PENDIDIKAN INKLUSI
Ismar Hamid
JURNAL DIFABEL
Adi Suhendra
DV OL U M E 3 | N O . 3 | 2 0 1 6
IFABEL
J U R N A L
D IFA V OLU ME 3 | N
B E L O . 3 | 2016
Reviewer :
Ro’fah, S.Ag, BSW, MA, Ph.D
Editor :
Puguh Windrawan, S.H., M.H
Tata Usaha :
Untung
Tata Letak :
Kirman
Sampul :
Ismail
Penerbit :
Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB)
v
Daftar Isi
DARI REDAKSI
Bertanya Tentang Hak Pendidikan bagi Difabel..............................................vii
PENGANTAR
Inclusion Is..............................................................................................................xi
J
urnal Difabel Edisi III ini akan mengangkat tema Problem dan Tan-
tangan Pendidikan Untuk Pemenuhan Hak Difabel. Seperti yang
kita pahami bersama, bahwa pendidikan adalah satu hal yang
fundamental
bagi manusia. Menurut Paulo Freire, pendidikan pada dasarnya diselenggara-
kan dalam rangka membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup
yang melingkupinya. Pendidikan merupakan media untuk mengembalikan
fungsi manusia menjadi manusia, agar terhindar dari berbagai bentuk
penindasan, kebodohan, dan berbagai bentuk ketertinggalan. Karena itu,
kesadaran pen- tingnya pendidikan mendorong komunitas dunia agar
meletakkannya sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM). Pendidikan
adalah hak setiap orang, demikian pesan dari Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia; Kovenan Hak Ekonomi; Sosial dan Budaya; Konvensi Hak-
Hak Penyandang Disabilitas; UUD 1945; UU No. 39 tentang HAM; UU
Pendidikan dan beberapa perundangan hak asasi lainnya. Secara umum,
tidak ada sanggahan bahwa pendidikan ada- lah hak setiap orang, dan
pemangku otoritas memiliki tanggungjawab untuk memenuhinya.
Dalam rezim HAM, pemenuhan hak atas pendidikan harus
memperhatikan empat indikator penting. Pertama, indikator ketersediaan
(availability). Program dan berbagai institusi pendidikan, harus
memperhatikan jumlah ketersediaan lembaga pendidikan yang memadai.
Kedua, indikator aksesibilitas (accessibi- lity). Indikator ini menegaskan tiga
hal, yaitu: penyelenggaraan pendidikan yang tidak boleh diskriminatif; lokasi
atau wilayah pendidikan yang harus akses --baik sarana prasarana, jarak, dan
atau pun teknologinya-- termasuk akses ekonomi; serta biaya pendidikan
yang harus bisa dijangkau oleh semua orang. Ketiga, dapat diterima
(acceptability). Dalam hal ini, bentuk, substansi, kurikulum, dan metode
pengajaran harus diterima oleh semua orang. Keempat, dapat diadaptasi
(adaptability). Dalam hal ini, pengelolaan pendidikan harus fleksibel, sehingga
dapat menyesuaikan diri dengan kebutuhan kultur dan tradisi masyarakat yang
beragam.
viii
Pengantar
INCLUSION IS...
A way of
thinking A way
of being
And a way of making decision
About helping everyone belong
K
utipan sederhana diatas menggambarkan hal fundamental yang
sering terlupakan dalam narasi pendidikan inklusif. Kebijakan,
ruang-ruang seminar, dan halaman jurnal akademik tentang
pendidikan inklusif, selama ini masih terlalu fokus pada isu perbedaan dan
sumberdaya: guru pendamping khusus, assessment, modifikasi kurikulum untuk
siswa dan mahasiswa yang berbeda. Adapun aspek yang sangat fundamental,
yakni perspektif, cara pandang, dan cara berpikir tentang perbedaan dan inklu-
sivitas, masih berada di pinggiran.
Inklusif adalah ideologi atau keyakinan bahwa semua dunia ini milik
semua orang, dan karenanya semua orang tanpa kecuali, punya hak
untuk menjadi bagian (belong). Bahwa pendidikan adalah milik semua
individu --dan karenanya semua siswa dan mahasiswa, apapun kondisinya--
perlu menjadi bagian dari pendidikan. Inklusi adalah ketika perbedaan
dianggap sebagai se- suatu yang wajar. Sebuah fenomena alami dari
kehidupan manusia. Perbedaan bukanlah alasan untuk “membedakan”
(othering), apalagi sampai memisahkan. Tentu saja pendapat tentang aspek
fundamental dari pendidikan inklusif diatas tidak dimaksudkan untuk
menafikan pentingnya bicara implementasi dan strategi. Melangkah dari
“why” (mengapa inklusi penting) menuju “how” (bagaimana inklusi harus
dilakukan) adalah agenda penting, karena dengan “how” itulah pendidikan
inklusif menjadi realitas di ruang kelas, di ruang rapat, bahkan
perbincangan ringan di gardu ronda. Namun upaya dan diskusi
“how” tersebut harus dibangun berdasarkan narasi inklusivitas, bukan
narasi perbedaan. Mengutip Roger Slee, salah satu maha guru pendidikan
inklusif. “Perhaps the question now is not so much how do we move ‘towards
inclusion’ but what do we do to disrupt the construction of centre from which exclusion
derives” (Slee: 2006). Kata Slee, yang sekarang juga penting dilakukan bukan
hanya bagaimana kita melangkah menuju inklusif, tetapi apa yang harus
kita lakukan untuk menginterupsi konstruksi dominan (tentang perbedaan
dan pendidikan) yang menjadi sumber dari eklusivitas itu sendiri. Dengan
kata lain, kita perlu menengok kembali secara kritis: bagaimana konsepsi kita
tentang pendidikan dan sekolah? Apa yang kita harapkan dari pendidikan
dan sekolah? Apakah menjadi tempat untuk semua, ataukah hanya untuk
mereka yang “berduit”,
pinter, normal, dan mampu mengikuti norma sosial?
Tulisan Setya Adi Purwanta mengajak kita melihat pendidikan dari
mazhab kritis. Mempertanyakan apa yang tadi sudah disebut Slee sebagai
“center” atau paradigma dominan tentang pendidikan. Demikian juga tulisan
mengenai aplikasi konsep pendidikan tertindasnya Paulo Freire dalam
wacana pen- didikan inklusif, yang mengatakan bahwa konsep Friere bisa
dipinjam untuk bisa “memanusiakan” difabel dalam wacana pendidikan
inklusif.
Ini menunjukan kita perlu menginklusifkan narasi pendidikan inklusif.
Pendidikan inklusif harus menjadi bagian dari perbincangan semua hal dan
semua pihak: lintas disiplin, lintas sektor. Ketika narasi perbedaan, spesial, dan
khusus masih mendominasi wacana pendidikan inklusif, maka cerita penolakan
anak difabel di sekolah masih akan terjadi. Maka seorang dosen di perguruan
tinggi masih akan mengatakan bahwa bidang keilmuannya secara inheren
tidak bisa dipelajari oleh mereka yang memiliki indra berbeda. Ketika narasi
perbedaan masih menjadi ukuran, maka label “anak inklusi” masih menjadi
fenomena umum yang kita jumpai di sekolah, tanpa dipersoalkan bahwa
label adalah pintu masuk bagi eksklusivitas.
Ihab Habudin
Staf Pengajar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Email:
sinarhabudin@yahoo.com
Abstrak
P
raktik pendidikan inklusif saat ini masih tersendat. Ia belum berhasil menjadi
sarana yang efektif dalam menumbuh-kembangkan kesadaran kritis dan sikap
transformatif kaum difabel. Dengan berkiblat pada pemikiran Paulo Freire
tentang pendidikan kaum tertindas, seharusnya pendidikan inklusif bisa bergerak
lebih maju. Salah satu caranya adalah dengan menanamkan kesadaran diri pada
kaum difabel sebagai mahluk merdeka dan bisa membangkitkan semangat
mereka untuk melakukan perubahan sosial. Lebih jauh lagi, pendidikan inklusif
seharusnya dapat melahirkan kaum difabel yang mandiri. Mampu
memperjuangkan hak-haknya demi terbentuknya kehidupan yang membawa
kebaikan bagi semua umat manusia.
Artikel ini berusaha membahas konsep pendidikan Paulo Freire dan transformasinya
dalam pendidikan inklusif di Indonesia.
C. Pendidikan Kaum
Ter- tindas: Konsep
Pendi- dikan Paulo
Freire
Dalam pandangan Freire, pendi-
dikan itu bersifat politis dan meng-
haruskan para pelakunya untuk ber-
pihak. Para pelaku pendidikan harus
memilih: apakah pendidikan itu
hendak ditujukan dalam rangka
bebasan” (melawan struktur yang
menindas) atau untuk “domestifikasi”
(mempertahankan status quo)
(Freire: 2001). Freire sendiri secara
tegas men- jatuhkan pilihan pada
yang pertama: bahwa pendidikan
harus diorientasi- kan pada
pemihakan, pembebasan, dan
pemerdekaan kaum tertindas.
Tugas paling utama pendidikan
adalah membebaskan manusia dari
ketertindasan. Pendidikan harus
mampu mendorong manusia untuk
memiliki kesadaran kritis dan menjadi
mahluk yang merdeka. Namun,
meng- ingat model “banking
education” tidak bisa lagi diharapkan
dalam mencapai tujuan itu, maka
menurut Freire, ha- rus ada satu
model pendidikan yang dibuat dan
mampu membebaskan manusia dari
cengkraman penindasan dan
dehumanisasi. Model pendidikan
yang dimaksud adalah pendidikan
kaum tertindas (the pedagogy of the
oppressed), yaitu “pendidikan sebagai
alat agar kaum tertindas mengetahui
secara kritis, bahwa baik diri mereka
maupun kaum yang menindas
mereka adalah manifestasi dari
dehumanisasi” (“an instrument for
their critical disco- very that both they
and their oppressors are manifestations
of dehumanization”) (Freire: 2005).
Secara garis besar, ada dua tahap
penyelenggaraan pendidikan kaum
tertindas.
Pertama, tahap pembentukan
kesadaran kritis para murid. Pada
tahap ini, pendidikan harus mampu
membuat para murid menyadari akan
berefleksi dan menjawab berbagai per-
dirinya dan hubungannya dengan
soalan yang muncul dalam
realitas di sekelilingnya. Pendidikan
kehidupan. Dalam bahasa lain, guru
juga harus mampu menyadarkan
dan murid secara bersama-sama
bahwa mereka ditindas tidak hanya
menumbuh- kembangkan kesadaran
secara fisik, melainkan juga secara
kritis dalam rangka memaknai dunia,
psikis. Seringkali para murid merasa
serta dalam menyikapi berbagai
tidak sebagai kaum tertindas karena
problem kehidup- an mereka.
mereka tidak menyadarinya. Tugas
Dengan demikian, pendidikan
pendidikan adalah membantu mereka
tidak lagi dipisahkan dari persoalan-
untuk memiliki kesadaran kritis dan
persoalan nyata yang terjadi di ma-
mendorong mereka agar terlepas
syarakat. Pendidikan justru
dari belenggu penindasan semacam
mengem- bangkan dialektika kritis
itu.
guru dan murid. Pada gilirannya
Kedua, setelah tahap pertama kelak, hal tersebut akan
berhasil dilakukan, pendidikan tidak memunculkan pema- haman bahwa
lagi diarahkan pada kaum tertindas apa yang terjadi dalam kehidupan
saja, tetapi mulai diorientasikan mereka bukanlah realitas yang statis,
pada konteks yang lebih luas, yaitu melainkan kenyataan yang terus
untuk kebaikan seluruh umat manusia mengalami perubahan.
(Frei- re: 2005).4 Pelaksanaan kedua Proses dialektik antara guru dan
tahap ini merupakan “pekerjaan murid itu berjalan terus menerus.
rumah” bersama para pelaku Tujuannya hingga pendidikan
pendidikan; utamanya guru dan mampu mencipta manusia sebagai
murid, untuk men- capai kehidupan mahluk yang tidak pernah selesai,
yang lebih manusiawi dan atau mahluk yang terus berusaha
membebaskan.
menjadi (beco- ming). Bagi Freire,
Untuk mewujudkannya, Freire
“proses menjadi” ini menjadi sangat
kemudian menawarkan sebuah me-
penting, karena dengan begitu,
tode pendidikan yang ia sebut deng-
manusia akan terus memaknai
an the problem-posing method (metode
dunia, mengkreasi kehi- dupannya
pendidikan hadap-masalah) (Freire:
dan terus melibatkan diri dalam
2005). Metode ini tidak memisahkan
segala perubahan sosial yang terjadi.
guru-murid dengan realitas yang
Di sisi lain, proses manusia un- tuk
menghampiri mereka sebagaimana
terus “menjadi” akan menghindar-
dalam banking education. Sebaliknya,
kan manusia dari fatalisme sekaligus
guru dan murid secara bersama-
memungkinkan realitas penindasan
sama
bisa diubah.
4
Bandingkan dengan Sindhunata, “Awas
Satu hal yang menjadi catatan
Padagogi Hitam”, Basis, No. 01-02, Tahun ke- Freire adalah bahwa “proses menjadi”
50, 2001. hlm. 3.
itu harus diarahkan pada upaya
setiap manusia; (4) dalam dialog ada
huma- nisasi. Segala usaha
harapan hendak diwujudkan; dan (5)
pencapaian untuk menjadi manusia
dialog selalu melibatkan pemikiran
sejati tidak didasar- kan pada isolasi
kritis (Paulo Freire: 2005). Jika kelima
dan individualisme, melainkan pada
hal ini dipenuhi, pendidikan sebagai
kesediaan untuk terus berkorban
instrumen pembebasan dan
dalam membebaskan diri dari
perubah- an bukan suatu hal yang
penindasan. Untuk itu, guru dan
dianggap mustahil lagi.
murid mutlak menjadi subjek dalam
proses pendidikan. Mereka bersama- D. Orientasi Pendidikan
sama menjadi subjek pendidikan, Freire: Humanisasi, Pe-
dan mengubah wajah dunia secara nyadaran, dan
terus-menerus sembari melibatkan Transfor- masi
diri dalam upaya perubahan. Tujuan Berulang kali Freire menyebutkan
akhirnya adalah untuk menghasilkan bahwa pendidikan harus diorientasi-
kehidupan yang lebih manusiawi kan untuk humanisasi. Dilaksanakan
bagi mereka. melalui bangkitnya kesadaran kritis
Agar guru dan murid menja- subjek-subjek dalam pendidikan.
di subjek dalam pendidikan, maka Kesadaran akan ketertindasan dan
menurut Freire, proses pendidikan keinginan untuk membebaskan diri
harus didasarkan pada dialog bukan ini tidak lain dari proses humanisasi,
monolog. Dialog memungkinkan yaitu sebuah kesadaran yang mengha-
sesama manusia mampu memaknai silkan aksi-refleksi untuk melakukan
dunia. Dialog membuat setiap orang perubahan (transformasi). Artinya,
memiliki kesadaran kritis dan me- seseorang yang dididik dan melalui
merdekakan diri. Dengan demikian, proses humanisasi akan merenungi
dialog adalah kebutuhan eksistensial sekaligus memaknai kenyataan dan
manusia (Freire: 2005). diri sendiri secara totalitas, yang
Bukan tanpa alasan jika Freire pada akhirnya menuntunnya pada
menyebut dialog sebagai strategi humani- sasi dan tranformasi
ampuh dalam mencapai pendidikan (Dharma Kesuma dan Teguh
yang lebih manusiawi. Dalam dialog, Ibrahim: 2016).
hakikat kemanusiaan diwadahi se- Untuk itu, pendidikan yang dilak-
penuhnya. Ini tercermin dari dialog sanakan pertama-tama harus mam-
yang mensyaratkan beberapa hal: (1) pu menumbuhkan kesadaran kritis
dialog harus dilandasi oleh rasa cinta (Dharma Kesuma dan Teguh
terhadap dunia dan sesama; (2) dialog Ibrahim: 2016).5 Kesadaran ini
menyaratkan adanya kerendahan memungkinkan
hati;
(3) dialog menuntut kepercayaan
5
Freire membedakan kesadaran kritis
dengan kesadaran magis dan kesadaran naif.
pada
manusia memiliki eksistensi dan mam-
Teguh Ibrahim: 2016). Dengan demi-
pu memaknai kehidupan. Bagi
kian, kesadaran kritis merupakan ciri
Freire, kesadaran kritis adalah inti
demokrasi otentik dan bentuk-bentuk
dari pen- didikan kaum tertindas.
kehidupan yang tak kedap, interogatif,
Para murid, tidak sekedar diajarkan
aktif dan dialogis (Paulo Freire: 1997).
reading the word, melainkan juga Intinya, kesadaran kritis bukanlah
reading the world; bukan hanya hanya kesadaran memahami gambaran
dikenalkan pada kata, tapi dibimbing fenomena di atas kertas, melainkan
memaknai kata tersebut sebagai kesadaran menangkap apa yang ada
representasi realitas yang di balik fenomena itu (Shor dan
mengandaikan adanya kesadaran Freire: 1987).
kritis (konsientisasi) dalam memba- Hal yang harus diperhatikan
canya. Kesadaran kritis ini membuat dalam konteks ini adalah bahwa ke-
orang bertanya tentang hakikat sadaran kritis tidak muncul dengan
setiap kata yang diajarkan dari situasi sendirinya. Nalar kritis tumbuh dari
historis dan sosial mereka (Dharma pendidikan kritis yang mendorong
Kesuma dan Teguh Ibrahim: 2016). tumbuhnya refleksi otentik --refleksi
Orang-orang yang memiliki ke-
yang berujung pada tindakan-tindakan
sadaran kritis akan aktif terlibat dan
transformatif-- atau refleksi yang diser-
melibatkan diri dengan realitas, mer-
tai aksi, yang berimplikasi pada tum-
deka dalam mengkreasi, dan merek-
buhnya kesadaran akan keberadaan
reasi pengetahuan. Mereka bukan
manusia di muka bumi, tumbuhnya
lagi penonton realitas, melainkan
pemahaman sosial-historisnya, berse-
men- ganalisis secara kritis dunia
mainya pengetahuan yang hidup,
dengan problematika yang
tum- buhnya pencerahan akan
dihadapinya, me- nemukan posisi
fenomena dibalik sebuah realitas,
dalam kehidupannya, memahami
dan tumbuh- nya kesadaran
alasan keberadaannya di dunia, dan
transformatif berupa perubahan diri
bangkit untuk melakukan
dan sosialnya (Dharma
transformasi (Dharma Kesuma dan
Kesuma dan Teguh Ibrahim: 2016).
