Anda di halaman 1dari 4

Namun, tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan untuk menjatuhkan hukuman.

Peristiwa hanya dapat dihukum apabila dinyatakan demikian oleh undang-undang.


Kejahatan tidak bisa dihukum tanpa undang-undang. Hukuman harus sebanding dengan
kejahatan, tidak boleh penyiksaan dan hukuman mati. Ide-ide Beccaria diadopsi dalam
Declaration des Droits de I`Homme tahun 1789, dalam kitab undang-undang Perancis
tahun 1795 dan 1810.

F. Mazhab Romantik
Perkembangan hukum abad XIX tidak sepenuhnya disebabkan oleh pengaruh
romantic, tetapi aliran kejiwaan ini penting bagi perkbangan hukum. Pada proses
perkembangan ini di temukan suatu kritik hukum alam berbasis rasio universal
memunculkan hubungan baru antara penguasa dan warga negara yang lebih adil
daripada zaman Ancien Regim yang penuh ketidaksetaraan dan kesewenang-wenangan
penguasa pada abad XIX.
Dalam bidang hukum pidana, terdapat kemajuan besar dengan diberlakukannya
asas keabsahan menurut undang-undang dan penghapusan aspek irasional serta tidak
manusiawi seperti pengejaran perempuan tukang sihir, penyiksaan, dan hukuman mati
yang kejam. Namun, dalam bidang hukum privat, daya kerja hukum alam memiliki
kesulitan. Rasionalisme sering bertabrakan dengan kesadaran hukum dan monopoli
pembentukan undang-undang oleh negara menjadi penghalang perkembangannya.
Selain itu, terjadi keragu-raguan terhadap cita-cita Revolusi Perancis yang
berakhir dengan teror dan diktatur militer Napoleon. Kesetaraan Yuridis warga negara
telah terselenggara secara teroritis setelah kendala-kendala struktur korporasi
dihapuskan. Namun, kebebasan dan fraternitas bagi sebagian besar penduduk tidak
kentara.
Introduksi 'Vernunftrecht' di Jerman oleh raja-raja pencerahan seperti Frederik de
Grote dan Josef II, serta penguasaan sementara Perancis di bawah Napoleon,
menciptakan perasaan terhalau, terdesak, dan terampu di Jerman.
Ahli filsafat Kant dalam tulisannya "Kritik der reinen Vernunft" menyebut hukum
alam rasional sebagai targetnya. Herder (1744-1803) memperjuangkan kesadaran
historis dan jati diri nasional. Montesquieu juga menekankan pangaruh lingkungan alam
terhadap evolusi hukum bangsa.
Dalam hal ini, aliran "historische rechtsscule" di Jerman muncul untuk
mempelajari sejarah hukum sebagai hasil evolusi kesadaran hukum rakyat yang disebut
"VoIksgeist". Pengaruh aliran Historische Rechtsscule yang beragam dalam mazhab
sejarah, terutama dipengaruhi oleh pandangan Romantik yang diperkenalkan oleh von
Savigny. Mazhab ini sangat mengandalkan hukum Romawi yang terdapat dalam
Pandekten. Sebagai hasilnya, mazhab ini dapat dikatakan mengikuti revival studi klasik
dan humanisme pada abad XIX di Jerman. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri
bahwa pengaruh Romantik ini juga tampak dalam bidang lain kehidupan seperti seni dan
literatur, dengan mencela rasionalisme dan optimisme terhadap kemajuan manusia.
Gantinya adalah usaha untuk kembali ke nilai-nilai batin dan skeptisisme terhadap
kemajuan yang tak terkendali; bahkan menghidupkan kembali tradisi nasional yang
terwujud dalam kesalehan 'Volksgeist' yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah namun
dapat dihubungkan dengan jati diri bangsa

