Anda di halaman 1dari 5

Hasil Pemikiran dan Karya-karyanya

Ketekunan serta kegemaran Montesquieu dalam menulis membuatnya dikenal sebagai


seorang penulis yang andal. Ia telah memulai mengarang tulisan sejak usia 30 tahun dengan ciri
khasnya dalam gaya penulisan, pemikiran imajinatif, serta keberaniannya dalam
mengungkapkan pernyataan-pernyataan hipotesis maupun teoritis yang berbeda dengan para
pemikir di zamannya. Montesquieu dalam menulis karyanya, dipengaruhi oleh para pemikir
seperti karya-karya pemikir Yunani dan Romawi yang karyanya ia kagumi seperti Polybius, Levy,
Thucydides, Aristoteles, dan Machiavelli.

Hasil dari pengaruh tersebut menghasilkan karya-karya Montesquieu yang monumental


diantaranya adalah The Considerations on the Causes of the Grandeur and Decadence of the
Romans, The Persian Letters, serta Spirit of the Laws (Ahmad Suhelmi, 2019: hal 215).

Sejarah Kebangkitan dan Kejatuhan Romawi

Karya Montesquieu yang berjudul The Considerations on the Causes of the Grandeur
and Decadence of the Romans, merupakan buku yang berisi tentang karangan-karangan yang
mebahas mengenai sebab kebangkitan dan kejatuhan Romawi yang pertama kali diterbitkan
pada tahun 1743. Buku tersebut tidak teralu populer dan tidak banyak dikagumi oleh banyak
orang pada saat itu. Pada buku tersebut Montesquieu berpendapat bahwa untuk memahami
sebab kejayaan maupun kehancuran Romawi tersebut haruslah memahami kondisi masyarakat
secara menyeluruh. Menurutnya Roma bukanlah sebuah kota, melainkan sebuah tempat
pertemuan umum dimana masyarakat didalamnya dapat berkumpul dan membicarakan
berbagai macam persoalan sosialkemasyarakatan secara bebas.

Dalam melacak sejarah kebangkitan Romawi tersebut, Montesquieu tidak menggunakan


pendekatan sejarah linear yaitu menggunakan metode yang melihat sejarah secara kronologis
dari awal sampai akhir. Namun, ia meyakini bahwa sejarah merupakan gerak perubahan yang
menunjukkan keputusan (discontinuity), bukan suatu kesinambungan (continuity) (Ahmad
Suhelmi, 2019: hal 216). Sehingga Montesquieu melakukan penelitian mendalam mengenai
sebab-sebab umum berbagai macam peristiwa pada sejarah Romawi tersebut, bukan hanya
fokus pada satu sebab khusus yang mungkin saja merupakan suatu kebetulan sejarah.

Lalu Montesquieu berpendapat jika pembentukan lembaga-lembaga sosial dan politik


dipengaruhi dengan adanya berbagai macam pemikiran serta perasaan-perasaan yang saling
terhubung satu sama lain secara erat. Oleh karena itu, Montesquieu melihat bahwa kejayaan
dan kehancuran Romawi tidak dapat disebabkan oleh salah satu faktor saja. Seperti Agama
misalnya yang bisa mempengaruhi pembentukan cara dan bentuk pemerintahan ataupun
sebaliknya. Seperti halnya Machiavelli, Montesquieu juga merupakan orang yang mengagumi
semangat kebebasan, seni memerintah, dan juga seni perang khususnya keahlian bangsa
Romawi dalam memanipulasi agama serta kebijakan-kebijakan luar negeri yang digunakan
untuk kepentingan politik seperti contohnya Agama yang hanya digunakan sejauh utnuk
memperkokoh struktur nilai-nilai kekuasaan negara kota, apabilla Agama tidak memiliki fungsi
demikian maka tidak diakui keberadaannya.

Menurut Montesquieu, latar belakang kejayaan dan kajatuhan Romawi adalah karena
watak masyarakat Romawi tersebut yang suka berperang dan membunuh. Hal tersebt didukung
dengan kegigihan orang Romawi dalam berlatih kemiliteran hingga rakyat dan penguasa
Romawi merupakan kaum militer yang profesional. Kemahiran masyarakat Romawi tersebutlah
yang membuat imperium Romawi memiliki semagat berperang yang luar biasa untuk
menaklukkan bangsa-bangsa yang ada di sekitarnya seperti menjarah, merampok, hingga
mengambil alih tanah-tanah rakyat serta wanita-wanita.