Kesadaran naif merupakan kesadaran paling
Dengan demikian, pendidik-
rendah dari manusia karena ia tidak mampu
mengobjektivikasi setiap aktivitas selain an tidak diwujudkan dalam rangka
aktivi- tas survival. Orang seperti ini memiliki pembacaan ilmu pengetahuan (the
persepsi dan pengetahuan yang terbatas,
menepi dari sejarah dan lari dari realitas. word) saja, lebih dari itu, pendidikan
Mereka tidak menyadari tugas dan tanggung dilaksanakan untuk membaca konteks
jawab sebagai manusia dan terjebak pada
fatalisme. Semen- tara itu, kesadaran naif (the world) zamannya. Pendidikan
cenderung menyeder- hanakan masalah- menjadi sarana penyadaran manusia
masalah kehidupan seperti menjadikannya
dengan menggunakan pendekatan
sebagai persoalan individu, dan mereka
kesulitan memahami kondisi sosial dan praksis. Dilakukan melalui refleksi
historis di sekitarnya.
kritis akan situasi sosial dan historis
dua gagasan pokok Freire yang bisa
mereka, yang akan melahirkan aksi
diambil dan dikontekstualisasikan
dalam melakukan perubahan sosial
ke dalam pendidikan inklusif di In-
(Dharma Kesuma dan Teguh
donesia.
Ibrahim: 2016). Saat terjadi
perubahan sosial, saat itulah terjadi 1. Politik Pendidikan Inklusif
transformasi. Salah satu aspek fundamental dari
konsep pendidikan Freire adalah pe-
E. Transformasi Pemikiran nekanannya pada politik pendidikan.
Freire dalam Pendidikan dinilainya bukan sekedar
Pendidikan Inklusif rutinitas kegiatan belajar-mengajar.
Pemikiran Freire sebagaimana
Lebih jauh dari itu, ia merupakan
telah dijelaskan memiliki konteksnya
ma- nifestasi dari konstruksi sosial-
tersendiri. Apa yang disebut Freire
politik- ekonomi yang terjadi dan
dengan pendidikan kaum tertindas
melibatkan dua kelompok sosial:
tidak bisa dilepaskan dari sejarah
kaum penindas dan kaum tertindas.
kehidupannya, seperti pahit-getirnya
Pendidikan harus menjadi alat
Freire menjadi kaum lemah,
pembebasan dan berpi- hak
lingkung- an miskin dan tertinggal
sepenuhnya pada kaum tertindas.
di mana ia hidup, serta situasi
Dalam konteks pendidikan inklusif,
sosial-politik-eko- nomi yang
kaum tertindas itu tidak lain adalah
melingkupinya. Intinya, pemikiran
kaum difabel yang pada
Freire tentang pendidikan tidak bisa
kenyataannya menjadi kaum lemah
dilepaskan dari konteks
dan terpinggir- kan; baik secara
kehidupannya, baik saat ia berada
sosial, politik, hukum, maupun
di Brazil, berpertualang ke berbagai
secara ekonomi.
belahan dunia, hingga kembali ke
Pendidikan seharusnya benar-
negara asalnya.
be- nar berpihak pada kaum yang
Meski begitu, bukan berarti gagasan-
sangat rentan ini. Semua pelaku
gagasan Freire tidak bisa
pendidikan harus memiliki posisi
dikontekstualisasi- kan. Banyak dari
yang jelas da- lam menjamin hak-hak
gagasan Freire yang bisa digali dan
kaum difabel dalam menempuh dan
berguna, baik sebagai sebuah
menjalani proses pendidikan. Jika
kerangka analisis maupun sebagai
Freire mendo-
kerangka konseptual bagi per-
kembangan pendidikan di Indonesia. sempatan kepada semua anak belajar bersama-sama
di sekolah umum dengan memperhatikan
Terkait pendidikan inklusif (Dadang keragaman dan kebutuhan individual, sehingga
Garnida: 2015),6 setidaknya terdapat potensi anak dapat berkembang secara optimal”.
Semangat- nya adalah “memberi akses seluas-
luasnya pada semua anak, termasuk anak
6 Pendidikan inklusif, sesuai dengan penger-
berkebutuhan khusus, untuk memeroleh
tian Direktorat Pembinaan SLB, merupakan
pendidikan yang bermutu dan memberikan
“sistem layanan pendidikan yang memberikan ke-
pelayanan pendidikan sesuai dengan
kebutuhannya”.
rong pendidikan kaum tertindas agar
manya pihak pemerintah terkait pen-
mampu memperjuangkan hak-
didikan, memiliki political will dalam
haknya dalam berbagai bidang
mengembangkan dan memperbaiki
--seperti seo- rang yang buta huruf
pendidikan inklusif di Indonesia;
menjadi melek huruf dan memiliki
sejauhmana pendidikan mengakui
hak-hak politik-- maka pendidikan
dan memperjuangkan hak-hak dan
inklusif juga begitu, agar kaum difabel
kemerdekaan kaum disabilitas; atau
bisa mandiri dan merdeka untuk
dalam tingkatan yang lebih praktis,
kemudian mampu memperjuangkan
sejauhmana lembaga pendidikan
hak-haknya di ber- bagai bidang. Hal
mengakomodasi dan mengaplikasikan
ini tidak mungkin dicapai jika titik-
pendidikan inklusif di Indonesia.
tolak dan orientasi pendidikan masih
Persoalan-persoalan tersebut patut
didasarkan pada nilai dan idologi
diajukan, karena pada kenyataannya,
seperti: corporate value, pragmatic
sampai saat ini pelaksanaan pendidik-
culture dan ideology of competition.
an inklusif belum optimal (N. Prapti-
Sebagaimana Freire dalam meli-
ningrum: 2010). Tidak banyak
hat kaum tertindas. Kaum difabel
sekolah atau perguruan tinggi umum
pun harus ditempatkan sebagai
yang mampu memberi pelayanan
manusia seutuhnya. Sama seperti
semes- tinya pada kaum difabel.
orang pada umumnya, yakni
Memang, ada beberapa perguruan
memiliki hak oto- nomisasi dan
tinggi yang sudah mulai menerapkan
memungkinkan mereka untuk
pendidikan inklusif, seperti di UIN
mencapai humanisasi. Kaum difabel
Sunan Kali- jaga, Yogyakarta.
harus dipandang sebagai sub- jek
Namun di banyak perguruan tinggi
yang memiliki hak dan kewajiban;
yang lain, pelayanan pendidikan
mereka memiliki kesempatan untuk
untuk kaum difabel belum banyak
merdeka dan membebaskan diri dari
dikembangkan. Di sisi lain,
kelemahan dan keterbelakangan me-
pemberdayaan kaum difabel masih
reka; dan mereka memiliki potensi
didominasi oleh model pendidikan
untuk melakukan perubahan bagi
segregatif, yang memisahkan kaum
terciptanya tatanan masyarakat yang
di- fabel dengan non-difabel. Tidak
lebih manusiawi.
aneh bila banyak didapati kasus di
Persoalannya kemudian ada-
mana kaum difabel tidak bisa
lah bagaimana agar titik-tolak dan
mengakses pendidikan di sekolah
orientasi pendidikan benar-benar
atau perguru- an tinggi umum,
didasarkan pada pemenuhan hak-
karena pendidikan diselenggarakan
hak kaum difabel sepenuhnya.
atas dasar klasifikasi murid
Pertama- tama yang harus
“normal” dan “tidak normal”.
diperhatikan adalah sejauhmana
Sebuah model pendidikan yang diskri-
pelaku pendidikan, uta-
minatif.
Konstruksi pendidikan yang de-
yaitu UU No. 8 Tahun 2016 tentang
mikian sangat tidak menguntungkan
Penyandang Disabilitas.7 Persoalan-
bagi kaum difabel. Pendidikan justru
nya, seringkali peraturan itu berlaku
mencabut mereka dari dunia dan
sebatas di atas kertas dan belum
kemerdekaannya dalam berpikir.
diikuti dengan pembentukan sistem
Me- reka dilepaskan dari realitas
pendidikan yang benar-benar “ra-
sosialnya
mah” bagi kaum difabel. Pada satuan
--karena hanya bisa berinteraksi deng-
pendidikan tinggi misalnya, sistem
an sesama kaum difabel-- sehingga
pelayanan dan arsitektur pendidikan
mereka tidak bisa belajar dari ling-
masih mencerminkan pendidikan
kungan dan masyarakatnya. Mereka
bagi mahasiswa-mahasiswa “normal”.
juga merasa tertekan secara psikologis.
Bahkan penerimaan mahasiswa juga
Mereka merasa menjadi “manusia
masih membedakan antara “normal”
ren- dah”, “orang tidak berdaya”,
dan “tidak normal”. Mahasiswa yang
“mahluk yang perlu dikasihani”,
diterima adalah mahasiswa berprestasi
bahkan me- rasa sebagai “beban bagi
secara akademik dengan penyertaan
masyarakat”. Pada akhirnya, mereka
kualifikasi kesehatan jasmani dan
tidak bisa berbuat apa-apa, selain
rohani.
mengamini kenyataan yang
Kenyataan ini tentu tidak bisa
dialaminya dan mene- rima semua
dipandang wajar dari perspektif pen-
konstruksi sosial tentang
didikan Freire. Pendidikan sejatinya
kehidupannya, meskipun sebenarnya
harus menyediakan akses yang me-
--meminjam istilah Freire-- konstruksi
mudahkan kaum difabel untuk bisa
sosial itu tidak lebih dari dehumanisasi
menikmati proses pendidikan seperti
dan penindasan.
manusia pada umumnya. Terlebih
Dalam konteks demikian, sudah
lagi, Undang-Undang Dasar (UUD)
selayaknya pendidikan benar-benar
1945 di Indonesia menjamin hak
diorientasikan pada pemenuhan
pendidikan bagi siapapun, termasuk
hak-hak kaum difabel dalam rangka
membebaskan mereka dari situasi
ketertindasan. Negara dalam hal ini
memiliki andil yang cukup besar un- 7
UU No. 8 Tahun 2016 Tentang Penyan-
dang Disabilitas pasal 10 misalnya mengatur
tuk memastikan berbagai peraturan
bahwa kaum difabel berhak mendapatkan
perundang-undangan yang menjamin pendidikan yang bermutu, mempunyai kesem-
terpenuhinya hak-hak kaum difabel. patan yang sama untuk menjadi pendidik atau
tenaga kependidikan, mempunyai kesempatan
Harapannya, peraturan tersebut benar- yang sama sebagai penyelenggara pendidikan
benar bisa diaplikasikan. pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur,
dan jenjang pendidikan; serta mendapatkan
Sebenarnya sudah banyak pe- akomodasi yang layak sebagai peserta didik.
raturan terkait pemenuhan hak-hak Dapat dilihat di http://www.dpr.go.id/dokjdih/
document/ uu/1667.pdf. (Diakses tanggal 12
kaum difabel, termasuk yang
Agustus 2016).
terbaru,
kaum difabel.
psikologis.
Hak-hak politik kaum difabel juga
2. Pembebasan, Pemerdekaan dan
seringkali terabaikan. Jangankan da-
Transformasi dalam
pat berbicara banyak di panggung
Pendidikan Inklusif
po- litik, untuk ikut berpartisipasi
Konsep pendidikan Freire lain-
dalam pemilihan umum saja, mereka
nya, yang bisa dikontekstualisasikan
me- ngalami kesulitan. Selain
ke dalam pendidikan inklusif di
terkendala oleh peraturan
Indonesia adalah ide-idenya tentang
perundang-undangan yang kurang
pendidikan kritis dan transforma-
sensitif terhadap kesu- litan yang
sinya dalam kehidupan nyata. Dalam
dialami kaum difabel dan sosialisasi
hal ini, pendidikan harus mampu
yang kurang maksimal, kurangnya
membangkitkan kesadaran kritis para
kepekaan masyarakat juga menjadi
murid, para peserta didik bisa berpikir
penyebab tingkat partisipasi kaum
mandiri dan merdeka, agar mereka
difabel dalam pemilu jauh dari angka
mampu melakukan perubahan sosial
yang diharapkan.
yang membawa manfaat bagi dirinya
Di bidang hukum dan pelayanan
dan masyarakatnya. Dalam tingkat
publik, kaum difabel tidak jarang
tertentu, gagasan Freire ini sangat
me- ngalami diskriminasi dan
relevan dengan pendidikan kaum difa-
kesulitan membela diri. Dalam kasus
bel. Di satu sisi, merekalah kelompok
perkosaan misalnya, meskipun
sosial paling rentan dan terpinggirkan
Indonesia telah meratifikasi
secara sosial, politik, hukum, dan
Convention on The Right of Person
ekonomi.
with Dissabilities (Konvensi mengenai
Secara sosial, kaum difabel
Hak-hak Penyandang Disa- bilitas),
sering terisolasi dari kehidupan
namun dalam kenyataannya kurang
masyarakat. Kelompok rentan ini
diimplementasikan secara nyata.
kebanyakan hanya bisa berinteraksi
Kaum difabel korban perkosaan
dengan sesama kaum difabel,
seringkali harus mendatangkan ahli
sehingga tidak jarang mereka merasa
atas inisiatif sendiri, supaya ia dapat
terpisah dari lingkun- gannya. Hal
diperiksa secara psikologis maupun
ini diperparah dengan banyaknya
medis. Dengan kata lain,
masyarakat yang masih menganggap
perlindungan hukum bagi kaum
kaum difabel sebagai kutukan atau
difabel belum mak- simal (Alfan
problem medis yang dimiliki
Alfian: 2015). Sementara terkait
seseorang. Akibatnya, kaum difabel
pelayanan publik, kaum difabel
dianggap berpenyakit dan ha- rus
memiliki banyak hambatan, karena
disembuhkan. Atas anggapan ini,
minimnya sarana pelayanan sosial,
kaum difabel merasa tertekan secara
kesehatan, serta sarana pelayanan
lain bagi kaum difabel. Aksesibilitas
pelayanan publik untuk kaum difabel
hingga kini dirasa belum sepenuhnya
mengucilkannya.8
memuaskan (Ferry Firdaus dan Fajar
Penanaman kesadaran tersebut
Iswahyudi: 2016).
dilakukan dengan melibatkan ref-
Meminjam istilah Freire, peny-
leksi kritis antara guru dan murid.
elenggaraan pendidikan tidak lain
Dialektika antar keduanya berjalan
adalah untuk mengubah konstruksi
terus-menerus dalam menyikapi ber-
sosial-politik-hukum-ekonomi yang ti-
bagai persoalan kaum difabel, hingga
dak seimbang tersebut. Hal itu dimulai
muncul kesadaran bahwa mereka
dengan penanaman kesadaran kritis
harus terlibat dalam perubahan sosial.
pada para murid difabel. Sekolah-
Dalam hal ini, pendidikan inklusif
sekolah maupun perguruan tinggi
kemudian tidak hanya merupakan
inklusif harus mampu membangkit-
transfer ilmu pengetahuan dari guru
kan kesadaran kritis kaum difabel,
ke murid, tetapi juga menjadi sara-
sehingga mereka menyadari realitas
na tranformasi kehidupan. Melalui
sebenarnya yang dihadapinya.
keterlibatan guru dan murid dalam
Mereka tidak hanya dibekali ilmu
sekolah inklusif, konstruksi sosial-
pengetahuan dan keterampilan,
politik-hukum-ekonomi yang semula
melainkan juga di- perkenalkan
sangat tidak ramah bagi kaum difabel,
dengan kehidupan nyata yang
harus diubah menjadi kontruksi yang
membuat mereka menjadi lemah dan
lebih manusiawi.
terpinggirkan.
Dalam rangka membangun kesa-
Proses penyadaran itu berlang-
daran dan transformasi kaum difabel
sung terus-menerus. Tujuannya agar
itu, pendidikan harus dilakukan me-
muncul kesadaran pada diri kaum
lalui model dialog dengan
difabel, bahwa mereka bukan semata-
melibatkan metode hadap masalah.
mata kaum lemah secara medis. Ada
Guru dan murid saling tukar
konstruksi kehidupan di sekitarnyalah
pengetahuan dalam
yang membuat mereka tidak berdaya
dan terpinggirkan. Pendidikan men- 8
Dalam perkembangannya, kaum difabel
tidak lagi dilihat sebagai problem medis saja
jelaskan kepada mereka bahwa kaum melainkan dilihat dari sisi sosial-politik. Dari
difabel mengalami banyak kesulitan sisi ini, kaum difabel dilihat sebagai kaum
yang terpinggirkan akibat konstruksi sosial-
dan menjadi mahluk paling rentan.
politik. Mereka lemah bukan karena dirinya,
Hal itu tidak lepas dari lingkungan tetapi “dilemahkan” oleh berbagai pengaturan
dan sosial yang membuat mereka dan pengorganisasian masyarakat yang tidak
“ramah” bagi kaum difabel. Untuk melihat
terhambat dalam mengembangkan berbagai perspektif tentang kaum difabel bisa
diri. Bahwa konstruksi sosial yang dilihat dalam Scott Campbell Brown, “Met-
hodological Paradigms that Shape Disability
tercipta tidak atau sangat sedikit mem- Research”, dalam Gary L. Albrecht, Katherine
pertimbangkan kaum difabel, D. Seelman, dan Michael Bury, Handbook of
Disability Studies, (London: Sage Publications,
bahkan
2000), hlm. 145-168.
membahas sebuah masalah tertentu,
subaltern,9 yang tidak bisa berbicara
utamanya masalah-masalah riil yang
atau menyuarakan apa yang dikehen-
dihadapi oleh kaum difabel. Mereka
dakinya. Segala apa yang terjadi pada
memikirkan secara kritis apa yang
mereka sering diwacanakan dan
terjadi dan apa yang harus dilaku-
disua- rakan oleh kaum non-difabel
kan. Meminjam istilah Freire, dalam
saja. Ini terjadi karena kaum difabel
hal ini masing-masing mereka bisa
dianggap sebagai kaum yang tidak
memaknai “realitas yang dihadapi”
bisa apa-apa, sehingga satu-satunya
dan menentukan kehidupan mereka
jalan adalah dengan mengajarinya,
melalui kesadaran kritis dan kemer-
persis seperti dalam model “banking
dekaan berpikir.
education”.
Tentu, dialog guru dengan murid
Padahal, kaum difabel juga
tersebut mensyaratkan keduanya
manu- sia yang memiliki potensi,
sama-sama harus berposisi sebagai
kehendak, dan pemikiran. Mereka
subjek pembelajaran. Guru menyam-
juga merupa- kan manusia, yang
paikan materi pembelajaran dan
seandainya digali dan diberi
murid menyampaikan pemahaman
kesempatan, memiliki po- tensi dan
tentang materi itu. Guru dan mu-
bisa mengembangkannya. Bahkan,
rid saling berbagi pemahaman dan
tidak jarang kaum difabel tampil
pengalaman demi terciptanya demi
sebagai seorang yang memikat dan
tumbuh-kembangnya setiap potensi
mengundang decak kagum orang
yang dimiliki para murid. Inilah yang
“normal” karena memiliki kelebih-
kemudian diistilahkan dengan pendi-
an secara sikap, intelektual maupun
dikan yang memanusiakan manusia
keterampilan. Misalnya, di Indonesia
--pendidikan yang sepenuhnya
kita mengenal Abdurrahman Wahid,
meng- hormati fitrah manusia--
presiden yang penglihatannya terba-
termasuk kaum difabel sekalipun.
tas, namun kapasitas intelektual dan
Apa yang menjadi sasaran dari
terobosan politiknya tidak diragukan
proses pendidikan inklusif di sini --se-
lagi. Sementara itu, di Amerika
bagaimana dikehendaki Freire dalam
Serikat ada David Peterson, seorang
Padagogy of The Oppressed-- adalah
politisi buta, sekaligus seorang
para peserta didik, dalam hal ini
gubernur cer- das dan memiliki
kaum difabel, bisa berbicara atas
kepribadian yang menyenangkan.
namanya sendiri. Mereka kemudian
bisa terlibat dalam “memaknai” 9
Subaltern bisa disebut sebagai kelompok
marginal. Dalam studi-studi poskolonial,
kehidupan. Sela- ma ini, kaum kaum subaltern direpresentasikan sebagai
difabel menjadi kaum kaum “terjajah” yang tidak mampu bersuara
atas namanya sendiri. Untuk penjelasan kaum
subaltern bisa disimak dalam Stephen Morton,
Gayatri Spivak: Etika, Subalternitas dan Kritik
Penalaran Poskolonial, terjemahan Wiwin Indi-
arti, (Yogyakarta: Pararaton, 2008).
