Anda di halaman 1dari 8

Volume 11, Nomor 5, November,2022

KATO NAN AMPEK SEBAGAI LANDASAN FILSAFAT ETIKA DI


MINANGKABAU

Hendrizal, Azmi Fitrisia, Ofianto,


Universitas Negeri Padang, Indonesia
Email: hendri.d07@gmail.com, azmifitrisia@fis.unp.ac.id, ofianto.anto@gmail.com

ABSTRACT
In communicating to the interlocutor in Minangkabau Culture, the community has an ethic called
Kato Nan Ampek which is able to impact lessons, rules and procedures for communicating. Such
as between mamak and nephew, between son-in-law and in-laws, between children to their parents
and to others in the association. Kato Nan Ampek becomes a rule sign for the Minangkabau
people in everyday life so that it becomes the life philosophy of the Minangkabau tribe, where this
philosophy affects the value of shame, pareso value, raso value, and polite value. The method used
in this study is the Pustaka research method which refers to books, theses, journals, and the
internet that discuss kato nan ampek. The purpose of this research is to understand and know
about the Kato Nan Ampek Ethics in Minangkabau Culture. This also means that the parties
understand each other and know the manners and manners in speech acts.
Keywords : Kato Nan Ampek, Philosophy of Ethics, Minangkabau

ABSTRAK
Dalam berkomunikasi kepada lawan bicara pada Budaya Minangkabau, masyarakatnya memiliki
sebuah Etika yang disebut dengan Kato Nan Ampek yang mampu memberikan dampak
pelajaran, aturan dan tata cara berkomunikasi. Seperti antara mamak dan kemenakan, antara
menantu dan mertua, antara anak kepada orang tuanya dan kepada sesama dalam pergaulan. Kato
Nan Ampek menjadi rambu aturan bagi orang Minangkabau dalam kehidupan sehari-hari
sehingga menjadi falsafah hidup suku Minangkabau, yang mana filsafat ini mempengaruhi nilai
malu, nilai pareso, nilai raso, dan nilai sopan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yakni
metode penelitian Pustaka yang merujuk .pada.buku-buku, skripsi, jurnal, dan internet yang
membahas tentang kato nan ampek. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami dan
mengetahui tentang Etika Kato Nan Ampek Dalam Budaya Minangkabau. Hal ini juga
bermaksud agar antara pihak saling mengerti dan mengetahui tatakrama dan sopan santun dalam
bertindak tutur.
Kata Kunci : Kato Nan Ampek, Filsafat Etika, Minangkabau.

