Anda di halaman 1dari 123

Universitas Katolik Parahyangan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik


Program Studi Ilmu Hubungan Internasional

Terakreditasi A

SK BAN-PT No. 451/SK/BAN-PT/Akred/S/XI/2014

Upaya United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)


dalam menangani Syrian Refugees Crisis di Negara Tetangga Suriah
(Turki, Irak, Libanon, Yordan)
Periode 2011 – 2015

SKRIPSI

Oleh

Nonna Garsia Rahsti

2012330163

Pembimbing :

Yulius Purwadi Hermawan, Drs, M.A., Ph.D

Bandung
2015
SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Nonna Garsia Rahsti

NPM : 2012330163

Jurusan/Program Studi: Ilmu Hubungan Internasional

Judul : Upaya United Nations High Commissioner for Refugees

(UNHCR) dalam menangani Syrian Refugees Crisis di

Negara Tetangga Suriah (Turki, Irak, Libanon, Yordania)

periode 2013 – 2015

Dengan ini menyatakan bahwa seminar ini merupakan hasil karya tulis ilmiah sendiri

dan bukanlah merupakan karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar

akademik oleh pihak lain. Adapun karya atau pendapat pihak lain yang dikutip, ditulis

sesuai dengan kaidah penulisan ilmiah yang berlaku.

Pernyataan ini saya buat dengan penuh tanggung jawab dan bersedia menerima

konsekuensi apapun sesuai aturan yang berlaku apabila kemudian hari diketahui

bahwa pernyataan ini tidak benar.

Bandung, 21 Oktober 2015

Nonna Garsia Rahsti


ABSTRAK

Nama : Nonna Garsia Rahsti


NPM : 2012 330 163
Judul : Upaya United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)
dalam menangani Syrian Refugees Crisis di Negara Tetangga Suriah
(Turki, Irak, Libanon, Yordania) periode 2013 – 2015

Penelitian ini mendeskripsikan upaya yang dilakukan oleh United Nations


High Commissioner for Refugees (UNHCR) untuk menangani permasalahan
pengungsi asal suriah atau Syrian Refugees Crisis. Penelitian ini memiliki rentang
waktu dari tahun 2013 hingga 2015 dikarenakan angka pengungsi yang mengalami
ledakan angka secara signifikan di awal tahun 2013, akibat munculnya para pihak baru
dalam konflik Suriah. Penelitian ini menggunakan teori Liberalisme Institusional dan
beberapa konsep seperti Intra-State Conflict, Peranan Organisasi Internasional, Fungsi
InterGovernmental Organization (IGO), Humanitarian Assistance, dan Partnership.
Di dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif. Tipe
penelitian ini berfokus kepada penjelasan penelitian yang bersifat deskriptif berkaitan
dengan upaya UNHCR dalam menangani Syrian Refugee Crisis. Teknik pengumpulan
data yang digunakan oleh penulis ialah studi pustaka dengan pengkajian data resmi
dari UNHCR dan organisasi internasional lainnya, buku, serta sejumlah jurnal yang
berkaitan dengan penelitian ini.
Dalam penelitian ini, penulis menemukan sejumlah upaya UNHCR dalam
operasi penanganannya. Upaya yang dilakukan antara lain di bidang pemenuhan
Kebutuhan Pokok, Pendidikan, dan Pelayanan Kesehatan. Dalam melakukan upaya
tersebut, UNHCR juga menjalin kerja sama dengan beberapa organisasi internasional
dan Non-Governmental Organizations (NGO), seperti UNICEF, WHO, IFRC, ICRC,
ION, dan beberapa NGO lainnya. Beberapa hambatan juga turut ditemukan dalam
penelitian ini diantaranya, adanya jarak yang cukup besar antara dana yang harus
dipenuhi dengan dana yang tersedia dalam organisasi. Keengganan pemerintah negara
tetangga Suriah untuk memberikan bantuan yang dibutuhkan untuk menangani
permasalahan dan memenuhi kebutuhan pengungsi berdasarkan anggapan bahwa
pengunsi merupakan ancaman bagi negara mereka. Para pengungsi Suriah yang masih
duduk di bangku sekolah serta menerima bantuan akses terhadap institusi sekolah
formal di wilayah setempat, memiliki hambatan yang cukup berpengaruh terhadap
keberadaan mereka. Kesulitan yang dihadapi antara lain dalam melakukan integrasi
sosial maupun budaya terhadap lingkungan sekolah dikarenakan kendala bahasa,
adanya diskriminasi terhadap keberadaan mereka sebagai pengungsi, serta tantangan
dalam mempelajari kurikulum materi pembelajaran yang sangat berbeda dengan
kurikulum negara asal.

Kata Kunci: United Nations High Commissioner for Refugees, Pengungsi Suriah,
Syrian Refugees Crisis,
ABSTRAK

Nama : Nonna Garsia Rahsti


NPM : 2012 330 163
Judul : Upaya United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR)
dalam menangani Syrian Refugees Crisis di Negara Tetangga Suriah
(Turki, Irak, Libanon, Yordania) periode 2013 – 2015

This study describes the efforts made by the United Nations High
Commissioner for Refugees (UNHCR) to address the problem of refugees from Syria
or Syrian Refugees Crisis. This study has a time span from 2013 to 2015 due to the
number of refugees which increased significantly in early 2013, due to the emergence
of new parties in the Syrian conflict. This study uses the theory of Liberalism
Institutional and some concepts such as Intra-State Conflict, Role of International
Organizations, Functions Intergovernmental Organization (IGO), Humanitarian
Assistance, and Partnership. In this study, the authors used qualitative research
methods. This type of research is focused on the descriptive explanations study
relating to UNHCR efforts for addressing the Syrian Refugee Crisis. Data collection
techniques used by the author are by literature study and assessment official data from
the UNHCR and other international organizations, books and journals related to this
research.
In this study, the authors found numbers of UNHCR efforts in handling
operations for Syrian Refugees. Efforts are being made among others in the field of
fulfillment of basic needs, Education, and Health Services. In this case, the UNHCR
also cooperates with several international organizations and Non-Governmental
Organizations (NGOs), such as UNICEF, WHO, IFRC, ICRC, ION, and several other
NGOs. Some of the obstacles were also identified in this study among others, the
existence of substantial distances between funds that must be fulfilled with the funds
that are available within the organization. The Syrian government's Neighboring
Countries reluctance to provide the assistance required to deal with the problems and
meet the needs of refugees under the assumption that the refugees are a threat to their
country. Syrian refugees who are still attending school and receiving aid agency access
to formal schools in the local area, have a significant disincentive effect on their
existence. Difficulties encountered among others in doing social and cultural
integration of the school environment because of language barriers, discrimination
against their existence as refugees, as well as challenges in the curricula study the
learning material that is very different from the country of origin curriculum.

Keyword: United Nations High Commissioner for Refugees, Pengungsi Suriah, Syrian
Refugees Crisis,
DAFTAR ISI

BAB I.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah

1.2 Identifikasi Masalah

1.2.1 Deskripsi Masalah

1.2.2 Perumusan Masalah

1.2.3 Pembatasan Masalah

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

1.3.2 Kegunaan Penelitian

1.4 Kajian Literatur

1.5 Kerangka Pemikiran

1.6 Metode Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data

1.6.1 Metode Penelitian

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data

1.7 Sistematika Pembahasan

BAB II. UNHCR dan REFUGEES

2.1 Pengenalan awal UNHCR 5

2.1.1. Latar Belakang Berdirinya UNHCR 7


2.1.2. Visi & Misi UNHCR 7

2.2 Kategori Pihak yang Menjadi Tanggung Jawab UNHCR 5

2.2.1. Refugees 7

2.2.2. Asylum-Seekers 7

2.2.3. Stateless People 7

2.2.4. Internally Displaced People (IDPs) 7

2.2.5. Returnees 7

BAB III. KOMPLEKSITAS MASALAH PENGUNGSI DI SURIAH

3.1 Konflik di Suriah 5

3.1.1. Latar Belakang Konflik di Suriah 7

3.1.2. Perkembangan Konflik di Suriah 7

3.1.3. Aktor yang Terlibat Konflik 7

3.2 Krisis Kemanusiaan di Suriah 5

3.2.1. Timbulnya Pengungsi 7

3.2.2. Syrian Refugees Crisis 7

3.3 Kondisi Para Pengungsi (Refugees) 5

BAB IV. PENANGANAN UNHCR TERHADAP SYRIAN REFUGEES CRISIS


2011-2015

4.1 Program Bantuan UNHCR Terhadap Para Pengungsi Suriah

4.1.1. Perlindungan Pengungsi (2011 – 2015)

4.1.2. Aktivitas UNHCR

4.1.3. Upaya UNHCR Dalam Mengatasi Perpindahan Pengungsi

4.1.3.1. Penentuan Status Pengungsi

4.1.3.2. Di Negara Sekitar/Tetangga Suriah


4.1.2. Upaya UNHCR Dalam Mengatasi Syrian Refugee Crisis (2013 – 2015)

4.1.2.1. Pelayanan Penduduk

4.1.2.2. Kebutuhan Pokok

4.1.2.3. Pendidikan

4.1.2.4. Kesehatan

4.1.2.5. Hukum

4.2 Kerjasama UNHCR dengan organisasi lain

4.2.1. UNICEF

4.2.2. WHO

4.2.3. ICRC

4.2.4. IFRC

4.2.5. IOM

4.1.6. NGO

4.3 Hambatan dalam Penanganan

BAB V. Kesimpulan
Bab I

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya, negara memiliki kewajiban untuk menjamin keamanan serta

memenuhi kebutuhan warga negaranya. Kebutuhan mendasar warga negara yang perlu

dipenuhi oleh negara antara lain sebagai tugas utamanya antara lain adalah

kesejahteraan, keadilan, kebebasan, kedaulatan, dan keamanan. Jika negara tidak

mampu untuk memenuhi kelima hal tersebut, negara tersebut berpotensi menjadi

Failed State atau negara yang gagal dalam memberikan fasilitas dasar untuk hidup

bagi masyarakatnya1.

Konflik merupakan salah satu masalah yang menyebabkan adanya

ketidakstabilan suatu negara. Di kawasan Timur Tengah, hal tersebut merupakan

situasi yang kerap terjadi. Permasalahan tersebut cenderung disebabkan oleh adanya

perbedaan ideologi antar pihak yang bersangkutan. Konflik dapat terjadi secara

internal (dalam negeri) maupun dengan negara atau aktor lainnya. Contoh nyata

konflik di wilayah Timur Tengah dapat kita lihat pada aksi kekerasan di wilayah

Suriah dan Irak terkait masalah aktivitas ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) sejak

tahun 20132.

Situasi tersebut tentunya menimbulkan rasa tidak aman bagi warga sipil

sebagai pihak yang menerima dampak langsung dari konflik-konflik tersebut. Warga

sipil yang tidak lagi merasa aman untuk menetap akan keluar dari negaranya dan
1
George Sorensen and Robert Jackson, Introduction to International Relations : Theories &
Approaches. Oxford University Press. 2009 . hal. 7
2
Syria: The story of the conflict. BBC News. 11 Maret 2016. Tersedia pada
http://www.bbc.com/news/world-middle-east-26116868 diakses 25 Februari 2016
mencari kenyamanan di wilayah atau negara lain. Masyarakat yang mencari keluar

dari negaranya ini umumnya dikatakan sebagai Refugees (Pengungsi) dan Asylum

Seeker (Pencari Suaka)3.

Sesuai dengan pandangan Hak Asasi Manusia (HAM) secara universal dimana

manusia berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak dengan HAM sebagai

fundamental moral manusia4. Para korban tersebut memiliki hak untuk mendapatkan

tempat tinggal yang layak tanpa adanya suatu ancaman atau konflik seperti yang

terjadi di negara asal. Tetapi, proses perpindahan para korban tersebut bukanlah hal

yang mudah dilakukan dikarenakan sebuah wilayah maupun negara tidak dapat

dengan mudahnya memasukkan seseorang yang bukan berasal dari teritorialnya. Hal

tersebut dapat dipahami dikarenakan sesuai dengan Thomas Hobbes, Homo Homini

Lupus, dimana manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya5. Bagaimana pun juga

para korban tersebut merupakan orang asing bagi negara lain yang perlu direspon

dengan sangat hati-hati dikarenakan adanya kemungkinan untuk mengganggu

kestabilan atau keamanan negara. Hal tersebut juga dipicu dengan adanya

Xenophobia6 terhadap para pengungsi seperti yang dirasakan sejumlah negara di

Eropa7. Para pengungsi dapat dikatakan menjadi korban yang paling dirugikan

dikarenakan situasi mereka yang memprihatinkan. Kehilangan tempat tinggal yang

cenderung permanen tentunya menjadi pukulan tersendiri bagi mental mereka, dan

pencarian tempat menetap yang baru bukanlah persoalan mudah. Tidak heran para

3
UNHCR: Who We Help. Tersedia di http://www.unhcr.org/pages/49c3646c11c.html diakses pada
tanggal 28 Agustus 2015
4
David P. Forsythe. Human Rights in International Relations. Cambridge University Press, 2006, hal. 3
5
Carl Schmitt, The Leviathan in the State Theory or Thomas Hobbes, Westport: Greenwood Press,
1996, hal. 115
6
Xenophobia merupakan ketakutan terhadap individu, kelompok, maupun budaya asing didasari oleh
anggapan bahwa hal asing tersebut akan mengancam atau merusak sesuatu yang sudah ada atau stabil.
Fobia ini banyak dirasakan oleh negara-negara di benua Eropa seperti Perancis. Xenophobia semakin
parah setelah peristiwa penembakan Charlie Hebdo 7 Januari 2015 silam.
7
Guido Bolaffi, Dictionary of Race, Ethnicity & Culture, London: SAGE Publications, 2003, hal 83
pengungsi terlihat sebagai ‘pengemis’ tempat tinggal di sejumlah wilayah dikarenakan

ketidakpastian arah hidup mereka.

Dilihat dari sejarahnya, para korban konflik seperti ini telah ada sejak jaman

terjadinya perang antar kerajaan dan perebutan wilayah di benua Eropa, begitu pula

pada Perang Dunia 1 dan 2 yang mengakibatkan ribuan orang kehilangan tempat

tinggal dan kewarganegaraan secara tidak langsung selama perang. Setelah Perang

Dunia 2, terdapat sekitar ratusan ribu hingga jutaan pengungsi yang berasal dari

wilayah Uni Soviet, Polandia dan Ukraina di benua Eropa.

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, sejumlah aktor selain negara seperti

individu, kelompok organisasi internasional, dan lain-lain, mulai diakui sebagai salah

satu pihak yang paling berpengaruh dalam peristiwa maupun perjanjian internasional.

Organisasi internasional terbukti menjadi salah satu aktor yang berpengaruh terhadap

situasi global seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dimana organisasi tersebut

menjadi sarana bagi setiap negara-negara masa kini dalam memutuskan suatu pilihan

maupun menyelesaikan permasalahan internasional.

Peranan organisasi internasional seperti UNHCR sebagai salah satu organisasi

yang berperan dalam penanganan permasalahan pengungsi, merupakan suatu institusi

formal yang dibentuk atas dasar adanya suatu perjanjian maupun traktat antar anggota.

Hal tersebut dapat dilakukan melalui perwakilan pemerintah atau tidak, dari sedikitnya

dua negara atau lebih dengan tujuan untuk mencapai kepentingan bersama

anggotanya8. Di dalam organisasi yang dibentuk terdapat sejumlah kepentingan dari

negara-negara pencetusnya itu sendiri. Tidak jarang juga organisasi internasional

dijadikan negara sebagai salah satu instrumen untuk membantu negara dalam

menyelesaikan suatu permasalahan.

8
Clive Archer. International Organizations. Routledge, 2001, hal. 35
Pada penelitian ini penulis menitikberatkan terhadap upaya dari organisasi

internasional dalam menangani permasalahan kemanusiaan yang berpengaruh secara

global.

1.2. Identifikasi Masalah

1.2.1. Deskripsi Masalah

Pada 18 Maret 2011, terjadi sebuah konflik di Suriah yaitu aksi protes oleh

pihak Pro-demokrasi setelah insiden penangkapan dan penyiksaan terhadap 15 remaja

yang mengecat slogan-slogan revolusioner di dinding sekolah. Demonstrasi tersebut

berakhir dengan penembakan 4 demonstrator oleh pihak keamanan di kota Daraa,

Suriah. Pada hari berikutnya, terjadi penembakan terhadap orang-orang yang melayat

para korban penembakan saat demonstrasi. Berita tersebut kemudian menyebar ke

seluruh Suriah dan memicu reaksi masyarakat, hal tersebut menyebabkan sejumlah

konflik internal di negara tersebut yang akhirnya semakin menyebar dan

mengakibatkan Suriah berada di dalam status perang sipil pada tahun 20129.

Dikarenakan pemerintah Suriah ternyata turut ambil bagian sebagai aktor

pemicu konflik di Surah, masyarakat tentunya tidak dapat mengharapkan adanya

bantuan dari pemerintah dalam menyikapi permasalahan mereka. Berdasarkan

peristiwa tersebut, terjadi kontradiksi antara tanggung jawab negara yang seharusnya

menjamin keamanan dan kesejahteraan masyarakatnya, justru menjadi pihak yang

membuat masyarakat merasa terancam. Para korban pun seharusnya masih menjadi

tanggung jawab negara, tetapi dilihat dari konflik Suriah, pemerintah seolah telah

lepas tangan dengan keadaan penduduk dan lebih mengutamakan kepentingan pribadi.

9
BBC: CBBC Newsround. What's happening in Syria?. 20 Februari 2015. Tersedia di
http://www.bbc.co.uk/newsround/16979186 diakses 28 Agustus 2015
Ketidakmampuan negara untuk memenuhi tugasnya dalam menjamin

kehidupan warga negaranya, menjadikan pihak lain yang seharusnya tidak

mengemban tanggung jawab tersebut, menanggungnya dengan prinsip kemanusiaan.

Dalam kasus ini adalah pihak organisasi internasional, UNHCR.

Kawasan Timur Tengah sudah menjadi perhatian dari misi UNHCR terutama

di negara Suriah pada masa kini. UNHCR secara intens mengurusi permasalahan

pengungsi asal Suriah setelah keluarnya status Syrian Refugees Crisis pada tahun 2013

yang disebabkan oleh peningkatan jumlah korban konflik secara signifikan dalam

kurun waktu 1,5 tahun10. Krisis ini cukup menimbulkan masalah di wilayah Timur

Tengah, perairan Mediterania, serta wilayah Eropa yang akhirnya terlibat dikarenakan

kurangnya tempat dan dana untuk menampung jumlah pengungsi yang meledak.

Sejak Mei 2011, UNHCR telah menyediakan kemah pengungsian di Turki dan

Yordania. Pada November 2012 dilaporkan terdapat sekitar 300.000 pengungsi di

seluruh Suriah yang ditangani oleh UNHCR dan jumlah pengungsi meningkat secara

signifikan menjadi 500.000 pada Desember 2012. Seiring berjalannya waktu, jumlah

pengungsi semakin lama semakin meningkat dengan pesat hingga mencapai 4,25 juta,

lebih dari setengahnya ialah anak-anak pada tahun 2013. Hal tersebut sudah cukup

membuat UNHCR kewalahan dikarenakan kurangnya tempat untuk menampung para

pengungsi di negara-negara tetangga Suriah yaitu Irak, Lebanon, Yordan, dan Turki.

UNHCR pada akhirnya mengumumkan status Syrian Refugees Crisis secara global11.

Krisis tersebut semakin parah akibat terlibatnya wilayah Suriah dalam aktivitas

pemberontakan dan ISIS yang menyebar dari Irak pada tahun 2014. Hal tersebut

memicu terjadinya sejumlah konflik yang membuat sejumlah anggota militer dari

Amerika Serikat dan terjadi serangan langsung antar kedua belah pihak yang

10
Amnesty International. The Global Refugee Crisis: A Conspiracy of Neglect. Syria’s
Refugees.(London: Amnesty International. 2015)
11
UNHCR: Fact Sheet; Timeline and Figures Syrian Refugees Crisis
mengakibatkan Suriah berada dalam posisi ‘Perang dalam Perang’12 dan menambah

jumlah masyarakat yang mengungsi dari negaranya.

Hingga saat ini sekitar 4 juta pengungsi asal Suriah masih menunggu

penanganan dari pihak UNHCR, jumlah tersebut belum termasuk Internally Displaced

People (IDP) asal Suriah yang diperkirakan 6,5 juta jiwa di Suriah13. Beberapa negara

di Eropa telah menyisihkan sejumlah tempat di negaranya, akan tetapi hal tersebut

juga belum cukup untuk membendung banyaknya pengungsi maupun pencari suaka

asal Suriah. Akibat krisis tersebut, banyak pengungsi yang pada akhirnya berpencar ke

seluruh perairan Mediterania untuk mencari suaka dikarenakan tidak mendapat tempat

di kemah pengungsian yang disediakan UNHCR.

1.2.2. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini penulis membatasi analisa proses United Nations High

Commissioner for Refugees (UNHCR) di Suriah dalam menangani Syrian Refugees

Crisis, terutama mengenai pengalokasian para korban ke negara tetangga Suriah

maupun di Eropa. Rentang waktu yang akan dianalisis adalah antara Januari 2013

hingga Desember 2015 dimana merupakan masa awal bermulanya konflik internal di

Suriah hingga meningkatnya jumlah pengungsi secara signifikan di tahun 2013, serta

penanganan secara global di tahun 2014 – 2015 setelah dikeluarkan status Syrian

Refugees Crisis.

1.2.3. Perumusan Masalah

Di dalam penelitian ini pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut

“Apa Upaya United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dalam

12
BBC News. Syria: The Story of the conflict. 12 Maret 2015. Tersedia di
www.bbc.com/news/world-middle-east-26116868 diakses pada tanggal 28 Agustus 2015
13
Syrian Refugees. A Snapshot of Crisis – in the Middle East and Europe. Januari 2013. Tersedia di
http://syrianrefugees.eu/ diakses tanggal 28 Agustus 2015
menangani Syrian Refugees Crisis di Negara Tetangga Suriah (Turki, Irak,

Libanon, Yordania) periode 2013 – 2015 “.

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian adalah untuk menggambarkan Upaya United Nations High

Commissioner for Refugees (UNHCR) dalam menangani Syrian Refugees

Crisis di Negara Tetangga Suriah (Turki, Irak, Libanon, Yordan).

1.3.2 Kegunaan Penelitian

Kegunaan Penelitian adalah untuk menambah wawasan masyarakat mengenai

peranan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) sebagai

salah satu aktor dalam penanganan permasalahan Syrian Refugees Crisis.

Penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi referensi bagi peneliti selanjutnya

yang tertarik mengenai kinerja UNHCR dalam menangani permasalahan

tersebut.

1.4 Kajian Literatur

Dalam menyusun penelitian ini, penulis menyajikan 3 jenis kajian literatur

yang terdiri atas Buku, Jurnal, serta sebuah situs internasional.

Buku pertama ialah The Welfare of Syrian Refugees: Evidence from Jordan and

Lebanon. Merupakan buku terbitan resmi UNHCR serta hasil kolaborasi penelitian

dengan World Bank. Terdapat enam pengarang dalam penelitian ini antara lain Paolo

Verme (World Bank), Christina Wieser (World Bank), Kerren Hedlund (UNHCR),

Marc Petzoldt (UNHCR), dan Marco Santacroce (UNHCR). Di dalam buku ini

dipaparkan hasil penelitian berdasarkan keadaan para pengungsi asal Suriah di


wilayah Yordania dan Libanon dilihat dari kacamata kondisi kesejahteraan hidup.

Sejumlah perpektif dari masing-masing juga dikatakan sebagai opini relevansi dengan

situasi di lapangan. Upaya sejumlah pihak seperti UNHCR, World Bank, pemerintah

setempat, serta NGO dalam penanganan pengungsi juga turut dipaparkan dengan

limitasi wilayah Yordania dan Lebanon.

Buku kedua adalah Syrian refugees: Syrian refugees crisis: how it started, how

it developed and are future forecasts. Buku ini merupakan hasil karya penelitian

Thomas Thompson yang resmi diterbitkan pada 6 November 2015. Di dalam buku ini

dijelaskan secara deskriptif mengenai awal mula sejarah munculnya para pengungsi

asal Suriah, perkembangan penanganan mereka oleh pemerintah maupun sejumlah

organisasi terkait, situasi pada masa krisis, mobilisasi sejumlah pengungsi ke

daerah-daerah sekitar Suriah maupun ke wilayah Eropa, serta perkiraan mengenai

nasib para pengungsi di masa yang akan datang.

Jurnal yang digunakan penulis berjudul Protecting Syrian Refugees: Laws,

Policies, and Global Responsibility Sharing yang merupakan hasil penelitian

mahasiswa fakultas hukum di Boston University pada tahun 2014. Penulis penelitian

tersebut antara lain Sarah Bidinger, Aaron Lang, Danielle Hites, Yoana Kuzmova,

Elena Noureddine, dan Susan M. Akram. Dalam jurnal ini dipaparkan secara

deskriptif perencanaan mobilisasi para pengungsi asal Suriah ke sejumlah

negara-negara di luar Timur Tengah seperti di wilayah Eropa, Amerika Serikat,

Amerika Latin, Kanada dan lainnya. Keadaan para pengungsi yang ditempatkan di

sejumlah negara-negara dekat Suriah antara lain Lebanon, Yordania, Mesir, dan

Turki juga turut dijelaskan secara rinci dari segi kebijakan tiap negara, aktor terkait,

prosedur mobilisasi, pemberian sarana, dan tentunya keterlibatan UNHCR dalam

setiap aktivitas tersebut dengan hukum, kebijakan, serta kesadaran global sebagai

landasan utama penelitian mereka.


Sejumlah buku dan jurnal yang dipaparkan memiliki beberapa poin yang sama

dengan penelitian yang dikerjakan oleh penulis. Meskipun memiliki kesamaan, tapi

tentunya ada beberapa hal yang berbeda dan menjadi perbandingan antara penelitian

ini dengan sejumlah penelitian diatas. Pada buku pertama, penelitian tersebut berfokus

terhadap kesejahteraan pengungsi asal Suriah dalam cakupan yang dibatasi di wilayah

Yordania dan Libanon, sedangkan penulis memberikan limitasi yang lebih luas di

negara-negara Sekitar Suriah lainnya selain kedua negara tersebut. Fokus penelitian

penulis juga mengarah kepada upaya UNHCR untuk mencapai kesejahteraan bagi

para pengungsi.

Pada buku kedua difokuskan mengenai sejarah, perkembangan masa kini, serta

kemungkinan keadaan maupun solusi bagi Syrian Refugees Crisis di kedepannya,

sedangkan di penelitian penulis sejarah dan pemaparan kondisi masa kini dijadikan

sebuah penerangan awal bagi pembaca untuk memahami situasi seperti apa yang

dihadapi para pengungsi serta penyebab terjadinya Syrian Refugees Crisis dengan

limitasi waktu tahun 2011 – 2015 dengan UNHCR sebagai obyek utama.

Dalam jurnal penelitian mahasiswa dan dosen dari Boston University lebih

berfokus kepada upaya perlindungan bagi para pengungsi melalui jalur hukum,

kebijakan, serta kesadaran global secara bersama, sedangkan dalam penelitian penulis

ketiga unsur tersebut dinilai sebagai salah satu instrumen penunjang upaya

penanganan situasi Syrian Refugees Crisis.