Dalam konteks itulah,
nempuh pendidikan. Namun dalam
pendidikan inklusif diselenggarakan
kenyataannya, pendidikan inklusif
dan seharus- nya menjadi sarana
belum banyak disediakan, utamanya
efektif bagi kaum difabel untuk maju
di tingkat perguruan tinggi karena
dan berkembang. Pendidikan
berbagai alasan. Di sini political will
inklusif mampu melahir- kan murid-
pemerintah sangat diharapkan dalam
murid yang mampu berpi- kir kritis.
memastikan terjaminnya hak-hak
Mereka dapat berbicara atas namanya
kaum difabel itu.
sendiri, menyuarakan hak- haknya,
Sistem pelayanan pendidikan
serta dapat memperjuangkan nasib
inklusif juga harus dipastikan terse-
kaum difabel secara khusus atau kaum
lenggara dengan baik, sehingga kaum
lemah secara umum. Hal ini
difabel tidak banyak menemui kesuli-
dilakukan demi terciptanya struktur
tan atau hambatan dalam menempuh
kehidupan yang lebih manusiawi.
pembelajaran. Guru, pendamping,
Di sisi lain, harus diakui bahwa
fasilitas atau sarana-prasarana, dan
ide-ide Freire tidak dapat dengan
pelayanan harus dimaksimalkan.
mudah ditransformasikan dalam pen-
Diharapkan dengan begitu, maka
didikan inklusif. Dalam pendidikan
lembaga-lembaga pendidikan benar-
kaum non-difabel saja, model pendi-
benar bisa menjadi “rumah” bagi
dikan Freire terbentur banyak ham-
ber- seminya potensi-potensi yang
batan, mulai dari persoalan-persoalan
dimiliki oleh kaum difabel.
guru hingga kurikulumnya. Namun,
Selama persoalan-persoalan teknis
tidak berarti gagasan Freire tidak
tersebut belum dapat diselesaikan,
bisa diaplikasikan sama sekali. Perlu
sulit diharapkan ide-ide Freire dapat
upaya lebih keras lagi dari para
diaplikasikan. Bagaimanapun juga,
pelaku pen- didikan inklusif di
ide-ide Freire hanya bisa dijalankan
Indonesia.
ketika secara teknis pelaksanaan
Jika selama ini pendidikan inklu-
pendidikan inklusif telah baik, serta
sif di Indonesia masih menemui
menjadi sarana yang nyaman bagi
banyak kendala teknis seperti aturan
guru dan murid untuk melalui proses
prosedural dan sistem pelayanan,
pembelajaran. Lebih jauh lagi,
maka persoalan-persoalan itu harus
selama pendidikan inklusif masih
diselesaikan terlebih dahulu. Jaminan
tersandera oleh berbagai persoalan
hak-hak bagi kaum difabel untuk men-
teknis, maka sulit diharapkan
gakses pendidikan di semua tingkat
munculnya figur- figur kaum difabel
pendidikan harus teraplikasi secara
yang bisa berbicara banyak di
nyata di lapangan. Memang sudah
panggung nasional dan
jelas ada peraturan yang menjamin
berkontribusi pada keberlangsungan
hak-hak kaum difabel dalam menda-
sosial-politik-hukum-ekonomi di
pat kesempatan yang sama untuk
me-
Indonesia.
Collins, Denis (2011). Paulo Freire:
F. Kesimpulan Ke- hidupan, Karya dan
Berdasarkan uraian di atas dapat
Pemikirannya. Terjemahan Henry
disimpulkan dua hal pokok, yaitu:
Heyneardhi dan Anastasia P.
pertama, gagasan Freire tentang pendi- Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
dikan tercermin dalam konsepnya ten- Darmaningtyas, Edi Subkhan, dan
tang pendidikan kaum tertindas Fahmi Panimbang (2014). Mela-
serta model pembelajarannya yang
wan Liberalisme Pendidikan. Ma-
dialogis. Hal ini ditambah dengan lang: Madani.
melibatkan metode hadap masalah. Freire, Paulo (1997). Pedagogy of the
Pendidikan didasarkan dan Heart. New York: Continum.
diorientasikan untuk melahirkan -------, ------- (2005). Pedagogy of the
peserta didik yang memi- liki Oppressed. New York: Continum.
kesadaran kritis, merdeka, dan bisa -------, (2001). Pedagogi Penghara-
memperjuangkan hak-haknya. pan: Menghayati Kembali Pedagogi
Kedua, di antara gagasan Freire yang Kaum Tertindas. Yogyakarta: Ka-
bisa dikontekstualisasikan ke dalam nisius.
pendidikan inklusif di Indonesia -------, (2008). Pendidikan Kaum
adalah soal pendidikan. Hal itu harus Tertindas, Terjemahan Tim
didasarkan dan diorientasikan untuk Redak- si. Jakarta: LP3ES.
kaum difabel, serta penyelenggaraan Garnida, Dadang (2015). Pengantar
pendidikan yang mampu melahirkan Pendidikan Inklusif. Bandung: Ra-
kaum difabel yang merdeka, berkesa- fika Aditama.
daran kritis, mampu memperjuangkan Kesuma, Dharma, dan Teguh
hak-haknya, dan ikut terlibat dalam Ibrahim (2016). Struktur
perubahan sosial yang terjadi. Fundamental Peda- gogik:
Membedah Pemikiran Paulo Freire,
Daftar Pustaka cet. Ke-1. Bandung: PT. Rafika
Buku, Jurnal, Penelitian, dan Ma- Aditama.
jalah Morton, Stephen (2001). Gayatri Spi-
Albrecht, Gary L. Katherine D
vak: Etika, Subalternitas dan
(2000). Seelman, dan Michael
Kritik Penalaran Poskolonial.
Bury. Hand- book of Disability
Terjemahan Wiwin Indiarti.
Studies. London: Sage Yogyakarta: Pa- raraton.
Publications. Praptiningrum, N (2010). “Fenome-
Alfian, Alfan (2015). “Perlindungan na Penyelenggaraan Pendidikan
Hukum terhadap Kaum Difabel Inklusiff bagi Anak Berkebutu-
Korban Perkosaan”. Fiat han Khusus”. Jurnal Pendidikan
Justisia Jurnal Ilmu Hukum. Vol.
9, No. 4.
Khusus, Vol. 7, No. 2 ticles/ Bartlett_ch5_22feb08.pdf.
(November
2010).
Shor, Ira dan Paulo Freire (1987).
A Pedagogy of Liberation Dialogues
on Transforming Education.
Massachu- setts: Bergin & Garvey
Publishers, Inc. 1987.
Sindhunata (2001), “Awas Padagogi
Hitam”, Basis, No. 01-02,
Tahun ke-50.
Soerjomiharjo, Abdurrahman (1986).
Ki Hajar Dewantara dan Taman
Sis- wa dalam Sejarah Indonesia
Modern. Jakarta: Sinar
Harapan.
Sumiyati (2011). PAUD Inklusif PAUD
Masa Depan. Yogyakarta:
Cakra- wala Institut.
Yamin, Moh (2009). “Menggugat
Pen- didikan Indonesia; Belajar dari
Paulo Freire dan Ki Hajar
Dewantara”. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media.
Peraturan
Undang-Undang Republik Indone-
sia Nomor 8 Tahun 2016 ten-
tang Penyandang Disabilitas.
http://www.dpr.go.id/dokjdih/
document/uu/1667.pdf. (Diakses
tanggal 12 Agustus 2016).
Internet
Bartlett, Lesley (2008). “Paulo Freire
and Peace Education” dalam En-
cyclopedia of Peace Education.
Teach- ers College-Columbia
University, 2008.
http://www.tc.columbia.
edu/centers/epe/PDF%20ar-
(Diakses pada 5 Agustus 2016).
Bentley, Leslie (2008). “A Brief
Biog-
raphy of Paulo Freire” dalam Pe-
dagogy and Theatre of the Oppressed,
http://ptoweb.org/aboutpto/a-
brief-biography-of-paulo-freire/.
(Diakses pada 5 Agustus 2016).
Firdaus, Ferry, dan Fajar
Iswahyudi (2016), “Aksesibilitas
dalam Pela- yanan Publik untuk
Masyarakat dengan
Berkebutuhan Khusus,”.
http://www.samarinda. lan.
go.id/jba/index. php/jba/ ar-
ticle/viewFile/64/76. (Diakses
pada 12 Agustus 2016).
JURNAL DIFABEL, Volume 3, | No 3, 2016 21
Ketentuan-Ketentuan
Pendidikan Berbasis HAM
Dalam Instrumen Internasional
Dan Relevansinya Terhadap
Pengelolaan Pendidikan Bagi
Disabilitas
Abstrak
D
ari studi literatur tentang HAM, teridentifikasi empat ketentuan yang
didalamnya mengatur pentingnya pendidikan berbasis HAM. Masing-
masing adalah DUHAM, Deklarasi Wina dan Program Aksi, Kovenan
Internasional Hak-Hak Ekosob, Deklarasi Pelatihan dan Pendidikan HAM dan
satu ketentuan spesifik mengatur pendidikan bagi penyandang disabilitas, yaitu
Kovenan Internasional Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Dari kelima ketentuan
dimaksud, ada beberapa aspek penting yang relevan dan perlu diperhatikan dalam
pengelolaan pendidikan bagi disabilitas. Aspek tersebut menyebut bahwa hak atas
pendidikan bagi disabilitas harus mencakup ketersediaan, keterjangkauan,
keberterimaan, dan berkesesuaian terhadap budaya. Aspek yang lain; pentingnya
negara menyusun dan mengimplementasikan program pendidikan ramah disabilitas,
kurikulum yang mengandung upaya melawan streotip dan prasangka, adanya
kegiatan-kegiatan dalam kelas yang fokus pada penilaian diri dan umpan balik
dari non-disabilitas, kebijakan yang melindungi dan mencegah dari kekerasan, dan
pentingnya penerapan pendidikan inklusi bagi disabilitas.
Internet
Kamus Besar bahasa
Indonesia,
http://kbbi.web.id/kodifi
kasi (Diakses pada 25 Juni
2016)
Pustakahpi Kemenlu.go.id.,
http://
pustakahpi.kemlu.go.id/dir_
dok/ Lampiran
%20Terjemahan%20 UU
%2019%20Tahun%202011.
pdf (Diakses pada 26 Juni
2015). Wafi, Drs. Abd.
“Karakteristik Kuri-
kulum Diferensiasi”,
http://jatim.kemenag.go.id/file/
file/
mimbar315/rqfn1355307107
.pdf (Diakses pada 26 Juni
2015)
Assesment Persiapan
Pendidikan Inklusi
(Studi Kabupaten Bantaeng,
Sulawesi Selatan)
Ismar Hamid
Peneliti Aksara Institute
E-mail: makkasau13@gmail.com
Abstrak
P
endidikan inklusi adalah proses untuk membuat semua peserta didik dapat
belajar dan berpartisipasi secara efektif dalam sekolah mainstream, tanpa
ada yang terluka dan terdiskriminasi. Assessment ini untuk melihat persia-
pan pendidikan inklusi di Kabupaten Bantaeng. Assessement meliputi lingkungan
fisik dan sosial, yakni: sarana dan prasarana, kesiapan guru dan manajemen seko-
lah, perangkat pembelajaran, persepsi dari sekolah, masyarakat dan pemerintah.
Instrumen yang digunakan adalah observasi, Focus Group Discussion (FGD) dan
Wawancara Informan Kunci (WIK). Assessement ini menemukan fakta bahwa
Kabupaten Bantaeng masih jauh dari siap untuk melaksanakan pendidikan
inklusi. Kondisi sarana dan prasarana belum aksesibel untuk berbagai jenis
difabel. Belum ada inisiatif dan inovasi dari guru dan manajemen sekolah dalam
menangani siswa difabel tertentu, sehingga ini masih menyisakan masalah. Di
lain sisi, penanganan siswa difabel dianggap hanya bisa dilakukan oleh guru
khusus. Kurikulum dan pe- rangkat pembelajaran lainnya belum spesifik
mengakomodasi kepentingan difabel. Dalam hal persepsi, baik pihak sekolah,
masyarakat maupun pemerintah, masih mendudukkan Sekolah Luar Biasa (SLB)
sebagai solusi yang paling tepat untuk siswa difabel. Belum ada pemahaman
secara luas dan mendalam tentang pendi- dikan inklusi. Keinginan untuk
melaksanakan pendidikan inklusi hanya karena adanya tekanan dari beberapa
regulasi dan kebijakan. Kondisi termaju yang ada hingga saat ini hanya dalam
bentuk komitmen untuk melaksanakan pendidikan inklusi dari pihak-pihak yang
terkait langsung, namun belum ada upaya konkrit.
Abstrak
P
endidikan inklusi penting dalam menjawab kebutuhan pendidikan bagi
difabel. Pendidikan inklusi dapat dipandang sebagai pergerakan yang men-
junjung tinggi nilai-nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip utama yang berkaitan
dengan anak, pendidikan, keberagaman dan diskriminasi, proses partisipasi dan
sumbersumber yang tersedia (Stubbs: 2002). Nyatanya, penyelenggaraan pendidikan
inklusi masih mengalami berbagai kendala. Salah satu kendala pelaksanaan pen-
didikan inklusi di Indonesia adalah sebaran geografis dan belum meratanya hasil
pembangunan. Difabel di pedesaan umumnya memiliki akses yang lebih rendah
dalam menikmanti hasil-hasil pembangunan dibandingkan mereka yang berada
di perkotaan. Tulisan ini akan difokuskan pada keberadaan pendidikan inklusi
berbasis masyarakat bagi penyediaan pendidikan anak difabel di pedesaan,
hambatan dan kesempatannya. Dalam melakukan penelitian, pengumpulan data
dilakukan dengan metode wawancara mendalam, studi literatur, serta observasi
langsung di PAUD Inklusi Tersenyum dan PAUD Tunas Bangsa. Mengusung
mantra difabel “nothing about us without us”, dimana komunitas difabel menjadi
motor utamanya, kedua wahana pendidikan ini menjadi model pendidikan inklusi
alternatif, berbeda dengan pendidikan inklusi yang selama ini diterapkan di
Indonesia. Idealnya, pendidik- an inklusi berbasis masyarakat bisa berhasil
ketika dukungan semua stakeholder mampu didapat. Kedua PAUD ini telah
berhasil menggalang dukungan penuh dari beragam stakeholder, namun
dukungan pemerintah masih jauh dari harapan.
Kata kunci: Pendidikan Inklusi; Difabel, PAUD Tersenyum Boyolali, PAUD Tunas Bangsa
Sukoharjo
A. Pendahuluan biasanya tidak ada pemisahan, pemi-
Seiring dengan perkembangan sahan yang ada hanyalah bagi mereka
dunia global, perhatian terhadap yang memiliki kebutuhan khusus.
kelompok marjinal --salah satunya Sementara pendidikan yang
difabel-- semakin meningkat. Demi- dilakukan oleh pihak swasta
kian juga Indonesia yang menjadi memungkinkan adanya pemisahan
menjadi bagian dari dunia. Perhatian siswa sesuai deng- an latar
Indonesia terhadap difabel salah sa- belakangnya seperti agama, etnis,
tunya terlihat dari ratifikasi Kovensi dan gender. Pendidikan swasta
Hak-Hak Difabel (CRPD) pada 2011. umum memisahkan siswa
CRPD yang dicanangkan oleh Perse- berdasarkan kemampuannya
rikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada (Purbani: 2013).
2006 ditujukan untuk membuat babak Di masa lalu, anak difabel di
baru dalam melihat hak-hak difabel. Indo- nesia biasanya menjalani
Konvensi ini selain merupakan pendidikan di sekolah khusus,
instru- men Hak Asasi Manusia dimana anak-anak berkebutuhan
(HAM), juga memiliki aspek khusus dipisahkan dari pendidikan
pembangunan sosial. Di samping regular. Pemisahan ini memicu
itu, konvensi ini diskriminasi dan stigma terhadap
mengidentifikasikan area dimana difabel. Situasi tersebut juga
adaptasi harus dilakukan agar difabel menghasilkan penolakan terhadap
menikmati hak-haknya dengan efektif beberapa hak dasar anak difabel di
dan hak-hak tersebut dilindungi dan dunia pendidikan (Tsaputra: 2013).
diperkuat (Rioux: 2011). Dalam perspektif sosial, difabel me-
Pendidikan merupakan salah rupakan kelompok tertindas karena
satu amanat CRPD, selain itu difabilitasnya dan penindasan yang
pendidikan bagi difabel memberi mereka alami tidak ada sangkut
mereka peluang untuk keluar dari paut- nya (Shakespaera dan Watson:
kemiskinan. Pen- didikan berfungsi 2001). Keduanya memaparkan poin
untuk menyiapkan anak-anak yang paling penting, difabel
menjadi manusia yang memiliki digambarkan sebagai penindasan
perilaku dan nilai yang ber- laku sosial bukan pada bentuk
(Alfian: 2013). Selain itu pendi- difabilitasnya.
dikan juga mempersiapkan anak- Oleh karena itu, konsep Pendi-
anak menghadapi tantangan hidup di dikan Untuk Semua (PUS) diusung
masa depan. menjadi komitmen internasional un-
Penyelenggaraan pendidikan di tuk memastikan setiap anak dan orang
Indonesia umumnya dilakukan oleh dewasa mendapat pendidikan dasar
pemerintah dan pihak swasta. Pendi- yang berkualitas, berdasar HAM dan
dikan yang dilakukan oleh keyakinan umum bahwa pendidikan
pemerintah adalah pusat kesejahteraan individu
dan pembangunan nasional
(UNES-
CO: 2011). Namun kenyataannya
formula atau resep untuk sekolah
PUS tidak memberi perhatian pada
dan kelas dan aktivitas yang terjadi
kelompok marjinal, utamanya anak
dianta- ra mereka (Forlin dkk:
difabel. Sehingga pendidikan inklusi
2013).
menjadi stategi mempromosikan
Pelajaran yang dapat diambil
hak pendidikan, termasuk bagi anak
dari negara-negara kurang mampu
difabel.
di selatan menekankan bahwa pen-
Pendidikan inklusi didefinisikan
didikan inklusif bukan hanya me-
sebagai strategi dalam memenuhi
ngenai sekolah, tetapi lebih luas dan
dan merespon keragaman kebutuhan
mencakup inisiatif dan keterlibatan
dari pelajar dengan meningkatkan
masyarakat luas. Pendidikan inklusi
partisipasi dalam pembelajaran dan
dapat dipandang sebagai pergerakan
menurunkan eksklusivitas pendidikan
yang menjunjung tinggi nilai-nilai,
(Losert: 2010). Namun, pendidikan
keyakinan dan prinsip-prinsip utama
inklusi merupakan sebuah perdebatan
yang berkaitan dengan anak, pendi-
istilah yang minim konseptual fokus
dikan, keberagaman dan diskriminasi,
yang kuat, yang bisa berkontribusi
proses partisipasi dan
terhadap salah konsep atau praktik
sumbersumber yang tersedia
membingungkan (Forlin dkk: 2013).
