Anda di halaman 1dari 102

HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

Fakultas Hukum
Universita Maarif Hasyim Latif
2017
Bab 1
Pengertian Hukum Administrasi Negara

A. Pengertian dan Istilah Administrasi


Obyek Hukum Administrasi Negara (HAN) adalah Negara, disamping Ilmu Negara dan
Hukum Tata Negara (HTN).

Teori-teori (ajaran-ajaran, faham-faham) mengenai timbulnya negara:


1. Teori-teori pada jaman Yunani Kuno. Dikemukakan oleh : a. Socrates; b.
Plato; c. Aristoteles; d. Epicurus; e. Zeno.
2. Jaman Romawi Kuno. Dikemukakan oleh : a. Polybius; b. Cicero; c.
Seneca.
3. Jaman Abad Pertengahan sebelum perang salib (abad ke v s/d XII).
Ajaran-ajaran yang timbul pada jaman ini bersifat teokratis mutlak, artinya
mendasarkan ajarannya itu kepada kekuasaan serta keagungan Tuhan.
Dikemukan oleh: a. Augustinus; b. Thomas Aquinas.
4. Jaman Abad Pertengahan sesudah perang salib (abad ke XII s/d XV).
Ajaran-ajaran yang timbul pada jaman ini sudah agak bersifat kritis, jadi
menjadi teokratis kritis. Ini disebabkan karena masuknya ajaran jaman
Yunani kuno, terutama ajaran Aristoteles pada waktu terjadinya perang
Salib. Dikemukakan oleh : a. Marsilius van Padua.
5. Jaman Renaissance (abad ke XVI). Pada jaman ini terjadi perubahan-
perubahan besar dalam ilmu pengetahuan, terutama dalam ilmu
kenegaraan. Hal ini terjadi karena timbulnya faham-faham baru yang
mampu mempengaruhi keadaan di banyak Negara. Faham-faham tersebut
adalah dari ajaran kebudayaan jaman Yunani Kuno dan Jerman Kuno.
Pengaruh tersebut tidak saja masuk dalam lapangan ilmu kenegaraan,
tetapi juga dalam lapangan keagamaan, sehingga menimbulkan
perubahan-perubahan besar. Dalam lapangan keagamaan menimbulkan
kaum Reformator, antara lain : a. Dante; b. Luther; c. Melanchthon;
d. Zwingli; e. Calvijn. Sedangkan dalam lapangan kenegaraan timbul
ajaran-ajaran dari : a. Niccolo Machiavelli; b. Thomas Morus; c. Jean
Bodin.
6. Kaum Monarkomaken (anti raja). Sebenarnya kaum ini tidak menentang
raja, tapi ekses dari kekuasaan raja yang absolut, antara lain ikut campur
dalam soal-soal keagamaan, dan bahkan menentukan kepercayaan apa
yang harus dianut, tujuannya adalah membatasi kekuasaan raja yang
absolut. Tokoh-tokohnya : a. Hotman; b. Brutus; c. Buchanan; c.
Mariana; d. Bellarmin; e. Suares; f. Milton; dan yang terpenting g.
Althusius.
7. Jaman berkembangnya Teori Hukum Alam abad XVII : (berfungsi
menerangkan). Tokoh-tokohnya : a. Grotius (Hugo de Groot); b.
Thomas Hobbes; c Benedictus de Spinoza; d. John Locke.
8. Jaman berkembangnya Teori Hukum Alam abad XVIII : (berfungsi
menilai). Tokoh-tokohnya : a. Frederick yang agung; b. Montesquieu;
c. Jen Jacques Rousseau; d. Immanuel Kant.
9. Jaman berkembangnya teori Kekuatan (Kekuasaan) .Teori ini berkembang
pada permulaan abad-abad modern. Tokoh-tokohnya adalah : a. F.
Oppenheimer; b. H. J. Laski.; c. Karl Marx.
10. Teori Positivisme. Teori ini merupakan reaksi terhadap teori-teori klasik
tradisional (yang disebut diatas). Tokohnya : Hans Kelsen.
11. Teori Modern. Teori ini sifatnya modern, karena sudah menyesuaikan
dengan keadaan serta perkembangan ilmu pengetahuan modern. Tokoh-
tokohnya : a. Prof. Mr. R. Kranenburg; b. Prof. Dr. J. H. A.
Logemann.

Teori Kedaulatan :
1. Teori Kedaulatan Tuhan (Gods-souvereinited)) abad ke V s/d XV. Teori ini sangat
erat hubungannya dengn perkembangan agama baru, yakni Kristen. Timbul dua
organisasi kekuasaan, yakni kekuasaan Negara yg diperintah oleh raja, dan
kekuasaan agama yang dikepalai oleh Paus. Tokohnya : a. Augustinus; b.
Thomas Aquinas; c. Marsilius. Augustinus berpendapat bahwa yang mewakili
Tuhan di dunia ini adalah Paus, Thomas Aquinas berpendapat bahwa
kekuasaan Raja dan Paus itu sama, hanya saja raja dalam lapangan
keduniawian, sedang Paus di lapangan keagamaan. Marsilius menitik beratkan
pada kekuasaan itu pada Negara atau raja.
2. Teori Kedaulatan Negara (Staats-souvereinited). Teori ini menyatakan, bahwa
kedaulatan itu tidak ada pada Tuhan (Gods-souvereiniteit), tetapi ada pada
negara. Negara di sini dianggap sebagai suatu keutuhan yang menciptakan
peraturan-peraturan hukum, jadi adanya hukum itu karena adanya Negara, dan
tidak ada satu hukumpun yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh Negara.
Tokohnya : a. Jean Bodin; b. Georg Jellinek. Jean Bodin berpendapat,
bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi terhadap para warga Negara dan
rakyatnya, tanpa suatu pembatasan apapun dari undang-undang, raja tidak
terikat oleh undang-undang (hukum positif), karena raja yang menetapkan
undang-undang. Kedaulatan itu adalah juga kekuasaan tertinggi untuk membuat
hukum di dalam suatu Negara. Kedaulatan memiliki sifat: Tunggal, Asli, Abadi,
Tidak dapat dibagi-bagi; Georg Jellinek juga berpendapat, bahwa hukum itu
merupakan penjelmaan daripada kehendak atau kemauan Negara. Jadi juga
negaralah yang menciptakan hukum, maka Negara dianggap satu-satunya
sumber hukum, dan negaralah yang memiliki kekuasaan tertinggi atau
kedaulatan.
3. Teori Kedaulatan Hukum (Rechts-souvereinited). Teori ini menyatakan, bahwa
yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara itu adalah hukum itu
sendiri. Tokohnya : a. Krabbe, berpendapat bahwa yang menjadi sumber
hukum itu adalah rasa hukum yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri. Rasa
hukum ini dalam bentuknya yang masih sederhana, jadi yang masih bersifat
primitive atau yang tingkatannya masih rendah disebut instink hukum. Sedang
dalam bentuknya yang lebih luas atau dalam tingkatnya yang lebih tinggi disebut
kesadaran hukum. Hukum tidak timbul dari kehendah Negara, dia memiliki
kepribadian tersendiri. Krabbe banyak terpengaruh aliran Historis, yang
berkembang setelah revolusi Prancis, yang dipelopori oleh Von Savigny, yang
menyatakan bahwa hukum itu harus tumbuh di dalam masyarakat itu sendiri,
berdasarkan kesadaran hukum yang terdapat dalam masyarakat. Aliran ini
menolak hukum yang dikodifikasi oleh Napoleon, oleh karena hukum tersebut
adalah hukum asing, yaitu hukum Romawi.
4. Teori Kedaulatan Rakyat. Tokohnya adalah J. J. Rousseau, menurutnya rakyat
bukanlah penjumlahan individu-individu dalam nagara, melainkan kesatuan yang
dibentuk oleh individu-individu tersebut melalui perjanjian masyarakat, yang
disebut kehendak umum atau volunte generale, yang dianggap mencerminkan
kemauan atau kehendak umum. Kedaulatan Rakyat, menurut Rousseau, pada
prinsipnya adalah cara atau system tertentu yang memenuhi kehendak umum.
Jadi kehendak umum itu hanyalah khayalan saja bersifat abstrak, dan kedaulatan
itu adalah kehendak umum itu.

Klasifikasi Negara:
1. Klasifikasi Negara Klasik-tradisonal : Monarki, Aristokrasi, Demokrasi.
2. Klasifikasi Negara Modern : Republik dan Monarki.
 Republik dg system pemerintahan rakyat secara langsung (system
referendum);
 Republik dg system pemerintahan perwakilan rakyat (system
parlementer);
 Republik dengan system pemisahan kekuasaan (system presidensil).
 Dan :
 Monarki dengan system pemerintahan absolutisme;
 Monarki terbatas;
 Monarki Konstitusional.

Susunan Negara:
1. Negara yang bersusunan tunggal, yang disebut Negara Kesatuan/Negara Unitaris.
Negara ini memang tidak tersusun dari beberapa Negara, namun hanya terdiri dari atas
satu Negara, sehingga tidak ada Negara di dalam Negara. Dengan demikian dalam
Negara kesatuan hanya ada satu pemerintah, yaitu pemerintah pusat yang mempunyai
kekuasaan serta wewenang tetinggi dalam bidang pemerintahan Negara, menetapkan
kebijaksanaan pemeritahan dan melaksanakan pemerintahan Negara baik di pusat
maupun di daerah-daerah.
Pada jaman purba, abad pertengahan, renaissance, hukum alam abad XVII maupun
XVIII, kekuasaan para penguasa pada umumnya bersifat absolute, dan masih
dilaksanakan asan sentralisasi dan asas konsentrasi.
 Asas Sentralisasi, adalah asas yang menghendaki bahwa segala kekuasaan serta
urusan pemerintahan itu milik pemerintah pusat.
 Asas Konsentrasi, adalah asas yang menghendaki bahwa segala kekuasaan serta
urusan pemerintahan itu dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat, baik yang ada
di pusat pemerintahan maupun yang ada di daerah-daerah.
Lalu memasuki abad perkembangan hukum alam, abad XVII dan XVIII, berkembang
usaha-usaha untuk membatasi kekuasaan para penguasa Negara, antara lain:
a. John Locke, dengan ajarannya hak asasi manusia;
b. Montesquieu, dengan ajarannya Trias Politika;
c. J.J. Rousseau dengan ajarannya Negara hukum; dan
d. Maurice Duverger, dengan ajarannya pemilihan dan pengangkatan para penguasa
Negara yang akan memegang dan melaksanakan kekuasaan Negara.
Dalam perkembangannya, karena Negara mengalami perkembangan, baik warga
Negara, wilayah, maupun urusan pemerinatahannya, maka dilaksanakanlah asas
dekonsentrari dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yaitu
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada pejabat-pejabatnya di daerah,
untuk melaksanakan urusan-urusan pemerintahan Pemerintahan Pusat yang ada di
daerah-daerah.
Dalam perkembangannya sampai dewasa ini pelaksanaan asas dekonsentrasi tersebut
melahirkan pembagian wilayah Negara dalam wilayah-wilayah administratif beserta
wilayahnya.
Dalam perkembangannya lebih lanjut, dilaksanakan pula asas desentralisasi, yaitu
penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau daerah otonom tingkat
atasnya kepada daerah otonom menjadi urusan rumah tangganya.
Pelaksanaan asas desentralisasi inilah yang malahirkan atau dibentuknya Daerah-
daerah Otonom, yaitu suatu kesatuan masyarakat hokum yang mempunyai batas
wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri.
Selain asas dekonsentrasi dan asas desentralisasi, juga dikenal asas Tugas
Pembantuan, yakni tugas untuk turut serta dalam melaksanakan pemerintahan yang
ditugaskan kepada Pemerintah Daerah Otonom oleh Pemerintah Pusah atau Daerah
Otonom tingkat atasnya dengan kewajiban memepertanggung-jawabkan kepada yang
menugaskannya.
Ketiga asas ini pada umumnya dilaksanakan di Negara-negara kesatuan.

2. Negara yang bersusunan jamak, yang disebut Negara Federasi, maksudnya Negara
ini tersusun dari beberapa Negara yang semula telah berdiri sendiri sebagai Negara
yang merdeka dan berdaulat, mempunyai Undang-undang sendiri serta pemerintahan
sendiri. Tetapi kemudian karena sesuatu kepentingan, entah kepentingan politik,
ekonomi atau kepentingan lainnya, Negara-negara tersebut saling menggabungkan diri
untuk membentuk ikatan kerja sama yang efektif. Namun disamping itu, Negara-negara
saling menggabungkan diri tersebut yang kemudian disebut Negara bagian, masih
ingin mempunyai urusan-urusan pemerintahan yang berwenang dan dapat diatur dan
diurus sendiri di samping urusan-urusan pemerintahan yang akan diatur dan diurus
bersama-sama oleh ikatan kerja samanya tersebut.

Negara Demokrasi Modern


Demokrasi kuno, yang disebut juga Demokrasi langsung, pada Yunani kuno,
berkembang mencapai demokrasi tidak langsung, demokrasi perwakilan, atau
demokrasi modern, ini terjadi pada abad XVII dan XVIII, maka dalam hal ini nanti akan
erat hubungannya dengan ajaran hukum alam. Terutama ajaran Montesquieu, yaitu
ajaran tentang pemisahan kekuasaan, yang kemudian terkenal dengan Trias Politika,
karena ajaran inilah yang justru menentukan daripada demokrasi modern; dan ajaran
Rousseau, yaitu ajaran kedaulatan rakyat, yang justru tidak dapat dipisahkan dengan
demokrasi.
Montesquieu mengemukakan adanya dua sifat daripada manusia yang berhubungan
dengan kekuasaan, yaitu:
1. Bahwa orang itu senang akan kekuasaan, apabila kekuasaan itu
dipergunakan atau diperuntukkan bagi kepentingan dirinya sendiri;
2. Bahwa sekali orang itu memiliki kekuasaan, ia senantiasa ingin memperbesar
kekuasaan tersebut.
Maka Montesquieu berpendapat harus dicari system pemerintahan di mana
kekuasaan yang ada pada Negara itu dipisah-pisahkan. Ini yang menjadi pokok
ajarannya yang disebut Trias Politika.
Montesqueieu membedakan adanya tiga jenis kekuasaan Negara, yaitu:
1. Kekuasaan yang bersifat mengatur, atau menentukan peraturan;
2. Kekuasaan yang melaksanakan peraturan tersebut;
3. Kekuasaan yang bersifat mengawasi pelaksanaan peraturan tersebut.
Ketiga kuasaan itu didistribusikan kepada beberapa organ:
1. Kekuasaan perundang-undangan diserahkan kepada badan legislatif;
2. Kekuasaan pelaksanaan diserahkan kepada badan eksekutif;
3. Kekuasaan pengawasan diserahkan kepada badan yudikatif.
Ajaran Trias Politika ditafsirkan dalam tiga macam:
1. Di Amerika Serikat: Perencana konstitusi berpendapat bahwa harus ada
pemisahan kekuasaan secara mutlak, secara sempurna, yang dikenal dg
sistem presidensiel;
2. Di Eropa Barat, disponsori Inggris: berpendapat bahwa antara organ
satu dengan lainnya ada hubungan timbal balik, khususnya legislatif dan
eksekutif, yang dikenal dengan sistem parlementer;
3. Di Swiss: berpendapat bahwa badan eksekutif hanya merupakan badan
pelaksana saja dari apa yang diputuskan badan legislative, yang dikenal
degan sistem badan pekerja (referendum).

Negara Autokrasi Modern


Negara ini juga sering disebut Negara dengan system satu partai, atau berpartai
tunggal. Autokrasi dalam pengertiannya yang asli/kuno dapat dikatakan sudah tidak
ada, sedang autokrasi modern ini sifatnya samar-samar karena mengkamuflir dirinya
seakan dari luar terlihat demokrasi modern.

Hakekat Negara
Negara dengan system autokrasi disebut memiliki hakekat suatu organisme, suatu
kesatuan yang mempunyai dasar-dasar hidup, serta kehidupan, kepentingan dan
kepribadian sendiri. Jika terjadi pertentangan antara kepentingan rakyat dan Negara,
maka rakyat yang dikalahkan.
Sedang Negara dengan system Demokrasi, berpandangan bahwa Negara itu pada
hakekatnya adalah suatu kumpulan atau kesatuan daripada individu. Jadi Negara
sifatnya sekunder, sedang individu primer.

Tujuan Negara
Tujuan Negara autokrasi adl menghimpun kekuasaan sebesar-besarnya pada Negara,
c.q. kepala Negara.
Sedang Sistem demokrasi dengan rumusan singkat bertujuan untuk mengusahakan
serta menyelenggarakan kebahagiaan serta kesejahteraan rakyatnya.

Badan Perwakilan Rakyat


Di Negara-negara fascist, pemilihan anggota badan perwakilan rakyat dimulai dari
pengajuan calon-calon sementara oleh kesatuan-kesatuan sosial yang ada dalam
Negara itu, yang diakui secara syah oleh Negara. Kesatuan-kesatuan social itu seperti
serikat pekerja, golongan militer, kaum buruh dll. Calon sementara diajukan kepada
Dewan Partai Fascist, yaitu organ pusat partai itu. Dewan partai memilih, memuat, lalu
memindahkan ke daftar calon tetap. Lalu calon tetap ditawarkan kepada rakyat pemilih.
Seperti pernah terjadi di Italy.
Di Negara-negara demokrasi modern, pemilihan atau pengangkatan anggauta-
anggauta, rakyat mempunyai peranan penting dlm menentukan secara langsung siapa
yang duduk dalam badan perwakilan rakyat.

Susunan badan perwakilan rakyat pada Negara autokrasi modern bersifat korporatif,
bukan wakil individu tapi wakil kesatuan social yang syah diakui Negara.
Di Negara demokrasi modern bersifat atoomistis, karena badan perwakilan rakyat adal
wakil dari rakyat pemilih.

Sifat kekuasaan badan perwakilan rakyat Negara autokrasi modern hanya pendukung
saja terhadap keputusan-keputusan badan eksekutif. Kekuasaan sebenarnya ada pada
badan eksekutif, yang sesungguhnya ada pada satu orang. Seperti pernah di Jerman
pada pemerintahan Nazi, pimpinan eksekutif (fuhrer), di jaman pemerintahan Hitler.
Maurice Duverger menamakan dua Weltanschaung itu dengan istilah: Individualisme
dan kolektivisme.

Pengertian Administrasi (Kamus Umum Bahasa Indonesia, J.S. Badudu & Sutan M.
Zain): tata usaha, urusan pemerintahan negeri atau suatu perusahaan; melakukan
administrasi, mengurus tata usaha.
Secara etimologis, Administrasi yg bahasa inggrisnya “Administration”, berasal dari kata
latin, yaitu: “Ad+ministrare” dan “Administratio”.
“Ad+Ministrare”: melayani, membantu atau memenuhi. Sedang “ Administratio”:
pemberian bantuan, pelaksanaan, pimpinan, pemerintahan. Jadi dpt diambil pengertian:
“bahwa Administrasi pada hakekatnya adalah usaha untuk menolong, usaha untuk
membantu, usaha untuk memimpin atau mengarahkan semua kegiatan dalam
pencapaian tujuan yang telah ditentukan.
Dalam arti sempit, Administrasi, merupakan kegiatan pencatatan, penyimpanan,
pengiriman dan reproduksi daripada surat-surat, data-data, informasi, berdasarkan
sistem dan cara kerja tertentu. Sekarang istilah yang tepat adalah: Ketata-usahaan.
Istilah Administrasi dlm hub dg aktivitas kenegaraan mempunyai arti luas sekali, yaitu:
semua aktivitas pemerintah mengenai tugasnya, menyelenggarakan kepentingan
umum.
Adapun dlm pengertian sehari-hari, memiliki arti pelaksanaan surat-menyurat mengenai
segala sesuatu dlm organisasi.
1. Dalam arti luas, dari kata “administration”:
a. Memimpin, menguasai, mengendalikan, malaksanakan hukum;
b. Melayani/mengatur kepentingan dengan berpedoman kepada peraturan hukum,
sebagai kekuasaan pemerintah guna mengatur kepentingan umum dan negara.
2. Fungsi Administrasi pada sebuah organisasi:
1. Fungsi Perencanaan;
2. Fungsi Pengorganisasian;
3. Fungsi Pengkoordinasian.
3 Pengertian Administrasi (kenegaraan), C.S.T. Kansil:
1. Sebagai aparatur negara, aparatur pemerintah, atau instansi politik (kenegaraan)
artinya meliputi organ yg berada di bawah pemerintah, mulai dari Presiden,
Menteri (termasuk Sekjen, Irjen, Gubernur, Bupati dsb) pokoknya semua organ
yg menjalankan administrasi negara;
2. Sebagai fungsi atau sebagai aktivitas, yaitu sebagai kegiatan pemerintahan
artinya sebagai kegiatan mengurus kepentingan negara;
3. Sebagai proses teknis penyelenggaraan UU meliputi tindakan aparatur negara
dalam menjalankan UU.

Kesimpulan pendapat C.S.T. Kansil


Pendapat C.S.T. Kansil dpt dipahami bahwa administrasi merupakan aparatur
pemerintaha diluar yudikatif dan legislatif, administrasi disini yakni merupakan aparatur
pemerintah di bidang eksekutif, dimana mereka itu dalam menjalankan kepentingan
negara didasarkan atas UU atau kata lain mereka itu menjalankan UU.
A. Unsur-unsur/sub-sub sistem administrasi:
1. Manusia;
2. Tujuan;
3. Tugas;
4. Kerjasama;
5. Sarana.

B. Pengertian Administrasi Negara


1. Administrasi Negara sebagai “apparatuur” daripada yg dikepalai dan digerakkan
oleh Pemerintah (Presiden) guna menyelenggarakan UU serta kebijaksanaan2
dan kehendak2 (Keputusan2) Pemerintah;
2. Administrasi Negara sebagai fungsi atau aktivitas, atau administrasi dalam arti
dinamis atau fungsional sbg fungsi hukum (juridische functie)adl pelaksana UU
scr konkrit, kasual dan individual;
3. Administrasi Negara sebagai suatu proses tata kerja penyelenggaraan atau
proses teknis.

Administrasi Negara menurut Nur Yanto, S.H., M.H.:


“Keseluruhan tindakan aparatur pemerintah dalam melakukan berbagai aktivitas atau
tugas-tugas negara berdasarkan UU atau berdasarkan peraturan di bawahnya, guna
mencapai tujuan yang telah ditentukan”.

C. Hukum Administrasi Negara


Letak HAN bisa dilihat dalam bidang-bidang hukum publik dan hukum privat:
Ilmu Hukum Publik:
1. Hukum Tata Negara;
2. Hukum Tata Usaha Negara/HAN;
3. Hukum Pidana;
4. Hukum Acara Pidana;
5. Hukum Acara Perdata, dan
6. Hukum Antar Negara.
Ilmu Hukum Privat: 1. Hukum Perdata.

Tujuan HAN:
1. Memberikan batasan dan kewenangan terhadap pejabat administrasi negara;
2. Memberikan perlindungan terhadap rakyat atau badan hukum perdata dari
tindakan sewenang-wenang pejabat administrasi negara.
Tujuan UU No. 30/2015 ttg Administrasi Pemerintahan:
a. Menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan;
b. Menciptakan kepastian hukum;
c. Mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang;
d. Menjamin akuntabilitas badan dan/atau pejabat pemerintahan;
e. Memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat dan aparatur
pemerintahan;
f. Melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menerapkan
AUPB; dan
g. Memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada warga masyarakat.

D.

Bab 2
Hubungan HAN dg Ilmu lainnya

A. HAN dg HTN.
Persamaan dan Perbedaan HTN dan HAN:
HTN:
1. HTN adl sekumpulan peraturan hukum yg menentukan badan-badan kenegaraan
serta memberikan wewenang itu kepada badan-badan tsb dr yg tertinggi sampai
yg terendah kedudukannya (C.V.Vollen Hoven);
2. HTN ialah keseluruhan aturan hk yg mengadakan alat-alat perlengkapan dan
mengatur kekuasaannya(J. Oppenheim);
3. HTN mengatur negara dlm keadaan pasif (Fritz Flener).

HAN:
1. HAN adl keseluruhan peraturan yg mengatur ttg aparatur pemerintah dlm
melakukan berbagai aktivitas atau tugas-tugas negara, guna mencapai tujuan yg
telah ditentukan;
2. HAN adl keseluruhan aturan-aturan hk yg menjalankan kekuasaannya, jd pd
asasnya mengatur negara dlm keadaan bergerak (staat in beweging);
3. HAN mengatur negara dlm keadaan bergerak (Fritz Flener).

E. Ruang Lingkup HAN


Menurut Prajudi Atmosudirdjo, ada 6 ruang lingkup:
1. Hukum ttg dasar-dasar dan prinsip-prinsip umum dari administrasi negara;
2. Hukum ttg organisasi negara;
3. Hukum ttg aktivitas-aktivitas dari administrasi negara, terutama yg bersifat
yuridis;
4. Hukum ttg sarana-sarana dr administrasi negara terutama mengenai
kepegawaian negan dan keuangan negara;
5. Hukum administrasi pemerintah daerah dan wilayah, yg dibagi menjadi:a/ H.A.
Kepegawaian, b/ H.A. Keuangan, c/ H.A. Materiil, d/ H.A. Perusahaan Negara;
6. Hukum ttg Peradilan Administrasi Negara.

Menurut Kusumadi Pudjosewojo, ada 4 bidang pokok HAN:


1. Hukum Tata Pemerintahan;
2. Hukum Tata Keuangan termasuk Hukum Pajak;
3. Hukum Hubungan Luar Negeri;
4. Hukum Pertahanan dan Keamanan Umum.

Walther Burekhardt menyebut 2 bidang pokok HAN:


1. Hukum Kepolisian, mengatur norma tingkah laku, larangan, batasan ttt thd
kepentingan umum;
2. Hukum Perlembagaan, Aturan hukum yg ditujukan kpd penguasa utk
penyelenggaraan perkembangan masyarakat di lapangan kebudayaan, kesenian,
Ilmu Pengetahuan, kerohanian dan kejasmanian, kemasyarakatan dll.