1.5 Kerangka Pemikiran

Dalam penelitian ini, penulis membutuhkan sebuah kerangka pemikiran sebagai

acuan pemikiran untuk menganalisis sejumlah upaya yang dilakukan UNHCR dalam

menangani permasalahan pengungsi asal Suriah. Hal tersebut bertujuan untuk


mendapatkan jawaban penelitian yang tepat pada kesimpulan akhir penelitian ini.

Kerangka pemikiran yang digunakan penulis terdiri dari teori dan konsep dalam

hubungan internasional. Teori yang digunakan adalah Liberalisme Institusional.

Konsep yang digunakan yaitu Intra-state Conflict, Peranan Organisasi Internasional,

Fungsi InterGovernmental Organization (IGO), Humanitarian Assistance, serta

konsep Partnership.

Liberalisme Institusional merupakan teori yang memandang bahwa sebuah

institusi internasional turut serta membantu dan memajukan kerjasama antara

negara-negara, dan membantu mengurangi ketidakpercayaan antar negara , sehingga

menciptakan harapan agar muncul perdamaian yang stabil.. Hal tersebut dapat kita

lihat dari perkembangan nyata European Union (EU) selama ini dimana organisasi

internasional dapat menjalankan peranan maupun fungsinya secara kooperatif dengan

negara-negara sekitar14. Teori ini juga memaparkan seberapa besar lingkup kerjasama

institusi internasional terkait. Terdapat salah satu dimensi yang digunakan penulis

sebagai alat ukur terhadap organisasi yaitu Scope . Dimensi tersebut melihat dari

seberapa banyak jumlah isu di suatu area yang menjadi dasar berdirinya

organisasi-organisasi. Isu terkait pada umumnya didasari oleh beragam permasalahan

seperti di bidang ekonomi, militer, sosial politik, dan lainnya15.

Dalam kasus ini, konflik turut memainkan peranan penting sebagai salah satu

penyebab munculnya pengungsi. Konflik merupakan suatu situasi dimana adanya

perbedaan kepentingan atau keyakinan dari kedua belah pihak atau lebih, dan aspirasi

tersebut tidak dapat dicapai secara bersamaan16. Pihak konflik terbagi atas Aktor

Negara (State Actor) dan Aktor Non-Negara (Non-State Actors). Kedua pihak tersebut

14
George Sorensen and Robert Jackson, Introduction to International Relations : Theories &
Approaches. Oxford University Press. 2009. Hal. 106
15
Ibid. Hal 106 paragraf 3.
16
Pruitt G. D. and Rubin Z. J.. “Social Conflict: Escalation, Stalemate and Settlement”. Random House,
New York. (1986).
kemudian dapat melakukan kontak yang bersifat mengancam, menyakiti,

menghancurkan, maupun mengontrol terhadap pihak lain. Situasi tersebut cenderung

dikenal sebagai suatu konflik bersenjata. Konflik tersebut diklasifikasikan menjadi

dua jenis, antara lain:

● Inter-State Conflict atau konflik yang melibatkan negara

● Intra-State Conflict atau konflik yang melibatkan negara maupun bukan negara.

Konflik ini terbagi atas dua bagian, yaitu :

1. Konflik antara pihak pemerintah dengan pihak yang memiliki

kepentingan tersendiri terhadap sistem otonomi negara dan ingin

menguasai secara paksa. Hal ini cenderung dilakukan oleh kelompok

separatis.

2. Konflik yang berkaitan dengan komposisi dan alur dalam sistem

pemerintahan. Konflik ini cenderung melibatkan kelompok sipil dan

mengacu terhadap isu etnis, agama, bahasa, dan budaya. Apabila isu

tersebut semakin berkembang dan saling berkaitan, potensi konflik

berkembang menjadi konflik antar negara menjadi semakin besar17.

Peranan organisasi internasional memiliki kedudukan yang penting di era

globalisasi ini, akan tetapi bukan berarti mengalahkan kedaulatan suatu negara. Dalam

hal tersebut peranannya berupa sebagai arena, instrumen, dan aktor18. Peranan

organisasi internasional sebagai Arena dapat digunakan sebagai tempat bertemu bagi

para anggota untuk membicarakan dan membahas permasalahan yang dihadapi19.

Tidak jarang organisasi internasional digunakan oleh beberapa negara untuk

17
I Nyoman Sudira, Teori Konflik Sebuah Penghampiran dan Dasar Pemahaman. Jurnal PACIS No.2
tahun 1 November 2003. Hal.58
18
Clive Archer. International Organizations. Routledge. London. 2001. Hal. 68 – 87.
19
Ibid.
mengangkat persoalan dalam negerinya, ataupun internal negara lain dengan tujuan

untuk mendapat perhatian internasional. Kemudian, sebagai Instrumen, organisasi

internasional digunakan oleh negara-negara anggotanya untuk mencapai tujuan

tertentu berdasarkan tujuan politik luar negerinya20. Sebagai Aktor, organisasi

internasional dapat membuat keputusan sendiri tanpa adanya pengaruh kekuasaan

maupun paksaan dari luar organisasi, seperti keputusan UNHCR untuk menyelesaikan

permasalahan pengungsi secara independen tanpa adanya tekanan dari negara Suriah

itu sendiri21.

Menurut Karen A. Mingst, UNHCR dapat diklasifikasikan Intergovernmental

Organization dikarenakan terbentuk atas adanya kesepakatan, konvensi, perjanjian

internasional dan beranggotakan paling sedikit 3 negara22. Untuk lebih memahami

lebih dalam, kita harus mengerti lebih dahulu mengenai fungsi dari organisasi

internasional. Pada penelitian ini penulis menggunakan fungsi organisasi internasional

menurut Karens and Mingst dimana UNHCR sebagai Intergovernmental

Organizations (IGO) yang merupakan salah satu aktor dalam Global Governance.

InterGovernmental Organization (IGO) Functions


Organisasi berfungsi untuk melakukan pengumpulan,
Informational analisis, serta persebaran data.

Berfungsi sebagai penyedia tempat untuk bertukar


Forum pandangan dan pengambilan keputusan.

Menetapkan standar perilaku.


Normative

Rule-Creating Penyusun perjanjian yang mengikat secara hukum


Pemantau kepatuhan terhadap peraturan,
menyelesaikan sengketa, serta mengambil
Rule-Supervisory
langkah-langkah penegakan hukum.

20
Ibid.
21
Ibid.
22
Karens and Mingts. International Organizations : The Politics and Processes of Global Governance”.
United States of America : Lynne Rienner Publishers. 2004. Hal. 5
Mengalokasikan sumber daya, memberikan bantuan
Operational
teknis, dan penyebaran pasukan pembantu

International Organizations : The Politics and Processes of Global Governance by Karens

and Mingst (2004) perihal Fungsi IGO.23

Sebagai suatu organisasi yang dikhususkan untuk membantu permasalahan

kemanusiaan, tentunya UNHCR tidak jauh dari konsep Humanitarian Assistance.

Untuk memahami konsep tersebut, dapat menggunakan pemahaman menurut Heike

Spieker yang mengacu kepada Humanitarian Assistance masa kini ;

The term “humanitarian assistance” is today understood as the most


prominent activity within the broader concept of “humanitarian action”, the
latter ranging from short-term relief to rehabilitation and reconstruction
activities and further to development co-operation, often even encompassing
measures of disaster preparedness, prevention and risk reduction.
Humanitarian assistance activities in the narrower sense are referred to under
a number of differing terms such as humanitarian aid, humanitarian relief,
relief assistance, relief action, and often address all activities mentioned,
excluding development assistance and co-operation24.

Dapat disimpulkan bahwa Humanitarian Assistance merupakan suatu aksi

bantuan (Humanitarian Aid) maupun nyata (Humanitarian Action) yang dibuat untuk

menyelamatkan hidup orang banyak, meringankan penderitaan, serta memelihara dan

melindungi martabat manusia selama maupun setelah terjadinya suatu permasalahan

yang disebabkan oleh manusia itu sendiri atau bencana alam. Bantuan dapat diberikan

dari semua pihak seperti pemerintah, organisasi internasional, Non-Governmental

Organization (NGO), para sukarelawan, pendonor, dan penduduk lokal25. Dalam kasus

23
Karens and Mingts. Op.Cit. Hal 9
24
Heike Spieker. “The Right to Give and Receive Humanitarian Assistance.” International Law and
Humanitarian Assistance. Springer. Berlin. 2011. Hal. 7
25
Global Humanitarian Assistance. Defining humanitarian assistance. Tersedia pada
http://www.globalhumanitarianassistance.org/data-guides/defining-humanitarian-aid/ diakses 4 Maret
2016
ini, UNHCR sebagai institusi internasional yang memberikan bantuan terhadap

masalah kemanusiaan yang dialami para pengungsi Suriah.

Terdapat tiga prinsip utama dalam melakukan bantuan kemanusiaan dalam

Humanitarian Assistance, yaitu :

1. Humanitarian

Prinsip ini menyatakan bahwa setiap manusia yang mengalami penderitaan

harus diberikan bantuan dimanapun mereka berada sebagai tujuan dari aksi

kemanusiaan yang memiliki landasan untuk melindungi kehidupan dan

menjamin rasa saling menghargai antar manusia26. Bantuan dapat diberikan

dalam bidang apapun terhadap manusia yang berada dalam situasi konflik,

bencana alam, atau berada dalam keadaan darurat. Pihak yang terlibat dalam

konflik harus menghormati atau menghargai keberadaan bantuan tersebut

terhadap para korban.

2. Impartial

Prinsip ini menyatakan dengan tegasnya pentingnya kesetaraan dalam

pemberian bantuan kemanusiaan dari segi hak maupun kewajiban. Terdapat

tiga elemen dasar untuk memperjelas pernyataan prinsip ni, antara lain:

● Non-Discrimination

Tidak diperkenankan adanya aksi diskriminasi dalam pemberian bantuan

kemanusiaan.Pihak yang memberikan bantuan tidak boleh memihak

terhadap pihak manapun, serta memicu agresi di bidang politik, gender,

rasial, agama, ekonomi, maupun ideologi-ideologi.

● Proportionality

26
Simon Bagshaw. “What are Humanitarian Principles?”. OCHA. Juni 2012
Bantuan yang diberikan harus bersifat proporsional yaitu, sesuai dengan

apa yang dibutuhkan oleh para korban terkait dengan situasi yang

dihadapi.

● No Subjective Distinctions

Bantuan yang diberikan tidak diperkenankan bersifat membedakan

berdasarkan latar belakang atau status hukum seseorang.

3. Neutrality

Prinsip ini menyatakan bahwa pihak yang memberikan bantuan harus bersifat

netral, yang berarti tidak berpartisipasi dalam konflik bersenjata secara

langsung maupun tidak langsung. Bantuan yang diberikan harus ditujukan

kepada warga sipil yang menjadi korban bukan kepada anggota militant atau

pihak yang terlibat dalam konflik27.

Dalam menjalankan operasinya, hubungan kerja sama organisasi dengan pihak

lain tentunya tidak terlepas dari seluruh rangkaian kegiatan UNHCR. Untuk

mendeskripsikan hubungan tersebut dibutuhkan konsep kemitraan atau Partnership

dimana pihak-pihak yang memiliki kesamaan tujuan, pandangan, serta empati. Kerja

sama digunakan oleh pihak-pihak tersebut sebagai cara untuk saling melengkapi dalam

menyelesaikan permasalahan dalam situasi terkait28.

1.6 Metode Penelitian dan Pengumpulan Data

1.6.1 Metode Penelitian

Pada penelitian ini penulis menggunakan Metode Penelitian Kualitatif.

Metode tersebut merupakan metode penelitian yang berupaya untuk


27
Kate Mackintosh. “The Principles of Humanitarian Action in International Humanitarian Law”. HPG
Report. 2005
28
Ros Carnwell danAlex Carson. The concepts of partnership and collaboration. Effective Practice in
Health and Social Care: A Partnership Approach. Open University Press. (Maidenhead, England. 2005)
memahami fenomena sosial dan masalah manusia dengan menekankan

metodologi yang menekankan pada masalah manusia.29 Metodologi kualitatif

juga merupakan metodologi yang menghasilkan data deskriptif dan eksploratif

berupa kata – kata tertulis maupun lisan dari objek yang diamati. Dalam kasus

ini upaya nyata UNHCR dalam menangani Syrian Refugee Crisis.

1.6.2 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data di dalam penelitian ini melalui teknik studi pustaka.

Studi pustaka adalah teknik pengumpulan data dengan cara penelaahan

buku-buku, laporan, berita, dan artikel ilmiah yang dapat membantu

mengidentifikasi dan merumuskan masalah hingga menemukan hasil

penelitian.

1.7 SISTEMATIKA PEMBAHASAN

Karya Ilmiah ini penulis menjadi lima bab, dimana lima bab ini membahas dan

menjawab pertanyaan penelitiannya yaitu bagaimana penanganan United Nations High

Commissioner for Refugees (UNHCR) terhadap Syrian Refugees Crisis periode tahun

2011 – 2015.

BAB I – PENDAHULUAN

penulis akan menjelaskan latar belakang masalah, identifikasi masalah, tujuan

dan kegunaan penelitian yang dilakukan oleh penulis, kajian literatur, kerangka

pemikiran dan dasar konsep penelitian, metode penelitian dan teknik pengumpulan

data yang akan dilakukan, serta sistematika pembahasan yang berupa kerangka

penulisan.

29
J. W. Creswell, Qualitative Inquiry and Research Design, (California: Sage Publications Inc, 1998),
hal. 15.
BAB II – UNHCR dan REFUGEES

Di dalam bab II ini, penulis menggambarkan karakteristik dari United Nations

High Commissioner for Refugees (UNHCR) sebagai salah satu organisasi internasional

yang berpengaruh secara global di bidang kemanusiaan yaitu bagi para Refugees.

Tanggung jawab, birokrasi serta peranan organisasi dalam penanganan pengungsi turut

dipaparkan dalam bab ini, terutama relevansinya dengan permasalahan Syria Refugee

Crisis periode 2011 – 2015.

BAB III – KOMPLEKSITAS MASALAH PENGUNGSI DI SURIAH

Pada bab III ini, penulis menggambarkan peliknya konflik Suriah yang

mengakibatkan munculnya pengungsi asal Suriah serta pemicu terjadinya Syrian

Refugees Crisis pada tahun 2013. Sebab, akibat, serta peranan para aktor dalam

konflik beserta kepentingannya turut dipaparkan. Situasi pengungsi juga digambarkan

sebagai penerangan kondisi mereka sebagai korban.

BAB IV – PENANGANAN UNHCR TERHADAP SYRIAN REFUGEES


CRISIS 2011-2015

Pada bab IV ini, penulis menggambarkan upaya UNHCR dalam bidang

pemenuhan Kebutuhan Pokok, Pendidikan, serta Kesehatan di negara-negara tetangga

Suriah (Turki, Libanon, Irak, Yordania). Kerja sama UNHCR dengan UNICEF, WHO,

ICRC, IFRC, IOM, beberapa NGO terkait turut dipaparkan sebagai pendukung

pelaksanaan upaya organisasi. Penulis juga memberikan analisis mengenai hambatan

dalam upaya penanganan Syrian Refugees Crisis oleh United Nations High

Commissioner for Refugees (UNHCR) periode 2011 – 2015.

BAB V – KESIMPULAN
Pada bab V ini, penulis memaparkan kesimpulan berdasarkan hasil temuan dari

penelitian yang telah dilakukan. Relevansi antara kerangka teori dan topik penelitian

akan menjadi instrumen dasar pembentukan kesimpulan.


Bab II

UNHCR dan REFUGEES

Pasca berakhirnya Perang Dunia II, terdapat ratusan pengungsi tidak terurus

menyebar hampir ke seluruh wilayah Eropa Barat dan Tengah. Hal tersebut merupakan

masalah pengungsi pertama dalam sejarah serta menjadi pelopor diperhatikannya

nasib para pengungsi dan menjadi suatu isu internasional. Sejumlah organisasi pun

akhirnya didirikan untuk menanggulangi masalah tersebut, baik berupa International

Governmental Organizations (IGOs) maupun Non-Governmental Organizations

(NGOs). Organisasi-organisasi tersebut memiliki tanggung jawab untuk menjalankan

misi-misi kemanusiaan dan membantu para korban perang, konflik, serta bencana

alam yang berakhir menjadi seorang pengungsi. Hingga saat ini, United Nations High

Commissioner for Refugees (UNHCR) merupakan salah satu organisasi tertinggi dan

terbesar dalam menyelesaikan masalah pengungsi di dunia.

Dalam Bab ini, penulis akan menjelaskan perihal UNHCR sebagai Komisioner

Tinggi PBB yang memiliki mandat khusus untuk menangani permasalahan pengungsi

dalam skala global. Visi, misi, dan struktur dalam UNHCR juga menjadi salah satu

perhatian dikarenakan sebagai salah satu kunci keefektifan dan efisiensi dalam

pelaksanaan program-program organisasi.

2.1. Pengenalan Awal UNHCR

Merujuk kepada scope dalam teori Liberalisme Institusional, suatu organisasi

tentunya memiliki suatu isu yang memicu pembentukannya, begitu pula dengan

UNHCR. Dalam sub-bab ini memaparkan latar belakang serta visi dan misi organisasi.
2.1.1 Latar belakang pembentukan UNHCR

Pada tahun 1921 Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau League of Nations mendirikan

sebuah institusi penanggulangan pengungsi pertama yaitu Office of the High

Commissioner for Refugees untuk menangani permasalahan pengungsi akibat dari

Perang Dunia I.

Dalam perkembangannya, mulai muncul sejumlah pengungsi yang berasal dari

Jerman dikarenakan aktivitas Nazi yang semakin meresahkan. LBB akhirnya

memutuskan untuk mendirikan institusi pengungsi kedua yaitu High Commissioner for

Refugees Coming from Germany pada tahun 1933. Posisi High Commissioner

diduduki oleh James Grover McDonald, seorang diplomat berkebangsaan Amerika

Serikat. Fokus utama badan ini ialah membantu pengungsi berlatar belakang Yahudi

maupun berkebangsaan Jerman. McDonald berhasil memberikan tempat tinggal bagi

lebih dari 80.000 pengungsi dalam kurun waktu 2 tahun.Akan tetapi beliau

mengundurkan diri dari kedudukannya di tahun 1935 dikarenakan kurangnya

dukungan dari LBB untuk membantu pengungsi Yahudi di Jerman.

Dikarenakan peran High Commissioner for Refugees Coming from Germany

yang sangat kecil dan terbatas, institusi ini akhirnya diberhentikan aktivitasnya dan

digabungkan dengan International Nansen Office for Refugees menjadi High

Commissioner for Refugees pada tahun 1938. Seiring perkembangannya, aktivitas

institusi semakin terbatas yang akhirnya diputuskan untuk diberhentikan pada tahun

1946. Pada tahun yang sama terbentuk Intergovernmental Committee on Refugees

yang berfokus terhadap permasalahan pengungsi di Jerman maupun Austria serta

membantu seluruh kelompok pengungsi di wilayah Eropa di masa Perang Dunia II.
Komite tersebut pada akhirnya diganti secara resmi menjadi International Refugee

Organization (IRO) di tahun 194730.

LBB mengalami kegagalan akibat pecahnya Perang Dunia II yang akhirnya

berhenti dan digantikan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) atau United Nations

(UN) pada 24 Oktober 1945. Meskipun LBB gagal dan dibubarkan, 44 negara tetap

mengadakan Konvensi di Washington DC pada 9 Desember 1944 dengan pembahasan

mengenai penanganan korban pengungsi, perang, dan permasalahan humanis lainnya.

Akhirnya, setiap negara sepakat untuk membentuk suatu badan pengungsi yaitu

United Nations Relief and Rehabilitation Administration (UNRRA) dengan tugas

untuk menyediakan bantuan darurat bagi para pengungsi selama Perang Dunia II

berlangsung31.

Setelah Perang Dunia II berakhir, lebih dari 40 juta orang mengalami krisis

tempat tinggal dan terlantar di wilayah Eropa. Diantaranya terdapat sekitar 13 juta

orang berkebangsaan Jerman yang melarikan diri dari tentara Uni Soviet, 11.3 juta

buruh paksa, serta para korban perang dengan beragam latar belakang yang terlantar.

Selain itu terdapat jutaan orang yang berasal dari Rusia, Ukrania, Belarus, Estonia,

Latvia, Lithuania, dan orang-orang lainnya. Hal tersebut dikarenakan mereka

melarikan diri dari dominasi komunis yang dipaksakan oleh pemimpin Uni Soviet,

Josef Stalin. Sementara itu, perang sipil di Yunani dan konflik lainnya di bagian Eropa

Selatan juga turut mengakibatkan bertambahnya jumlah pengungsi32. Di luar wilayah

Eropa juga mengalami permasalahan yang sama dimana jutaan warga asal Tiongkok

menjadi terlantar akibat invasi Jepang di wilayah Cina.

30
UNHCR, “An Introduction to International Protection : Protecting persons of concern to UNHCR”.
Office of the United Nations High Commissioner for Refugees. Switzerland. 2005. Page 5-6
31
Ibid.
32
UNHCR. “THE STATE OF THE WORLD’S REFUGEES 2000 : Fifty years of humanitarian action”.
Oxford University Press. 2000. Page 13
UNRRA memang berhasil dalam mengorganisir agensinya untuk

mengembalikan sejumlah pengungsi kembali ke tempat asalnya sebelum dan pasca

Perang Dunia II, tetapi banyak pengungsi yang enggan kembali dikarenakan tempat

asal mereka telah berubah secara drastis. Melihat banyaknya permasalahan pengungsi

secara internasional, PBB memutuskan untuk mendirikan International Refugee

Organization (IRO) pada tahun 1947. Institusi ini menjadi badan agensi internasional

pertama yang bertanggung jawab secara komprehensif terhadap seluruh aspek

kehidupan para pengungsi seperti, pendataan, penetapan status, repatriasi33 dan

resettlement34. Dikarenakan situasi politik Eropa di masa itu sedang tidak stabil,

kebanyakan pengungsi menolak repatriasi dan menetap di tempat lain. Pada akhirnya

IRO resmi dibubarkan pada tahun 1951 akibat kurangnya anggaran maupun

negara-negara yang berkontribusi terhadap aktivitas organisasi tersebut dan digantikan

oleh The Office of The United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR).

Hal ini membuktikan keberadaan resmi UNHCR sebagai InterGovernmental

Organization (IGO) yang didirikan oleh sejumlah negara di Eropa terkait dengan

scope isu kemanusiaan di bidang penanganan pengungsi.

UNHCR secara resmi dioperasikan 1 Januari 1951 melalui putusan Resolution

319 (IV) of the United Nations General Assembly Desember 1949.35 Pada awalnya

UNHCR hanya diberikan tugas untuk menyediakan perlindungan internasional serta

mencari solusi permanen terhadap para pengungsi dalam kurun waktu terbatas yaitu

tiga tahun. Selama tiga tahun tersebut UNHCR berhasil membuktikan secara

internasional sebagai suatu institusi pengungsi yang dinilai sangat efektif

dibandingkan sejumlah organisasi yang berkaitan sebelumnya. Hal tersebut

33
Kembalinya warga negara dari negara/wilayah asing yang pernah ditinggali ke negara asalnya.
34
Pemukiman kembali.
35
Resolusi yang dikeluarkan oleh PBB didasari kebutuhan dunia akan sebuah agensi khusus untuk
mengatasi permasalahan pengungsi. Terutama melihat kinerja IRO yang dinilai kurang efektif.
membuahkan hasil bagi UNHCR yaitu perpanjangan waktu penugasan serta meraih

dua penghargaan nobel perdamaian pada tahun 1954 dan 198136.

2.1.2 Visi dan Misi UNHCR

Dalam suatu institusi tentunya memiliki visi dan misi sebagai acuan dasar dalam

bertindak. Visi dan misi dibutuhkan oleh UNHCR tentunya sebagai langkah awal

untuk menjalankan mandat dari PBB sebagai suatu organisasi humanis internasional

yang memandu serta mengorganisir perlindungan dan resolusi permasalahan

pengungsi secara global.

Visi utama UNHCR ialah melindungi hak asasi serta kesejahteraan para

pengungsi37. Untuk mencapai hal tersebut, UNHCR memiliki misi antara lain :

1. Memastikan bahwa setiap orang dapat menggunakan hak untuk mencari suaka

maupun tempat perlindungan yang aman.

2. Membantu para pengungsi untuk kembali ke tempat asal mereka maupun yang

ingin bertempat tinggal di negara atau wilayah lain secara permanen dengan

alasan keamanan.

3. UNHCR bekerja sama dengan pemerintah, organisasi regional dan internasional,

serta organisasi non-pemerintah demi terciptanya solusi yang efektif dan efisien

terhadap permasalahan pengungsi.

4. Sebagai sebuah organisasi imparsial38, UNHCR menawarkan perlindungan

berdasarkan kebutuhan terlepas dari ras, agama, jenis kelamin, maupun pendapat

politik.

36
UNHCR, “An Introduction to International Protection : Protecting persons of concern to UNHCR”,
Op Cit, halaman 7-8.
37
UNHCR Global Appeal 2012 – 13. “Introduction : Mission Statement and Basic Facts”. UNHCR.
2012
38
Imparsial : bergerak di bidang kemanusiaan. Menjunjung kesetaraan serta hak asasi manusia.
5. Dalam semua aktivitasnya, UNHCR memberikan perhatian khusus terhadap

kebutuhan anak-anak serta menyuarakan kesetaraan hak untuk wanita dan anak

perempuan39.

2.1.3 Tugas dan Wewenang UNHCR

UNHCR memiliki suatu mandat yang diberikan oleh PBB dan diadaptasi dari

Statuta dalam Resolution 428 (V) of 14 December pada General Assembly (GA) of the

United Nations di tahun 1950. Tugas organisasi secara jelas dicantumkan pada

paragraf 1 statuta yang berbunyi, “Providing international protection, under the

auspices of the United Nations, to refugees who fall within the scope of the present

Statute and of seeking permanent solutions for the problem of refugees.”40.

Berdasarkan pernyataan tersebut, UNHCR memiliki mandat untuk memberi

perlindungan secara internasional terhadap pihak-pihak yang menjadi tanggung jawab

organisasi, yaitu para pengungsi.

Berdasarkan teori Liberalisme Institusional mengenai pentingnya kerjasama

institusi dan negara, Statuta UNHCR yaitu Resolution 428 (V) of 14 December

menyatakan sejumlah poin mengenai pentingnya kerjasama dengan sejumlah negara

dalam menjalankan kewenangannya untuk mencapai tujuan organisasi. Penerangan

lebih lanjut mengenai tugas nyata UNHCR juga turut dipaparkan. Poin tersebut antara

lain :

1. Menjadi anggota dalam konvensi internasional yang berkaitan pembahasan

perlindungan pengungsi dan mengambil langkah implementasi yang diperlukan

di bawah konvensi tersebut.