PENDAHULUAN
Manusia memiliki nilai budaya yang berbeda satu sama lain. Nilai tersebut harus
dapat diterima oleh siapa saja, dimana nilai-nilai tersebut dapat menjadi suatu
penghargaan terhadap hidup kita sendiri. Sebagai manusia harus menghargai hidup serta
manusia juga selayaknya memiliki nilai-nilai yang mutlak sebagai manusia (Prasasti &
Anggraini, 2020; Rahmanisa et al., 2021). Budaya dan manusia menjadi sebuah aspek
yang saling berinteraksi dalam kehidupan, serta sastra menjadi cerminan dari suatu budaya
dan kehidupan manusia tersebut. Menurut Martin (2014), keragaman budaya yakni ketika
perbedaan ras, etnis, bahasa, kebangsaan, agama, dan orientasi seksual diwakili pada
sebuah komunitas. Keragaman budaya bisa mempengaruhi lokasi kerja dalam berbagai
cara. dampak negatifnya mencakupi miskomunikasi, penciptaan hambatan, dan perilaku
adaptasi disfungsional. Sementara pengaruh positif bisa meliputi membangun basis
pengetahuan yang baik dengan kemampuan internal, yang dapat membuat integrasi
organisasi menjadi lancar ke dalam budaya asing. Kebudayaan yakni sebuah kompleks
keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan
semua kemampuan, serta kebiasaan yang lain yang diperoleh oleh seseorang sebagai
anggota masyarakat.
Kebudayaan menjadi satu kesatuan yang memiliki keterkaitan satu sama lain, baik
itu dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, ataupun adat istiadat. Hal yang
1
Volume 11, Nomor 5, November,2022
menjadi dasar dalam penelitian ini adalah adat istiadat Kato nan Ampek dalam suku
Minangkabau. Tanuwidjaja & Udau (2020) menjelaskan kebudayaan adalah sebuah sistem
ide yang membangun ilmu pengetahuan (science), filosofi, ekonomi, politik, teologi,
sejarah, dan termasuk segala bentuk ajaran-ajaran, pendidikan sekolah, universitas,
keluarga, kepercayaan/ agama, pemerintahan, kebiasaan-kebiasaan, permainan, olahraga,
hiburan, musik, literatur, dan makanan. Hal di atas menjelaskan bahwa kebudayaan adalah
suatu sejarah dan sejarah yang dimaksudkan adalah Kato Nan Ampek dalam adat
Minangkabau yang juga sebagai filsafat adat Minangkabau.
Filsafat adat Minangkabau juga menekankan nilai-nilai etika dalam berkomunikasi,
yang diatur dalam filosofi Kato Nan Ampek. Dalam budaya Minangkabau dikenal empat
cara bertutur yang disebut dengan Kato Nan Ampek istilah lainnya adalah langgam kato,
yaitu kato mandata, kato mandaki, kato manurun dan kato malereng. Andai saja ada orang
Minangkabau yang tidak bisa menggunakan tuturan tersebut sesuai dengan alur dan
budaya yang berlaku, maka orang tersebut akan dikatakan “indak tau diampek”
maksudnya tidak tau akan hal yang empat artinya orang tersebut tidak mempunyai sopan
santun, tidak beradat, tidak bermalu serta tidak beradab. Kato nan Ampek adalah kata-kata
yang dapat digunakan dalam berbicara kepada orang-orang di sekitar kita agar menjadi
komunikasi yang baik yang terdiri dari Kato Mandaki, Kato Manurun, Kato Melereang,
dan Kato Mandata. Dari keempat Kato tersebut memiliki arti yang berbeda-beda. Kato
Mandaki adalah kata-kata yang bagus dan cocok digunakan untuk berbicara dengan orang
yang lebih besar dari kita, sedangkan Kato Manurun adalah kata-kata yang digunakan
ketika berbicara dengan orang yang kecil dari kita. Selanjutnya, Kato Melereang adalah
kata-kata yang digunakan ketika berbicara dengan orang yang kita segani, misalnya
mamak, dan Kato Mandata dalah kata-kata yang digunakan ketika berbicara dengan teman
sebaya atau seusia dengan kita. Penggunaan Kato nan Ampek ini juga bisa digunakan
dalam proses konseling (Hermawan et al., 2019; Rahmat & Budiarto, 2021) .
Pendapat yang sama juga diuraikan oleh Hadijah (2019) bahwa Kato nan Ampek
adalah sebuah aturan untuk berkomunikasi dalam masyarakat Minangkabau. Penggunaan
Kato nan Ampek bagi masyarakat Minangkabau menunjukan rasa hormat di antara sesama
manusia, dan inilah yang menjadi salah satu ciri khas masyarakat Minangkau dalam
berkomunikasi. Di kalangan masyarakat Minangkabau, Kato nan Ampek masih sangat
diperhatikan, apalagi oleh para tetua adat atau sesepuh adat dan golongan orang tua. Saat
berkomunikasi dengan orang-orang tertentu yang masih memegang teguh adat istidat ini,
maka kita dituntut untuk paham akan Kato nan Ampek ini.

METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan. Penelitian
kepustakaan adalah metode yang menggunakan pengumpulan data dari sumber-sumber
kepustakaan seperti buku, jurnal, dan juga media cetak lainnya, serta juga dapat dari hasil
foto dan juga video (Antar & Supriyadi, 2016; Rahmat et al., 2021a; Rahmat et al.,
2021b). Studi pustaka atau kepustakaan sebagai rangkaian kegiatan yang berkenaan
dengan membaca, menulis, dan juga meringkas apa yang didapatnya. Selain itu, Sari &
Asmendri (2020) menambahkan penelitian kepustakaan adalah kegiatan penelitian
dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi dan data dengan bantuan berbagai
macam material yang ada di perpustakaan seperti buku referensi, hasil penelitian
sebelumnya yang sejenis, artikel, catatan, serta berbagai jurnal yang berkaitan dengan
masalah yang ingin dipecahkan. Pengambilan data dari hasil penelitian-penelitian yang
serupa dan juga melalui open access journal dengan menggunakan database Google
Scholar.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