• Baron de Gerando: HAN adl ilmu hukum yg tumbuh langsung berdasarkan


keputusan-keputusan alat perlengkapan negara berdasarkan praktik kenegaraan
sehari-hari (keputusan raja dlm menyelesaikan sengketa antara pejabat dg
rakyat merupakan kaidah HAN).
• Mr. W,F. Prins: HAN merupakan aanhangsel (embel-embel/tambahan) dari HTN.
• Dr. Romeyn: HTN menyinggung dasar-dasar drpd negara, sedang HAN adl
mengenai pelaksanaan teknisnya.
• Donner (teori Dwi Praja): HTN menetapkan tugas (taakstelling), sedang HAN
pelaksanya (taakverwezenlijking).
• Van Vollenhoven: HTN adl keseluruhan peraturan hk yg membentuk alat
perlengkakan negara dan menentukan kewenangan alat-alat perlengkapan
negara tsb, sedang HAN adl keseluruhan ketentuan yg mengikat alat-alat itu
akan menggunakan kewenangan ketatanegaraan.
• Oppenheim: HTN memperhatikan negara dlm keadaan tidak bergerak (staat in
rust), HAN memperhatikan negara dlm keadaan bergerak (staat in beweging).
“Hukum Tata Negara” (staatsrecht), para sarjana hukum Belanda sepakat
membedakan antara HTN dlm arti luas (staantsrecht in ruime zin) dan HTN dalam
arti sempit (staatsrecht in enge zin). HTN dalam arti luas terdiri dari: HTN dalam arti
sempit atau yang dinamakan HTN (staatsrecht); dan Hukum Tata Usaha
Negara/Hukum Administrasi Negara (administratief recht).
Hukum Tata Usaha Negara ialah hukum mengenai susunan, tugas dan
wewenang, dan hubungan kekuasaan satu sama lain, hubungan dengan pribadi-
pribadi hukum lainnya dari alat-alat perlengkapan (jabatan-jabatan) tata usaha
Negara sebagai pelaksana segala usaha Negara (perundang-undangan,
pemerintahan, dan peradilan) menurut prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh
alat-alat perlengkapan Negara tertinggi (badan legislatif, badan eksekutif, dan
badan yudikatif). Disini tidak perlu dianut trias politika Montesquieu atau teori
pemisahan kekuasaan lainnya. Jadi, kita namakan hakim-hakim atau pengadilan itu
sebagai alat perlengkapan tata usaha yang mempunyai tugas khusus untuk
memelihara tertib hukum dalam masyarakat.
Hukum Tata Negara ialah hukum mengenai organisasi Negara pada umumnya
(hubungan penduduk dengan Negara, pemilihan umum, kepartaian, cara
menyalurkan pendapat dari rakyat, wilayah Negara, dasar Negara, hak asasi
manusia, lagu, bahasa, lambang, pembagian Negara atas kesatuan-kesatuan
kenegaraan, dan sebagainya), mengenai system pemerintahan Negara (structure
gouvernementale), mengenai kehidupan politik rakyat dalam hubungannya dengan
susunan organisasi negara, mengenai susunan, tugas dan wewenang, hubungan
kekuasaan satu sama lain, serta hubungannya dengan rakyat dari alat-alat
perlengkapan ketatanegaraan sebagai jabatan-jabatan tertinggi yang menetapkan
prinsip umum bagi pelaksanaan berbagai usaha Negara. Singkatnya, segala sesuatu
mengenai organisasi Negara yang tidak termasuk hukum tata usaha Negara.
Menurut Le Crince le Roy, Hukum Tata Administrasi menggerogoti ranting-ranting
hukum lain, seperti Hukum Agraria yang semula termasuk Hukum Perdata, dan juga
Hukum Ketenagakerjaan (arbeidsrecht, labour law).

“Ilmu Negara” (Staatlehre/Theory of State/The General Theory of State/Political


Theory/Theorie d’etat), sebagai istilah teknis adalah akibat penyelidikan dari sarjana
Jerman George Jellinek, dikenal sebagai bapak Ilmu Negara. Dia yang berjasa
membuat Ilmu Negara menjadi Ilmu Pengetahuan yang berdiri sendiri. Ilmu Negara
adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki asas-asas pokok dan pengertian-
pengertian pokok tentang Negara dan Hukum Tata Negara. Jellinek membagi ilmu
kenegaraan menjadi dua bagian, yaitu: Ilmu Negara dalam arti sempit
(staatswissenschaften) dan Ilmu Pengetahuan Hukum (rechtwissenschaften).
Pengertian rechtwissenschaten adalah Hukum Publik yang menyangkut soal
kenegaraan, seperti HTN, HAN, H. Pidana, dll. Sedang staatwissenschaft, yang lebih
pentina, memiliki tiga bagian: 1/ Beschreibende Staatswissenschaft :Sifat Ilmu
kenegaraan ini adalah deskriptif yang hanya menggambarkan dan menceritakan
peristiwa-peristiwa yang terjadiyang berhubungan dengan Negara; 2/ Theoretische
Staatswissenschaft : Ilmu kenegaraan ini mengadakan penyelidikan lebih lanjut dari
bahan-bahan yang dikumpulkan bagian pertama tadi, dengan mengadakan analisis-
analisis dan memisahkan mana yang mempunyai ciri-ciri yang khusus. Mengadakan
penyusunan tentang hasil-hasil penyelidikannya dalam satu kesatuan yang teratur
dan sistematis. Inilah ilmu kenegaraan yang merupakan ilmu pengetahuan yang
sebenarnya; 3/ Praktische Staatswissenschaft : Ilmu pengetahuan yang tugasnya
mencari upaya bagaimana hasil penyelidikan bagian ini dapat dilaksanakan di dalam
praktik dan pelajaran-pelajara yang diberikan itu semata-mata mengenai hal-hal
yang berguna untuk tujuan praktik.
Jellinek melihat Negara dari sudut sosiologis dan yuridis, namun sebagian besar dari
uraiannya berkisar di bidang yuridis.

Hoetink mengatakan bahwa ilmu politik adalah semacam sosiologi dari Negara.
Ilmu Negara dan HTN menyelidiki kerangka yuridis dari Negara, sedangkan ilmu
politik menyelidiki bagiannya yang ada di sekitar kerangka itu. Ilmu Negara
menggunakan metode yuridis, sedangkan ilmu politik menggunakan metode
sosiologis.

Barents menggambarkan ilmu politik dan HTN dengan perumpamaan HTN adalah
kerangkanya, sedangkan Ilmu Politik adalah daging yang ada disekitarnya.

Perbedaan antara ilmu Negara dengan ilmu politik adalah ilmu Negara
menitikberatkan pada sifat-sifat teoritis tentang asas-asas pokok dan pengertian-
pengertian pokok tentang Negara. Oleh karena itu, ilmu Negara kurang dinamis.
Sementara itu, ilmu plitik lebih menitikberatkan pada factor-faktor yang konkret,
terutama berpusat kepada gejala-gejala kekuasaan, baik mengenai organisasi
Negara maupun yang memengaruhi pelaksanaan tugas-tugas Negara. Oleh karena
itu, ilmu politik lebih dinamis dan hidup.

Herman Heller menyimpulkan pelbagai pendapat tentang perbedaan antara ilmu


Negara dan ilmu politik: 1. Ada yang menganggap ilmu politik sebagai suatu ilmu
pengetahuan praktis yang ingin membahas keadaan dalam kenyataan, sedangkan
ilmu Negara dinamakan ilmu pengetahuan teoritis yang sangat mementingkan segi
normative; 2/ Ada yang menganggap bahwa ilmu politik mementingkan sifat-sifat
dinamis dari Negara, yaitu proses-proses kegiatan dan aktivitas Negara; perubahan
Negara yang terus-menerus yang disebabkan oleh golongan-golongan yang
memperjuangkan kekuasaan. Subjek ilmu politik ialah gerakan-gerakan dan
kekuatan-kekuatan di belakang evolusi yang terus-menerus. Sebaliknya, ilmu
Negara dianggap lebih mementingkan segi-segi statis dari Negara, seolah-oleh
Negara adalah beku dn membatasi diri pada penelitian lembaga kenegaraan yang
resmi; 3/ Ilmu Negara dianggap lebih tajam konsep-konsepnya dan lebih terang
metodologinya, tetapi ilmu politik dianggap lebih konkret dan lebih mendekati
realita; 4/ Perbedaan yang praktis ialah ilmu Negara lebih mendapat perhatian dari
ahli hukum, sedangkan ahli-ahli sejarah dan sosiologi lebih tertarik kepada ilmu
politik.

Ilmu Negara yang merupakan ilmu pengetahuan yang menyelidiki pengertian-


pengertian pokok dan sendi-sendi pokok Negara dapat memberikan dasar-dasar
teoritis yang bersifat umum untuk HTN. Oleh karena itu, agar dapat mengerti
dengan sebaik-baiknya dan sedalam-dalamnya system hukum ketatanegaraan
sesuatu negera tertentu, sudah sewajarnyalah kita harus memiliki pengetahuan
segala hal ihwalnya secara umum tentang Negara yang didapat dalam ilmu Negara.

Berdasarkan penjelasan di atas, ilmu Negara merupakan pelajaran pengantar dan


ilmu dasar pokok bagi pelajaran HTN. Oleh karena itu HTN tdk dpt dipelajari secara
ilmiah dan teratur sebelum terlebih dahulu dipelajari pengetahuan tentang
pengertian-pengertian pokok dan sendi-sendi pokok pada Negara pada umumnya.
Maka ilmu Negara dapat memberikan dasar-dasar teoritis untuk HTN yang positif.
HTN merupakan penerapan dlm kenyataan konkret dari bahan-bahan teoritis yang
dihasilkan oleh ilmu Negara. Oleh karena itu, ilmu HTN mempunyai sifat praktis
applied science yang bahan-bahannya diselidiki, dikumpulkan, dan disediakan oleh
pure science ilmu Negara.

B. HAN dengan H. Perdata


• Paul Scholten: HAN merup Hk khusus ttg organisasi negara, dan H. Perdata sbg
hk umum.
Ada 2 Asas:
1. Negara dan dan badan hukum publik dpt menggunakan peraturan-peraturan dr
hukum perdata, spt H. Perjanjian;
2. Lex Specialis Derogat Lex Generalis.

C. HAN dan H. Pidana


• Romeyn: H. Pidana dpt dipandang sbg bahan pembantu (hulprecht) bg HAN, krn
penetapan sanksi pidana merup satu sarana utk menegakkan HAN, dan
sebaliknya HAN dpt dimasukkan dlm lingkungan H. Pidana.
• E. Utrecht: H. Pidana memberi sanksi istimewa baik atas pelanggaran kaidah H.
Privat maupun H. Publik.
• Viktor Situmorang: Apabila ada kaidah HAN yg diulang kembali menjadi kaidah
H. Pidana, atau ada pelanggaran kaidah HAN, maka sanksinya terdapat dlm H.
Pidana.
D. HAN dg Ilmu Administrasi Negara
• Dimock & Dimock: Sebagai suatu studi, Administrasi Negara membahas setiap
aspek kegiatan pemerintah yg dimaksudkan utk melaksanakan hk dan
memberikan pengaruh pd kebijakan publik (public policy); Sebagai suatu proses,
Administrasi Negara adl seluruh langkah-langkah yg diambil dlm penyelesaian;
• Sebagai suatu bidang kemampuan, Administrasi Negara mengorganisasikan dan
mengarahkan semua aktivitas yg dikerjakan org-org dlm lembaga-lembaga
publik.
• Kegiatan Administrasi Negara tdk dpt dipisahkan dr kegiatan politik pemerintah,
kegiatan-kegiatan Administrasi Negara bukan hanya melaksanakan keputusan
Pemerintah saja, tp jg mempersiapkan dan menentukan keputusan politik.
BAB 3
Sumber-Sumber HAN

A. Sumber Hukum Materiil HAN:


1) Sejarah/Historis: a) UU/Sistem hukum tertulis; b) Dokumen, surat, keterangan
lain dr masa lampau.
2) Sosiologis/Antropologis: menyoroti lembaga-lembaga sosial, sbg faktor yg
menentukan materi hukum positif, seperti pandangan ekonomi, agamis, dan
psikologis.
3) Filosofis, ada 2 faktor:
a) tujuan hukum adl keadilan sbg sumber hukum materiil;
b)faktor yg mendorong dipatuhinya hukum hrs memperhatikan pembuatan
aturan hukum positif, seperti faktor kekuasaan penguasa dan kesadaran hukum
masyarakat.
B. Sumber Hukum Formil HAN
Adalah sumber hukum materiil yg sudah dibentuk melalui proses-proses tertentu,
sehingga sumber hukum tadi menjadi berlaku umum dan ditaati berlakunya oleh
umum, yakni:
a) UU;
b) Kebiasaan/praktek administrasi negara;
c) Yurisprudensi;
d)Doktrin/pendapat para ahli HAN;
e) Traktat (perjanjian antar negara).

a) Undang-undang
UU yg dimaksud adl UU dlm arti materiil atau UU dlm arti yg luas, yakni setiap
keputusan pemerintah yang berdasarkan materinya mengikat langsung etiap penduduk
yg berdasarkan materinya mengikat penduduk pada suatu daerah, sebagaimana yg
dikenal dlm tata urutan peraturan per-UU-an, yakni: UUD Negara RI Tahun 1945,
Ketetapan MPR, UU/Perpu, PP, Perda Prov, Perda Kab/Kot.

b) Kebiasaan/Praktek Administrasi Negara


Alat Administrasi Negara mempunyai tugas utk melaksanakan tujuan UU dan
menyelenggarakan kepentingan umum, dengan mengeluarkan keputusan-
keputusan/ketetapan-ketetapan (Beschikking) atau Keputusan Tata Usaha Negara
(KTUN). Dalam memutuskan KTUN sering terjadi praktek administrasi negara yg berdiri
sendiri disamping UU sbg sumber hk formil.
Hal ini bisa terjadi karena dlm keadaan tertentu Alat Administrasi Negara diberi
kebebasan bertindak (freis ermessen/pouvoir discretionnaire), yakni kebebasan untuk
bertindak dg tidak berdasarkan pada Peraturan Per-UU-an.

c) Yurisprudensi
Yakni suatu keputusan hakim atau keputusan suatu badan peradilan yg sdh mempunyai
kekuatan hukum tetap. Hal ini berkaitan dg prinsip bahwa hakim tdk boleh menolak
mengadili perkara yg diajukan dg alasan blm ada peraturan per-UU-an, sehingga hakim
harus melihat keputusan hakim terdahulu.
d). Doktrin/Pendapat para ahli HAN
Seperti ajaran functionare de fait, yaitu suatu ajaran yg dianggap sah keputusan-
keputusan yg dihasilkan atau dikeluarkan oleh seorang alat administrai negara yg
sebetulnya secara yuridis formil kewenangannnya tidak sah.

e). Traktat
Perjanjian yg dilakukan oleh dua negara atau lebih. Akibat perjanjian ini ialah bahwa
pihak-pihak yg bersangkutan terikan pd perjanjian yg mereka adakan itu. Hal ini disebut
Pacta Sun Servanda, yg berarti bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yg mengadakan
atau setiap perjanjian hrs ditaati dan ditepati oleh kedua belah pihak.
Sebagai sumber hukum formal dari sumber HAN ini berasal dari perjanjian
internasional, perjanjian internasional yg telah diratifikasi tentunya oleh pemerintah
untuk dilaksanakan di negara yg telah meratifikasi perjanjian tersebut.

Bab 4
Subjek HAN

Adalah segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum, yakni
orang dan dan badan hukum.
Subjek hukum dlm lapangan HAN:
1) Pegawai Negeri;
2) Jabatan-jabatan;
3) Jawatan Publik, dinas-dinas publik, badan usaha milik negara/daerah;
4) Daerah kabupaten/kota dan propinsi; 5) Negara.

1. Pegawai Negeri
 Mereka yg telah memenuhi syarat-syarat yg ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan yg berlaku diangkat oleh pejabat yg berwenang dan
diserahi tugas negara lainnya yg ditetapkan berdasarkan suatu peraturan
perundang-undangan dan digaji menurut peraturan perundang-undangan yg
berlaku.
 Pengangkatan seorang WNI menjadi pegawai negeris sdh ditentukan dg tegas.
Ia tdk dibenarkan menerima keuntunga-keuntungan lain dr haknya selain yg
diperkenankan menurut peraturan perundang-undangan. PNS disini terlihat sbg
pendukung hak dan kewajiban.
 Contoh:
1. Hak menerima gaji dan tunjangan lain yg sah, memperoleh cuti;
2. Hak utk memangku suatu jabatan;
3. Kewajiban utk membayar pajak;
4. Kewajiban utk melaksanakan tugas sesuai aturan perundang-undangan yg
bersumber dr lapangan hukum publik.

2. Jabatan.
 Jabatan adl kedudukan yg menunjukkan tugas, tanggung-jawab, wewenang, dan
hak seseorang dlm rangka susunan suatu satuan organisasi. Kalau kedudukan itu
berada dlm lingkungan pemerintah, maka jabatan adl jabatan negeri yg mewakili
pemerintah.
 Maksud badan negara misalnya karena keanggotaan seseorang di dalam
lembaga negara di bidang eksekutif, disebut departemen, atau lembaga
pemerintah non departemen pada tingkat tertinggi dan jabatan-jabaan di
bawahnya. Di bidang lainnya hrs dilihat dlm fungsi politik dan yudikatif, seperti
keanggotaan pada kelembagaan negara. Jabatan-jabatan yg demikian adl
jabatan negara yaitu jabatan yg mewakili negara.
 Jabatan dapat dipandang dr segi struktural dan fungsional.

3. Jawatan, Dinas, BUMN/BUMD


 Jawatan adalah kesatuan organisasi aparatur pemerintah yang mencakup tugas
pemerintahan yg bulat dan merupakan kesatuan anggaran negara tersendiri.
Sebagai subjek hukum, maka hak yg dimiliki jawatan adl memiliki dan menguasai
kekayaan negara/daerah. Oleh karena itu jawatan berkewajiban memelihara dan
menyimpan kekayaan negara /daerah.
 Setiap barang yang dibeli, dipergunakan dan disimpan oleh jawatan selalu
dicantumkan pada barang itu label yg bertuliskan “Milik Negara”, dan pembelian
barang itu atas nama negara.
Dinas
 Dinas dirumuskan sebagai sekelompok bagian organisasi yg secara khusus
mengerjakan suatu tugas fungsional tertentu yang bersifat homogen. Di bidang
administrasi negara, organisasi demikian ini dinamakan dinas publik, yg bertugas
menyelenggarakan kepentingan umum, sehingga berhak bertindak atas nama
negara dan berkewajiban menyelenggarakan tugas-tugas kenegaraan scr
fungsional.

BUMN/BUMD
 BUMN/BUMD adl sama kedudukannya dg jawatan dan dinas, hanya saja
BUMN/BUMD ini lebih diarahkan pd tugas-tugas fungsional yg bukan saja
menyelenggarakan kepentingan umum, akan tetapi disertai dg upaya perolehan
keuntungan..
 Dalam praktek ternyata ada juga yayasan-yayasan pemerintah, perusahaan-
perusahaan negara, partisipasi negara dalam perusahaan-perusahaan swasta
dan yayasan-yayasan partikelir dg suatu macam pengendalian oleh pihak
pemerintah yg cukup besar.
Daerah Kabupaten/Kota dan Provinsi
 Daerah ini adalah suatu kesatuan wilayah dalam organisasi negara yg karena
kelahirannya disebabkan atas hak swapraja yg diakui atau krn hak otonom yg
diperolehnya.
 Sebagai suatu wilayah di dalam perkembangannya ia berhak mengurus dan
mengatur rumah tangganya sendiri dlm wilayah kekuasaan negara. Dengan
haknya demikian ia berkewajiban menyelenggarakan kepentingan umum.
Negara
 Negara adalah organisasi dari sekumpulan rakyat yg mendiami wilayah ttt dan
diselenggarakan oleh pemerintah berdasarkan kedaulatan yg diperolehnya dan
dimilikinya. Dalam kedudukannya sbg subjek hukum maka negara berhak
melindungi, mengurus dan mengatur dirinya sbg organisasi sehingga pada
gilirannya ia berkewajiban mencapai tujuan yg ditetapkan.
 Sebagai subjek hukum maka sumber hak dan kewajibannya bersumber dari
lapangan hukum publik, sehingga cakupannya luas dan menyeluruh dalam hal-
hal yang menyangkut kepentingan umum.

Bab 5
Negara dan Warga Negara

A. Pengertian Negara
Negara adl persekutuan bangsa dg wilayah yg ttt batas-batasnya serta
berpemerintahan yg sah (Kamus Besar B. Indonesia).
Negara adalah organisasi kekuasaan atau organisasi kewibawaan yg memenuhi
persyaratan ttt yaitu ada: Pemerintahan yg berdaulat, wilaya ttt dan rakyat yg hidup
teratur shg merupakan suatu nation (bangsa) (G. Priggodigdo).
a. Negara Hukum.

Pemikiran atau konsepsi manusia tentang Negara hukum lahir dan berkembang dalam
situasi kesejarahan. Oleh karena itu, meskipun konsep Negara hukum dianggap sebagai
konsep universal, tetapi pada dataran implementasi ternyata memiliki karakteristik
beragam.
Secara embrionik, gagasan Negara hukum telah dikemukakan oleh Plato, ketika ia
mengintrodusir konsep Nomoi, sebagai karya tulis ketiga yang dibuat di usia tuanya,
sementara dalam dua tulisan pertama, Politeia dan Politicos, belum muncul istilah
negara hukum. Dalam Nomoi, Plato mengemukakan bahwa penyelenggaraan negara
yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan (hukum) yang baik. 1 Gagasan Plato
tentang Negara hukum ini semakin tegas ketika didukung oleh muridnya, Aristoteles,
yang menuliskannya dalam buku politica. Manurut Aristoteles, suatu Negara yang baik
ialah Negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Ada tiga
unsur dari pemerintahan yang berkonstitusi yaitu: pertama, pemerintahan dilaksanakan
untuk kepentingan umum; kedua, pemerintahan dilaksanakan menurut hukum yang
berdasarkan pada ketentuan-ketentuan umum, bukan hukum yang dibuat secara
sewenang-wenang yang menyampingkan konvensi dan konstitusi; ketiga, pemerintahan
berkonstitusi berarti pemerintahan yang dilaksanakan atas kehendak rakyat, bukan
berupa paksaan-tekanan yang dilaksanakan pemerintahan despotik. Dalam kaitannya
dengan konstitusi, Aristoteles mengatakan, konstitusi merupakan penyusunan jabatan
dalam suatu Negara dan menentukan apa yang dimaksudkan dengan badan
pemerintahan dan apa akhir dari setiap masyarakat, konstitusi merupakan aturan-
aturan dan penguasa harus mengatur Negara menurut aturan-aturan tersebut. 2
Gagasan Negara hukum ini masih bersifat samar-samar dan tenggelam dalam waktu
yang sangat panjang, kemudian muncul kembali secara lebih eksplisit pada abad ke-19,
yaitu dengan munculnya konsep rechtsstaat dari Freidrich Julius Stahl. Menurut
Stahl, unsur-unsur Negara hukum (rechsstaat) konsep Eropa Kontinental adalah
sebagai berikut:
a. Perlindungan hak-hak asasi manusia;
b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan;
d. Peradilan administrasi dalam perselisihan.

Pada saat yang hampir bersamaan muncul pula konsep Negara hukum (rule of law)
sebagai berikut:
a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law); tidak adanya
kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa
seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum;
1
Tahir Azhary, Negara Hukum, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hlm 66.
2
Dikutip dari Azhari, Negara Hukum Indonesia, UI-Press, Jakarta, 1995, hlm 20-21.
b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil
ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat;
c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (di Negara lain oleh undang-
undang dasar) serta keputusan –keputusan pengadilan. 3

Munculnya “unsur peradilan administrasi dalam perselisihan” pada konsep rechtsstaat


menunjukkan adanya hubungan histories antara Negara hukum Eropa Kontinental
dengan hukum Romawi.
Menurut Philipus M. Hadjon:
“Konsep rechtsstaat bertumpu pada sistem hukum continental yang disebut civil law
atau Modern Roman Law, sedangkan konsep rule of law bertumpu atas sistem hukum
yang disebut “common law”. Karakteristik civil law adalah administrative sedangkan
karakteristik common law adalah judicial. Perbedaan karakteristik yang demikian
disebabkan karena latar belakang daripada kekuasaan raja. Pada zaman Romawi,
kekuasaan yang menonjol dari raja ialah membuat peraturan melalui dekrit. Kekuasaan
itu kemudian didelegasikan kepada pejabat-pejabat administrative yang membuat
pengarahan-pengarahan tertulis bagi hakim tentang bagaimana memutus suatu
sengketa. Begitu besarnya peranan administrasi sehingga tidaklah mengherankan
kalau dalam sistem kontinentallah mula pertama muncul cabang hukum baru yang
disebut droit administrative dan inti dari droit administrative adalah hubungan antara
administrasi dengan rakyat…di Kontinen dipikirkan langkah-langkah untuk membatasi
kekuasaan administrasi Negara (hukum administrasi dan peradilan administrasi)”. 4

Dalam perkembangan Negara hukum, unsur-unsur yang dikemukakan oleh Stahl


tersebut kemudian mengalami penyempurnaan, yang secara umum dapat dilihat
sebagaimana tersebut di bawah ini:5
a. Sistem pemerintahan Negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat;
b. Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar
atas hukum atau peraturan perundang-undangan.
c. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga Negara);
3
Dikutip dari Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1982, hlm 57-58, Philipus M.
Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya. 1987, hlm. 58-82.
4
Philipus M. Hadjon, op. cit., hlm. 73
5
Unsur-unsur diambil dan dipadukan dari buku Sri Sumantri, Bunga Rampai Hukum Tata Negara
Indonesi, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 29-30, dan buku Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum
Indonesia,YLBHI, Jakarta, 1988, hlm. 12-14, serta Frans Magnis Suseno, Mencari Sosok Demokrasi,
Sebuah Telaah Filosifi, Gramedia, Jakarta, 1997, hlm. 58-59
d. Adanya pembagian kekuasaan dalam Negara;
e. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan (rechterlijke controle) yang
bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak
memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif.
f. Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau warga Negara
untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang
dilakukan oleh pemerintah;
g. Adanya system perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata
sumberdaya yang diperlukan bagi kemakmuran warga Negara.

