Anda di halaman 1dari 4

C.

Studi Terdahulu
Penelitian ini merupakan bagian kecil dari penelitian tentang perlindungan terhadap
pengungsi internasional. Ada banyak penelitian, temuan, dan teori yang dikemukakan
tentang perlindungan hukum terhadap pengungsi internasional. Beberapa penelitian tersebut
telah menghasilkan berbagai temuan, teori maupun pendekatan terhadap perlindungan
pengungsi dari berbagai perspektif ilmu dan latar belakang praktis.
Permasalahan pengungsi telah menjadi perhatian penting masyarakat internasional.
Jumlah pengungsi yang terus meningkat di seluruh dunia mendorong seluruh negara untuk
berpartisipasi dalam menangani permasalahan ini. Pada akhir tahun 2020, tidak kurang dari
82, 4 juta orang terpaksa harus meninggalkan daerah asalnya, disebabkan alasan persekusi,
konflik, bencana alam, kekerasan dan kejahatan hak asasi manusia, bahkan karena alasan
buruknya penegakan hukum di negara asalnya (UNHCR - Refugee Statistics, n.d.). Pada
umumnya, pengungsi akan mencari daerah atau negara baru sebagai tempat kediaman baru
yang dapat melindungi mereka dari berbagai ancaman terhadap jiwa dan pendapat politik
maupun keyakinan agama mereka. Pengungsi tidak bisa mengandalkan bantuan dari negara
penerima sebagai satu-satunya jalan keluar sehingga dibutuhkan pendekatan-pendekatan
khusus yang harusnya bisa dipersiapkan secara bersama-sama oleh masyarakat
internasional.
Perlindungan pengungsi sudah dikaji dalam beberapa perspektif keilmuan maupun
bidang praktis lainnya. Perlindungan pengungsi umumnya dikaji dalam perspektif hukum
dan ilmu sosial lainnya, yang fokus pada perlindungan pengungsi dan tanggung jawab
negara maupun masyarakat internasional, dampak social, budaya, bahasa, dan karakter
pengungsi dan masyarakat di negara penerima (Gilbert, 2020; OXFAM, Save the Children,
2018, 2018). Namun demikian, berbagai keilmuan lain turut memperkaya khasanah teori,
bahan diskusi maupun masukan praktis terhadap bidang perlindungan pengungsi, seperti
bidang kesehatan dan nutrisi, teknologi dan aplikasi praktis status pengungsi, tata ruang dan
lingkungan penampungan pengungsi (Feldstein et al., 2020; Letchamanana, 2013; R. & S.,
2018; Sollam & Parmar, 2010).
Adapun penelitian terkait perlindungan hukum terhadap pengungsi internasional
dapat dikategorikan dalam beberapa aspek perlindungan, seperti perlindungan hukum pada
proses penemuan, proses penempatan, proses pengamanan, maupun proses pengawasan
terhadap pengungsi yang ada di negara penerima. Pengusul dalam tulisannya tentang
kehidupan pengungsi di Australia Selatan menjelaskan tentang kehidupan pengungsi yang
9
datang dari berbagai negara, umumnya negara-negara Timur Tengah dan Afrika (Rahman,
2006). Kebijakan Pemerintah Australia pada saat itu sebagai negara anggota Konvensi 1951
dianggap masih kurang baik. Masih terdapat perlakuan-perlakuan diskriminatif terhadap
para pengungsi dan proses pemberian status pengungsi yang rumit serta waktu yang relative
lama, sehingga pengungsi harus hidup di barak-barak pengungsian yang kondisinya lebih
mirip dengan rumah tahanan.
Carl Grundy-Warr dan Elaine Yin (Grundy-Warr & Yin, 2002) menjelaskan tentang
keadaan geografis Myanmar, populasi etnis dan pemeluk agama di Myanmar termasuk
sejarah masuknya etnis Rohingya di beberapa wilayah Dhaka dan Bangladesh. Xiong
menggambarkan kondisi etnis Rohingya di beberapa negara (Xiong, 2015). Perlakuan yang
mereka terima sering karena dianggap sebagai imigran gelap dan tak jarang diperlakukan
secara kasar. Penelitian ini akan meneliti lebih jauh perlakuan yang diterima oleh pengungsi
Rohingya di Indonesia, khususnya di Aceh, serta bagaimana respon pemangku kepentingan
dan masyarakat di sekitar lingkungan penampungan terhadap kehadiran Rohingya.
Lebih jauh, penelitian tentang penanganan pengungsi selama ini telah banyak
dilakukan, baik dalam ruang lingkup nasional maupun internasional. Beberapa lokasi negara
penerima pengungsi telah menjadi objek penelitian tentang penanganan pengungsi, seperti,
Malaysia, Thailand, Indonesia, khususnya di Aceh (McConnachie, 2019; Mcnevin &
Missbach, 2018; Rahman et al., 2019; Sholihah, 2009; Untoro et al., 2016; Yesmin, 2016;
Yuliantiningsih, 2013). Selain itu, berbagai aspek perlindungan pengungsi yang diberikan
oleh negara penerima maupun yang diterima oleh pengungsi merupakan topik yang juga
mendapat perhatian para peneliti di bidang pengungsi internasional (Aleinikoff & Poellot,
2014; Dewansyah et al., 2017; Inder, 2017; Missbach, 2017).
Adapun penelitian tentang model pendekatan yang dilakukan dalam menangani
pengungsi di negara penerima, selama ini masih terbatas pada model tradisional dan bersifat