2
Volume 11, Nomor 5, November,2022
Etika secara terminologis berasal dari kata “etika” berasal dari bahasa Yunani yang
terdiri dari dua kata yaitu (Ethos dan Ethikos) yang berarti “adat istiadat” atau
“kebiasaan”. Dalam arti ini, etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara
hidup yang baik, baik dalam diri seseorang atau masyarakat. Kebiasaan hidup ini dianut
dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain. Ada juga yang mengartikan bahwa
etika berasal dari bahasa latin dari kata Ethicus, yang berarti kesusilaan atau moral,
maksudnya adalah tingkah laku yang ada kaitannya dengan norma-norma sosial yang ada
di dalam masyarakat, baik yang sedang berjalan maupun yang akan terjadi. Sedangkan
dalam bahasa Arab kata etika dikenal dengan istilah akhlak, artinya budi pekerti.
Sedangkan dalam bahasa Indonesia disebut tata Susila. Etika juga mengajarkan tentang
keluhuran baik-buruk. Banyak istilah yang menyangkut dengan etika, dalam bentuk
tunggal banyak memiliki arti, yaitu tempat tinggal yang biasa, kebiasaan, adat, watak,
perasaan, sikap, dan cara berpikir. Dalam bentuk jamak kata ta-etha artinya kebiasaan, arti
ini menjadi bentuk penjelasan etika yang oleh Aristoteles sudah dipakai untuk
menunjukkan istilah etika. Jadi, jika dibatasi asal-usul kata ini, etika berarti ilmu tentang
apa yang bisa dilakukan dan ilmu tentang adat kebiasaan.
Cara berkomunikasi masyarakat Minangkabau juga mengandung nilai etika yang
masih kental hingga saat ini. Bahkan orang Minangkabau dalam menempatkan
komunikasi sebagai bagian yang sangat penting dalam kebudayaannya, dengan
menggunakan istilah khusus yaitu “ kato” yang mana artinya adalah komunikasi. Oleh
karena itu dalam praktiknya dalam penggunaan kato tersebut menuntut pemahaman yang
bernilai tinggi dan mempunyai arti yang mendalam. Mereka yang mampu melakukan
komunikasi dengan baik dapat mengangkat derajat mereka lebih tinggi di mata orang lain
dan demikian pula sebaliknya. Oleh karena itu, mereka yang mempunyai kemampuan
berkomunikasi dikaitkan dengan budi pekerti yang mencakup akal pikiran, hati nurani dan
sejarah hidup orang tersebut. Dalam kebudayaan Minangkabau, yang menjadi acuan bagi
orang Minangkabau dalam menjaga norma kesopanan dalam bahasa sehari-hari adalah
kato nan ampek (kata yang empat). Menurut Oktavianus, konsep kato nan ampek adalah
salah satu bentuk tatanan kehidupan bermasyarakat di Minangkabau.2 Menurut Aslinda
dalam Revita, kato nan ampek merupakan aturan tuturan dalam bahasa Minangkabau yang
penggunaannya tergantung pada hubungan sosial yang terjadi antara penutur dengan mitra
tutur dalam kehidupan sehari-hari.
Pemilihan bentuk tuturan kata dalam kato nan ampek dipengaruhi oleh norma-
norma kesopanan yang terdiri atas kato mandaki, kato manurun, kato malereng, dan kato
mandata. Kato mandaki adalah kata yang digunakan oleh orang yang lebih muda yang
ditujukan kepada orang yang lebih tua dari penutur. Kata mendaki ini biasanya digunakan
oleh seorang anak kepada orang tua, kemenakan kepada mamak, adik kepada kakak,
murid kepada guru, mahasiswa kepada dosen dan lain-lain. Kato Manurun (kata menurun)
adalah kata yang digunakan oleh orang yang berusia lebih tua kepada orang yang berusia
lebih muda, seperti dari orang tua kepada anak, mamak kepada kemenakan, guru kepada
murid, dan dosen kepada mahasiswa dan lain-lain. Walaupun usia tutur lebih muda dari
usia penutur, ketika dalam pembicaraan orang yang berusia lebih tua harus tetap menjaga
kesopanan bahasanya agar lawan tuturnya tetap merasa dihargai dalam pembicaraan
tersebut.
Kato malereng (kata malereng) adalah digunakan untuk orang yang disegani
seperti mamak rumah kepada sumando mertua kepada menantu. Dalam menyampaikan
kata malereng ini dituntut untuk menggunakan kiasan dalam menjaga kesopanan
berbahasa kepada lawan bicara tersebut. Kato mandata (kata mendatar) dalam kata ini
digunakan kepada teman sebaya. Dalam proses penyampaian kato mandata bisa lebih
bebas, karena penutur dan mitra tutur berada dalam tingkat usia yang sama. Jika dilihat
dari unsur bahasa, kato nan ampek ini berhubungan erat dengan faktor-faktor sosial