Perumusan unsur-unsur Negara hukum ini tidak terlepas dari falsafah dan sosio politik
yang melatarbelakanginya, terutama pengaruh falsafah individualisme, yang
menempatkan individu atau warga Negara sebagai primus interpares dalam kehidupan
bernegara. Oleh karena itu, unsure pembatasan kekuasaan Negara untuk melindungi
hak-hak individu menempati posisi yang signifikan. Semangat membatasi kekuasaan
Negara ini semakin kental segera setelah lahirnya adagium yang begitu popular dari
Lord Acton: “Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely” (manusia
yang memiliki kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakannya, tetapi kekuasaan
yang tak terbatas pasti disalahgunakan). Model Negara hukum seperti ini berdasarkan
catatan sejarah dikenal dengan sebutan demokrasi konstitusional, dengan ciri bahwa
pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya dan tidak
dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Pembatasan-
pembatasan atas kekuasaan pemerintah tercantum dalam konstitusi, maka dari itu
sering disebut “pemerintah berdasarkan konstitusi” (constitutional government).6
Meskipun tidak semua Negara yang memiliki konstitusi diilhami oleh semangat
individualisme, namun semangat untuk melindungi kepentingan individu melalui
konstitusi dianggap paling memungkinkan, terlepas dari falsafah Negara yang
bersangkutan. Dengan kata lain, esensi dari Negara berkonstitusi adalah perlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia. Atas dasar itu, keberadaan konstitusi dalam suatu
Negara conditio sine quanon. Menurut Sri Soemantri, tidak ada suatu Negara pun di
dunia ini yang tidak mempunyai konstitusi atau undang-undang dasar. Negara dan
konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. 7
Bila Negara hukum diidentikkan dengan keberadaan konstitusi dalam suatu Negara,
maka benar apa yang dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi, yang mengatakan
bahwa dalam abad ke-20 ini hampir tidak suatu Negara pun yang menganggap sebagai

6
Miriam Budiardjo, op. cit., hlm.52
7
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987, hlm. 2-3
Negara modern tanpa menyebutkan dirinya “Negara berdasar atas hukum”. 8 Dengan
demikian, dalam batas-batas minimal, Negara hukum identik dengan Negara yang
berkonstitusi, yang di dalam konstitusinya memuat unsur-unsur Negara hukum
sebagaimana tersebut diatas.9

Telah disebutkan bahwa pada dataran implementasi Negara hukum itu memiliki
karakteristik dan model yang beragam. Terlepas dari berbagai model Negara hukum
tersebut, Budiono mencatat bahwa sejarah pemikiran manusia mengenai politik dan
hukum secara bertahap menuju kearah kesimpulan bahwa, Negara merupakan Negara
yang akan mewujudkan harapan para warga Negara akan kehidupan yang tertib,
adil,dan sejahtera jika Negara itu diselenggarakan berdasarkan hukum sebagai aturan
main.10 Lebih lanjut Budiono mengatakan sebagai berikut:
“Pada babak sejarah sekarang adalah sukar untuk membayangkan Negara tidak
sebagai Negara hukum. Setiap Negara yang tidak mau dikucilkan dari pergaulan
masyarakat internasionalmenjelang abad XXI paling sedikit secara formal akan
memaklumkan dirinya sebagai Negara hukum. Dalam Negara hukum, hukum menjadi
aturan permainan untuk mencapai cita-cita bersama sebagai kesepakatan politik.
Hukum juga menjadi aturan permainan untuk menyelesaikan segala macam
perselisihan, termasuk juga perselisihan politik dalam rangka mencapai kesepakatan
politik tadi. Hukum dengan demikian tidak mengabdi kepada kepentingan politik
sektarian dan primordial, melainkan kepada cita-cita politik dalam kerangka
kenegaraan”.11

Secara historik tipe-tipe Negara Hukum dapat dilacak perkembangannya menurut


kausalitas dari bentuk-bentuk Negara tertentu. Sondang P. Siagian mengemukakan
adanya tida bentuk Negara yang memberikan peranan dan fungsi yang berbeda bagi
pemerintah,12 yaitu bentuk Political State (semua kekuasaan dipegang oleh Raja
sebagai pemerintah), bentuk Legal State (pemerintah hanya sebagai pelaksana
8
A. Hamid S. Attamimi, Der Rechtsstaat Republik Indonesia dan Prespektifnya Menurut Pancasila dan
UUD 1945, Makalah pada Seminar Sehari dalam Rangka Dies Natalis Universitas 17 Agustus Jakarta ke-
42, diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus Jakarta, 9 Juli 1994, hlm. 6
9
Mensejajarkan Negara hukum dengan Negara berkonstitusi adalah sekadar untuk menyederhanakan
persoalan. Pada kenyataannya tidak setiap Negara berkonstitusi adalah Negara hukum, sedangkan
Negara hukum dengan sendirinya sebagai Negara berkonstitusi. Hal ini tetutama karena berkenaan
dengan term “rechts” dam “constitutie”. Term “Rechts” mencakup hukum tertulis (geschrevenrech) dan
hukum tidak tertulis (ongescrevenrecht), sedangkan term “constitutie” hanya mencakup hukum dasar
tertulis.
10
Budiono Kusumohamidjojo, Ketertiban yang Adil, Problematika Filsafat Hukum , Grasindo, Jakarta,
1999, hlm. 147
11
Ibid., hlm. 163-164
12
Sondang P. Siagian, Administrasi Pembangunan, PT. Gunung Agung, Jakarta, hlm. 101-104.
peraturan) dan bentuk Welfare State (tugas pemerintah diperluas untuk menjamin
kesejahteraan umum) dengan discretionary power dan Freies Ermessen.

1). Political State.

Pada zaman pertengahan (abad IV sampai abad XV) di Eropa Barat, seluruh
pemerintahan dalam artinya yang luas terpusat di tangan raja (monarch), kemudian
dalam tangan birokrasi (alat pemerintah) kerajaan yang waktu itu belum mengenal
adanya pembagian fungsi dan kekuasaan (legislatif, eksekutif dan yudikatif) seperti
yang ada sekarang ini. Jadi pada zaman pertengahan ini kekuasaan raja amat luas
sebab ia sekaligus menjadi pemegang kekuasaan legislative, eksekutif dan
yudikatif.13Tetapi lama kelamaan pemusatan kekuasaan dalam bentuk Political State ini
dipersoalkan dan pada akhir abad pertengahan kekuasaan kehakiman diambil dari
tangan raja sehingga raja tinggal memegang kekuasaan eksekutif dan legislative.
Keadaan inipun pada abad 17 dan 18 dipersoalkan lagi dengan timbulnya pemikiran
bahwa kekuasaan legislatif-pun harus diambil dari tangan raja. Ada kecenderungan
bahwa raja dengan kekuasaan absolutnya suka berbuat sewenang-wenang dan tidak
mengindahkan hak azasi manusia. Pada waktu itu konsep tentang “Kontrak Sosial”
(perjanjian masyarakat) yang pernah dirumuskan oleh Thomas Hobbes, John Locke dan
J.J. Rousseau sedang tumbuh dan berkembang kembali, sehingga pemikiran tentang
pengurangan kekuasaan dari tangan raja sangat berpengaruh.

2) Legal State (Negara Hukum yang Statis)


Pemikiran tentang pemisahan kekuasaan dipengaruhi oleh teori John Locke (1632-
1704) seorang filosof Inggris yang pada tahun 1690 menerbitkan buku “Two Treaties
on Civil Government”. Dalam bukunya itu John Locke mengemukakan adanya tiga
macam kekuasaan di dalam Negara yang harus diserahkan kepada badan yang masing-
masing berdiri sendiri yaitu kekuasaan legislative (membuat Undang-undang),
kekuasaan Eksekutif (pelaksanaan Undang-undang atau pemerintahan) dan kekuasaan
federative (keamanan dan hubungan luar negeri.

Pengaruh teori Locke tentang pemisahan kekuasaan dalam Negara itu memang tidak
sebesar pengaruh teori Montesguieu (1689-1755), seorang ahli hokum berkbangsaan
Perancis yang pada tahun 1748 menerbitkan buku yang sangat terkenal dengan

13
E. Utrecht, Pengantar Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, NV. Penerbitan dan Balai Buku Indonesia,
Jakarta, cetakan II, 1957, hlm. 5.
“L’Esprit des Lois” (jiwa dari Undang-undang). Montesguieu seperti halnya John Locke
mengemukakan satu pembagian kekuasaan-kekuasaan (fungsi) di dalam Negara itu
dibagi ke dalam kekuasaan legislative (membuat Undang-undang), eksekutif
(melaksanakan Undang-undang) dan yudikatif (mengadili atas pelanggaran terhadap
Undang-undang). Teori Montesquieu ini oleh Emmanuel Kant disebut “Trias Politika”.

Perbedaan pembagian kekuasaan menurut John Locke dan Montesquieu ialah, bahwa
menurut John Locke kekuasaan yudikatif itu menjadi bagian dari kekuasaan eksekutif
sedangkan kekuasaan federatif berdiri sendiri; sebaliknya menurut Montesquieu
kekuasaan federative itulah yang menjadi bagian kekuasaan eksekutif sedangkan
yudikatif berdiri sendiri.

Tipe Negara “Legal State” ini pemerintah mendapat porsi kekuasaan yang sempit dan
tugas pemerintahan yang bersifat pasif artinya Negara hanya menjadi wasit dan
melaksanakan berbagai keinginan masyarakat yang disepakati bersama secara
demokratis-liberal, pemertah hanya sebagai penjaga malam atau penjamin keamanan.
Ada juga yang menyebut dengan “Negara Pluralis”, 14 yakni Negara yang
pemerintahannya netral dan hanya hanya menjadi alat dan pelaksana dari keinginan
masyarakat. Ada juga yang menyebut dengan istilah “Negara Hukum Formal”.

Dalam konsep Negara hokum yang lama ini dikemukakan cirri-ciri Negara hokum oleh
Fredrich Julius Stahl, yakni:
1. Adanya perlindungan hak-hak azasi manusia;
2. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak azasi
manusia itu (Trias Politika);
3. Pemerintah berdasarkan peraturan-peraturan;
4. Peradilan administrasi Negara dalam perselisihan. 15

3) Welfare State (Negara Hukum yang Baru/Dinamis)


Konsepsi dan praktek Legal State atau negara hokum yang lamma ternyata telah
menimbulkan kepincangan social. Liberalisme dan individualism yang dijadikan
dasarnya ternyata hanya menguntungkan kaum borjuis atau mereka yang kuat secara

14
Arief Budiman, Bentuk Negara dan Pemerataan Hasil-hasil Pembangunan, Prisma No. 7, 1982, hlm. 4-6.
15
Oemar Seno Adji, Seminar Ketatanegaraan UUD 1945, Seruling Masa, 1966, hlm. 24.
ekonomis, sedangkan mereka yang secara ekonomi lemah (golongan miskin) selalu
menjadi golongan yang dirugikan karena dalam memperjuangkan keinginan-
keinginannya mereka tidak mempunyai fasilitas, sehingga selalu kalah dalam
persaingan bebas itu. Dengan kekayaannya golongan

b. Negara Hukum Demokratis


Terdapat korelasi yang jelas antara Negara hukum, yang bertumpu pada konstitusi,
dengan kedaulatan rakyat, yang dijalankan melalui system demokrasi. Korelasi ini
tampak dari kemunculan istilah demokrasi konstitusional, sebagaimana disebutkan di
atas. Dalam system demokrasi, partisipasi rakyat merupakan esensi dari system ini.
Dengan kata lain, Negara hukum harus ditopang dengan system demokrasi. Hubungan
diantara keduanya tidak dapat dipisahkan. Demokrasi tanpa pengaturan hukum akan
kehilangan bentuk dan arah, sedangkan hukum tanpa demokrasi akan kehilangan
makna. Menurut Magnis Suseno, “Demokrasi yang bukan Negara hukum, bukan
demokrasi dalam arti yang sesungguhnya. Demokrasi merupakan cara paling aman
untuk mempertahankan control atas Negara Hukum”. Dengan demikian, Negara hukum
yang bertopang pada system demokrasi dapat disebut sebagai Negara hukum
demokratis (demokratische rechtsstaat), sebagai perkembangan lebih lanjut dari
demokrasi konstitusional. Disebut Negara hukum demokratis, karena di dalamnya
mengakomodir prinsip-prinsip Negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi. J.B.J.M.
ten Berge menyebutkan prinsip-prinsip tersebut sebagai berikut: 16
a. Prinsip-prinsip Negara hukum;
5. Asas legalitas. Pembatasan kebebasan warga Negara (oleh pemerintah)
harus ditemukan dasarnya dalam undang-undang yang merupakan
peraturan umum. Undang-undang secara umum harus memberikan
jaminan (terhadap warga Negara) dari tindakan (pemerintah) yang
sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai jenis tindakan yang tidak benar.
Pelaksanaan wewenang oleh organ pemerintahan harus dikembalikan
dasarnya pada undang-undang tertulis, yakni undang-undang formal;
6. Perlindungan hak-hak asasi;
7. pemerintah terikat pada hukum;

16
Disarikan dari J.B.J.M. ten Berge. Besturen Door De Overheid, W.E.J. Tjeenk Willink, Deventer, 1996,
hlm. 34-38.
8. Monopoli paksaan pemerintah untuk menjamin penegakan hukum. Hukum
harus dapat ditegakkan, ketika hukum tersebut dilanggar. Pemerintah
harus menjamin bahwa di tengah masyarakat terdapat instrument yuridis
penegakan hukm. Pemerintah dapat memaksa seseorang yang melanggar
hukum melalui system peradilan Negara. Memaksakan hukum public
secara prinsip merupakan tugas pemerintah;
9. Pengawasan oleh hakim yang merdeka. Superioritas hukum tidak dapat
ditampilkan, jika aturan-aturan hukum hanya dilaksanakan organ
pemerintahan. Oleh karena itu dalam setiap Negara hukum diperlukan
pengawasan oleh hakim yang merdeka.
b. Prinsip-prinsip demokrasi;
1. Perwakilan politik. Kekuasaan politik tertinggi dalam suatu Negara dan dalam
masyarakat diputuskan oleh badan perwakilan, yang dipilih melalui pemilihan
umum;
2. Petanggungjawaban politik. Organ-organ pemerintahan dalam menjalankan
fungsinya sedikit banyak tergantung secara politik yaitu kepada lembaga
perwakilan;
3. Pemencaran kewenangan. Konsentrasi kekuasaan dalam masyarakat pada satu
organ pemerintahan adalah kesewenang-wenangan. Oleh karena itu
kewenangan badan-badan public itu harus dipencarkan pada organ-organ yang
berbeda;
4. Pengawasan dan control. (Penyelenggaraan) pemerintahan harus dapat
dikontrol;
5. Kejujuran dan keterbukaan pemerintahan untuk umum;
6. Rakyat diberi kemungkinan untuk mengajukan keberatan.

c. Tugas-tugas Pemerintah dalam Negara Hukum Modern (welvaartstaat)


Pemusatan kekuasaan Negara pada satu tangan atau satu lembaga telah membawa
bencana bagi kehidupan demokrasi dan kemasyarakatan. Kemudian lahir teori
pemencaran kekuasaan atau pemisahan kekuasaan (spreading van machten of
machtensscheiding). Adalah John Locke dianggap pertama kali mengintrodusir ajaran
pemisahan kekuasaan Negara, dengan membaginya menjadi kekuasaan legislative
(membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang), dan
kekuasaan federatif (keamanan dan hubungan luar negeri). Ajaran pemisahan
kekuasaan ini menjadi kian popular segera setelah seorang ahli hukum berkebangsaan
Prancis, Montesquieu, menerbitkan buku L’Esprit des Lois (The Spirit of the Law),
yang mengemukakan bahwa dalam suatu Negara ada tiga organ dan fungsi utama
pemerintahan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudisial.
Ajaran Negara hukum yang kini dianut oleh Negara-negara di dunia khususnya setelah
perang dunia kedua adalah Negara kesejahteraan (welfare state). Konsep Negara ini
muncul sebagai reaksi atas kegagalan konsep legal state atau Negara penjaga malam.
Dalam konsep legal state terdapat prinsip staatsonthouding atau pembatasan peran
Negara dan pemerintah dalam bidang politik yang melahirkan dalil “The least
government is the best government”, dan terdapat “laissez faire, laissez aller” dalam
bidang ekonomi yang melarang Negara dan pemerintah mencampuri ekonomi
masyarakat (staatsbemoeienis). Pendeknya, “The state should intervene as little as
possible ini people ini peoples’s lives and businesses”.17 Akibat pembatasan ini
pemerintah atau administrasi Negara menjadi pasif, dan oleh karenanya sering disebut
Negara penjaga malam (nachtwakerstaat). Adanya pembatasan Negara dan pemerintah
ini berakibat menyengsarakan warga Negara, yang kemudian muncul gagasan yang
menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab atas kesejahteraan
rakkyatnya, yaitu welfare state. Ajaran welfare state merupakan bentuk konkret dari
peralihan prinsip staatsonthouding, yang membatasi peran Negara dan pemerintah
untuk mencampuri kehidupan ekonomi dan social masyarakat, menjadi
staatsbemoeienis yang menghendaki Negara dan pemerintah terlibat aktif dalam
kehidupan ekonomi dan social masyarakat, sebagai langkah untuk mewujudkan
kesejahteraan umum, di samping menjaga ketertiban dan keamanan (rust en orde).
Menurut E. Utrecht, sejak Negara turut serta secara aktif dalam pergaulan
kemasyarakatan, maka lapangan pekerjaan pemerintah makin lama makin luas.
Aministrasi Negara diserahi kewajiban untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum
(bestuurszorg).18 Agar dapat menjalankan tugas menyelenggarakan kesejahteraan
rakyat, menyelenggarakan pengajaran bagi semua warga Negara, dan sebagainya
secara baik, maka administrasi Negara memerlukan kemerdekaan untuk dapat
bertindak atas inisiatif sendiri (freies ermessen atau discretionary power). Pemberian
kewenangan yang luas untuk bertindak diberikan pula kewenangan untuk membuat
instrument hukumnya. Menurut E. Utrecht,19 kekuasaan administrasi Negara dalam
bidang ligislasi ini meliputi; pertama, kewenangan untuk membuat peraturan atas
inisiatif sendiri, terutama dalam menghadapi soal-soal genting yang belum ada
peraturannya, tanpa bergantung pada pembuat undang-undang pusat; kedua,
kekuasaan administrasi Negara untuk membuat peraturan atas dasa delegasi. Karena
pembuat undang-undang pusat tidak mampu memperhatikan tiap-tiap soal yang timbul
dank arena pembuat undang-undang hanya dapat menyelesaikan soal-soal yang
17
Lihat AP Le Sueur dan JW Herberg, Constitutional & Adminstrative Law, Cavendish Publishing Limited,
London, 1995, hlm. 53.
18
E. Utrecht., op. cit., hlm. 28-29
19
Disarikan dari E. Utrecht, op. cit., hlm. 32-40
bersangkutan dalam garis besarnya saja dan tidak dapat menyelesaikan tiap detail
pergaulan sehari-hari, maka pemerintah diberi tugas menyesuaikan peraturan-
peraturan yang diadakan pembuat undang-undang pusat dengan keadaan yang
sungguh-sungguh terjadi di masyarakat; ketiga, droit function yaitu kekuasaan
administrasi Negara untuk menafsirkan sendiri berbagai peraturan, yang berarti
administrasi Negara berwenang mengoreksi (corrigeren) hasil pekerjaan pembuat
undang-undang.

c. Negara Hukum dan Hukum Administrasi Negara


Negara hukum menurut F.R. Bothlingk adalah “De staat, waarin de vilsvrijheid van
gazagsdragers is beperkt door grenzen van recht” (Negara, di mana kebebasan
kehendak pemegang kekuasaan dibatasi oleh ketentuan hukum).
Penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan kenegaraan dalam suatu Negara
hukum terdapat aturan-aturan hukum yang tertulis dalam konstitusi atau peraturan-
peraturan yang terhimpun dalam hukum tata Negara. Hukum tata Negara
membutuhkan hukum lain yang lebih bersifat teknis. Hukum tersebut adalah Hukum
administrasi Negara. Menurut J.B.J.M. ten Berge,20hukum administrasi Negara adalah
“in het verlengde van het staatsrecht” (perpanjangan dari hukum tata Negara) atau “als
secundair recht heft meer berekking op de nadere differentiatie van de publieke
rechtsorde onder invloed van de taakuitoefening door de overhead” (sebagai hukum
sekunder yang berkenaan dengan keanikaragaman lebih mendalam dari tatanan hukm
public sebagai akibat pelaksanaan tugas oleh penguasa).

2. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara

a. Peristilahan :
Di negeri Belanda terdapat dua istilah mengenai hukum ini, yaitu bestuurrecht dan
administratief recht, kata administratie sering diterjemahkan tata usaha, tata usaha
pemerintahan, tata pemerintahan, tata usaha Negara, dan administrasi. Sedang
bestuur diterjemahkan dengan pemerintahan. Perbedaan terjemahan ini berakibat pada
perbedaan penamaan terhadap cabang hukum ini, yakni seperti Hukum Administrasi
Negara, Hukum Tata Pemerintahan, Hukum Tata Usaha Pemerintahan, Hukum Tata
Usaha, Hukum Tata Usaha Negara, Hukum Tata Usaha Negara Indonesia, Hukum
Administrasi Negara Indonesia, dan Hukum Administrasi. Adanya keragaman istilah ini
berkembang kecenderungan menggunakan istilah Hukum Administrasi Negara, karena

20
J.B.J.M. ten Berge, op. cit., hlm. 24-25
lebih luas pengetiannnya, sehingga membuka ke arah pengembangan hukum lebih
lanjut.

a.1. Adiministrasi Negara


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, administrasi diartikan sebagai berikut; pertama,
usaha dan kegiatan yang meliputi penetapan tujuan serta penetapan cara-cara
penyelenggaraan pembinaan organisasi; kedua, usaha dan kegiatan yang berkaitan
dengan penyelenggaraan kebijaksaan serta mencapai tujuan.; ketiga, kegiatan yang
berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan; keempat, kegiatan kantor dan tata
usaha. Prajudi Atmosudirdjo mengemukakan bahwa administrasi Negara mempunyai
tiga arti, yaitu; pertama, sebagai salah satu fungsi pemerintah; kedua, sebagai aparatur
(machinery) dan aparat (apparatus) daripada pemerintah; ketiga, sebagai proses
penyelenggaraan tugas pekerjaan pemerintah yang memerlukan kerjasama secara
tertentu.21

a.2. Pemerintah/Pemerintahan
Pemerintahan adalah bestuurvoering atau pelaksanaan tugas pemerintah, sedangkan
pemerintah ialah organ/alat atau aparat yang menjalankan pemerintahan. Pemerintah
dalam arti luas mencakup semua alat kelengkapan Negara, yang pada pokoknya terdiri
dari cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudisial atau alat-alat
kelengkapan Negara lain yang bertindak untuk dan atas nama Negara. Dalam
pengertian sempit pemerintah adalah cabang kekuasaan eksekutif. 22 Pemerintah dalam
arti sempit adalah organ/alat perlengkapan Negara yang diserahi tugas pemerintahan
atau melaksanakan undang-undang, sedangkan dalam arti luas mencakup semua
badan yang menyelenggarakan semua kekuasaan di dalam Negara baik kekuasaan
eksekutif maupun kekuasaan legislative dan yudikatif. 23
Dalam berbagai kepustakaan, istilah pemerintahan disebutkan memiliki dua pengertian
yaitu sebagai fungsi dan sebagai organisasi, pemerintahan sebagai fungsi – yakni
aktivitas memerintah – adalah melaksanakan tugas-tugas pemerintahan. Dalam istilah
Donner; ‘penyelenggaraan kepentingan umum oleh dinas publik’. Pemerintahan
(umum) sebagai organ adalah kumpulan organ-organ dari organisasi pemerintahan
yang dibebani dengan pelaksanaan tugas pemerintah.

21
Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm. 11
22
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni, Bandung,
1997, hlm. 158-159
23
SF. Marbun dan Moh. Mahfud, op. cit. hlm. 8
b. Pengertian Hukum Administrasi Negara
Hukum Administrasi Negara adalah:
Seperangkat peraturan yang memungkinkan administrasi Negara menjalankan
fungsinya yang sekaligus juga melindungi warga terhadap sikap tindak administrasi
Negara, dan melindungi administrasi Negara itu sendiri. 24

Menguji hubungan hukum istimewa yang diadakan akan memungkinkan para pejabat
(ambtsdrager) administrasi Negara melakukan tugas mereka yang khusus. Utrecht
menyebutkan bahwa HAN adalah hukum yang mengatur sebagian lapangan pekerjaam
administrasi Negara. Bagian lain diatur oleh Hukum Tata Negara (hukum Negara dalam
arti sempit), Hukum Privat, dan sebagainya. 25

Berdasarkan beberapa definisi tampak bahwa dalam HAN terkandung dua aspek yaitu;
pertama, aturan-aturan hukum yang mengatur dengan cara bagaimana alat-alat
perlengkapan Negara itu melakukan tugasnya; kedua, aturan-aturan hukum yang
mengatur hubungan antara alat perlengkapan adiministrasi Negara dengan para warga
negaranya. Seiring dengan perkembangan tugas-tugas pemerintahan, khususnya dalam
ajaran welfare state, yang memberikan kewenangan yang luas kepada administrasi
Negara termasuk kewenangan dalam bidang legislasi, maka peraturan-peraturan
hukum dalam hukum administrasi Negara di samping dibuat oleh lembaga legislative,
juga ada peraturan-peraturan yang dibuat secara mandiri oleh administrasi Negara.
Dengan demikian maka hukum administrasi Negara adalah hukum dan peraturan-
peraturan yang berkenaan dengan pemerintah dalam arti sempit atau administrasi
Negara, peraturan-peraturan tersebut dibentuk oleh lembaga legislative untuk
mengatur tindakan pemerintahan dalam hubungannnya dengan warga Negara, dan
sebagian peraturan-peraturan itu dibentuk pula oleh administrasi Negara.

C. Ruang Lingkup Hukum Administrasi Negara


Dari pemaparan beberapa sarjana, dapat disebutkan bahwa hukum admininistrasi
adalah hukum yang berkenaan dengan pemerintahan (dalam arti sempit), yaitu hukum
yang cakupannya – secara garis besar – mengatur :
1. Perbuatan pemerintah (pusat dan daerah) dalam bidang publik;

24
Sjahran Basah, Perlindungan Hukum terhadap Sikap-Tindak Administrasi Negara, Alumni,
Bandung,1992, hlm. 4
25
E, Utrecht, op. cit.., hlm. 8-9
2. Kewenangan pemerintahan (dalam melakukan perbuatan di bidang public
tersebut); di dalamnya diatur mengenai dari mana, dengan cara apa, dan
bagaimana pemerintah menggunakan kewenangannya; penggunaan
kewenangan ini dituangkan dalam bentuk instrument hukum, karena itu diatur
pula tentang pembuatan dan penggunaan instrument hukum;
3. Akibat-akibat hukum yang lahir dari perbuatan atau penggunaan kewenangan
pemerintah itu;
4. Penegakan hukum dan penerapan sanksi-sanksi dalam bidang pemerintah.
Sehubungan dengan adanya hukum administrasi tertulis, yang tertuang dalam berbagai
peraturan perundang-undangan, dan hukum administrasi tidak tertulis, yang lazim
disebut asas-asas umum pemerintahan yang layak, maka keberadaan dan sasaran dari
hukum adminstrasi adalah sekumpulan peraturan hukum tentang pemerintahan dalam
berbagai dimensinya untuk terciptanya penyelenggaraan pemerintahan yang layark
dalam suatu Negara.

3. Hubungan Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara

Pada abad 19 hukum tata Negara dan hukum administrasi Negara merupakan satu
kesatuan, dan hukum administrasi Negara dianggap sebagai tambahan dari hukum tata
Negara (aanhangsel van het staatsrecht) atau sebagai bagian dari hukum tata Negara
(al seen deelgebied van het staatsrecht).
Keterkaitan Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara, dapat dilihat dari
beberapa pendapat di bawah ini :
Van Vollenhoven mengatakan : “Badan pemerintah tanpa aturan hukum Negara akan
lumpuh, oleh karena badan ini tidak mempunyai wewenang apapun atau wewenangnya
tidak berketentuan, dan badan pemeritah tanpa hukum administrasi Negara akan bebas
sepenuhnya, oleh karena badan ini dapat menjalankan wewenangnya menurut
kehendaknya sendiri”.
J.B.J.M ten Berge mengatakan : “hukum administrasi Negara adalah sebagai
perpanjangan dari hukum negara atau hukum sekunder dari hukum tanta Negara”.
Bahsan Mustafa mengatakan : “hukum tata negara dan hukum administrasi Negara
itu merupakan dua jenis hukum yang dapat dibedakan akan tetapi tidak dapat
dipisahkan yang satu dari yang lainnya”.
Kranenburg mengatakan : “kita tidak mungkin mempelajari hukum administrasi,
tanpa didahului (dengan pelajaran) hukum tata Negara”.
Adapun objek kajian dari kedua hukum sulit untuk melihat garis batasnya, beberapa
pendapat di bawah ini :
Oppenheim menyatakan : hukum tata Negara mempelajari Negara dalam keadaan
diam (staat in rust) dan hukum administrasi Negara mempelajari Negara dalam
keadaan bergerak (staat in beweging).