39
“Introduction : Mission Statement and Basic Facts”. UNHCR. Ibid.
40
Emergency Handbook. UNHCR's mandate for refugees, stateless persons and IDPs. UNHCR.
tersedia pada
https://emergency.unhcr.org/entry/55601/unhcrs-mandate-for-refugees-stateless-persons-and-idps
diakses 24 Agustus 2016
2. Melakukan sejumlah tindakan yang dapat dinilai dapat membantu serta

memperbaiki keadaan pengungsi dan mengurangi jumlah yang ada dengan

persetujuan dari The High Commissioner.

3. Mengizinkan para pengungsi untuk memasuki wilayah suatu negara dalam

kondisi apapun.

4. Membantu The High Commissioner dalam kegiatan menggalakkan repatriasi

sukarela para pengungsi.

5. Mempromosikan asimilasi dari dengan memfasilitasi naturalisasi mereka.

6. Memfasilitasi para pengungsi dengan sejumlah dokumen perjalanan dan

lainnya yang akan mempermudah proses penempatan mereka di suatu wilayah.

7. Memberikan izin kepada para pengungsi untuk memindahkan aset pribadi

mereka terutama yang dibutuhkan dalam pemukiman.

8. Memberikan informasi kepada The High Commissioner mengenai jumlah,

kondisi, kejelasan undang-undang, serta peraturan yang berkaitan dengan

pengungsi41.

2.1.4 Instrumen Dasar UNHCR

Dalam melakukan operasinya, UNHCR memiliki dua instrumen dasar yang

menjadi landasan kegiatan dalam penanganan terhadap para pengungsi. Pertama, The

1951 Convention Relating to the Status of Refugees yang berisikan perjanjian

internasional mengenai perlindungan hak asasi, kewajiban, definisi dan klasifikasi

pengungsi, serta pihak-pihak yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai pengungsi.

Hak dasar para pengungsi sebagai manusia serta kewajibannya untuk mengikuti

aturan di negara tempat mereka menetap turut dipaparkan dalam perjanjian tersebut.

Pemerintah negara yang bersangkutan juga turut diwajibkan untuk menjalankan

41
Statute of The Office of The United Nations High Commissioner for Refugees. General Assembly
Resolution 428 (V) of 14 December 1950.
prinsip Non-Refoulement dimana negara tidak diperbolehkan untuk mengusir

maupun memulangkan para pengungsi secara paksa ke negara asal mereka. Konvensi

ini juga membedakan pihak yang dapat menjadi pengungsi hanyalah warga negara

biasa dan tidak terlibat dalam aksi militer maupun kejahatan lainnya yang dinilai

mengusik perdamaian. Cakupan konvensi ini hanya diberlakukan terhadap para

korban Perang Dunia II di wilayah Eropa42.

Kedua, The 1967 Protocol Relating to the Status of Refugees merupakan

perluasan dari konvensi sebelumnya dimana bantuan diberikan kepada semua

pengungsi di negara manapun secara global. UNHCR menghimbau setiap negara

untuk bekerja sama memberikan sejumlah data terkait kondisi dan statistik

pengungsi, serta hukum, peraturan, dan keputusan yang diambil terhadap para

pengungsi43.

Dalam Konvensi 1951 maupun Protokol 1969 yang telah diadakan, UNHCR

berhasil mengait 147 negara secara resmi untuk bergabung dalam kerjasama

menangani permasalahan pengungsi secara global. Berdasarkan kedua instrumen

tersebut, UNHCR juga berhasil membuat perluasan mandat terhadap para pengungsi

yang melarikan diri ke wilayah atau negara lain dikarenakan adanya suatu konflik di

negara asalnya. Perluasan mandat tersebut dicantumkan dalam OAU Convention

Governing the Specific Aspects of Refugee Problems in Africa (1969) dan Cartagena

Declaration on Refugees (1984)44

2.2 Struktur dalam UNHCR

Berdasarkan fungsi Informational dan Operational IGO, UNHCR tentunya

mempunyai suatu birokrasi yang terstruktur dalam menjalankan badan organisasi. Hal

42
Convention and Protocol Relating to The Status of Refugees. UNHCR. hal.13 - 45
43
Ibid. hal. 46 - 52
44
OAU Convention Governing the Specific Aspect of Refugee Problems in Africa. UNHCR.
tersebut bertujuan agar operasi organisasi dapat bekerja secara optimal sesuai dengan

wewenang masing-masing pihak yang bertanggung jawab di bidangnya.

Gambar 2.1 Tabel struktur birokrasi Eksekutif (inti) UNHCR secara

keseluruhan

Sumber: UNHCR Organization chart – Headquarters (Operational Support and Management)

Berdasarkan gambar diatas, sebagai suatu organisasi internasional yang besar

dan luas, tentunya memiliki sistem birokrasi yang mendetail manajerisasi secara

optimal dalam penanganan secara hukum, ekonomi, politik, kerjasama, logistik,

informasi, sumber daya, maupun regional. Di dalamnya terdapat tujuh divisi besar

yang bertanggung jawab secara langsung terhadap penanganan pengungsi yaitu :

1. Division of External Relations (DER)

Gambar 2.2 Tabel struktur birokrasi DER secara keseluruhan


Sumber: UNHCR Organization chart – Headquarters (Operational Support and Management)

Divisi ini bertanggung jawab terhadap mobilisasi bantuan dalam bidang publik,

politik, finansial dan operasional kepada operasi UNHCR di seluruh dunia45.

2. Division of Emergency, Security, and Supply (DESS)

Gambar 2.3 Tabel struktur birokrasi DESS secara keseluruhan

45
UNHCR Global Appeal 2015 Update.
Sumber: UNHCR Organization chart – Headquarters (Operational Support and Management)

Divisi ini berperan sebagai bantuan utama UNHCR dalam bidang mekanisme

persiapan dan respon di situasi darurat. Mekanisme tersebut diantaranya

koordinasi darurat, keamanan dalam operasi lapangan, persediaan kebutuhan

logistik, serta pengadaan kontrak. Tujuan operasi dalam divisi ini ialah

memberikan dukungan perlindungan terhadap para pengungsi serta staf UNHCR

melalui pemberian bantuan yang optimal secara efektif dan efisien dalam

keadaan darurat46, seperti dalam pengumpulan para pengungsi di daerah konflik

secara langsung dari shelter ke shelter maupun ke lokasi lain.

3. Division of Financial and Administrative Management (DFAM)

Gambar 2.4 Tabel struktur birokrasi DFAM secara keseluruhan

46
Ibid. hal. 6
Sumber: UNHCR Organization chart – Headquarters (Operational Support and Management)

Divisi ini bertugas untuk memaksimalkan penggunaan dana yang tersedia

secara efektif, efisien, serta terencana. Mereka juga bertanggung jawab dalam

pembuatan proposal permintaan dana terhadap program lapangan yang

dilakukan kepada departemen inti UNHCR (Executive Direction and

Management) dan UN Board of Auditors47. DFAM juga bertugas untuk

mengontrol pemasukan serta pengeluaran dana dalam anggaran UNHCR48.

Upaya pengembangan finansial organisasi juga menjadi salah satu tanggung

jawab mereka.

4. Division of Human Resources Management (DHRM)

Gambar 2.4 Tabel struktur birokrasi DHRM secara keseluruhan

47
Bagian audit UN
48
Ibid.
Sumber: UNHCR Organization chart – Headquarters (Operational Support and Management)

Divisi ini memiliki peranan yaitu memberikan formulasi serta implementasi

penggunaan sumber daya manusia secara efektif, efisien, dan strategis untuk

mendukung operasi UNHCR49. Singkatnya, divisi ini memberikan kualitas

SDA terbaik serta memiliki performa optimal untuk membantu UNHCR

menangani para subjek dalam situasi yang menantang sekalipun seperti situasi

konflik maupun krisis.

5. Division of International Protection (DIP)

Gambar 2.6 Tabel struktur birokrasi DIP secara keseluruhan

49
Ibid. hal. 9
Sumber: UNHCR Organization chart – Headquarters (Operational Support and Management)

Divisi ini memiliki 3 pilar dalam melakukan tugasnya, yaitu: Kebijakan dan

Hukum, Operasional Bantuan Perlindungan, serta Solusi Komprehensif. Hal

tersebut bertujuan agar program perlindungan yang ditawarkan UNHCR dapat

beroperasi secara maksimal dan berlandaskan kejelasan hukum, terutama

hukum internasional dan kemanusiaan. Perlindungan yang diberikan tidak

mengenal gender maupun umur, subjek disama ratakan di mata organisasi50.

Mereka memastikan juga agar operasi mereka dapat diaplikasikan dalam

keadaan apapun, terutama di situasi yang sangat membutuhkan bantuan

kemanusiaan.

6. Division of Information System and Telecommunications (DIST)

Gambar 2.7 Tabel struktur birokrasi DIST secara keseluruhan

50
Ibid. hal. 10
Sumber: UNHCR Organization chart – Headquarters (Operational Support and Management)

Divisi ini bertanggung jawab untuk bertanggung jawab untuk memastikan

bahwa UNHCR mengambil keuntungan dari informasi dan solusi komunikasi

yang terbilang hemat biaya. Hal tersebut memungkinkan dan memfasilitasi

UNHCR dalam melaksanakan mandatnya51 sebagai organisasi kemanusiaan

internasional dalam penanganan pengungsi.

7. Division of Programme Support and Management (DPSM)

Gambar 2.7 Tabel struktur birokrasi DPSM secara keseluruhan

51
Ibid. hal. 14
Sumber: UNHCR Organization chart – Headquarters (Operational Support and Management)

Divisi bekerja untuk menyediakan pengetahuan, pengarahan, dan instrumen

terkait yang dibutuhkan terkait untuk merancang serta menyampaikan

program-program UNHCR. Program tersebut didemonstrasikan dengan

kualitas, integritas teknis, dan inovasi52 sesuai dengan situasi yang dialami dan

cenderung berada di bidang kesehatan, kesejahteraan, solusi, pengembangan

shelter dan pemukiman (kamp), respon lapangan, serta analisa serta mekanisme

bantuan.

2.3 Kategori Pihak yang Menjadi Tanggung Jawab UNHCR

Dalam melakukan operasi kemanusiaannya, UNHCR memiliki beberapa status

terhadap subyek-subyek yang menjadi perhatian organisasi. Pengklasifikasian

ditujukan agar penanganan menjadi lebih terarah dan diterima oleh pihak yang tepat

yaitu orang yang memiliki urgensi untuk mendapatkan pertolongan. Status tersebut

antara lain :

52
Ibid. hal. 15
1. Refugees (Pengungsi)

Status pertama dalam klasifikasi UNHCR adalah pengungsi yang berlandaskan

The 1951 Refugee Convention : Relating to the Status of Refugees dimana terdapat

pembahasan mengenai penetapan definisi pengungsi, yaitu :

“Seseorang yang memiliki rasa takut dengan alasan


penganiayaan terhadap ras, agama, kebangsaan, keanggotaan
terhadap suatu kelompok sosial atau opini politik tertentu, dan
tidak dapat memanfaatkan perlindungan dari negara
dikarenakan ketakutan tersebut; atau seseorang yang tidak
memiliki kewarganegaraan/kebangsaan atau berada di luar
negara asalnya sebagai dampak dari suatu peristiwa yang
menimbulkan rasa cemas untuk kembali ke tempat/negara
asalnya.”53

Adanya kejelasan definisi tersebut tentunya mempermudah UNHCR dalam

menjalankan mandatnya, mengklasifikasi, serta memberikan perlindungan

internasional di bawah payung hukum yang merupakan fasilitas khusus bagi para

pengungsi.

Terdapat dua perbedaan dalam penanganan pengungsi menurut organisasi yaitu

pengungsi seperti definisi diatas dan pengungsi resmi atau telah tercatat dalam

dokumen organisasi. Status pengungsi resmi dapat dimiliki melalui prosedur legal

yang disediakan UNHCR, yaitu melalui proses registrasi, wawancara, serta

penyaringan. Hal tersebut ditujukan agar para pengungsi yang telah resmi tercatat

memiliki data yang tepat maupun kemampuan yang memadai untuk beradaptasi di

tempat maupun wilayah baru di kedepannya. Manfaat dari status tersebut dapat dilihat

dari seorang pengungsi asal Cambodia bernama Vansak yang berhasil mendapatkan

status sebagai pengungsi secara legal. Ia akhirnya mendapatkan sejumlah fasilitas

53
Convention Relating to The Status of Refugees. “Text of The Refugee Convention 1951”. UNHCR.
1951. Article 1 (A). hal. 6
dalam kamp pengungsian untuk mengembangkan dirinya dan menciptakan sebuah

perusahaan keamanan pribadi untuk sejumlah mal di Texas, Amerika Serikat54.

2. Asylum-Seekers (Pencari Suaka)

Status kedua yang menjadi perhatian UNHCR adalah Asylum-Seekers. Sering

terjadi kesalahpahaman antara Refugees dan Asylum-Seekers dikarenakan kemiripan

cara mereka keluar dari negara asal dan mencari perlindungan, akan tetapi definisi

Asylum-Seekers yang sebenarnya ialah :

“Seorang individu yang mencari perlindungan


internasional baik secara individual atau kelompok. Di
negara-negara yang memiliki prosedural pengurusan secara
individual, Pencari Suaka merupakan seseorang dengan
pengakuan sebagai Pengungsi yang belum sepenuhnya
diputuskan oleh negara dimana pihak terkait mengirimkan
permohonan tersebut. Tidak setiap pencari suaka diakui
sepenuhnya sebagai pengungsi, tapi setiap Pengungsi pada
awalnya merupakan seorang Pencari Suaka.”55

Berdasarkan kutipan diatas, Pencari Suaka merupakan calon pengungsi yang

pendataannya masih belum lengkap atau belum sepenuhnya disetujui oleh negara yang

akan dituju maupun dari negara asalnya. Singkatnya, para pengungsi yang belum

terdata secara resmi seperti para korban konflik asal Suriah yang melarikan diri secara

independen dari negaranya ke wilayah lain untuk mendapatkan tempat tinggal yang

aman.

3. Stateless People

Status ketiga ialah Stateless People yang berlandaskan The 1954 Convention

relating to the Status of Stateless Persons. Definisi Stateless People atau orang tanpa
54
Moulid Hujale. “From second displacement to successful careers: how resettled refugees integrate
into their new homes”. UNHCR Innovation. 27 Agustus 2015. Terdapat pada
http://innovation.unhcr.org/from-second-displacement-to-successful-careers-how-resettled-refugees-inte
grate-into-their-new-homes/ diakses tanggal 11 Desember 2016
55
UNHCR, “An Introduction to International Protection : Protecting persons of concern to UNHCR”,
Op Cit, halaman 13.
kewarganegaraan menurut isi konvensi tersebut ialah, “Seseorang yang tidak dianggap

sebagai warga negara oleh setiap negara di bawah operasi hukumnya.”56 Dapat

dikatakan bahwa orang tersebut sama sekali tidak memiliki perlindungan hukum dari

negara manapun maupun dianggap sebagai bagian dari suatu negara (warga negara).

Terdapat empat penyebab subyek memiliki status Stateless People antara lain :

1. Kesenjangan undang-undang negara yang memiliki wewenang untuk mencabut

kewarganegaraan seseorang dalam keadaan tertentu. Jika undang-undang ini

ditulis maupun diterapkan secara tidak hati-hati, beberapa orang dapat

dikesampingkan dan menjadi Stateless People . Contohnya adalah anak-anak

yang keturunannya tidak diketahui dari mana kebangsaannya dan negara tempat

mereka menetap menerapkan ketentuan pemberian warga negara berdasarkan

keturunan nasional.

2. Apabila seseorang berpindah dari negara asalnya ke negara lain dan tidak lulus

ketentuan warga negara dalam proses penyaringan atau negara tersebut

memberikan limitasi terhadap jumlah imigran untuk menetap sebagai warga

negaranya.

3. Kemunculan suatu negara baru atau perubahan dalam wilayah perbatasan.

Dalam beberapa kasus, kelompok spesifik akan dibiarkan begitu saja tanpa

status atau meskipun negara baru tersebut menganggap orang-orang yang berada

dalam wilayahnya sebagai warga negara, terdapat sejumlah kesulitan untuk

mengaitkan individu dengan negara tersebut.

4. Kehilangangan atau kekurangan esensi kebangsaan juga menjadi salah satu

faktor. Hal tersebut dikarenakan jangka waktu seseorang yang tinggal di negara

56
Convention relating to the Status of Stateless. “Text of the 1954 Convention relating to the Status of
Stateless Persons.” UNHCR. 1954. Article 1. Page 9
lain terbilang cukup lama maupun penghilangan secara sistemik menggunakan

etnis maupun ras sebagai kriteria dasar57.

4. Internally Displaced People (IDPs)

Status keempat ialah Internally Displaced People. Dalam pengertian mengenai

IDPs, UNHCR menggunakan definisi dari Guiding Principles on Internal

Displacement oleh Office for Coordination of Humanitarian Affairs (OCHA), yaitu :

“Individu atau sekelompok individu yang dipaksa atau


diharuskan untuk meninggalkan tempat tinggal (rumah) atau
daerah asalnya secara khusus untuk menyelamatkan diri dari
konflik bersenjata, kekerasan dalam bentuk apapun,
pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dan bencana alam
atau bencana yang disebabkan oleh manusia. Orang-orang
tersebut tidak keluar dan mengungsi dari daerah teritorial
resmi negara mereka.”58

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat dikatakan bahwa orang-orang tersebut

merupakan pengungsi di dalam negaranya sendiri dikarenakan adanya suatu

peristiwa-peristiwa yang mengancam mereka. Mengungsi ke negara maupun wilayah

lain di luar teritorial negara mereka bukanlah suatu pilihan dalam kasus ini. Contoh

konkrit terkait status ini dapat dilihat dari para korban konflik Suriah yang memiliki

dilemma dalam mencari lokasi aman untuk menetap sehingga cenderung terlantar di

negara sendiri maupun diluar.

5. Returnees

Merupakan orang-orang yang kembali ke daerah asalnya. Hal tersebut terbagi

atas dua kategori antara lain, Returned Refugees (Repatriasi) yaitu para pengungsi

57
“Ending Statelessness”. UNHCR.org. terdapat pada http://www.unhcr.org/stateless-people.html
diakses pada 11 Desember 2016
58
OCHA. “Principles on Internal Displacement.” United Nations : Second Editions. 2004. Introduction
: Scope and Purpose (2)
yang awalnya berada di resettlement (pemukiman) maupun di daerah atau tempat di

luar negara asalnya, dikembalikan dikarenakan dinilai telah siap secara mental

(menanggulangi trauma) untuk tinggal kembali di tempat asal. Kemudian Returned

IDPs yaitu para IDPs yang telah kembali ke wilayah asal atau tempat tinggal mereka

di negaranya59. Contohnya adalah sejumlah pengungsi asal Rwanda yang menjadi

korban peristiwa genosida pada tahun 1994 di wilayah pemukiman Angola, akhirnya

kembali ke negara asalnya untuk melanjutkan hidup mereka dikarenakan. Stabilnya

kondisi Rwanda turut menjadi salh satu alasan kepulangan mereka60.

2.4 Aktivitas Utama UNHCR

Sebagai sebuah organisasi yang dinamis dan aktif, tentunya terdapat beberapa

aktivitas untuk menjalankan fungsinya sebagai International Organizations dan

melaksanakan Humanitarian Action secara nyata. Aktivitas utama yang dilakukan

antara lain adalah Perlindungan Pengungsi, Penentuan Status Pengungsi, serta

Program Solusi UNHCR.

4.1.1 Perlindungan Pengungsi

Melindungi pengungsi merupakan salah satu tanggung jawab utama dari

UNHCR. Landasan hukum, asas kemanusiaan, serta undang-undang menjadi

instrumen pendukung perlindungan bagi para pengungsi.

“The United Nations High Commissioner for Refugees,


acting under the authority of the General Assembly, shall

59
UNHCR Statistical Online Population Database. “Sources, Methods and Data Consideration.”
UNHCR. 2013. http://www.unhcr.org/45c06c662.html#idps diakses 14 Februari 2016
60
Martim Empis Gray Pereira and Casilda Gil de Santivanes Finat. “Rwandan refugees head home after
a generation in Angola”. UNHCR. 22 Agustus 2016. Terdapat pada
http://www.unhcr.org/news/stories/2016/8/57bad29d4/rwandan-refugees-head-home-generation-angola.
html diakses tanggal 11 Desember 2016
assume the function of providing international protection,
under the auspices of the United Nations, to refugees who fall
within the scope of the present Statute and of seeking
permanent solutions for the problem of refugees by assisting
governments and, subject to the approval of the governments
concerned,private organizations to facilitate the voluntary
repatriation of such refugees,or their assimilation within new
national communities.”
(UNHCR’s Statute (UN General Assembly resolution 428(V)
of 14 December 1950)61

Berdasarkan pernyataan undang-undang diatas dapat disimpulkan bahwa

UNHCR berfungsi secara resmi untuk melindungi pengungsi secara internasional

dan untuk memaksimalkan hal tersebut dapat dilakukan kerjasama dengan sejumlah

negara-negara, organisasi internasional, serta lembaga-lembaga non-pemerintah.

Hal inilah yang menjadi pendorong utama bagi UNHCR untuk melakukan sejumlah

upaya bagi para pengungsi Suriah dari awal munculnya pada tahun 2011 hingga

2015, terutama di tahun 2013 dimana angka pengungsi meledak dan dimulainya

krisis pengungsi yang sebenarnya.

Bagi UNHCR, setiap pengungsi dalam keadaan apapun berhak mendapatkan

hak kemanusiaan yang dimiliki setiap individunya yaitu memenuhi kebutuhan,

mendapatkan rasa aman, dan kesejahteraan. Untuk mempromosikan pentingnya

perlindungan dan hak-hak pengungsi, UNHCR melakukan beberapa upaya,

diantaranya:

1. Mendorong pemberian akses dari negara-negara terhadap instrumen

internasional dasar yang berkaitan dengan pengungsi, dan memastikan

pelaksanaannya.

2. Memastikan bahwa pengungsi diperlakukan sesuai dengan pengakuan standar

internasional, menerima status hukum yang sesuai, dan menikmati hak-hak

ekonomi dan sosial yang sebanding dengan warga negara tuan rumah.

61
An Operations Management Handbook for UNHCR’s Partners. “UNHCR’s MANDATE”. (UNHCR, Februari
2003)
3. Melindungi pengungsi dan orang yang mengajukan status pengungsi dari

pemaksaan kembali ke negara di mana mereka memiliki alasan untuk takut

akan adanya penganiayaan, dan memastikan bahwa aplikasi mereka untuk

mendapatkan suaka diperiksa sesuai dengan prosedur yang tepat.

4. Membantu memastikan keamanan pribadi pengungsi dan pencari suaka.

5. Mempromosikan pertemuan kembali dari para keluarga yang terpisahkan

akibat situasi yang dialami pengungsi62.

UNHCR turut memaparkan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam

menjalankan upaya diatas, yaitu :

1. Lokasi yang dipilih untuk penanganan lokal harus memperhitungkan

keamanan bagi orang-orang yang ditampung – kedekatan lokasi dengan

perbatasan berpotensi adanya bahaya.

2. Dalam pembangunan pemukiman dan kamp, memastikan bangunan tersebut

memiliki ruang privasi dan keamanan bagi perempuan, yang berpotensi

menjadi korban kekerasan seksual.

3. Bantuan terhadap repatriasi harus memiliki prinsip utama yaitu timbal balik

secara sukarela.

4. Pemukiman bantuan harus dipastikan dapat menjamin keamanan fisik para

pengungsi, serta membantu individu untuk bertemu kembali dengan anggota

lain dari keluarga mereka.

5. Tersedianya bantuan kepada individu atau keluarga pengungsi, terutama di

daerah perkotaan yang kemungkinan membutuhkan bantuan secara hukum

maupun berbentuk konseling63.

62
Ibid.
63
Ibid.
4.1.2 Penentuan Status Pengungsi

Sebelum mendapatkan penanganan secara penuh maupun dipindahkan ke

wilayah yang lebih baik, warga negara Suriah harus terlebih dahulu menerima

status sebagai pengungsi melalui pengajuan registrasi (pendaftaran) kepada pihak

UNHCR. Pemberian status merupakan instrumen utama untuk melindungi para

pengungsi dikarenakan dengan memberikan data diri secara lengkap dan tercatat

secara resmi sebagai pengungsi. Perlindungan yang didapatkan antara lain adalah

mencegah dikenakan tindakan Refoulement, penangkapan tanpa dasar, serta

penahanan di negara lain. Para pengungsi juga mendapatkan akses layanan maupun

bantuan dari UNHCR terkait kebutuhan mereka. Anak-anak juga diharapkan untuk

didaftarkan agar dapat terhindar dari potensial perekrutan militer sebagai tentara

anak. Tidak dipungut biaya apapun dalam proses ini dan para pengungsi yang

belum mendapatkan status dikatakan sebagai Asylum Seeker.

UNHCR memiliki sejumlah prosedur dalam menentukan status pengungsi

yang dinamakan Refugee Status Determination, prosedurnya antara lain :

1. Registrasi

Para Asylum Seekers harus melakukan registrasi dengan cara mengisi formulir

permohonan pengajuan sebagai Refugee.

Gambar 4.1 Form registrasi pengungsi


sumber : Procedural Standards for Refugee Status Determination Under UNHCR’s Mandate

Dalam formulir tersebut harus dilampirkan data diri secara lengkap supaya

pendataan nantinya dapat diproses dengan baik dan lengkap. Hal tersebut

berlaku bagi semua umur. Formulir tersebut dapat diambil di kantor, shelter,

atau kamp pengungsian UNHCR dan dikumpulkan di tempat yang sama.

2. Wawancara
Para Asylum Seeker kemudian akan melakukan wawancara bersama staf

UNHCR yang berwenang. Dalam wawancara tersebut akan dipertanyakan latar

belakang, kemampuan berbahasa, serta kondisi psikis.

3. Pengambilan Foto

Para Asylum Seeker akan dimintai foto sebagai data bentuk fisik untuk

memudahkan identifikasi.

4. Screening

Para staf kemudian akan melakukan seleksi terhadap formulir maupun hasil

wawancara dari para Asylum Seekers sebagai pengecekan kelayakan mereka

untuk menjadi Refugee dan bermukim di negara lain..

5. Pengumuman

Bagi para Asylum Seekers yang dinyatakan lulus akan diproses pendataan serta

sertifikasi diri sebagai Refugee. Untuk para Asylum Seeker yang dinyatakan

belum lulus dapat menjalankan tes kembali maupun mengajukan pembinaan

kepada UNHCR untuk melengkapi kekurangan yang dimiliki individu sebagai

seorang Refugee. Hal seperti ini biasanya terdapat kendala bahasa terutama di

bahasa Inggris.

6. Sertifikasi

Dalam proses sertifikasi ini para Refugee akan diberikan sertifikat resmi

sebagai kejelasan statusnya dan berada dalam tanggung jawab UNHCR serta

dapat dipindahkan ke kamp maupun wilayah yang telah diperhitungkan untuk

menetap sementara.
4.1.3 Program Solusi UNHCR

Untuk menjalankan tugasnya dalam menangani permasalahan pengungsi,

UNHCR membuat suatu upaya yang berbentuk program, diantaranya :

1. Voluntary Repatriation (Repatriasi Sukarela)

Merupakan tindakan repatriasi64 sukarela yang jika memungkinkan menjadi

solusi dalam permasalahan pengungsi dan cenderung diminati (tergantung

keadaan). Hal ini memungkinkan para pengungsi untuk melanjutkan kehidupan

normal di negara asalnya, dan mengembalikan obligasi budaya dan etnis di

negara tersebut.

