh Napi. Pakaian harus
cocok untuk iklim dan sehat bagi tubuh. Pakaian tersebut sama sekali tidak boleh merendahkan
martabat atau menimbulkan perasaan hina si Napi. Mereka diberi beberapa potong baju untuk ganti
agar higenis. Sesuai aturan internasional, setiap napi berhak mendapatkan tempat tidur yang layak,
bukan menyewa dari pihak penjara. Makanan pun juga harus bergizi dan disajikan dengan layak.

Selama dipenjara pun, tahanan diharuskan tinggal atau bekerja. Tak bolah ada yang bisa keluar-
masuk seperti Gayus Tambunan. Napi yang tidak bekerja di ruang terbuka harus diberi setidaknya
satu jam untuk olahraga di ruang terbuka dalam areal penjara, jika cuaca memungkinkan. Jika perlu
penjara menyediakan alat olahraga juga.

Tentu saja pihak swasta yang mengelola penjara harus memikirkan bagaimana penyediaan tenaga
sipir untuk menjaga napi. Pihak penjara swasta itu juga harus memiliki program yang membimbing
para napi agar bisa hidup normal setelah mereka keluar dari penjara.

Negara tetap mengawasi penjara swasta yang sudah dapat anggaran dari pemerintah. Negara harus
tetap memantau keselamatan para napi. Jika ada napi kabur, dianiaya, atau bahkan meninggal,
negara yang bertanggung jawab. Artinya negara tidak tinggal diam saja. Hanya berbagi kerja
dengan pihak swasta saja.
PENUTUP

Kesimpulan

Manajemen lapas yang masih buruk tak bisa dilepaskan dari kegaduhan yang kerap muncul.
Diperlukan solusi komprehensif untuk mengurai dan membenahinya. Salah satu solusi alternatif
yang pernah diwacanakan dan dibahas di kalangan akademisi adalah diterapkannya wacana
privatisasi lapas. Jika privatisasi lapas diterapkan, maka pemerintah memberikan kesempatan
kepada swasta untuk mengelola lapas termasuk pembinaan dan pemeliharaan terhadap warga
binaan di dalamnya. Perusahaan yang memenangkan tender bertanggung jawab mengelola operasi
harian penjara baik itu merekrut staf ataupun mendisplinkan warga binaan. Selanjutnya pemerintah
akan membayar perusahaan tersebut, biasanya per narapidana per hari.

Pihak swasta yang mengelola penjara harus memikirkan mengenai sarana dan prasarana yang
dibutuhkan selama mengelola Lembaga Pemasyarakatan dalam rangka menjalankan tugas
pembinaan. Disamping itu pihak swasta juga harus memikirkan bagaimana penyediaan tenaga sipir
untuk menjaga napi. Pihak penjara swasta itu juga harus memiliki program yang membimbing para
napi agar bisa hidup normal setelah mereka keluar dari penjara. Negara tetap mengawasi penjara
swasta yang sudah dapat anggaran dari pemerintah. Negara harus tetap memantau keselamatan para
napi. Jika ada napi kabur, dianiaya, atau bahkan meninggal, negara yang bertanggung jawab.
DAFTAR PUSTAKA

Panjaitan, Petrus Irwan dan Pandapotan Simorangkir. 1995. LEMBAGA PEMASYARAKTAN


Dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Poernomo, Bambang. 1986. Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan.
Yogyakarta: Liberty.
Panjaitan , Petrus Irwan dan Samuel Kikilaitety. 2007. Pidana Penjara Mau Kemana. Jakarta: CV
INDHILL CO.

Anda mungkin juga menyukai