H.J. Romeijn mengatakan : hukum tata Negara itu statis, sedangkan hukum
administrasi Negara itu dinamis.

Logemann menyebutkan bahwa hukum tata Negara mempelajari: (a) jabatan-jabatan


apa yang ada di dalam susunan suatu Negara, (b) siapakah yang mengadakan jabatan-
jabatan itu, (c) cara bagaimanakah jabatan-jabatan itu ditempati oleh pejabat, (d)
fungsi jabata-jabatan itu, (e) kekuasaan hukum jabatan-jabatan itu, (f) hubungan
antara masing-masing jabatan itu, dan (g) dalam batas-batas manakah organisasi
kenegaraan dapat melakukan tugasnya. Hukum administrasi Negara mempelajari sifat,
bentuk, dan akibat perbuatan hukum istimewa sekaliannya yang dilakukan para pejabat
dalam menjalankan tugas mereka.

Perbedaan hukum tata Negara dengan hukum administrasi Negara menurut Bagir
Manan : Secara keilmuan hukum yang mengatur tingkah laku Negara (alat
perlengkapan Negara) dimasukkan ke dalam kelompok tata Negara, sedangkan hukum
yang mengatur tingkah laku pemerintah (dalam arti administrasi Negara) masuk ke
dalam kelompok hukum administrasi Negara. 26

4. Sumber-sumber Hukum Administrasi Negara


Menurut Sudikno Mertokusumo, kata sumber hukum sering digunakan dalam
beberapa arti, yaitu:
1. Sebagai asas hukum, sebagai sesuatu yang merupakan permulaan hukum,
misalnya kehendak Tuhan, akal manusia, jiwa bangsa, dan sebagainya;
2. Menunjukkan hukum terdahulu yang memberi bahan-bahan pada hokum yang
sekarang berlaku, seperti hukum perancis, hukum romawi, dan lain-lain;
26
Bagir Manan, Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Pembentukan Peraturan Perundang-
undangan, Makalah pada Penataran Nasional Hukum Acara dan Hukum Administrasi Negara, Fakultas
Hukum Unhas, Ujung Pandang, 1996, hlm. 11-12
3. Sebagai sumber berlakunya, yang memberi kekuatan berlaku secara formal
kepada peraturan hukum (penguasa, masyarakat);
4. Sebagai sumber darimana kita dapat mengenal hukum, misalnya dokumen,
undang-undang, lontar, batu bertulis, dan sebagainya;
5. Sebagai sumber terjadinya hukum, sumber yang menimbulkan hokum. 27

a. Sumber Hukum Materiil ialah Faktor-faktor masyarakat yang mempengaruhi


pembentukan hukum (pengaruh terhadap pembuat UU, pengaruh terhadap keputusan
hakim, dan sebagainya), 28atau faktor-faktor yang ikut mempengaruhi materi (isi) dari
aturan-aturan hukum,29atau tempat dari mana maateri hokum itu diambil. Sumber
hukum materiil ini merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum. 30Ada 3
jenis Sumber hukum materiil:
1/ Sumber Hukum Historis, pertama memiliki arti sebagai sumber pengenalan – tempat
menemukan - hukum pada saat tertentu, meliputi UU, putusan-putusan hakim, tulisan-
tulisan ahli hukum, dan tulisan non hukum yang memuat mengenai lembaga-lembaga
hukum. Kedua sebagai sumber dimana pembuat UU mengambil bahan dalam
membentuk peraturan perundang-undangan, meliputi system-sistem hukum masa lalu
yang pernah berlaku pada tempat tertentu seperti system hukum Romawi, Perancis
dsb. Juga dokumen-dokumen dan surat-surat keterangan yang berkenaan dengan
hukum pada saat dan tempat ttt.
2/ Sumber Hukum Sosiologis, meliputi faktor-faktor social yang mempengaruhi isi
hukum positif. Artinya peraturan hukum tertentu mencerminkan kenyataan yang hidup
dalam masyarakat;
3/ Sumber Hukum Filosofis, pertama memiliki arti sebagai sumber untuk isi hukum yang
adil. Kedua sebagai sumber untuk mentaati kewajiban terhadap hukum. 31 Atau sebagai
sumber untuk kekuatan mengikat dari hukum, untuk menjawab pertanyaan mengapa
kita harus mematuhi hukum.

b. Sumber Hukum Formal ialah sebagai tempat atau sumber dari mana suatu peraturan
memperoleh kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang
menyebabkan peraturan hokum itu formal berlaku. Terdiri dari:

27
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1996, hlm 69.
28
N.E. Algra, ejjt.al., Mula Hukum, Bina Cipta, Bandung, 1983, hlm. 16
29
S.F. Marbun dan Moh. Mahfud, loc.cit., hlm. 21
30
Sudikno Mertokusumo, op. cit., hlm. 70
31
P.J.P. Tak, op. cit., hlm 53
1/ Peraturan Perundang-undangan, yakni peraturan hukum bilamana peraturaan itu
mengikat setiap orang dank arena itu ketaatannya dapat dipaksakan oleh hakim;
2/ Praktek Administrasi Negara/Hukum Tidak Tertulis. Tindakan-tindakan yang
dilakukan oleh administrasi Negara ini akan melahirkan hukum tidak tertulis atau
konvensi, jika dilakukan secara teratur dan tanpa keberatan;
3/ Yurisprudensi, dalam arti sempit adalah ajaran hukum yang tersusun dari dan dalam
peradilan, yang kemudaian dipakai sebagai landasan hukum. Juga diartikan sebagai
himpunan putusan-putusan pengadilan yang disusun secara sistematik; 32
4/ Doktrin. Meskipun ajaran hukum atau pendapat para sarjana hukum tidak memiliki
kekuatan mengikat, namun pendapat sarjana hukum ini begitu penting bahkan dalam
sejarah pernah terdapat ungkapan bahwa orang tidak boleh menyimpang dari pendapat
umum para ahli hukum.33

B. Syarat-Syarat Berdirinya Negara:


1. Memiliki Wilayah (a permanent territory);
2. Memiliki Rakyat;
3. Pemerintahan yang Berdaulat;
4. Pengakuan dari Negara lain.

Badan-badan Yudikatif di Indonesia:

32
N.E. Algra en H.C.J.G. Jansen, op. cit., hlm. 55
33
L.J. van Apeldoorn, op. cit., hlm. 135
1. Mahkamah Agung RI: lembaga tinggi negara dlm sistem ketatanegaraan RI yg
memegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dg Mahkamah Konstitusi. MA
membawahi badan peradilan di lingkungan peradilan umum, peradilan agama,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
2. Mahkamah Konstitusi RI: lembaga tinggi negara dlm sistem ketatanegaraan RI yg
memegang kekuasaan kehakiman bersama-sama dg MA (Ps. 1 UU No. 24/2004);
3. Komisi Yudisial RI: berdasar UU No. 22/2004 berfungsi mengawasi perilaku hakim
dan mengusulkan nama calon hakim agung.
4. Komisi Pemberantasan Korupsi: berdasar UU 30/2002 yg memiliki tugas melakukan
penyidikan, penyelidikan dan pentuntutan thd pelaku tipikor.
5. Pengadilan HAM: berdasar UU 26/2000 merupakan pengadilan khusus thd hak asasi
manusia yg berat

C. Warga Negara
Warga negara merupakan bagian terpenting dlm suatu negara. Diatur khusus dalam UU
12/2006 tentang Kewarganegaraan RI.
Ps. 2 UU 12/2006 menyatakan: “yang menjadi warga negara Indonesia adalah orang-
orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yg disahkan dg UU sbg warga
negara”.

Ps. 4 UU No. 12/2006


Warga Negara Indonesia adl:
a/ Setiap orang yg berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau berdasarkan
perjanjian Pemerintah RI dg negara lain sbl UU ini berlaku sdh menjadi warga negara
Indonesia;
b/ Anak yg lahir dr perkawinan yg sah dr seorang aya dan ibu warga negara Indonesia;
c/ Anak yg lahir dr perkawinan yg sah dr seorang ayah Warga Negara Indonesia dan
ibu warga negara asing;
d/ Anak yg lahir dr perkawinan yg sah dr seorang ayah warga negara asing dan ibu
Warga Negara Indonesia;
e/ Anak yang lahir dr perkawinan yg sah dr seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi
ayahnya tdk mempunyai kewarganegaraan atau hukum negara asal ayahnya tdk
memberikan kewarganegaraan kpd anak tsb;
f/ Anak yg lahir dlm tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal
dunia dari perkawinan yg sah dan ayahnya warga negara Indonesia;
g/ Anak yang lahir di luar perkawinan yg sah dr seorang ibu Warga Negara Indonesia;
h/ Anak yg lahir di luar perkawinan yg sah dr seorang ibu warga negara asing yg diakui
oleh seorang ayah warga negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu
dilakukan sebelum anak tsb berusia 18 tahun atau belum kawin;
i/ Anak yg lahir di wilayah negara RI yg pd waktu lahir tdk jelas status
kewarganegaraan ayah dan ibunya.
j/ Anak yg baru lahir yg ditemukan di wilayah negara RI selama ayah dan ibunya tdk
diketahui;
k/ Anak yg lahir di wilayah negara RI apabila ayah dan ibunya tdk mempunyai
kewarganegaraan atau tdk diketahui keberadaannya;
l/ Anak yg dilahirkan di luar wilayah negara RI dr seorang ayah dan itu warga negara
Indonesia krn ketentuan dr negara tempat anak tsb dilahirkan memberikan
kewarganegaraan kpd anak yg bersangkutan;
m/ Anak dr seorang ayah atau ibu yg telah dikabulkan permohonan
kewarganegaraannya, kemudian ayah dan ibunya meniggal dunia sbl mengucapkan
sumpah atau menyatakan janji setia.
Berkaitan dg warga negara di Indonesia menganut sistem kewarganegaraan ganda
terbatas, hanya terbatas bagi anak krn perkawinan antar bangsa.

Ps. 5 Ayat (1)UU 12/2006:


“Anak warga Negara Indonesia yg lahir di luar perkawinan yg sah, blm berusia 18 th
atau blm kawin diakui scr sah oleh ayahnya yg berkewarganegaraan asing tetap diakui
sbg Warga Negara Indonesia”. Sedang ayat (2): “Anak warga Negara Indonesia yg blm
berusia 5 th diangkat scr sah sbg anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan
pengadilan tetap diakui sbg warga Negara Indonesia”
Anak yg sdh 18 th hrs memilih salah satu kewarganegaraan.

Kehilangan Kewarganegaraan RI
 Ps 23 UU 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI menyatakan, warga negara RI
kehilangan kewarganegaraannya jk yg bersangkutan:
a/ Memperoleh kewarganegaraan lain atas kemauannya sendiri;
b/ Tidak menolak atau tdk melepaskan kewarganegaraan lain, sedangkan org yg
bersangkutan mendapatkan kesempatan untuk itu;
c/ Dinyatakan hilang kewarganegaraannya oleh Presiden atas permohonan sendiri,
yang bersangkutan sdh berusia 18 (delapan belas)tahun atau sudah kawin, bertempat
tinggal di luar negeri, dan dg dinyatakaan hilang Kewarganegaraan RI tdk menjadi
tanpa kewarganegaraan;
d/ Masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden;
e/ Secara sukarela masuk dalam dinas negara asing, yg jabatan dlm dinas semacam itu
di Indonesia sesuai dg ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dpt dijabat
oleh WNI;
f/ Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara
asing atau bagian dr negara asing tsb.
g/ Tidak diwajibkan ttp turut serta dlm pemilihan sst yg bersifat ketatanegaraan utk
suatu negara asing;
h/ Mempunyai paspor atau surat yg bersifat paspor dr negara asing atau surat yg dpt
diartikan sbg tanda kewarganegaraan yg msh berlaku dr neg lain atas namanya; atau
i/ Bertempat tinggal di luar wilayah RI selama 5 (lima) tahun terus menerus bkn dlm
rangka dinas negara, tanpa alasan yg sah dan dg -
Sengaja tdk menyatakan keinginannya utk tetap menjadi WNI sbl jangka waktu 5 (lima)
th itu berakhir, dan setiap 5 (lima) tahun berikutnya yg bersangkutan tdk mengajukan
pernyataan utk ttp menjadi WNI Kepada Perwakilan RI yg wilayah kerjanya meliputi
tempat tinggal yg bersangkutan padahal Perwakilan Ri tsb telah memberitahukan scr
tertulis kpd yg bersangkutan, sepanjang yg bersangkutan tdk menjadi tanpa
kewarganegaraan.
Ps 24 UU 12/2006 tdk berlaku utk mereka yg mengikuti program pendidikan di negara
lain yg mengharuskan mengikuti wajib militer.

Ps 25 UU 12/2006:
(1) Kehilangan Kewarganegaraan RI bg seorang ayah tdk dg sendirinya berlaku thd
anaknya yg mempunyai hub hk dg ayahnya sampai dg anak tsb berusia 18 th atau
sdh kawin;
(2) Kehilangan Kewarganegaraan RI bg seorang ibu tdk dg sendirinya berlaku thd
anaknya yg tdk mempunyai hub hk dg ayahnya sampai dg anak tsb berusia 18 th
atau sdh kawin;
(3) Kehilangan Kewarganegaraan RI krn memperoleh kewarganegaraan lain bg
seorang ibu yg putus perkawinannya, tdk dg sendirinya berlaku thd anaknya sampai
dg anak tsb berusia 18 th atau sdh kawin;
(4) Dalam hal status Kewarganegaraan RI thd anak sbgmn dimaksud pd ay (1), ay
(2), dan ay (3) berakibat anak berkewarganegaraan ganda, seelah berusia 18 th
atau sdh kawinanak tsb hrs menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya
sbgmn dimaksud dlm Ps. 6.

Ps 26 UU 12/2006
(1) Perempuan WNI yg kawin dg laki-laki warga negara asing kehilangan
Kewarganegaraan RI jika menurut hukum negara asal suaminya,
kewarganegaraan istri mengikuti kewarganegaraan suami sbg akibat perkawinan
tsb;
(2) Laki-laki WNI yg kawin dg perempuan warga negara asing kehilangan
Kewarganegaraan RI jika menurut hukum negara asal istrinya, kewarganegaraan
suami mengikuti kewarganegaraan istri sbg akibat perkawinan tsb;
(3) Perempuan sbgmn dimaksud pd ay (1) atau laki-laki sbgmn dimaksud pd ay (2)
jk ingin tetap menjadi WNI dpt mengajukan surat pernyataan mengenai
keinginannya kpd Pejabat atau Perwakilan RI yg wilayahnya meliputi tempat
tinggal perempuanatau laki-laki tsb, kecuali pengajuan tsb mengakibatkan
kewarganegaraan gand;
(4) Surat pernyataan sbgmn dimakud pd ay (3) dpt diajukan oleh perempuan sbgmn
dimaksud pd ay (1) atau laki-laki sbgmn dimaksud pd ay (2) stl 3 (tiga) th sejak
tanggal perkawinannya berlangsung.

Ps 27 UU 12/2006:
“Kehilangan Kewarganegaraan bg suami atau istri yg terikat perkawinan yg sah tdk
menyebabkan hilangnya status kewarganegaraan dr istri atau suami.”

Ps 28 UU 12/2006:
“Setiap org yg memperoleh Kewarganegaraan RI berdasarkan keterangan yg kemudian
hr dinyatakan palsu atau dipalsukan, tdk benar, atau terjadi kekeliruan mengenai
orangnya oleh instansi yg berwenang, dinyatakan batal kewarganegaraannya”.
Ps 29 UU 12/2006
“Menteri mengumumkan nama orang yg kehilangan Kewarganegaraan RI dlm Berita
Negara RI”.

Bab 6
Hak dan Kewajiban Warga Negara dan Pemerintah Dilihat dari Segi HAN
1. Kedudukan Hukum (Rechtspositie) Pemerintah
Pembagian hukum ke dalam hukum publik dan hukum privat dilakukan oleh ahli
hukum Romawi, Ulpianus, mengatakan :”hukum publik adalah hukum yang
berkenaan dengan kesejahteraan Negara Romawi, sedangkan hukum privat
adalah hukum yang mengatur hubungan kekeluargaan”, memiliki pengaruh
besar, termasuk dalam mengkaji keberadaan pemerintah dalam melakukan
pergaulan hukum.
Pemerintah melaksanakan kegiatan dalam hukum publik sebagai wakil jabatan
(ambt). Sedang dalam hukum privat sebagai wakil dari badan hukum
(rechtspersoon).
Dalam perspektif hukum publik, Negara adalah organisasi jabatan. Logeman
mengatakan : “Dalam bentuk kenyataan sosialnya, Negara adalah organisasi
yang berkenaan dengan berbagai fungsi, Yang dimaksud dengan fungsi adalah
lingkungan kerja yang terperinci dalam hubungannya secara keseluruhan.
Fungsi-fungsi ini dinamakan jabatan. Negara adalah organisasi jabatan.” 34
“Jabatan adalah suatu lembaga dengan lingkungan pekerjaan sendiri yang
dibentuk untuk waktu lama dan kepadanya diberikan tugas dan wewenang.” 35
Bagir Manan menyatakan, jabatan adalah lingkungan pekerjaan tetap yang
berisi fungsi-fungsi tertentu yang secara keseluruhan mencerminkan tujuan dan
tata kerja suatu organisasi. Negara berisi berbagai jabatan atau lingkungan kerja
tetap dengan berbagai fungsi untuk mencapai tujuan Negara. 36
Berdasarkan ajaran hukum keperdataan dikenal istilah subyek hukum, yaitu
pendukung hak dan kewajiban, yang terdiri dari manusia dan badan hukum.
Badan hukum ini terdiri dari dua bagian yaitu badan hukum privat dan badan
hukum publik. Menurut Chidir Ali, ada tiga kriteria untuk menentukan status

34
Logemann, Over de Theorie van een Stellig Staatsrecht, Saksama, Jakarta, 1954, hlm. 88.
35
N.E. Algra en H.C.J.G Janssen, op. cit., hlm. 175.
36
Bagir Manan, Pengisian Jabatan Presiden Melalui (dengan) Pemilihan Langsung, Makalah, hlm. 1
badan hukum publik yaitu; Pertama, dilihat dari pendiriannya, badan hukum itu
diadakan dengan konstruksi hukum publik yang didirikan oleh penguasa dengan
undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya; Kedua, lingkungan kerjanya
yaitu melaksanakan perbuatan-perbuatan publik; ketiga, badan hukum itu diberi
wewenang public seperti membuat keputusan, ketetapan atau peraturan yang
mengikat umum. Termasuk dalam kategori badan hukum publik yaitu Negara,
Propinsi, Kabupaten dan Kotapraja, dan lain-lain. 37

a. Kedudukan Pemerintah dalam Hukum Publik


Dalam perspektif hukum publik Negara adalah organisasi jabatan. Diantara
jabatan-jabatan kenegaraan ini terdapat jabatan pemerintahan, yang menjadi
obyek hukum administrasi Negara. Menurut P. Nicolai dan kawan-kawan, ada
beberapa ciri yang terdapat pada jabatan atau organ pemerintahan yaitu:
1. Organ pemerintahan menjalankan wewenang atas nama dan tanggung jawab
sendiri, yang dalam pengertian modern diletakkan sebagai pertanggungjawaban
politik dan kepegawaian atau tanggung jawab pemerintah sendiri di hadapan
Hakim. Organ pemerintah adalah pemikul kewajiban tanggungjawab.
2. Pelaksanaan wewenang dalam rangka menjaga dan mempertahankan norma
hukum administrasi, organ pemerintahan dapat bertindak sebagai pihak tergugat
dalam proses peradilan, yaitu dalam hal ada keberatan, banding, atau
perlawanan.
3. Di samping sebagai pihak tergugat, organ pemerintahan juga dapat tampil
menjadi pihak yang tidak puas, artinya sebagai penggugat.
4. Pada prinsipnya organ pemrintahan tidak memiliki harta kekayaan sendiri. Organ
pemerintahan merupakan bagian (alat) dari badan hukum menurut hukum privat
dengan harta kekayaannya. Jabatan Bupati atau Walikota adalah organ-organ
dari badan umum “Kabupaten”. Berdasarkan aturan hukum badan umum inilah
yang dapat memiliki harta kekayaan, bukan organ pemerintahannya.
Oleh Karena itu, jika ada putusan Hakim yang berupa denda atau uang paksa
(dwangsom) yang dibebankan kepada organ pemerintah atau hukuman ganti
kerugian dari kerusakan, maka kewajiban membayar dan ganti kerugian itu
dibebankan kepada badan hukum (sebagai pemegang harta kekayaan).
Meskipun jabatan pemerintahan ini dilekati dengan hak dan kewajiban atau
diberi wewenang untuk melakukan tindakan hukum, namun jabatan tidak dapat

37
Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1987, hlm.62
bertindak sendiri. Jabatan dapat melakukan perbuatan hukum, yang dilakukan
melalui perwakilan (vertegenwoordiging) yaitu pejabat (ambtsdrager).
Antara jabatan dengan pejabat memiliki hubungan yang erat, namun di antara
keduanya sebenarnya memiliki kedudukan hukum yang berbeda atau terpisah
dan diatur dengan hukum yang berbeda. Jabatan dan pejabat diatur dan tunduk
pada hukum yang berbeda. Jabatan diatur oleh hukum tata Negara dan hukum
administrasi, sedangkan pejabat diatur dan tunduk pada hukum kepegawaian.

b. Macam-macam Jabatan Pemerintahan


S.F. Marbun menjelaskan pengertian Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang menyelenggarakan urusan, fungsi atau tugas pemerintahan, yakni:
1. Mereka yang termasuk dalam lingkungan eksekutif mulai dari Presiden
sebagai Kepala Pemerintahan (termasuk pembantu-pembantunya di pusat
seperti Wakil Presiden, para menteri dan Lembaga-lembaga non-
departemen);
2. Mereka yang menyelenggarakan urusan desentralisasi, yaitu Kepala Daerah
Tingkat I (termasuk Sekretariat Daerah Tingkat I dan Dinas-dinas Daerah
Tingkat I), Kepala Daerah Tingkat II (termasuk Sekretariat Tingkat II dan
Dinas-dinas Tingkat II) dan Pemerintahan Desa.
3. Mereka yang menyelenggarakan urusan dekonsentrasi seperti Gubernur
(termasuk Sekretaris Wilayah dan Kanwil-kanwil, Bupati (termasuk
Sekretariat Wilayah dan Kandep-kandep), Walikotamadya, Walikota
Administratif, Camat, serta Lurah;
4. Pihak ketiga atau pihak swasta yang mempunyai hubungan istimewa atau
hubungan biasa dengan pemerintah, baik yang diatur atas dasar hukum
public maupun hukum privat;
5. Pihak ketiga atau swasta yang memperoleh konsesi atas izin dari pemerintah;
6. Pihak ketiga atau swasta yang diberi subsidi oleh pemerintah, misalnya
sekolah-sekolah swasta;
7. Yayasan-yayasan yang didirikan dan diawasi oleh pemerintah;
8. Pihak ketiga atau Koperasi yang didirikan dan diawasi oleh pemerintah;
9. Pihak ketiga atau Bank-bank yang didirikan dan diawasi oleh pemerintah;
10.Pihak ketiga atau swasta yang bertindak bersama-sama dengan pemeritah
(Persero), seperti BUMN yang memperoleh atribusi wewenang, PLN, Pos dan
Giro, PAM, Telkom, Garuda, dan lain-lain;
11.Ketua Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan Tinggi dan Ketua Mahkamah
Agung serta Panitera dalam lingkungan peradilan;
12.Sekretariat pada Lembaga Tertinggi Negara (MPR) dan Lembaga-lembaga
Tinggi Negara serta Sekretariat pada DPRD. 38

c. Kedudukan Pemerintah dalam Hukum Privat


Telah disebutkan bahwa Negara dalam perspektif hukum perdata adalah sebagai
badan hukum publik. Badan Hukum adalah Kumpulan orang, yaitu semua yang
di dalam kehidupan masyarakat – dengan beberapa perkecualian – sesuai
dengan ketentuan UU dapat bertindak sebagai manusia, yang memiliki hak-hak
dan kewenangan-kewenangan, seperti kumpulan orang (dalam suatu badan
hukum), perseroan terbatas, perusahaan perkapalan, perhimpunan (sukarela),
dan sebagainya.
Dalam kepustakaan ada beberapa unsur dari badan hukum, yaitu sebagai
berikut:
1. Perkumpulan orang (organisasi yang teratur);
2. Dapat malakukan perbuatan hukum dalam hubungan-hubungan hukum;
3. Adanya harta kekayaan yang terpisah;
4. Mempunyai kepentingan sendiri;
5. Mempunyai pengurus;
6. Mempunyai tujuan tertentu;
7. Mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban;
8. Dapat digugat atau menggugat di depan pengadilan; 39

Bila berdasarkan hukum publik Negara adalah organisasi jabatan atau kumpulan
dari organ-organ kenegaraan, yang di dalamnya terdapat organ pemerintahan,
maka berdasarkan hukum perdata, Negara adalah kumpulan dari badan-badan

38
S.F. Marbun, op. cit., hlm. 141
39
Dikutip dari Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, BAndung, hlm. 21.
hukum, yang di dalamnya terdapat badan (lichaam) pemerintahan. Tindakan
hukum badan pemerintahan dilakukan oleh pemeintah.

2. Kewenangan Pemerintah

a. Asas Legalitas (legaliteitsbeginsel).


Asas Legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar
dalam setiap pengyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap Negara
hukum, terutama Negara continental. Asas ini juga disebut dengan kekuasaan
undang-undang. Hukum Pidana mengenal asas ini sebagai: Tidak ada hukuman
tanpa undang-undang. Kaidah Hukum Islam mengenal: Tidak ada hukum bagi
orang berakal sebelum ada ketentuan nash. HAN mengenal sebagai: bahwa
pemerintah tunduk kepada undang-undang.
Menurut Sjachran Basah, asas legalitas berarti upaya mewujudkan duet
integral secara harmonis antara paham kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat
berdasarkan prinsip monodualistis selaku pilar-pilar, yang sifat hakikatnya
konstitutif.40
Bagir Manan menyebutkan adanya kesulitan yang dihadapi oleh hukum tertulis,
yaitu; pertama, hukum sebagai bagian dari kehidupan masyarakat mencakup
semua aspek kehidupan yang sangat luas dan kompleks, sehingga tidak mungkin
seluruhnya dijelmakan dalam peraturan perundang-undangan; kedua, peraturan
perundang-undangan sebagai hukum tertulis sifatnya statis (pada umumnya),
tidak dapat dengan cepat mengikuti gerak pertumbuhan, perkembangan dan
perubahan masyarakat yang harus diembannya. 41

b. Wewenang Pemerintah
Substansi asas legalitas adalah wewenang, yaitu kemampuan untuk melakukan
tindakan-tindakan hukum tertentu. H.D. Stout mengatakan bahwa, wewenang
adalah pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat
dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan
dan penggunaan wewenang-wewenang pemerintahan oleh subyek hukum public
di dalam hubungan hukum public.42

40
Sjachran Basah, Perlindungan… op. cit. hlm. 2
41
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Peranan Peraturan Perundang-undangan dalam Pembinaan Hukum
Nasional, Armico, Bandung, 1987, hlm. 16
42
H.D. Stout, op. cit., hlm. 102
Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan
kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau
tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban
(rechten en plichten).43

c. Sumber dan Cara Memperoleh Wewenang Pemerintahan


Seiring dengan pilar utama Negara hukum yaitu asas legalitas, maka
berdasarkan prinsip ini tersirat bahwa wewenang pemerintahan berasal dari
peraturan perundang-undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah
adalah peraturan perundang-undangan.
Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan-perundang-
undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara, yaitu: atribusi, delegasi, dan
mandat.
H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut:44
1. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-
undang kepada organ pemerintahan.
2. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ
pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya.
3. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya
dijalankan oleh organ lain atas namanya.