Terdapat tiga kondisi penting harus dipenuhi untuk melaksanakan Voluntary

Repatriation dalam kondisi aman dan bertanggung jawab, ialah :

a. Repatriasi harus bersifat sukarela, tanpa paksaan dari pihak manapun yang

bertentangan dengan keinginannya.

b. Adanya kejelasan yang tegas antar negara suaka dengan negara asal pengungsi,

baik dari segi penyediaan pergerakan dan situasi penerimaan. Hal tersebut dapat

dilakukan dimana saja dengan catatan membuat komisi 3 pihak antar kedua

negara tersebut dengan UNHCR.

c. Sejauh apapun, para pengungsi berhak untuk dikembalikan ke tempat asalnya,

kediamannya secara spesifik65.

Bantuan terhadap program ini dapat diberikan dari setiap pihak yang ingin

berkontribusi seperti negara suaka, negara asal, UNHCR, PBB, maupun pihak

lainnya. Bantuan yang diberikan biasanya berupa sarana transportasi serta

beberapa kebutuhan pokok apabila terjadi konflik yang bersifat destruktif di

negara asalnya dan diserahkan di awal perpindahan.

64
kembalinya suatu warga negara dari negara asing yang pernah menjadi tempat tinggal menuju tanah
asal kewarganegaraannya
65
Ibid.
2. Local Settlement (Pemukiman Lokal)

Apabila dalam kasus pengungsi tidak memungkinkan untuk menggunakan

Voluntary repatriation sebagai penyelesaian, menetap sebagai pengungsi di

negara asal atau negara lain yang menjadi tuan rumah merupakan solusi terbaik.

Akan tetapi, harus dengan persetujuan pemerintah negara tuan rumah yang

bersangkutan.

Di negara-negara industri, sistem kesejahteraan pemerintah dan organisasi

non-pemerintah menyediakan sebagian besar sumber daya yang diperlukan

untuk mengintegrasikan pengungsi. Di lokasi lain, UNHCR melengkapi

berbagai jenis dukungan untuk proyek pemukiman lokal di perkotaan dan

pedesaan

Pengungsi dapat mengambil manfaat dari bantuan tersebut sebagai

swasembada serta bentuk integrasi ke dalam kehidupan ekonomi dan sosial

masyarakat setempat. Bantuan ini memiliki beragam bentuk, tergantung dari

faktor-faktor yang ada seperti situasi para pengungsi, latar belakang mereka,

lokasi mereka dan situasi dari negara tuan rumah. Sebagai contoh:.

● Spontaneous Local Settlement

Pengungsi dapat menetap secara spontan di tengah penduduk setempat ,

serta berbagi sumber daya dan infrastruktur yang tersedia. Hal ini kerap

terjadi di Afrika, terutama ketika para pengungsi milik kelompok etnis yang

sama dengan penduduk yang tinggal di daerah sekitar. Ketika terdapat angka

yang besar dalam jumlah pengungsi, UNHCR dapat memberikan dukungan

kepada pihak berwenang dari negara suaka melalui bantuan efektif dan

efisien untuk infrastruktur lokal (tuan rumah)66.

66
Ibid.
● (Planned) Local Settlement of Refugees in Rural Areas

Merupakan sub-program yang cenderung diterapkan untuk kepentingan

pengungsi dari latar belakang pedesaan secara terencana. Pemukiman di

daerah pedesaan akan dibantu oleh UNHCR berdasarkan perencanaan hasil

kerjasama dengan pemerintah tuan rumah, dan dilaksanakan oleh instansi

pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat.

Para pengungsi sendiri didorong untuk berkontribusi secara progresif

sebagai upaya menuju swasembada. Terdapat sejumlah bantuan yang beragam

dalam program ini seperti, bantuan keuangan UNHCR yang diberikan secara

bertahap seraya berkembangnya pemukiman untuk menyokong kebutuhan

sendiri dan pemulihan infrastruktur sosial dasar. Sejumlah bantuan tersebut

dapat mencakup:

a. Perencanaan dan pengkonstruksian pemukiman.

b. Menyediakan pangan pada jangka waktu awal berdirinya pemukiman.

c. Pengkoordinasian bidang pertanian dan kegiatan lainnya yang dapat

menghasilkan pendapatan.

d. Memasok alat rumah tangga dan bahan dasar lainnya.

e. Mengambil langkah dengan menghargai kepentingan nutrisi, air, sanitasi

kesehatan dan pendidikan.

f. Mempromosikan pengembangan masyarakat67.

Program tersebut dijalankan dengan tujuan tercapainya kemandirian dari

para pengungsi untuk bertahan hidup serta meningkatkan kualitas hidup dalam

situasi ketidak stabilan negaranya maupun berada di negeri orang.

3. Resettlement (Pemukiman Kembali)


67
Ibid.
Pemukiman Kembali adalah solusi terakhir untuk pengungsi, ketika

Voluntary Repatriation dan Local Settlement dianggap tidak memungkinkan

untuk dilakukan.

Alasan pengungsi membutuhkan pemukiman kembali adalah dugaan adanya

masalah perlindungan yang serius di negara suaka pertama. Dalam beberapa

kasus ditemukan adanya permasalahan refoulement68, pengusiran, penahanan

yang tidak semestinya atau ancaman terhadap keselamatan fisik mereka.

Negara dunia ketiga yang dinilai aman pada akhirnya menjadi solusi

satu-satunya untuk bermukim. Akan tetapi, Resettlement tidak seperti Voluntary

Repatriation dan Local Settlement yang bersifat sebagai ‘hak’. Pengungsi yang

diajukan maupun mengajukan untuk bermukim kembali harus menggunakan

kriteria yang ditetapkan dengan hati-hati.

Pertemuan kembali dengan anggota keluarga juga menjadi salah satu alasan

adanya Resettlement pemindahan bagi para pengungsi yang dianggap rentan

dalam kriteria UNHCR, atau apabila hal tersebut merupakan jalan keluar

satu-satunya. Orang-orang tersebut diduga termasuk sebagai pengungsi yang

memiliki masalah medis, wanita yang berisiko, dan alasan kritis lainnya. Bagi

UNHCR, pencabutan pengungsi dari tempat sebelumnya di identifikasikan

sebagai pihak yang dinilai membutuhkan perhatian khusus. Setiap upaya harus

dilakukan dalam langkah pertama agar dapat dipastikan apakah kebutuhan

mereka dapat dipenuhi dalam konteks lokal atau regional.

UNHCR menyarankan agar wilayah di negara suaka harus selalu

dieksplorasi untuk mencari peluang pemukiman sehingga memungkinkan

pengungsi tetap tinggal di tempat yang berdekatan dengan negara asalnya. Hal

68
Penolakan terhadap keberadaan warga asing/pengungsi
tersebut dikarenakan apabila budaya di wilayah tersebut kurang lebih sama

dengan negara asalnya akan memudahkan pengungsi untuk berintegrasi.

Terdapat pilihan lain Resettlement yaitu pemukiman ekstra-regional.

Program tersebut melibatkan pergerakan yang semakin jauh dari letak geografis

negara asal para pengungsi, tetapi dapat menjadi kemungkinan solusi realistis

satu-satunya. Kuota pemukiman yang ditawarkan dalam sistem ini terbilang

cukup lengang, akan tetapi permintaan kesesuaian lokasi juga besar. Terkait

kasus ini UNHCR akan terus melakukan proses diskusi dengan pemerintah serta

NGO terkait dalam rangka memperluas dan memperkuat program

Resettlement69.

Selama berjalannya proses penanganan menggunakan program ini, UNHCR

terbilang cukup kritis. Hal tersebut dikarenakan adanya kemungkinan bagi para

pengungsi untuk menggunakan berbagai macam alasan yang dinilai tidak relevan

agar tidak bermukim di tempat yang tidak diminati dengan situasi dimana tidak

terdapat banyak pilihan seperti pada konflik Suriah.

69
Ibid.
Bab III

KOMPLEKSITAS MASALAH PENGUNGSI DI SURIAH

Suriah atau secara resminya dinamakan Syrian Arab Republic (Republik Arab

Suriah) merupakan suatu negara yang berdiri setelah mendapatkan kemerdekaannya

dari jajahan Perancis pada tahun 194670. Meskipun memiliki banyak kekurangan,

negara ini tidak takut untuk mengambil resiko dengan bekerja sama dengan

negara-negara sekitarnya sebagai pembelajaran selaku negara independen baru.

Seiring berjalannya waktu, Suriah akhirnya berhasil memiliki tatanan pemerintahan

yang terarah serta kemajuan di bidang militer yang dapat melindungi masyarakat dan

memberikan bantuan kepada negara lain. Seiring berjalannya waktu muncul sejumlah

konflik internal maupun eksternal yang mengakibatkan kondisi negara menjadi tidak

stabil serta membuat masyarakat merasa tidak aman. Hal tersebut menjadi alasan dasar

masyarakat Suriah mengungsi ke berbagai wilayah.

Pada Bab III ini, penulis akan mendeskripsikan secara kronologis mengenai

bagaimana kompleksitas permasalahan di Suriah yang menjadi akar timbulnya Syrian

Refugees Crisis.

70
The World Factbook. “Middle – East : Syria.” Central Intelligence Agency.
https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/sy.html. Diakses 18 April 2016.
3.1. Konflik Suriah

Merujuk kepada pengertian konflik pada kerangka pemikiran, adanya suatu

kontak yang bersifat mengancam yang mengakibatkan munculnya kontak bersenjata

antara pihak-pihak yang memiliki perbedaan kepentingan71.

Dalam sub-bab ini penulis memaparkan latar belakang, perkembangan, serta

aktor yang terlibat dalam konflik Suriah sebagai penerangan atas situasi yang dihadapi

oleh para pengungsi asal Suriah di tempat asalnya.

3.1.1 Latar Belakang Terjadinya Konflik di Suriah

Suriah adalah sebuah negara di wilayah Timur Tengah dengan luas 185.180 km2

yang berada di antara Laut Mediterania (barat), Turki (utara), Irak (timur), Yordan

(selatan), dan Libanon (barat daya). Suriah beribukota di Damaskus dengan total

populasi 21.053 juta jiwa pada tahun 201072, sebelum sejumlah konflik terjadi.

Konflik Suriah dapat dikatakan sebagai “War within a War”73. Kompleksnya

konflik antara pemerintah, pemberontak, kelompok ethno – religious74, serta gerakan

jihad ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Situasi ini membuktikan bahwa konflik Suriah

diklasifikasikan sebagai Intra-State Conflict.

Gambar 3.1. Peta Syria

71
Kerangka Pemikiran. Hal.
72
World bank
73
BBC Middle East. “Syria: The story of the conflict” . BBC News. 11 Maret 2016. Tersedia pada
http://www.bbc.com/news/world-middle-east-26116868 diakses pada 28 Oktober 2016
74
Kelompok etnis yang juga disatukan berdasarkan latar belakang keagamaan.
Sumber : http://www.freeworldmaps.net/asia/syria/

Konflik Suriah mulanya dipicu karena adanya korban jiwa seorang anak

berumur 13 tahun bernama Hamza al-Khateeb. Hamza meninggal dalam insiden

penangkapan dan penyiksaan oleh pihak berwenang terhadap 15 remaja yang

membuat suatu graffiti75 berslogan revolusioner di daerah selatan kota Deraa, Suriah

pada bulan Maret 2011. Tindakan para remaja tersebut dilandaskan oleh pengaruh

gelombang revolusioner Arab Springs atau Kebangkitan Dunia Arab76 yang marak di

kawasan Timur Tengah pada saat itu.

Sejumlah kaum Pro-demokrasi setempat akhirnya melakukan demonstrasi

sebagai aksi protes kepada pemerintah atas peristiwa Hamza77. Akan tetapi, pihak

keamanan melakukan penembakan dan kekerasan yang memakan korban jiwa sebagai

respon kepada para demonstran. Tragedi ini kemudian memicu aksi protes secara

75
Mural
76
Munculnya gelombang revolusi maupun pemberontakan di negara-negara wilayah Timur Tengah
sejak 18 Desember 2010 untuk menggulingkan pemerintahan. Masyarakat memegang peranan penting
dalam pemberontakan tersebut dikarenakan merasa dikecewakan oleh pihak pemerintah yang cenderung
otoriter, aktivitas korupsi yang tinggi, serta banyaknya ketidakadilan.
77
AL JAZEERA : MIDDLE EAST. Syria's Civil War Explained. 24 Mei 2016. Tersedia di
http://www.aljazeera.com/news/2016/05/syria-civil-war-explained-160505084119966.html diakses
pada tanggal 20 Agustus 2016
nasional. Demonstrasi pun kembali dilakukan secara besar-besaran yang direspon

dengan senjata dan kekerasan oleh pihak keamanan. Serangan tersebut mengubah

demonstrasi yang sebelumnya damai menjadi kerusuhan. Presiden Suriah, Bashar

al-Assad kemudian dituntut untuk mengundurkan diri dikarenakan ketidakpuasan

masyarakat serta pribadi presiden yang dinilai sebagai diktator berdarah dingin dalam

rezimnya.

Akhirnya pada bulan Juli 2011 sejumlah masyarakat dan tentara di seluruh

Suriah turun ke jalan untuk melancarkan serangan balik terhadap pemerintah78. Sejak

itulah konflik Suriah meledak secara besar-besaran dari berbagai sisi dan menjadi awal

lahirnya pengungsi asal Suriah. Presiden Barack Obama kemudian meminta Assad

untuk mengundurkan diri dan membekukan aset pemerintah Suriah pada di bulan

Agustus79.

3.1.2 Perkembangan Konflik di Suriah

Konfrontasi di pertengahan tahun 2011 tersebut menghasil kan 2 tahun penuh

konflik antara pihak pemerintah dan oposisi. Sebuah kelompok oposisi terbesar saat

itu ialah Pasukan Pembebasan Suriah (Free Syrian Army) yang kebanyakan berasal

dari kalangan militer Suriah serta kelompok-kelompok oposisi kecil lainnya. Sejumlah

serangan dilakukan untuk memukul mundur pihak pemerintah seperti yang terjadi di

kota Homs pada bulan Februari 2011 yang memakan korban jiwa sekitar 300 orang80

78
Reese Elrich. “INSIDE SYRIA : The Backstory of Their Civil War and What the World Can Expect”.
Prometheus Books, 2014, Chapter 5, page 26
79
Independent Staff: Middle East. “Syrian civil war timeline: Tracking five years of conflict”.
INDEPENDENT. 14 Maret 2016.
Tersedia pada
http://www.independent.co.uk/news/world/middle-east/syrian-civil-war-timeline-tracking-five-years-of-
conflict-a6929411.html diakses 2 Oktober 2016
80
Martin Chulov dan Paul Harris.” Syria: '300 killed' as regime launches huge attack on besieged city of
Homs”. The Guardian. 4 Februari 2012. Tersedia pada
https://www.theguardian.com/world/2012/feb/05/syria-homs-hundreds-dead-barrage diakses 2 Oktober
2016
yang kebanyakan adalah penduduk sekitar. Hal serupa juga terjadi di wilayah

Damaskus, Aleppo, Homs, dan kota-kota besar lainnya.

Melihat banyaknya aksi pemberontakan yang memakan korban masyarakat

daripada kedua belah pihak yang bertikai, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)

memutuskan untuk turun tangan. Pada 12 April 2012, diadakan sebuah pertemuan

untuk usulan perdamaian dengan gencatan senjata antara pihak oposisi dengan

pemerintah Suriah. Pertemuan ini direncanakan oleh seorang 7th Secretary-General of

the United Nations81 Bernama Kofi Annan. Peranan beliau dalam pertemuan tersebut

adalah sebagai perwakilan khusus UN–Arab League Joint Special Representative for

Syria82. Sayangnya, rencana tersebut gagal total dikarenakan tidak adanya kesepakatan

antara kedua belah pihak beserta masih adanya serangan aktif di berbagai daerah

selama berlangsungnya pertemuan tersebut. Awal Juni 2012, Misi Perdamaian PBB di

Suriah akhirnya ditarik dan sejumlah rencana diberhentikan karena dinilai tidak

efektif. Kofi Annan juga turut mengundurkan diri dalam misinya untuk Suriah di

bulan Agustus 2012. Sejak saat itu PBB serta Palang Merah Internasional resmi

menyatakan bahwa Suriah berada dalam situasi Civil War atau Perang Saudara83.

Situasi tersebut membuat masyarakat merasa tidak aman dikarenakan serangan yang

bisa spontan terjadi dimana saja dan kapan saja tanpa dan seolah tidak ada

pertimbangan keselamatan bagi penduduk sekitar oleh kedua belah pihak.

Situasi menjadi semakin keruh di tahun 2013. Munculnya pihak-pihak baru

yang ikut ambil bagian menjadi salah satu alasan seperti kelompok Syiah Islam,

Hezbollah sebagai dukungan kepada Presiden Basher al-Assad, Jihadis Islam yaitu

Al-Nusra dan Islamiq State of Iraq and the Levant (ISIS) yang beraliran Sunni Islam,

seerta kaum Kurdi di daerah utara Suriah. Keberadaan mereka yang juga turut saling

81
Jenderal Sekertaris 7 Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB)
82
Perwakilan Khusus PBB – Liga Arab Bersama untuk Suriah
83
Amnesty International. “DEADLY REPRISALS: Deliberate, Killings, and Other Abuses by Syria’s
Armed Forces”. United Kingdom: Amnesty International. 2012
bertikai membawa Suriah kedalam ‘War on War’ dikarenakan konflik menjadi tidak

semata-mata antara pemerintah dan oposisi, tetapi juga ethno-religi antara dua aliran

islam yang berbeda. Sebuah serangan senjata kimia diluncurkan di daerah Ghouta,

Damaskus menjadi salah satu sorotan utama di masa itu. Peristiwa tersebut

mengakibatkan korban jiwa sekitar 1.400 orang serta luka-luka Serangan dari

pemerintah Suriah tersebut sangat dikecam secara internasional terutama dari pihak

PBB dan Amerika Serikat84. Merasa sama sekali tidak ada harapan lagi untuk menetap

di Suriah, para penduduk memutuskan untuk melarikan diri keluar demi bertahan

hidup.

Gambar 3.2 : Persebaran Konflik di Suriah beserta pihak penguasanya

Sumber :
http://cdn.static-economist.com/sites/default/files/imagecache/original-size/images/print-edition/20150926_MAM9
21.png

84
CNN Library. “Syrian Civil War Fast Facts. CNN. 26 September 2016”. Terdapat Pada
http://edition.cnn.com/2013/08/27/world/meast/syria-civil-war-fast-facts/ diakses 2 Oktober 2016
Berdasarkan Gambar 3.3 dapat terlihat betapa hampir seluruh tempat di Suriah

dikuasai oleh berbagai pihak, tidak heran apabila sebagian besar masyarakat Suriah

merasa tersudut dan melarikan diri dari negaranya. Sekitar 2.000.000 pengungsi asal

Suriah tersebar di negara-negara tetangga maupun wilayah Eropa. Angka tersebut

merupakan sebuah kenaikan yang sangat signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.

Situasi Syrian Refugee Crisis akhirnya disuarakan secara Global oleh UNHCR.

Seiring berjalannya waktu hingga di tahun 2015, kerap terjadi serangan-serangan

di setiap daerah untuk memperebutkan wilayah kekuasaan. Angka serangan pun

semakin meningkat dengan terlibatnya sejumlah angkatan bersenjata dari luar seperti

Rusia, Iran, Turki, Perancis, dan Negara lainnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa

mereka juga membantu memberantas pihak-pihak yang merusak Suriah seperti ISIS

yang semakin menguasai secara luas dan menjadi ancaman internasional, akan tetapi

jatuhnya korban dari para penduduk sekitar tidak lagi dapat dihindari. Situasi inilah

yang menjadi salah satu penyebab meningkatnya angka pengungsi asal Suriah secara

global menjadi sekitar 4.000.000 di tahun 2015.

3.1.3 Aktor yang Terlibat Konflik

Sesuai dengan keterangan konflik dalam kerangka pemikiran, terdapat dua aktor

yang terlibat dalam Intra-State Conflict di Suriah. State-Actors yang terlibat antara

lain :

1. Pemerintah Suriah

Sejak tahun 1970 hingga saat ini, pemerintahan Suriah didominasi oleh

keluarga Assad. Hafez al-Assad, presiden Suriah sebelumnya, telah meletakkan

dasar kekuasaan yang kuat sejak awal kedudukannya sebagai presiden. Karir

awalnya sebagai perwira angkatan udara mempermudah Hafez untuk meluaskan

pengaruhnya di angkatan bersenjata Suriah. Untuk mempertahankan kekuasaan,


keluarganya turut ditempatkan di kursi pemerintahan. Pada akhirnya sistem

pemerintahan Suriah seolah menjadi suatu kerajaan yang diduduki oleh keluarga

Assad. Rezim Hafez dikenal memiliki karakteristik presidensial yang kuat,

otoriter, serta mengistimewakan kaum Alawite yang diniliai sebagai

Klientelisme8586.

Sepeninggal Hafez pada tahun 2000, posisi presiden diturunkan kepada

anaknya, Bashar al-Assad yang menjabat sampai sekarang. Sistem pemerintahan

yang dijalan Bashar pun tidak jauh berbeda dengan Hafez, hal inilah yang

menjadikan pemerintah Suriah sebagai State-Actor utama pemicu awal konflik

di Suriah. Rezim Bashar didukung oleh Syrian Armed Forces, Negara-Negara

pendukung, elit masyarakat maupun pemerintah yang berhubungan dengan

keluarga Assad, serta kaum minoritas berlandaskan agama terutama etnis,

Alawi87, mereka menganggap rezim ini dapat menjadikan Syria sebagai negara

yang sekuler.

2. Negara-Negara Anti-Assad (Perancis, Amerika Serikat, Turki, Inggris, Arab

Saudi, Jerman)

Sejumlah negara ini bersikeras meminta Presiden Bashar al-Assad untuk

turun dikarenakan karakteristik pemerintahannya yang tidak manusiawi dan

penyebab utama konflik di Suriah. Dilihat dari kompleksitas konflik Suriah,

mereka menilai apabila rezim Assad mundur akan membuat intensitas konflik

Suriah sangat jauh berkurang dan menurunkan angka pengungsi sehingga fokus

perlawanan dapat berpusat penuh terhadap ISIS dan Al-Nusra. Negara-Negara

85
Sebuah sistem politik yang didasarkan pada hubungan pribadi daripada manfaat pribadi.
86
ARK Group DMCC. “The Syrian conflict:A systems conflict analysis”. February 2016. ARK. Hal.19
87
Alawi : Sebuah bagian dari agama Islam aliran Syiah yang dianut oleh keluarga Assad, Penganut
agama ini menjadi salah satu Ethno-religi di Suriah. Merupakan aliran Islam yang cenderung sekuler
memiliki unsur ajaran yang terdapat juga dalam agama lain. Aliran ii sangat ditentang oleh Sunni Islam
dikarenakan bagi mereka aliran ini sesat dan tidak sesuai dengan Islam yang sebenarnya.
terkait juga membantu secara militer maupun politik terhadap para kelompok

oposisi yang memerangi Assad maupun ISIS.

Gambar 3.3 Bagan prioritas sejumlah State-Actors dan Non-State Actors terhadap
Konflik Suriah.

Sumber :
http://www.businessinsider.co.id/cheat-sheet-key-players-in-the-syria-conflict-2015-11/?r=US&IR=T#l8MzvG4Xpj
HkccBz.97

3. Negara-Negara Anti-Assad (Rusia dan Iran)

Relasi Rusia dan Iran dengan Suriah sesungguhnya sudah terjalin lama,

pada masa perang dingin berlangsung maupun sebelumnya. Kepentingan pihak

Rusia untuk mendukung Assad dikarenakan Suriah merupakan tuan Rumah

instalasi Angkatan Laut Rusia di pelabuhan Tartus yang dinilai juga strategis

untuk memperluas pengaruhnya ke wilayah Mediterania Timur (daerah yang

menghubungkan benua Eropa, Afrika, dan Asia). Alasan ekonomi juga

memainkan peranan penting dalam kerjasama ini yaitu tersedianya kemudahan

akses perdagangan Rusia dari Laut Hitam ke pasar Asia Timur melalui Terusan
Suez (Suez Canal) dan Samudera Hindia, serta peran Suriah sebagai produsen

utama peralatan militer Rusia sejak awal Perang Saudara (Civil War) 88.

Kepentingan dari pihak Iran secara ekonomi tidak jauh beda dengan Rusia,

akan tetapi yang memegang penting keputusan untuk mendukung karena Suriah

merupakan salah satu negara pertama yang mengakui Republik Islam Iran pada

tahun 1979 serta sejumlah bantuan yang diberikan untuk Iran di tahun-tahun

selanjutnya (dari rezim Hafez hingga Bashar)89.

Kedua Negara ini mendukung serta memberikan bantuan secara politik

maupun militer terhadap pemerintah Suriah, akan tetapi mereka satu suara

dengan Negara-Negara Anti-Assad untuk melawan ISIS dan Al-Nusra.

Sesuai dengan pemaparan diatas, dapat disimpulkan bahwa State-Actors

memang memainkan arena yang lebih luas secara nasional maupun internasional, akan

tetapi keberadaan Non-State Actors juga menjadi salah satu penyebab dinamika

kompleksitas konflik Suriah yang terbilang sebagai Civil Wars di lapangan. Non-State

Actors yang terlibat antara lain :

1. Free Syrian Army (FSA)

Sesudah konflik terbuka Suriah pada pertengahan tahun 2011 dimulai,

sejumlah kelompok-kelompok anti-rezim Bashar al-Assad mulai bermunculan.

Pada akhir Juli 2011, Kolonel Riad Asaad, bersama dengan enam perwira

tentara Suriah lainnya yang telah membelot, mengumumkan pembentukan

Pasukan Pembebasan Suriah (Free Syrian Army) dari sebuah kamp pengungsi

di provinsi Antakya, Turki90. Anggota FSA merupakan gabungan dari kaum

militer Suriah dan kelompok-kelompok oposisi lainnya. Organisasi inilah yang

88
ARK Group DMCC. Op.Cit. hal. 26
89
Ibid.
90
Joseph Holliday. “MIDDLE EAST SECURITY REPORT 3 : Syria’s Armed Opposition”. Washington
DC : Institute for the Study of War. 2012. Hal. 14
menjadi pentolan pergerakan kelompok-kelompok oposisi di Suriah dan salah

Non-State Actor utama dalam konflik terkait. FSA cenderung melakukan

perlawanan kepada pihak pemerintah melalui cara militer dan bertujuan untuk

menggulingkan rezim Presiden Bashar al-Assad. Keberadaan kelompok ini

membangkitkan semangat para kaum oposisi untuk melawan tekanan

pemerintah. Akan tetapi, dikarenakan kurangnya arahan bagi para anggotanya,

kekuatannya melemah sejak tahun 2013 yang mengakibatkan sejumlah anggota

melepaskan diri untuk mengikuti kelompok bersenjata lainnya atau kelompok

jihadis yang mendominasi sejumlah wilayah di Suriah pada masa itu (Al-Nusra

dan ISIS)91. Hingga saat ini masih menjadi perdebatan apakah kelompok ini

telah bubar secara resmi atau menghilang.