3
Volume 11, Nomor 5, November,2022
budaya masyarakat dan aturan yang mengikat seperti yang dipahami oleh orang
Minangkabau itu sendiri. Revita menyatakan bahwa norma interaksi ini merupakan aturan
yang berlaku secara umum, objektif, bersifat mengikat dan harus dipatuhi serta diikuti
oleh pengguna bahasa itu sendiri. Memperlakukan orang dari bahasa sesuai dengan
kapasitasnya masingmasing adalah salah satu bentuk apresiasi yang pada akhirnya dapat
menciptakan kelanggengan hubungan sosial antara penutur bahasa tersebut.
Menurut Oktavianus, menyebutkan bahwa bahasa dapat mencerminkan suatu
realitas ditengah-tengah masyarakat penuturnya. Berdasarkan penggunaan bahasa tersebut,
maka sangat banyak bentuk bahasa Minangkabau yang dihasilkan dalam bentuk
kesusastraan yang berkembang di Minangkabau. Bahasa Minangkabau dalam bentuk
sastra atau tulis tidak terlepas dari norma-norma yang ada dalam tuturan lisan karena pada
dasarnya pengembangan Bahasa Minangkabau tersebut pengembangannya melalui mulut
ke mulut. Adapun bentuk-bentuk kesusastraan Minangkabau tersebut diantaranya adalah
petatah petitih, indang, pidato adat, pantun, dendang, teka-teki, mamangan kaba, dan lain
sebagainya. Bahasa Minangkabau yang digunakan dalam pertuturan sehari-hari
menggunakan ujaran tidak langsung, kiasan, sindiran, dan perumpamaan. Revita
menyebutkan bahwa dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau bertutur
kepada lawan bicaranya cenderung tidak berterus terang. Oktavianus juga menjelaskan
bahwa penggunaan ungkapan itu bukan hanya sebagai medium penyampaian informasi
saja, tetapi lebih dari sekedar penyampaian yaitu sebagai medium pentransferan nilai-nilai
yang terkandung dalam tuturan tersebut seperti mengungkapkan rasa kesal, marah, emosi,
gembira dan sedih.
Bahasa kieh (kias) merupakan salah satu cara tutur masyarakat Minangkabau.
Bahasa kias tersebut hadir dalam bentuk perbandingan, sindiran, persamaan dan analogi.
Bahasa kieh juga dapat disebut dengan bahasa hikmah yang tidak dapat dipahami oleh
akal sehat saja. Pemilihan gaya bahasa kias ini ditentukan oleh suasana psikologis penutur
dan strategi komunikasi yang digunakan penutur. Menurut oktavianus, kias dalam bahasa
Minangkabau diperkirakan memiliki keberagaman bentuk dan kekayaan alam berupa flora
dan fauna. Keberagaman bentuk kias tersebut juga disebabkan oleh variasi-variasi bentuk
lingual yang bersifat dialektikal dalam bahasa Minangkabau.
A. Nilai-nilai Kato Nan Ampek
Sebagaimana yang telah dipahami bahwa ajaran adat Minangkabau mempunyai
prinsip ajaran budi dan malu yang banyak berorientasi kepada moral dan akhlak sesuai
dengan ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. Sehingga dalam mengamalkan
ajaran kato nan ampek sejalan dengan kebijaksanaan dalam berhubungan dan
berinteraksi dengan orang lain. Adapun empat nilai-nilai dari kato nan ampek itu
sendiri yaitu:
1. Nilai raso Nilai raso adalah suatu nilai yang mana kita harus saling menghargai satu
sama lain. Wanita Minang diharuskan untuk selalu menghargai diri sendiri dan
orang lain, raso juga terlihat dari terbinanya rasa kemanusiaan dan saling
menghormati sesama teman, baik yang satu tempat tinggal maupun yang berlain
daerah, nan elok di awak katuju dek urang, yang artinya baik bagi kita orang lain
pun suka dengan kebaikannya. Ini juga bertujuan dengan menghargai diri sendiri
dulu baru lingkungan sekitar. Contohnya penggunaan kato nan ampek (kato
mandaki, kato manurun, kato malereng, dan kato mandata), kata ini sesuai dengan
fungsinya sebagai salah satu bentuk perilaku berbahasa yang memiliki makna
hormat menghormati kepada lawan bicara kita, khususnya kepada yang lebih tua.
2. Nilai parriso Nilai ini terlihat dari kemampuan seseorang dalam membina arti dari
pentingnya kata sakato yang melahirkan persatuan, kekompakan, kerjasama dan
saling terbinanya prinsip untuk saling bertukar pemikiran dan setiap permasalahan
dapat diselesaikan dengan cara bermusyawarah dan mufakat dalam setiap