Dalam hal pelimpahan wewenang pemerintahan melalui delegasi ini terdapat


syarat-syarat sebagai berikut:
1. delegasi harus definitive dan pemberi delegasi (delegans) tidak dapat lagi
menggunakan sendiri wewenang yang telah dilimpahkan itu;
2. delegasi harus berdasarkanketentuan perundang-undangan;
3. delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hubungan hirarki kepegawaian
tidak diperkenankan adanya delegasi;
4. adanya kewajiban mempertanggungjawabkan dari penerima delegasi
(delegataris) kepada delegans;

43
Bagir Manan, Wewenang Propinsi, Kabupaten, dan Kota dalam Rangka Otonomi Daerah, Makalah pada
Seminar Nasional, Fakultas Hukum Umpat, Bandung, 13 Mei 2000, hlm 1-2
44
H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, op. cit. hlm. 129.
5. delegans dapat memberikan instruksi tentang penggunaan wewenang tersebut
kepada delegataris.

Salah satu prinsip dalam Negara hukum, yaitu: tidak ada kewenangan tanpa
pertanggungjawaban. Setiap pemberian kewenangan kepada pejabat
pemeintahan tertentu, tersirat di dalamnya pertanggungjawaban dari pejabat
yang bersangkutan. Berdasarkan keterangan tersebut di atas, tampak bahwa
wewenang yang diperoleh secara atribusi bersifat asli yang berasal dari
peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan
memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi pasal tertentu dalam
suatu peraturan perundang-undangan. Dalam hal atribusi, penerima wewenang
dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah
ada, dengan tanggungjawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang
diatribusikan sepenuhnya kepada penerima wewenang (atributraris). Pada
delegasi tidak ada penciptaan wewenang, yang ada hanya pelimpahan
wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat lainnya. Tanggung jawab
yuridis tidak lagi beri pada pemberi delegasi (delegans) tetapi beralih pada
penerima delegasi (delegataris). Sementara pada mandate, penerima mandate
(mandataris) hanya bertindak untuk dan atas nama pemberi mandate
(mandans), tanggung jawab akhir keputusan yang diambil mandataris tetap
berada pada mandas. Hal ini karena pada dasarnya, penerima mandate ini bukan
pihak lain dari pemberi mandate. Perbedaan antara delegasi dan mandate:
1. Delegasi: pelimpahan wewenang; Mandat: Perintah untuk melaksanakan.
2. Delegasi: kewenangan tidak dapat dijalankan secara insidental oleh organ yang
memiliki wewenang asli; Mandat: Kewenangan dapat sewaktu-waktu
dilaksanakan oleh mandans.
3. Delegasi: terjadi peralihan tanggungjawab; Mandat: Tidak terjadi peralihan
tanggung jawab.
4. Delegasi: harus berdasarkan UU; Mandat: Tidak harus berdasarkan UU.
5. Delegasi: harus tertulis; Mandat: Dapat tertulis, dapat pula lisan.

Philipus M. Hadjon membuat perbedaan antara delegasi dan mandat sebagai


berikut:
1. Prosedur Pelimpahan untuk Mandat: dalam hubungan rutin atasan-bawahan:
hal biasa kecuali dilarang secara tegas; Delegasi: dari suatu organ
pemerintahan kepada organ lain dengan peraturan perundang-undangan.
2. Tanggung jawab dan tanggung gugat untuk Mandat: Tetap pada pemberi
mandat; Delegasi: Tanggungjawab dan tanggung gugat beralih kepada
delegataris.
3. Kemungkinan si pemberi menggunakan wewenang itu lagi untuk Mandat:
Setiap saat dapat menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu;
Delegasi: Tidak dapat menggunakan wewenang itu lagi kecuali setelah ada
pencabutan dengan berpegang pada asas “contra-rius actus”.

Sifat wewenang pemerintahan dibagi menjadi tiga, yaitu: terikat, fakultatif, dan
bebas, terutama dengan kewenangan pembuatan dan penerbitan keputusan-
keputusan (besluiten) dan ketetapan-ketetapan (beschikkingen) oleh organ
pemerintahan, sehingga dikenal ada keputusan atau ketetapan yang bersifat
terikat dan bebas. Indroharto45 mengatakan bahwa; pertama, wewenang
pemerintahan yang bersifat terikat, yakni terjadi apabila peraturan dasarnya
menentukan kapan dan dalam keadaan yang bagaimana wewenang tersebut
dapat digunakan atau peraturan dasarnya sedikit banyak menentukan tentang isi
dari keputusan yang harus diambil, dengan kata lain, terjadi apabila peraturan
dasar yang menentukan isi dari keputusan yang harus diambil secara terinci,
maka wewenang pemerintahan semacam itu merupakan wewenang yang terikat;
kedua, wewenang fakultatif, terjadi dalam hal badan atau pejabat tata usaha
Negara yang bersangkutan tidak wajib menerapkan wewenangnya atau sedikit
banyak masih ada pilihan, sekalipun pilihan itu hanya dapat dilakukan dalam hal-
hal atau keadaan-keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan
dasarnya; ketiga, wewenang bebas, yakni terjadi ketika peraturan dasarnya
memberi kebebasan kepada badan atau pejabat tata usaha Negara untuk
menentukan sendiri mengenai isi dari keputusan yang akan dikeluarkannya atau
peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup kebebasan kepada pejabat tata
usaha Negara yang bersangkutan.

D. Tindakan Pemerintah
Pemerintah atau administrasi Negara adalah sebagai subyek hukum, sebagai
dragger van de rechten en plichten atau pendukung hak-hak dan kewajiban-
kewajiban. Sebagai subyek hukum, pemerintah sebagaimana subyek hukum
lainnya melakukan berbagai tindakan baik tindakan nyata (feitelijkhandelingen)
maupun tindakan hukum (rechtshandelingen). Tindakan nyata adalah tindakan-
tindakan yang tidak ada relevansinya dengan hukum dan oleh karenanya tidak
menimbulkan akibat-akibat hukum, sedangkan tindakan hukum menurut
45
Disarikan dari Indroharto, op. cit., hlm. 99-101
R.J.H.M. Huisman, tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat
menimbulkan akibat hukum tertentu, atau tindakan yang dimaksudkan untuk
menciptakan hak dan kewajiban. Sedang tindakan hukum administrasi menurut
H.J. Romeijn, adalah suatu pernyataan kehendak yang muncul dari organ
administrasi dalam keadaan khusus, dimaksudkan untuk menimbulkan akibat
hukum dalam bidang hukum administrasi.
Tindakan hukum pemerintahan itu merupakan pernyataan kehendak sepihak dari
organ pemerintahan dan membawa akibat pada hubungan hukum atau keadaan
hukum yang ada, maka kehendak organ tersebut tidak boleh mengandung cacat
seperti kekhilafan (dwaling), penipuan (bedrog), paksaan (dwang), dan lain-lain
yang menyebabkan akibat-akibat hukum yang tidak sah. Di samping itu, karena
setiap tindakan hukum itu harus didasarkan pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku, maka dengan sendirinya tindakan tersebut tidak boleh
menyimpang atau bertentangan dengan peraturan yang bersangkutan, yang
dapat menyebabkan akibat-akibat hukum yang muncul itu batal (nietig) atau
dapat dibatalkan (nietigbaar).

E. Unsur-unsur Tindakan Hukum Pemerintahan.


Unsur-unsur tindakan hukum pemerintahan menurut Muchsan sebagai berikut:
1. Perbuatan itu dilakukan oleh aparat pemerintah dalam kedudukannya sebagai
penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuursorganen)
dengan prakarsa dan tanggung jawab sendiri;
2. Perbuatan tersebut dilaksanakan dalam rangka menjalankan fungsi
pemerintahan;
3. Perbuatan tersebut dimaksudkan sebagai sarana untuk menimbulkan akibat
hukum di bidang hukum administrasi;
4. Perbuatan yang bersangkutan dilakukan dalam rangka pemeliharaan
kepentingan negara dan rakyat.46

46
Muchsan, Beberapa Catatan tentang Hukum Administrasi Negara dan Peradilan Administrasi Negra di
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 18-19.
F. Macam-macam Tindakan Hukum Pemerintahan.
Ada dua macam tindakan hukum pemerintah yaitu tindakan hukum publik dan
tindakan hukum privat. Tindakan hukum publik berarti tindakan hukum yang
dilakukan tersebut didasarkan pada hukum publik atau yaitu tindakan hukum
yang dilakukan berdasarkan hukum public, sedangkan tindakan hukum privat
adalah tindakan hukum yang didasarkan pada ketentuan hukum keperdataan. 47

G. Karakteristik Tindakan Hukum Pemerintahan


Dikalangan para sarjana terjadi perbedaan pendapat mengenai sifat tindakan
hukum pemerintahan ini. Sebagian menyatakan bahwa perbuatan hukum yang
terjadi dalam lingkup hukum publik selalu bersifat sepihak atau hubungan hukum
bersegi satu (eenzidige). Bagi mereka tidak ada perbuatan hukum publik yang
bersegi dua, tidak ada perjanjian yang diatur partikelir diadakan suatu
perjanjian, maka hukum yang mengatur perjanjian itu senantiasa hukum privat.
Perjanjian itu suatu perbuatan hukum yang bersegi dua karena diadakan oleh
dua kehendak (yang ditentukan dengan sukarela, yang suatu persesuaian
kehendak antara dua pihak. Sementara sebagian penulis lain menyatakan, ada
perbuatan hukum pemerintahan bersegi dua. Mereka mengakui adanya
perjanjian yang diatur oleh hukum publik seperti kortverband contract atau
perjanjian kerja yang berlaku selama jangka pendek. 48 Meskipun dikenal adanya
tindakan pemerintah yang bersegi dua, namun dari argumentasi masing-masing
penulis tampak bahwa pada prinsipnya semua tindakan pemerintah yang bersegi
dua, namun dari argumentasi masing-masing penulis tampak bahwa pada
peinsipnya semua tindakan pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugas
public lebih merupakan tindakan sepihak atau bersegi satu. Indroharto bahkan
menyebutkan bahwa tindakan hukum tata usaha Negara itu selalu bersifat
sepihak. Tindakan hukum tata usaha Negara itu dikatakan bersifat sepihak
karena dilakukan tidaknya suatu tindakan hukum tata usaha Negara yang
memiliki kukuatan hukum itu pada akhirnya tergantung kepada kehendak
sepihak dari badan atau jabatan tata usaha Negara yang memiliki wewenang
pemerintahan untuk berbuat demikian.49 Pada perjanjian kerja jangka pendek
(kortverband contract), yang dijadikan contoh hubungan hukum dua pihak dalam
hukum public, harus dianggap sebagai cara pelaksanaan tindakan pemerintahan
bukan esensi dari tindakan hukum pemerintahan itu sendiri.
47
ABAR, op. cit., hlm. 3
48
E. Utrecht, op. cit., hlm. 91-92, lihat juga Soehino, op. cit., hlm. 69, S.F. Marbun dan Moh. Mahfud, op.
cit., hlm. 147-148.
49
Indroharto, op. cit., hlm. 147-148.
Di dalam praktek, urusan pemerintahan yang sangat luas dan kompleks itu tidak
selalu dijalankan oleh pemerintah atau tata usaha Negara seperti Presiden
sebagai kepala pemerintahan beserta perangkatnya atau Kepala Daerah beserta
perangkatnya, namun dijalankan pula oleh pihak-pihak lain bahkan pihak swasta
yang mendapatkan wewenang untuk menjalankan sebagian urusan
pemerintahan. E. Utrecht menyebutkan beberapa cara pelaksanaan urusan
pemerintahan, yaitu sebagai berikut:
1. Yang bertindak ialah administrasi Negara sendiri;
2. Yang bertindak ialah subyek hukum (=badan hukum) lain yang tidak termasuk
administrasi Negara dan yang mempunyai hubungan istimewa atau hubungan
biasa dengan pemerintah;
3. Yang bertindak ialah subyek hukum lain yang tidak termasuk administrasi Negara
dan yang menjalankan pekerjaannya berdasarkan suatu konsesi atau
berdasarkan izin (vergunning) yang diberikan oleh pemerintah;
4. Yang bertindak ialah subyek hukum lain yang tidak termasuk administrasi Negara
dan yang diberi subsidi pemerintah;
5. Yang bertindak ialah pemerintah bersama-bersama dengan subyek hukum lain
yang bukan administrasi Negara dan kedua belah pihak itu tergabung dalam
bentuk kerjasama (vorm van samenwerking) yang diatur oleh hukum privat;
6. Yang bertindak ialah yayasan yang didirikan oleh pemerintah yang diawasi
pemerintah;
7. Yang bertindak ialah subyek hukum lain yang bukan administrasi Negara tetapi
diberi suatu kekuasaan memerintah (delegasi perundang-undangan).

A. Hak dan Kewajiban Warga Negara


Hak yg dimiliki warga negara:
1. Hak utk mendapatkan informasi ttg syarat-syarat apa yg hrs dipenuhi/dilengkapi
oleh warga negara sbg pemohon;
2. Hak utk mendapatkan informasi ttg jangka waktu penyelesaian izin atau surat
keputusan berapa lama dlm prosesnya tsb;
3. 3. Hak utk mendapatkan gambaran ttg alur atau proses penyelesaian atau SOP;
4. Hak utk mendapatkan informasi ttg berapa besarnya biaya yg dibayar oleh
Pemohon utk biaya administrasi yg sesuai dg peraturan perundang-undangan yg
berlaku;
5. Izin atau Surat Keputusan/KTUN;
6. Adapun kewajibannya adl pemohon melengkapi persyaratan yg telah ditentukan
oleh peraturan per-UU-an yg berlaku dan Pemohon membayar biaya yg telah
ditentukan dlm peraturan per-UU-an yg berlaku.

B. Hak dan Kewajiban Pejabat Pemerintahan


Ps 6 UU No. 30/2015 ttg Administrasi Pemerintahan, menyatakan: ayat (1). Pejabat
pemerintahan memiliki hak utk menggunakan kewenangan dlm mengambil
keputusan dan/atau tindakan; Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa Hak sbgmn
dimaksud pd ayat (1) meliputi:

Hak Pejabat Pemerintahan:


a. Melaksanakan kewenangan yg dimiliki berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangn dan AUPB;
b. Menyelenggarakan aktivitas pemerintahan berdasarkan kewenangan yg dimiliki;
c. Menetapkan Keputusan berbentuk tertulis atau elektronis dan/atau menetapkan
tindakan.
d. d. Menerbitkan atau tidak menerbitkan, mengubah, mengganti, mencabut,
menunda, dan/atau membatalkan Keputusan dan/atau Tindakan;
e. e. Menggunakan Diskresi sesuai dengan tujuannya;
f. f. Mendelegasikan dan memberikan Mandat kpd Pejabat Pem lainnya sesuai dg
ketentuan perat per-UU-an;
g. g. Menunjuk pelaksana harian atau pelaksana tugas utk melaksanakan tugas
apbl pejabat definitif berhalangan;
h. h. Menerbitkan izin, Dispensasi, dan/atau Konsesi sesuai dg ketentuan perat
per-UU-an;
i. i. Memperoleh perlindungan hukum dan jaminan keamanan dlm menjalankan
tugasnya;
j. j. Memperoleh bantuan hukum dalam pelaksanaan tugasnya;
k. k. Menyelesaikan sengketa kewenangan di lingkungan atau wilayah
kewenangannya;
l. l. Menyelesaikan upaya administratif yg diajukan masyarakat atas Keputusan
dan/atau Tindakan yg dibuatnya; dan
m. m. Menjatuhkan sanksi administrasi kepada bawahan yg melakukan pelanggaran
sbgmn diatur dlm UU ini.

Hak-hak Pejabat Pemerintah yang lain:


1. Pejabat pemerintah berhak utk meminta persyaratan yg sesuai dg peraturan per-
UU-an;
2. Pejabata pemerintah berhak meminta kelengkapan persyaratan yg ditentukan
peraturan per-UU-an;
3. Pejabat pemerintah berhak memperoleh sebagian Penerimaan Negara Bukan
Pajak sesuai dg peraturan per-UU-an.

Kewajiban Pejabat Pemerintahan:


Ps 7 UU No. 30/2015 ttg Administrasi Pemerintahan, ayat (1) menyatakan: “Pejabat
Pemerintahan berkewajiban utk menyelenggarakan Administrasi Pemerintahan
sesuai dg ketentuan peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan, dan
AUPB;

Ayat (2) menyatakan Pejabat Pemerintahan memiliki kewajiban:


a. Membuat keputusan dan/atau tindakan sesuai dg kewenangannya;
b. Mematuhi AUPB dan sesuai dg ketentuan perundang-undangan;
c. Mematuhi prosedur pembuatan persyaratan dan/atau keputusan tindakan;
d. Mematuhi UU ini dlm menggunakan Diskresi.
e. e. Memberi bantuan kedinasan kpd Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yg
meminta bantuan utk melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan ttt;
f. f. Memberi kesempatan kpd warga masyarakat utk didengar pendapatnya
sebelum membuat keputusan dan/atau tindakan sesuai dg ketentuan peraturan
per-UU-an.
g. g. Memberikan kepada warga masyarakat yg berkaitan dg keputusan dan/atau
tindakan yg menimbulkan kerugian paling lama 10 (sepuluh) hari kerja terhitung
sejak keputusan dan/atau tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan;
h. h. Menyusun standar operasional prosedur pembuatan keputusan dan/atau
tindakan.
i. i. Memeriksa dan meneliti dokumen administrasi pemerintahan, serta membuka
akses dokumen administrasi pemerintahan kpd warga masyarakat, kecuali
ditentukan lain oleh UU;
j. j. Menerbitkan keputusan thd permohonan warga masyarakat sesuai dg hal-hal
yg diputuskan dlm keberatan/banding.

Bab 7
Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB)
Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak

Freies Ermessen dapat memunculkan peluang terjadinya benturan kepentingan antara


pemerintah dengan rakyat baik dalam bentuk onrechtmatig overgeidsdaad
(tindakan pemerintah yang bertentangan dengan hukum) , detournement de
pouvoir (penyalahgunaan wewenang), maupun dalam bentuk willekeur/abus de
droit (sewenang-wenang), yang merupakan bentuk penyimpangan tindakan
pemerintahan yang mengakibatkan terampasnya hak-hak asasi warga Negara.
Guna menghindari atau meminimalisir benturan tersebut, pada tahun 1946
pemerintah Belanda membentuk komisi yang dipimpin oleh de Monchy yang
bertugas memikirkan dan meneliti beberapa alternative tentang Verhoogde
Rechtsbescherming atau peningkatan perlindungan hukum bagi rakyat dari
tindakan administrasi Negara yang minyimpang. Pada tahun 1950 komisi de
Monchy kemudian melaporkan hasil penelitiannya tentang Verhoogde
Rechtsbescherming dalam bentuk “algemene beginselen van behoorlijk bestuur”
(abbb) atau asas-asas umum pemerintahan yang layak (AAUPL). Hasil penelitian
komisi ini tidak seluruhnya disetujui yang berujung dibubarkannya komisi ini. Lalu
dibentuk komisi van de Greenten, komisi ini juga mengalami nasib yang sama.
Pemerintah Belanda tidak sepenuh hati mewujudkan peningkatan perlindungan
hukum bagi rakyat dari tindakan administrasi Negara.
Meskipun demikian, ternyata hasil penelitian de Monchy kini digunakan dalam
pertimbangan putusan-putusan Raad van State dalam perkara admiministrasi.
Meskipun AAUPL tidak dengan mudah memasuki wilayah birokrasi untuk dijadikan
sebagai norma bagi tindakan pemerintahan, tetapi tidak demikian halnya dalam
wilayah peradilan. Bahkan sekarang AAUPL telah diterima dan dimuat dalam
berbagai peraturan perundang-undangan di Nederland.
AAUPL berkembang menjadi wacana yang dijadikan kajian pada sarjana dan ini
menunjukkan bahwa AAUPL merupakan konsep terbuka (open begrip). Sebagai
konsep terbuka, ia akan berkembang dan disesuaikan dengan ruang dan waktu
dimana konsep itu berada. Atas dasar ini tidaklah mengherankan jika secara
kontemplatif maupun aplikatif AAUPL ini berbeda-beda antara satu Negara dengan
Negara lainnya atau antara sarjana satu dengan lainnya.
Berdasarkan penelitiannya, Jazim Hamidi menemukan pengertian AAUPL sebagai
berikut:
a. AAUPL merupakan nilai-nilai etik yang hidup dan berkembang dalam
lingkungan hukum administrasi Negara;
b. AAUPL berfungsi sebagai pegangan bagi pejabat administrasi Negara
dalam menjalankan fungsinya, merupakan alat uji bagi hakim administrasi
dalam menilai tindakan administrasi Negara (yang berwujud
penetapan/beschikking), dan sebagai dasar pengajuan gugatan bagi
pihak penggungat;
c. Sebagian besar dari AAUPL masih merupakan asas-asas yang tidak
tertulis, masih abstrak, dan dapat digali dalam praktek kehidupan di
masyarakat;
d. Sebagian asas yang lain sudah menjadi kaidah hukum tertulis dan
terpencar dalam berbagai peraturan hukum positif. Meskipun sebagian
dari asas itu berubah menjadi kaidah hukum tertulis, namun sifatnya
tetap sebagai asas hukum.50

Kedudukan AAUPL dalam Sistem Hukum


Menurut Philipus M. Hadjon, AAUPL harus dipandang sebagai norma-norma hukum
tidak tertulis, yang senantiasa harus ditaati oleh pemerintah, meskipun arti yang
tepat dari AAUPL bagi tiap keadaan tersendiri tidak selalu dapat dijabarkan dengan
teliti. Dapat pula dikatakan, bahwa AAUPL adalah asas-asas hukum tidak tertulis,
dari mana untuk keadaan-keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang
dapat diterapkan.51 Sebenarnya menyamakan AAUPL dengan norma hukum tidak
tertulis dapat menimbulkan salah paham, sebab antara “asas” dengan “norma”
terdapat perbedaan. Asas merupakan dasar pemikiran yang umum dan abstrak, ide
atau konsep, dan tidak mempunyai sanksi, sedangkan norma adalah aturan yang
konkret, penjabaran dari ide, dan mempunyai sanksi. 52 Pada kenyataannya, AAUPL
ini meskipun merupakan asas namun tidak semuanya merupakan pemikiran yang
umum dan abstrak, dan dalam beberapa hal muncul sebagai aturan hukum yang
konkret atau tertuang secara tersurat dalam pasal undang-undang, serta
mempunyai sanksi tertentu. Berkenaan dengan hal ini, SF. Marbun mengatakan
bahwa norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat umumnya diartikan
sebagai peraturan, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur
bagaimana manusia seyogyanya berbuat. Karena itu pengertian norma (kaedah
hukum) dalam arti sempit mencakup asas-asas hukum dan peraturan hukum
konkret, sedangkan dalam arti luas pengertian norma ialah suatu sistem hukum
yang berhubungan satu sama lainnya. 53Lebih lanjut disebutkan bahwa asas hukum
merupakan sebagian dari kejiwaan manusia yang merupakan cita-cita yang hendak
diraihnya. Dengan demikian, apabila asas-asas umum pemerintahan yang layak
dimaknakan sebagai asas atau sendi hukum, maka asas-asas umum pemerintahan

50
Jazim Hamidi, Penerapan Asas-asas Umum Penyelenggaraan Pemerintahan yang Layak (AAUPL) di
Lingkungan Peradilan Administrasi Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm. 24.
51
Philipun M. Hadjon, et.al., op. cit., hlm. 270.
52
Ateng Syafrudin, Asas-asas Pemerintahan yang Layak Pegangan bagi Pengabdian Kepala Daerah, vide
Paulus E. Lotulung, op. cit., hlm.65
53
SF. Marbun, pembentukan, Pemberlakuan, dan Peranan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak
dalam Menjelmakan Pemerintahan yang Bak dan Bersih di Indonesia. Disertasi, Universitas Padjadjaran,
Bandung, 2001, hlm. 72
yang layak dapat dimaknakan sebagai asas hukum yang bahannya digali dan
ditemukan dari unsur susila, didasarkan pada moral sebagai hukum riil, bertalian
erat dengan etika, kesopanan, dan kepatutan berdasarkan norma yang
berlaku.54Berdasarkan keterangan ini tampak, sebagaimana juga disebutkan Jazim
Hamidi,55bahwa sebagian AAUPL masih merupakan asas hukum, dan sebagian
lainnya telah menjadi norma hukum atau kaidah hukum.