Selain karna watak masyarakat Romawi tersebut, faktor moral juga cukup berpengaruh
terhadap kejatuhan Romawi. Karena kekejaman dan kebrutalan para penguasa atau kaisar
tersebut, rakyat menjadi menderita. Rakyat yang tertindas tersebut akhirnya berupaya untuk
menjatuhkan pemerintahan kaisar tersebut yang kemudian disusul dengan penyerangan kaum
Ghotic dan Persia setelahnya.
Surat-Surat Persia

Karya Montesquieu berjudul The Persian Letters atau Surat-surat Persia, merupakan
hasil refleksi dari kelanjutan dari semangat Abad Pencerahan yang memadukan rasionalisme
Descartes, empirisme Locke, dan skeptisme Pierre Bayle (Ahmad Suhelmi, 2019: hal 221).

Karya ini lebih kepada sebuah karya satire atau novel fiktif belaka yang dibuat oleh
Montesquieu berdasarkan pengamatannya terhadap kehidupan sosial sehari-hari rakyat,
pemuka agama, serta penguasa di tempat ia tinggal. Keunikan karya ini adalah dalam
penerbitannya, yaitu diterbitkan secara anonim atau tanpa nama pada tahun 1721 di
Amsterdam. Hal ini dilakukan Montesquieu karena ia merasa harus menyembunyikan
identidasnya demi menghindari dari kemungkinan ancaman hukuman keras yang akan datang
kepadanya. Meskipun karyanya dilarang beredar, pelarangan tersebut tidak efektif karena
karya Montesquieu tersebut diselundupkan secara ilegal ke Prancis.

Melalui karya ini, Montesquieu merefleksikan pengalamannya ketika mengunjungi


negara-negara tetangganya terutama Persia dan karya ini bertujuan untuk mengkritik serta
memberikan semangat untuk mengubah diri kepada rakyat dan penguasa Pranxis saat itu.
Dalam karyanya ia menggambarkan dua tokoh dengan nama orang Persia yaitu Usbek dan Rica.

Usbek yang merupakan nama suku Uzbekiskan digambarkan sebagai watak yang
memiliki kepribadian sebagai muslim ortodoks yang sangat taat dalam hal melaksanakan ritual
aneh. Usbek merupakan orang yang cerdas dan memiliki keinginan yang kuat untuk mencari
pengalaman serta pengetahuan di negeri asing. Namun ia merupakan orang yang depotik dan
memiliki banyak istri. Sedangkan Rica sahabatnya digambarkan sebagai seorang periang dan
pandai dalam membuat sketsa watak tokoh-tokoh tertentu. Rica tidak memiliki banyak istri,
mudah menyesuaikan diri, serta berusia lebih muda dari Usbek.

Dalm karyanya tersebut, Montesquieu mengkritik banyak sekali perihal, antara lain kritik
terhadap penguasa Prancis saat itu Louis XIV, Kepemimpinan Paus, Deportisme, dan juga
Agama terutama Islam dan Kristen yang menurutnya mengajarkan Fatalisme (kepatuhan dan
kepasrahan).
Semangat Hukum (Spirit of the Laws)

Karyanya yang kegita yaitu Spirit of the Laws merupakan buku yang paling monumental
yang memuat banyak gagasan Montesquieu yang belum pernah dielaborasi secara penuh
sebelumnya. Sebelum buku ini diterbitkan, buku ini terlebih dahulu diserahkan oleh
Montesquieu kepada teman-temannya untuk ditelaah dan dikritik. Setelah selesai membaca
buku tersebut, teman-temannya sepakat bahwa tulisannya tersebut dinilai tidak layak untuk
diterbitkan karena isi buku tersebut terlalu moderat dan cenderung membela penguasa
despotis. Namun Montesquieu tetap bersikeras untuk tetap menerbitkan tulisannya tersebut,
dan kemudian ia terbitkan pada tahun 1748. Dan ternyata bukunya tersebut menjadi karya
monumental abad XVIII, dikagumi oleh banyak orang, dan juga pada abad-abad selanjutnya
karya ini digunakan sebagai referensi kenegaraan di negara-negara Eropa, Amerika Serikat
bahkan Indonesia.