4
Volume 11, Nomor 5, November,2022
mengambil keputusan. Hal inilah yang tertanam dalam jiwa orang Minangkabau,
dengan adanya nilai parriso maka selalu menjaga persatuan dan kerjasama antar
sesamanya.
3. Nilai malu Nilai ini terlihat dari malunya wanita Minang apabila setiap perbuatan
dan tindakannya diluar kepatutan. Wanita Minangkabau adalah limpapeh rumah nan
gadang, maksudnya wanita Minang sangat dihormati dan dijaga oleh Mamaknya.
Apabila dia melakukan hal yang diluar batas kewajaran maka semua keluarga akan
malu dengan perbuatan tersebut. Wanita Minangkabau harus bersyukur dan
menghargai bentuk tubuhnya. Dengan menjaga aurat, menggunakan pakaian yang
tertutup dan santun, pekerjaan dan tingkah lakunya haruslah menutup aurat. Ia pun
harus bersikap baik dan selalu menjaga diri dari hal-hal yang dilarang oleh adat dan
agama.
4. Nilai sopan Nilai sopan terlihat dari sikap tolong menolong, empati, dan simpati
masyarakat Minangkabau sehingga mereka mampu merasakan apa yang dirasakan
oleh orang lain. Sopan, juga diwujudkan dengan kesadaran untuk bersikap sesuai
dengan aturan. Contohnya dalam hal duduk, berjalan, berbicara, dan lain
sebagainya. Sopan santun merupakan hal yang harus dijaga oleh wanita Minang,
yaitu etika cara berbicara kepada orang yang lebih tua atau kepada sesamanya, etika
cara bergaul atau bersosialisai dengan memperhatikan nilai tersebut.
Nilai-nilai yang terdapat dalam berbagai aspeknya yaitu, hierarki, status, ruang,
waktu dan moral. Adapun aspek-aspek tersebut adalah sebagai berikut:
1. Aspek Hierarki yaitu komunikasi yang dibedakan berdasarkan penghormatan
terhadap pasangan yang di ajak berbicara.
a. Kata mandaki diaplikasikan dalam komunikasi dengan orang yang paling
dihormati seperti orang tua, ulama, penghulu, dan guru. Komunikasi dengan
kato mandaki cenderung lebih bersifat formal.
b. Kata menurun diaplikasikan dalam komunikasi dengan seseorang yang berstatus
rendah tingkatannya seperti, anak buah, saudara yang paling kecil, murid, dan
lainnya.
c. Kata mendatar diaplikasikan dalam komunikasi seseorang yang seumuran atau
seangkatan. Seperti, teman-teman sepermainan, kata-katanya cenderung lepas,
bebas, dan santai.
d. Kata malereng diaplikasikan dalam berkomunikasi dengan seseorang yang
disegani, seperti, mamak rumah, sumando, mertua, dan menantu.
2. Aspek status
a. Penghulu atau pangulu. Status dari penghulu adalah sebagai kepala dari
kaumnya. Maka komunikasi yang digunakan penghulu lebih bersifat penegasan
atau berupa keputusan kepada yang dipimpinnya (kemenakan).
b. lama. Ulama adalah seorang yang alim atu berilmu agama di dalam nagari
Minangkabau. Tugas ulama adalah menyampaikan syiar Islam kepada seluruh
masyarakatnya. Oleh karena itu ucapan ulama tidak lepas dari al-Qur‟an dan
Sunnah nabi Muhammad SAW,gaya bicara yang dipakai oleh ulama kepada
kaumnya adalah penegasan serta mengajak kepada kebaikan.
c. Dubalang. Yaitu orang yang dekat atau tangan kanan dari penghulu tersebut.
Komunikasi yang digunakan dubalang adalah memperkuat apa yang disampaikan
oleh penghulu kepada masyarakatnya. Dubalang boleh berbicara keras-keras
dengan ekpresi yang tegas, sedangkan pengulu haruslah berbicara lemah lembut
kepada yang dipimpinnya karena citra seorang penghulu lebih kepada pribadi
yang lemah lembut tapi tegas.
d. Bundo kanduang, yaitu seorang ibu yang melahirkan anak-anaknya dan menjadi
istri bagi suaminya. Bundo kanduang adalah pendidik pertama bagi anaknya