Fungsi dan Arti Penting AAUPL


Pada awal kemunculannya, AAUPL hanya dimaksudkan sebagai sarana perlindungan
hukum (rechtsbescherming) warga Negara dari tindakan pemerintah yaitu sebagai
dasar penilaian dalam peradilan dan upaya administrasi, disamping sebagai norma
hukum tidak tertulis bagi tindakan pemerintah. Dalam perkembangannya, AAUPL
memiliki arti penting dan fungsi sebagai berikut:
1. Bagi Administrasi Negara, bermanfaat sebagai pedoman dalam melakukan
penafsiran dan penerapan terhadap ketentuan-ketentuan perundang-undangan
yang bersifat sumir, samara atau tidak jelas. Kecuali itu sekaligus membatasi dan
menghindari kemungkinan administrasi Negara mempergunakan freis
ermessen/melakukan kebijaksanaan yang jauh menyimpang dari ketentuan
perundang-undangan. Dengan demikian administrasi Negara diharapkan
terhindar dari perbuatan onrechmatigedaad, detournement de pouvoir, abus de
droit, dan ultra vires (beyond the power-latin).
2. Bagi warga masyarakat, sebagai pencari keadilan, AAUPL dapat dipergunakan
sebagai dasar gugatan sebagaimana disebutkan dalam pasal 53 UU No. 5/1986;
3. Bagi Hakim TUN, dapat dipergunakan sebagai alat menguji dan membatalkan
keputusan yang dikeluarkan Badan atau Pejabat TUN;
4. Kecuali itu, AAUPL tersebut juga berguna bagi badan legislative dalam
merancang suatu undang-undang.56

Asas-asas Umum Pemerintahan yang Layak di Indonesia


Seiring dengan perjalanan waktu dan perubahan politik di Indonesia, beberapa asas
muncul dan dimuat dalam suatu UU yaitu UU No. 28 Tahun 1999 tentang
54
Ibid., hlm. 73
55
Jazim Hamidi, op. cit., hlm. 48
56
SF. Marbun, Menggali dan Menemukan Asas-asas Umum pemerintahan yang Baik di Indonesia, tulisan
pada Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 210-211.
Di dalam disertasinya, SF. Marbun menguraikan secara panjang lebar mengenai catur fungsi dari AAUPL
ini, lihat halaman 122-149
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN). Dengan format yang berbeda dengan AAUPL dari negeri Belanda,
dalam Pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999 disebutkan beberapa asas umum
penyelenggaraan Negara yaitu:
1. Asas Kepastian Hukum: asas dalam Negara hukum yang mengutamakan
landasan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan keadilan dalam setiap
kebijakan penyelenggaraan negara;
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara: asas yang menjadi landasan, keserasian,
dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggara negara;
3. Asas Kepentingan Umum: asas yang mendahulukan kesejahteraan umum
dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif;
4. Asas Keterbukaan: asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk
memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang
penyelenggaraan Negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak
asasi pribadi, golongan, dan rahasia Negara;
5. Asas Proporsionalitas: asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan
kewajiban penyelenggara negara;
6. Asas Profesionalitas: asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode
etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
7. Asas Akuntabilitas: asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir
dari kegiatan penyelenggara Negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada
masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Asas-asas yang tercantum dalam UU No. 28/1999 tsb ditujukan utk para penyelenggara
Negara secara keseluruhan, sementara AAUPL pada dasarnya hanya ditujukan pada
pemerintah dalam arti sempit.
AAUPL yang dirumuskan oleh penulis Indonesia, khususnya Koentjoro Purbopranoto
dan SF. Marbun adalah sbb:
1. Asas kepastian hukum (principle of legal security);
2. Asas keseimbangan (principle of proportionality);
3. Asas kesamaan dalam mengambil keputusan (principle of equality);
4. Asas bertindak cermat (principle of carefulness);
5. Asas motivasi untuk setiap keputusan (principle of motivation);
6. Asas tidak mencampuradukkan kewenangan (principle of non-misuse of
competence);
7. Asas permainan yang layak (principle of fair play);
8. Asas keadilan dan kewajaran (principle of reasonable or prohibition of
arbitrariness);
9. Asas kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar (principle of
meeting raised expectation);
10.Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal (principle of un-doing the
concequences of an annulled decision);
11.Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup pribadi (principle of
protecting the personal way of life);
12.Asas kebijaksanaan (sapientia);
13.Asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public service).

Penjelasan masing-masing asas-asas umum pemerintahan yang layak,


adalah sebagai berikut:57

1/ Asas kepastian hukum.


Asas ini memiliki dua aspek, yang satu lebih bersifat hukum material, yang lain bersifat
formal. Aspek hukum material terkait erat dengan asas kepercayaan. Dalam banyak
keadaan asas kepastian hukum menghalangi badan pemerintahan untuk menarik
kembali suatu keputusan atau mengubahnya untuk kerugian yang berkepentingan.
Dengan kata lain, asas ini menghendaki dihormatinya hak yang telah diperoleh
seseorang berdasarkan suatu keputusan pemerintah, meskipun keputusan itu salah.
Jadi demi kepastian hukum , setiap keputusan yang telah dikeluarkan oleh
pemerintah tidak untuk dicabut kembali. Adapun aspek yang bersifat formal dari
asas kepastian hukum membawa serta bahwa ketetapan yang memberatkan dan
ketentuan yang terkait pada ketetapan-ketetapan yang menguntungkan, harus
disusun dengan kata-kata yang jelas. Asas kepastian hukum memberikan hak
kepada yang berkepentingan untuk mengetahui dengan tepat apa yang
dikehendaki daripadanya, contoh: Surat Kuasa, Surat perintah. Asas ini berkaitan
dengan dengan prinsip dalam hukum administrasi Negara yaitu asas het

57
Sebagian besar rincian tentang asas-asas ini merujuk pada Koentjoro Purbopranoto, op. cit. hlm. 29-39.
vermoeden van rechmatigheid atau presumtio justea causa (praduga rechtmatig),
yang berarti setiap keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara yang
dikeluarkan dianggap benar menurut hukum, selama belum dibuktikan sebaliknya
atau dinyatakan sebagai keputusan yang bertentangan dengan hukum oleh hakim
administrasi.

2/ Asas Keseimbangan.
Asas ini menghendaki adanya keseimbangan antara hukuman jabatan dan kelalaian
atau kealpaan seorang pegawai. Asas ini menghendaki pula adanya kriteria yang
jelas mengenai jenis-jenis atau kualifikasi pelanggaran atau kealpaan yang
dilakukan seseorang sehingga memudahkan penerapannya dalam setiap kasus
yang ada dan seiring dengan persamaan perlakuan serta sejalan dengan kepastian
hukum. Artinya terhadap pelanggaran atau kealpaan serupa yang dilakukan orang
yang berbeda akan dikenakan sanksi yang sama, sesuai dengan kriteria yang ada,
contoh: Ps. 6 PP No. 30/1980 ttg. Peraturan Disiplin Pegawai, ditentukan adanya: a.
Hukuman disiplin ringan, b. Hukuman disiplin sedang, 3. Hukuman disiplin berat.

3/ Asas Kesamaan dalam Mengambil Keputusan.


Asas ini menghendaki agar badan pemerintahan mengambil tindakan yang sama (dlm
arti tidak bertentangan) atas kasus-kasus yang faktanya sama.

4/ Asas Bertindak Cermat atau Asas Kecermatan.


Asas ini menghendaki agar pemerintah bertindak cermat dalam melakukan berbagai
aktivitas, sehingga tidak menimbulkan kerugian warga Negara.

5/ Asas Motivasi untuk Setiap Keputusan.


Asas ini menghendaki agar setiap keputusan badan-badan pemerintahan harus
mempunyai motivasi atau alasan yang cukup sebagai dasar keputusan tersebut.
Motivasi atau alasan ini harus benar dan jelas, sehingga pihak administrable
memperoleh pengertian yang cukup atas keputusan yang ditujukan kepadanya.

6/ Asas tidak Mencampuradukkan Kewenangan.


Setiap pejabat pemerintah memiliki wewenang yang diberikan oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku atau berdasarkan pada asas legalitas. Dengan
wewenang yang diberikan itulah pemerintah melakukan tindakan-tindakan hukum
dalam rangka melayani atau mengatur warga Negara. Kewenangan pemerintah
secara umum mencakup tiga hal; kewenangan dari segi materiil (bevoegheid
ratione materiale), kewenangan dari segi wilayah (bevoegheid ratione loci), dan
kewenangan dari segi waktu (bevoegheid ratione temporis). Seorang pejabat
pemerintahan memiliki wewenang yang sudah ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan baik dari segi materi, wilayah, maupun waktu. Aspek-aspek
wewenang ini tidak dapat dijalankan melebihi apa yang sudah ditentukan oleh
peraturan yang berlaku. Artinya asas tidak mencampuradukkan kewenangan ini
menghendaki agar pejabat pemerintahan tidak menggunakan wewenangnya untuk
tujuan lain selain yang telah ditentukan dalam peraturan yang berlaku atau
menggunakan wewenang yang melampaui batas.

7/ Asas Permainan yang Layak (fair play).


Asas ini menghendaki agar warga Negara diberi kesempatan yang seluas-luasnya
untuk mencari kebenaran dan keadilan serta diberi kesempatan untuk membela diri
dengan memberikan argumentasi-argumentasi sebelum dijatuhkannya putusan
administrasi. Asas ini juga menekankan pentingnya kejujuran dan keterbukaan
dalam proses penyelesaian sengketa. Adanya instansi banding akan memungkinkan
terealisasinya asas ini, karena warga Negara yang tidak puas terhadap putusan
pengadilan tingkat pertama masih diberi kemungkinan untuk mencari kebenaran
dan keadilan, baik melalui instansi pemerintah yang lebih tinggi atau instansi lain
dari yang mengeluarkan keputusan administrasi (melalui system administratief
beroep) maupun melalui badan peradilan yang lebih tinggi. Asas ini penting dalam
peradilan administrasi Negara karena terdapat perbedaan kedudukan antara pihak
penggugat dengan tergugat.

8/ Asas Keadilan dan Kewajaran.


Asas ini menghendaki agar setiap tindakan badan atau pejabat administrasi Negara
selalu memperhatikan aspek keadilan dan kewajaran. Asas Keadilan menuntut
tindakan secara proporsional, sesuai, seimbang, dan selaras dengan hak setiap
orang. Karena itu setiap pejabat pemerintah dalam melakukan tindakannya harus
selalu memperhatikan aspek keadilan ini. Sedang asas kewajaran menekankan agar
aktivitas pemerintah memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat,
baik itu berkaitan dengan agama, moral, adat istiadat, maupun nilai-nilai lainnya.
9/ Asas Kepercayaan dan Menanggapi Pengharapan yang Wajar.
Asas ini menghendaki agar setiap tindakan yang dilakukan oleh pemerintah harus
menimbulkan harapan-harapan bagi warga Negara.

10/ Asas Meniadakan Akibat Suatu Keputusan yang Batal.


Asas ini berkaitan dengan pegawai yang dipecat dari pekerjaannya. Seorang
pegawai yang dipecat karena diduga melakukan kejahatan tetapi setelah dilakukan
proses pemeriksaan di pengadilan, ternyata pegawai yang bersangkutan tidak
bersalah, maka pegawai tersebut harus dikembalikan lagi pada pekerjaan semula.
Bahkan harus diberi ganti rugi dan harus direhabilitasi nama baiknya.

12/ Asas Kebijaksanaan


Asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya diberi kebebasan
untuk menerapkan kebijaksanaan tanpa harus terpaku pada peraturan perundang-
undangan formal. Karena peraturan perundang-undangan formal atau hukum
tertulis selalu membawa cacat bawaan yang berupa tidak fleksibel dan tidak dapat
menampung semua persoalan, serta cepat ketinggalan zaman, sementara
perkembangan masyarakat bergerak dengan cepat. Karena itu pemerintah bukan
saja dituntut untuk bertindak cepat , tetapi juga dituntut untuk berpandangan luas
dan jauh serta mampu memperhitungkan akibat-akibat yang muncul dari
tindakannya tersebut.

13/ Penyelenggaraan Kepentingan Umum.


Asas ini menghendaki agar pemerintah dalam melaksanakan tugasnya selalu
mengutamakan kepentingan umum, yakni kepentingan yang mencakup semua
aspek kehidupan orang banyak. Asas ini merupakan konsekuensi dianutnya
konsepsi Negara hukum modern (welfare state), yang menempatkan pemerintah
selaku pihak yang bertanggungjawab untuk mewujudkan bestuurzorg
(kesejahteraan umum) warga negaranya. Pada dasarnya pemerintah dalam
menjalankan berbagai kegiatan harus berdasarkan pada peraturan perundang-
undangan yang berlaku (asas legalitas), akan tetapi karena ada kelemahan dan
kekurangan asas legalitas seperti tersebut di atas, pemerintah dapat bertindak atas
dasar kebijaksanaan untuk menyelenggarakan kepentingan umum.
Penyelenggaraan kepentingan umum dapat berwujud hal-hal sebagai berikut:
a. Memelihara kepentingan umum yang khusus mengenai
kepentingan Negara. Contoh: tugas pertahanan dan keamanan.
b. Memelihara kepentingan umum dalam arti kepentingan bersama
dari warga Negara yang tidak dapat dipelihara oleh warga Negara
sendiri. Contoh: persediaan sandang pangan, perumahan
kesejahteraan, dll.
c. Memelihara kepentingan bersama yang tidak seluruhnya dapat
dilakukan oleh para warga Negara sendiri, dalam bentuk bantuan
Negara. Contoh: pendidikan dan pengajaran, kesehatan, dll.
d. Memelihara kepentingan dari warga Negara perseorangan yang
tidak seluruhnya dapat diselenggarakan oleh warga Negara sendiri,
dalam bentuk bantuan Negara. Adakalanya Negara memelihara
seluruh kepentingan perseorangan tsb. Contoh: memelihara fakir
miskin, anak yatim, anak cacat, dll.
e. Memelihara ketertiban, keamanan, dan kemakmuran setempat.
Contoh: peraturan lalu-lintas, pembangunan, perumahan, dll.

A. Asas Umum Pemerintahan yang Baik menurut Undang Undang


AUPB adl asas yg menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan norma hukum,
untuk mewujudkan Penyelenggara Negara yang bersih dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme (Ps. 1 angka 6 UU No. 28/1999 ttg Penyelenggaraan Negara yg Bersih dan
Bebas dari Korupsi dan Nepotisme).

 AUPB meliputi (Psl 3 UU No. 28/1999):


1. Asas Kepastian Hukum: berlandaskan peraturan per-UU-an, kepatutan, dan
keadilan;
2. Asas Tertib Penyelenggaraan Negara: berlandaskan keteraturan, keserasian, dan
keseimbangan .
3. Asas Kepentingan Umum: Mendahulukan kesejahteraan umum yg aspiratif,
akomodatif, dan selektif.
4. Asas Keterbukaan: membuka diri thd hak masyarakat utk memperoleh informasi yg
benar, jujur, dan tdk diskriminatif ttg penyelenggaraan negara yg tetap
memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara;
5. Asas Proporsionalitas: mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban;
6. Asas Profesionalitas: mengutamakan keahlian yg berlandaskan kode etik dan
ketentuan per-UU-an yg berlaku;
7. Asas Akuntabilitas: Setiap kegiatan dan hasil akhir dpt dipertanggungjawabkan kpd
masy dan rakyat.

Asas Penyelenggaraan Pelayanan Publik, menurut Psl 4 UU 25/2009 ttg Pelayanan


Publik:
1. Kepentingan Umum;
2. Kepastian Hukum;
3. Kesamaan Hak;
4. Keseimbangan Hak dan Kewajiban;
5. Keprofesionalan;
6. Partisipatif;
7. Persamaan Perlakuan/tdk diskriminatif;
8. Keterbukaan;
9. Akuntabilitas;
10.Fasilitas dan Perlakuan Khusus Bagi Kelompok Rentan;
11.Ketepatan Waktu;
12.Kecepatan, Kemudahan, dan Keterjangkauan.

AUPB menurut Ps 10 UU 30/2014 ttg Administrasi Pemerintahan:


1. Kepastian Hukum;
2. Kemanfaatan;
3. Ketidakberpihakan;
4. Kecermatan;
5. Tidak menyalahgunakan kewenangan;
6. Keterbuakaan;
7. Kepentingan Umum;
8. Pelayanan yang Baik.

AUPB Menurut para Sarjana:


Koentjoro Purbopranoto dan SF Marbun:
1. Asas Kepastian Hukum;
2. Asas keseimbangan;
3. Asas Kesamaan dalam mengambil keputusan;
4. Asas bertindak cermat;
5. Asas motivasi untuk setiap keputusan;
6. Asas tidak mencampuradukkan kewenangan;
7. Asas Permainan yang layak;
8. Asas Keadilan dan Kewajaran;
9. Asas Kepercayaan dan menanggapi pengharapan yang wajar;
10. Asas meniadakan akibat suatu keputusan yang batal;
11. Asas perlindungan atas pandangan atau cara hidup pribadi;
12. Asas Kebijaksanaan;
13. Asas penyelenggaraan kepentingan umum.

Asas yang diterapkan bila terjadi pembenturan keputusan:


1. Lex posterior derogat legi priori: Norma yg dibuat kemudian menghapus norma
terdahulu. Bila ada norma hukum baru, maka norma hukum lama tidak berlaku;
2. Lex spesialis derogat legi generali: Norma yang khusus menghapus norma yang
umum. Bila ada norma khusus, maka norma umum dianggap tdk berlaku;
3. Lex superior generalis derogat legi inferiori: Norma umum yang lebih tinggi
menghapus norma khusus yang lebih rendah.

Jika terjadi keberlakuan suatu keputusan:


1. Asas praduga rechmatig: Setiap keputusan pejabat tetap sah sampai ada
pembatalannya;
2. Asas Contrarius Actus: Pencabutan Keputusan dengan Keputusan Setingkat;
3. Asas Erga Omnes: Putusan mengikat bagi semua pihak;
4. Asas Superior Respondeat: Atasan bertanggungjawab atas tindakan bawahan
(kecuali bawahan bertindak atas kehendak sendiri).

Asas-asas lain dalam HAN:


1. Asas Yuridikitas (rechmatigheid): bahwa setiap tindakan pejabat administrasi
negara tdk boleh melanggar hk (sesuai dg keadilan dan kepatutan);
2. Asas Legalitas (wetmatigheid): bahwa setiap tindakan pejabat administrasi
negara hrs ada dasar hukumnya;
3. Asas Diskresi: Kebebasan seorang pejabat administrasi negara utk mengambil
keputusan berdasarkan pendapatnya sendiri ttp tdk bertentangn dg legalitas.
Bab 8
Perbuatan Pemerintah

Kepribadian Aparatur Negara:


1. Takwa kepada Tuhan YME;
2. Kepatuhan Dinamis;
3. Kesadaran perlunya kepatuhan dan ketaatan;
4. Kepatuhan yag rasional;
5. Sikap Mental;
6. Keteladanan.

A. Pemerintah
Pemerintahan dari kata pemerintah, sedang pemerintah dr kata perintah. W.Y.S.
Poerwadarminta berpendapat:
1. Perintah ialah perkataan yg bermaksud menyuruh melakukan sesuatu;
2. Pemerintah ialah kekuasaan memerintah sesuatu Negara (daerah Negara) atau
badan yg tertinggi yg memerintah sesuatu Negara (seperti cabinet merupakan
suatu pemerintah);
3. Pemerintahan ialah perbuatan (cara, hal urusan dan sebagainya) memerintah.

Secara etimilogis (tata bahasa):


1. Pemerintah ialah kata nama subjek yg berdiri sendiri. Contoh: Pemerintah Desa,
Pemerintah Daerah, dsb;
2. Pemerintahan ialah kata jadian, yang disebabkan karena subjek mendapat
akhiran ‘an’. Artinya Pemerintah sbg subjek melakukan tugas/kegiatan.
Sedangkan cara melakukan tugas/kegiatan itu disebut sebagai pemerintahan.
Tambahan akhiran ‘an’ dpt jg diartikan sbg bentuk jamak atau dpt berarti lebih
dr satu Pemerintah.

Pemerintah dalam arti luas dan sempit:


• Pemerintah dalam arti luas: mencakup semua alat kelengkapan Negara, yang
pada pokoknya terdiri dari cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislative, dan
yudisial atau alat-alat kelengkapan Negara lain yg bertindak utk dan atas nama
Negara, sedangkan dalam pengertian sempit pemerintah adl cabang kekuasaan
eksekutif;

Pemerintah dalam arti sempit:


 Organ/alat perlengkapan Negara yg diserahi tugas pemerintahan atau
melaksanakan UU, sedangkan dlm arti luas mencakup semua badan yg
menyelenggarakan semua kekuasaan di dalam Negara, baik eksekutif maupun
legislative dan yudikatif.

Pengertian Pemerintahan sebagai fungsi dan sebagai organisasi:


1. Pemerintah sebagai fungsi adalah: melaksanakan tugas-tugas pemerintahan,
pemerintah sbg organ adl kumpulan organ-organ dan organisasi pemerintahan
yg dibebani dg pelaksanaan tugas pemerintahan. Sebagai fungsi kita meneliti
ketentuan-ketentuan yg mengatur apa dan cara tindakan aparatur pemerintahan
sesuai dg kewenangan masing-masing;
2. Pemerintah sbg organisasi adalah: bila kita mempelajari ketentuan-ketentuan
susunan organisasi, termasuk di dalamnya fungsi, penugasan, kewenangan,
kewajiban masing-masing departemen pemerintahan, badan-badan, instansi
serta dinas-dinas pemerintahan.

B. Fungsi Pemerintah:
1. Primer, adalah fungsi yg terus menerus berjalan dan berhubungan positif dg kondisi
yg diperintah (masyarakat). Artinya, fungsi ini tdk akan berkurang dg situasi dan
kondisi dr masyarakat, baik dr segi ekonomi, politik, social, dan budaya. Semakin
meningkat kondisi yg diperintah maka fungsi ini akan lebih meningkat lagi. Jadi,
fungsi ini tdk terpengaruh oleh apapun. Pemerintah akan tetap konsisten dlm
menjalankan fungsinya.

Fungsi Primer terdiri dari:


a. Fungsi Pelayanan (Serving);
b. Fungsi Pengaturan (Regeling).

2. Fungsi Sekunder:
Fungsi yg berhubungan negative dg situasi dan kondisi di masyarakat. Artinya iala
semakin tinggi taraf hidup yg diperintah, maka semakin kuat bargaining position.
Sedangkan apabila semakin integrative masyarakat, maka fungsi sekundrnya akan
berkurang.
Yang termasuk dalam fungsi sekunder:
a. Fungsi Pembangunan (development);
b. Fungsi Pemberdayaan (Empowerment)
4 Ciri Administrasi Publik dlm Pemerintahan yang Baik:
a. Akuntabilitas;
b. Transparan;
c. Keterbukaan (mengajukan tanggapan atau kritik);
d. Aturan Hukum.

C. Perbuatan Pemerintah
Aparat pemerintah dlm melaksanakan tugas, pokok dan fungsinya, mengadakan
hubungan-hubungan hukum baik hubungan itu antara Aparat pemerintah dengan
Aparat Pemerintah, atau hubungan antara Aparat Pemerintah dengan Badan
Hukum, atau hubungan antara Aparat Pemerintah dengan Orang Perseorangan,
dimana dlm hub tsb terbentuklah aktivitas dr Aparat Pemerintah yg dpt kita lihat
disana yg berunsurkan perbuatan-perbuatan Aparat Pemerintah tersebut disebut
Perbuatan Pemerintah (bestuurhandeling).

3 Pendapat Perbuatan Pemerintah yg saling melengakapi:


a. Van Vollenhoven: Pemeliharaan kepentingan Negara dan rakyat secara spontan
dan tersendiri oleh penguasa tinggi dan rendah. “Spontan” adalah suatu perbuatan
yg dilaksanakan segera atas prakarsa sendiri dlm menghadapi keadaan dan
keperluan yg timbul satu demi satu yg termasuk dlm bidangnya demi kepentingan
umum. Sedangkan “Zelfstanding” dimaksudkan tdk perlu menunggu perintah
atasan, dan semuanya itu atas tanggung jawab sendiri;
b. Roneyn: Perbuatan pemerintah adl tiap-tiap tindakan/perbuatan drpd satu alat
perlengkapan pemerintah (bestuutsorgan)baik dlm lapangan HAN maupun di luar
HAN, misalnya keamanan peradilan dll yg bermaksud utk menimbulkan akibat
hukum di bidang hukum administrasi;
C. Komisi Van Poelje (1972): Tindakan hk yg dilakukan oleh penguasa dlm
menjalankan fungsi pemerintahan. Perbuatan pemerintahan itu merupakan
manifestasi atau perwujudan “bestuur”.

Unsur-unsur Perbuatan Pemerintah:


1. Perbuatan itu dilakukan oleh Aparat Pemerintah baik dlm kedudukannya sbg
Penguasa maupun sebagai alat perlengkapan pemerintahan (bestuurorgaanen) dg
prakarsa dan tg jwb sendiri;
2. Perbuatan tsb dilakukan dlm rangka menjalankan fungsi pemerintahan;
3. Perbuatan tsb dimaksudkan sbg sarana utk menimbulkan akibat hk di bidang H.
Adm;
4. Perbuatan yg bersangkutan dilakukan dlm rangka pemeliharaan kepentingan Negara
dan rakyat.

D. Keputusan Pemerintahan (Beschikking).


 Beschikking diperkenalkan di Belanda oleh Van Der Pot dan Van Vollenhoven,
dan masuk ke Indonesia melalui Prins.
 Di Prancis dikenal dg “Acte Administratif”, ditransfer ke Jerman oleh Otto Meyer
dg nama “Verwaltungsakt”.
 Di Indonesia ada yg menyalin dg istilah “Ketetapan”, yakni E. Utrecht dan
Boedisoesetya), yg scr yuridis-teknis dipakai utk Keputusan MPR, yakni Tap MPR

Syarat-syarat “Keputusan”:
 Syarat-syarat materiil:
1. Alat pemerintahan yg membuat keputusan hrs berwenang (berhak);
2. Dalam kehendak alat pemerintahan yg gmembuat keputusan tdk boleh ada
kekurangan yuridis;
3. Keputusan hrs diberi bentuk yg ditetapkan dlm peraturan yg menjadi dasarnya
dan pembuatnya bilamana prosedur itu ditetapkan dg tegas dlm peraturan itu
(rechmatig);

4. Isi dan tujuan keputusan itu hrs sesuai dg isi dan tujuan yg hendak dicapai
(doelmatig).
Syarat-syarat Formil:
1. Syarat-syarat yg ditentukan berhubungan dg persiapan dibuatnya keputusan dan
berhubung dg cara dibuatnya keputusan hrs terpenuhi;
2. Harus diberi bentuk yg telah ditentukan;
3. Syarat-syarat, berhubung dg pelaksanaan keputusan itu;
4. Jangka waktu hrs ditentukan, antara timbulnya hal-hal yg menyebabkan dibuatnya
dan diumumkannya keputusan itu, dan tdk boleh dilupakan.

Kekurangan yuridis dlm pembentukan kehendak (wilsvorming) yg terganggu,


disebabkan:
1. Dwaling, kesesatan/kekeliruan krn khilaf;
2. Bedrog, penipuan;
3. Dwang,paksaan.
Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN)
 KTUN (keputusan) adl ketetapan tertulis yg dikeluarkan oleh Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan dlm penyelenggaraan pemerintahan.
 Penetapan Tertulis: terutama menunjuk kd isi dan bkn bentuk keputusan yg
dikeluarkan Badan atau Pejabat TUN. Keputusan itu memang hrs tertulis.
 Badan atau Pejabat TUN adl Badan atau Pejabat di pusat dan daerah yg
melakukan kegiatan yg bersifat eksekutif;
 Tindakan hukum tata usaha Negara: perbuatan hukum badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara yg bersumber pd suatu ketentuan hukum TUN yg dpt
menimbulkan hak atau kewajiban pd org lain.
 Bersifat konkret: objek yg diputuskan dlm Keputusan TUN itu tdk abstrak, ttp
berwujud, ttt atau dpt ditentukan, umpamanya keputusan mengenai rumah si A,
izin usaha bg si B, pemberhentian si A sbg pegawai negeri.
 Bersifat Individual: KTUN itu tdk ditujukan utk umum, ttp ttt baik alamat maupun
hal yg dituju. Kalau yg dituju itu lebih dr seorang, tiap-tiap nama org yg terkena
keputusan itu disebutkan.
 Bersifat Final: sdh definitive dan karenanya dpt menimbulkan akibat hukum.
Keputusan yg baik adl final yg tdk gampang dilakukan perubahan. Hal-hal yg dpt
dilakukan perubahan:
1. Kesalahan konsideran;
2. Kesalahan redaksional;
3. Perubahan dasar pembuatan keputusan; dan/atau
4. Fakta baru.

