Anda di halaman 1dari 82

PROPOSAL SKRIPSI

KONSEP PENDIDIKAN PAULO FREIRE


DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER SISWA
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Seminar Proposal”

Disusun Oleh :

A. Fathoni

Dosen Pembimbing :

Aulia Singa Zanki, M.Si

PRODI PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH


STIT MUHAMMADIYAH BOJONEGORO
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Dengan segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, berkat
limpahan Rahmat dan PetunjukNya. Penulis dapat menyelesaikan proposal dalam
rangka untuk memenuhi tugas mata kuliah ”Seminar Proposal”.
Dalam menyelesaikan penyusunan proposal ini tidak lepas dari bantuan
banyak pihak, kami menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga
kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan proposal ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada
proposal ini. Oleh karena itu, penulis mengharap akan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari pembaca agar proposal ini lebih baik dan dapat
meningkatkan pengetahuan bagi kita semua.
Terima kasih dan semoga proposal ini memberikan manfaat positif bagi
pembaca.

Bojonegoro, 2 Februari 2023

PENULIS

ii
DAFTAR ISI

iii
OUTLINE SKRIPSI
SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH MUHAMMADIYAH
BOJONEGORO

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Penegasan Judul

D. Alasan Pemilihan Judul

E. Tujuan Penulisan

F. Manfaat Penulisan

G. Metode Pembahasan

H. Sistematika Pembahasan

BAB II KAJIAN TEORI

A. Konsep Pendidikan

1. Pengertian Pendidikan Paulo Freire

2. Macam-macam Konsep Pendidikan Paulo Freire

3. Teknik memahami pendidikan Paulo Freire

B. Karakter Siswa

1. Pengertian Karakter Siswa

2. Prinsip-Prinsip Pendidikan Karakter

3. Urgensi, Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter

iv
C. Implementasi Konsep Pendidikan Paulo Freire dalam Pembentukan

Karakter Siswa

1. Strategi dalam Pendidikan Karakter

BAB III METODOLOGI DAN LAPORAN HASIL PENELITIAN

A. Metodologi Penelitian

1. Sumber Dan Jenis Data

2. Metode Pengumpulan Data

3. Teknik Analisa Data

4. Teknik Pengecekan Keabsahan Data

B. Laporan Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Obyek Penelitian

2. Penyajian Data

3. Analisa Data

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

v
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan merupakan salah satu unsur penting dalam kehidupan manusia,
dimana unsur ini secara umum bertujuan untuk membantu manusia
menemukan dirinya dan hakikat kemanusiaannya. Dengan adanya pendidikan,
diharapkan manusia mampu menyadari potensi yang dimiliki sebagai makhluk
yang berpikir. Potensi yang dimaksud adalah potensi ruhaniah (spiritual),
nafsiyah (jiwa), aqliyah (pikiran), dan jasmaniah (tubuh). Dengan potensi
tersebut, pendidikan hadir sebagai wadah untuk mematangkan prosesnya
menuju individu yang aktif sekaligus masyarakat tempat dimana ia
menuangkan hubungan, gagasan, dan kreatifitasannya.1
Pendidikan pada hakikatnya merupakan proses budaya untuk

meningkatkan harkat dan martabat manusia. Hal ini menunjukkan bahwa

manusia akan menjadi manusia karena pendidikan, atau dengan kata lain

pendidikan berfungsi untuk memanusiakan manusia.2

Beberapa pandangan konsep filsafat yang menjelaskan tentang teori yang

mempengaruhi manusia yakni: Menurut konsep Netral-Pasif. Anak lahir dalam

keadaan suci, utuh dan sempurna, suatu keadaan kosong.

Sesuai halnya dengan teori tabularasa yang dikemukakan oleh John Lock
bahwa manusia lahir seperti kertas putih tanpa ada sesuatu goresan apapun.
Manusia sangat berpotensi berkarakter baik dan tidak baik itu dapat di
pengaruhi dari luar terutama dari orang tua. Pengaruh baik dan buruk tersebut
akan terus mengiringi kehidupan insan dan karakter yang terbentuk tergantung
mana yang dominan memberi pengaruh. Jika pengaruh baik lebih dominan dari
pengaruh buruk, maka seseorang akan berkrakter baik, begitu pula sebaliknya.3

1
Umiarso Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam perspektif Barat dan Timur (Yogyakarta:
Ar-Ruz Media, 2011), h. 7.
2
A. Weherno Susanto, Pendidikan dan Peningkatan Martabat Manusia (Tarbiyah IAIN Sunan
Ampel Malang, Juli-September, 1995), h. 36.
3
Rosdiana, Muzakkir, Fitrah Perspektf Hadis dan Implikasinya terhadap Konsep Pendidikan
Islam Mengenai Perkembangan Manusia, Jurnal Al-Musannif. Vol. 1, No. 2. 2019 (Juli-
Dwsember), h. 103.

1
2

Menurut George F. Kneller, Pendidikan memiliki arti luas dan sempit.


Dalam arti luas, pendidikan diartikan sebagai tindakan atau pengalaman yang
mempengaruhi perkembangan jiwa, watak, ataupun kempuan fisik individu.
Dalam arti sempit, pendidikan adalah suatu proses mentransformasikan
pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan dari generasi ke generasi, yang
dilakukan oleh masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan seperti
sekolah, pendidikan tinggi, atau Lembaga-lembaga lain.4

Menurut John Dewey, Pendidikan adalah proses pembentukan


kecakapankecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah
sesama manusia Sedangkan menurut Ki Hajar Dewantara adalah tuntutan
dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya yakni pendidikan
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka
sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai
keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya.5

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana


belajar agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia dan keterampilan yang diperlukan dirinya,
masyarakat, bangsa dan negara”.6

Paulo Freire menyebut pendidikan lama sebagai pendidikan dengan

“sistem bank”. Dalam pendidikan itu pendidik merupakan subyek yang

memiliki pengetahuan yang diisikan kepada peserta didik, peserta didik adalah

wadah dalam proses belajar, peserta didik sebagai obyek. Sangat jelas dalam

sistem tersebut tidak terjadi komunikasi yang sebenarnya antara pendidik dan

peserta didik. Praktik pendidikan seperti mencerminkan penindasan sekaligus

memperkuat struktur-struktur yang menindas.