G. Positivisme
Positivisme adalah aliran kejiwaan yang berpengaruh sejak abad XIX hingga sekarang.
Asas-asasnya dirumuskan oleh August Comte, seorang filosof Perancis. Aliran ini
mencerminkan periode kultur Eropa yang ditandai oleh perkembangan pesat ilmu
eksakta dan penerapannya dalam teknik dan industri. Itu semua adalah pengejawantahan
gagasan kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan yang dipropagandakan oleh
kaum ensiklopedis dan filsuf kecerahan pada abad ke XVIII.
Comte menemukan bahwa perkembangan pemikiran manusia mengikuti tiga fase yang
terdiri dari ketentuan-ketentuan umum yang sudah ditetapkan, Pemahaman manusia
melalui tiga tahap teoritis berbeda: tahap teologis atau fiktif; tahap metafisis atau
abstrak; tahap ilmiah atau positif.
Bagi Comte, tahap ilmiah adalah tahap terakhir dan tertinggi dalam pemikiran
manusia, yang dicapai pada abad XIX. Konsep ini dapat digunakan secara umum untuk
membangun struktur sosial dan politik yang stabil setelah periode revolusi pada akhir
abad XVIII dan awal abad XIX.
Oleh karena itu, Comte sangat tertarik dalam merancang "fisika sosial atau sosiologi"
yang akan menyelesaikan pengetahuan ilmiah secara keseluruhan. Untuk
mempersingkat teks tersebut, dapat diubah menjadi: "Manusia perlu memperhomogen
dan menyaring pemikirannya, dengan menghilangkan aspek teologis, metafisis, dan
abstrak murni. Pengetahuan didasarkan pada fakta yang dapat diobservasi." Pemikiran
ilmiah berusaha menemukan hubungan dan ketentuan umum antara fakta melalui
metoda eksperimental.
Sikap ilmiah ditandai dengan batasan pada penyusunan, penertiban, dan
pengamatan fakta. Pertanyaan tentang sebab dan destinasi segala sesuatu tidak memiliki
makna di sini. Pengaruh sikap positivistis masih terasa dan ide evolusi manusia melalui
pandangan teologis yang irasional masih tetap menjadi skema yang menyakinkan untuk
menunjukkan perkembangan kultur.
Positivisme menolak pemikiran hukum alam rasionalistis dan menganggapnya
sebagai metafisis abstrak yang fundamental. Hukum dipandang sebagai fakta sosial yang
dapat diinterpretasikan secara utilitaristis. Positivisme filosofis juga memiliki hubungan
dengan positivisme yuridis, di mana objek studi ilmu pengetahuan hukum adalah
undang-undang positif yang diketahui dan disistematisasi dalam bentuk kodifikasi-
kodifikasi pada abad XIX. Pakar hukum Francois Laurent menyatakan bahwa hukum
adalah ilmu yang berhubungan dengan kestabilan ilmu pengetahuan yang seharusnya
berdasarkan pada teks-teks asli.

H. Marxisme-Leninisme
Ajaran Marx dan Engels diformulasikan pada abad XIX dan terdapat dalam karya-karya
seperti 'Das Kapital' dan Communistisch Manifest. Lenin mengadaptasi tulisan-tulisan
tersebut setelah Revolusi Rusia tahun 1917 dan kekacauan akibat Perang Dunia Pertama.
Stalin kemudian memperluas rezim politik berdasarkan interpretasi Marxisme di banyak
negara Eropa Tengah dan Timur sampai tahun delapan puluhan.
Pada akhir abad XIX, telah diusulkan dua pandangan revolusi, yakni pendekatan Lenin
yang mengharapkan aksi yang besar (dikenal sebagai Marxisme Leninisme) atau aksi
politik progressif dari partai politik yang diorganisir oleh buruh dengan tujuan merebut
kekuasaan atau setidaknya mempengaruhi proses pengambilan keputusan politik melalui
institusi yang ada, termasuk melalui pemilihan umum untuk memasukkan perwakilan
partai buruh ke dalam parlemen (disebut Sosialisme-demokratis atau demokrasi-
sosialis).
1. Ajaran Marxistis
Filosofi dasar ajaran Marxistis adalah 'materilisme dialektis' yang Marx ambil dari
Hegel. Penerapannya pada sejarah masyarakat disebut materialisme historis.
Pandangan ini mendasarkan pada materialisme dan meyakini bahwa materi adalah
elemen utama dalam kehidupan sosial dan sejarah manusia. Pandangan ini berhubungan
dengan evolusi interaksi sosial manusia pada masa itu. Evolusi dilihat sebagai kemajuan
yang terus menerus dan tidak teratur, seperti evolusi alam semesta yang pada abad ke-19
juga dianggap sebagai kemajuan berkelanjutan dari bentuk kehidupan yang lebih rendah
menuju yang lebih tinggi (evolusionisme). Pergaulan hidup manusia harus mengikuti
hukum-hukum ilmu pengetahuan alam agar sesuai dengan kodrat manusia.
Dasar infrastruktur termasuk bumi, sumber daya alam, alat dan perlengkapan
pertanian serta industri. Hubungan antara manusia dan alat-alat produksi disebut
perimbangan produksi. Menurut Marx dan Engels, gejala kejiwaan seperti seni, moral,
agama, negara, hukum, aliran pemikiran, adalah pencerminan produksi. Gejala-gejala
tersebut hanya merupakan bangunan atas yang berkembang seiring dengan hubungan
dan perimbangan produksi.
Hukum merupakan separangkat norma yang digunakan oleh kelas berkuasa untuk
mengendalikan produksi dan menjaga kepentingan diri sendiri. Negara dan hukum
digunakan sebagai alat untuk menindas mayoritas yang tidak memiliki kekuasaan.
Hukum adil tidak diperlukan dalam masyarakat ideal tanpa pemerasan.
Ide Marxist. Kritik terhadap filosofi Hegel, kritik terhadap filsafat hukum Hegel,
dan Manifesto Komunisme, yang disusun oleh Marx dan Engels pada tahun 1848 di
Brussel, berpendapat bahwa hukum hanya merupakan ekspresi kehendak kelas yang
berkuasa, khususnya kelas menengah yang memperhatikan kebutuhan sosial.
Namun, dalam kenyataannya, Yuridis dalam karya Marx hanya sedikit
dibahas.
Pandangan Marx tentang evolusi negara dan hukum dikembangkan lebih lanjut
dalam karya Engels: Tentang asal muasal keluarga, hak milik, dan Negara (1884).
Dalam masyarakat primitif, tidak ada kelas sosial, hukum, atau negara. Terjadi
pembagian kerja dan kelebihan yang memungkinkan orang tertentu fokus pada kegiatan
lain. Orang-orang ini menguasai alat-alat produksi dengan mengorbankan orang lain dan
membentuk dua kelas dalam masyarakat, yaitu kelas pemilik alat-alat produksi dan kelas
yang lain, sehingga terbentuk negara. Hukum dipandang sebagai serangkaian norma
yang digunakan oleh kelas berkuasa untuk menindas kelas yang dieksploitasi: Negara
adalah aparat yang diatur oleh kelas berkuasa untuk memberlakukan norma-norma ini
demi keuntungannya.
Sejarah hanya membahas pertentangan kelas dalam fase-fase perbudakan,
feodalisme, dan kapitalisme, dengan pemerasan kaum mayoritas oleh kaum minoritas.
Pembagian masyarakat ke dalam kelas- kelas dan pemerasan yang terjadi akibat harta
milik pribadi alat-alat produksi harus dihapuskan. Alat-alat produksi harus dimiliki oleh
persekutuan sepenuhnya untuk mencegah "pemerasan manusia oleh manusia" yang
merupakan ciri kapitalisme. Hal ini akan menghasilkan masyarakat tanpa kelas, di mana
setiap anggota bekerja sesuai kemampuan dan menikmati kesejahteraan sesuai
kebutuhan. Berkat moral tinggi manusia komunis baru dan produksi kolektif yang
melimpah, paksaan terhadap anggota masyarakat tidak diperlukan lagi. Negara dan
hukum alam akan lenyap dengan sendirinya. Untuk mencapai ini, diperlukan hukum
"sosialitas" yang disampaikan melalui diktator proletariat dan kemudian melalui
konsensus umum (negara seluruh rakyat)
2. Marxisme – Leninisme
Lenin menafsirkan "diktator proletariat" dalam arti yang berbeda dari Marx. Bagi Marx,
"diktator proletariat" adalah periode peralihan antara revolusi proletariat dan masyarakat
komunis, di mana mayoritas proletariat memegang kekuasaan atas minoritas yang
dulunya berkuasa. Namun, bagi Lenin, "diktator proletariat" bukanlah pemerintahan
mayoritas proletariat atas minoritas, tetapi diktatur kaum revolusioner profesional yang
mewakili kaum pekerja. Wujudnya adalah partai Bolshevik. Menurut interpretasi klasik
Marxisme, revolusi harus terjadi di negara-negara industris terdepan dengan jumlah dan
kekuatan proletariat yang besar, serta pertentangan kapitalisme yang mencapai
puncaknya. Lenin berpendapat bahwa diktator proletariat dapat dimanfaatkan dengan
merebut kekuasaan negara secara langsung dan menetapkan syarat-syarat yang
memungkinkan peralihan ke komunisme di masa depan. Diktator proletariat ini pada
dasarnya merupakan fase peralihan menuju pembangunan komunisme, tetapi sebenarnya
merupakan diktator partai yang bertujuan mendorong masyarakat menuju komunisme
dengan cara yang rasional dan ilmiah. Lenin berhasil merebut kekuasaan di Rusia pada
Oktober-November 1917 sebagai kepala partai Bolshevik.