Keputusan dpt dilakukan pencabutan dan pembatalan apabila terdapat cacat:


1. Wewenang;
2. Prosedur; dan atau
3. Substansi.

Keputusan dapat dilakukan penundaan:


1. Kerugian Negara;
2. Kerusakan lingkungan hidup; dan atau
3. Konflik Sosial.

Bab 9
Instrumen Pemerintah

.Pengertian Instrumen Pemerintahan


Instrumen pemerintahan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah alat-alat atau sarana-
sarana yang digunakan oleh pemerintah atau administrasi Negara dalam
melaksanakan tugas-tugasnya. Alat-alat dan sarana-sarana tersebut terhimpun ke
dalam publiek domain atau kepunyaan publik. Disamping itu, pemerintah juga
menggunakan berbagai instrumen yuridis dalam menjalankan kegiatan mengatur
dan menjalankan urusan pemerintahan dan kemasyarakatan, seperti peraturan
perundang-undangan, keputusan-keputusan, peraturan kebijaksanaan, perizinan,
dan sebagainya.

2. Peraturan Perundang-undangan
Peraturan adalah merupakan hukum yang in abstracto atau generale norm yang
sifatnya mengikat umum (berlaku umum) dan tugasnya adalah mengatur hal-hal
yang bersifat umum (generale). 58
Peraturan perundang-undangan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Bersifat umum dan komprehensif, yang dengan demikian merupakan kebalikan
dari sifat-sifat yang khusus dan terbatas;
2. Bersifat universal. Ia diciptakan untuk menghadapi peristiwa-peristiwa yang
akan datang yang belum jelas bentuk konkretnya. Oleh karena itu ia tidak dapat
dirumuskan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa tertentu saja;

58
SF.Marbun dan Moh. Mahfud, op. cit., hlm. 94
3. Ia memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri. Adalah
lazim bagi suatu peraturan untuk mencantumkan klausul yang memuat
kemungkinan dilakukannya peninjauan kembali. 59

Berdasarkan penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara, peraturan perundang-undangan adalah semua peraturan yang
bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat
bersama Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua
Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di
tingkat daerah, yang juga mengikat umum.

3. Ketetapan Tata Usaha Negara

a. Pengertian Ketetapan
Ketetapan tata usaha Negara pertama kali diperkenalkan oleh seorang sarjana Jerman,
Otto Meyer,dengan istilah verwaltungsakt. Istilah ini diperkenalkan di negeri
Belanda dengan nama beschikking oleh van vollenhoven dan C.W. van der Pot,
yang oleh beberapa penulis, seperti AM. Donner, H.D. van
Wijk/Willemkonijnenbelt, dan lain-lain, dianggap sebagai “de vader van het
modern beschikkingsbegrip”60 (bapak dari konsep beschikking yang modern).
Di Indonesia istilah beschikking diperkenalkan pertama kali oleh WF. Prins. Istilah
bischikking ini ada yang menerjemahkannya dengan “ketetapan”, seperti E.
Utrecht, Bagir Manan, Sjahran Basah, Indroharto, dll. Dan dengan
“Keputusan”, seperti WF. Prins, Philipus M. Hadjon, SF. Marbun, dll.
Meskipun penggunaan istilah keputusan dianggap lebih tepat, namun digunakan untuk
membedakan dengan penerjemahan “besluit” (keputusan) yang sudah memiliki
pengertian khusus yaitu sebagai keputusan yang bersifat umum dan mengikat atau
sabagai peraturan perundang-undangan.
Definisi beschikking dari salah satu sarjana, sebagai: suatu tindakan hukum yang
bersifat sepihak dalam bidang pemerintahan yang dilakukan oleh suatu badan
pemerintah berdasarkan wewenang yuang luar biasa.61

59
A. Hamid S. Attamimi, Perbedaan antara Peraturan Perundang-undangan dan Peraturan Kebijakan,
Makalah pada Pidato Dies Natalis PTIK ke 46, Jakarta 17 Juni 1992, hlm. 3
60
F.C.M.A. Michiels, De Arob – Beschikking, Vuga Uitgeverij B.V., s, Gravenhage, 1987, hlm. 23
61
W.F. Prins dan R. Kosim Adisapoetra, op. cit., hlm. 42
b. Unsur-unsur Ketetapan
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 5/1986, ketetapan didefinisikan sebagai : “Suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau
badan hukum perdata”. Berdasarkan definisi ini tampak bahwa KTUN memiliki
unsur-unsur sebagai berikut:
- Penetapan tertulis;
- Dikeluarkan oleh Badan/Pejabat TUN;
- Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Bersifat konkret, individual, dan final;
- Menimbulkan akibat hukum;
- Seseorang atau badan hukum perdata.

4. Peraturan Kebijaksanaan.
Di dalam penyelenggaraan tugas-tugas administrasi Negara, pemerintah banyak
mengeluarkan kebijaksanaan yang dituangkan dalam bentuk seperti beleidslijnen
(garis-garis kebijaksanaan), het beleid (kebijaksanaan), voorschriften (peraturan-
peraturan), richtlijnen (pedoman-pedoman), regelingen (petunjuk-petunjuk),
circulaires (surat edaran), resoluties (resolusi-resolusi), aanschrijvingen (instruksi-
instruksi), beleidsnota’s (nota kebijaksanaan), reglement ministriele (peraturan-
peraturan menteri,beschikkingen (keputusan-keputusan), en bekenmakingen
(pengumuman-pengumuman). Peraturan kebijaksanaan hanya berfungsi sebagai
bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, karenanya
tidak dapat merubah ataupun menyimpangi peraturan perundang-undangan.
Peraturan ini adalah semacam hukum bayangan dari undang-undang atau hukum.
Oleh karena itu peraturan ini disebut pula dengan istilah pseudo-wetgeving
(perundang-undangan semu) atau spigelsrecht (hukum bayangan/cermin).
Ciri-ciri peraturan kebijaksanaan, menurut Bagir Manan, sebagai berikut:
a. Peraturan kebijaksanaan bukan merupakan peraturan perundang-
undangan.
b. Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan
perundang-undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan
kebijaksanaan .
c. Peraturan kebijaksanaan tidak dapat diuji secara wetmatigheid,
karena memang tidak ada dasar peraturan perundang-undangan
untuk membuat keputusan peraturan kebijaksanaan tersebut.
d. Peraturan kebijaksanaan dibuat berdasarkan freis Ermessen dan
ketiadaan wewenang administrasi bersangkutan membuat
peraturan perundang-undangan.
e. Pengujian terhadap peraturan kebijaksanaan lebih diserahkan
pada doelmatigheid dan karena itu batu ujinya adalah asas-asas
umum pemerintahan yang layak.
f. Dalam praktek diberi format dalam berbagai bentuk dan jenis
aturan, yakni keputusan, instruksi, surat edaran, pengumuman
dan lain-lain, bahkan dapat dijumpai dalam bentuk peraturan.

Peraturan kebijaksanaan dapat difungsikan secara tepatguna dan berdayaguna sebagai


berikut:
a. Tepatguna dan berdayaguna sebagai sarana pengaturan yang melengkapi,
menyempurnakan, dan mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada
peraturan perundang-undangan;
b. Tepatguna dan berdayaguna sebagai sarana pengaturan bagi keadaan vacuum
peraturan perundang-undangan;
c. Tepatguna dan berdayaguna sebagai sarana pengaturan bagi kepentingan-
kepentingan yang belum terakomodasi secara patut, layak, benar, dan adil dalam
peraturan perundang-undangan;
d. Tepatguna dan berdayaguna sebagai sarana pengaturan untuk mengatasi
kondisi peraturan perundang-undangan yang sudah ketinggalan zaman;
e. Tepatguna dan berdayaguna bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi
administrasi Negara di bidang pemerintahan dan pembangunan yang bersifat
cepat berubah atau memerlukan pembaharuan sesuai dengan situasi dan kondisi
yang dihadapi.

5.Rencana-rencana
Sebagai organisasi, pemerintahan memiliki tujuan yang hendak dicapai, yang tidak
berbeda dengan organisasi pada umumnya terutama dalam hal kegiatan yang akan
diimplementasikan dalam rangka mencapai tujuan, yakni dituangkan dalam bentuk
rencana-rencana. Bahkan dapa dikatakan bahwa menjalankan (pemerintahan)
adalah merencanakan (kegiatan pemerintahan), besturen is plannen, besturen is
vanouds plannen maken, vooruitzien, geweest, (sejak dahulu, menjalankan
{pemerintahan} adalah membuat rencana-rencana, dengan pandangan jauh ke
depan).
Tujuan Negara Indonesia tertuang dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945, yang
mengindikasikan bahwa Indonesia merupakan Negara hukum yang menganut
konsepsi welfare state. Sebagai Negara hukum yang bertujuan mewujudkan
kesejahteraan umum.
Perencanaan ini terdiri dari prognoses (estimasi yang akan terjadi), beleidsvoornemens
(rancangan kebijakan yang akan ditempuh), voorzieningen (perlengkapan
persiapan), afspraken (perjanjian lisan), beschikkingen (ketetapan-ketetapan), dan
regelingen (peraturan-peraturan).
Perencanaan terbagi dalam tiga kategori yaitu; pertama, perencanaan informative
(informatieve planning) yaitu rancangan estimasi mengenai perkembangan
masyarakat yang dituangkan dalam alternative-alternatif kebijakan tertentu.
Rencana seperti ini tidak memiliki akibat hukum bagi warga Negara; kedua,
perencanaan indikatif (indicatieve planning) adalah rencara-rencana yang memuat
kebijakan-kebijakan yang akan ditempuh dan mengindikasikan bahwa kebijakan itu
akan dilaksanakan. Kebijakan ini masih harus diterjemahkan ke dalam keputusan-
keputusan operasional atau normative. Ketiga, perencanaan operasional atau
normative merupakan rencana-rencana yang terdiri dari persiapan-persiapan,
perjanjian-perjanjian, dan ketetapan-ketetapan. Rencana tata ruang, pencana
pengembangan perkotaan, rencana pembebasan tanah, rencana peruntukan,
rencana pemberian subsidi, dan lain-lain adalah contoh-contoh dari rencana
operasional atau normative.
Disamping pembagian tersebut, perencanaan juga dibagi berdasarkan waktu, tempat,
bidang hukum, sifat, metode, dan sarana. Berdasarkan waktu: panjang, menengah,
dan pendek. Berdasarkan tempat: pusat, propinsi, dan kabupaten, ataupun
rencana-rencana sektoral. Berdasarkan hukum, seperti: rencana tata ruang,
ekonomi, sosial, kesehatan dll. Berdasarkan sifatnya: perencanaan sektoral,
bidangnya, dan perencanaan integral. Berdasarkan metodenya: perencanaan akhir
dan proses. Berdasarkan sarananya: memerlukan instrument yuridis, financial dan
organisasi.
Unsur-unsur rencana:
a/ tertulis; b/ keputusan atau tindakan terkandung pilihan; c/ oleh organ pemerintahan;
d/ ditujukan pada waktu yang akan datang; e/ seringkali berbentuk tindakan-
tindakan atau keputusan-keutusan; f/ memiliki sifat yang tidak sejenis, beragam; g/
keterkaitan, seringkali secara programatis; h/ untuk jangka waktu tertentu; i/
gambaran tertulis.

Perencanaan adalah bentuk tertentu mengenai pementukan kebijaksanaan, dinyatakan


dalam bentuk hubungan timbal balik antara kebijaksanaan dengan hukum. Dengan
kata lain, perencanaan adalah proses kebijaksanaan. Proses perencanaan dan
perwujudan rencana merupakan bagian dari hukum, dan oleh Karena itu tunduk
pada norma-norma hukum.

6.Perizinan
N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge membagi pengertian izin dalam arti luas dan
sempit yaitu sebagai berukut:
Izin adalah salah satu instrument yang paling banyak digunakan dalam hukum
adiministrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk
mengemudikan tingkah laku para warga.
Izin ialah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan
pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan
larangan perundangan.
Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang yang memohonnya untuk
melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya dilarang. Ini menyangkut
perkenan bagi suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan
pengawasan khusus atasnya. Ini adalah paparan luas dari pengertian izin.
Izin (dalam arti sempit) adalah pengikatan-pengikatan pada suatu peraturan izin pada
umumnya didasarkan pada keinginan pembuat undang-undang untuk mencapai
suatu tatanan tertentu atau untuk menghalangi keadaan-keadaan yang buruk.
Tujuannya ialah mengatur tindakan-tindakan yang oleh pembuat undang-undang
tidak seluruhnya dianggap tercela, namun dimana ia menginginkan dapat
melakukan pengawasan sekedarnya.
Yang pokok pada izin (dalam arti sempit) ialah bahwa suatu tindakan dilarang,
terkecuali diperkenankan, dengan tujuan agar dalam ketentuan-ketentuan yang
disangkutkan dengan perkenan dapat dengan teliti diberikan batas-batas tertentu
bagi tiap kasus. Jadi persoalannya bukanlah untuk hanya memberi perkenan dalam
keadaan-keadaan yang sangat khusus, tetapi agar tindakan-tindakan yang
diperkenankan dilakukan dengancara tertentu (dicantumkan ketentuan-
ketentuannya).
Unsur-unsur Perizinan terdiri dari: a/ instrument yuridis; b/ peraturan perundang-
undangan; c/ organ pemerintah; d/ peristiwa konkret; e/ prosedur dan persyaratan.

Fungsi Izin selaku ujung tombak instrument hukum sebagai pengarah, perekayasa, dan
perancang masyarakat adil dan makmur itu dijelmakan.
Tujuan Izin secara umum adalah:
a/ Mengarahkan aktivitas-aktivitas tertentu; b/ Mencegah bahaya bagi lingkungan; c/
Melindungi obyek-obyek tertentu; d/ Membagi benda-benda yang sedikit (izin
penghuni di daerah padat benduduk0; e/ Pengarahan, dengan menyeleksi orang-
orang dan aktivitas-aktivitas.

Bentuk izin sesuai dengan sifatnya, yang merupakan bagian dari ketetapan, selalu
dibuat dalam bentuk tertulis.
Isi izin memuat:
a/ Organ yang berwenang; b/ Yang dialamatkan; c/ diktum; d/ Ketentuan-ketentuan,
pembatasan-pembatasan dan syarat-syarat; e/ pemberian alasan; f/
pemberitahuan-peberitahuan tambahan.

7. Instrumen Hukum Keperdataan


Penggunaan instrumen hukum publik merupakan fungsi dasar dari organ pemerintahan
dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan, sedangkan penggunaan instrumen
hukum privat merupakan konsekuensi paham Negara kesejahteraan, yang
menuntut pemerintah untuk mengusahakan kesejahteraan masyarakat
(bestuurzorg), organ pemerintahan tidak cukup jika hanya menggunakan instrumen
hukum publik, tetapi juga menggunakan instrumen keperdataan terutama guna
mencapai efektifitas dan efisiensi pelayanan terhadap masyarakat.
Meskipun pemerintah selaku wakil dari badan hukum dapat melakukan tindakan-
tindakan hukum keperdataan, namun tindakan hukum pemerintah bebeda dengan
tindakan hukum manusia pada umumnya. Pemerintah – begitu juga badan hukum
pada umumnya – tidak dapat melakukan hubungan kepedataan yang berhubungan
dengan hukum kekeluargaan seperti perkawinan, perwalian, dan kewarisan.
Pemerintah khususnya di Indonesia tidak dapat membeli tanah untuk dijadikan hak
milik, karena berdasarkan UUPA Negara hanya diberi hak menguasai, tidak diberi
hak untuk memiliki atau tidak boleh sebagai eigenaar terhadap tanah. Pemerintah
juga tidak diperkenankan melakukan perbuatan hukum keperdataan yang
bertentangan dengan kepentingan umum atau tegas-tegas dilarang oleh peraturan
perundang-undangan.
Ketika pemerintah menggunakan instrumen hukum keperdataan, tidak serta merta
terjadi hubungan hukum antara pemerintah dengan seseorang atau badan hukum
perdata berasarkan prinsip kesetaraan dan kemandirian masing-masing pihak. Jadi
pada asasnya hubungan hubungan hukum keperdataan yang dilakukan oleh
pemintah selaku wakil dari badan hukum bersandar pada kesetaraan dan
kemandirian, namun dalam praktek tidak sepenuhnya demikian, terutama dalam hal
perjanjian yang tidak murni. Pemerintah dapat menggunakan instrumen hukum
keperdataan sebagai alternative atau cara dalam rangka menjalankan tugas-tugas
pemerintahan, tanpa harus menempatkan diri dalam hubungan hukum yang setara
dengan pihak lainnya. Sebab dalam hal-hal tertentu, pemerintah tidak sepenuhnya
dapat melepaskan diri dari misi yang diembannya yang melekat pada setiap
tindakan pemerintahan, yang menuntut tindakan hukum pemerintahan ditentukan
secara sepihak. Ada dua kemungkinan kedudukan pemerintah dalam menggunakan
instrumen hukum keperdataan; pertama, pemerintah menggunakan instrumen
keperdataan sekaligus melibatkan diri dalam hubungan hukum keperdataan dengan
kedudukan yang tidak berbeda dengan seseorang atau badan hukum perdata;
kedua, pemerintah menggunakan instrumen hukum keperdataan tanpa
menempatkan diri dalam kedudukan yang sejajar dengan seseorang atau bada
hukum. Dalam hal terakhir ini, terdapat perjanjian dengan persyaratan yang
ditentukan sepihak oleh pemerintah.
Perjanjian (overeenkomst) secara sederhana berarti persesuaian kehendak
(wilovereenstemming) antara dua pihak atau lebih untuk melakukan suatu tindakan
hukum tertentu. Dalam rangka menjalankan kegiatan pemerintahannya, pemerintah
dapat menggunakan perjanjian, yang bentuknya antara lain sebagai berikut:
a. Perjanjian Perdata Biasa. Meskipun perjanjian yang dilakukan pemerintah
ini bersifat perdata murni, namun menurut Indroharto, setiap perjanjian
perdata yang dilakukan oleh pemerintah selalu didahului oleh adanya
keputusan tata usaha Negara, yang kemudian melahirkan teori melebur,
yakni keputusan itu dianggap melebur ke dalam tindakan hukum perdata.
Oleh karena itu jika terjadi sengketa, maka penyelesainnya tidak melalui
PTUN tetapi melalui peradilan umum.
b. Perjanjian Perdata dengan Syarat-syarat Standar . Pada umumnya,
perjanjian dengan syarat-syarat standar ini berbentuk konsesi,
Indroharto menyebutnya dengan kontrak adhesie, yaitu suatu perjanjian
yang seluruhnya telah disiapkan secara sepihak hingga pihak lawan
berkontraknya tidak ada pilihan lain kecuali menerima atau menolaknya
(take it or leave it), seperti yang terjadi pada perjanjian distribusi aliran
listrik, gas dan air minum. Penentuan syarat secara sepihak tidak
bertentangan dengan prinsip kebebasan berkontrak (contractvrijheid)
dengan dua catatan; pertama, penentuan syarat itu adalah dalam rangka
memberikan perlindungan kepentingan umum yang harus dilakukan oleh
pemerintah; kedua, ketentuan syarat-syarat tersebut harus dilakukan
secara terbuka misalnya melalui penawaran umum agar diketahui
sebelumnya oleh pihak lawan berkontrak, sehingga pihak swasta dapat
dengan sukarela menyetujui atau tidak menyetujui terhadap syarat-syarat
yang telah ditentukan tersebut.
c. Perjanjian Mengenai Kewenangan Publik ; Indroharto mendefinisikannya
sebagai perjanjian antara badan atau pejabat tata usaha Negara dengan
warga masyarakat dan yang diperjanjikan adalah mengenai cara badan
atau pejabat tata usaha Negara menggunakan wewenang
pemerintahannya. Bila pemerintah telah menggunakn instrumen
perjanjian untuk menjalankan wewenang pemerintahannya, maka
pemerintah di samping terikat dengan isi perjanjian tersebut juga terikat
dengan asas kepercayaan (het vertrouwensbeginsel) dan asas kejujuran
atau asas permainan yang layak (fair play) dari asas-asas umum
pemerintahan yang layak.
d. Perjanjian Mengenai Kebijaksanaan Pemerintahan . Menurut Laica
Marzuki, Perjanjian kebijaksanaan adalah perbuatan hukum yang
menjadikan kebijaksanaan publik sebagai obyek perjanjian, salah satu
pihak adalah badan atau pejabat tata usaha Negara yang memliki
kewenangan untuk menggunakan kebijaksanaan publik yang diperjanjian
tersebut. Indroharto menyebutkan bahwa yang dijadikan obyek
persoalan dalan hal ini adalah mengnai hak kebendaan (harta kekayaan
pemerintah yang dimaksudkan sebagai sarana untuk mencapai tujuan-
tujuan dari keijaksanaan yang ditempuhnya. Lebih lanjut disebutkan
bahwa dalam perjanjian ini dimasukkan klausula mengenai: kemungkinan-
kemungkinan penggunaan maupun pendirian bangunan-bangunan
(pengaturan tentang tata ruang), ketentuan-ketentuan yang berlaku
untuk pemindahtangan harta kekayaan Negara, syarat-syarat untuk
melestarikan lingkungan hidup, ketentuan-ketentuan yang harus selalu
dilaksanakan oleh mereka yang diberi izin melakukan usaha-usaha sosial,
persyaratan untuk pengelolaan usaha parkir kendaraan di seluruh kota,
perusahaan pompa bensin, dsb, syarat-syarat yang harus dipenuhi dan
dilaksanakan oleh para developer dari suatu real estate sebelum maupun
selama pekerjaan pembangunan di lapangang dikerjakan.

Bav 10
Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige overheids daad)

 Ajaran ttg perbuatan melawan hukum (PMH) oleh Pemerintah/Pejabat Tata


Usaha Negara diambil dr ajaran yg dikenal dlm Hukum Perdata (onrechtmatige
daad).
 Ajaran ini diatur dlm Ps. 1365 B.W. Yg menetapkan bahwa: “Tiap perbuatan yg
melanggar hukum mewajibkan orang yang melakukan perbuatan itu, jika karena
kesalahannya telah ditimbulkan kerugian untuk membayar kerugian itu”.
PMH
 PMH diatur dlm Ps. 1365 – 1380 KUH Per. Secara umum, unsur PMH adl:
a. Adanya suatu perbuatan;
b. Perbuatan tsb melawan hukum;
c. Adanya kesalahan dr pihak pelaku;
d. Adanya kerugian bagi korban;
e. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.

Substansi PMH dlm Ps. 1365 s/d 1380 KUH Per:


a. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
b. Melanggar hak subjektif orang lain, atau melanggar kaidah tata susila (goede
zeden), atau
c. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta sikap hati-hati dlm
pergaulan hidup masyarakat.

Unsur-unsur yg hrs dipenuhi agar perbuatan dikualifikasikan sbg PMH:


a. Adanya tindakan yang melawan hukum;
b. Ada kesalahan pada pihak yang melakukan; dan
c. Ada kerugian yang diderita.

Pengertian PMH tdk statis, putusan Hoge Raad (Pengadilan Tinggi Nederland) tgl 31
Januari 1919, bahwa “onrechtmatige” tdk sj perbuatan yg melanggar UU atau hak
orang lain, ttp jg tiap perbuatan yg berlawanan dg “kepatutan yg hrs diindahkan
dlm pergaulan masy. Thd pribadi atau benda org lain”.
 Putusan MA tanggal 3 Maret 1970 Reg No.838/K/Sip/1970 mempertimbangkan
antara lain: “Bahwa soal perbuatan melawan hukum oleh Penguasa hrs diukur
dg UU dan peraturan-peraturan formal yg berlaku dan kepatutan dalam
masyarakat”.
 Jadi tidak hanya melanggar UU (Onwetmatig) saja.
 Apabila perbuatan aparat pemerintah itu jelas bertentangan dg undang-undang
(onwetmatig), maka dialah secara individu yg bertanggung jawab. Hal ini wajar,
karena justru dalam melaksanakan fungsinya aparat pemerintah harus benar-
benar memperhatikan UU sbg dasar dari perbuatannya;
 Apabila perbuatan aparat pemerintah yg menimbulkan kerugian pihak
administrable (pihak yg dikenai keputusan) itu sbg akibat sbg akibat dr
perbuatan yg melanggar hak org lain, bertentangan dg sikap hati-hati, ataupun
bertentangan dg kelayakan yg terjadi di masyarakat, tg jwb mgkn dibebankan
kepada negara, namun dpt jg dibebankan kpd individu aparat pemerintah itu
sendiri;
 Apabila jelas perbuatan itu dilakukan dg kesengajaan ataupun sepatutnya dia
menduga bahwa perbuatan itu dpt menimbulkan kerugian pd pihak
administrabele (yg dikenai keputusan), maka tg jwb ada pd individu aparat
pemerintah itu sendiri;
 Apabila dlm perbuatan tsb ternyata tdk ada unsur kesengajaan negara yg hrs
memikul tg jwb;
 Terhadap perbuatan yg “rechtmatig” akan tetapi menimbulkan kerugian jg
administrabele, sepenuhnya menjadi tg jwb negara.

Bab 10
Pengawasan Terhadap Perbuatan Pemerintah/Alat Administrasi Negara

 Struktur organisasi dari instansi pemerintah secara umum ialah Eselon I, Eselon
II, Eselon III, Eselon IV, dan ada juga yang sampai Eselon V (Staff/Fungsional
Umum).
 Semua Eselon wajib diikutkan Pendidikan dan Latihan (Diklat) untuk melakukan
sinkronisasi, sosialisasi dan memberikan penafsiran yang sama antar aparatur
pemerintah sebelum melaksanakan Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi).
 Semua aparatur pemerintah perlu memahami peraturan perundang-undangan
yang dijadikan dasar bagi Eselon I (Badan/Pejabat Tata Usaha Negara) dlm
mengeluarkan KTUN, agar semua memahan peraturan dasar utk mengeluarkan
keputusan yang menjadi Tupoksi mereka.
Ada 2 Proses Pengawasan terhadap Aparatur Pemerintah:
1. Pengawasan sebelum mengeluarkan keputuasan, yakni dilakukan secara internal
instansi. Misal: nasehat, arahan, koreksi, petunjuk dan arahan;
2. Pengawasan sesudah mengeluarkan keputusan, yakni dilakukan secara internal
dan eksternal. Bila KTUN melanggar UU, maka harus dikembalikan thd perat per-
UU-an yg memberi kewenangan dan dasar hk nya
3. Jika dlm perat per-UU-an yg mengatur ttg sanksi, maka pejabat TUN hrs diberi
sanksi. Hal ini merup bentk pengawasan sbg efek jera dan tdk mengulangi
perbuatannya.

Bab 11
Penegakan Hukum

 John Locke dlm karyanya “Second Tratise of Government”, mengisyaratkan tiga


unsur minimal bagi suatu Negara Hukum:
1. Adanya Hukum yg mengatur bagaimana anggota masyarakat dpt menikmati hak
asasinya dg damai;
2. Adanya suatu badan yg dpt menyelesaikan sengketa yg timbul di bidang
pemerintahan;
3. Adanya badan yg tersedia utk penyelesaian sengketa yg timbul diantara sesama
anggota masyarakat.
4. John Locke: warga masyarakat/rakyat tdk lg diperintah oleh seorang raja atau
apapun namanya, akan tetapi diperintah berdasarkan hukum.
5. Di Indonesia: Ps 1 (3) UUD NRI Tahun 1945, bahwa: “Negara Indonesia adalah
negara hukum”.