universal, merujuk pada instrument hukum internasional yang telah ada. Khusus terhadap
penanganan pengungsi Rohingya di Provinsi Aceh, beberapa hasil penelitian dan publikasi
ilmiah telah mengkaji dari berbagai perspektif. Deasy Sylvia Sari menjelaskan tentang
alasan-alasan dan Langkah-langkah yang ditempuh oleh Pemerintah Indonesia dalam
menangani pengungsi Rohingya yang datang ke Provinsi Aceh pada tahun 2015 (Sari,
2018). Alvi Syahrin menyimpulkan bahwa Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan
Protokol 1967 tentang hak dan kewajiban pengungsi menjadi landasan dalam penanganan
pengungsi internasional. Alvi membandingkan konsep perlindungan pengungsi menurut
10
hukum internasional dan hukum Islam. Prinsip-prinsip yang terkandung dalam dua system
hukum tersebut memiliki kesamaan dan dianggap telah menjadi hukum kebiasaan
internasional (Syahrin, 2018). Tulisan Alvi Syahrin ini selaras dengan temuan pengusul
yang menyimpulkan bahwa yang menjadi alasan utama masyarakat Aceh menerima
pengugnsi Rohingya adalah alasan keagamaan (Rahman, 2021a).
Penelitian ini sendiri merupakan lanjutan dari penelitian terdahulu yang dilakukan
oleh pengusul bersama beberapa rekan peneliti lainnya. Penelitian pengusul pada tahun
2015-2016 yang berjudul “Konsep Perlindungan Pengungsi Rohingya di Provinsi Aceh”
merupakan penelitian dasar yang berangkat dari TKT 1 sampai TKT 3. Penelitian terdahulu
tersebut telah melakukan observasi, mengumpulkan data awal, menyusun hipotesis,
mengeksplorasi desain dan prosedur penelitian, dan merancang metode penelitian terkait
konsep perlindungan pengungsi Rohingya di Aceh. Selain itu, pengusul juga meneliti dan
menghasilkan sebuah disertasi khusus membahas tentang prinsip non-refoulement sebagai
hukum kebiasaan internasional yang menjadi dasar hukum bagi Pemerintah Indonesia untuk
tidak menolak atau mengusir pengungsi Rohingya yang sudah masuk ke wilayah Republik
Indonesia (Rahman, 2018).
Pada tahun 2017, pengusul melanjutkan pengembangan terhadap topik penelitian
dengan mengaitkannya dengan nilai-nilai kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dalam
proses penanganan pengungsi di Aceh, dalam kurun waktu 2015-2017. Penelitian lanjutan
ini telah berhasil menyusun rancangan pertanyaan-pertanyaan penelitian tentang model
penanganan pengugnsi berbasis kearifan lokal. Selain itu, pengusul telah menentukan
sampel, identifikasi kebutuhan dan sumber data, melakukan evaluasi Teknik pengumpulan
data dan scenario alternatif dalam melakukan penelitian dan pengembangannya terkait
model penanganan pengugnsi Rohingya di Aceh. Penelitian tersebut menghasilkan
seperangkat data primer dan sekunder tentang penanganan pengungsi Rohingya selama
mereka berada di Provinsi Aceh dari tahun 2015-2017 (TKT 3).
Sepanjang tahun 2018-2020, jumlah Rohingya yang masuk ke Provinsi Aceh
semakin bertambah dan masalah yang muncul sebagai dampak kehadiran mereka juga
semakin beragam, baik permasalahan di bidang peraturan (substansi hukum), aparatur atau
pemangku kepentingan (struktur hukum), maupun masalah sosial dalam masyarakat dan
pengungsi Rohingya itu sendiri (budaya hukum). Untuk mengetahui kondisi dan status
terkini, pada tahun 2020 pengusul melakukan survey secara online tentang perspektif
masyarakat terhadap kehadiran kembali pengungsi Rohingya di Aceh (Rahman, 2021b).
11
Penelitian ini menghasilkan seperangkat data awal untuk mengidentifikasi berbagai akar
permasalahan yang muncul dalam proses penanganan pengungsi Rohingya di Aceh (TKT
4).
Pada tahun 2021, pengusul telah melakukan kajian terapan lebih lanjut tentang
pelaksanaan penanganan pengungsi di kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara,
Kabupaten Aceh Timur dan Kota Langsa, Pengusul telah berhasil mengidentifikasi dan
menyusun model penanganan pengungsi berbasis nilai-nilai kearifan lokal di Provinsi Aceh
(TKT 5). Untuk menindaklanjuti konsep tersebut, penelitian ini akan melakukan tahapan
public hearing dengan berbagai aktor negara, aktor non-negara, terhadap model yang telah
disusun. Pengusul akan mengumpulkan data primer melalui observasi, Focus Group
Discussion (FGD) dengan para aktor yang terlibat langsung pada proses penanganan
pengungsi Rohingya di Aceh sejak tahun 2015, maupun wawancara terstruktur dengan
masyarakat adat Aceh, khususnya Panglima Laot. Penelitian ini akan menguji validitas dan
reliabilitas data primer yang sudah disusun dalam bentuk model serta mengelaborasikan
dengan data sekunder untuk mendapatkan kehandalan data dan menyusun kebijakan
pemerintah daerah dalam penanganan pengungsi internasional (TKT 6).

12

Anda mungkin juga menyukai