3. Komunisme “Ilmiah”
Awalnya, Bolsyevis berpikir bahwa masa peralihan dari revolusi proletarisme ke
komunisme integral akan singkat. Namun, ketika itu tidak terjadi, beberapa fase
peralihan dirancang dan dilakukan secara berturut-turut. Ini menjadi bagian dari cabang
baru marxisme-leninisme pada tahun 1960-an menurut pemikiran ideologi Soviet.
Dikenal sebagai "komunisme ilmiah", fase peralihan ini menjaga keberadaan negara dan
hukum dengan tujuan mewujudkan masyarakat komunis yang telah ditetapkan

4. Negara – negara Sosialis


Uni Soviet memposisikan dirinya setelah Perang Dunia II sebagai kekuatan dominan di
Eropa dan dunia. Stalin membentuk blok "negara-negara sosialis" di Eropa tengah dan
timur yang mewujudkan masyarakat komunis. Hal ini menghasilkan tatanan hukum baru
yang disebut tatanan hukum Sosialistis. Ciri-ciri utama dari tatanan hukum ini adalah
monopoli kekuasaan partai Marxist-Leninist, rencana ekonomi yang tersentralisasi
dengan kepemilikan negara atas semua alat produksi, dan monopoli negara dalam
perdagangan dengan pandangan yang terbatas. Hak-hak manusia diundangkan secara
formal, namun hanya digunakan untuk tujuan rezim. Pengejaran tak berperikemanusiaan
terhadap kelompok dengan pemikiran lain dilakukan oleh institusi polisi rahasia politik
berkuasa. Krisis tahun delapan puluhan menyebabkan beruntuhan rezim Eropa Tengah
dan Timur pada tahun 1989. Negara-negara ini kembali mengadopsi tradisi nasional
dalam hukum.

Anda mungkin juga menyukai