5
Volume 11, Nomor 5, November,2022
dalam berkomunikasi. Ibu harus menyampaikan kata-katanya dengan penuh rasa
sayang dan lemah lembut, tegas dan memberikan pengetahuan bagi anak. Inilah
yang disebut dengan kata bundo atau kata ibu.
e. Orang-orang tua, adalah mereka yang ada sebelum ayah dan ibu kita, mereka
yang memberikan pengetahuan awal kepada ibu dan ayah kita. Kata-kata mereka
selalu berisi pesan-pesan yang mana berangkat dari pengalaman hidup mereka.
Dan ucapan mereka dikenal dengan kato rang tuo-tuo.
f. Pasangan, adalah orang yang telah memiliki hubungan yang namanya
pernikahan. Bagi pasangan yang menikah dibolehkan mengucapkan kata-kata
yang khusus dan sensual.
g. Anak-anak, adalah orang yang masih kecil. Biasanya mereka berkomunikasi
menggunakan bahasa yang sesuai dengan usianya. Apabila ada orang dewasa
yang masih bersifat kekanakan dalam gaya komunikasinya mereka dianggap
berbuat tidak pada tempatnya.
3. Aspek waktu
a. Waktu lapang (wakatu lapang), yaitu komunikasi yang dilakukan dalam waktu
senggang, tidak terburu-buru, santai dan rilek. Di waktu lapang orang yang
berbicara dapat bercanda atau mengurangi efisiensi penggunaan kalimat.
b. Waktu sempat (wakatu sampik), yaitu komunikasi yang digunakan pada saat
momen berbicara tidak luas atau tidak banyak buat membahas pembicaraan, dan
apa yang mau dibicarakan pun sangat terbatas.
c. Waktu senang (wakatu sanang), yaitu komunikasi ketika pembicaraan dilakukan
dengan perasaan senang atau gembira, sehingga orang dapat melepaskan
candaannya dan gurauan yang bersifat memojokkan.
d. Waktu sedih (wakatu sedih), yaitu komunikasi yang dilakukan ketika sedih. Saat
ini orang sedang mengalami kedukaan yang mendalam, seperti waktu kematian,
waktu kemalingan, kecelakaan. Pada waktu ini kita harus jauh dari kalimat
candaan dan tertawa pun jadi tindakan yang dilarang.
4. Aspek moral
a. Ucapan awal (kato daulu), yaitu ucapan yang pertama kali kita buka saat memulai
pembicaraan, karena dianggap mengandung kejujuran.
b. Ucapan kemudian (kato kudian) yaitu kata yang ucapannya disampaikan di
belakang, kato kudian bersifat membantah kato yang pertama. Kato kudian
dianggap memiliki kejujuran yang rendah. Kata pepatah mengatakan kato kudian
kato dicari, artinya kata yang muncul belakangan dianggap kata yang di cari-cari
karena tidak lagi mengacu kepada ucapan yang sesungguhnya, kata belakangan
sering di buat-buat dan di karang-karang.
c. Pongah adalah sikap yang tidak baik dalam berkomunikasi. Kata pongah juga
diibaratkan orang yang selalu meninggikan kata-katanya, menganggap orang lain
bodoh, tidak setara dengannya. Orang yang suka membanggakan keluarga, harta,
dan jabatannya juga disebut pongah.
d. Merendah, sifat merendah ini adalah sifat yang gaya berkomunikasinya orang
yang berilmu. Dalam pepatah dikatakan bahwa makin berisi makin merunduk,
artinya seorang yang berilmu makin diisi makin berilmu. Orang yang suka
merendah adalah orang yang memakai ilmu padi.
e. Jujur, adalah sifat yang paling terpuji yang ada dalam diri setiap orang yang
memilikinya. Jujur dalam berkomunikasi menjadikan salah satu nilai yang paling
baik. Namun kalau terlalu jujur juga tidak baik bagi dirinya, misalnya ada aib
seorang teman yang mana dia sudah berjanji untuk tidak membicarakannya
dengan orang lain maka karena kepolosan dan kejujurannya dia mengatakan hal
yang tidak seharusnya dikatakan. Jujur seperti itu juga tidak baik. Jujurlah pada