2. Unit Perlindungan Masyarakat (Yekîneyên Parastina Gel‎) atau Kelompok

Kurdi

Organisasi ini adalah sebuah unit bersenjata dari Partai Persatuan

Demokrasi (Partiya Yekîtiya Demokrat). Unit ini didominasi oleh orang Kurdi

dikarenakan PYD merupakan partai afiliasi dengan Partai Pekerja Kurdi

(Partiya Karkerên Kurdistanê‎). YPG terpicu untuk masuk ke rancah konflik

Suriah dikarenakan mengancam keamanan tempat tinggal para kaum Kurdi di

wilayah utara Suriah pada tahun 201292. Pada kenyataannya Kelompok ini

tidak memihak pihak pemerintah, oposisi, maupun jihadis dikarenakan semua

pihak melakukan aksi bersenjata yang mengancam di dekat tempat tinggal

mereka. YPG memiliki jumlah yang cukup besar dikarenakan kemampuannya

91
Souad Mekhennet. “Are the terrorists fighting us now? We just finished training them”. The
Washington Post. 18 Agustus 2014.
Tersedia pada
https://www.washingtonpost.com/posteverything/wp/2014/08/18/the-terrorists-fighting-us-now-we-just-
finished-training-them/?utm_term=.a6d88205904f . Diakses 28 September 2016
92
BBC NEWS MIDDLE EAST. “Guide to Syrian Rebels”. BBC. 13 Desember 2013. Tersedia pada
http://www.bbc.com/news/world-middle-east-24403003 Diakses 28 September 2016
untuk mempengaruhi seluruh kaum kurdi di dunia serta pihak luar untuk

membantu mereka.

3. Kelompok Jihadis (Al-Nusra dan ISIS)

Kedua kelompok ini sesungguhnya merupakan bagian dari Al-Qaeda

sebelum mendeklarasikan keberadaan masing-masing sebagai organisasi

jihadis yang independen. Al-Nusra diduga mulai didirikan pada pertengahan

tahun 2011 dengan bantuan kelompok Islamic State of Iraq (ISI) yang

kemudian mendeklarasikan dirinya secara resmi pada Januari 201293.

Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) atau Islamic State of Iraq and the

Levant (ISIL) dibentuk secara resmi pada April 2013 sebagai perkembangan

dari Al-Qaeda in Iraq (AQI), meskipun pada akhirnya mengingkari

Al-Qaeda94. Sebelumnya ISIS hanya terbentuk sebagai Islamic State in Iraq

(ISI) sejak tahun 2003. Memiliki prestasi yang cukup besar dalam menjalankan

misinya di Irak, ISI memutuskan untuk memperluas pengaruhnya ke daerah

Suriah dan merubah nama menjadi ISIS dengan penambahan ‘Syrian’ (Suriah)

di akhir95. Aktivitas ISIS di Suriah terbukti efektif dilihat dari banyaknya

pengikut yang bergabung.

Sebagai kelompok yang memiliki sejarah, visi, misi, tujuan yang sama, serta

ingin menggulingkan rezim Presiden Bashar al-Assad demi terbentuknya

Suriah sebagai negara berbasis Islam seutuhnya, tidak menjadi jaminan

keakuratan kedua kelompok ini. Al-Nusra menolak keberadaan ISIS di Suriah

93
Ibid.
94
BBC NEWS MIDDLE EAST. “Syria Iraq: The Islamic State militant group”. BBC. 2 Agustus 2014.
Tersedia pada http://www.bbc.com/news/world-middle-east- 24179084 Diakses 28 September 2016
95
Holly Yan. “What's the difference between ISIS, al-Nusra and the Khorasan Group?”. CNN. 24
September 2014. Terdapat pada
http://edition.cnn.com/2014/09/24/world/meast/isis-al-nusra-khorasan-difference/ diakses 28 September
2016.
pada tahun 2013 dan terjadi perselisihan antara kedua kelompok tersebut

hingga saat ini, meskipun tidak semenegangkan dulu.

Hingga detik ini, seluruh aktor yang dipaparkan di atas baik State-Actors

maupun Non-States Actors masih memainkan peranan dalam dinamika konflik Suriah.

Setiap tindakan yang diambil salah satu aktor akan memicu respon dari aktor lainnya

terutama kepada pihak para pengungsi yang menjadi korban dalam konflik ini.

3.2. Krisis Kemanusiaan di Suriah

Situasi yang tak kunjung mereda dan semakin memanas dengan munculnya

beberapa aktor baru yang menjadi pemicu kelanjutan konflik, menjadi salah satu

faktor utama tidak adanya jaminan rasa aman di negara Suriah. Merupakan hal yang

lazim bagi para penduduk Suriah untuk melarikan diri ke wilayah lain di luar negara

asalnya. Akibatnya, sejumlah krisis terjadi di wilayah-wilayah yang menjadi sasaran

pelarian dikarenakan kewalahan dalam menangani jumlah pendatang.

3.2.1 Timbulnya Pengungsi (Refugee)

Sistem pemerintahan rezim Assad (1970 – sekarang) memiliki karakteristik yang

otoriter sesuai dengan pemaparan diatas tentunya sudah sangat dikenal oleh

masyarakat Suriah. Peristiwa kekerasan dan aksi bersenjata terhadap para demonstran

secara nasional di tahun 2011 menjadi suatu peringatan besar bahwa hidup mereka

tidak akan aman lagi. Sejumlah orang kemudian memutuskan untuk mengungsi dari

rumah maupun kota asal mereka menuju tempat perlindungan (shelter), penampungan

(kamp) pengungsi atau wilayah yang dinilai aman. Inilah titik awal munculnya

pengungsi asal Suriah.


Tercatat di tahun 2011 bahwa terdapat 143.000 pengungsi dan pencari suaka

yang tercatat dalam data UNHCR di Suriah, akan tetapi angka tersebut kemudian

menurun. Penurunan diakibatkan adanya rasa tidak aman untuk tetap tinggal dalam

teritorial Suriah96. Hal itu terbukti dengan banyaknya serangan lapangan antara pihak

oposisi pemerintah, maupun kelompok jihadis di daerah-daerah sekitar shelter maupun

di wilayah kamp pengungsi, seperti yang terjadi di kamp pengungsi asal Palestina97 di

Provinsi Latakia yang turut terkena serangan militer pada agustus 201198. Oleh

pertimbangan inilah, sejumlah pengungsi memutuskan untuk mengungsi ke luar

Suriah, terutama ke Negara-Negara seperti Lebanon, Turki, Yordan, dan Irak.

3.2.2 Syrian Refugees Crisis

Pada tahun 2013 jumlah pengungsi asal Suriah yang tersebar di seluruh Negara

terdekat mengalami peningkatan yang sangat signifikan.

Gambar 3.5 : Tabel kenaikan angka pengungsi Suriah

96
UNHCR Syria. Op.Cit. Paragraf 3
97
Para pengungsi asal Palestina yang kehilangan tempat tinggalnya akibat konflik pada tahun 1948
antara Palestina dan Israel.
98
Syria : Thematic Reports. “Palestinians from Syria : Syria Needs Analysis Project – March 2014”.
ACAPS. 2014. Hal.6
Dapat di dilihat pada file:///C:/Users/asus/Desktop/14_palestinians_from_syria_march_2014.pdf
Sumber :
https://d2zyf8ayvg1369.cloudfront.net/sites/default/files/styles/imagestack/adaptive-image/public/MercyCorps_Syr
iaCrisisRefugeesGraph_0215.jpg

Kenaikan tersebut diakibatkan munculnya kelompok jihadis yaitu Al-Nusra dan

ISIS yang berhasil menguasai sebagian besar wilayah timur Suriah yang berbatasan

dengan Irak hingga ke bagian tengah. Aksi bersenjata maupun aktivitas harian kedua

kelompok terkait di lapangan kerap berunsur kekerasan yang memakan korban jiwa

dan luka-luka. Hal tersebut memperkeruh mental masyarakat menjadi tidak adanya

lagi harapan hidup untuk tinggal dan akhirnya memutuskan untuk mengungsi keluar

wilayah Suriah secepatnya.

Negara-Negara tetangga seperti Turki, Lebanon, Irak, dan Yordania menjadi

sasaran empuk bagi para pengungsi. Selain dikarenakan kedekatan jarak dengan

Suriah, pengalaman dalam menangani para pengungsi seperti penyediaan kamp

penampungan dinilai dapat memenuhi kebutuhan mereka. Oleh karena itulah, terjadi

ledakan jumlah pengungsi di empat Negara tersebut.


Pada tanggal 4 September 2013, menteri Turki, Yordania, Lebanon, dan Irak

mengadakan pertemuan resmi dengan UNHCR di Jenewa99. Pertemuan ini membahas

jalan keluar terhadap kenaikan angka pengungsi yang sangat drastis terutama di

Negara mereka sendiri.

‟We are doing everything we can to help, but the international humanitarian

response capacity is dangerously stretched. This tragedy has to be stopped.” (António

Guterres, High Commissioner for Refugees, 2013). Hal ini diutarakan oleh beliau pada

6 Maret 2013 saat angka pengungsi asal Suriah telah mencapai 1 juta orang100. Dari

pernyataan tersebut dapat kita simpulkan bahwa mereka sudah cukup kewalahan dalam

menangani permasalahan tersebut.

“We strongly appeal to the international community to


overcome existing differences and come together to stop
the fighting. All actions that are creating refugee flows
need to cease,” (Joint Statement, 2013).

Pernyataan ini diutarakan oleh seluruh menteri Negara-Negara terkait serta

António Guterres sendiri dalam pertemuan Jenewa di bulan September 2013101

sekaligus menyatakan secara global situasi Syrian Refugees Crisis. Pada kenyataannya,

mereka sudah kehabisan akal dengan cara mengendalikan maupun menangani jumlah

penanganan para pengungsi. Kurangnya dana juga menjadi salah satu permasalahan

besar sebagai sumber penyediaan sarana maupun kebutuhan yang memadai.

99
Leo Dobbs dan Adrian Edwards. “UNHCR and host countries to push for greater international help
on Syrian refugees”. UNHCR. 4 September 2013. Terdapat pada
http://www.unhcr.org/news/latest/2013/9/522756779/unhcr-host-countries-push-greater-international-he
lp-syrian-refugees.html diakses 1 Oktober 2016
100
UNHCR Story. “Number of Syrian refugees reaches 1 million mark”. UNHCR. 11 Maret 2013.
Terdapat pada http://www.unhcr.org/turkey/home.php?lang=en&content=441 diakses 1 Oktober 2016
101
UN News Centre. “UN agency joins Syria’s neighbors in plea for greater international support to the
region”. UN. 4 September 2013. Terdapat pada
http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=45773#.WA-TPC197De diakses pada 1 Oktober 2016
Satu-satunya cara terampuh untuk menyelesaikan permasalahan Syrian Refugee Crisis

ialah penghentian konflik secara total102 di Suriah teramat sangat dibutuhkan.

3.3. Kondisi Para Pengungsi (Refugees)

Kekurangan sandang, makan, maupun papan merupakan permasalahan pokok

lazim dialami oleh para korban perang, begitu pula dengan para pengungsi Suriah.

Dilema untuk tetap mempertahankan tempat tinggal dan bertahan hidup merupakan

pilihan yang sangat berat di masa awal pecahnya konflik Suriah. Terdapat sejumlah

shelter serta penampungan di Suriah, akan tetapi dikarenakan kurangnya pasokan

kebutuhan masyarakat dan meningkatnya intensitas konflik secara nasional membuat

para pengungsi memilih untuk melarikan diri dari wilayah Suriah.

Kondisi para pengungsi pada tahun 2011 – 2012 dapat dikatakan cukup

terkendali. Dari segi pangan, nutrisi para pengungsi cukup terpantau dengan adanya

sejumlah kerjasama penanganan dari pihak UNHCR dengan United Nations Children's

Fund (UNICEF), World Food Programme (WFP), dan sejumlah Non-Governmental

Organization (NGO) lainnya103. Sarana dan prasarana kesehatan juga disediakan

sedemikian rupa di setiap kamp. Pengecekan kesehatan dilakukan secara menyeluruh

dari fisik, mental, serta pemberian vaksin diberikan kepada setiap pengungsi. Hal

tersebut merupakan hasil kerjasama antara UNHCR dengan International Medical

Corps (IMC) dan UNICEF104.

Sarana berkegiatan juga turut disediakan yaitu antara lain keterampilan serta

yang terutama edukasi bagi anak-anak dan pelajar. Tidak sedikit para pelajar aktif di

102
Ibid.
103
UNHCR Report. “SYRIA REGIONAL REFUGEE RESPONSE : Jordan, Lebanon, Iraq, Turkey”.
UNHCR. 7 September 2012
104
Ibid.
Suriah yang terpaksa meninggalkan sekolah mereka dikarenakan bahaya yang

mengancam. Melihatnya pentingnya edukasi, beberapa Negara akhirnya mengijinkan

para anak-anak tersebut untuk meneruskan pembelajaran di sekolah mereka. Lebanon

dan Yordania merupakan contoh Negara yang memberikan kesempatan yang cukup

besar untuk bersekolah secara formal.

Gambar 3.5: Tabel Jumlah Pelajar Suriah yang Masuk ke Sekolah Formal

di Lebanon

Sumber : WIDENING ACCESS TO QUALITY EDUCATION FOR SYRIAN REFUGEES: THE ROLE OF PRIVATE
AND NGO SECTORS IN LEBANON (2014). Hal. 16

Turki memang belum dapat menyediakan kesempatan berpendidikan pada

awalnya, akan tetapi UNHCR menyediakan beberapa program pelatihan kejuruan,

kursus bahasa, atau kegiatan ekstrakurikuler di kamp-kamp pengungsi105. Di kota

Al-Qaim, Irak, beberapa NGO, UNICEF, dan UNHCR turut membantu pembangunan

sekolah di dalam kamp pengungsi106.

Sedangkan bagi para orang dewasa, disediakan beberapa fasilitas kegiatan

seperti sarana olahraga, pengajaran bahasa, pelatihan keterampilan, serta seminar dari

105
Xanthe Ackerman. “Education for Syrian Refugees in Turkey – Beyond Camps”. BROOKINGS. 17
Januari 2014. Terdapat pada
https://www.brookings.edu/blog/education-plus-development/2014/01/17/education-for-syrian-refugees
-in-turkey-beyond-camps/ diakses pada 1 Oktober 2016
106
UNHCR Report. Loc. Cit. hal.4
pihak UNHCR maupun NGO lainnya107. Aktivitas-aktivitas seperti ini diperuntukkan

terutama kepada para pengungsi yang masih merasa trauma akibat konflik yang

dialami agar dapat berpikir lebih positif dan optimis. Bahasa juga dianggap penting

dikarenakan keberadaan mereka sebagai pihak asing agar dapat bertahan hidup

maupun membaur dengan tuan rumah tempat mereka mengungsi.

Akan tetapi, kondisi diatas berubah drastis mulai tahun 2013 dimana pecahnya

konflik baru di Suriah serta meningkatnya angka pengungsi secara signifikan.

Perkiraan jumlah pengungsi yang sebelumnya maksimal 500 orang setiap minggunya,

menjadi 100 orang dalam sehari. Sejumlah fasilitas pengungsian yang tersedia tidak

lagi dapat menampung luapan angka manusia tersebut sehingga mengharuskan

UNHCR maupun pihak-pihak penanggung jawab lainnya untuk membangun tempat

penampungan baru secepatnya108. Hal tersebut tentunya mengakibatkan tidak

optimalnya penanganan dan penyediaan kebutuhan sehingga terjadi kekurangan di

sejumlah penampungan.

Para pengungsi yang merasa putus asa akhirnya dengan sembrono menyebrangi

laut Mediterania dengan harapan adanya kualitas hidup yang lebih baik di benua

Eropa. Benua Eropa terlihat menjanjikan bagi para pengungsi melalui media (cetak

dan elektronik), serta kabar antar pengungsi. Terdapat sebuah berita bahwa para

pengungsi yang berhasil sampai ke Austria dan Jerman diterima dengan tangan

terbuka serta diberikan pelayanan terbaik. Akibatnya, muncul anggapan adanya

kesempatan bagi mereka untuk menetap di Negara yang dinilai mampu menawarkan

107
Rachel Obordo. “Teaching refugees languages: 'No specific skills required, just a desire to help and a
friendly smile”. The Guardian. 11 September 2015. Tersedia pada
https://www.theguardian.com/world/2015/sep/11/teaching-refugees-languages-no-specific-skills-require
d-just-a-desire-to-help-and-a-friendly-smile diakses 1 Oktober 2016
108
Quick Facts. “QUICK FACTS: WHAT YOU NEED TO KNOW ABOUT THE SYRIA CRISIS”. Mercy
Corps. 13 Agustus 2016. Tersedia pada
https://www.mercycorps.org/articles/iraq-jordan-lebanon-syria-turkey/quick-facts-what-you-need-know
-about-syria-crisis diakses 3 Oktober 2016
kombinasi keselamatan, prospek kerja dan pendidikan layak.109. Memang ada beberapa

negara yang mau menerima mereka seperti Jerman, Swedia, Perancis, Inggris, dan

Denmark, akan tetapi tidak sedikit juga Negara yang menolak keberadaan mereka.

Peristiwa pengusiran dengan meriam air dan gas air mata di Hungaria. Pengungsi yang

merasa ditolak membalas tindakan tersebut dengan melemparkan batu kepada pihak

berwenang110. Hal ini dinilai menjadi permasalahan baru bagi para pengungsi dan

memicu Negara-Negara lain di Eropa untuk tidak menerima keberadaan para

pengungsi asal Suriah.

Secara keseluruhan, kondisi yang diterima para pengungsi pada tahun 2013 -

2015 memiliki beragam dilema serta cenderung memprihatinkan. Terus meningkatnya

angka pengungsi menjadi salah satu faktor utama yang memperkeruh situasi Syrian

Refugee Crisis.

109
Melissa Fleming. “Six reasons why Syrians are fleeing to Europe in increasing numbers”. The
Guardian. 25 Oktober 2015.
110
Human Rights. “Hungary fires tear gas, water cannons at refugees”. ALJAZEERA.
Terdapat pada
http://www.aljazeera.com/news/2015/09/hungary-tear-gas-water-cannon-refugees-150916140918312.ht
ml diakses 2 Oktober 2016
Bab IV
UPAYA UNHCR TERHADAP PENANGANAN
SYRIAN REFUGEES CRISIS 2011-2015

Berdasarkan penggambaran situasi pada bab sebelumnya, tidak heran berjuta

orang dari Suriah melarikan diri dari negaranya dikarenakan kondisi mereka yang

sangat memprihatinkan. Negara yang seharusnya menjadi pelindung serta bertanggung

jawab terhadap hidup mereka, justru menjadi salah satu musuh serta pengancam

keselamatan hidup mereka. Oleh sebab itu, merupakan hal yang lazim bagi para

korban konflik tersebut untuk melarikan diri ke negara-negara tetangga sebagai

wilayah luar Suriah dikarenakan adanya kedekatan jarak dengan negara asal. Selama

konflik berkelanjutan tersebut tidak berakhir, begitupula angka krisis pengungsi asal

Suriah juga tidak akan berhenti.

Sebagai salah satu organisasi penanganan pengungsi terbesar dan terutama

secara Internasional, UNHCR tentunya melakukan sejumlah upaya dalam melakukan

tugasnya sesuai dengan visi, misi, serta amanat yang diemban sebagai tanggung jawab

organisasi terhadap pengungsi. UN High Commissioner for Refugees, Filippo Grandi,

menyatakan bahwa Syrian Refugee Crisis ialah krisis kemanusiaan serta permasalahan

pengungsi terbesar di masa kini dan hal ini membutuhkan dukungan dari kita semua di

seluruh dunia111. Oleh karena itu, UNHCR selaku organisasi yang berperan sebagai

aktor dalam penanganan permasalahan tersebut melakukan sejumlah upaya untuk

memenuhi kebutuhan para pengungsi, terutama kebutuhan dasar. Hal tersebut sesuai
111
United Nations. “Syria conflict at 5 years: the biggest refugee and displacement crisis of our time
demands a huge surge in solidarity”. (UNHCR: 15 Maret 2016) terdapat pada
http://www.unhcr.org/news/press/2016/3/56e6e3249/syria-conflict-5-years-biggest-refugee-displacemen
t-crisis-time-demands.html diakses tanggal 25 November 2016
dengan konsep kemanusiaan dimana setiap orang berhak mendapatkan haknya untuk

menunjang hidup.

Pada Bab IV ini, penulis akan membahas sejumlah upaya yang dilakukan

UNHCR untuk menangani Syrian Refugee Crisis di negara tetangga Suriah yaitu

Turki, Irak, Libanon, dan Yordania pada tahun 2013 – 2015, serta bentuk kerjasama

dan hambatan yang dihadapi.


4.1 Upaya UNHCR Dalam Mengatasi Syrian Refugee Crisis (2013 – 2015)

Terdapat sejumlah upaya yang telah dilakukan oleh pihak UNHCR dari tahun

2013 hingga akhir tahun 2015 terhadap penanganan para pengungsi asal Suriah.

Keadaan Suriah yang dinilai tidak layak sebagai tempat tinggal yang memadai bagi

para korban konflik, mendorong sebagian besar warga memilih untuk mencari tempat

tinggal yang lebih aman di wilayah lain seperti di Libanon, Turki, Irak, dan Yordan.

Keempat negara tersebut menjadi tujuan utama bagi pengungsi Suriah dikarenakan

kedekatan jarak antara negara asal dengan negara-negara tujuan tersebut112 .

Dalam melaksanakan upaya penanganan pengungsi Suriah, UNHCR

mengklasifikasikan bantuan menjadi tiga bidang. Ketiga bidang tersebut adalah

Kebutuhan Pokok, Pendidikan, dan Kesehatan, sesuai dengan elemen Proportionality

dalam prinsip Impartial di Konsep Humanitarian Assistance.

4.1.1 Upaya di bidang dalam pemenuhan Kebutuhan pokok

Dalam kehidupan manusia sehari-hari dibutuhkan pangan, sandang, dan papan

sebagai kebutuhan pokok untuk bertahan hidup. Sebagai korban dari konflik,

tentunya kemampuan para pengungsi Suriah untuk melengkapi kebutuhannya

sangatlah kurang. Disinilah peranan Operational113. Merujuk kepada Konsep

Humanitarian Assistance, UNHCR dibutuhkan untuk memberikan bantuan secara

nyata sebagai upaya kemanusiaan bagi para pengungsi.

Resettlement atau pemukiman bagi para pengungsi yang berupa kamp-kamp

pengungsian seperti yang sudah dijelaskan di bab 2, merupakan salah satu bentuk

solusi terhadap permasalahan para pengungsi, merupakan salah satu bentuk awal

112
Michael Martinez. Syrian refugees: Which countries welcome them, which ones don't. CNN. 10
September 2015. Tersedia di
http://edition.cnn.com/2015/09/09/world/welcome-syrian-refugees-countries/ diakses pada 25
November 2015
113
Fungsi IGO. Kerangka Pemikiran pada Bab 1. Hal.
bantuan pokok dari UNHCR yaitu tempat tinggal. Di dalam pemukiman kamp

pengungsian tersebut dapat dilihat kebutuhan-kebutuhan apa saja yang disediakan

oleh organisasi terhadap para pengungsi. Maka dari itu untuk mengetahui hal

tersebut, sub-bab ini akan mengklasifikasikan pemenuhan Kebutuhan Pokok

Pengungsi berdasarkan fakta yang ditemukan di beberapa kamp pengungsian di

wilayah Turki, Irak, Libanon, Yordania.

a. Turki

Tidak heran negara ini menjadi sasaran utama dari para pengungsi asal

Suriah. Keadaan negara yang jauh lebih baik serta prestasi-prestasi global

yang ditayangkan media maupun informasi lisan mengenai Turki, tentunya

menjadi peluang jalan keluar akan hidup yang lebih baik bagi para korban

konflik. Tercatat sekitar 1,805,255 pengungsi asal Suriah terdapat di wilayah

Turki pada tahun 2015114.

114
“UNHCR: Total number of Syrian refugees exceeds four million for first time”. UNHCR News. 9 Juli
2015. Tersedia pada
http://www.unhcr.org/news/press/2015/7/559d67d46/unhcr-total-number-syrian-refugees-exceeds-four-
million-first-time.html diakses 30 November 2016
Gambar 4.3 Statistik yang menunjukkan banyaknya pengungsi yang

memilih untuk melarikan diri ke Suriah pada tahun 2013 – 2014.

Sumber : UNHCR. 2014. Statistical Online Population Database, data extracted December 15. www.unhcr.
org/statistics/populationdatabase; UNHCR 2015

Berdasarkan situasi tersebut, pemerintah Turki akhirnya mengambil

tindakan untuk membangun kamp pengungsian agar dapat menampung para

korban supaya tidak terlantar maupun tidak terurus di negara tersebut. Divisi

Manajemen Bencana dan Darurat Kepresidenan Turki atau dikenal dengan

sebutan AFAD (Afet ve Acil Durum Yönetimi Başkanlığı) merupakan

departemen khusus pemerintah yang bertanggung jawab perihal pembangunan

kamp pengungsian tersebut. AFAD menunjuk UNHCR sebagai mitra utama

dalam pembangunan tersebut serta pemeliharaan kedepannya.

Gambar 4.4 Semua kamp pengungsian di Turki secara keseluruhan (formal

dan non-formal) beserta jumlah populasinya.


Sumber : http://www.hurriyetdailynews.com/images/akamp.jpg

Pada tahun 2015, terdapat 25 kamp pengungsi (berdasarkan Gambar 4.4)

secara keseluruhan di wilayah selatan Turki, berdekatan dengan perbatasan

dengan Suriah. Penulis mengambil lima kamp pengungsian dengan data

terbanyak sebagai sampel penggambaran secara nyata upaya pemenuhan

kebutuhan pokok para pengungsi Suriah di Turki. Kelima kamp tersebut

diantaranya Kilis Öncüpınar Camp, Akcakale Camp, Nizip Camp, Islahiye

Camp, dan Suruç Camp.

1. Kilis Öncüpınar Camp (Kilis Öncüpınar Accommodation Facility)

Kamp pengungsi ini dapat dikatakan sebagai salah satu capaian yang

menonjol dari kerjasama antara pemerintah Turki dan UNHCR. Kamp ini

merupakan kamp pengungsi terbesar di Suriah pada tahun 2012 yang

terletak di wilayah Provinsi Öncüpınar, Turki dekat dengan perbatasan


Turki – Suriah115. Kondisi kamp yang terbilang layak huni serta

penanganan yang baik dari semua pihak, menjadikannya sebagai salah satu

kamp yang menjadi acuan dalam krisis pengungsi Suriah. Setelah

didirikan secara resmi pada tahun 2012, Kamp Kilis dikembangkan sesuai

dengan standar maupun prosedur yang cukup baik dan tepat.116. Hal

tersebut bertujuan agar kebutuhan serta mobilisasi sarana dan prasarana

bagi para pengungsi dapat terpenuhi dengan tepat.