Spirit of the Laws terdiri dari tiga puluh satu buku yang dibagi menjadi enak bagian;
pertama: isinya berkaitan dengan hokum pada umumnya dan bentuk-bentuk pemerintahan,
kedua: membahas pengaturan militer, ketiga: membahas adat kebiasaan dan ketergantungan
aat kebiasaan itu pada kondisi alam dan iklim, keempat: membahas masalah perekonomian,
kelima: membahas masalah agama, keenam: merupakan suplemen yang berisi uraian tentang
hukum Romawi, hukum Prancis, dan Feodalisme (Ahmad Suhelmi, 2019: hal 226).

Gagasannya mengenai pengaruh iklim, ia menjelaskan bahwa terbentuknya perbedaan


tingkah laku serta perilaku sosial individu masyarakat disebabkan oleh faktor iklim dan letak
geografis. Ia memberikan contoh mengenai pola kehidupan yang berbeda antara masyarakat
yang tinggal di daerah dingin dengan daerah yang panas. Mulai dari bentuk rumah, cara
berpakaian, sampai makanan yang dikonsumsi. Sehingga Montesquieu beranggapan bahwa
ilkim panas dan dingin mempengaruhi dalam pembentukan karakter tiap individu. Iklim panas
akan membuat orang cenderung sensitif, pemalas, dan pemalu. Sedangkan ilkim dingin akan
membuat orang menjadi pribadi yang berani, kerja keras, dan tegar.

Dalam pemikirannya tentang politik, Montesquieu memberikan gagasannya mengenai


Trias Politika. Pemikirannya ini memiliki inti bahwa agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan
yang akan mebuat kekuasaan menjadi mutlak dan sewenang-wenang, maka dari itu kekuasaan
harus dipisahkan. Montesquieu membagi kekuasaan menjadi tiga bentuk; kekuasaan legistatif,
kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Pembagian tersebut sebelumnnya sudah pernah
dijelaskan secara mendalam oleh Roussau maupun John Locke. Hanya saja dalam beberapa
aspek tersebut terdapat perbedaan dimana John Lock yang tidak membahas tentang lembaga
yudikatif, tetapi lembaga federatif.

Seperti halnya John locke, Montesquieu juga berpendapat bahwa lembaga legislatif
bertugas sebagai lembaga yang bertugas dalam merumuskan undang-undang negara dan
merupakan refleksi kedaulatan rakyat. Namun lembaga legistatif menurut Montesquieu
berbeda dengan pengertian seperti yang kita ketahui sekarang ini, rakyat yang dimaksud adalah
sebagai dewan rakyat, yaitu orang-orang yang berposisi sebagai mediator dan komunikator
antara rakyat dan penguasa, bukan orang-orang yang mewakili rakyat. Gagasan Trias Politica ini
muncul karena prinsip kebebasan merupakan hal penting dalam pemikiran Montesquieu,
dimana pemikirannya tersebut merespon pada kekuasaan raja-raja yang bersifat absolut
sehingga terjadinya kekuasaan sewenang-wenang dan anti kritik yang membuatnya berpikir jika
kekuasaan raja haruslah dibatasi dengan adanya pembagian kekuasaan tersebut.

Aspek lainnya dari pemikiran Montesqieu adalah gagasannya mengenai hukum. Ia


memandang hukum sebagai sesuatu yang amat kompleks, selalu berubah, dinamik, dan tidak
statis. Hal itu disebabkan setiap hukum tergantung konteksnya; perbedaan tempat, waktu, adat
istiadat, dan tradisi suatu masyarakat yang akan menyebabkan suatu hukum berbeda (Ahmad
Suhelmi, 2019: hal 230).

Montesquieu berpendapat bahwa hukum memiliki dua sifat; yaitu umum dan khusus.
Hukum bersifat khusus artinya dalam penerapannya hukum pada konteks sosial tertentu perlu
melihat pada aspek-aspek seperti iklim, letak geografis, dan adat istiadat masyarakat tempat
diberlakukannya hukum tersebut. Kemudian hukum yang bersifat umum atau universal; yaitu
hukum yang dapat berlaku secara umum di semua masyarakat. (Ahmad Suhelmi, 2019: hal
231).

Referensi: Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2001

Anda mungkin juga menyukai