6
Volume 11, Nomor 5, November,2022
tempatnya.
f. Bohong (duto) dalam hal ini contoh perilaku yang tidak terpuji maka dalam
berkomunikasi tidak dibolehkan untuk berbohong. Orang yang berbohong tidak
akan dipercaya oleh orang lain. Karena kalau sudah berkali-kali membohongi
orang lain seterusnya dia tidak akan percaya lagi. Pepatah mengatakan bahwa
sakali lancuang kaujian, saumua hiduik urang ndak ka picayo.
B. Penggunaan Kato Nan Ampek
Menurut Navis, dalam Bahasa Minangkabau terdapat langgam kata, yaitu
semacam kesantunan berbahasa dan bertutur seseorang kepada lawan bicaranya dengan
status social masing-masing. Hal ini tidak adanya Bahasa bangsawan dan Bahasa
rakyat, tetapi perbedaan pemakaiannya ditentukan dengan siapa lawan bicaranya. Ada
empat langgam kata yang dipakai oleh orang minang, yaitu kata mendaki, kata
melereng, kata menurun dan kata mendatar. Kata mendaki adalah Bahasa yang
digunakan untuk lawan bicara yang lebih tua atau orang yang lebih dihormati, seperti
orang yang lebih muda kepada orang yang lebih tua, murid kepada gurunya, dan
mahasiswa kepada dosennya. Penggunaan tatabahasa lebih rapi, ungkapannya jelas,
dan penggunaan kata ganti orang pertama, kedua, dan ketiga bersifat khusus, ambo
untuk orang pertama, panggilan kehormatan untuk orang yang lebih tua yaitu: mamak,
inyiak, uda, tuan, uni, etek, amai serta baliau untuk orang ketiga.
Kato malereng adalah gaya Bahasa yang digunakan untuk lawan bicara lebih
dihormati dan disegani secara adat dan budaya. Tatabahasa yang digunakan lebih rapi,
lebih banyak menggunakan peribahasa, seperti perumpamaan, kiasan atau sindiran.
Kata pengganti orang pertama, kedua dan ketiga juga bersifat khusus. Wak ambo untuk
orang pertama, gelar dan panggilan kekerabatan yang diberikan keluarga untuk orang
kedua. Dan baliau untuk orang ketiga. Kato manurun adalah Bahasa yang digunakan
untuk lawan bicara yang lebih muda, seperti membujuk anak kecil, mamak kepada
kemenakannya, guru kepada muridnya, dan atasan kepada bawahan. Pemakaian kato
manurun ini rapi, tetapi dengan kalimat yang lebih pendek dari pada kata mendaki.
Kata ganti orang pertama, kedua dan ketiga juga bersifat khusus. Wak den atau awak
den atau wak aden, (asalnya dari awak aden) untuk orang pertama. Awak ang atau wak
ang adalah untuk orang kedua laki-laki, awak kau atau wak kau adalah untuk orang
kedua perempuan. Wak nyo atau awak nyo untuk orang ketiga. Kata mandata adalah
Bahasa yang digunakan dalam komunikasi biasa dengan lawan bicara yang seusia.
Pemakaian bahasanya yang lebih cenderung memakai suku kata terakhir atau kata-
katanya tidak lengkap yaitu den atau aden untuk orang pertama. Ang untuk orang
kedua laki-laki. Kau untuk orang kedua perempuan. Dan inyo untuk orang ketiga.
Menurut Moussay, bahwa penggunaan tatabahasa atau “acuan persona” Bahasa
Minangkabau berbeda dengan Bahasa lain. Penggunaan tersebut sangat beragam karena
diujarkan dalam situasi yang berbeda.
Dalam Bahasa Minangkabau, penggunaan kato nan ampek tidak hanya dikaitkan
dalam bentuk khusus. Orang minang juga memiliki beragam kata yang dipakai dari
berbagai kosakata, seperti kekerabatan dan status social. Adapun contoh penggunaan
kato nan ampek yaitu:
Den indak dapek pai jo ang
Uni indak dapek pai jo adiak
Ambo indak dapek pai jo angku
Awak indak dapek pai jo uda
Keempat ujaran tersebut memiliki arti „saya tidak dapat pergi dengan kamu‟.
Namun dalam Bahasa Minangkabau ujaran tersebut memiliki bentuk atau cara yang
digunakan untuk menunjuk diri sendiri atau orang lain, karena disampaikan dalam
situasi yang berbeda. Pada kalimat pertama, kata-kata yang ditujukan oleh anak muda