Dalam sudut pandang lain, pendidikan digunakan sebagai wadah untuk


mewujudkan manusia seutuhnya. Pendidikan berfungsi melakukan penyadaran
atas manusia untuk mampu mengenal, mengerti, dan memahami realitas
kehidupan yang ada disekelilingnya. Dengan pendidikan, manusia sebagai
subjek perubahan dituntut untuk kritis melihat keadaan yang ada agar sesuai
dengan nilai-nilai kemanusiaan yang sesungguhnya. Disini, pendidikan
4
Wiji Suwarno, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2006), h. 20.
5
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 2-4.
6
UU Sikdiknas No. Tahun 2003 (Bandung: Fokus Media, 2003), h. 33
3

mengemban nilai kemanusiaan, untuk memanusiakan kembali manusia,


sebagai sarana untuk mencapai pembebasan manusia dan strategi untuk
mendapatkan keadilan sosial.7
Secara garis besar, sudut pandang yang terakhir inilah yang kemudian

merepresentasikan gagasan pendidikan humanis. Asumsi dasarnya adalah

bahwa kemanusiaan/humanisasi merupakan fitrah manusia, namun pada saat

yang bersamaan, manusia juga dihadapkan sekaligus mengalami proses

dehumanisasi dalam sistem dan struktur masyarakat melalui dominasi dan

eksploitasi kelas, dominasi gender, maupun dominasi budaya lain. Dengan

keadaan seperti itu, manusia yang mengalami proses dehumanisasi secara

sadar ataupun tidak, ditindas dan dibatasi kebebasannya.

Hal itu akan berdampak pada ketidakmampuan manusia untuk


mengeksplorasi bakat dan potensinya sebagai manusia yang “ada” baik secara
individual maupun sosial. Maka dari itu, dibutuhkanlah suatu pendidikan yang
akan menjadi sarana untuk menciptakan kesadaran manusia dalam
mengembalikan kemanusiaannya.8

Oleh sebab itu, Paulo Freire menawarkan suatu konsep pendidikan yang
berorientasi pada proses pembebasan manusia guna mencapai fitrahnya
sebagai manusia yang berpikir dan menentukan tindakannya sendiri. Gagasan
tentang pendidikannya tersebut merupakan respon atas apa yang ia alami dan
ia temukan dalam realitas kehidupan masyarakat disekitarnya.9

“Bagi freire, pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan diri

manusia dan dirinya sendiri, pendidikan sudah semestinya menjadikan

pembebasan manusia sebagai hakikat tujuan.”10 Dengan begitu, dalam

7
Umiarso Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam perspektif Barat dan Timur (Yogyakarta:
Ar-Ruz Media, 2011), h. 7.
8
Umiarso Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam perspektif Barat dan Timur (Yogyakarta:
Ar-Ruz Media, 2011), h. 7.
9
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2016), h. 11-12.
10
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2016), h. 11-12.
4

prosesnya akan tercipta suatu proses untuk memproduksi “kesadaran” agar

manusia mampu memahami kondisi dan kontradiksi yang ada disekitarnya,

baik sosial, ekonomi, maupun politik, kemudian mengambil tindakan atas apa

yang ia pahami Selain menjelaskan lebih jauh menyangkut kesadaran kritis, hal

yang tidak kalah penting dalam konsep pendidikan Paulo Freire adalah konsep

pendidikan dialogis.

Hal ini dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan dan keterbukaan pada

peserta didik ataupun masyarakat luas pada umumnya untuk

mengaktualisasikan diri sebaik mungkin. Sebab, dengan tanpa dibukanya

ruang-ruang dialog yang partisipatif, keleluasaan tersebut takkan pernah

termanifestasi secar riil. Alhasil, takkan ada kesempatan bagi peserta didik

untuk mengembangkan dirinya. Terbukanya ruangruang dialog merupakan

salah satu prasyarat guna melapangkan jalan menuju terciptanya individu dan

masyarakat yang berkesadaran kritis.

Dalam bidang pendidikan khususnya Indonesia salah satu permasalahan

mendasar yang kiranya perlu segera diatasi adalah terkait sentralisasi peran

guru dalam proses pembelajaran. Seringkali proses pembelajaran yang

diaplikasikan dalam model pembelajaran di Indonesia cenderung menunjukkan

model-model pembelajaran konsevatif. Model pembelajaran konservatif

merupakan cara belajar yang menempatkan guru sebagai aktor dominan dalam

proses pembelajaran. Sedangkan peserta didik sebagai salah satu aktor

didalamnya hanya diberikan sedikit sekali keleluasaan, bahkan hingga pada

titik dimana ia tidak diberikan keleluasaan sama sekali. Dalam prosesnya,


5

aktifitas pembelajaran dilakukan dengan teknik ceramah ataupun bercerita oleh

pendidik yang bersangkutan.