(Stubbs: 2002).
Isu utama dalam pendidikan
Sementara itu, Subagyo, Dosen
inklusi adalah bahwa pendidikan
Pendidikan Luar Biasa (PLB), UNS
inklusi didasarkan pada hak asasi
menyatakan bahwa pendidikan inklu-
dan model sosial; sistem yang harus
si pada dasarnya pendidikan yang
disesuaikan dengan anak, bukan anak
mampu merangkul semua anak tanpa
yang menyesuaikan diri dengan
terkecuali dalam sistem pendidikan
sistem (Stubbs: 2002). Sekedar
(Astuti: 2013). Baik anak difabel,
penempatan anak ke dalam kelas
anak korban bencana, anak di
dan sekolah regular tidak bisa
lingkungan prostitusi, anak di
dipandang sebagai penggantian
lingkungan perang, maupun anak-
untuk inklusi. Integrasi berarti semua
anak dari kelompok marginal. Inklusi-
anak bisa berpartisipasi penuh dalam
difabel, secara spesi- fik memfokuskan
semua program pendi- dikan (Losert:
diri pada pendidikan inklusi bagi
2010). Ide bahwa pe- laksanaan yang
kelompok difabel. Dalam ranah
baik bagi pendidikan inklusi terlihat
pendidikan inklusi-difabel, hal
di satu bentuk penilain, yaitu
yang menjadi perhatian utama
ketidaksesuaian. Inklusi adalah
seringkali hanyalah membuka akses
ketergantungan konteks yang tinggi
pendidikan bagi anak-anak difabel,
dan melawan pendekatan pendidik-
sementara kebutuhan mereka di seko-
an yang mencoba mengaplikasikan
lah terabaikan. Hal ini tentu saja
akan membuat anak-anak tersebut
tidak mampu berkompetisi di dunia
yang
saat ini semakin kompetitif.
kehidupan anak dan latar belakang
Meskipun pendidikan untuk in-
diperhatikan dan berdasarkan sumber
dividual anak difabel telah dilakukan
dari masyarakat, rencana tindakan
di Indonesia sejak sebelum mencapai
dipetakan untuk membantu anak
kemerdekaan (Sunardi: 2007 dalam
dan orangtuanya mencapai tujuannya
Sunardi dkk: 2011), pelaksanaan
dari awal dan paralel ke dukungan
pen- didikan inklusi masih menemui
khusus, yang disediakan untuk anak
ken- dala. Orientasi baru pada
difabel. Penting untuk
pendidikan inklusi yang berlangsung
mengintegrasikan guru dan anggota
di negara berkembang telah
masyarakat melalui trai- ning
memotivasi Indo- nesia untuk
(Pfortner: 2014).
memperbaiki sistem pen- didikan
Komunitas yang yakin tentang
bagi anak difabel. Pendidikan inklusi
pendidikan inklusi, percaya bahwa
diharapkan menjadi kendaraan ideal
hidup dan belajar bersama adalah cara
untuk menyesuaikan pendidikan
hidup yang lebih baik. Semua itu
untuk semua. Namun, hanya sedikit
akan menguntungkan setiap orang,
sekolah regular yang mau menerima
karena jenis pendidikan ini dapat
anak difabel, mayoritas sekolah ini
menerima dan menanggapi setiap
menolak anak dengan difabel
kebutuhan individu siswa, sehingga
intelek- tual. Penolakan ini
sekolah men- jadi sebuah lingkungan
dikarenakan bebe- rapa alasan
belajar yang ramah bagi siswa. Di
seperti tidak tersedianya pengajar
sekolah khusus dengan sikap terbuka
yang telah di-trainning dan minimnya seperti anak di- fabel intelektual,
fasilitas bagi anak difabel intelektual diharapkan mampu mengoptimalkan
(Hadis: 2005). potensinya. Selain itu, guru reguler
Sementara di pedesaan, orangtua yang tidak menerima pelatihan guru
anak difabel berada dalam kondisi khusus, bisa belajar bagaimana
miskin, minim aksesibilitas dan jauh mengajar anak difabel (Hadis:
dari pusat rehabilitasi masupun infor- 2005).
masi tentang difabel. Menjawab Dengan melaksanakan kegiatan
kebu- tuhan ini, maka proyek RBM di Desa Ringinlarik, Keca-
Rehabilitasi Berbasis Masyarakat matan Musuk, Kabupaten Boyolali,
(RBM) diban- gun dan dilaksanakan Pusat Pengambangan Rehabilitasi
(Kuipers and Maratmo: 2011). RBM Pusat Pengembangan dan Pelatihan
dilaksanakan mengikuti pendekatan Rehabilitasi Bersumberdaya Masya-
“Twin-Track”. Langkah pertama rakat (PPRBM Solo) menginisiasi
adalah menemukan anak difabel terbentuknya Sanggar Inklusi Tunas
dulu, baru meningkat- kan Harapan. Sanggar inilah yang mem-
kesempatan untuk intervensi awal bidani terbentuknya PAUD Inklusi
melalui pekerja masyarakat dan Tersenyum.
anggota keluarga. Keadaan sekeliling
Pendidikan inklusi memerlukan
kemampuan ini para anggota
persiapan, bukan hanya uang. Peng-
sanggar berbagi ilmu sesama anggota
alaman menunjukkan bahwa suk-
dalam hal mengasuh dan mendidik
sesnya program-program pendidikan
anak difabel. Selain itu juga
inklusi telah disatukan di sekolah
dihadirkan beberapa ahli yang
komunitas yang kecil. Terkadang
membagi ilmunya, misalnya terapis,
pelibatan masyarakat menjamin ter-
tokoh masyarakat, pegiat difabel,
lemininasinya diskriminasi. Bersama
serta beberapa ahli lainnya.
dengan dukungan masyarakat, syarat
Beberapa orangtua dengan anak
lain untuk menciptakan lingkungan
difabel yang menjadi anggota di
keberagaman dan inklusif termasuk
sang- gar ini karena kebingungan
teman sebaya, tetangga di sekolah,
dalam mengasuh anak-anak mereka.
aksesibilitas (dengan sumber masya-
Ke- bingungan ini terjadi karena
rakat) dan pengajar yang telah
sanggar terletak di daerah pedesaan,
dilatih (Pfortner: 2014).
jauh dari akses informasi tentang
difabel. Selain itu, mitos-mitos yang
B. Sanggar Inklusi berkembang di masyarakat membuat
Tunas Harapan para orangtua ini semakin
Didirikan di 2013, Sanggar
kebingungan. Setelah mengenal
Inklusi Tunas Harapan merupakan
sanggar, sebagian besar me- reka
kelompok yang terdiri dari
merasa mendapatkan informasi yang
perempuan difabel, para orangtua
dibutuhkan, hal ini membuat
dengan anak difabel, dan pemerhati
mereka menjadi anggota aktif.
difabel. Sanggar yang berpusat di
Sedangkan untuk mencapai tu-
Desa Ringinlarik, Keca- matan
juan kedua, anggota sanggar diajak
Musuk, Kabupaten Boyolali ini
untuk berwirausaha. Beberapa ang-
merupakan kelompok yang diinisiasi
gota sanggar sudah memiliki keahlian
oleh PPRBM: organisasi-non peme-
dalam membuat produk, misalnya
rintah yang fokus pada isu-isu difabel.
produk makanan dan rajutan.
Anggota sanggar ini berkum-
Namun mereka terkendala pemasaran,
pul setiap lapan (1 lapan= 35 hari).
sehing- ga melalui sanggar produk
Tujuan kegiatan sanggar ada dua
ini bisa dipasarkan. Sejak berdirinya
yaitu: 1). Mencerdaskan difabel
sanggar inklusi ini, penulis telah aktif
dan para orangtua dengan anak
menjadi anggota. Di kelompok
difabel; 2). Pemberdayaan
inilah kemu- dian terlihat sosok kuat
ekonomi para anggotanya. Untuk
yang mampu pemimpin sekaligus
mencapai tujuan pertama, beberapa
penggerak difabel di Kecamatan
kegiatan yang dila- kukan adalah
Musuk. Sosok tersebut adalah Titik
penguatan kemampuan anggota
Isnaini, ketua sanggar yang sekaligus
sanggar. Dalam penguatan
menjadi ujung tombak
kegiatan pemberdayaan difabel di
Suksesnya penyelenggaraan perin-
wilayah ini.
gatan hari difabel internasional diikuti
Titik merupakan difabel paraple-
suksesnya Sanggar Inklusi Tunas Ha-
gia. Ketika masih kecil dia
rapan di wilayah Musuk. Masyarakat
kecelakaan saat digendong dan
Musuk yang mayoritas masih awam
mengalami patah tulang belakang.
dibuat terpana oleh banyaknya
Karena kondisi rumah dan
difabel yang hadir di peringatan itu.
minimnya informasi, dia tidak
Secara umum dampak suksesnya
pernah mengenyam bangku sekolah.
acara itu ada 3 terinci dalam:
Dia hanya mendapat pen- didikan
1. Masyarakat tahu keberadaan
dari keluarganya, sehingga memiliki
sanggar, sehingga secara aktif
kemampuan setara dengan rekan-
memberikan informasi kebera-
rekannya yang mengenyam bangku
daan difabel dan menjadikan
pendidikan.
sanggar sebagai rujukan perma-
Meskipun sanggar telah berjalan
salahan difabel di wilayah
selama satu tahun, dan kelompok ini
Musuk.
telah dikenal di komunitas difabel di
2. Memperkuat dukungan keluarga
area sekitarnya, namun gaungnya
Titik dan masyarakat di sekitar-
ma- sih belum terdengar hingga
nya.
kecamat- an. Baru setelah sanggar
3. Memperkuat kepercayaan diri
ini menjadi tuan rumah peringatan
anggota sanggar.
Hari Difabel Internasional di Boyolali
Informasi yang diperoleh dari
yang dilaksa- nakan 2-3 Desember
masyarakat ini ditindaklanjuti oleh
2014, masyarakat mulai mengenal
sanggar dengan pendataan difabel
keberadaan mereka. Peringatan
di wilayah Musuk. Hal ini
yang berlangsung dua hari ini
membuat sanggar memiliki aktivitas
dipusatkan di Balai Desa Ringinlarik.
tambahan. Selain melakukan
Pada tanggal 2 Desember 2014,
pertemuan setiap lapan, Titik dan
dilakukan pelatihan yang bergu- na
beberapa anggota lain berusaha
untuk memperkuat kapastitas difa-
mendata difabel yang ada di sekitar
bel. Pelatihan diikuti oleh para
mereka. Dari data ini, ditemukan
difabel anggota Forum Komunikasi
masih banyak anak difa- bel yang
Difabel Boyolali (FKDB). Puncak
disembunyikan dan tidak terakses
peringatan dilaksanakan 3
pendidikan. Temuan inilah yang
Desember 2014 pagi di lapangan
menjadi awal pemikiran untuk
Desa Ringinlarik ,yang berada
membentuk PAUD Inklusi.
tepat di samping Balai Desa. Dalam
puncak peringatan yang diisi
dengan pentas seni dan pameran ini,
setidaknya 1.000 difabel dan sejumlah
pejabat teras Boyolali hadir.
C. Pendidikan Inklusi bagi untuk dikerjakan di sela-sela men-
BS (10 tahun) dan AN dampingi anaknya. Selain Martuti,
(6 tahun) Ngatiyem yang juga anggota sanggar,
Martuti, salah satu anggota sang- mengaku masih kebingungan deng-
gar, sempat merasa kebingungan an kelanjutan pendidikan putrinya
me- nyekolahkan anaknya BS (10 yang bernama AN. Ia adalah bocah
tahun). BS merupakan difabel netra perempuan yang tahun ini berusia
yang tinggal di Desa Jemowo, tujuh tahun. AN adalah difabel netra.
Kecamatan Musuk, Kabupaten Terlahir dengan kornea mata kecil
Boyolali. Sekolah inklusi terdekat membuatnya mengalami low vision.
letaknya di Desa Suko- rame. Selain AN merupakan siswa sebuah
jarak tempuh yang cukup jauh, PAUD reguler, bukan PAUD inklusi.
medan yang dilalui cukup sulit Di seko- lah ini, Ngatinem
dengan daerah di lereng Gunung Me- menekankan pendi- dikan
rapi. Jalan yang harus ditempuh untuk kemandirian bagi putrinya, hal ini
mengantar BS setiap hari bersekolah yang dia pesankan pada guru-guru di
menurun dan berkelok-kelok, sekolah.
dengan tepian jurang menganga. Menjelang tahun ajaran baru ini,
Dengan kesulitan ini, BS terlam- Ngatinem mendiskusikan kelanjutan
bat masuk sekolah. Dia akhirnya pendidikan bagi putri keduanya.
bersekolah di SDN Jemowo 1, Kebingungan ini juga sempat diuta-
sekolah yang paling dekat dengan rakannya dalam Tea Talk “Saatnya
rumahnya, dengan pendampingan Perempuan Difabel Bersuara;
intensif dari PPRBM Solo. SDN Berbin- cang Bersama Silent Tears
Jemowo 1 me- mang bukan sekolah Australia” di Solo 27 Maret 2016
yang ditunjuk oleh pemerinah untuk lalu.
melaksanakan tugas sebagai sekolah
inklusi, tidak ada dukungan dana dan “Sekarang anak saya sudah berusia
guru pendam- ping khusus. Meski hampir 7 tahun. Pada saat usia 5 tahun
begitu, sekolah ini tetap menerapkan saya diper- kenalkan dengan sanggar
inklusi. Di sini perlahan-lahan saya dan
pendidikan yang humanis, dengan
anak saya mulai sadar bahwa saya punya
menerima beberapa siswa difabel banyak teman dan saudara yang sama
selain BS. senasib seperti anak saya. Di sanggar inilah
Karena tidak ada guru pendam- saya mengetahui dan paham apa saja yang
ping khusus, maka Martuti-lah yang dibutuhkan anak saya. Sekarang anak
saya sudah sekolah di TK reguler dan
berperan menjadi pendamping anak-
sebentar lagi masuk SD. Di sini saya mulai
nya. Setiap hari dia ikut kebingungan bagaimana nanti kelanjutan
mendampingi BS dalam proses pendidikan anak saya?”
belajarnya di seko- lah. Sambil
mendampingi, Martuti acapkali (Wawancara dengan Ngatinem, 4
membawa kerajinan tangan, April 2016 di PAUD Inklusi Terse-
nyum).
memiliki harapan tinggi agar di masa
depan tidak ada lagi difabel yang
Ibu tiga orang anak ini menye-
tidak terakses pendidikan.
butkan, tidak ingin menyekolahkan
AN di SLB. Ini dikarenakan dia D. Pendidikan Inklusi Ber-
menginginkan putrinya dapat berso- basis Masyarakat: Ham-
sialisasi di lingkungan yang memiliki batan dan Kesempatan
keberagaman. Jika bersekolah di SLB Dalam konteks Indonesia, pendi-
dimungkinkan teman-teman AN dikan inklusi memberi akses. Dalam
ada- lah difabel saja. artian, setiap anak difabel sebaiknya
masuk ke sekolah regular, sesuai deng-
“Sebagai orangtua begitu besar harapan
saya agar anak saya bisa mandiri untuk an prinsip dasar pendidikan inklusi
saat ini. Jika dia besar nanti, dia bisa bahwa “setiap anak sebaiknya belajar
berguna untuk orang lain. Dan dia bisa bersama, dimanapun memungkinkan
menunjukkan pada semua orang di luar dengan mempertimbangkan kesuli-
sana, bahwa difabel tidak selalu tan maupun perbedaan yang mereka
merepotkan. Saya bisa mela- kukan segala
punya”. Meskipun hal ini sebenarnya
sesuatu tanpa bantuan orang lain. Bahkan
sayapun bisa membantu orang lain. masih sulit dilaksanakan. Dengan
Sebagai masyarakat, saya berharap orang- kata lain, pelaksanaan pendidikan
orang di luar sana tahu bahwa difabel punya inklusi di Indonesia masih berada di
hak yang sama dengan orang-orang non- tingkat paling awal (Hadis: 2005).
difabel. Kami (orangtua anak difabel)
PAUD Inklusi Tersenyum men-
ingin seperti yang lainnya, ingin bergorga-
jadi langkah untuk mewujudkan per-
nisasi, bermasyarakat dan lain sebagainya”.
ubahan dari tingkat bawah, dimana
(Wawancara dengan Ngatinem, 4 anak-anak mampu bersosialisasi
April 2016 di PAUD Inklusi Terse- bersama anak-anak lain yang memiliki
nyum). kebutuhan berbeda. Berbaurnya
anak difabel dan non-difabel di lingkup
Penyelenggaraan pendidikan pen- didikan, empati dan kesetaraan
inklusi yang mengedepankan hak dapat terintegrasi secara optimal
asasi dan sosial model menjadi melalui per- gaulan sehari-hari.
alternatif pendidikan inklusi, di Sementara itu bagi anak difabel,
samping pen- didikan inklusi yang pergaulan yang wajar dalam kegiatan
dilaksanakan pemerintah. sehari-hari diharapkan mampu
Menyelenggarakan pen- didikan membangun kepercayaan diri serta
inklusi juga merupakan salah satu menggali potensi sejak awal.
mimpi yang dimiliki oleh Titik. Sapto Nugroho, pegiat difabel
Sebagai difabel yang tidak pernah yang mengusung ideologi kenorma-
menempuh pendidikan formal, dia lan, menyatakan bahwa selama ini
tidak terjadi pergaulan yang wajar
dibangun ruang sekolah.
antara difabel dan non-difabel, se-
Selama beberapa minggu, warga
hingga menimbulkan prasangka di
sekitar rumah Titik bergotong royong
masing-masing pihak (Putri: 2015).
membangun gedung. Warga yang
Pergaulan wajar antara difabel dan
bekerja membangun ini sama sekali
non–difabel sejak anak-anak dapat
tidak dibayar. Secara sukarela
mengikis prasangka di masing masing
mereka membantu persiapan
pihak.
sekolah. Secara bergiliran warga
Dengan memperkenalkan per-
menyelesaikan pem- buatan ruang
gaulan sehari-hari melalui proses
sekolah hingga menjadi bangunan
belajar-mengajar, maka jarak di antara
permanen. Bangunan ini sudah
difabel dan non-difabel bisa terkikis
dilengkapi dengan aksesibilitas fisik
sejak dini. Di masa depan anak-anak
yaitu ramp untuk memperlancar
inilah yang nantinya anak menyebar-
mobilitas Titik.
kan pesan inklusi pada masyarakat
Akhir nya, di tahun ajaran
luas. Dengan demikian masyarakat
2015/2016 PAUD Inklusi Tersenyum
inklusi bisa tercipta dari pesan inklusi
mulai menjalankan aktivitas belajar
yang tersebar. Selain itu, dengan
mengajar. Dari hanya empat siswa
tam- pilnya difabel ke permukaan
yang mendaftar, hingga akhir tahun
melalui proses pendidikan,
ajaran tercatat ada 12 siswa. Tiga
masyarakat akan mengetahui
diantaranya difabel intelektual dan
keberadaan mereka. Dengan
satu difabel cerebral palsy. Sekolah ini
masyarakat tahu keberadaan mereka,
dilaksanakan setiap hari Senin-Jumat
paham tentang difabilitas, maka
jam 08.00-10.00. Dengan kepala
pesan inklusi juga akan ter-
sekolah, tiga orang guru (dua dian-
sampaikan dalam jangka waktu yang
taranya difabel), satu terapis dan dua
relatif lebih singkat.
relawan (satu orangtua anak difabel,
Ketika konsep PAUD inklusi ini
satu difabel) proses belajar-mengajar
masih berada dalam tahap pemikiran,
dilakukan. Demi mengurangi kebia-
Dukungan untuk pendirian sekolah
saan anak jajan makanan yang tidak
inklusi ini mengalir dari berbagai
terjamin aman, pengurus sekolah
kalangan. Dukungan tersebut tidak
melakukan program makan bersama.
hanya berupa materi, tetapi juga
Makan bersama ini dilakukan setiap
dukungan lain. Dalam kurun waktu
selesai kegiatan belajar, salah
tidak sampai setahun, telah terkumpul
seorang guru bertugas menyediakan
dana untuk membangun gedung seko-
makanan ini, sehingga keamanannya
lah. Mardi, ayah Titik, memberikan
terjamin. Berbeda dengan PAUD
sepetak tanah berukuran kira-kira 35
reguler, sekolah ini menambahkan
m2 dari pekarangan rumahnya untuk
terapi disamping kegiatan belajar
dan ber-
main. Terapi dikhususkan bagi anak-
adalah dalam proses pembelajaran.
anak difabel yang membutuhkannya.