7
Volume 11, Nomor 5, November,2022
kepada teman sebayanya. Ia menggunakan bentuk khusus den „saya‟ dan ang „kamu‟
yang berkonotasi keanggraban. Penggunaan kalimat ini disebut dengan kato mandata.
Pada kalimat kedua seorang perempuamn berbicara kepada adik lakilakinya. Ia
menggunakan kekerabatan sebagai istilahnya. Kalimat yang digunakan yaitu, uni
„kakak‟ dan adiak „adik‟. Penggunaan kalimat ini disebut dengan kato manurun. Pada
kalimat ketiga, seseorang berbicara kepada penghulu, yaitu orang yang disegani
didalam adat tersebut.Ia menggunakan istilah angku „engku‟ yang didalam budaya
Minangkabau sapaan tersebut khusus ditujukan kepada penghulu atau pemimpin dalam
nagari tersebut. Kalimat tersebut disebut dengan kato malereng. Pada kalimat keempat,
seorang istri yang berbicara kepada suaminya, ia menggunakan bahasa awak untuk
menunjukkan dirinya sendiri, sedangkan istilah uda „kakak laki-laki‟ untuk menunjuk
suaminya. Kata uda dan awak berkonotasi keakraban. Kalimat ini disebut dengan kato
mandaki.
KESIMPULAN
Kato nan ampek adalah tutur bahasa orang Minang dalam berkomunikasi, dan
menjadi pedoman bagi semua yang terlibat didalamnya. Kato nan ampek juga menjadi
falsafah hidup orang Minangkabau dalam kehidupan sehari-hari. Kato atau kata
merupakan istilah operasional yang mewakili pesan untuk sesuatu. Kata unsur pokok
dalam komunikasi. Kato nan ampek dalam budaya Minangkabau adalah identitas orang
Minang dalam menentukan ukaran atau standar yang dipakai dalam berinteraksi. Kaidah
etika dalam interaksi sosial perlu diperhatikan etika berkomunikasi dengan orang tua,
orang yang dituakan, teman sejawat dan orang di bawah kita.

DAFTAR PUSTAKA
Amir, Adat Minangkabau “Pola dan tujuan hidup orang Minang” Jakarta: Citra Harta
Prima, 2011
Hadijah, L. (2019). Local Wisdom in Minangkabau Cultural Tradition of Randai. KnE
Social Sciences, 2019, 399–411. https://doi.org/10.18502/kss.v3i19.4871
Hakimy, Idrus. Rangkaian Mustika Adat Basandi Syara‟ di Minangkabau
Navis, A. A. Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau, Cet. 1
Jakarta: Temprint, 1984.
Oktavianus & Revita, Kesantunan dalam Bahasa Minangkabau FIB Unand: Minangkabau
Press, 2013. Oktavianus. Bertutur Berkias dalam Bahasa Minangkabau Sumatera
Barat: Minangkabau Press, 2013.
Yuspita, E. (2021). Kato Nan Ampek : A Professional Counseling Communication Model
Based on Minangkabau Cultural Values. Indonesian Journal of Creative Counseling,
1(1), 8–14.
Yusri, F., Firman, F., & Nirwana, H., & Mudjiran, M. (2021). Students’ Application of
Kato Manurun Communication Ethics with Minangkabau Culture. Review of
International Geographical Education Online, 11, 842–850.
https://doi.org/10.48047/rigeo.11.08.73
Wahyudi Rahmad & Maryelliwati, Minangkabau (Adat, Bahasa, Sastra dan Bentuk
Penerapan),Padang: STKIP PGRI Sumbar Press, 2016.

Anda mungkin juga menyukai