Pada titik ini, tugas pendidik hanyalah mendengarkan apa yang


disampaikan, mematuhi apapun yang diinstruksikan oleh sang pendidik ,
sesekali waktu peserta didik mencatat apa-apa saja yang disampaikan pendidik
kepadanya, tanpa ada sebuah upaya yang interaktif dalam rangka membangun
pengetahuan.11

Inti dari pendidikan yang diajukan oleh Paulo Freire yaitu pendidikan

sebagai praktik pembebasan yang berkarakter. Pendidikan yang memberikan

tekanan khusus pada pentingnya pemunculan kesadaran kritis sebagai

penggerak emansipasi kultural. Jadi, seorang pendidik harus bisa dalam

sebagai hal agar metode dan penguasaan materi pembelajaran dapat sesuai

dengan konsep pendidikan akan tetap diperlihatkan.

Masalah-Masalah yang telah diungkapkan, mengindikasikan bahwa

pendidikan karakter masih menjadi suatu kebutuhan dalam mengatasi krisis

moral yang terjadi, dengan catatan bahwa dalam proses penerapannya pun

perlu adanya komitmen, sistematis dan berkelanjutan dari berbagai pihak, baik

orang tua maupun pihak sekolah agar pendidikan karakter yang diberikan

dalam kegiatan belajar mengajar disekolah diharapkan dapat dibawa dan dibina

pula oleh orang tua dalam berbagai kegiatan di lingkungannya. Ketika

pendidikan karakter dapat dimplementasikan secara sistematis dan

berkelanjutan diharapkan krisis moral yang terjadi di negeri ini dapat segera

teratasi dan diharapkan mampu melahirkan generasi selanjutnya sebagai

11
Umiarso Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam perspektif Barat dan Timur (Yogyakarta:
Ar-Ruz Media, 2011), h. 8.
6

generasi yang memiliki ketinggian budi atau berkarakter kuat sebagaimana

yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia.

Di lingkungan sekolah, seorang pendidik sendiri memegang peranan yang

sangat penting terutama dalam membentuk karakter serta mengembangkan

potensi peserta didik. Kehadiran seorang pendidik juga tidak tergantikan oleh

unsur yang lainnya, Agus Wibowo berpendapat “bahwa keberhasilan atau

kegagalan dari pendidikan karakter berada di tangan seorang pendidik,

selebihnya hanya faktor pendukung”.12

Guru SD/MI yang notabene merupakan guru kelas memiliki tanggung

jawab untuk melihat segala sesuatu yang terjadi baik di dalam kelas maupun

diluar kelas. Guru kelas memiliki peranan penting sebagai kunci utama dalam

membentuk karakter peserta didik di sekolah karena dalam kegiatan belajar

mengajar di Sekolah Dasar ataupun Madrasah Ibtidaiyah, guru kelas

berinteraksi langsung dengan peserta didik serta memiliki waktu interaksi yang

cukup banyak dengan peserta didik dibandingkan dengan guru bidang studi.

Terkait fakta yang terjadi, ditemukan masih ada pendidik yang ketika dalam

proses pembelajaran masih belum memahami betul sistem-sistem.

Misalnya pendidik yang lebih aktif dibandingkan peserta didik, seperti

halnya “sistem bank”. Paulo Freire membawa konsep pendidikan yang disebut

“pendidikan hadap masalah”. Jadi konsep ini pendidik dan peserta didik

bersamasama menjdi subyek dan disatukan oleh obyek yang sama. Tidak ada

lagi yang memikirkan dan yang tinggal menelan, tetapi mereka berpikir secara
12
Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Strategi Membangun Karakter Bangsa Berperadaban
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2017), h. 82.
7

bersamasama. Pendidik di tuntut untuk secara aktif sebagai motivator dan

fasilitator pembelajaran sehingga pesertta didik akan lebih aktif ketimbang

pendidik.

Hal ini menjadi kendala tersendiri bagi pendidik karena tidak semua
pendidik memiliki kompotensi tersebut. Selain itu, pendidik juga dituntut
untuk siap dalam melaksanakan tugas dalam waktu yang relative singkat.
Terutama untuk merubah pendidik dari yang asalnya hanya bertugas untuk
mengajar sementara dalam konsep yang ingin diterapkan pendidik harus
mampu mengarahkan peserta didik untuk aktif, produktif, kreatif dan berfikir
kritis.13

Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas, atas dasar

pencarian konsep pendidikan yang ideal sebagai alternatif atas problem-

problem sosial maupun kemanusiaan yang dihadapi peserta didik maupun

masyarakat secara umum, penulis merasa perlunya untuk menggali dan

melakukan penelitian atas konsep pendidikan Paulo Freire dalam

pembentukan karakter siswa.

B. Rumusan Masalah

Pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana Konsep Pendidikan Menurut Paulo Freire ?

2. Bagaimana Konsep Pembentukan Karakter Siswa ?

3. Bagaimana Konsep pendidikan Paulo freire dan Konsep Pengembangan

Kurikulum dalam pembentukan karakter Siswa ?

C. Penegasan Judul
13
Farida Alawiyah, “Kesiapan Guru Dalam Implementasi Kurikulum 2013”, Jurnal Info Singkat
Kesejahtraan Sosial: Kajian Singkat Terhadap isu-isu Terpilih vol. 6 no. 15 Agustus (2014), h.
10.
8

Pada bagian ini penulis ingin menjelaskan bagian-bagian dari judul

skripsi agar tidak ada kesalah pahaman bagi pembaca dalam memahami

judul skripsi tersebut. Skripsi ini berjudul “Konsep Pendidikan Paulo

Freire dalam Membentuk Karakter Siswa” adapun yang perlu dijelaskan

yaitu:

1. Konsep menurut KBBI adalah ide atau pengertian yang diabstrakkan

dari peristiwa konkret : satu istilah dapat mengandung dua hal yang

berbeda. Gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di

luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal

lain.