Pihak sekolah senantiasa menyertakan
Sekolah ini juga melibatkan peran
orang tua. Peran serta aktif orang tua
orangtua dan lingkungan sekolah se-
ini yang mendukung terlaksananya
bagai pendukung. Mengusung prinsip
pendididkan inklusi di dua sekolah ini.
pendidikan inklusi yang mengede-
Tunas Bangsa yang telah berjalan
pankan prinsip kearifan lokal, pihak
hampir lima tahun ini telah berjejaring
sekolah berusaha sebisa mungkin
dengan Pemerintah Sukoharjo. Setiap
memanfaatkan sumberdaya di sekitar-
minggu, Puskesmas Nguter menye-
nya. Misalnya belajar dengan media
diakan mobil ambulan untuk men-
bermain tanah liat.
jemput difabel yang ikut terapi. Saat
Cerita berbeda dimiliki oleh
ini, PAUD tersebut sudah memiliki
PAUD Tunas Bangsa yang terletak di
delapan pengajar dan empat terapis
Kecamatan Nguter, Kabupaten Su-
yang terdiri dari dua terapis okupasi,
koharjo. Informasi ini diperoleh dari
satu terapis wicara dan satu psikolog.
wawancara dengan Kepala Sekolah
Kegiatan PAUD bahkan sudah me-
PAUD Tunas Bangsa, Puji
rambah pada layanan penitipan anak.
Handaya- ni, pada 24 Mei 2016.
Sekolah ini juga sudah menjadi seko-
lah rujukan di dinas-dinas setempat.
“PAUD ini didirikan November 2011. Saat
ini ada sekitar 48 siswa yang datang PAUD Inklusi Tersenyum baru
setiap hari dan ya sekitar 30 difabel yang setahun berjalan, dibanding PAUD
datang setiap Kamis. Di Tunas Bangsa, Tunas Bangsa yang hampir lima
ada dua program yang dijalankan, yaitu tahun, masih ada beberapa permasa-
kegiatan PAUD yang berlangsung Senin- lahan yang perlu diselesaikan guna
Jumat dan kegiatan sanggar yaitu setiap
meningkatkan kualitas pendidikan.
Kamis”
Permasalahan itu adalah:
Berbeda dari PAUD Inklusi
1. Kebutuhan peningkatan
Ter- senyum yang diawali dari
kapasitas pengelola
kegiatan sanggar, Tunas Bangsa
Sebagian besar pengelola PAUD
membentuk sanggar setelah kegiatan
tidak memiliki latar belakang pendi-
berjalan lebih setengah tahun, pada
dikan yang sesuai. Hal ini membuat
Maret 2012. Akan tetapi, kedua
mereka merasa kurang percaya diri
PAUD ini memiliki latar belakang
dan butuh peningkatan kemampuan.
yang sama, yaitu berawal dari
Selain itu, mereka masih kebingun-
rintisan oleh Orga- nisasi Non
gan dalam menghadapi anak difabel.
Pemerintah (Ornop) dan berawal
Beberapa anak difabel memiliki ke-
dari RBM. Tunas Bangsa berawal
biasaan seperti harus ditunggu gurun-
dari dorongan Karinakas. Hal lain
yang sama dari kedua PAUD ini
ya kemana-mana. Awalnya sulit
membuktikan bahwa pendidikan
diajak masuk kelas, dan kebiasaan
inklusi yang baik dan berkualitas bisa
lain yang membuat guru
dibuat dengan biaya rendah. Ini
kebingungan. Kebutu- han
tentu saja bertentangan dengan
peningkatan kapasitas lain adalah
pandangan umum bahwa pendidikan
kemampuan di bidang informasi dan
inklusi yang baik selalu linear dengan
teknologi. Kemampuan ini berguna
jumlah uang yang dikeluarkan. Hal
untuk mensosialisasikan keberadaan
yang perlu menjadi perhatian adalah
PAUD ke masyarakat umum.
menjaga kelangsungan PAUD.
Selama ini ke- berlangsungan
2. Legalitas PAUD
PAUD tergantung pada pemimpin
Perijinan PUAD dibutuhkan,
yang mampu menjadi motor
selain untuk mengakses program-
penggerak lembaga pendidik- an.
program pemerintah, juga untuk
Sementara kebutuhan pendidikan
pen- gakuan pemerintah akan
bagi difabel tidak hanya sekarang
keberadaan PAUD. Proposal
saja tetapi juga di masa depan.
perijinan PAUD saat ini tengah
dalam proses. Tugas selanjutnya
Daftar Pustaka
adalah meningkatkan ke- mampuan
Buku, Jurnal, Penelitian, dan Ma-
komunikasi guna mengawal proses
jalah
perijinan ini. Alfian (2013). “Pendidikan Inklusif
di Indonesia”, Jurnal IAIN Jambi
E. Kesimpulan Vol 4.
Pelaksanaan pendidikan inklusi Forlin, C dkk (2013). Inclusive Edu-
yang ada di Indonesia belum mampu cation for Student with Disabilities:
menjawab kebutuhan pendidikan
a Review of the Best Evidence in
un- tuk difabel, bahkan terkesan
Relation to Theory and Practice.
semata- mata proyek eksperimen. The Australian Research Alliance
Padahal banyak uang yang telah for Children and Youth
dikeluarkan pemerintah. PAUD (ARACY).
Inklusi Terse- nyum dan PAUD Hadis, Fawzia Aswin (2005).
Tunas Bangsa lahir di tengah-tengah Toward Inclusive, Inclusive
masyarakat guna menjawab Education in Indo- nesia: a Country
tantangan kebutuhan pen- didikan Report. Presented at Seisa
untuk anak difabel, berbeda dengan University Ashibetsu-shi
sekolah inklusi yang selama ini ada. Hokkaido, Japan.
Hal ini menggambarkan bahwa pola Firdaus, E (2010). “Pendidikan
pendidikan inklusif bisa menjadi Inklusi dan Implementasinya di
alternatif bagi peningkatan kualitas Indone- sia”. Disampaikan dalam
pendidikan difabel. Seminar Pendidikan Nasional di
Kedua lembaga pendidikan bisa Univer- sitas Negeri Jendral
Soedirman
(UNSOED) pada 24 Januari
Stubbs, S (2002), Inclusive Education
2010. Losert, L (2010). Best
Where There Are Few Sources. The
Practices of In- clusive Education for
Atlas Alliance: Oslo.
Children with Disabilities: Application
Sunardi, dkk (2011). “The Imple-
for Program Design in The Europe and
mentation of Inclusive Education
Euroasia
for Student with Special Need
Region. USAID.
in Indonesia”, Excellence in
Kuipers, P and Maratmo, J (2011).
Higher Education Vol. 2 No. 1.
“A Low-intensity Approach for
Shakespeare, T and Watson, N
Early Intervention and Detec-
(2002). “The Social Model of
tion of Childhood Disability in
Disability: and Outdated
Central Java: Long-term Findings
Ideology?”, Jurnal Research in
and Implications for Inclusive
Social Science and Disa- bility Vol.
Development”, Jurnal Disability, 2.
CBR & Inclusive Development, United Nations Children’s Fund
Desember 2011, Vol. 22 Issue 3. (2011), The Right of Children
Pfotner, K (2014). “Community-based with Disabilities to Education: A
Inclusive Education: Best Practi- Rights- Based Approach to Inclusive
ces fro Nicaragua, El Salvador, Educa- tion. Jenewa: UNICEF.
Guatemala and Honduras”. Internet
Jurnal Disability, CBR & Inclusive Astuti, P (2013). “Paradigma Pendi-
Deve- lopment, 2014, Vol. 25. dikan Inklusi: Antara Ideal dan
Rioux, M. H (2011). “Disability Kenyataan”, www.solider.or.id.
Rights and Change in A Global Nawawi, A (2010). “Pendidikan
Perspective”. Jurnal Sport in
Inklu- sif Bagi Anak Low Vision”,
Society Vol. 14, No. 9, diambil dari
November 2011,
http://file.upi.edu/Direkto-
1094–1098.
ri/FIP/JUR._PEND._LUAR_
Rogers, C (2007). “Experiencing an
BIASA/195412071981121-AH-
'Inclusive' Education: Parents
MAD_NAWAWI/PENDIDIK-
and Their Children with Special
AN_INKLUSIF_BAGI_ANAK_
Educational Needs”, British Jour-
LV.pdf .
nal of Sociology of Education, Vol.
Putri, I (2015). “Workshop
28, No. 1.
Pembebas- an Stigma Difabel:
Slee, R (2007). “Inclusive Education?
Bongkar Ideo- logi Kenormalan”,
This Must Signify 'New Times'
retrieved from
in Educational Research”, British
http://solider.or.id/2015/01/25/
Journal of Educational Studies, Vol.
workshop-pembebasan-stigma-
46, No. 4.
difabel-bongkar-ideologi-kenor-
malan.
Tsaputra, A (2013), “Inclusive Edu-
cation for Children with Disa-
bilities in Indonesia: Dilemma
and Suitable Framework for In-
donesian Context”, diambil dari
http://www.australiaawardsindo.
or.id/files/arg/ARTICLE%20
FOR%20ARG%20BULLETIN-
ANTONI.pdf
The World Bank (2016), Overview,
diambil dari http://www.world-
bank.org/en/topic/disability/
overview.
The United Nations: Convention on
The Rights of Persons With Disa-
bilities, diambil dari http://www.
un.org/disabilities/convention/
conventionfull.shtml.
JURNAL DIFABEL, Volume 3, | No 3, 2016 67
Refleksi Implementasi
Pendidikan Inklusif di
Indonesia
Munawir Yusuf
Dosen PLB FKIP Universitas Sebelas Maret Email:
munawir_uns@yahoo.co.id
Abstak
L
ebih dari satu abad, pendidikan bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
di Indonesia diselenggarakan secara segregatif dalam bentuk satuan
pendi- dikan khusus, yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Sekolah
Luar Biasa
(SLB). Sejak diberlakukan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Na-
sional, pendidikan bagi ABK lebih diperluas lagi. Tidak hanya diselenggarakan di
sekolah khusus, tetapi juga dapat diselenggarakan di sekolah umum secara inklusif.
Kebijakan penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia, pada awalnya lebih
ditujukan kepada upaya pemenuhan wajib belajar bagi ABK pada jenjang pendi-
dikan dasar. Dalam perkembangannya, telah memasuki lingkup yang lebih luas,
yaitu ke pendidikan menengah, dan bahkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Beberapa perguruan tinggi mulai memberikan kesempatan yang lebih luas dan
terbuka kepa- da ABK untuk dapat diterima belajar di perguruan tinggi.
Fenomena pendidikan inklusif di Indonesia sekarang telah memasuki era
pembudayaan. Tidak hanya di tingkat satuan pendidikan, akan tetapi juga di
beberapa Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), seperti Dinas Pekerjaan
Umum, Dinas Perhubungan dan Trans- portasi, Dinas Sosial, Kantor
Kementerian Agama, Dinas Kesehatan, bahkan juga Bappeda. Mereka telah
memasukkan isu inklusi sebagai salah satu program yang harus dilaksanakan.
Beberapa telaah atas hasil riset mutakhir di bidang inklusi di Indonesia
menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran pemahaman, sikap dan perilaku
warga sekolah terhadap pendidikan inklusif.
Kata kunci: Pendidikan Inklusif; Anak Berkebutuhan Khusus; Paradigma Medis; Para-
digma Sosial
A. Pendahuluan diambil untuk
Refleksi tentang implementasi
pendidikan inklusif di Indonesia,
perlu dilakukan. Hal ini penting
untuk mengetahui permasalahan
yang ada dan mencari solusi terbaik
yang perlu dilakukan. Tulisan ini
merupakan sebuah refleksi
berdasarkan bebera- pa hasil riset
lapangan di Indonesia terkait dengan
pendidikan inklusif. Selama
beberapa dasawarsa terakhir, banyak
upaya yang dilakukan dunia untuk
menciptakan pendidikan uni- versal
dalam rangka pemenuhan hak dasar
pendidikan bagi semua anak. Pada
tahun 1980-an, pertumbuhan
pendidikan universal tidak hanya
melambat, tetapi di banyak negara
bahkan berbalik arah. Diakui bahwa
‘pendidikan untuk semua’ tidak
terjadi secara otomatis (Stubbs:
2002).
Deklarasi Dunia Jomtien 1990 di
Thailand tentang pendidikan untuk
semua, mencoba menjawab tantang-
an yang ada dengan melangkah lebih
jauh dari sekedar Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia
(DUHAM). Diny- atakan bahwa
terdapat kesenjangan pendidikan,
kelompok tertentu rentan akan
diskriminasi dan ekslusi, yaitu anak
perempuan, orang miskin, anak
jalanan dan anak pekerja, penduduk
pedesaan dan daerah terpencil, etnis
minoritas dan kelompok-kelompok
lainnya termasuk penyandang difa-
bel. Dalam Pasal II ayat (5)
Jomtien dipertegas bahwa “langkah-
langkah yang diperlukan perlu
memberikan akses pendidikan yang (Stubbs: 2002).
sama kepada setiap kategori Penegasan Salamanca tersebut
penyandang difabel sebagai bagian memberikan landasan yang kuat
yang integral dari sistem terhadap gerakan menuju pendidik-
pendidikan” (Stubbs: 2002). an inklusif, termasuk di Indonesia.
Instrumen internasional
yang mendorong gerakan
menuju pen- didikan inklusif,
terus digulirkan. Tahun 1994
dikeluarkan Pernyataan Salamca
dan Kerangka Aksi tentang
Pendidikan Kebutuhan Khusus,
yang hingga saat ini masih
merupakan do- kumen
internasional utama tentang
prinsip-prinsip dan praktik
pendidikan inklusif. Beberapa
konsep inti inklusi dari
pernyataan Salamanca, antara
lain: (1) Anak-anak memiliki
kebera- gaman yang luas dalam
karakteristik dan kebutuhannya;
(2) Perbedaan itu normal
adanya; (3) Sekolah perlu
mengakomodasi semua anak;
(4) Anak penyandang cacat
seyogyanya bersekolah di
lingkungan sekitar tem- pat
tinggalnya; (5) Partisipasi
masya- rakat itu sangat penting
bagi inklusi;
(6) Pengajaran yang terpusat pada
diri anak merupakan inti dari
inklusi; (7) Kurikulum yang
fleksibel seyogyanya
disesuaikan dengan anak,
bukan kebalikannya; (8) Sekolah
inklusif memberikan manfaat
untuk semua anak karena
membantu menciptakan
masyarakat yang inklusif; (9)
Inklusi meningkatkan efisiensi
dan efektivitas biaya pendidikan
Lebih lanjut disebutkan dalam Pasal
pemahaman tentang pendidikan inklu-
2 bahwa: ”Sekolah regular dengan
sif di kalangan pemangku kepentingan
orientasi inklusif merupakan cara yang
pendidikan sangat penting. Sebab
paling efek- tif untuk memerangi sikap
jika hal ini masih difahami berbeda,
diskriminatif, menciptakan masyarakat
maka sikapnya juga akan berbeda,
yang terbuka, membangun suatu
dan akibatnya perilakunya juga akan
masyarakat inklusif dan mencapai
berbeda. UU No. 20 tahun 2003
pendidikan untuk semua, lebih dari itu
tentang Sistem Pendidikan Nasional
sekolah inklusif memberikan pendidikan
mengamanatkan bahwa pendidikan
yang efektif kepada mayoritas anak dan
bagi anak yang mengalami hambatan
meningkatkan efisiensi, sehingga
belajar karena kelainan fisik, mental,
menekan biaya untuk keseluruhan sistem
intelektual, emosi dan sosial atau
pendidikan.”
yang memiliki potensi potensi
Pendidikan inklusif merupakan
kecerdasan dan bakat istimewa,
salah satu cara dalam mengatasi
diselenggarakan secara inklusif atau
hambatan dalam mendapatkan akses
berupa satuan pen- didikan khusus
pendidikan bagi anak-anak termarjin-
(penjelasan Pasal. 15). Sesuai dengan
alkan, termasuk Anak Berkebutuhan
Peraturan Menteri Pendidikan
Khusus (ABK). Melalui pendidikan
Nasional No. 70 tahun 2009,
inklusif diharapkan dapat memperluas
pendidikan inklusif adalah sistem
dan meningkatkan angka partisipasi
penyelenggaraan pendidikan yang
pendidikan bagi ABK. Dengan pen-
memberikan kesempatan kepada
didikan inklusif juga diharapkan
semua peserta didik yang memiliki
terjadi interaksi sosial dan akademik
kelainan dan memiliki potensi kecer-
yang baik antara ABK dengan
dasan dan/ atau bakat istimewa
anak- anak lain pada umumnya,
untuk mengikuti pendidikan atau
dalam setting lingkungan sekolah
pembela- jaran dalam satu
dan pem- belajaran yang ramah
lingkungan pendi- dikan secara
terhadap semua anak.
bersama-sama dengan peserta didik
Konsekuensinya adalah bahwa
pada umumnya (Pasal 1). Salah satu
dengan pendidikan inklusif, sekolah
tujuan pendidikan inklusif
perlu menciptakan suasana sekolah
dikembangkan di Indonesia adalah
dan pembelajaran yang adaptif dan
“mewujudkan penyelenggaraan pendi-
aksesibel bagi semua anak. Praktik
dikan yang menghargai
di lapangan seperti apa, perlu dikaji
keanekaragaman dan tidak diskriminatif
secara mendalam.
bagi semua peserta
didik” (Pasal 2).