Terdapat fasilitas memadai lainnya yang diberikan kamp ini, antara lain

jaringan listrik dan lampu jalan dalam jumlah banyak seperti di pinggiran

kota pada umumnya, beberapa taman bermain yang terawat, pelayanan

rumah tangga yang dapat memperbaiki masalah listrik atau pipa air,

petugas kebersihan wilayah kamp, serta hidran kebakaran. Kebutuhan

pokok juga dapat dipenuhi dengan penyediaan fasilitas seperti pertokoan

yang melayani kebutuhan sandang dan papan. Fasilitas pendidikan juga

turut disediakan seperti playgroup dan taman kanak-kanak117.

Pada tahun 2013, tercatat sekitar 14.000 jiwa menetap di pemukiman ini.

Ketika angka pengungsi Suriah meledak, kamp ini juga menghadapi

beberapa masalah pada awalnya, akan tetapi seiring berjalannya waktu

mulai dapat dikendalikan atas kerjasama semua pihak terkait di lokasi

tersebut118. Penanganan pengungsi di kamp ini dapat dikatakan cukup

terkontrol dibandingkan dengan seluruh kamp pengungsian di

negara-negara sekitar Suriah.


115
Henry Ridgwell. “Turkey Shifts Syrian Refugees from Borders”. VOA. 13 September 2012.
Tersedia di http://www.voanews.com/a/turkey_shifts_syrian_refugees_from_broders/1507286.html
diakses pada 28 November 2016
116
Mac McClelland. “How to Build a Perfect Refugee Camp”. (NY Times : 13 Februari 2014) tersedia
pada https://www.nytimes.com/2014/02/16/magazine/how-to-build-a-perfect-refugee-camp.html
diakses tanggal 26 November 2016
117
Ibid.
118
“Turkish refugee camp 'nicest' in the world”. (World Bulletin: 14 Februari 2014) tersedia pada
http://www.worldbulletin.net/turkey/128915/turkish-refugee-camp-nicest-in-the-world diakses tanggal
26 November 2016
2. Akcakale Camp

Memiliki fasilitas yang hampir setara dengan Kamp Kilis, membuat kamp

ini menjadi tempat pemukiman yang paling diminati kedua di Turki. Kamp

yang berdiri di wilayah Provinsi Sanliurfa, Turki ini memiliki kapasitas

menampung sebesar 23.000 jiwa, tetapi akibat Syrian Refugees Crisis

jumlah pengungsi yang tercatat sekitar 27.300 jiwa hingga di bulan

Agustus 2014119. Sebagai respon terhadap situasi tersebut, AFAD bekerja

sama dengan UNHCR mempersiapkan sekitar 27.000 pakaian, 33.000

selimut dan 8.000 matras120. Pendonor swasta juga memberikan sejumlah

bantuan di bidang pangan seperti 1.000 paket makanan kering yang

dibagikan 600 buah kepada pengungsi yang berada di dalam kamp dan 400

buah bagi pengungsi di luar kamp. Disusul kemudian dengan 2.000 paket

kepada para pengungsi di dalam kamp bersamaan dengan bantuan selimut,

susu, dan sepatu bagi anak-anak usia 7 – 17 tahun121.

3. Nizip Camp

Kamp yang terletak di wilayah kota Harran, Provinsi Gaziantep, Turki ini

didirikan pada akhir tahun 2012122. Kerap dikenal sebagai salah satu

penampungan yang memiliki tingkat disiplin tinggi. Hal tersebut dapat

dilihat dengan ada jam bebas pada jam 5 pagi hingga 3 sore. Sejumlah

pengungsi tentunya mengeluhkan keadaan tersebut, tetapi peraturan

119
UNHCR Turkey Syrian Refugee Daily Strep report. UNHCR Turkey, Ankara. 21 Agustus 2014.
120
Leo Dobbs dan Jonathan Clayton. “Some 23,000 refugees flee latest Syria fighting into southern
Turkey”. UNHCR News. 16 Juni 2015. Tersedia pada
http://www.unhcr.org/news/latest/2015/6/558034c59/23000-refugees-flee-latest-syria-fighting-southern-
turkey.html diakses pada 28 November 2016
121
UNHCR Turkey Syrian Refugee Daily Strep report. Op.Cit. Highlights poin kedua. Kalimat kedua.
122
Fabíola Ortiz. “Syrian Refugees Between Containers and Tents in Turkey”. Inter Press Service: News
Agency. 4 Januari 2015. Tersedia pada
http://www.ipsnews.net/2015/01/syrians-refugees-between-containers-and-tents-in-turkey/ diakses 28
November 2016
tersebut dinilai sangatlah efektif dalam melindungi dan membina

perkembangan diri setiap orang sehingga aktivitas penanganan yang

dilakukan menjadi lebih efektif dan teratur123. Dikarenakan bentuk

penampungan yang cenderung menggunakan fasilitas kontainer daripada

tenda, pemukiman ini dijuluki sebagai The Container City dan tercatat

lebih dari 15.000 pengungsi menetap disana. Di dalam kontainer tersebut

disediakan perlengkapan rumah dasar dengan pemanas air serta kompor

portabel untuk memudahkan keseharian para pengungsi Suriah124.

4. Islahiye Camp

Dikarenakan lokasinya yang dekat dengan Gunung Kurdi, kebanyakan

pengungsi di kamp ini berlatar belakang etnis Kurdi125. Setelah berdiri

secara resmi pada bulan Maret 2012, penanganan di kamp ini dinilai cukup

baik, hanya saja masih terdapat banyak kendala terhadap dinginnya

temperatur dikarenakan kamp ini berada di daerah pegunungan atau

dataran tinggi. Keadaan semakin memburuk setelah terjadi ledakan angka

pengungsi di tahun 2013. Terdapat sejumlah kendala dalam penanganan

kesehatan psikis dikarenakan kurangnya pembimbing. Seiring berjalannya

waktu, sebagai respon dari keadaan tersebut, AFAD dan UNHCR berusaha

untuk memenuhi kebutuhan tersebut bersama dengan organisasi lainnya.

123
Anne-Marie Bissada. “Building a future from the camps - Turkey's Nizip refugee camp.” (RFI : 9
Juni 2016) tersedia pada http://en.rfi.fr/europe/20160608-Building-future-Turkeys-Nizip-refugee-camp
diakses tanggal 26 November 2016
124
“DS Centre Journalism Academy travels to refugee camp in Nizip”. Daily Sabah Turkey. 12 April
2016. Tersedia pada
http://www.dailysabah.com/nation/2016/04/13/ds-centre-journalism-academy-travels-to-refugee-camp-i
n-nizip-1460486726 diakses 28 November 2016
125
Islahiye. (The Kurdish Project: 2015) tersedia pada
http://thekurdishproject.org/kurdistan-map/turkish-kurdistan/islahiye/ diaksestanggal 26 November
2016
Sejumlah selimut telah diberikan serta penambahan sarana untuk

berkegiatan sehari-hari bagi para pengungsi.126

Pada tahun 2015, UNHCR mendatangkan sejumlah bantuan untuk

memperbaiki maupun memperkuat tenda agar bertahan dalam menghadapi

empat musim, terutama di musim dingin. bantuan tersebut diantaranya

kompor, pemanas, peralatan anti air, selimut pemanas tambahan, terpal

plastik, pakaian musim dingin, serta dukungan dalam bentuk dana untuk

membeli persediaan makanan dan kebutuhan lainnya127.

5. Suruç Camp

Kamp ini didirikan pada awal tahun 2015 dan berhasil memecahkan rekor

di Turki sebagai kamp pengungsian terbesar dengan kapasitas hingga

35.000 jiwa. Pengungsi yang ditampung rata-rata berlatar belakang etnis

Kurdi, korban pecahnya serangan oleh ISIS di daerah Kobani, Suriah.128

Untuk memenuhi kebutuhan pokok para pengungsi di kamp ini, disediakan

sekitar 7.000 tenda pengungsian, pemadam kebakaran, pertokoan,

restoran, serta sekolah.

Tempat ini sengaja dirancang seolah-olah menjadi kota kecil yang

memiliki saluran air hingga pengaliran listrik yang dikelola dengan baik.

Ketika para pengungsi tiba di kamp ini, data diri mereka dimasukkan ke

dalam database computer, yang meliputi pengambilan foto dan sidik jari

sebagai prosedur awal untuk mendaftar menjadi warga pemukiman ini.

126
Brenda Stoter. “Syria Pulse”. (AlMONITOR : 2015) terdapat pada
http://www.al-monitor.com/pulse/originals/2016/05/turkey-syria-refugee-women-gain-confidence-work-
programs.html diakses tanggal 26 November 2016
127
“UNHCR trucks laden with tents arriving at Islahiye 1 refugee camp”. UNHCR Turkey report. 2015
128
Osman Orsal. “Turkey opens biggest refugee camp for 35,000 from Kobani”. Reuters World News.
26 Januari 2015. Tersedia pada
http://www.reuters.com/article/us-mideast-crisis-syria-turkey-idUSKBN0KZ0PD20150126 diakses
tanggal 26 November 2016
Para pengungsi kemudian menerima bantuan barang-barang seperti

kompor, kasur, selimut dan lainnya.129

Berdasarkan pemaparan diatas, penanganan pengungsi asal Suriah di Turki

dapat dikatakan cukup sukses karena adanya koordinasi antara pihak

pemerintah Turki dengan UNHCR. Meskipun kepemilikan serta pelaksanaan

program bantuan didominasi oleh AFAD, tetapi UNHCR tetap memberi

bantuan melalui dukungan dana, perancangan pemukiman, serta berusaha

melengkapi ketersediaan kebutuhan. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya

respon positif di lapangan, baik dari pihak pengungsi maupun masyarakat

sekitar. Adanya integrasi yang seimbang antara kerjasama dengan pihak

lainnya membuat program-program di wilayah ini berjalan cukup lancar.

● Irak

Penanganan bagi para pengungsi Suriah di Irak di pusatkan di dua provinsi

terdekat dengan perbatasan utara Suriah yaitu di provinsi Duhok dan Erbil.

Kesamaan etnis Kurdi antara para penduduk Suriah dan Irak wilayah utara,

menjadi alasan utama pelarian mereka ke negara tersebut. Irak merupakan

tujuan paling sedikit diminati oleh para pengungsi untuk menetap berdasarkan

pemaparan di Gambar 4.3. Di setiap provinsi terdapat satu kamp pengungsian

utama yaitu Kawergosk Camp (Erbil) dan Domiz Camp (Duhok)130. Selama

pembangunan hingga penanganan pemerintah Irak melakukan kerjasama

dengan UNHCR sebagai panduan operasi dalam

129
Susannah George dan Leo R. Dobbs. “Kobani refugees encouraged to move into Turkey’s newest
and largest camp”. UNHCR News. 16 Februari 2015. Tersedia di
http://www.unhcr.org/news/latest/2015/2/54e1efe39/kobani-refugees-encouraged-move-turkeys-newest-
largest-camp.html diakses pada 26 November 2016
130
“Regional Refugee & Resilience Plan 2015-16: Iraq”. 3RP Plan 2015-2
1. Kawergosk Camp

Kamp ini resmi beroperasi sejak 15 Agustus sebagai respon utama

terhadap peledakan angka pengungsi Suriah. pada tahun 2014 tercatat

13,412 menetap di pemukiman tersebut131. Fasilitas yang disediakan antara

lain ialah satu pusat pelayanan kesehatan, distribusi air bersih, dan

pemberian kebutuhan dasar terutama untuk menghadapi musim dingin di

setiap kamp132. Untuk akses makanan, pengungsi diberi kupon sebesar 19

USD per orang untuk kemudian ditukarkan dengan menu makanan yang

tersedia133.

2. Domiz Camp

Resmi beroperasi sejak 2012 dan memiliki kapasitas 2.000 jiwa, tetapi

akibat Syrian Refugees Crisis, jumlah populasi yang menetap menjadi

8.000 jiwa di tahun 2013134. Meskipun memiliki tekanan yang cukup berat

dalam memenuhi kebutuhan pokok para pengungsi, UNHCR tetap

mengoptimalkan fasilitas-fasilitas yang tersedia bersama dengan bantuan

pemerintah dan NGO setempat. Sejumlah fasilitas yang disediakan kurang

lebih memiliki kesamaan dengan Kawergosk Camp. Shelter atau kamp

sementara diberikan UNHCR kepada orang-orang yang belum terdaftar

sebagai pengungsi135.

131
“Syrian Refugees in Erbil Governorate.” Kurdistan Regional Government. Tersedia di
http://cabinet.gov.krd/p/page.aspx?l=12&p=483&h=1&t=407 diakses pada 29 November 2016
132
“Camp profile Kawergosk Refugee Camp, Erbil, KR – Iraq”. UNHCR report. 29 Desember 2013
133
“Kawergosk Camp Profile: Inter-Sector/Agency Interventions”. UNHCR Report. 2 Desember 2015
134
Christian Jepsen and the Norwegian Refugee Council. “Syrian refugees set up home in Iraq's Domiz
camp – in pictures”. The Guardian. 2 Juli 2013. Tersedia di
https://www.theguardian.com/global-development/gallery/2013/jul/02/syrian-refugees-iraq-domiz-in-pi
ctures diakses pada 29 November 2016
135
“Camp profile Domiz Refugee Camp, Dohuk, KR – Iraq”. UNHCR report. 30 Januari 2014
Penanganan di wilayah Irak masih terbilang cukup. Meskipun cukup

kewalahan dalam menangani peningkatan angka pengungsi yang sangat

signifikan, UNHCR masih terus memaksimalkan penanganan terhadap para

pengungsi setempat dari segi mekanisme perpindahan, kepengurusan status

maupun bantuan pangan.136

a. Libanon

Di akhir tahun, tercatat sekitar 1.200.000 orang terdaftar sebagai pengungsi di

Libanon oleh UNHCR. Dikarenakan Libanon tidak termasuk negara yang

menandatangani 1951 Convention relating to the Status of Refugees and its

1967 Protocol, sebagai negara yang membantu memenuhi kebutuhan

pengungsi secara resmi, menjadikan bantuan yang diterima pengungsi Suriah

di Libanon sangatlah terbatas.137

Gambar 4.2 perkembangan angka pengungsi yang melarikan diri ke


Libanon

Sumber : https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4948691/figure/f1-rmhp-9-165/

136
UNHCR Preparedness for a Refugee Influx: IRAQ. (UNHCR : October 2016)
137
Zeinab Cherri, Pedro Arcos González, dan Rafael Castro Delgado. “The Lebanese–Syrian crisis:
impact of influx of Syrian refugees to an already weak state”. (Dove Press : 14 Juli 2016) terdapat pada
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4948691/ diakses tanggal 26 November 2016
Di Libanon hanya terdapat satu kamp penampungan untuk pengungsi

Suriah, Shatila Refugee Camp yang berlokasi di Beirut. Kamp tersebut berdiri

pada tahun 1949 dengan tujuan sebagai tempat pengungsian bagi warga

Palestina. Tetapi setelah pecahnya perang Suriah di tahun 2011, kamp tersebut

menjadi sasaran bagi para pengungsi Suriah dan tercatat sekitar 10.000 –

22.000 jiwa pada tahun 2014 orang menetap disana. International Committee

of the Red Cross (ICRC) merupakan organisasi tuan rumah dari kamp Shatila.

Melihat situasi memprihatinkan di Suriah serta adanya diskusi dari pihak

UNHCR, maka diputuskan untuk menyediakan sebagian tempat untuk

pengungsi Suriah. Di dalam kamp ini para pengungsi diberikan fasilitas Blue

Card yaitu pendanaan sejumlah 130 USD setiap bulannya untuk membeli

makanan138.

Pemerintah Libanon bersikeras bahwa sampai tahun 2015 Pemerintah

Libanon tidak menyediakan ruang di negaranya untuk pembangunan kamp

pengungsian baru dikarenakan adanya kekhawatiran para pengungsi tersebut

akan mengganggu sistem kerja negara terutama di sektor perekonomian seperti

yang telah mereka alami di masa penampungan para pengungsi asal Palestina.

Keputusan ini berdampak pada banyaknya jumlah pengungsi asal Suriah yang

pada akhirnya harus membayar sewa kepada penduduk setempat untuk

menetap sementara di sejumlah kamp darurat yang didirikan UNHCR139.

Tercatat 3.545 keluarga pengungsi tinggal di permukiman informal di dekat

perbatasan140.

138
Julia Macfarlane. “Syrian refugees fear permanent exile in Lebanon's camps”.(BBC News: 3 April
2014) terdapat pada http://www.bbc.com/news/world-middle-east-26816043 diakses tanggal 26
November 2016
139
Venetia Rainey. “Lebanon: No formal refugee camps for Syrians”. (ALJAZEERA : 11 Maret 2015)
terdapat pada
http://www.aljazeera.com/news/2015/03/lebanon-formal-refugee-camps-syrians-150310073219002.htm
l diakses tanggal 26 November 2016
140
UNHCR Lebanon Shelter update 2014
Pada tahun 2015, sebagai respon terhadap kendala tersebut, langkah baru

telah dilakukan oleh UNHCR seperti pendanaan terhadap kebutuhan kesehatan,

terutama bagi anak-anak dan perempuan. Anak – anak juga sudah mulai

mengenyam kembali pendidikan dengan bantuan sejumlah organisasi yang

bekerja sama dengan UNHCR di sekolah setempat141. UNHCR tercatat

memberikan bantuan finansial terhadap 141.000 keluarga untuk membeli

kebutuhan pokok yang mendukung hingga musim dingin142. Perkembangan

penanganan kebutuhan pokok di Libanon seiring berjalannya waktu menuai

hasil positif walaupun terbilang sangat lambat.

b. Yordania

Hingga tahun 2015, terdapat 629,128 pengungsi berada di wilayah

Yordania, di dalam kamp maupun diluar kamp143. Di Yordania terdapat dua

kamp pengungsi yang dibentuk berdasarkan kerja sama antara pihak

pemerintah Yordania dan UNHCR. Hal tersebut didirikan agar para pengungsi

tidak terlantar di negeri orang serta distribusi bantuan dapat tersalurkan secara

efektif dan efisien.

a. Za’atari Camp

Dibangun oleh pemerintah Yordania yang bekerja sama dengan UNHCR

sebagai respon terhadap para korban konflik Suriah yang melarikan diri ke

Yordania. Kamp ini memiliki prestasi sebagai pemukiman pengungsi

terbesar di wilayah Timur Tengah. Resmi dibuka oleh di daerah timur kota

Mafrag, Yordania pada 28 Juli 2012 dengan kapasitas tempat untuk 60.000

jiwa144. Syrian Refugees Crisis mengakibatkan kenaikan jumlah pengungsi


141
Ibid.
142
“The Syria Crisis: 5 years Stories Countries.”. UNHCR Report. 2015
143
UNHCR: Total number of Syrian refugees exceeds four million for first time. Op.Cit. Paragraf 8
144
“The Zaatari Refugee Camp”. Live Zaatari Project. Tersedia di
http://www.livedprojects.org/zaatari-refugee-camp/ diakses 29 November 2016
Suriah di Yordania menjadi 512.000 jiwa dan 110.000 diantaranya

menetap di dalam pemukiman ini sejak tahun 2013. Kewalahan dengan

keadaan tersebut, pemerintah dan UNHCR memutuskan untuk membagi

mereka dengan memindahkan sejumlah pengungsi ke pemukiman baru

yaitu Azraq Refugee Camp145. Pada akhir tahun 2015 tercatat 79.138 jiwa

menetap di pemukiman tersebut146.

Dari segi fasilitas disediakan 9 sarana pendidikan, 27 sarana komunitas

yang menyediakan dukungan psikis dan aktivitas rekreasi, serta 2 rumah

sakit dan 9 pusat pelayanan kesehatan dengan 120 tenaga medis sukarela.

Untuk memenuhi kebutuhan makanan para pengungsi, 17.8 ton roti

disebarkan setiap harinya. Sejumlah pertokoan turut disediakan dalam

pemukiman ini sejumlah sebagai aktivitas bisnis seperti kedai kopi, salon,

supermarket, dan lainnya dalam 3.000 toko yang disediakan147. Sistem

perekonomian juga bersirkulasi di dalam kamp ini dengan cara

menggunakan bantuan dana internasional sebagai modal bisnis dan

lapangan pekerjaan. Para pengungsi juga dapat mencari pekerjaan di luar

wilayah pemukiman sebagai tambahan pendapatan untuk memenuhi

kebutuhan148.

b. Azraq Refugee Camp

Resmi dibuka pada bulan April 2014, di kota Azraq, Yordania sebagai

respon terhadap peledakan angka pengungsi di Za’atari Camp akibat

Syrian Refugees Crisis di tahun 2013. Pemukiman ini memiliki kapasitas

145
Ala’ Alrababa'h and Ghazi Jarrar. “Syrian Refugees: Time To Do The Right Thing”.
146
“Zaatari Refugee Camp: factsheet”. UNHCR. December 2015
147
Ibid.
148
Michael kimmelman. “Refugee Camp for Syrians in Jordan Evolves as a Do-It-Yourself City”. The
New York Times. 4 Juli 2014. Tersedia
https://www.nytimes.com/2014/07/05/world/middleeast/zaatari-refugee-camp-in-jordan-evolves-as-a-do
-it-yourself-city.html diakses 29 November 2016
untuk menampung sekitar 51.000 jiwa dan dapat di kembangkan hingga

130.000 sesuai dengan kebutuhan149. Pada 31 Juli 2015 tercatat sekitar

20.856 jiwa menetap secara aktif di pemukiman ini150. Dari segi fasilitas,

di pemukiman ini terdapat 2 pusat pelayanan kesehatan, 1 sarana

pendidikan formal dengan 2.500 siswa yang terdaftar, serta para pengungsi

dapat membeli kebutuhan rumah tangga di supermarket bernama Sameh

Mall menggunakan e-card sebagai pengganti uang kontan. Kebutuhan

pangan dasar juga dipenuhi dengan sistem pengiriman 4 jenis roti ke setiap

kamp di dalam pemukiman151.

Berdasarkan pemaparan diatas, penanganan pengungsi asal Suriah di

Yordania dapat dikatakan memiliki kelebihan di bidang kapasitas

penampungan dengan sejumlah fasilitas yang dapat disandingkan dengan

sejumlah kamp pengungsian yang tersedia di wilayah Turki. Kebutuhan pokok

yang cukup terpenuhi secara kooperatif serta kemampuan para pengungsi untuk

mengikuti sistem perekonomian secara mandiri di setiap pemukiman, menjadi

dukungan tersendiri bagi UNHCR dalam menyukseskan operasinya di wilayah

Yordania untuk menjamin kesejahteraan kualitas hidup pengungsi Suriah.

Secara keseluruhan sebagai akses bantuan ke setiap negara, UNHCR juga

bekerja sama dengan perusahaan telekomunikasi Affinity Bridge and Gnucooop -

PEACEGEEKS dalam rangka membuat aplikasi seluler yang dinamakan Service

Advisor. Aplikasi tersebut dibuat dengan tujuan untuk memberikan akses lebih

mudah bagi khalayak untuk mendapatkan informasi seputar lokasi bantuan

kemanusiaan, pelayanan secara online, pencarian kamp atau shelter, serta layanan

149
Yolande Knell. “Azraq: How a refugee camp is built from scratch”. BBC News. 30 April 2014.
Tersedia di http://www.bbc.com/news/world-middle-east-27205291 diakses pada 29 November 2016
150
“Azraq Camp Situation in Jordan Report – 2015 ”. UNHCR Representation in Jordan
151
“Azraq Camp Fact Sheet Report November 2015”. UNHCR
lainnya. Program ini juga bekerja sama dengan para organisasi internasional

lainnya152.

4.1.2 Upaya di bidang Pendidikan

Pentingnya pendidikan bagi anak-anak maupun remaja merupakan suatu

perhatian tersendiri bagi UNHCR. Formal maupun tidak formal, UNHCR

mengusahakan sedemikian rupa agar setidaknya mereka mengenyam suatu

pengetahuan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan mengumpulkan sejumlah

pengungsi yang memiliki latar belakang pendidikan maupun dari staf UNHCR sendiri.

Berdasarkan laporan resmi UNHCR, populasi pengungsi yang masih tergolong

umur pelajar telah bertambah sekitar 30 persen di tahun 2014 dari awal rata-rata

600.000 orang pada tahun 2011 secara keseluruhan153. Dalam penanganan di bidang

pendidikan, UNHCR tentunya tidak dapat memberikan hasil yang optimal tanpa

adanya bantuan dari organisasi lain maupun pemerintah serta NGO setempat di

karenakan bidang pendidikan bukanlah wilayah yang dikuasai oleh organisasi ini.

Pada akhirnya UNHCR melakukan sejumlah kerjasama dengan pihak-pihak setempat,

terutama dengan United Nations Children’s Fund (UNICEF) selaku organisasi lebih

berpengalaman dan cenderung menangani pemberdayaan para pelajar.

Di tahun 2014 berkat kerjasama antara UNICEF dan UNHCR yang melakukan

sejumlah pendekatan terhadap pemerintah setempat, sejumlah anak-anak di kamp

pengungsian di izinkan untuk mengenyam pendidikan secara formal di sekolah

terdekat. Program tersebut telah aktif di setiap negara tetangga Suriah yaitu Turki,

152
UNHCR App for Syrian Refugees. (DH Network : 2014)terdapat pada
http://digitalhumanitarians.com/content/unhcr-app-syrian-refugees diakses tanggal 28 November 2016
153
“UNHCR reports crisis in refugee education”. UNHCR. 15 September 2016. Tersedia di
http://www.unhcr.org/news/press/2016/9/57d7d6f34/unhcr-reports-crisis-refugee-education.html diakses
tanggal 11 Desember 2016
Lebanon, Irak, dan Yordan. Pendidikan formal juga dapat dikenyam langsung dari

kamp dengan ajaran mentor-mentor dari UNICEF maupun pemerintah.

Program pendidikan yang dilakukan UNHCR di negara tetangga Suriah antara

lain:

● Turki

Pemberian fasilitas edukasi terhadap pelajar di Turki masih mengalami

beberapa kendala. Tercatat hanya 60% pelajar di kamp pengungsian dan 14%

pelajar di luar kamp yang menerima akses terhadap edukasi, padahal Turki

dikenal sebagai negara yang menampung pengungsi asal Suriah terbanyak.

Integrasi dengan sistem pendidikan lokal menjadi penghambat utama dari

berjalannya program pendidikan tersebut. Tetapi seiring berjalannya waktu

terutama di tahun 2015 dimana Syrian Education Commission dan Turkish

Ministry of Education telah sepakat untuk memberikan sistem pendidikan yang

lebih mudah berbasis kurikulum Libya kepada pelajar kelas 9 hingga 12154.

● Irak

Bagi para pengungsi di Irak tidak tersedia fasilitas pendidikan yang

memadai di kamp pengungsian, tetapi para pelajar tetap mendapatkan

pendidikan dari institusi formal seperti 975 pelajar yang terdaftar di sejumlah

SMA di Kota Erbil, Irak. Kurikulum tentunya menjadi hambatan utama dalam

integrasi, tapi dikarenakan kesamaan latar belakang etnis kurdi bagi para

pengungsi dengan penduduk setempat, hal tersebut memberikan keuntungan

tersendiri bagi para pelajar untuk mengejar materi dengan pelajar lokal155.