Pendidikan diartikan sebagai suatu proses di dalam menemukan

transformasi baik dalam diri, maupun komunitas. Oleh sebab itu, proses

pendidikan yang benar adalah membebaskan manusia dari berbagai

kungkungan, intimidasi, dan eksploitasi. Dari sepanjang perjalanan

hidup manusia, pendidikan merupakan barometer untuk mencari makna

dari nilai-nilai kehidupan. Jika dilihat dari salah satu aspek tujuan

pendidikan yang tercantum dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No.

20 Tahun 2003, “tentang membentuk manusia yang berbudi pekerti

luhur melalui proses pembentukan kepribadian, kemandirian dan

norma-norma tentang baik dan buruk.”14

14
Arief, Z. A. (2012). Pendidikan Yang Membebaskan. Jurnal Teknologi Pendidikan. 1(1), 11-
19.
9

2. Pendidikan di definisikan proses pengubahan sikap dan tata laku

seseorang ataupun kelompok dalam upaya mendewasakan manusia

melalui sebuah pengajaran maupun pelatihan.

Menurut Ahmad D. Marimba dalam buku Humanitas Spiritual dalam


Pendidikan bahwa “Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara
sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani
peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Berdasarkan rumusan ini, Marimba menyatakan ada lima unsur utama
dalam pendidikan, yaitu: Usaha (kegiatan), ada pendidik, peserta didik
dan tujuan pendidikan serta adanya media-media yang digunakan.”15

3. Karakter di definisikan sifat – sifat kejiwaan, akhlak, dan budi pekerti

yang dapat membuat seseorang terlihat berbeda dari orang lain.

Berkarakter dapat diartikan memiliki watak dan juga kepribadian.

Pendidikan Karakter menurut Lickona adalah pendidikan bagaimana


cara membentuk kepribadian seeorang melalui penerapan pendidikan
budi pekerti , sehingga mampu menghasilkan karakter positif dalam
tindakan nyata yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab,
menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya. Aris Toteles
berpendapat bahwa karakter itu erat kaitannya dengan kebiasaan yang
kerap dimanefestasikan dalam tingkah laku.16

D. Alasan Pemilihan Judul

Dengan judul skripsi yang penulis pilih “Konsep Pendidikan Paulo

Freire dalam Pembentukan Karakter Siswa” dengan berbagai pertimbangan

yang ada sebagaimana dijelaskan di bawah ini:


15
Triyo Supriyatno, Humanitas Spiritual dalam Pendidikan, (Malang: UIN-Malang Press, 2009),
h. 6
16
Mahmud,Pendidikan karakter, 2017,h.27
10

1. Penelitian yang penulis lakukan “Konsep Pendidikan Paulo Freire

dalam Membentuk Karakter Siswa”, tidak lain ialah agar mengetahui

bagaimana Konsep Pendidikan Paulo Freire dalam Membentuk

Karakter Siswa.

2. Karakter merupakan hal yang sangat penting untuk di butuhkan di

setiap siswa karena juga melatih soft skill siswa.

E. Tujuan Penulisan

Agar dapat memberikan gambaran nyata serta arahan yang jelas

dalam pelaksanaan penelitian ini maka perlu di rumuskan tujuan yang

ingin di capai yaitu :

1. Untuk Mengetahui Bagaimana Konsep Pendidikan Menurut Paulo

Freire.

2. Untuk Mengetahui Pembentukan Karakter untuk Siswa.

3. Untuk mengetahui konsep pendidikan Paulo freire dalam membentuk

karakter siswa.

F. Manfaat Penulisan

1. Sebagai landasan teoritis yang memberikan informasi dan wawasan dan

untuk mengembangkan ilmu pengetahuan, dan sebagai referensi

penelitian berikutnya
11

2. Secara praktis,penelitian ini dapat memberikan beberapa manfaat yaitu:

a. Guru

Memberikan gambaran kepada guru kususnya guru untuk

mengetahui konsep pendidikan karakter menurut Paulo Freire

b. Peserta Didik

Diharapakan dapat membuat karakter siswa dengan lebih kritis dan

humanis dalam setiap pembelajaran

c. Sekolah

Hasil penelitian di harapkan dapat menjadi masukan yang positif

kepada penyelenggara lembaga Pendidikan

d. Bagi Peneliti

Untuk menambah wawasan, pengalaman, dan perluasan ilmu

e. Bagi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Muhammadiyah

Bojonegoro

Untuk menjadi bahan acuan edukatif serta referensi ilmu dalam

meningkatkan motivasi belajar anak usia dini untuk peneliti

selanjutnya

G. Metode Pembahasan

1. Metode induktif

Pengertian dari cara deduktif pada penelitian, merupakan metode

yang pada aktivitas berpikirnya diawali dari sesuatu yang umum


12

mengarah ke khusus, dan pada saat memutuskan kesimpulannya

memakai logika.

Sedangkan menurut Purwanto, bahwa tepat tidaknya kesimpulan

yang diambil melalui pendekatan induktif tergantung kepada kondisi

sampel yang diambil apakah representatif atau tidak untuk mewakili

fenomena secara keseluruhan17.

Dalam bidang pendidikan pendekatan secara induktif dapat

dilakukan melalui cara-cara :

1. Siswa melakukan pengamatan pada hal-hal yang sifatnya khusus

lalu guru akan membimbing supaya dapat ditemukan kesimpulan

secara umum atau general.

2. Kegiatan utama yang harus dilakukan siswa dalam pendekatan

induktif tersebut yaitu mengamati, memeriksa, menyelidiki,

memikirkan serta menganalisis sesuai konsep berpikir masing-

masing fakta khusus menjadi sebuah konsep baru yang lebih umum.