B. Konsep
Pendidikan inklusif pada dasar-
Pendidikan Inklusif
nya adalah sebuah evolusi, yakni pro-
Sebagai sebuah paradigma baru,
ses perubahan paradigma
pendidikan bagi ABK, dari
paradigma segregatif,
integratif dan inklusif. Paradigma
pada umumnya. Karena itu solusinya
segregatif memandang ABK sebagai
adalah setiap anak harus diberikan
sumber hambatan, karena itu pendi-
kebebasan untuk dapat mengikuti
dikan bagi ABK harus dipisahkan
pendidikan secara terintegrasi di se-
dari anak lain yang sebaya. Dalam
kolah reguler. Paradigma integratif ini
perspek- tif keilmuan PLB, model
mendorong lahirnya integrasi fisik dan
pendidikan segregatif dikenal dengan
sosial yang sangat membantu ABK
pendekatan medis (Barnes &
dalam mengembangkan kemandirian
Mercer: 2003).
dalam kehidupan sehari-hari.
Anak-anak penyandang disa-
Paradigma integratif ternyata juga
bilitas dipandang sebagai problem
masih menghadapi persoalan. Hal ini
medis sebagai akibat kekurangan
disebabkan karena pendekatan ini
atau kerusakan fisik dan mental
hanya mengintegrasikan ABK secara
(impairment) dan karenanya mereka
fisik dan sosial, tetapi belum secara
harus “disembuhkan”. Pandangan
akademik. Gerakan baru muncul
tersebut dikenal dengan istilah “perso-
seki- tar tahun 1976. Union of the
nal tragedy theory, individual model
Physically Impaired Against Segregation
atau medical model” (Oliver: 1990,
(UPIAS) sebuah organisasi para
Barnes & Mercer: 2003). Inti dari
difabel Inggris, mengusung ide baru
pandangan medis tersebut adalah (1)
bahwa disabilitas adalah problem
Disabilitas merupakan problem pada
yang diakibatkan oleh hambatan-
level indi- vidu (individual model); (2)
hambatan lingkungan dan sosial
Disabilitas disamakan dengan
(social barriers). Disabilitas adalah
kekurangan atau keterbatasan fisik/
keterbatasan aktivitas yang
mental (impair- ment); dan (3) Solusi
disebabkan oleh karena pengaturan/
yang dianggap paling tepat untuk
pengorganisasian masyarakat kontem-
mengatasi disabili- tas adalah
porer yang tidak atau sangat sedikit
intervensi medis, psikologis dan
mempertimbangkan individu yang
psikiatris.
memiliki kekurangan fisik, dan bah-
Paradigma integratif muncul se-
kan kemudian mengucilkan mereka
bagai sebuah protes atas ketidakadilan
dari aktivitas sosial (UPIAS dalam
dan perlakuan diskriminatif akibat
Ro’fah, dkk: 2010).
pandangan medis terhadap disabilitas.
Persepsi UPIAS ini kemudian
Adalah tindakan diskriminatif, jika
dikembangkan lebih lanjut oleh ilmu-
ada anak hanya karena mengalami
wan-ilmuwan penyandang disabilitas
disabilitas kemudian harus dipisahkan
di Inggris, di antaranya adalah
dari komunitas sebaya. Mereka pasti
Micha- el Oliver (1990) dan Colin
akan kehilangan kesempatan untuk
Barnes (2003), sehingga menjadi
dapat bersosialisasi, berinteraksi,
sebuah pendekatan baru yang
dan bergaul bebas dengan sesama
kemudian
anak
dikenal luas dengan istilah “Social Melalui assessment profesional,
Model of Disability”. Pendekatan baru kurikulum dan pembelajaran yang
meyakini bahwa faktor-faktor ling- diadaptasi, sistem penilaian yang adil,
kungan dan pengorganisasian sosial
serta media dan sarana prasarana
merupakan kunci pendidikan bagi
yang disesuaikan, maka setiap anak
penyandang disabilitas (ABK). Jika
akan dapat mengikuti pendidikan
kondisi lingkungan dan pengorgani-
yang layak dan bermutu dalam
sasian sosial dapat diubah sedemikian
setting pendidikan inklusif (Yusuf:
rupa sehingga memungkinkan setiap
2009). Dengan demikian pendidikan
anak mendapatkan akses dan pela-
inklu- sif tidak saja bernilai penting
yanan pendidikan yang sesuai dan
untuk pemerataan pendidikan, akan
layak, maka ABK akan tumbuh dan
tetapi juga mutu dan relevansi
berkembang secara optimal seperti
pendidikan.
anak-anak lain pada umumnya.
Diny- atakan bahwa “all children are
C. Pendidikan Inklusif da-
enriched by having the opportunity to
lam Praktik
learn from one another, grow to care for
Pendidikan inklusif telah menga-
one another, and gain the attitudes,
lami kemajuan yang pesat di seluruh
skills, and values necessary for our
dunia. Dari berbagai sumber
communities to support the inclusion of
diketahui bahwa negara-negara
all citizens.” (Stainback & Stainback:
Selatan, 90-98% anak-anak dengan
1996).
disabilitas (selanjut- nya disebut anak
Lahirnya paradigma pendekatan
berkebutuhan khusus atau ABK), telah
sosial dalam pelayanan pendidik-
mengikuti pendidik- an secara
an bagi semua anak, menjadi salah
inklusif. Hanya sebagian kecil, 2-10%
satu titik tolak kelahiran pendidikan
ABK mengikuti pendidik- an secara
inklusif. Pendidikan inklusif adalah
segregatif di sekolah khusus atau
sistem pendidikan yang memberikan
Sekolah Luar Biasa (SLB). Model
kesempatan yang sama kepada
pendidikan inklusif diyakini dapat
semua anak untuk dapat belajar
menjadi salah satu kebijakan dalam
bersama, meskipun dengan tuntutan
implementasi konsep Education for
kuriku- lum dan pembelajaran yang
All (Miles & Singal: 2010).
berbeda. Pendidikan inklusif
Di Indonesia, pendidikan bagi
merupakan filo- sofi dan sekaligus
anak berkebutuhan khusus (ABK)
metodologi dalam mewujudkan
baru menjangkau sekitar 35%, sisanya
sebuah lingkungan sosial dan
sekitar 65%, belum mendapatkan ak-
pendidikan. Hal itu memungkin- kan
ses pendidikan (Wamendikbud: 2012).
semua anak akan mendapatkan
Dari jumlah tersebut, sekitar 12%
pelayanan yang sesuai dengan kebu-
bersekolah di sekolah reguler secara
tuhan masing-masing individu.
inklusif dan sisanya sekitar 88% ber-
sekolah di Sekolah Luar Biasa
dang Cacat yang kemudian berubah
(Yusuf: 2012). Sesuai dengan UU
menjadi Undang-Undang
No. 20 ta- hun 2003 tentang Sistem
Penyandang Disabilitas, Undang-
Pendidikan Nasional; warga negara
Undang Perlin- dungan Anak,
yang memiliki kelainan fisik, mental,
Peraturan Pemerintah, sampai
intelektual, emosi dan sosial, serta
Peraturan Menteri yang meng- atur
memiliki po- tensi kecerdasan dan
secara teknis tentang pelaksanaan
bakat istimewa, berhak
pendidikan inklusif. Di tingkat pro-
mendapatkan pendidikan khusus.
vinsi dan kabupaten/ kota, juga dite-
Pendidikan khusus disediakan bagi
mukan bahwa telah banyak
ABK di sekolah khusus atau di
gubernur, bupati dan walikota di
sekolah reguler secara inklusif.
Indonesia, yang telah mengeluarkan
Implikasi dari peraturan perun-
regulasi terkait dengan pendidikan
dang-undangan yang memungkinkan
inklusif.
ABK mengikuti pendidikan secara
Melalui program yang dikem-
inklusif di sekolah reguler, menuntut
bangkan oleh Direktorat Pembinaan
kesiapan semua warga sekolah
Pendidikan Khusus dan Layanan
(kepala sekolah, guru, orangtua,
Khusus Pendidikan Dasar, mampu
siswa ABK dan siswa non ABK).
mendorong tumbuhnya budaya pen-
Hal ini dise- babkan karena dalam
didikan inklusif di setiap provinsi
implementasi pendidikan inklusif,
dan kab/ kota di seluruh Indonesia.
banyak hal yang harus dilakukan
Sampai dengan tahun 2015, setidak-
penyesuaian, yang salah satunya
nya tujuh provinsi (DKI, Jabar,
adalah penyesuaian pada manajemen
Jateng, Jatim, DIY, Kalsel, dan
sekolah. Manajemen sekolah ini
Sumbar) telah memiliki peraturan
sangat penting karena ia berkaitan
gubernur tentang pendidikan
dengan perencanaan,
inklusif. Demikian juga di tingkat
pengorganisasian, pelaksanaan dan
kab/ kota, setidaknya ada 60 kab/
pengendalian (Terry & Rue: 2009).
kota telah mengembangkan progam
Fenomena pendidikan inklusif di
pembudayaan pendidikan inklusif,
Indonesia dapat ditelusuri melalui dua
yang salah satu indikatornya adalah
hal (1) Regulasi yang
adanya regulasi daerah tentang
menggambarkan kebijakan, dan (2)
pendidikan inkusif. Dengan regulasi
Riset lapangan yang menggambarkan
yang mengatur tentang pendidikan
pendidikan inklusif dalam praktik di
inklusif di tingkat provinsi dan kab/
lapangan. Dari segi kebijakan,
kota, mendorong peran pemerintah
pendidikan inklusif di In- donesia
provinsi dan pemerintah daerah secara
telah memiliki regulasi yang sangat
terpadu dengan melibatkan hampir
kuat. Mulai dari UUD 1945,
semua Satuan Kerja Perangkat
Undang-Undang Sistem Pendidikan
Daerah (SKPD). Mereka secara
Nasional, Undang-Undang Penyan-
bersama-sama mengambil peran
dalam mengem-
bangkan pendidikan inklusif di daerah
pemerintah daerah, perguruan
sesuai dengan kewenangan masing-
tinggi, perusahaan/ industri,
masing.
organisasi so- sial, LSM, orangtua,
Survei yang dilakukan di enam
sekolah, maupun perorangan.
kab/ kota di Jawa Tengah dan
Kepada mereka-mereka yang
Jawa Timur, antara lain menemukan
memiliki kepedulian dan komitmen
fe- nomena yang cukup menarik
yang luar biasa terhadap pendidikan
(Yusuf dkk: 2015): (1) Program
inklusif, pemerintah daerah perlu
pembudayaan pendidikan inklusif
memberikan apresiasi melalui peng-
berbasis provinsi/ kab/ kota terbukti
hargaan dan insentif khusus yang di-
mampu menum- buhkan kekuatan-
berikan secara periodik secara selektif.
kekuatan dan poten- si lokal yang
Semua ini menggambarkan bahwa
berujung pada dukungan terhadap
perkembangan pendidikan inklusif di
pendiikan inklusif. Kekuatan dan
Indonesia telah mengalami kemajuan
potensi lokal tersebut antara lain
yang sangat berarti. Fenomena lain
forum-forum atau paguyuban
tentang pendidikan inklusif ternyata
sekolah inklusi, guru pembimbing
telah merambah ke dunia pendidikan
khusus dan sejenisnya, keberadaan
tinggi. Setidaknya delapan perguruan
Asosiasi Profesi Pendidikan Khusus
tinggi negeri besar di Indonesia se-
Indonesia, lahirnya lembaga
perti UPI, UNJ, UNS, UNESA, UI,
supporting pendidikan inklusif di ITS, UNAIR, dan UIN Sunan Kali-
daerah seperti Assessment Center/ jaga Yogyakarta, telah menunjukkan
Resource Center, Pusat Layanan Autis, langkah-langkah konkrit dalam rangka
sekolah-sekolah inklusi percontohan, menerapkan pendidikan inklusif di
SLB-SLB seba- gai pusat sumber, perguruan tinggi. Semua perguruan
pemanfaatan dana CSR Industri, tinggi tersebut telah mendapatkan
dan bahkan mampu mendorong ‘award’ dari pemerintah pusat sebagai
perkembangan IPTEK melalui riset perguruan tinggi yang peduli
dan kajian-kajian pendi- dikan tehadap ABK melalui pendidikan
inklusif oleh Perguruan Tinggi. inklusif.
Karena itu pemerintah daerah perlu
mendorong dan mengoptimalkan D. Refleksi Berdasarkan
serta mengembangkan pusat-pusat ke- Hasil Riset Lapangan
unggulan daerah yang dapat dijadikan Dari segi riset, untuk memotret
penggerak pengembangan pendidikan pendidikan inklusif dalam praktik,
inklusif. (2) Program pembudayaan sebenarnya telah banyak dilakukan
pendidikan inklusif berbasis provin- di Indonesia. Dari berbagai riset
si/ kab/ kota, juga terbukti mampu yang ada, telah terjadi pergeseran
mendorong peran aktif masyarakat pemahaman, sikap dan praktik yang
luas, baik lintas SKPD di tingkat
semakin maju dalam pendidikan
(60.7%) tinggi. Dalam hal sikap res-
inklusif. Meskipun harus diakui
ponden terhadap pendidikan
masih banyak kekurangan dalam
inklusif, diperoleh data 172 orang
praktik, namun dari temuan
(65.6%) kategori sedang, dan sisanya
beberapa riset menunjukkan adanya
90 orang (34.4%) kategori tinggi.
kecenderung- an semakin membaik.
Sementara itu mengenai perilaku
Dari sebuah hasil studi, antara lain
inklusif responden ditemukan 58
menemukan permasalahan dalam
orang (22.1%) rendah,
implementasi pendidikan inklusif 99 orang (37.7%) sedang, dan sisanya
sebagai berikut (Yusuf: 2014) (1) 105 orang (40.2%) kategori tinggi.
Implementasi pen- didikan inklusif Temuan ini menunjukkan bahwa
di SD pada saat ini belum sesuai masih belum ada pemahaman yang
dengan kriteria yang diharapkan; (2) sama antar komponen warga sekolah
Kinerja kepala sekolah dan guru dalam mempersepsi dan memahami
dalam pendidikan inklusif termasuk pendidikan inklusif. Demikian juga
kategori sedang. Respon komite dalam hal sikap terhadap pendidik-
sekolah, siswa ABK dan siswa non an inklusif, belum semuanya positif,
ABK terhadap pendidikan inklu- sif, sehingga berakibat masih ada sekitar
termasuk kategori baik; (3) Fungsi 22.1% yang berperilaku rendah dan
manajemen pendidikan inklusif belum 37.7% berperilaku sedang terhadap
dijalankan secara memadai berdasar- pendidikan inklusif.
kan aspek manajemen sekolah.
Beberapa kasus hasil telaah lapa-
2. Keterlibatan Kepala Sekolah da-
ngan terhadap kepala sekolah, guru
lam Praktik Pendidikan Inklusif
kelas, guru pembimbing khusus, dan
Kepala Sekolah memiliki peran
komite sekolah dalam hal
yang sangat penting dalam imple-
pendidikan inklusif, yang penulis
mentasi pendidikan inklusif. Kepala
lakukan pada tahun 2014 di wilayah
Sekolah sebagai manajer, dapat
Surakarta, diperoleh gambaran
dilihat perannya dalam berbagai
sebagai berikut:
aspek. Hasil riset tentang keterlibatan
kepala seko- lah dalam pendidikan
1. Pengetahuan, Sikap dan Perilaku
inklusif diukur dengan 10 indikator
Inklusif
perilaku, yaitu (Yusuf: 2014): (1)
Pengetahuan dan pemahaman
Merencanakan; (2)
(kepala sekolah, komite sekolah, guru
Mendelegasikan; (3) Mengkoordinasi-
kelas dan guru pembimbing khusus)
kan dan mengarahkan; (4) Mengalo-
dengan jumlah responden 262 orang,
kasikan pendanaan; (5)
diketahui secara umum berada
Menyediakan guru pembimbing
dalam kategori sedang dan tinggi,
khusus; (6) Menye- diakan sarana
yaitu 103 orang (39.3%) sedang, dan
prasarana khusus; (7) Melakukan
159 orang
monitoring dan supervisi;
(8) Melakukan evaluasi; (9) Menjalin
dalam penilaian pembelajaran; (8)
kerjasama, dan (10) Melaporkan
Melakukan remedial; (9) Membuat
hasil. Berdasarkan 10 indikator yang
administrasi siswa; (10) Pembelajar-
diukur tersebut, rata-rata peran
an kompensatoris; (11) Melibatkan
kepala seko- lah berada pada
orangtua ABK; (12) Mengembang-
sekitar 70%.
kan bakat khusus; (13) Melakukan
pendampingan intensif ABK; (14)
3. Keterlibatan Guru Kelas Mendampingi kelanjutan studi ABK;
Keterlibatan guru kelas dalam dan (15) Menyusun laporan kemajuan
pendidikan inklusif diukur dengan belajar ABK. Hasil penelitian ternyata
menggunakan 10 indikator, yaitu: juga belum cukup menggembirakan
(1) Identifikasi dan assessment; (2) peran dan fungsi guru pembimbing
Menyusun RPP/ PPI; (3) Melakukan khusus sebagaimana yang diharapkan.
modifikasi pembelajaran; (4) Me- Secara umum menunjukkan angka
ngembangkan materi pembelajaran yang beragam, dengan skor terendah
khusus; (5) Modifikasi media belajar; 6.9 (69%) dan tetinggi 8.1 (81%).
(6) Modifikasi penilaian; (7) Melaku- Rata-rata skor keterlibatan guru pem-
kan remedial; (8) Mengadministra- bimbing khusus adalah sekitar 75%.
sikan; (9) Pelibatan orangtua, dan
(10) pengembangan diri ABK. Hasil 5. Keterlibatan Komite Sekolah
penelitian menunjukkan bahwa skor Keterlibatan komite sekolah da-
capaian guru kelas berkisar antara 7.0 lam pendidikan inklusif diukur deng-
(70%) terendah dan 7.8 (78%) terting- an 10 indikator, yaitu: (1) Perenca-
gi. Rata-rata yang dicapai guru kelas naan; (2) Pengorganisasian dan pende-
adalah 74%. legasian; (3) Pelaksanaan program; (4)
Dukungan pikiran dan pengetahuan;
4. Keterlibatan Guru Pembimbing (5) Dukungan tenaga dan sarana pra-
Khusus sarana; (6) Dukungan pembiayaan
Peran guru pembimbing khusus khusus; (7) Dukungan akses; (8) Mela-
dalam pendidikan inklusif diukur kukan sosialisasi; (9) Monitoring dan
dengan 15 indikator, yaitu: (1) supervisi; (10) Melakukan evaluasi.