Faktor-faktor yg mempengaruhi tegaknya hukum:


1. Aparat Penegak Hukum;
2. Sarana dan Prasarana;
3. Keamanan;
4. Peraturan Perundang-undangan;
5. Gaji yang memadai;

1. Aparat Penegak Hukum


a. Profesionalitas;
b. Jumlah Aparat Penegak Hukum;
c. Mental Aparat Penegak Hukum: 1. Taqwa kepada Tuhan YME; 2. Kepatuhan
dinamis; 3. Kesadaran perlunya kepatuhan dan ketaatan; 4. Kepatuhan yg
rasional; 5. Sikap mental; 6. Keteladanan.
2. Sarana dan Prasarana
 Termasuk alat-alat komunikasi, transportasi, administrasi kantor, dan sarana
kantor yang layak.
3. Keamanan
 Dalam hal ini jaminan keamanan penegak hukum serta keluarganya perlu
diperhatikan.

4. Peraturan Perundang-undangan.
 Peraturan perundang-undangan yang ditegakkan tidak multi tafsir, terang dan
jelas, sehingga aparat penegak hukum tidak kesulitan dan bias dalam
menegakkan hukum.

5. Gaji yang memadai


 Gaji yang memadai agar para penegak hukum bisa memenuhi kebutuhan pokok
hidupnya. Sehingga diharapkan tidak tergoda utk melakukan tindakan koruptif.

Lima Alasan Hukum Sulit Ditegakkan di Indonesia (Prof. Hikmahanto J):


1. Aparat penegak hukum terkena sangkaan dan dakwaan korupsi atau suap;
2. Mafia peradilan marak dituduhkan;
3. Hukum seolah dpt dimainkan, dipelintirkan, bahkan hanya berpihak kpd mereka
yg memiliki status sosial yg tinggi;
4. Penegakan hukum lemah dan telah kehilangan kepercayaan masyarakat;
5. Masyarakat apatis, mencemooh dan melakukan proses peradilan jalanan.

Bab 12
Pertanggungjawaban Pemerintah

 ‘Pertanggungjawaban’ berasal dari kata dasar ‘tanggung jawab’ yang berarti


keadaan wajib menanggung seseuatu segala berupa penuntutan, diperkarakan
dan dipersalahkan sbg akibat salah sendiri atau pihak lain.
 ‘Pertanggungjawaban’ bila dibawa ke proses hukum, dimana seseorag dpt
dituntut, dpt diperkarakan dan dpt dipersalahkan serta menerima beban sbg
akibat tindakan sendiri maupun tindakan orang lain.
 Oleh karena itu berkaitan dg pertanggungjawaban oleh pemerintah
dimungkinkan bahwa yg melakukan bukan dia sbg pejabat namun bisa jadi yg
melakukan adl pejabat sebelumnya, tentu hal ini pertanggungjawabannya
bersifat adiministrasi dan pihak yg merasa dirugikan melakukan gugatan di
PTUN.
‘Pertanggungjawaban’ menurut Mulyosudarmo ad 2 aspek:
1. Aspek internal, yakni pertanggungjawaban yg diwujudkan dlm berpelaksanaan
kekuasaan yg diberikan oleh pimpinan dlm suatu instansi;
2. Aspek eksternal, yakni pertanggungjawaban kepada pihak ketiga, jika suatu
tindakan menimbulkan kerugian kepada pihak lain atau dengan perkataan lain
berupa tanggung gugat atas kerugian yg ditimbulkan kpd pihak lain atas
tindakan jabatan yg diperbuat.

Penguasa melakukan PMH krn melanggar hak subjektif org lain apabila:
1. Penguasa melakukan perbuatan yg bersumber pd hubungan hukum perdata
serta melanggar ketentuan dlm hukum tsb;
2. Penguasa melakukan perbuatan yg bersumber pd hukum publik serta melanggar
ketentuan kaidah hukum tsb

A. Pertanggungjawaban Pemerintah dlm H. Administrasi


 Salah satu prinsip negara hukum adl asas legalitas (setiap tindakan hukum
pemerintah hrs berdasarkan perat per-UU-an);
 Ps 53 (1) UU No. 9/2004 ttg Perubahan atas UU No. 5/1986 ttg PTUN: “Org atau
badan hukum perdata yg merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu KTUN dpt
mengajukan gugatan tertulis kpd pengadilan yg berwenang yg berisi tuntutan
agar KTUN yg disengketakan itu dinyatakan batal atau tdk sah, dg atau tanpa
disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi”.
Dalam ayat (2) mengenai alasan-alasan dpt digunakan gugatan:
a. KTUN yg digugat itu bertentangan dg perat per-UU-an yg berlaku;
b. KTUN yg digugat itu bertentangan dg AAUPB.
• Pejabat TUN dpt dimintai pertanggungjawaban;
• Badan/Pejabat TUN yg melanggar UU dan AUPB, mk KTUN tsb dpt
dicabut/dibatalkan/tidak sah.

B. Pertanggungjawaban Pemerintah dlm H. Perdata


 Ps 1365 KUH Perdata menyatakan: “Tiap perbuatan melanggar hukum yg
membawa kerugian pd org lain, mewajibkan org yg krn salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tsb”.
 Maksud PMH: perbuatan yg melawan hk yg dilakukan oleh seseorang yg krn
salahnya telah menimbulkan kpd pihak lain.

3 Kategori PMH:
1. PMH krn kesengajaan;
2. PMH tanpa kesengajaan;
3. PMH krn kelalaian.

Ada 2 Teori Pertanggungjawaban Pejabat:


1. Fautes Personalles: Kerugian kpd pihak ketiga dibebankan kpd pejabatnya;
2. Fautes de Services: Kerugian kpd pihak ketiga dibebankan kep instansi pejabat.

C. Pertanggungjawaban Pemerintah dlm H. Pidana.


 Romeyn: H. Pidana dpt dipandang sbg bahan pembantu (hulprecht) bg HAN, krn
penetapan sanksi pidana merup satu sarana utk menegakkan Hukum Tata
Pemerintahan, dan sebaliknya peraturan-peraturan hukum dlm perundang-
perundangan administratif dpt dimasukkan dlm lingkungan H. Pidana.
 E. Utrecht: H. Pidana memberi sanksi istimewa baik atas pelanggaran kaidah
hukum privat, maupun atas pelanggaran kaidah hukum publik yg telah ada;
 Viktor Situmorang: Apabila ada kaidah hukum administrasi negara yg diulang
kembali menjadi kaidah hukum pidana atau dg perkataan lain ada pelanggaran
kaidah HAN, mk sanksinya tdp dlm H.Pidana.
 Sanksi pidana dpt diterapkan bg aparatur pemerintah bl pemberian sanksi tsb
sdh diatur dlm peraturan per-UU-an.
 Pelaksanaan Pemerintahan yg baik membuat masy memperoleh ketentraman
lahir batin, berupa: 1/ Kelangsungan hdp dn pelaksanaan hak tdk tergantung pd
kekuatan fisik dan non fisik;
 2/ Sepanjang tdk melanggar hak dan merugikan org lain mk masy dpt scr bebas
menjalankan apa yg diyakininya sbg kebenaran, serta dpt secr bebas pula
mengembangkan bakat dan kesenangannya; 3/ Merasakan diperlakukan scr
wajar, berperikemanusiaan, adil dan beradab sekalipun melakukan kesalahan.
1. Perlindungan Hukum.
Subyek hukum selaku pemikul hak-hak dan kewajiban-kewajiban (de dragger van de
rechten en plichten), baik itu manusia (naturlijke persoon), badan hukum
(rechtpersoon), maupun jabatan (Ambt), dapat melakukan tindakan-tindakan hukum
berdasarkan kemampuan (bekwaam) atau kewenangan (bevoegheid) yang dimilikinya.
Tindakan hukum merupakan awal lahirnya hubungan hukum (rechtsbetrekking), yakni
interaksi antar subyek hukum yang memiliki relevansi hukum atau mempunyai akibat-
akibat hukum.62 Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk
mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subyek hukum, juga instrument
perlindungan bagi subyek hukum. Subyek hukum yang dilanggar harus mendapatkan
perlindungan hukum.
Pemerintah memiliki dua kedudukan hukum yaitu sebagai wakil dari badan hukum
publik (publiek rechtspersoon, public legal entity) dan sebagai pejabat (ambtsdrager)
dari jabatan pemerintahan. Ketika pemerintah melakukan tindakan hukum dalam
kapasitas sebagai wakil dari badan hukum, maka tunduk pada hukum keperdataan,
sedang ketika bertindak dalam kapasitas sebagai pejabat, maka tunduk pada hukum
administrasi Negara.
Perlindungan hukum bagi rakyat merupakan konsep universal, namun masing-masing
Negara punya cara dan mekanismenya sendiri.
Secara umum ada tiga macam perbuatan pemerintahan, yaitu: a/ bidang pembuatan
peraturan perundang-undangan (regeling), b/ bidang penerbitan ketetapan
(beschikking), c/ bidang keperdataan (materiele daad). Disamping itu, dalam konsep
Negara hukum modern yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat (welfare state),
pemerintah juga dilekati dengan kewenangan bebas (freies ermessen), yang jika
dituangan dalam bentuk tertulis akan berwujud peraturan kebijaksanaan.
Penguasa dapat dianggap melakukan perbuatan melawan hukum karena melanggar
hak subyektif orang lain, apabila:
1. Penguasa melakukan perbuatan yang bersumber pada hubungan hukum perdata
serta melanggar ketentuan dalam hukum tersebut;
2. Penguasa melakukan perbuatan yang bersumber pada hukum publik serta
melanggar ketentuan kaidah hukum tersebut.

A. Perlindungan Hukum dalam Bidang Perdata


62
Ridwan, HR., Hukum Administrasi Negara, UII Press, Yogyakarta, 2003, hlm. 209-210.
Secara teoritik, Kranenburg memaparkan kronologis adanya tujuh konsep mengenai
permasalahan apakah Negara dapat digugat di muka hakim perdata; pertama, konsep
negara sebagai lembaga kekuasaan dikaitkan dengan konsep hukum sebagai keputusan
kehendak yang diwujudkan oleh kekuasaan, menyatakan bahwa tidak ada tanggung
gugat Negara; kedua, konsep yang membedakan Negara sebagai penguasa dan Negara
sebagai fiscus. Sebagai penguasa, Negara tidak dapat digugat dan sebaliknya sebagai
fiscus dapat saja negara digugat; ketiga, konsep yang mengetengahkan kriteria sifat
hak, yakni
Apakah suatu hak dilindungi oleh hukum publik ataukah hukum perdata; keempat,
konsep yang mengetengahkan kriteria kepentingan hukum yang dilanggar; kelima,
konsep yang mendasarkan pada perbuatan melawan hukum ( onrechtmatigedaad)
sebagai dasar untuk menggugat Negara. Konsep ini tidak mempermasalahkan apakah
yang dilanggar itu peraturan hukum publik ataukah peraturan hukum perdata; keenam,
konsep yang memisahkan antara fungsi dan pelaksanaan fungsi. Fungsi tidak dapat
digugat, tetapi pelaksanaannya yang melahirkan kerugian dapat digugat; ketujuh,
konsep yang mengetengahkan suatu asumsi dasar bahwa Negara dan alat-alatnya
berkewajiban dalam tindak-tanduknya, apapun aspeknya (hukum publik maupun
hukum perdata) memperhatikan tingkah laku manusiawi yang normal. Para pencari
keadilan dapat menuntut negara dan alatnya agar mereka berkelakuan normal. Setiap
kelakuan yang mengubah kelakukan yang normal dan melahirkan kerugian-kerugian,
dapat digugat.
Terlepas dari berbagai konsep yang dikemukakan para sarjana, dalam buku ini diambil
asumsi bahwa Negara sebagai suatu institusi memiliki dua kedudukan hukum yaitu
sebagai badan hukum public dan sebagai kumpulan jabatan ( complex van ambten) atau
lingkungan pekerjaan tetap. Baik sebagai badan hukum maupun sebagai kumpulan
jabatan, perbuatan hukum Negara atau jabatan dilakukan melalui wakilnya yaitu
pemerintah.
Perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pemerintah secara khusus diatur dalam
pasal 1365 KUH Perdata, yang berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.

B. Perlindungan Hukum dalam Bidang Publik.


Tindakan hukum pemerintah adalah tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya
menimbulkan akibat hukum. Karakteristik paling penting dari tindakan hukum yang
dilakukan oleh pemerintah adalah keputusan-keputusan dan ketetapan-ketetapan
pemerintah yang bersifat sepihak.63 Hukum administrasi tidak tertulis atau asas-asas
63
F.H. van Der Burg, et. al., op. cit., hlm. 6
umum pemerintahan yang layak (AAUPL), dimaksudkan sebagai verhoogde
rechtsbescherming atau peningkatan perlindungan hukum bagi rakyat dari tindakan
administrasi Negara yang menyimpang. Berdasarkan yurisprudensi MA, secara tegas
disebutkan bahwa perbuatan kebijaksanaan penguasa tidak termasuk kompetensi
peradilan, kecuali ada unsur willekeur dan detournement de pouvoir (Philipus M.
Hadjon).
Ada dua macam perlindungan hukum bagi rakyat yaitu preventif dan represif. Pada
perlindungan hukum preventif, kepada rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan
keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah
mendapat bentuk yang definitive. Artinya perlindungan hukum yang preventif bertujuan
untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan sebaliknya perlindungan yang represif
bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.
Mengapa warga Negara harus mendapat perlindungan hukum?; pertama, karena dalam
beberapa hal warga Negara dan badan hukum perdata tergantung pada keputusan-
keputusan dan ketetapan-ketetapan pemerintah; kedua, hubungan antara pemerintah
dengan warga Negara tidak berjalan dalam posisi sejajar; ketiga, berbagai perselisihan
warga Negara dengan pemerintah itu berkenaan dengan keputusan dan ketetapan,
sebagai instrument pemerintah yang bersifat sepihak dalam melakukan intervensi
terhadap kehidupan warga negara.
Pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970 yang telah dirubah dengan UU No. 35 Tahun 1999
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman: “Mahkamah Agung
berwenang untuk menyatakan tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari
tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”.
Khusus mengenai peraturan perundang-undangan tingkat daerah terdapat ketentuan
khusus sebagaimana tercantum dalam Pasal 114 UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah yaitu sebgai berikut:
1. Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala
Daerah yang bertentangan dengan ketentuan umum atau peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan perundang-
undangan lainnya.
2. Keputusan pembatalan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala daerah,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diberitahukan kepada Daerah yang
bersangkutan dengan menyebutkan alasan-alasannya.
3. Selambat-lambatnya satu minggu setelah keputusan pembatalan Peraturan
Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah tersebut dibatalkan
pelaksanaannya.
4. Daerah yang tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan
Daerah dan Keputusan Kepala Daerah, sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung setelah
mengajukan kepada Pemerintah.
Berdasar PP No. 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintah Daerah, daerah yang tidak puas terhadap keputusan pembatalan instrumen
hukum daerah diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan hanya sampai pada
pemerintah, sebagaimana pasal 10 (3) dan (4) PP No. 20/2001, yakni :
1. Daerah Propinsi, Kabupaten dan Kota yang tidak dapat menerima keputusan
pembatalan Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dan Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Propinsi oleh Pemerintah dapat mengajukan keberatan
kepada Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah.
2. Daerah Kabupaten/Kota yang tidak dapat menerima keputusan pembatalan
Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dan Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota oleh Gubernur sesuai kewenangan yang dilimpahkan
kepadanya dapat mengajukan keberatan kepada Gubernur selaku wakil
Pemerintah di Daerah.
Untuk mekanisme hak uji materiil yang berkaitan dengan peraturan perundang-
undangan tingkat pusat, ditempuh melalui jalur pemerintahan dalam bentuk penundaan
(schorsing) atau pembatalan (vernieting), sebelum ditempuh melalui Mahkamah Agung.
Perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan ditempuh melalui dua
kemungkinan yaitu peradilan administrasi (administratief rechtspraak) dan banding
administrasi (administratief beroep).
Kata ‘peradilan’ menunjukkan bahwa hal ini menyangkut proses peradilan pada
pemerintahan melalui instansi yang merdeka. Sedang banding administrasi, berkenaan
dengan proses peradilan di dalam lingkungan administrasi; instansi banding
administrasi adalah organ pemerintahan, dilengkapi dengan pertanggungjawaban
pemerintahan. Dalam hal banding administrasi ini tindakan pemerintah tidak hanya
dinilai berdasarkan hukum, tetapi juga dinilai aspek kebijaksanaannya.
Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, bahwa
perlindungan hokum akibat dikeluarkannya ketetapan dapat ditempuh melalui dua jalur,
yaitu melalui banding administrasi atau upaya administrative dan melaui peradilan.
Ketentuan mengenai upaya administrati ini terdapat dalam Pasal 48 UU No. 5 Tahun
1986 yang berbunyi sebagai berikut:
1. Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh
atau berdasarkan perturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara
administrative sengketa tata usaha Negara tertentu, maka sengketa tata usaha
Negara tersebut harus diselesaikan melalui upaya administrative yang tersedia;
2. Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
tata usaha Negara sebagaimana dimasud dalam ayat (1) jika seluruh upaya
administrative yang bersangkutan telah digunanakan.
Upaya administrative ini ada dua macam yaitu banding adinistratif dan prosedur
keberatan. Banding adiministratif yaitu penyelesaian sengketa tata usaha Negara
dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan ketetapan
yang disengketakan, sedangkan prosedur keberatan adalah penyelesaian sengketa tata
usaha Negara dilakukan oleh instansi yang mengeluarkan ketetapan yang
bersangkutan.
S.F. Marbun menyebutkan ciri-ciri banding administrasi sebagai berikut:
a. Yang memutus adalah Badan Tata Usaha Negara (BTUN) yang secara hirarkis
lebih tinggi daripada Tata Usaha Negara yang memberi keputusan pertama, atau
BTUN lain;
b. Badan Tata Usaha Negara (BTUN) yang memeriksa banding adiministratif atau
pernyataan keberatan itu dapat merubah dan/atau mengganti keputusan BTUN
yang pertama;
c. Penilaian terhadap Keputusan Tata Usaha Negara pertama itu dapat dilakukan
secara lengkap, baik dari segi rechmatigheid (penerapan hukum) maupun dari
segi doelmatigheid (kebijaksanaan dan ketepatgunaan). Keputusan Tata Usaha
Negara itu tidak saja dinilai berdasarkan norma-norma yang zakelijk, tetapi
kepatutan yang berlaku dalam masyarakat, harus merupakan bagian penilaian
atas keputusan itu;
d. Perubahan-perubahan keadaan sejak saat diambilnya keputusan oleh BTUN
pertama dan perubahan-perubahan keadaan yang terjadi selama proses
pemeriksaan banding berjalan harus diperhatikan (ex tunc dan ex nunc).64

Pasal 53 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 berbunyi: “Seseorang atau badan hokum
perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu keputusan tata usaha
negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang
64
SF. Marbun, Peradilan…, op. cit., hlm. 79-80
berisi tuntutan agar keputusan tata usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan
batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan atau
rehabilitasi”. Di dalam Pasal 53 ayat (2)disebutkan mengenai tolok ukur untuk menilai
keputusan tata usaha Negara yang digugat yaitu sebagai berikut:
a. Keputusan tata usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) telah menggunakan wewenangnya
untuk tujuan lain dari maksud diberikannya wewenang tersebut;
c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak
mengeluarkan keputusan sebagaimana dimadsud dalam ayat (1) setelah
mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu
seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan
tersebut.
Pasal 53 ayat (2) diatas kini telah diubah dengan UU no. 9 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, menjadi berbunyi:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan asas-asas
umum pemerintahan yang baik.
Di dalam penjelasannya disebutkan secara terinci alasan-alasan tersebut, yaitu:
Pertama, keputusan Tata Usaha Negara dapat dinilai “bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku” apabila keputusan yang bersangkutan itu”
a. bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang bersifat procedural/formal. Contoh, sebelum keputusan
pemberhentian dikeluarkan seharunya pegawai yang bersangkutan diberi
kesempatan untuk membela diri;
b. bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang bersifat materiil/substansial. Contoh, keputusan di tingkat
banding administrative, yang telah salah menyatakan gugatan penggugat
diterima atau tidak diterima;
c. Dikeluarkan oleh Badan atu Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak berwenang.
Contoh, peraturan dasarnya telah menunjuk pejabat lain yang berwenang untuk
mengambil keputusan.
Kedua, dasar pembatalan ini sering dapat disebut penyalahgunaan wewenang. Setiap
penentuan norma-norma hokum di dalam tiap peraturan itu tentu dengan tujuan dan
maksud tertentu. Oleh karena itu, penerapan ketentuan tersebut harus seuai dengan
tujuan dan maksud khusus diadakannya peraturan yang bersangkutan. Dengan
demikian, peraturan yang bersangkutan tidak dibenarkan untuk diterapkan guna
mencapai hal-hal yang di luar maksud tersebut. Dengan begitu wewenang materiil
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dalam mengeluarkan
keputusan tata usaha Negara juga terbatas ruang lingkup maksud bidang khusus yang
telah dibentukan dalam peraturan dasarnya.
Ketiga, dasar pembatalan ini sering disebut larangan berbuat sewenang-wenang.
Suatu peraturan dasar yang memberikan wewenang kepada Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara adakalanya mengatur secara sangat terperinci dan ketat apa yang harus
dilaksanakan dan mengikat Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dalam melakukan
urusan pemerintahan.

C. Penegakan Hukum dalam Hukum Administrasi Negara.


Sarana penegakan hukum itu disamping pengawasan juga sanksi. Pengawasan
terhadap tindakan pemerintah dimaksudkan agar pemerintah dalam menjalankan
aktifitasnya sesuai dengan norma-norma hukum, sebagai suatu upaya preventif, dan
juga dimaksudkan untuk mengembalikan pada situasi sebelum terjadinya pelanggaran
norma-norma hukum, sebagai suatu upaya represif. Pengawasan ini diupayakan alam
rangkar memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Pengawasan segi hukum dan
segi kebijaksanaan terhadap tindakan pemerintah dalam HAN adalah dalam rangka
memberikan perlindungan bagi rakyat, yang terdiri dari upaya administrative dan
peradilan administrative.
Sedangkan Sanksi merupakan inti dari penegakan hukum administrasi. Sanksi biasanya
diletakkan pada bagian akhir setiap peraturan; in cauda venenum (secara bahasa
berarti diujung terdapat racun), artinya diujung suatu kaidah hukum terdapat sanksi.
Sanksi diperlukan untuk menjamin penegakan hukum administrasi. Sanksi sering
merupakan bagian yang melekat pada norma hukum tertentu.
Macam-macam Sanksi dalam Hukum Administrasi Negara:
1. Paksaan Pemerintahan (bestuurdwang);
2. Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (izin, subsidi,
pembayaran, dan sebagainya);
3. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom);
4. pengenaan denda administatif (adminstratieve boete).65

D. Petanggungjawaban Pemerintah.
Pemerintah adalah subyek hukum, sebagai pendukung hak dan kewajiban hukum,
dengan dua kedudukan hukum yaitu sebagai wakil dari badan hukum dan wakil dari
jabatan pemerintaha. Sebagai subyek hukum, pemerintah dapat melakukan perbutan
hukum, yakni perbuatan hukum yang ada relevansinya dengan hukum atau perbuatan
yang dapat menimbulkan akibat-akibat hukum. Akibat hukum yang positive tidak
relevan dengan pertanggungjawaban, sedang akibat hukum negative memiliki relevansi
dengan pertanggungjawaban karena dapat memunculkan tuntutan dari piha yang
terkena akibat hukum yang negative. Dalam Negara hukum, setiap subyek hukum baik
itu pemerintah maupun wara Negara yang melanggar hukum atau subyek hukum yang
tindakannya menimbulkan akibat hukum, maka subyek hukum itu harus
mengembalikan pada keaadaan semula (herstel in den vorige toestand).
Penentuan tanggung jawab atas kerugian adalah melalui proses peradilan dan telah ada
putusan (vonnis) hakim yang berkekuatan hukum (rechtskrachtig) tetap.
Ada beberapa asas hukum administrasi yang menghambat, yaitu:
1. asas bahwa terhadap benda-benda publik tidak dapat diletakkan sita
jaminan;
2. asas “rechtmatigheid van bestuur”. Salah satu konsekuensi asas ini
adalah kewenangan. Pejabat atasan tidak dibenarkan menerbitkan KTUN
yang seharusnya menjadi wewenang pejabat tertentu di bawahnya.
Dengan demikian andaikata pejabat atasan memerintahkan pejabat di
bawahnya untuk menerbitkan sebuah KTUN dan ternyata tidak
dilakukan, pejabat atasan tidak bisa menerbitkan KTUN tersebut;
3. asas bahwa kebebasan pejabat pemerintahan tidak bisa dirampas.
Kemungkinan dari asas ini misalnya tidak mungkin seorang pejabat
dikenai tahanan rumah karena tidak melaksanakan putusan pengadilan
TUN;
4. asas bahwa Negara (dalam hal ini) pemerintah selalu harus dianggap
“solvable” (mampu membayar).66
Apakah pejabat yang bersangkutan –secara pribadi sebagai natuurlijke persoon- bebas
dari tanggung jawab hukum?

65
Ridwan H.R., op. cit. hlm. 237,
66
Philipus M. Hadjon, et.al., op. cit. hlm. 369.
Ada dua teori; pertama, teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa
kerugian terhadap pihak ketiga itu dibebankan kepada pejabat yang karena
tindakannya itu telah menimbulkan kerugian; Kedua, teori fautes de services, yaitu
teori yang menyatakan bahwa kerugian terhadap pihak ketiga itu dibebankan pada
instansi dari pejabat yang bersangkutan. 67
Agaknya teori kedua yang banyak dianut, karena teori pertama sukar untuk diterapkan
dalam praktek, terutama kesukaran dalam membuktikan kesalahan subyektif pejabat
pemerintah ketika ia menjalankan tugas-tugas publik. Hukum positif di Indonesia juga
menganut teori yang kedua. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) dan (2) PP No. 43 Tahun
1991 tentang Ganti Rugi dan Tata Cara Pelaksanaannya pada PTUN disebutkan bahwa
“Ganti rugi yang menjadi tanggung jawab Badan Tata Usaha Negara Pusat, dibebankan
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)”, dan “Ganti rugi yang menjadi
tanggung jawab Badan Tata Usaha Negara Daerah, dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)”. Dengan demikian, tampak bahwa pejabat
pemerintah atau administrai Negara itu tidak dibebani tanggung jawab hokum secara
pribadi, ketika KTUN yang dibuat dan diterbitkan oleh pejabat yang bersangkutan
menimbulkan kerugian pada pihak ketiga.

67
Kranenburg dan Vegting, op, cit., hlm. 171.

Anda mungkin juga menyukai