3. Menyajikan contoh khusus tentang konsep, prinsip dan aturan yang

membuat siswa dapat menemukan hipotesa (perkiraan) yang

sifatnya umum dari konsep tersebut.

4. Memberikan bukti-bukti berupa beberapa contoh tambahan yang

bisa dijadikan sebagai penyangkal hipotesis.

2. Metode dekdutif
17
Purwanto, pendekatan induktif,2017,h.3
13

Merupakan salah satu dari jenis penelitian yang termasuk dalam

jenis penelitian deduktif,untuk mengungkapkan kejadian atau fakta

keadaan fenomena. Variabel dan keadaan yang terjadi saat penelitian

belangsung dengan menyaguhkan apa yang sebenarya terjadi penelitian

ini menafsirkan dan menguraikan data yang bersagkutan dengan situasi

yang sedang terjadi, sikap serta pandangan yang terjadi di dalam suatu

masyarakat, pertentangan antara dua keadaan atau lebih, hubungan

antar variable yang timbul perbedaan anatar fakta yang ada serta

pengaruhnya terhadap suatu kondisi dan sebagainya.

Metode penalaran deduktif juga digunakan dalam pengajaran

kepada siswa-siswa di kelas. Pendekatan deduktif adalah proses

berpikir yang dilakukan dengan melihat pernyataan-pernyataan umum

menuju ke hal yang sifatnya lebih khusus melalui logika yang benar.18

Pendekatan deduktif dilakukan melalui cara-cara berikut ini.

1. Guru memilih suatu konsep, prinsip maupun aturan yang nantinya

akan disajikan melalui pendekatan deduktif.

2. Guru menyajikan prinsip dan aturan yang sifatnya umum disertai

dengan definisi dan contohnya secara lengkap.

18
https:www.smadwiwarna.sch.id,pendekatan-induktif-dan-deduktif.
14

3. Guru menyajikan contoh-contoh yang sifatnya khusus supaya siswa

dapat menemukan dan membuat sebuah hubungan antara prinsip

yang umum dengan kondisi khusus yang ditemukannya.

4. Guru menyajikan bukti khusus sebagai penunjang untuk

menyangkal atau menolak sebuah kesimpulan bahwa kondisi yang

khusus tersebut bukan merupakan gambaran dari keadaan yang

sifatnya umum.

H. Sistematika Pembahasan

Sistematika penulisan skripsi ini adalah dengan cara membagi menjadi

beberapa bab yang meliputi sub-sub yang menjadi bagian skripsi, untuk

kejelasanya penulis akan menguraikan sebagaimana yang akan tertulis di

bawah ini :

Bab I Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah,

Rumusan Masalah, Penegasan Judul, Alasan Memilih Judul, Tujuan

Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Pembahasan, Sistematika

Pembahasan

Bab II Kajian Teori, penulis akan membahas tentang pengertian

konsep pendidikan Paulo freire, macam-macam konsep pendidikan Paulo

Freire, teknik memahami pendidikan Paulo Freire, pengertian Karakter,

prinsip-prinsip pendidikan karakter, urgensi, tujuan dan fungsi pendidikan

karakter, implementasi konsep pendidikan Paulo freire dalam

pembentukan karakter siswa.


15

Bab III Metode dan laporan hasil penelitian, pada metode penelitian

yang pertama penulis akan membahas tentang subjek penelitian, sumber

dan jenis data, teknik analisa data, dan penulis akan membahas laporan

hasil penelitian di antaranya adalah : gamabar umum objek penelitian,

penyampain data , analisa data .

Bab IV penutup yaitu berisi meliputi kesimpulan dan saran

Kemudian bagian akhir dari skripsi ini adalah daftar pustaka dan

lampiran-lampiran.

I. Metodologi Penelitian

Dalam melakukan penelitian ini penulis menggunakan metode

meliputi :

1. Sumber dan Jenis Sumber data

Berupa kata kata dan tindakan yang dapat penulis melalui buku

“pendidikan yang membebaskan”

2. Teknik Analisa Data

Penulisan akan memberikan beberapa pertanyaan dalam wawancara

kepada sumber dan mencatat beberapa informasi yang didapat saat

observasi atau pengamatan di lapangan

3. Teknik Analisa Data

4. Teknik Pengecekan Keabsahan Data


16

BAB II

KAJIAN TEORI

A. Konsep pendidikan Paulo Freire

1. Pengertian Pendidikan Paulo freire


17

Istilah pendidikan berasal dari kata didik dengan memberikan

awalan “pe” dan akhiran “an”, mengandung arti perbuatan (hal, cara dan

sebagainya).19 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan adalah

proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang

dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan

pelatihan; proses, cara, perbuatan mendidik. Kata pendidikan berasal dari

bahasa Yunani paedogogos yang berarti pergaulan dengan anak-anak.20.

Paedagog (pendidik atau ahli didik) ialah seseorang yang tugasnya

membimbing anak.21

Menurut Ahmad D. Marimba dalam buku Humanitas Spiritual


dalam Pendidikan bahwa “Pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan
secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani
peserta didik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Berdasarkan
rumusan ini, Marimba menyatakan ada lima unsur utama dalam
pendidikan, yaitu: Usaha (kegiatan), ada pendidik, peserta didik dan tujuan
pendidikan serta adanya media-media yang digunakan.”22

Menurut Ki Hajar Dewantoro dalam buku Dasar dan Teori

Pendidikan Dunia (tantangan bagi para pemimpin pendidikan)

“pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi

pekerti, pikiran dan tubuh anak untuk memajukan kehidupan anak didik

selaras dengan dunianya.”23

“Term (ketentuan) at-tarbiyah berakar dari tiga kata, yakni


pertama, berasal dari kata rabba yarbu yang artinya bertambah dan
19
Poerwardaminta, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1976), h.
250.
20
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2015), h. 30
21
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 1998), h. 3.
22
Triyo Supriyatno, Humanitas Spiritual dalam Pendidikan, (Malang: UIN-Malang Press, 2009),
h. 6
23
Wasty dan Hendyat, Dasar & Teori Pendidikan Dunia: Tantangan Bagi Para Pemimpin
Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, tt), h. 11.
18

tumbuh. Kedua, berasal dari kata rabiya yarbi yang artinya tumbuh dan
berkembang. Ketiga, berasal dari kata “rabba yarubbu yang artinya
memperbaiki, membimbing, menguasai, memimpin, menjaga, dan
memelihara.”24

Pendidikan juga merupakan kebutuhan pokok bagi manusia, karena

manusia saat dilahirkan tidak mengetahui sesuatu apapun, sebagaimana

firman Allah SWT: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu

dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu

pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.” (Q.S. An-

Nahl [16]: 78)

Pendidikan diartikan sebagai suatu proses di dalam menemukan

transformasi baik dalam diri, maupun komunitas. Oleh sebab itu, proses

pendidikan yang benar adalah membebaskan manusia dari berbagai

kungkungan, intimidasi, dan eksploitasi. Dari sepanjang perjalanan hidup

manusia, pendidikan merupakan barometer untuk mencari makna dari

nilai-nilai kehidupan. Jika dilihat dari salah satu aspek tujuan pendidikan

yang tercantum dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun

2003, “tentang membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur melalui

proses pembentukan kepribadian, kemandirian dan norma-norma tentang

baik dan buruk.”25

Dalam pasal 1 UU Sistem Pendidikan Nasional juga dijelaskan

bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual


24
Al-Raghib Al-Isfahany, Mu’jam al-Mufradat Alfazh al-Qur’an, (Beirut: Dar al Fikr, tt), h. 189.
25
Arief, Z. A. (2012). Pendidikan Yang Membebaskan. Jurnal Teknologi Pendidikan. 1(1), 11-19.
19

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak serta

ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Paulo Freire adalah tokoh pendidikan yang sangat kontroversial. Ia

menggugat sistem pendidikan yang telah mapan dalam masyarakat Brasil.

Bagi dirinya, sistem pendidikan yang ada sama sekali tidak berpihak pada

rakyat miskin tetapi sebaliknya justru mengasingkan dan menjadi alat

penindasan oleh para penguasa. “Karena pendidikan yang demikian hanya

menguntungkan pihak penguasa maka harus dihapuskan dan digantikan

dengan sistem pendidikan yang baru.” 26

Muncul lah suatu pemikiran dari sang tokoh filsafat pendidikan

yaitu Paulo Freire mengungkapkan bahwa:

Pendidikan yang membebaskan dimana pendidikan itu


memberikan kebebasan kepada anak didik dalam proses pembelajarannya.
Dimana seharusnya anak didik itu tak lagi dijadikan objek pendidikan bagi
guru mereka, anak didik mempunyai posisi yang sama dengan guru
mereka yaitu sebagai subjek pendidikan, dan yang menjadi objek
pendidikan yaitu realitas social.27

Pemikirannya tentang pendidikan yang membebaskan banyak

dipengaruhi oleh perjuangan hidupnya. Freire pada masa kecil pernah

mengalami kemiskinan dan kelaparan yang sangat luar biasa. Dikarenakan

krisis ekonomi di Amerika Serikat yang turut melanda Brasil, hingga

akhirnya keluarga nya pun ikut merasakan kejatuhan finansial yang begitu

hebat. Semenjak itulah Freire sudah mulai terbiasa dengan kemiskinan dan

kelaparan. Tak mudah bagi Freire dalam menjalani kehidupan di tengah-

tengah kemiskinan. Sehingga pada saat itu Freire yang berumur sebelas
26
Mansyur, 2014, h. 64
27
Freire, 2007, h. 10.
20

tahun mempunyai pemikiran bahwa “ia ingin mengabdikan seluruh

hidupnya kepada rakyat miskin, ia tak ingin ada anak yang mengalami

kesusahan seperti dirinya.”28

Pendidikan yang manusiawi itu harus dilakukan secara dialogis,


hakikat dialogis adalah kata, tetapi kata bukan hanya sekedar alat dialogis.
Kata menemukan dua dimensi yaitu refleksi dan tindakan, dalam suatu
interaksi yang sangat mendasar hingga bila salah satunya dikorbankan,
meski hanya sebagian, seketika itu yang lain akan dirugikan.29

Sehingga dapat dikatakan bahwa dialog dapat diartikan sebagai


wujud pendidikan yang membebaskan. Dimana dengan adanya dialog,
pendidik dan terdidik akan saling berinteraksi untuk memecahkan masalah
serta utuk mewujudkan suatu tindakan nyata dalam kehidupan anak didik
yang akan dialaminya. Dialog tidak boleh menjadi suatu alat dominasi
seseorang terhadap orang lain. Yang boleh didominasi dalam dialog adalah
dominasi terhadap dunia oleh mereka yang mengikuti dialog, dalam hal
pendidikan yaitu pendidik dan terdidik. Tugas pendidik bukanlah megisi
terdidik dengan pengetahuan baik teknis maupun yang lain. Tugas mereka
lebih mengusahakan cara berpikir baru, baik bagi pendidik maupun
terdidik melalui hubungan yang dialogis antar keduanya.30

Jadi, Pendidikan itu dapat dikatakan sebagai proses pendewasaan

manusia. Dalam langkah manusia menjadi dewasa. Dalam proses

pendewasaan inilah mereka memiliki ciri khas dan karakter masing-

masing. Maka dari itu tidaklah boleh suatu pendidikan hidup di tengah-

tengah kekangan serta kungkungan. Karena pendidikan itu harus

membebaskan, untuk menemukan jati diri manusia itu seutuhnya. Karena

pendidikan tidak boleh menciptakan suatu penindasan bahkan

memunculkan kelompok-kelompok yang saling berkuasa. Pendidikan itu

bebas, dimana anak didik dapat merasakan rasanya kebebasan berbudaya

dan berekspresi seperti layaknya manusia yang sesungguhnya.