Mela- kukan identifikasi dana Hasil penelitian menunjukkan bahwa
assessment; (2) Menyusun PPI; (3) skor terendah 6.2 (62%) dan
Membantu guru kelas dalam tertinggi 7.7 (77%), dengan rata-rata
pemilihan materi; (4) Membantu 6.9 (69%). Hasil penelitian yang
guru kelas dalam pemili- han media; digambar- kan di atas, jika
(5) Membantu guru kelas dalam dibandingkan deng- an temuan riset
pemilihan alat; (6) Membantu guru sebelumnya, telah menunjukkan
kelas dalam pelaksanaan pem- kemajuan yang cukup
belajaran; (7) Membantu guru kelas
berarti. Baik kepala sekolah, guru
sedang dan tinggi.
kelas, guru pembimbing khusus, mau-
Hal ini disebabkan karena berba-
pun komite sekolah, memperlihatan
gai faktor, pemahaman yang relatif
peran yang cukup baik, meskipun
lebih baik karena sosialisasi yang
masih jauh dari yang diharapkan.
semakin intensif, fasilitas pendukung
Pada tahun 2010, muncul sebuah pe-
yang semakin bertambah karena du-
nelitian tentang sumbangan sekolah
kungan pemerintah yang semakin
inklusi terhadap peningkatan Angka
baik, serta pelayanan terhadap ABK
Partisipasi Murni (APM) pendidikan
yang lebih terukur dan sistematis. Ini
bagi ABK. Dari hasil riset tersebut
ditengarai sebagai akibat seringnya
diketahui bahwa keberadaan sekolah
mendapatkan pelatihan-pelatihan dari
inklusi dalam tahun 2009/2010 mam-
pemerintah maupun perguruan tinggi.
pu menampung sekitar 13% dari total
Hasil penelitian ini menggambarkan
siswa SD Inklusi, atau sekitar 1.173
bahwa meskipun dalam praktik di
siswa ABK (Yusuf dan Indianto:
lapangan pendidikan inklusif masih
2010). Jumlah ini melebihi jumlah
menghadapi permasalahan, namun
siswa SLB yang ada di Kabupaten
dari tahun ke tahun menunjukkan
Boyolali pada saat itu.
kemajuan yang cukup baik. Hal ini
Pada tahun 2011, ada juga pe-
se- jalan dengan tingkat kemajuan
nelitian terkait dengan implementasi
pema- haman responden tentang
pendidikan inklusif di Indonesia.
pendidikan inklusif. Apabila hal
Dari 183 sekolah inklusi yang diteliti
positif ini dapat dipelihara dan dijaga
dari beberapa provinsi, antara lain
dengan baik, maka akan menjadi
ditemukan bahwa implementasi pen-
modal yang sangat penting untuk
didikan inklusif di setiap sekolah sang-
memajukan pendidikan inklusif di
at beragam. Masih jauh dari standar
kemudian hari.
penyelenggaraan pendidikan inklusif
yang diharapkan (Sunardi dkk: E. Cara Pandang Terhadap
2011). Selanjutnya pada tahun
Pendidikan Inklusif
2012, ada kajian di beberapa Kab/ Banyak faktor yang mempenga-
Kota se-Solo Raya. Temuan kajian ruhi keberhasilan dan keberlangsun-
mengindika- sikan bahwa kinerja gan pendidikan inklusif.
kepala sekolah dan guru dalam Keberhasilan pendidikan inklusif
mengimplementasi- kan pendidikan sebenarnya juga tergantung pada
inklusif, masih ber- ada pada tingkat cara pandang. Ada dua cara pandang
sedang dan rendah (Yusuf, Indianto yang melahirkan sistem pendidikan
dan Munzayanah: 2012). Sementara yang berbeda bagi anak-anak
dalam penelitian saat ini telah berkebutuhan khusus. Cara pandang
berada dalam kategori pertama menganggap “child as
problem”. Akibat dari pandangan
ini, maka anak tersebut dianggap (1) an ABK menemukan banyak bukti.
does not respond, cannot learn; (2) has ABK dengan berbagai hambatan
special needs; (3) needs special
fisik dan/ atau intelektualnya, mere-
equipment;
ka mampu mengikuti pendidikan di
(4) cannot get to school; (5) he/ she is
sekolah-sekolah reguler. Itu terjadi
dif- ferent from other children; (6) needs
setelah guru dan sumber daya lain
special environment; and (7) needs special di sekolah, kurikulum, dan pembela-
teachers (Stubbs: 2002). jarannya didesain khusus, sehingga
Cara pandang seperti inilah yang memungkinkan setiap individu men-
mempengaruhi kinerja kepala dapatkan layanan yang sesuai
sekolah dan guru dalam dengan kebutuhan masing-masing
implementasi pendi- dikan inklusif. (Yi Ding: 2006). Temuan semacam
Mereka berpandangan bahwa tempat ini mem- perjelas bahwa paradigma
pendidikan yang cocok bagi anak inklusif dapat mengatasi hambatan
berkebutuhan khusus adalah di pendidik- an bagi ABK. Sekaligus
sekolah khusus. Oleh karenanya, memperjelas bahwa pendekatan
ketika mereka harus diterima di se- segregatif bukan satu-satunya solusi
kolah regular, pihak sekolah merasa dalam memenuhi kebutuhan dan
mendapatkan beban baru. Mereka me- mengatasi hambatan pendidikan
rasa pesimis untuk dapat menangani bagi ABK.
pendidikan secara optimal.
Cara pandang kedua adalah apa F. Rekomendasi
yang disebut “Education system as Pemahaman terhadap
problem”. Pandangan ini mengang- pendidikan inklusif di kalangan
gap bahwa persoalan keberhasilan warga sekolah harus diluruskan.
pendidikan tidak tergantung pada Implementasi pen- didikan inklusif
faktor “anak”, akan tetapi faktor tidak boleh difahami hanya sekedar
sistem pendidikan yang digunakan. memberikan tempat dan ruang bagi
Jika pendidikan untuk semua belum penyandang cacat di sekolah regular
berhasil mencapai hasil yang karena memenuhi tuntutan dunia.
optimal, maka sistemnya yang harus Pendidikan inklusif seharusnya
diperbaiki. Implikasinya adalah difahami sebagai sebuah sistem
harus ada peru- bahan cara pandang pendidikan yang berorientasi pada
guru, modifikasi kurikulum dan peningkatan mutu dan inovasi
pembelajaran, modi- fikasi sistem pendidikan dalam arti luas. Ketika
penilaian, penyediaan lingkungan konsep pendidikan inklusif difaha-
yang aksesibel, pelibatan orangtua, mi sebagai sistem pendidikan yang
pelatihan bagi kepala seko- lah dan berorientasi pada mutu dan inovasi
guru yang berkelanjutan. pendidikan, maka pendidkan inklusif
Perkembangan ilmu pengetahuan menjadi tugas dan tanggung jawab
dan teknologi dalam bidang pendidik-
serta kebutuhan bersama. guru,
Kepala sekolah, guru, orangtua,
dan masyarakat seharusnya
terpanggil untuk mendukung dan
mensukseskan gerakan pendidikan
inklusif. Kuncinya adalah kepala
sekolah dan guru. Sela- ma mereka
masih bersikap skeptis dan pesimis
terhadap pendidikan inklusif, maka
mustahil pendidikan inklusif dapat
berkembang dan berlangsung
dengan baik di sekolah tersebut.
Untuk mengubah cara pandang
kepala seko- lah dan guru, dapat
dilakukan dengan berbagai cara.
Berikut ini diajukan beberapa
pemikiran untuk membantu
mengatasi permasalahan tersebut.
2. Pelatihan Berkelanjutan
Kepala sekolah dan guru perlu
di- berikan pembekalan melalui
pelatihan yang berkelanjutan tentang
bagaimana menyiapkan,
merencanakan, menge- lola,
mengevaluasi, dan mengem-
bangkan pendidikan inklusif. Banyak
hal teknis yang harus dimengerti dan
dilaksanakan kepala sekolah dan
dalam implementasi pendidikan sampai saat ini belum dipraktikkan
inklu- sif. Pelatihan manajemen seperti yang diharapkan,
dan teknis layanan pendidikan di
sekolah inklusif perlu diberikan
kepada mereka secara
berkelanjutan.
4. Pengembangan sekolah
model Pemerintah perlu
mengembang-
kan banyak sekolah inklusif
model di setiap daerah. Melalui
sekolah model, dapat dijadikan
percontohan bagi se- kolah lain
yang akan mengembangkan
pendidikan inklusif.
G. Kesimpulan
Refleksi pendidikan inklusif
di Indonesia memberikan
gambaran yang cukup menarik.
Pada awalnya, pendidikan
inklusif difahami secara kurang
tepat sehingga berakibat pada
sikap dan perilaku warga
sekolah yang masih jauh dari
harapan. Mes- kipun fenomena
pendidikan inklusif di Indonesia
namun dalam perkembangan selan-
Daftar Pustaka
jutnya, pendidikan inklusif semakin
Buku, Jurnal, Penelitian, dan Ma-
diterima dan menjadi isu nasional.
jalah
Hal itu sebagai salah satu upaya
Barnes, C. & Mercer, G (2003). Disa-
untuk mengatasi persoalan
bility (chapter 1-Disability and
pemerataan dan akses pendidikan
Cho- ices of Model). Cambridge:
yang lebih bermutu sesuai dengan
Polity Press.
amanah UUD 1945.
Kementerian Pendidikan Nasional
Pendidikan inklusif yang pada
(2010). Modul Pelatihan Pendidik-
awalnya hanya dikembangkan di
an Inklusif Edisi Revisi. Jakarta:
lingkungan pendidikan dasar dan
Australia - Indonesia Partnership.
menengah, dalam perkembangannya
Miles, Susie; & Singal, Nidhi
sekarang juga telah menjadi perhatian
(2010). “The Education For
dari kalangan dunia pendidikan
All and Inclusive Education:
tinggi. Beberapa perguruan tinggi
Conflict, Contradiction or
negeri di Indonesia mulai membuka
Opportunity?”. International
kesempa- tan yang lebih terbuka bagi
Journal of Inclusive Education, V.l4
ABK untuk dapat diterima menjadi
m1 p1 - l5 Februari 2010 - 15pp.
mahasiswa. Bahkan dalam
Oliver, Michal (1990). The Politics of
perkembangan terkini, pendidikan
Disablement: A Sociological Appro-
inklusif telah menjadi ba- gian dari
ach. NewYork: St.Martin’s Press.
kebijakan di tingkat provinsi dan kab/
Ro’fah, Andayani, Muhrisun (2010).
kota.
Membangun Kampus Inklusif, Best
Beberapa daerah yang telah me-
Practices Pengorganisasian Unit
ngembangkan pendidikan inklusif,
Layanan Difabel. Yogyakarta:
mampu menunjukkan komitmennya
Pusat Studi dan Layanan Difabel
melalui penetapan regulasi khusus
(PSLD), UIN Sunan Kalijaga.
dalam bentuk perda/ perbub/
Sunardi, dkk (2011). The Implemen-
perwali, yang berdampak terhadap
tation of Inclusive Education in
penyediaan APBD. Beberapa SKPD di
Indonesia. Research Report Inter-
luar Dinas Pendidikan dan
national Collaborative Research
Kebudayaan, juga telah mulai
Grant Funded by World Class
melibatkan diri dalam
University Project DIPA. Sebelas
mengembangkan lingkungan yang
Maret University.
inklusif ramah terhadap semua anak.
Stainback, W & S. Stainback
Semata-mata dijalankan sebagai ba- (1990). Support Networks for
gian dari pendidikan inklusif menuju Inclusive Schoo- ling: Independent
masyarakat yang inklusif. Integrated Educa- tion. Bartimore:
Paul H. Brooks.
Stubbs, Sue (2002). Inclusive Education Edisi Khusus II, Agustus 2010,
Where There are Few Resources. The
Atlas Alliance Global Support
to Disabled People.
Schweigaardsgt 12: Oslo,
Norway.
Terry, George R. & Rue, Leslie W.
(2009). Dasar-dasar
Manajemen, Edisi Bahasa
Indonesia. Terjema- han G.A.
Ticoalu. Jakarta: PT. Bumi
Aksara.
UNESCO (1994). The Salamanca
Sta- tement and Framework For
Action on Special Needs Education.
Paris.
Wamendikbud Republik Indonesia
(2012). Sambutan Wakil Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Repu-
blik Indonesia pada Acara Gebyar
Anak Berkebutuhan Khusus, Direk-
torat PKLK Dikdas, Denpasar
Bali, 2012.
Yi Ding, Kathryn C. Gerken, Don
C. Van Dyke, Fei Xiao (2006).
“Parents’ and Special Education
Teachers’ Perspectives of Imple-
menting Individualized Instruc-
tion in P.R. China: An
Empirical and Sociocultural
Approach”. International Journal of
Special Edu- cation, vol.21 No. 3,
2006.
Yusuf, Munawir dan Indianto, R
(2010). “Kajian Tentang Imple-
mentasi Pendidikan Inklusif Seba-
gai Alternatif Penuntasan Wajib
Belajar Pendidikan Dasar Bagi
Anak Berkebutuhan Khusus di
Kabupaten Boyolali”. Jurnal Pen-
didikan dan Kebudayaan, Vol. 16
Badan Penelitian dan dan Bakat Istimewa.
Kebuda- yaan Kementerian
Pendidikan Nasional.
Yusuf, Munawir (2012).
“Kinerja Kepala Sekolah
dan Guru dalam
Mengimplementasikan
Pendidik- an Inklusif ”,
Jurnal Pendidikan dan
Kebudayaan, Badan
Penelitian dan
Pengembangan Kementerian
Pen- didikan dan
Kebudayaan, Vol. 18 Nomor
4 Desember 2012.
-------, ---------------- (2014). Pengem-
bangan Model Pendidikan
Inklu- sif di Sekolah Dasar,
Disertasi, Program
Pascasarjana Universitas
Negeri Semarang.
Yusuf, Munawir dkk (2015).
“Analisis Kesenjangan
Pelaksanaan Pendi- dikan
Inklusif di Beberapa Kab/
Kota di Indonesia”. Laporan
Hasil Kajian, Direktorat
PKLK Dikdas bekerjasama
dengan Fatacha Education
and Training Center,
Surakarta.
Peraturan
Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Permendiknas Nomor 70
Tahun 2009 Tentang
Pendidikan Inklusif Bagi
Peserta Didik Berkelainan
dan/ atau Peserta Didik
Dengan Potensi Kecerdasan
Mendorong Pendidikan Inklusif
menjadi Hakekat Pendidikan
Nasional
Abstrak
P
ersoalan pendidikan di Indonesia masih belum menunjukkan perjalanan
yang menggembirakan. Paham kapitalistik yang ada, membuat pendidikan
masih jauh dari harapan. Apalagi jika dihubungkan dengan pendidikan bagi
difabel, masih banyak tujuan yang belum tercapai. Pendidikan, bagaimanapun
juga adalah sebuah proses yang disengaja dan tentunya sangat bergantung
kepada penguasa. Ketergantungan ini dalam arti bagaimana proses pendidikan
terjalin dan berkelanjutan, sangat bergantung kepada bagaimana penguasa
menjalankan sistem
pendidikan itu sendiri. Dalam hal ini, pemerintah sebagai penguasa dalam sebuah
negara, belum bisa menetapkan secara tegas mengenai persoalan pendidikan inklusif
seperti yang diharapkan. Dalam batas tertentu, pendidikan seharusnya dimaknai
sebagai proses untuk belajar dalam segala hal dan bukan dalam konteks tersekat-
sekat. Apalagi ada amanah yang secara tegas tercantum lewat konstitusi, bahwa
pendidikan adalah hak bagi setiap orang dan tanpa ada pembedaan, baik secara
fisik maupun dalam kategori yang lain. Artikel ini hendak memberikan perspektif
pendidikan secara umum untuk kemudian dihubungkan dengan pendidikan
inklusif.
M.J. Langeveld:
Upaya dalam membimbing manusia
Frederick J. Mc Donald:
Suatu proses yang arah tujuannya adalah
yang belum dewasa ke arah kedewasaan.
merubah tabiat manusia atau peserta didik.
Pendi- dikan adalah suatu usaha dalam
menolong anak untuk melakukan tugas-
tugas hidup- nya, agar mandiri dan Ahmad D. Marimba:
bertanggung jawab secara susila. Suatu proses bimbingan yang
Pendidikan juga diartikan sebagai usaha dilaksanakan secara sadar oleh pendidik
untuk mencapai penentuan diri dan terhadap suatu proses perkembangan
tanggung jawab. jasmani dan rohani peserta didik, yang
tujuannya agar kepriba- dian peserta didik
terbentuk dengan sangat unggul.
Prof. Herman H. Horn:
Kepribadian yang dimaksud ini
Suatu proses dari penyesuaian lebih tinggi
bermakna cukup dalam, yaitu pribadi yang
bagi makhluk yang telah berkembang secara
tidak hanya pintar, pandai secara
fisik dan mental, yang bebas dan sadar kepa-
akademis saja, akan tetapi baik juga secara
da Tuhan, seperti termanifestasikan dalam
karakter.
alam sekitar, intelektual, emosional dan
kemauan manusia. Dalam pengertian yang
lebih luas, pendidikan adalah alat dimana Carter V. Good:
kelompok sosial melanjutkan keberadaannya Suatu proses perkembangan kecakapan
dalam memmpengaruhi diri sendiri serta seseo- rang dalam bentuk sikap dan
menjaga idealismenya. perilaku yang berlaku dalam masyarakat.
Proses dimana seseorang dipengaruhi oleh
Driyarkara: lingkungan yang terpimpin --khususnya di
Suatu upaya dalam memanusiakan dalam lingkungan sekolah-- sehingga
manusia muda, atau pengangkatan dapat mencapai keca- kapan sosial dan
manusia muda ke taraf yang insani. dapat mengembangkan kepribadiannya.