● Libanon

154
Ibid.
155
Hashem Ahmadzadeh, Metin Çorabatır, Jalal Al Husseini, Leen Hashem and Sarah Wahby. “Refugee
Studies Centre : Ensuring quality education for young refugees from – Syria Mapping exercise on
quality education for young refugees from Syria (12-25 years)”. (Oxford University: September 2014)
Dalam memenuhi kebutuhan pendidikan pengungsi di negara ini, UNHCR

melakukan kerja sama dengan pemerintah, NGO dan pendonor setempat.

Kementerian pendidikan Libanon telah resmi mengeluarkan inisiatif untuk

memberikan edukasi formal terhadap para pelajar di kamp pengungsian. Salah

satu NGO internasional, Reach All Children with Education (RACE) turut

memberikan program 3 tahunan yang terdiri dari pengembangan edukasi,

memperkuat sistem pendidikan, dan pemantauan nasional sejak tahun 2014.

Libanon bekerja sama dengan UNHCR mengenalkan Accelerated Learning

Programme (ALP) untuk 10.000 pelajar dengan tujuan agar mereka dapat

mengejar ketinggalan dan mengimbangi materi edukasi di Libanon156.

● Yordania

UNHCR telah bekerja sama dengan pemerintah setempat untuk

memberikan bantuan terhadap pengembangan pendidikan pelajar yang

memiliki latar belakang sebagai pengungsi Suriah. Hal tersebut telah disetujui

dan pemerintah telah membantu pemberian kemudahan dalam integrasi sistem

bagi para pelajar untuk mengenyam pendidikan di institusi formal mereka.

Meskipun tidak dapat dipungkiri kenaikan angka pengungsi cukup memberikan

tekanan terhadap sistem edukasi publik di Yordania.

Di kamp pengungsi, sejumlah remedial maupun kelas cepat untuk

mengejar ketinggalan materi diberikan oleh pihak UNHCR dan pemerintah

dengan tujuan agar para pelajar dapat mengimbangi materi yang sesuai dengan

umur mereka serta menerima cara menghadapi kesulitan materi dan bahasa157.

156
Ibid.
157
Aice Beste. “Education provision for Syrian refugees in Jordan, Lebanon and Turkey – Preventing a
Lost Generation”. (UNU-GCM Intern: Juli 2015)
Berdasarkan paparan diatas, UNHCR kerap melakukan pendekatan terhadap

Turki, Irak, Libanon, Yordania untuk memberikan izin bagi para pengungsi Suriah

yang tergolong masih pelajar meneruskan pendidikannya di sekolah formal. Terdapat

sejumlah program dasar resmi yang diberikan UNHCR sebagai penunjang pendidikan

para pengungsi yaitu:

● Inisiatif Mandiri

Dalam program ini UNHCR menyediakan dukungan secara langsung terhadap

pendidikan primer maupun sekunder bagi para pelajar. Hal tersebut dapat

berupa bantuan integrasi antara pengungsi dengan pelajar lokal secara formal

maupun secara binaan di kamp masing-masing. Pembinaan pendidikan di kamp

mendatangkan pengajar yang memiliki standar pengajaran secara resmi.

Program beasiswa juga diberikan salah satu bantuan langsung pendanaan

terhadap para pengungsi untuk belajar sesuai dengan lokasi yang mereka pilih,

rata-rata berada di wilayah setempat atau dekat pemukiman158.

● Beasiswa Sistem Edukasi

Program ini cenderung digunakan untuk para pelajar yang berada di jenjang

perguruan tinggi dimana UNHCR membantu mengurus proses integrasi pelajar

ke dalam sistem edukasi universitas setempat serta pendanaan selama menimba

ilmu di institusi formal terkait159.

4.1.3 Upaya di bidang Kesehatan

Pada bidang kesehatan, UNHCR melakukan upaya semaksimal mungkin

dengan melakukan kerja sama dengan instalasi medis stempat maupun organisasi

internasional yang bergerak dibidang kesehatan seperti IFRC maupun WHO. Sejauh

158
Sarah Dryden-Peterson. “Refugee Education: Global Review”. UNHCR. (Geneva, Switzerland:
November 2011)
159
Ibid.
ini UNHCR dapat menyediakan sejumlah pelayanan kesehatan dasar seperti imunisasi

bagi anak-anak maupun pengecekan kesehatan umum. Akan tetapi tidak semua tempat

dapat terpenuhi akibat meledaknya angka pengungsi tahun 2013 yang mengakibatkan

meningkatnya kebutuhan kesehatan secara drastis.

UNHCR mengadakan sejumlah penyuluhan di setiap kamp pengungsian untuk

memberikan himbauan mengenai pentingnya kebersihan sanitasi dan pengaturan

nutrisi dalam kondisi apapun. Hal tersebut dilakukan dengan harapan para pengungsi

dapat menjaga maupun mempertahankan kesehatan tubuhnya. dengan lebih baik.

Untuk mempermudah penanganan di bidang kesehatan,UNHCR mengaplikasikan

program Water, Sanitation, and Hygiene (WaSH) bekerja sama dengan UNICEF

sebagai landasan dalam membangun dan menjaga kualitas air dan kebersihan kamp

agar kesehatan para pengungsi dapat terjaga dengan baik. Program ini juga

diperuntukkan kepada para pengungsi dengan cara pembinaan dengan tujuan

membentuk kesadaran diri akan pentingnya menjaga kesehatan dalam situasi apapun

terutama di wilayah kamp160.

Kesehatan psikologis juga turut menjadi pertimbangan bagi UNHCR. Kondisi

mental yang stabil tentunya dapat menjadi bantuan tersendiri bagi setiap individu

untuk bertahan hidup dan mengembangkan dirinya. UNHCR bersama dengan WHO

menerapkan penanganan berlandaskan mhGAP Humanitarian Intervention Guide yang

berisikan prosedur penanganan kesehatan psikologis para pengungsi yang cenderung

mengidap trauma akibat konflik161.

Program kesehatan yang dilakukan UNHCR di negara tetangga Suriah antara

lain:

● Turki

160
“2014 Syria Regional Response Plan: WASH”. UNHCR. 2014
161
“mhGAP Humanitarian Intervention Guide (mhGAP-HIG)”. UNHCR & WHO. 2105
Sejak bulan Oktober 2013 tercatat hampir sekitar 1.6 juta pelayanan rawat jalan

disediakan kepada setiap pengungsi di kamp-kamp pengungsian yang tersedia.

Sekitar 300.000 kasus dirujuk ke rumah sakit di berbagai kota dan lebih dari 28.000

operasi bedah dilakukan dan 6.100 kelahiran tercatat di rumah sakit. Hal tersebut

dapat terwujud berkat adanya tanggapan positif dari Departemen Kesehatan dan

pemerintah Turki. UN juga turut memberikan sejumlah dukungan teknis seperti

pedoman, protokol maupun instrumen pendukung bagi para tenaga medis yang

mengurusi para pengungsi asal Suriah. Bantuan kesehatan bagi para korban dan

pengungsi juga diberikan di daerah perbatasan Turki-Suriah. Pada tahun 2015

tercatat sekitar 400.000 pengungsi perempuan menerima dukungan psikologis,

144.000 peralatan kebersihan .Tiga mobil ambulans juga disediakan di daerah

sekitar perbatasan sebagai sarana transportasi untuk memobilisasikan pasien ke

sejumlah instalasi kesehatan terdekat 162.

● Irak

Akibat peledakan angka pengungsi, pada 15 Agustus 2015 layanan vaksinasi

campak dan pemberian suplemen vitamin A diberikan secara massal terhadap para

pengungsi yang menetap di Irak. Meskipun vaksinasi massal (polio / campak)

termasuk cacingan dan Vitamin A bisa mencapai lebih dari 90 persen, layanan

imunisasi rutin perlu dirancang ulang memaksimalkan sirkulasi kegiatan vaksin dan

penguatan daya tahan tubuh. Sejumlah kamp-kamp kesehatan bagi para pengungsi

yang berada diluar maupun didalam kamp turut disediakan sebagai hasil kerja sama

UNHCR dengan NGO maupun pemerintah setempat. Pelayanan yang diberikan

antara lain pengecekan kesehatan umum dan mental163. Meskipun dalam

menjalankan upaya pemenuhan kebutuhan kesehatan menghasilkan prestasi yang

cukup memuaskan di Irak, tetapi UNHCR masih mengalami kendala di bidang dana

162
“Regional Refugee & Resilience Plan 2015-16”. UNDG. 2015.
163
2014 Syria Regional Response Plan. Op.Cit. hal. 12
serta keamanan dikarenakan adanya beberapa aktivitas konflik yang dilakukan di

perbatasan Suriah-Irak antara pihak pemerintah dengan kaum etnis Kurdi hingga

tahun 2015, seperti meledaknya beberapa bom di wilayah kota Erbil. Hal tersebut

tentunya membuat kendala tersendiri dalam distribusi kebutuhan kesehatan bagi

para pengungsi.

● Libanon

Peledakan populasi pada tahun 2013 telah memberikan sejumlah tekanan

terhadap fasilitas kesehatan di Libanon, milik pemerintah maupun UNHCR. Pada

akhir tahun 2013 sejumlah layanan vaksinasi terhadap penyakit polio dan campak

terhadap anak-anak secara massal disediakan oleh Departemen Kesehatan Libanon,

UNHCR, maupun WHO. Tercatat sekitar 730.000 anak divaksinasi campak dan

231.057 anak-anak menerima vaksin polio oral dan program imunisasi rutin, serta

769 kasus penyakit kulit diberi sejumlah pengobatan. Lebih dari 14.000 orang

Suriah mendapat dukungan psikososial164. Layanan kesehatan lainnya seperti

pengecekan berkala dan imunisasi juga turut dilakukan di sekitar shelter UNHCR di

daerah dekat perbatasan165. Di tahun 2015, UNHCR berhasil mendanai 182.000

pusat pelayanan kesehatan dan 60.222 rumah sakit untuk membantu pelayanan

kesehatan para pengungsi Suriah, menyalurkan aktualisasi program WaSH kepada

80.000 pengungsi di sejumlah shelter166.

● Irak

Akibat peledakan angka pengungsi, pada 15 Agustus 2015 layanan vaksinasi

campak dan pemberian suplemen vitamin A diberikan secara massal terhadap para

pengungsi yang menetap di Irak. Meskipun vaksinasi massal (polio / campak)

termasuk cacingan dan Vitamin A bisa mencapai lebih dari 90 persen, layanan

164
“Syrian refugee and Affected Host Population Health Access Survey in Lebanon.” LHAS Survey
Report. Juli 2015
165
“Syrian Refugees in Lebanon Snapshots”. UNHCR Lebanon report. Januari – Februari 2015
166
The Syria Crisis report 2015. Op.Cit. Lebanon Section
imunisasi rutin perlu dirancang ulang memaksimalkan sirkulasi kegiatan vaksin dan

penguatan daya tahan tubuh. Sejumlah kamp-kamp kesehatan bagi para pengungsi

yang berada diluar maupun didalam kamp turut disediakan sebagai hasil kerja sama

UNHCR dengan NGO maupun pemerintah setempat. Pelayanan yang diberikan

antara lain pengecekan kesehatan umum dan mental167.

● Yordania

Banyak hal telah diraih dalam fasilitas kesehatan bagi para pengungsi di

Yordania sejak Januari 2013. Departemen Kesehatan milik pemerintah juga turut

membantu memberikan kemudahan akses kesehatan terutama kepada para

pengungsi yang berada diluar kamp. Bagi para pengungsi yang berada di kamp,

disediakan sebuah sistem informasi yang efektif dan efisien untuk menangani

apabila terjadi wabah penyakit. Indikator mingguan untuk pengecekan kesehatan

juga disediakan khusus. Sebagai respon terhadap Syrian Refugees Crisis pada tahun

2013, sekitar 313 fasilitas kesehatan disediakan sejak bulan Juni sebagai bentuk

kerja sama penanganan massal oleh UNHCR, WHO dan Departemen Kesehatan

Yordania. Anak-anak menjadi perhatian utama dalam operasi tersebut Perawatan

kesehatan ternyata tidak hanya disediakan untuk para pengungsi tetapi juga para

korban yang belum terdaftar sebagai pengungsi melalui sejumlah kerjasama dengan

jaringan NGO seperti CARITAS, Jordan Health Aid Society (JHAS), dan Save The

Children Jordan. Kesehatan mental juga menjadi perhatian dan ditangani oleh

UNHCR dan UNICEF melalui program Mental Health and Psycho-social

(MHPSS), disediakan sekitar 600 layanan dari tenaga medis berpengalaman. IFRC

juga turut embantu dalam penyediaan peralatan kesehatan. Pelayan tersebut terus

dilanjutkan hingga tahun 2015168.

167
2014 Syria Regional Response Plan. Op.Cit. hal. 12
168
“2014 Syria Regional Response Plan”. UNHCR. 2014
4.2 Kerjasama UNHCR dengan Organisasi Lain dalam menangani pengungsi

Untuk mengoptimalisasikan program penanganan Syrian Refugee Crisis,

UNHCR melakukan kerjasama bersama organisasi-organisasi lain sesuai dengan

konsep Partnership untuk saling melengkapi upaya masing-masing pihak. Sejumlah

organisasi tersebut juga memiliki tujuan yang sama yaitu mensejahterakan,

mengurangi angka, serta menyelesaikan permasalahan pengungsi. (konsep kemitraan)

4.2.1 United Nations Children’s Fund (UNICEF)

Kerjasama yang terjalin antara UNHCR dan UNICEF berfokus di bidang

kesejahteraan serta pemberdayaan manusia, terutama remaja dan anak-anak

sebagai pihak yang paling dirugikan dalam situasi konflik. Tidak sedikit dari

mereka yang menjadi pengungsi dalam keadaan masih dibangku sekolah dan

kuliah akibat konflik. Kehilangan anggota keluarga seperti orang tua dan sanak

saudara turut menjadi faktor utama kurangnya bimbingan terhadap mereka.

Kondisi memprihatinkan tersebut tentunya menjadi sebuah perhatian global dan

sejumlah organisasi internasional.

Keberadaan orang dewasa sebagai panutan anak-anak juga turut

diperhatikan. Maka dari itu para orang dewasa juga harus diberi pembinaan agar

mampu membimbing anak-anak untuk tetap berkembang dalam keadaan apapun.

Berikut sejumlah upaya yang dilakukan oleh UNHCR dan UNICEF dalam

kerjasamanya, yaitu :

● Water, Sanitation and Hygiene (WaSH)

Merupakan sebuah program yang bertujuan untuk memastikan bahwa

para pengungsi, khususnya anak-anak dan perempuan memiliki akses yang


memadai terhadap fasilitas air bersih, sanitasi, dan kebersihan169. UNHCR

dan UNICEF tidak hanya membangun sejumlah sarana WaSH, namun juga

memberikan pembelajaran bagi para pengungsi di kamp pengungsian

untuk mempertahankan kualitas kehidupan mereka sehari-hari. Kegiatan

ini juga difokuskan kepada sejumlah pengungsi yang menetap di luar

kamp atau berencana membangun kehidupan baru diluar kamp, terutama

terhadap anak-anak yang dinilai rentan terkena penyakit.

Upaya serta pengetahuan yang diberikan antara lain mengeksplorasi

cara-cara inovatif untuk mengakses air bersih (Water) yang berkualitas

serta berinfrastruktur yang tahan iklim. Di bidang sanitasi (Sanitation),

memfasilitasi inisiatif masyarakat yang dibina untuk membangun,

memelihara dan menggunakan toilet dasar. Hal ini untuk mencegah adanya

praktek "buang air besar terbuka". Kemudian untuk kebersihan (Hygiene),

memelihara praktik kebersihan yang baik, terutama mencuci tangan

dengan sabun. Walaupun kedengarannya sederhana, tindakan ini sangat

penting untuk mencegah penyakit dan kesehatan anak-anak170.

● Kesehatan dan Nutrisi

Program ini memastikan adanya akses kesehatan yang memadai terhadap

para pengungsi. UNHCR dan UNICEF bekerjasama dalam menyampaikan

pentingnya kesehatan dengan perlindungan gizi yang cukup demi

pembangunan masyarakat serta mencegah adanya mortalitas (angka

kematian) dan morbiditas (persebaran penyakit)171.

169
Letter of Understanding (LoU). “Guidance for Technical Areas: for the development of a country
work plan and joint plan of action”. UNICEF – UNHCR Cooperation in Refugee Operations. Januari
2015. Hal. 2
170
Water, Sanitation and Hygiene. “About WASH.”. UNICEF. Terdapat pada
https://www.unicef.org/wash/3942_3952.html diakses 28 Oktober 2016.
171
Letter of Understanding (LoU) UNICEF - UNHCR. Loc.Cit. hal. 7
Sejumlah upaya yang dilakukan antara lain seperti pemberian pengetahuan

soal gizi terutama untuk anak-anak maupun ibu hamil, imunisasi untuk

anak-anak, penanganan maupun pengecekan potensi Human

Immunodeficiency Virus (HIV), serta pemberian bantuan khusus untuk

orang-orang yang telah lanjut usia.

● Pendidikan

Perlindungan terhadap anak-anak tidak hanya dilakukan secara eksternal

dengan sejumlah peraturan maupun undang-undang, akan tetapi juga

secara internal yang merupakan cara terefektif. Adanya kesadaran diri

serta pengetahuan pribadi tentunya menjadi suatu tameng tersendiri bagi

para remaja dan anak-anak. Berkaca pada hal tersebut, UNHCR dan

UNICEF memastikan meskipun dalam situasi konflik dan sebagai

pengungsi di kamp pengungsian maupun diluar, mereka tetap

mendapatkan haknya untuk mengenyam pendidikan yang sepadan.

Upaya yang diberlakukan antara lain pembinaan bahasa regional dimana

mereka diajarkan untuk memahami bahasa yang digunakan di daerah

tempat mereka tinggal secara permanen maupun temporer. Hal tersebut

dilakukan sebagai langkah dasar bagi mereka untuk kelak memahami

pendidikan yang diberikan oleh institusi pendidikan negara terkait (sistem

pendidikan lokal setempat). Diberikan juga sejumlah pembinaan lain

dengan cakupan pendidikan akselerasi, pendekatan inovatif sesuai dengan

tingkatan pendidikan terakhir serta pemberian akreditasi maupun

sertifikasi yang sepadan172. UNHCR dan UNICEF juga melakukan

sejumlah langkah advokasi maupun kerjasama dengan pemerintah serta

172
Ibid. halaman 18
institusi pendidikan setempat guna memfasilitasi kebutuhan pendidikan

pengungsi.

● Perlindungan Anak

Program ini diberlakukan secara eksternal dengan dasar hukum untuk

melindungi anak-anak dan remaja. Dalam situasi konflik seperti ini

tentunya rentan terjadi potensial kekerasan terhadap anak, eksploitasi,

pelecehan serta sejumlah aktivitas negatif lainnya.

Upaya yang dilakukan antara lain penguatan jaringan komunitas

pengungsi serta pembinaan mengenai perlindungan kepada orang dewasa

terutama yang memiliki keluarga untuk saling menjaga dan melaporkan

apabila ada tindakan yang dinilai tidak benar. Penanaman paham Hak

Asasi Manusia (HAM) bagi anak-anak maupun orang dewasa, serta

sejumlah pengawasan dari pihak UNHCR dan UNICEF terhadap para

pengungsi di kamp maupun di luar173.

Kerjasama antara UNHCR dan UNICEF dapat dikatakan sangat

membantu secara spesifik yaitu bagi anak-anak pengungsi asal Suriah.

Terjaminnya masa depan mereka meskipun berada dalam situasi konflik

tentunya menjadi salah satu dorongan untuk tidak menyerah terhadap keadaan

serta membuka peluang untuk memiliki kualitas hidup yang lebih baik sejak

dini.

4.2.2 World Health Organization (WHO)

173
Ibid. Halaman 25
Kerjasama yang terjalin antara UNHCR dan WHO berfokus di bidang

kesehatan psikis. Bagi para pengungsi, konflik turut menjadi pukulan tersendiri

bagi mereka, terutama secara mental. Berada dalam keadaan tidak berdaya

membuat mereka kehilangan arah akan kehidupan mereka sendiri di hari esok,

terutama bagi yang memiliki keluarga. Paham seperti ini secara tidak langsung

berpengaruh terhadap psikis anak untuk turut menyerah terhadap situasi mereka.

Depresi, stress pasca-trauma, kesedihan berkepanjangan maupun

kegelisahan merupakan sekian contoh nyata gangguan psikis yang dialami para

pengungsi. Kondisi tersebut dinilai dapat merusak mental dan berpengaruh

dalam kehidupan sehari-hari secara temporer maupun permanen apabila tidak

ditangani dengan baik. Dampak terberat dialami oleh orang-orang dengan

kondisi mental yang berat sejak awal seperti memiliki cacat intelektual, epilepsi,

dan psikosis174.

Sebagai respon terhadap situasi diatas, UNHCR Division of Programme

Support and Management: Public Health Section selaku penanggung jawab di

bidang kesehatan membuat suatu panduan yaitu Operational Guidance: Mental

Health & Psychosocial Support Programming for Refugee Operations (MHPSS)

pada tahun 2013. Panduan tersebut guna memberikan cara-cara menghadapi

stress psikis yang dialami seperti rasa sedih dan ketakutan yang cukup

berpengaruh dalam hidup mereka akibat pengalaman yang dialami dalam

konflik175. Sejumlah dukungan serta pengarahan diberikan dari para anggota

UNHCR yang diberikan tanggung jawab dalam penanganan tersebut sesuai

174
Media Centre. “WHO/UNHCR issue new guide on mental health in humanitarian emergencies”.
World Health Organization.terdapat
http://www.who.int/mediacentre/news/notes/2015/mental-health-in-emergencies/en/ diakses 28 Oktober
2016. Paragraf 4
175
UNHCR. Introduction to Operational Guidance: Mental Health & Psychosocial Support
Programming for Refugee Operations. (Geneva, Switzerland : Division of Programme Support and
Management Public: Health Section. 2013)
prosedur panduan. Pengungsi juga turut diberikan cara menanggapi situasi

dimana dapat memicu gangguan psikis sebelumnya sehingga dapat mencari jalan

keluar secara logis demi bertahan hidup. Untuk memaksimalkan penanganan,

MHPSS dibagi atas dua bagian utama yaitu MHPSS approach dan MHPSS

interventions. MHPSS approach memberikan respon kemanusiaan dengan cara

yang bermanfaat bagi kesehatan mental dan kesejahteraan psikososial

pengungsi. Pendekatan ini dinilai relevan untuk semua aktor yang terlibat dalam

bantuan dan perlindungan kepada para pengungsi. MHPSS interventions terdiri

dari kegiatan dengan tujuan utama untuk meningkatkan kesehatan

mental dan kesejahteraan psikososial pengungsi dan biasanya dilaksanakan di

sektor kesehatan, perlindungan dan pendidikan176.

Dari pihak WHO, mereka melihat bahwa kesehatan psikis memerlukan

perhatian serta penanganan yang tepat sebagai salah satu bagian penting bagi

manusia dalam mengembangkan kualitas hidup maupun perlindungan internal

individu. Berdasarkan hal tersebut diciptakanlah suatu program khusus

penanganan psikis yaitu Mental Health Gap Action Programme (mhGAP).

Program ini secara resmi berdiri sejak tahun 2008 dan tujuannya untuk

mengatasi kurangnya perawatan terhadap orang-orang yang menderita gangguan

psikis, neurologis, serta dibawah pengaruh obat-obatan177. Negara-negara dunia

ketiga turut menjadi fokus program ini dikarenakan kurangnya dana serta

pengetahuan pentingnya kesehatan mental dinilai kurang oleh pihak WHO.

Demi berjalannya program tersebut WHO membuat suatu panduan

penanganan psikis yaitu mhGAP Intervention Guide: for mental, neurological

and substance use disorders in non-specialized health settings (mhGAP-IG)

176
Ibid. The role of UNHCR in addressing the mental health and psychosocial problems section. Hal. 12
177
Dr. Margareth Chan. foreword to mhGAP Intervention Guide for mental, neurological and substance
use disorders in non-specialized health settings. (Switzerland : WHO Press. 2010)
pada tahun 2010. Panduan tersebut diperuntukkan bagi para penyedia layanan

medis di badan pusat kesehatan atau anggota tim klinis rumah sakit maupun

sejumlah klinik terkait. Para penyedia layanan medis tersebut antara lain dokter

umum, dokter pribadi, perawat, petugas klinis, serta penyedia perawatan

kesehatan non-spesialis dengan adaptasi yang diperlukan178.

Dengan adanya kesamaan pandangan akan pentingnya kesehatan psikis

manusia, UNHCR dan WHO memutuskan untuk saling bekerja sama dalam

penanganan kesehatan psikis para pengungsi. Bukti nyata dari kerjasama

tersebut adalah dikeluarkannya sebuah panduan resmi yaitu mhGAP

Humanitarian Intervention Guide: Clinical Management of Mental,

Neurological and Substance Use Conditions in Humanitarian Emergencies

(mhGAP-HIG) pada tahun 2015179. mhGAP-HIG merupakan hasil elaborasi

antara MHPSS UNHCR (2013) dan mhGAP-IG WHO (2010) .Secara

keseluruhan teknis maupun prosedural penanganan sebagian besar serupa

dengan mhGAP-IG, yang membedakan adalah mhGAP-HIG secara keseluruhan

berfungsi sebagai suatu alat praktis yang bertujuan untuk mendukung fasilitas

kesehatan umum di daerah yang terkena keadaan darurat kemanusiaan dalam

penanganan kesehatan psikis. Secara prinsip, mhGAP-HIG menggunakan

unsur-unsur MHPSS sebagai penyesuaian antara teknis yang digunakan dengan

keadaan di lapangan serta pengetahuan tentang pengungsi.

Dikarenakan WHO dan UNHCR merupakan anggota dari Inter-Agency

Standing Committee (IASC), mhGAP-HIG juga memiliki beberapa unsur dari

IASC Guidelines on Mental Health and Psychosocial Support in Emergency

178
Ibid. Introduction section.
179
Dr. Margareth Chan. foreword to mhGAP Humanitarian Intervention Guide: Clinical Management of
Mental, Neurological and Substance Use Conditions in Humanitarian Emergencies (Switzerland :
WHO Press. 2015)
Settings (2008)180. Panduan tersebut memaparkan sejumlah penjelasan rinci

tentang penanganan dasar terhadap kesehatan psikis manusia dalam situasi

darurat atau kritis dan digunakan sebagai dasar pembuatan panduan penanganan

milik pribadi UNHCR (MHPSS) maupun WHO (mhGAP-IG).

Sejumlah upaya yang dilakukan sesuai dengan panduan tersebut antara

lain ialah :

● Pemberian saran maupun pembinaan terhadap para manajer klinik dan

kepala fasilitas-fasilitas kesehatan yang tersedia, seperti di kamp

pengungsian atau sejumlah shelter darurat di Suriah.

● Pembinaan kepada setiap tim klinis dan penanganan prosedural terhadap

para penderita Acute Stress (ACU), Grief (GRI), Moderate-severe

Depressive Disorder (DEP), Post-traumatic Stress Disorder (PTSD),

Psychosis (PSY), Epilepsy/Seizures (ID), Harmful Use of Alcohol and

Drugs (SUB), Suicide (SUI), dan Other Significant Mental Health

Complaints (OTH).