28
Freire, 2013, h. 10
29
Freire, 2013, h. 75
30
Arief, 2012, h. 14
21

2. Macam – Macam Pendidikan Paulo Freire

Inti dari bentuk pendidikan yang diajukan oleh Paulo freire adalah

"Pendidikan Sebagai Praktek Pembebasan" memberikan tekanan khusus

pada pentingnya pemunculan kesadaran kritis sebagai penggerak

emansipasi kultural.

Adapun macam-macam konsep Pendidikan pembebasan Paulo Freire :

A. Hubungan guru dan murid

Guru adalah sosok manusia yang selayaknya dihormati dan


dimuliakan dengan penghormatan dan pemuliaan yang setinggi-tingginya
(sepantas dan sepatutnya) dari seorang murid, dan guru untuk
mendapatkan hak-hak tersebut semaksimal mungkin berupaya
menyeimbangkannya dengan senantiasa meningkatkan integritas,
intelektualitas, kapabalitas, dan menjaga muruahnya (harga diri) agar
kebutuhan murid untuk belajar dengan berbagai ilmu pengetahuan dan
ketauladanan akhlak yang baik dapat terpenuhi dengan baik dan
proposional.31

Dalam menjelaskan hubungan guru dan murid, Freire berpendapat

“pentingnya dialog dalam proses belajar mengajar karena dalam dialog

itu mereka saling menghargai, saling belajar, saling menghindarkan dari

tekanan penguasa.”32

Dialog secara kritis perlu diadakan, sehingga masing-masing

dihargai sebagai manusia. Dialog mengembangkan kedua belah pihak,

baik guru maupun murid. Dalam dialog itu masing-masing bukan hanya

mempertahankan identitas mereka, tetapi juga berkembang bersama.

31
Muh.idris,Pengaruh terhadap pemikiran paulo freire
32
Paul Suparno, Relevansi dan Reorientasi Pendidikan di Indonesia, Basis, No.01-02 Tahun ke
50 Januari Februari, 2001, h. 26
22

Dalam dialog juga hak asasi manusia dihargai dan tidak dimatikan demi

kemenangan satu pihak.

Satu Analisis yang cermat tentang hubungan guru dengan murid


telah dikemukakan olehnya ketika ia mengemukakan kritik tajam atas
konsep pendidikan gaya bank. Konsep gaya bank melahirkan adanya
kontradiksi dalam hubungan guru dengan murid. Bahkan lebih dari itu
konsep pendidikan gaya bank juga memelihara dan mempertajamnya
sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berfikir dan tidak
munculnya kesadaran kritis pada diri murid.33

Konsep pendidikan gaya bank merupakan suatu gejala, dimana

guru berlaku sebagai penyimpan yang memperlakukan murid-muridnya

sebagai tempat penyimpanan-semacam bank- yang kosong dan

karenanya perlu diisi. Dalam proses semacam ini murid tidak lebih

sebagai gudang yang tidak kreatif sama sekali. Murid dianggap berada

dalam kebodohan absolut. Ini merupakan suatu penindasan kesadaran

manusia.

Pendidikan karenanya menjadi sebuah kegiatan menabung dimana

murid adalah celengannya dan guru adalah penabungnya. Dalam hal ini

yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan

pernyataan-pernyataan dan mengisi tabungan yang diterima, dihafal, dan

diulangi dengan patuh oleh murid. Ruang gerak yang disediakan untuk

kegiatan murid hanya terbatas pada menerima, mencatat, dan

menyimpan.

Konsep pendidikan gaya bank tidak mengenal pemecahan masalah

kontradiksi guru dan murid, sebaliknya memelihara dan mempertajam

33
Muhammad Hanif Dakhiri, Paulo Freire, Islam dan Pembebasan, (Jakarta: Djambatan Pena,
2000), h. 47
23

kontradiksi itu melalui cara-cara dan kebiasaan yang mencerminkan

suatu keadaan masyarakat tertindas (murid):

1) Guru mengajar, murid belajar.

2) Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa.

3) Guru berfikir, murid difikirkan.

4) Guru bercerita, murid patuh mendengarkan cerita .

5) Guru menentukan peraturan, murid patuh diatur.

6) Guru memilih dan memaksakan pilihannya.

7) Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui

perbuatan gurunya.

8) Guru memilih bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan diri

dengan pelajaran itu.

9) Guru mencampuradukkan kewenagnag ilmu pengetahuan dan

kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi

kebebasan murid.

10) Guru adalah subjek dalam proses belajar, murid hanyalah objek

belaka.34

Dari penjelasan di atas dapat dilihat bahwa guru yang menjadi pusat

segalanya. Bagi murid, guru sebagai prototipe manusia ideal yang harus

ditiru dan diteladani dalam semua hal. Konsep pendidikan ini sangat

efektif membekukan kesaran kritis dan mereduksi keterlibatan murid

dalam proses belajar mengajar baik di dalam maupun di luar kelas, di

34
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, Terj. Utomo Dananjaya, dkk, (Jakarta: LP3ES,
2000), h. 51-52
24

samping itu mengurangi dan menghapuskan daya kreasi pada murid serta

menumbuhkan sikap mudah percaya.