Teodore Brameld:
berbagai corak dan kultur kepribadi-
Sebuah proses belajar terus-menerus dalam
keseluruhan aktivitas sosial, sehingga eksis- an, transmisi kebudayaan, menjamin
tensi manusia tetap terjaga dan berkembang integrasi sosial, dan memilih serta
sesuai dengan kehidupan sosialnya. mengajarkan berbagai peranan dalam
kehidupan sosial. Diharapkan di ke-
Dari paparan di atas, dapatlah mudian hari, seseorang dapat menjadi
disimpulkan bahwa pendidikan pribadi yang peka akan kehidupan
adalah kegiatan yang disengaja. Ia di sekitarnya (David Popenoe
merupa- kan media penumbuhan dalam Tutik D: 2013).
dan peng- embangan kepribadian, Sesungguhnya sudah sejak sekitar
peningkatan pengetahuan dan tahun 900 sebelum Masehi, ketika
keterampilan, serta penanaman dan sistem pendidikan mulai dilembaga-
pelestarian norma, nilai, budaya, dan kan di kota Sparta, pendidikan sudah
ideologi tertentu. Dengan demikian, tidak pernah diarahkan untuk kepen-
pendidikan disam- ping menjadi tingannya sendiri. Pendidikan selalu
media peningkatan ke- mampuan sebagai alat. Pendidikan disamping
individu dan keterampilan sosial digunakan sebagai alat menyalurkan
untuk hidup bersama dengan ilmu pengetahuan; alat pembentukan
masyarakatnya, pendidikan juga watak dan kepribadian; alat
tidak lagi dapat dipisahkan dari pelatihan ketrampilan; alat
kepentin- gan penguasa untuk mengasah otak; alat meningkatkan
menanamkan, mempertahankan, kemampuan bekerja; alat investasi;
dan menyebarkan kekuasaannya. alat konsumsi; alat me- nanamkan
nilai-nilai moral dan ajaran
2. Fungsi Pendidikan keagamaan; alat meningkatkan taraf
Memperhatikan penjelasan ten- ekonomi; alat mengurangi kemiskin-
tang pengertian pendidikan seba- an; alat mengangkat status sosial; alat
gaimana tersebut di atas, dapatlah menguasai teknologi; alat menguak
dipahami bahwa di dalam pengertian rahasia alam raya dan manusia; alat
pendidikan tersebut sebenarnya sudah pembentukan kesadaran bangsa;
terkandung fungsi pendidikan. Pen- pendidikan juga harus dilihat sebagai
didikan disamping berfungsi sebagai alat perubahan sistem kekuasaan
upaya penumbuh-kembangan potensi yang sarat dengan muatan politik
dan kemampuan individu, juga dan ekonomi. Dalam hal ini,
memi- liki fungsi yang berhubungan pendidikan digunakan untuk
dengan perkembangan resepsi sosial melanggengkan sis- tem politik dan
seseo- rang. Misalnya; sumber ekonomi yang telah ada,
inovasi sosial, sarana pengajaran sebagaimana dikehendaki oleh rezim
tentang adanya yang sedang berkuasa (Francis
X. Wahono: 2001).
Hal yang cukup menarik yang
Magnis Suseno (1999)
dijelaskan oleh Francis X. Wahono Semua sistem besar yang memberikan
adalah bahwa pendidikan juga dapat orientasi kepada manusia. Ideologi mem-
digunakan sebagai alat menciptakan berikan ajaran kepada manusia tentang
keadilan sosial; alat pemanusiaan; suatu keadaan, terutama mengenai
struktur kekuasaan yang dianggap sah.
alat pembebasan; alat pembentukan
Ideologi menggambarkan realitas dengan
kesa- daran kritis; alat perubahan penafsiran terbalik. Apa yang tidak baik
struktur; dan konstruksi sosial, dan dan tidak wajar dinyatakan sedemikian
sejenisnya. Dari penjelasan tersebut, rupa, sehingga nam- pak baik dan wajar.
pendidikan disamping dapat Hal itu terjadi karena ideologi melayani
kepentingan penguasa sebagai alat
dimaknai sebagai alat untuk
legitimasi.
mengembangkan potensi
kemampuan, pengetahuan dan kete- Thompson (2003)
rampilan individu untuk memenuhi Sistem berpikir, kepercayaan, praktik-
kebutuhan hidupnya dan menyesuai- praktik simbolik yang berhubungan dengan
kan diri dengan kehidupan sosial di tindakan sosial dan politik. Ideologi
adalah sistem gagasan yang mempelajari
lingkungan masyarakat dan lingkung-
keyakinan dan hal-hal ideal filosofis,
an alamnya; dan melanggengkan sis- ekonomis, politis, dan sosial. Ideologi dalam
tem dan struktur sosial penguasa; pen- hal ini disebut “neut- ral conception”.
didikan juga dapat berfungsi sebagai
alat untuk mempersiapkan perubahan Storey (2003)
konstruksi dan struktur sosial menuju Ideologi sama dengan kesadaran palsu, yai-
tu praktik-praktik gerakan ideologis untuk
kehidupan yang lebih adil.
menggerakan suatu kelompok demi suatu
kepentingan. Distorsi tersebut sengaja
3. Ideologi Pendidikan disebut untuk melanggengkan kepentingan
Seperti telah dijelaskan sebelum- kelompok berkuasa dan mengendalikan
nya, bahwa pendidikan dapat juga sepenuhnya pihak yang lemah.
berfungsi sebagai alat transformasi
dan perubahan sistem dan struktur Gramcy (1916)
Ideologi merupakan kepercayaan kepada
sosial. Dengan demikian, pendidikan
suatu pelembagaan gagasan-gagasan siste-
pasti dipengaruhi oleh ideologi yang matis yang diartikulasikan oleh kelompok
mendasari proses pelaksanaannya. masyarakat tertentu. Hal ini biasanya
Kata “ideologi” memiliki pengertian terwujud dalam suatu perkumpulan yang
yang cukup luas, oleh karena itu berjuang merealisasikan gagasan atau ke-
pentingan kelompok tersebut, seperti
perlu disampaikan makna dari kata
perkum- pulan anggota partai politik,
“ideo- logi”. Ada beberapa pendapat serikat buruh, dan organisasi sosial lain
tentang arti kata “ideologi”, antara yang bertujuan merealisasikan
lain seba- gai berikut (Sugiono kepentingan mereka. Ideo- logi ini sering
Muhadi: 2006) disebut dengan ideologi yang
diselewengkan, karena ideologi yang dianut
merupakan idealisme pemimpin mereka.
guasa tersebut menjadi ideologi yang
diyakini kebenarannya oleh kelompok
Berikutnya, Sugiono Muhadi juga
penganutnya.
berpendapat bahwa ideologi dapat
Dengan demikian, ideologi dapat
juga digunakan sebagai alat
dipahami sebagai sistem nilai atau
menyem- bunyikan realitas
keyakinan yang diterima sebagai
sebenarnya, yakni realitas dominasi
fakta atau kebenaran, yang kemudian
para panguasa. Hal ini umumnya
diterima oleh kelompok tertentu. Jadi,
terdapat dalam ideologi kapitalis.
ideologi pendidikan adalah sistem
Pada umumnya, ideologi ini
nilai, keyakinan, atau paham yang
mengaburkan agar orang-orang yang
dipakai oleh kelompok tertentu
dieksploitasi tidak merasa ditindas,
untuk mendasari segala bentuk
meskipun sesungguhnya mereka
pelaksanaan atau praktik pendidikan,
sedang diperas. Kecuali itu, ia juga
demi ter- capainya tujuan yang
menyatakan bahwa ideologi bukan
ingin dicapai. Dengan kata lain,
hanya pelembagaan ide-ide, tetapi
ideologi pendidik- an adalah
juga dilaksanakan dalam praktik kehi-
ideologi yang diteruskan atau
dupan sehari-hari. Persoalan sesung-
disebarluaskan melalui proses
guhnya adalah mengapa penyebaran
pendidikan.
ideologi tersebut lebih banyak
Sejauh ini ada 3 (tiga) macam
dilaku- kan oleh orang-orang yang
ideologi yang mendasari pelaksanaan
berkuasa, yang sekaligus juga
pendidikan, yaitu (Mansour Faqih
merupakan kaum yang terdidik?
dalam Abdullah Qiso: 2014)
Pertama, ideologi yang
menguasai pemikiran pada setiap (a) Ideologi Konservatif
jaman adalah pemikiran dari para Penganut paham konservatif ber-
penguasa. Kedua, golongan yang pendapat bahwa terjadinya ketidak-
menguasai sarana produksi material sederajatan kehidupan masyarakat
adalah juga yang menguasai sarana merupakan hukum alam dan tak
produksi spiritual. Ketiga, hanya dapat dihindari. Dianggap sebagai
golongan elit intelek- tualis saja yang ketentuan sejarah atau bahkan takdir
mampu meresmikan dan Tuhan. Perubahan sosial bukanlah
menyebarkan pemikiran serta suatu hal yang harus diperjuangkan,
gagasan mereka. Akhirnya, nilai-nilai karena perubahan tersebut hanya akan
resmi yang beredar di masyarakat se- menjadikan manusia lebih sengsara.
benarnya adalah nilai-nilai golongan Ideologi konservatif klasik dibangun
elit intelektualis penguasa (Magnis berdasarkan keyakinan bahwa pada
Suseno: 1999). Hal inilah yang ke- dasarnya masyarakat tidak dapat me-
mudian membuat nilai-nilai yang rencanakan atau mempengaeruhi per-
dibangun oleh para intelektualis pen-
ubahan sosial. Hanya Tuhanlah yang
(b) Ideologi liberal
merencanakan keadaan masyarakat,
Golongan ini berkeyakinan
dan hanya Tuhan yang tahu makna
bahwa masalah di masyarakat itu
di balik perubahan tersebut.
memang ada. Akan tetapi bagi
Penganut paham ini meletakkan
mereka, pendi- dikan tidak ada
pendidikan sebagai sarana menanam-
kaitannya dengan per- soalan politik
kan dan melestarikan norma, nilai,
dan ekonomi. Dengan keyakinan
dan tatanan kehidupan yang
seperti itu, tugas pendidik- an juga
dianggap kodrati dan seharusnya
tidak terkait dengan politik dan
terjadi, yang telah ada sebelumnya.
ekonomi. Namun demikian --dengan
Dengan pan- dangan seperti itu,
berasimilasinya ideologi ini dengan
kaum konservatif klasik menganggap
ideologi kapitalisme-- penganut pa-
rakyat tidak me- miliki kekuatan atau
ham ini selalu berusaha
kekuasaan untuk mengubah kondisi
menyesuaikan pendidikan dengan
mereka sendiri. Namun dalam
keadaan politik dan ekonomi pasar,
perkembangannya, orang yang
dengan berbagai usaha reformasi
berpandangan konservatif cenderung
kasuistik. Usaha pe- nyesuaian
beranggapan bahwa terja- dinya
tersebut tersekat dari sistem dan
perubahan nasib manusia itu lebih
struktur ketidakadilan kelas, ber-
ditentukan oleh usaha manusia itu
bagai bentuk diskriminasi, dominasi
sendiri. Bagi kaum konservatif;
budaya, dan represi politik yang ada
orang miskin, buta huruf, tertindas,
dalam masyarakat.
menderita, atau sejenisnya, menjadi
Kaum liberal beranggapan bahwa
demikian karena salah mereka sendiri
masalah masyarakat dan pendidikan
tidak mau berusaha.
adalah dua masalah yang berbeda.
Banyak orang yang berusaha
Mereka tidak melihat kaitan pendidik-
keras dan berbuat baik, yang
an dalam struktur kelas, dominasi
ternyata dapat berhasil. Meski
po- litik dan budaya, serta berbagai
demikian, manusia haruslah tetap
bentuk diskriminasi di masyarakat.
bersabar. Jika keber- hasilan
Bahkan bagi penganut salah satu
tersebut tidak diperolehnya
aliran liberal kapitalisme, yakni
sekarang, kelak dalam kehidupan
struktural fungsio- nalisme,
kemudian kebahagiaan tersebut pasti
pendidikan lebih digunakan sebagai
akan datang, karena ketentuan hidup
sarana untuk membangun kes- tabilan
manusia ada di tangan Tuhan. Kaum
norma dan nilai yang berlaku di
konservatif melihat pentingnya pendi-
pasar bebas. Pendidikan justru di-
dikan sebagai upaya menjaga kehar-
maksudkan sebagai media untuk men-
monisan dan menghindarkan konflik
sosialisasikan dan mereproduksi tata
serta kontradiksi dalam masyarakat.
sosial, keyakinan, dan nilai-nilai
yang berlaku di pasar bebas.
Tujuannya agar masyarakat luas
dapat berfungsi
secara baik dalam tatanan politik struktur ke-
dan ekonomi pasar tersebut.
Tindakan kaum liberal inilah
yang mendominasi segenap
pemikiran tentang pendidikan. Mulai
dari pendi- dikan formal; seperti
sekolah, maupun non formal; seperti
berbagai macam pelatihan. Dasar
pemikiran liberal kapitalisme
dilakukan untuk mema- tangkan
kemampuan, melindungi hak, dan
kebebasan, serta mengidentifikasi
problem dan upaya perubahan sosial
secara instrumental. Tujuannya demi
menjaga stabilitas sistem dan struktur
politik ekonomi pasar. Kaum liberal
dan kaum konservatif sama-sama ber-
pendirian bahwa pendidikan adalah
apolitik, dan ekselensi harus
merupa- kan target utama
pendidikan.
Abstrak
U
ntuk menjadikan universitas yang mempunyai perspektif inklusi, maka diperlukan du-
kungan yang kuat dan melembaga. Butuh waktu dan proses yang lama agar perspektif
ini bisa tertanam di pikiran para stakeholders. Kenyataan ini memang membuat tugas
menjadi tak mudah. Akan tetapi, pada kenyataannya, hal tersebut tak menjadi persoalan berarti.
Konsistensi dan dukungan menjadi hal yang sama sekali tak bisa dielakkan. Contoh dari semua
hal tersebut adalah apa yang telah dikerjakan dan diupayakan oleh Pusat Layanan Difabel (PLD)
di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Tulisan ini akan membahas bagaimana peran PLD
dalam mewujudkan pendidikan tinggi inklusif di lingkungan kampus UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, mulai dari bagaimana sejarah berdirinya, dan aktivitas yang ada didalamnya.
Daftar Pustaka
Buku, Jurnal, Penelitian dan Ma-
jalah
Andayani, Muhrisun, Rofah (2010).
Membangun Kampus Inklusif;
Best Practices Pengorganisasian
Unit La- yanan Difabel.
Yogyakarta: PSLD.
Peraturan
Konvensi Hak-Hak Penyandang
Disa- bilitas (Convention on the
Right of Person with Disability),
Internet
http://uin-suka.ac.id/page/berita/
detail/794/uin-sunan-kalijaga-
raih-inclusive-award-2013,
http://pld.uin-suka.ac.id/p/sejarah.
html
http://uin-suka.ac.id/page/berita/
detail/1006/rektor-uin-sunan-
kalijaga-melantik-pejabat-baru-di-
http://pld.uin-suka.ac.id/p/riset.
html
Pendidikan Untuk
Semua Orang
M. Syafi’ie
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) dan Koordinator
Penelitian Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) Email:
m.syafiie@uii.ac.id
Profile
Radio Streaming -
http://radio.sigab.or.id
Mengudara setiap hari dengan ragam informasi difabel. Interaksi juga dibuka
via social media seperti facebook & twitter.
Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB) adalah organisasi non peme-
rintah yang bersifat independen, nirlaba, dan non-partisan.SIGAB didirikan
di Yogyakarta pada tanggal 5 Mei 2003.Organisasi ini mempunyai cita-cita
besar untuk membela dan memperjuangkan hak-hak difabel di seluruh
Indonesia hingga terwujud kehidupan yang setara dan inklusif.
SIGAB didirikan karena sampai saat ini kehidupan warga difabel masih di-
marjinalkan, baik secara struktural maupun kultural.Hak-hak warga difabel
seperti hak pendidikan, pekerjaan, kesehatan, jaminan sosial, perlindungan
hukum, akses terhadap informasi dan komunikasi sampai pada penggunaan
fasilitas publik tidak pernah diterima secara layak. Dengan kata lain, telah
ter- jadi diskriminasi terhadap warga difabel. SIGAB berpandangan bahwa
pada hakikatnya manusia merupakan makhluk yang diciptakan Tuhan dengan
derajat kesempurnaan tertinggi dan mempunyai hak yang sama dalam
mengembang- kan potensi diri untuk mencapai kesejahteraan
hidup. Oleh karena itu, tidak sepantasnya jika dalam kehidupan ini terdapat
sekelompok orang yang tersisihkan dari lingkungan sosialnya hanya karena
keadaan yang berbeda.Program SIGAB dengan jaringannya berusaha men-
ciptakan kehidupan yang menempatkan semua manusia dalam kesejajaran
sehingga tidak ada lagi yang tersisihkan.
Difabel, keterampilan dan pengetahuan serta tim inklusif yang kami miliki
adalah sumber yang tepat untuk memberikan training sensitifitas Difabel, baik
bagi pemerintah, sektor privat, maupun organisasi-organisasi yang tertarik
bekerja pada isu Difabel.
Difabel merupakan kata yang diserap dari bahasa Inggris “diffable”, akronim
dari “differently able people” yang berarti orang yang mampu dengan cara yang
berbeda. Istilah “difabel” ini digunakan untuk melawan istilah “penyandang
cacat” serta berbagai konotasi negatif yang menyertainya.
VISI:
MISI:
Mandat Organisasi:
Sebagai sebuah organisasi yang didirikan atas latar belakang pembacaan ter-
hadap situasi sosial yang belum menyetarakan Difabel, mandat utama SIGAB
adalah menjadi wadah perjuangan advokasi kelompok masyarakat Difabel
untuk mewujudkan sebuah masyarakat yang inklusi.
Keadilan
SIGAB memandang Difabel sebagai pihak yang selalu dikorbankan secara
struktural maupun kultural. Untuk itu, dalam rangka menjunjung keadilan
dan kesetaraan, SIGAB akan sepenuhnya berpihak pada kepentingan Difabel.
Inklusi
Kesetaraan bagi Difabel tak akan terwujud tanpa adanya inklusivitas baik
pada tataran teori maupun praktik. Untuk itu, penegakan prinsip inklusivitas
telah mulai DILAKSANAKAN SIGAB dalam kerangka internal
organisasi.Sejak awal pendiriannya hingga saat ini, prinsip inklusivitas telah
terbangun dengan perimbangan jumlah staf serta pengurus Difabel dan non-
Difabel.Begitu pula dalam implementasi maupun pendekatan program serta
strategi yang dilakukan, SIGAB selalu mengedepankan pembauran Antara
Difabel dan non-Difabel.
Progresif
Sebagai sebuah lembaga advokasi dengan kelompok dampingan yang selama
ini ter-alienasi berganda, dibutukan progresivitas dalam membangun
gerakan advokasi untuk perubahan.
Difabel leadership
Keberpihakan SIGAB terhadap Difabel tak akan pernah cukup tanpa figur
kepemimpinan Difabel. Ketrlibatan Difabel bukan hanya sebagai pemanfaat
program-program SIGAB, namun sebagai pemimpin perubahan untuk
kelom- pok Difabel diyakini oleh SIGAB sebagai kekuatan terbesar untuk
memimpin pergerakan perubahan tersebut.
Profesional
Apakah organisasi masyarakat sipil Difabel dapat menjadi profesional? Inilah
pertanyaan merendahkan yang akan dijawab oleh SIGAB melalui kerja nyata.
Organisasi Difabel dengan pemimpin Difabel ini akan mampu membuktikan
profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas.
Dimana saya
mendapat informasi?
Nama Organisasi : Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (SIGAB)
Legalitas : Tercatat secara resmi pada akta notaris Anhar Rusli S.H,
no. 13 tahun 2003, tanggal 5 Mei 2003, serta terdaftar
di Pengadilan Negeri Bantul, Yogyakarta.
Social Media
Twitter : @5194b
Facebook : SIGAB Yogyakarta
Streaming radio : http://radio.sigab.or.id/live