● Memberlakukan prinsip-prinsip umum keperawatan untuk situasi darurat

kemanusiaan yang yaitu penyediaan dukungan multi-sektoral sesuai

dengan IASC Guidelines on Mental Health and Psychosocial Support in

Emergency Settings (2008), Operational Guidance: Mental Health &

Psychosocial Support Programming for Refugee Operations (MHPSS,

2013) dan pendukung penanganan situasi darurat lainnya181.

● Disertakan sejumlah instruksi menghadapi dan mengurangi rasa stress.

180
Panduan resmi terhadap penanganan kesehatan psikologis manusia. Tujuan utama dari pedoman ini
adalah untuk memungkinkan para pekerja kemanusiaan dan masyarakat untuk merencanakan,
membangun dan mengkoordinasikan satu set tanggapan multi-sektoral minimum untuk melindungi dan
meningkatkan kesehatan mental masyarakat dan kesejahteraan psikososial di tengah-tengah keadaan
darurat. ( Introduction to IASC Guidelines on Mental Health and Psychosocial Support in Emergency
Settings. Geneva: IASC. 2008)
181
Op.Cit. mhGAP Humanitarian Intervention Guide: Clinical Management of Mental, Neurological
and Substance Use Conditions in Humanitarian Emergencies. Hal: 1 (introduction)
Program yang disediakan oleh UNHCR dan WHO tersebut dapat

dikatakan sangat membantu bagi para pengungsi asal Suriah. Tekanan konflik

yang telah berjalan secara kompleks dan melelahkan dari tahun 2011 – 2015

tentunya menjadi suatu beban mental tersendiri bagi tiap individu yang dapat

berpengaruh ke pihak sekitar. Dengan adanya penanganan-penanganan tersebut,

para pengungsi diharapkan memiliki mental yang lebih sehat dan kuat untuk

menghadapi situasi mereka serta mempertahankan hidup mereka dengan lebih

baik.

4.2.3 International Committee of the Red Cross (ICRC)

Kerjasama yang telah terjalin antara UNHCR dan ICRC selama lebih dari

50 tahun berfokus di bidang penanganan kemanusiaan terhadap para pihak yang

mengalami situasi penganiayaan secara luas, perang, maupun ketidakstabilan

politik dalam wilayah tempat tinggalnya dengan International Humanitarian

Law182 sebagai landasan utama. Sebagai mitra lapangan, kedua organisasi ini

beroperasi dengan cara saling melengkapi untuk membantu para pengungsi

seperti mempertahankan dialog terstruktur dan koordinasi terkait dengan

perlindungan dan bantuan terhadap pengungsi, pencarian anggota keluarga,

netralitas dan keamanan kamp, waspada serta pembersihan ranjau-ranjau perang

maupun senjata konflik, dan pelatihan tentang hukum humaniter internasional

dan pengungsi183. ICRC juga melakukan sejumlah aktivitas langsung pada lokasi

konflik untuk membantu pengobatan serta menolong para korban konflik yang

182
Merupakan hukum yang berisikan seperangkat peraturan yang berasaskan kemanusiaan untuk
membatasi dampak dari konflik bersenjata. Hukum ini bertujuan untuk melindungi orang-orang yang
memang tidak dan yang sudah tidak lagi berpartisipasi dalam konflik, serta membatasi cara maupun
metode dalam peperangan. International Humanitarian Law juga dikenal sebagai hukum perang atau
hukum konflik bersenjata. (ICRC. “What is International Humanitarian Law?”. Advisory Service: on
International Humanitarian law. 2004)
183
UNHCR. “Partnership: International Committee of the Red Cross.”. terdapat pada
http://www.unhcr.org/international-committee-of-the-red-cross.html diakses 25 november 2016
tidak memiliki tempat berlindung maupun terpencar dari keluarganya. Setelah

para korban tersebut dikumpulkan, UNHCR kemudian membantu para korban

tersebut sebagai perpanjangan bantuan dari ICRC.

Upaya dari kerjasama antara UNHCR dan ICRC sejauh ini lebih terlihat di

dua negara terdekat Suriah yaitu di Libanon dan Irak. Di Libanon, dilihat skala

krisis pada tahun 2013, ICRC memberikan bantuan tambahan kepada UNHCR

dengan harapan untuk menutup kekurangan persedian di sejumlah kamp

pengungsian Libanon. Bentuk bantuan yang diserahkan seperti pangan, sandang,

serta bantuan tenaga teknisi yang bekerjasama dengan wilayah setempat untuk

meningkatkan ketersediaan akan kebutuhan air. UNHCR juga turut membantu

ICRC dalam menyatukan sejumlah pengungsi dengan keluarganya yang

terpencar akibat konflik184. Hal yang sama juga diberlakukan di Irak dengan

situasi pengungsi yang kebanyakan merupakan orang Kurdi. Fokus bantuan di

wilayah Irak lebih kepada para korban yang berada dari daerah terpencil di utara

Suriah yang rentan konflik. Para pengungsi kemudian dibawa ke kamp UNHCR

wilayah Irak. ICRC juga memberikan sejumlah bantuan penyedian pusat

rehabilitasi fisik melalui penyediaan material dan pelatihan medis pribadi serta

peningkatan kualitas fasilitas air, sanitasi, kesehatan lainnya, serta infrastruktur

detention185. Di Irak terdapat beberapa keluarga yang dikepalai oleh perempuan

dikarenakan akibat situasi yang dialami selama konflik, mereka turut menjadi

salah satu fokus utama pembinaan dari kedua organisasi186.

4.2.4 International Federation of Red Cross and Red Crescent (IFRC)

184
Jürg Montani. “Lebanon: Syrian Refugee Influx Causes Immense Challenges.”. interviewed by
ICRC. 22th August 2013
185
Lokasi dalam kamp dimana sejumlah orang yang belum lulus pendataan sebagai pengungsi
dikumpulkan untuk bertempat tinggal secara temporer.
186
Syria Regional Refugee Response: Inter-agency Information Sharing Portal. International Committee
of the Red Cross - Iraq (ICRC Iraq). (3RP 2016 Mid-Year Report: UNHCR. 2016) dapat diakses
https://data.unhcr.org/syrianrefugees/partner.php?OrgId=61 pada 25 november 2016
IFRC dan UNHCR memiliki hubungan kemitraan yang cukup lama

bersamaan dengan ICRC. Kerjasama yang terjalin berfokus di bidang upaya

untuk memperbaiki keadaan dalam kondisi yang paling rentan,

mengkoordinasikan bantuan darurat secara internasional terhadap para korban

bencana alam maupun buatan manusia. Krisis kesehatan serta orang-orang yang

terpaksa terlantar juga turut menjadi perhatian187.

Dalam kasus permasalahan pengungsi Suriah, bentuk kerjasama yang

dilakukan oleh kedua organisasi tersebut cenderung ke bidang asistensi terhadap

situasi darurat serta kondisi medis secara umum bagi para pengungsi. Bentuk

upaya antara lain seperti melakukan bantuan darurat yang efektif terutama di

daerah shelter darurat bagi para pengungsi, dan pengarahan kesiapan serta siaga

konfrontasi konflik. Pada kamp pengungsian, IFRC membantu beberapa

kebutuhan untuk melengkapi seperti respon ICRC terhadap Syrian Refugee

Crisis pada tahun 2013 yaitu ketersediaan pangan, air, barang bantuan lainnya,

perawatan medis, serta dukungan psikososial kepada para pengungsi188. IFRC

juga memberikan sejumlah pengarahan terhadap staff UNHCR yang terlibat agar

dapat menangani secara baik dan tepat di situasi darurat, terutama di

shelter-shelter darurat di perbatasan serta wilayah sekitar lokasi konflik.

4.2.5 International Organization for Migration (IOM)

Kerjasama yang terjalin antara UNHCR dan IOM berfokus di bidang

migrasi atau perpindahan pengungsi yang manusiawi dan tertib demi

kepentingan bersama, serta memberikan bantuan kemanusiaan kepada para

187
UNHCR. “Partnership: International Federation of Red Cross and Red Crescent Societies”. terdapat
pada http://www.unhcr.org/international-committee-of-the-red-cross.html diakses 25 november 2016
188
Ibid.
migran yang membutuhkan189, dalam kasus ini para pengungsi serta orang

terlantar akibat perang Suriah.

Bentuk upaya yang dilakukan antara dua organisasi cenderung saling

melengkapi seperti dalam mekanis prosedur pembuatan pemukiman bagi para

pengungsi asal Suriah di beberapa negara tetangga maupun di wilayah luar

lainnya untuk sementara hingga konflik mereda. Pemerintah Upaya tersebut

dibentuk dalam sebuah program bernama Emerging Resettlement Countries

Joint Support Mechanism (ECRM).

Terdapat 3 tujuan utama dalam menjalankan program tersebut yaitu :

1. Menyediakan mekanisme untuk pemerintah, sponsor swasta, serta para

pendonor bantuan untuk memanfaatkan keahlian mereka dan turut

berkontribusi untuk mendukung pemukiman kembali pengungsi di seluruh

dunia. Hal tersebut dapat dilakukan baik secara strategis dan terkoordinasi

dalam bidang finansial maupun teknis.

2. Membantu negara-negara baru yang memberikan tempat pemukiman bagi

para pengungsi untuk mempertahankan keberlanjutan program pemukiman

mereka. Hal tersebut seperti membantu mengidentifikasi daerah rentan

yang membutuhkan dukungan dari segi finansial maupun teknis.

3. Menyalurkan serta mendukung persebaran pengetahuan akan keahlian

teknis maupun praktek yang baik dan tepat di negara-negara pemukiman.

Hal tersebut ditujukan kepada para organisasi internasional, LSM

internasional, aktor pemerintah, dan non-pemerintah190.

189
O. Khelifi. “International Organization for Migration.” UNHCR. Diakses dari
http://www.unhcr.org/international-organization-for-migration.html pada tanggal 25 November 2016

190
UNHCR and IOM. Emerging Resettlement Countries Joint Support Mechanism
(ECRM) . 2016
Demi tercapainya tujuan diatas dibutuhkan mekanisme yang sesuai serta

sumberdaya yang mendukung. Mekanisme tersebut dibagi menjadi dua, yaitu :

● Financial Support

Bentuk mekanisnya adalah pembatasan pemberian dana secara langsung

dengan alasan untuk mendukung pelatihan sebelum keberangkatan

(perpindahan) serta pengaturan perjalanan seperti pengecekan kesehatan,

orientasi budaya, dan pergerakan operasi. Hal tersebut dilakukan untuk

memastikan bahwa para pengungsi percaya diri dan siap untuk bermukim

di negara lain.

● Technical Support

Dukungan teknis yang diberikan mencakup peningkatan kapasitas dan

penyuluhan oleh para ahli dari UNHCR, IOM, dan para pihak yang turut

ambil bagian seperti LSM atau yang berasal dari tuan rumah

negara-negara pemukiman yang berpengalaman maupun yang baru.

UNHCR akan memberikan dukungan teknis yang berfokus kepada

perencanaan program pemukiman, ajudikasi dan pemilihan, serta

penerimaan dan integrasi dalam perpindahan pengungsi. Pada bagian awal

dan akhir dukungan teknis akan ditutupi oleh IOM dengan fokus aktivitas

yaitu memberikan praktek terbaik dalam mengoperasikan pergerakan dan

layanan sebelum keberangkatan, terutama pada bagian pengembangan

protokol kesehatan yang tidak terbatas. Hal tersebut dilakukan berdasarkan

kerjasama organisasi dengan negara-negara yang akan menjadi tempat

bermukim. Perancangan sebelum keberangkatan juga berlandaskan

orientasi kurikulum dari ketentuan yang diberikan oleh tuan rumah

pemukiman191.

191
Ibid.
4.2.6 Non-Governmental Organization (NGO)

Kerjasama yang terjalin antara UNHCR dan sejumlah NGO merupakan

perpanjangan bantuan dari program-program maupun aktivitas penanganan

pengungsi yang sudah ada. Sejumlah organisasi terkait antara lain Relief

International (RI), Mercy Corps, Oxfam, REACH, Save the Children

International (SAVE), CARE International, serta CARITAS192.

Dalam bidang penanganan dalam situasi darurat, dari segi bantuan

pemenuhan kebutuhan, kesehatan, maupun koordinasi dalam shelter-shelter

darurat, UNHCR bekerja sama dengan RI dan REACH.

Dalam bidang penanganan bantuan maupun perencanaan finansial,

UNHCR bekerja sama dengan Oxfam. NGO ini juga memberikan bantuan

pergerakan perpindahan pengungsi serta memenuhi kebutuhan mereka di

Libanon, Suriah, Yunani, Macedonia, Serbia, dan Italia193.

Di bidang kesehatan pendidikan, psikis maupun penanganan kesehatan

anak dan umum, UNHCR bekerja sama dengan SAVE, CARE International, dan

CARITAS.

Terakhir, bentuk kerjasama yang dilakukan UNHCR dengan Mercy

Groups adalah di bidang pemantauan kualitas hidup para pengungsi di kamp.

Pendataan pengungsi juga turut menjadi perhatian untuk mengetahui jumlah agar

dapat membuat perkiraan kebutuhan yang harus disediakan. Upaya yang

dilakukan dapat berupa pembangunan fasilitas-fasilitas pendukung (kamar

192
Syria Regional Refugee Response. “Complete List of Partners”. UNHCR. Terdapat pada
http://data.unhcr.org/syrianrefugees/partnerlist.php?Country=107 diakses tanggal 25 November 2016
193
What We Do. “Refugee Crisis”. Oxfam. Terdapat di
http://www.oxfam.org.uk/what-we-do/emergency-response/refugee-crisis diakses 25 November 2016
mandi, tenda, dll.) maupun penyediaan kebutuhan pokok lainnya (sandang,

pangan)194

4.3 Hambatan dalam Penanganan

Dalam setiap upaya yang dilakukan oleh UNHCR tentunya mereka mengalami

sejumlah upaya yang tidak hanya memperlambat operasi, tetapi juga berpotensi

memberhentikan program yang telah dilakukan maupun dirancang.

Gambar 4.6 pendanaan yang dibutuhkan UNHCR

Sumber : http://data.unhcr.org/syrianrefugees/regional.php

Gambar 4.6 menunjukkan bahwa UNHCR masih menghadapi kekurangan dana

untuk menangani kebutuhan 4.000.000 pengungsi asal Suriah yang tersebar di seluruh

dunia. Hal ini merupakan hambatan terbesar bagi organisasi dikarenakan kemungkinan

bertambahnya angka pengungsi apabila konflik terus terjadi. Permasalahan di bidang

194
QUICK FACTS: WHAT YOU NEED TO KNOW ABOUT THE SYRIA CRISIS. Mercy Groups. 13
Oktober 2016. Terdapat di
https://www.mercycorps.org/articles/iraq-jordan-lebanon-syria-turkey/quick-facts-what-you-need-know
-about-syria-crisis diakses pada 25 ovember 2016
pendanaan sangat berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan para pengungsi, terutama

di bidang kebutuhan pokok dan penyediaan bantuan kesehatan195.

Pemerintah juga menjadi salah satu hambatan operasi bagi UNHCR. Penanganan

terhadap para pengungsi akan otomatis terhambat apabila pemerintah negara tempat

pengungsi bermukim tidak bersedia untuk membantu. Hal tersebut sangat berpengaruh

terhadap akses distribusi pemberian bantuan maupun sarana prasarana dari UNHCR untuk

para pengungsi. Contoh nyata terjadi di negara Libanon, dimana pemerintah enggan untuk

memberikan tempat maupun ijin membangun pemukiman kamp pengungsi secara formal

hingga tahun 2015 meskipun negaranya menjadi negara kedua terbanyak sasaran pelarian

pengungsi Suriah. Adanya kekhawatiran terhadap para pengungsi tersebut yang berpotensi

mengganggu sistem kerja negara terutama di sektor perekonomian seperti yang telah

mereka alami di masa penampungan para pengungsi asal Palestina menjadi faktor utama

pemerintah menolak memberikan bantuan tersebut. Hal Tidak sedikit dari para pengungsi

asal Suriah yang pada akhirnya harus membayar sewa kepada penduduk setempat untuk

menetap sementara atau menetap di sejumlah kamp tidak resmi yang didirikan oleh

UNHCR sebagai respon darurat196.

Di bidang pendidikan juga turut mengalami hambatan seperti kesusahan bahasa dan

integrasi dengan sosial budaya maupun materi pendidikan setempat. Perbedaan bahasa

menjadi faktor utama dalam permasalahan ini. Para pelajar harus melakukan upaya ekstra

untuk mempelajari bahan dari pendidikan yang diberikan terutama di institusi sekolah

formal setempat dikarenakan hampir semua bahan secara lisan maupun tertulis

menggunakan bahasa lokal, tidak semua guru di sekolah mampu membantu permasalahan

bahasa tersebut dikarenakan kurangnya pengetahuan terhadap bahasa asli Suriah dan

195
“Syria Regional Response”. UNHCR database.tersedia di
http://data.unhcr.org/syrianrefugees/regional.php diakses 1 Desember 2016
196
Venetia Rainey. “Lebanon: No formal refugee camps for Syrians”. (ALJAZEERA : 11 Maret 2015)
terdapat pada
http://www.aljazeera.com/news/2015/03/lebanon-formal-refugee-camps-syrians-150310073219002.htm
l diakses tanggal 26 November 2016
kesibukan dalam mengurus sejumlah murid lainnya. Pilihan terakhir bagi para pelajar

tersebut ialah tetap belajar di sekolah formal pada pagi hari dan pada sore hari meminta

sejumlah pengertian dari para staf UNHCR maupun pihak lainnya di kamp pengungsian

yang mampu berbahasa lokal. Adaptasi terhadap materi yang diberikan menjadi kendala

secara mekanis bagi para pelajar dikarenakan adanya perbedaan kurikulum dengan

pendidikan di negara asal. Integrasi budaya dengan para pelajar lokal juga menjadi

tantangan tersendiri dikarenakan adanya beberapa kasus diskriminasi dari para pelajar

lokal terhadap para pengungsi. Tidak heran apabila anak-anak di umur 7 – 16 tahun

menganggap instalasi pendidikan formal menyeramkan197.

Konflik yang terus berlangsung juga menjadi pengaruh terbesar terhadap angka

pengungsi asal Suriah. Selama konflik tersebut tidak berhenti, maka peningkatan angka

terhadap jumlah pengungsi Suriah yang melarikan diri dari negara asalnya akn terus

berkembang198.

197
“5 challenges to accessing education for Syrian refugee children” . UNHCR’s Learn Lab. 4 Agustus
2016. Tersedia di
http://innovation.unhcr.org/5-challenges-to-accessing-education-for-syrian-refugee-children/ diakses
pada 1 Desember 2016
198
Caroline Abu Sa’Da dan Micaela Serafini. “SYRIA CRISIS - Humanitarian and medical challenges
of assisting new refugees in Lebanon and Iraq”. Forced Migration Review. 2013. Tersedia pada
http://www.fmreview.org/detention/abusada-serafini.html diakses 1 Desember 016
Bab V

KESIMPULAN

Penelitian ini telah mendeskripsikan mengenai UNHCR sebagai salah satu

organisasi internasional yang bergerak khusus dalam penanganan permasalahan

pengungsi, terutama Pengungsi Suriah dalam Syrian Refugees Crisis pada tahun 2013

– 2015. Kegagalan negara dalam memenuhi kebutuhan warganya, dalam kasus ini, di

bidang keagamaan menjadi salah satu alasan seseorang menjadi pengungsi. Tugas

negara akhirnya digantikan oleh pihak organisasi internasional untuk menangani

permasalahan kemanusiaan tersebut sesuai dengan konsep Humanitarian Assistance

yang menjadi isu dasar terbentuknya organisasi, yaitu UNHCR. Oleh karena itu,

UNHCR memiliki tanggung jawab untuk mensukseskan visi, misi, serta mandat yang

dimiliki, salah satunya menangani Syrian Refugee Crisis. Supaya tujuan organisasi

dapat tercapai dengan maksimal, UNHCR melakukan berbagai upaya dalam

menjalankan operasinya.

Penelitian penulis telah menemukan tiga upaya UNHCR dalam menangani

Syrian Refugee Crisis periode 2013 – 2015 di negara tetangga Suriah. Dalam bidang

pemenuhan kebutuhan pokok bagi para pengungsi di Turki, Libanon, Irak, dan

Yordania. UNHCR melakukan kerjasama dengan pemerintah terkait, organisasi

internasional lainnya, NGO, serta para pendonor. Ketersediaan fasilitas di setiap kamp

pengungsian seperti tenda dan kelengkapannya, sejumlah pertokoan, pusat rekreasi,

serta sarana pengembangan komunitas juga turut menjadi faktor pendukung organisasi

untuk menyalurkan bantuan sandang, pangan, dan papan. Para pengungsi juga
diberikan kemudahan dalam sistem transaksi melalui kupon maupun kartu

pembayaran yang telah disediakan oleh organisasi. UNHCR juga meluncurkan

aplikasi seluler maupun online yaitu Service Advisor yang bertujuan memudahkan

bagi para pengungsi untuk mengakses informasi sejumlah bantuan di negara-negara

sekitar.

Dalam upaya penanganan kebutuhan pendidikan bagi para pelajar yang berlatar

belakang pengungsi asal Suriah disediakan sejumlah akses terhadap institusi formal

negara sekitar maupun pemberian pendidikan langsung dari fasilitas pendidikan yang

disediakan di dalam kamp pengungsian. Akses pendidikan diberikan dari prasekolah

hingga perguruan tinggi sesuai dengan kebijakan yang diberikan oleh negara yang

bersangkutan. Di Turki, berkat kerjasama antara UNHCR, Syrian Education

Commission dan Turkish Ministry of Education diberikan sistem pendidikan yang

menggunakan sistem kurikulum Libya bagi pelajar kelas 9 – 12. Di Irak, pelajar tetap

mendapatkan pendidikan dari institusi formal seperti 975 pelajar yang terdaftar di

sejumlah SMA di Kota Erbil, Irak sebagai hasil elaborasi program pendidikan antara

UNHCR dan pemerintah Irak. Dalam pengerjaan upaya tersebut, tentunya terdapat

hambatan utama yaitu integrasi antara pelajar dengan lingkungan sekitar antara lain

dari segi materi, bahasa, maupun budaya. UNHCR juga memberikan kemudahan

program secara umum bagi para pelajar yaitu program Inisiatif Mandiri dan Beasiswa

Sistem Edukasi.Di Lebanon, dikenalkan program Accelerated Learning Programme

(ALP) untuk 10.000 pelajar dengan tujuan agar mereka dapat mengejar ketinggalan

dan mengimbangi materi edukasi di Libanon sebagai hasil kerjasama UNHCR dengan

pemerintah Libanon. Bersama dengan organisasi Reach All Children with Education

(RACE), program pemantauan pendidikan tahunan juga diberlakukan bagi para

pengungsi di Libanon. DI Yordania,


Dalam bidang pelayanan kesehatan bagi para pengungsi di Turki, Libanon,

Irak, dan Yordania, UNHCR memberlakukan dua program utama yaitu Water,

Sanitation, and Hygiene (WaSH) bersama UNICEF untuk memastikan kebersihan

pemukiman dari potensi penyakit maupun penanganan psikologis dengan WHO yang

mengacu terhadap mhGAP Humanitarian Intervention Guide. Di Turki, UNHCR telah

berhasil melakukan kerjasama dengan sejumlah instalasi kesehatan untuk membantu

pengecekan kesehatan maupun pengobatan bagi para pengungsi terutama di daerah

perbatasan Turki-Suriah. Di Libanon, sekitar 730.000 anak mendapatkan vaksinasi

campak dan 231.057 anak-anak menerima vaksin polio oral, bantuan tersebut

diberikan secara langsung oleh Departemen Kesehatan Libanon, UNHCR dan Who,

begitu pula dengan 769 pasien penderita penyakit kulit. Penanganan psikologis juga

turut diberikan terhadap 14.000 pengungsi. UNHCR juga berhasil mendanai sejumlah

instalasi kesehatan setempat di tahun 2015 sejumlah 182.000 pusat pelayanan

kesehatan dan 60.222 rumah sakit. Hal tersebut merupakan prestasi yang sangat baik

di wilayah Libanon. Di irak, disediakan sejumlah layanan vaksinasi kepada anak-anak

sebagai respon terhadap bahaya wabah campak atau polio yang cukup mewabah di

daerah tersebut. Pengecekan berkala di bidang kesehatan fisik maupun psikis juga

turut diberikan. Di Yordania, 313 fasilitas kesehatan disediakan sebagai respon

terhadap Syrian Refugees Crisis di tahun 2013. Dalam penanganan kesehatan

psikologis, UNHCR bekerja sama dengan UNICEF mendirikan program Mental

Health and Psycho-social dengan 600 tenaga medis khusus.

Sejumlah upaya UNHCR tersebut tentunya memiliki sejumlah hambatan secara

umum yang dapat berpengaruh terhadap optimalisasi penanganan para pengungsi

Suriah dalam situasi Syrian Refugee Crisis 2013 – 2015. Hambatan terbesar berada di

bidang pendanaan sebagai instrumen vital terutama terhadap persediaan kebutuhan

pokok serta penyediaan pelayanan kesehatan bagi para pengungsi di Turki, Libanon,
Irak, dan Yordania. Adanya kesenjangan yang cukup besar antara jumlah dana yang

dibutuhkan dan tersedia merupakan tanggungan tersendiri bagi organisasi untuk

dipenuhi agar upaya penanganan dapat kembali teroptimalisasikan dengan baik.

Kurangnya kerja sama maupun izin dari pemerintah seperti yang terjadi di

Libanon, tentunya memberikan kontribusi lain dalam hambatan penyaluran upaya

kepada para pengungsi Suriah di sejumlah negara terkait. Hal tersebut dikarenakan

kekhawatiran pemerintah yang masih menganggap para pengungsi sebagai ancaman

bagi negara mereka terutama di bidang perekonomian nasional.

Kesulitan dalam integrasi budaya, bahasa, maupun materi bagi para pelajar

Suriah turut menjadi tantangan tersendiri di bidang pendidikan. Tidak sedikit kasus

diskriminasi yang diterima oleh para pelajar mengakibatkan adanya ketakutan maupun

stigma penolakan terhadap mereka di sejumlah institusi formal di keempat negara

tersebut. Sepulang sekolah, para pelajar juga harus meminta kepada beberapa orang

dalam kamp pengungsian yang memahami bahasa lokal tempat mereka bersekolah

agar dapat memahami materi yang diberikan dengan baik.

Dari seluruh paparan di atas dapat disimpulkan bahwa selama melakukan

penanganan terhadap Syrian Refugees Crisis pada tahun 2013 – 2015 di negara-negara

tetangga Suriah yaitu Turki, Libanon, Irak, dan Yordania, UNHCR telah melakukan

sejumlah upaya untuk tercapainya kesejahteraan bagi para pengungsi sesuai dengan

visi , misi, dan mandat yang dimiliki oleh organisasi. Pencapaian organisasi tentunya

masih memiliki beberapa hambatan, tetapi sebagai sebuah organisasi internasional

yang bertanggung jawab terhadap para pengungsi, UNHCR telah berupaya

menunjukkan komitmen dan kontribusinya terhadap isu kemanusiaan melalui berbagai

pencapaiannya

Anda mungkin juga menyukai