Untuk mencari dan mendapatkan kebebasan sebagai wujud


perlawanan terhadap penindasan, maka perlu ditemukan sumber
penyebab terjadinya penindasan, kemudian melakukan tindakan
perubahan yang memungkinkan terbentuknya manusia yang lebih utuh.35

Oleh karena itu mengajar bukannya memindahkan pengetahuan

dengan hafalan. “Mengajar tidak direduksi menjadi mengajar siswa saja,

tetapi belajar akan menjadi valid bila siswa belajar untuk belajar (learn to

learn).”36Tindakan mengajar yang dilakukan guru adalah sama dengan

yang dilakukan murid dengan tindakan mengerti dan memahami apa

yang diajarkan. Maka jelas bahwa mengajar adalah “tindakan kreatif dan

kritis, bukan hanya mekanis belaka. Keingintahuan guru dan murid

bertemu dalam proses belajar mengajar itu. Dalam mengajar, guru

mengenal lebih dalam pengertiannya dari pengertian murid.”37

Freire memberikan beberapa tawaran yang cukup signifikan untuk

menjadikan siswa kreatif dan kritis dalam proses belajar :

a) Pembaca harus mengetahui peran dirinya.

b) Pada dasarnya praktek belajar adalah bersikap terhadap dunia.

c) Kapan saja mempelajari sesuatu, kita dituntut menjadi lebih akrab

dengan bibliografi yang telah kita baca, dan juga bidang studi secara

umum atau bidang studi yang kita alami .

35
Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas, h. 52
36
Paulo Freire, Pedagogy Pengharapan, Penerjemah Tim Penerbit Kanisius,
(Yogyakarta:Kanisius, 2001), h. 81
37
Paul Suparno, Relevansi dan Reorientasi Pendidikan di Indonesia, Basis, No.01-02 Tahun ke
50 Januari Februari, 2001, h. 25
25

d) Prilaku belajar mengasumsikan hubungan dialektis antar pembaca dan

penulis yang refleksinya dapat ditemukan dalam tema teks tersebut .

e) Prilaku belajar menuntut rasa rendah hati.38

Dari semua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep

pembebasan Freire dalam kaitannya hubungan antara guru dan murid

adalah berusaha melepaskan belenggu yang menjerat paradigma berfikir

guru dan murid, untuk kemudian mereka dapat melepaskan

keterkungkungan itu, lalu menjadi manusia yang mengerti akan arti

kemanusiaanya. Freire menempatkan guru sebagai mitra murid dalam

segi kemanusiaan dan demokrasi dan bahwa setiap murid pada dasarnya

dapat berlaku aktif, mampu berbuat dan bertanggung jawab, serta mampu

menjadi dirinya sendiri.

B. Pendidikan “Hadap-Masalah”

Sebagai Unsur Pendidikan Sebagai respon atas praktek pendidikan


anti realitas, Freire menegaskan bahwa pendidikan harus diarahkan pada
proses hadap-masalah. Titik tolak penyusunan progam pendidikan atau
politik harus beranjak dari kekinian, eksistensial dan konkrit yang
mencerminkan aspirasi-aspirasi rakyat.39

Progam tersebut diharapkan akan merangsang kesadaran rakyat


dalam menghadapi tema-tema realitas kehidupan. Hal ini sejalan dengan
tujuan pembebasan dari pendidikan dialogis. Sebagaimana konsep
pendidikan Ibnu Sina yang ditujukan pada pengembangan potensi yang
bersifat jasmani dan ketrampilan yang didasarkan pada Insan Kamil.40

38
Paulo Freire, Politik Pendidikan,Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan, Penerjemah
Agung Prihantoro, dkk, (Yogyakarta:Read bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, 2000)

39
Pedagogi Hati, h. 110
40
Pedagogi Pengharapan, h. 28
26

Orientasi pendidikan tersebut merupakan suatu bentuk kurikuler

yang bersifat operasional untuk menjawab realitasyang ada. Potensiyang

dikembangkan diarahkan pada pribadi yang menyandang gelar khalifah

dimuka bumi. Berikut adalah konsep pendidikan melek huruf Freire yang

terdiri dalam 3 tahap:41

1) Kodifikasi dan Dekodifikasi: tahap elementer dalam “ konteks

konkrit” dan “konsep teoritis” (melalui gambar, cerita rakyat, dsb)

2) Diskusi Kultural: tahap lanjutan dalam satuan kelompok-kelompok

kerja kecil yang sifatnya problematik dengan menggunakan “kata-kata

kunci” (generative word).

3) Tahap Aksi Kultural: tahap “praxis” yang sesungguhnya. Setiap

peserta atau kelompok menjadi bagian langsung dari realitas.

Dari tahap pembelajaran tersebut, dalam perspektif dan

metodologi pendidika kritis, media merupakan “bahasa’ tersendiri bagi

para fasilitor pembelajaran. Media ini menekankan mutlaknya partisipasi

peserta didik dan memproduksi pengetahuan dari pengalaman mereka

sendiri.

Konsep “problem-posing” bertolak dari konsep manusia sebagai


makhluk yang sadar dan kesadaran tersebut diarahkan kepada dunia.
Masalah- masalah manusia yang berhubungan dengan dunia, dihadapkan
untuk dipecahkan. Konsep ini menuntut pemecahan masalah kontradiksi
antara guru dan murid. “Problem-posing” bertujuan untuk mewujudkan
komunikasi ataupun dialog dan menolak pengetahuan yang dihasilkan
dari pernyataan-pernyataan.42

41
Pedagogi Pengharapan, h. 29
42
Pedagogi Hati, h. 115
27

Posisi pengajar dan peserta didik oleh Freire dikategorikan sebagai

subjek “ yang sadar” (cognitive). Artinya kedua posisi ini sama-sama

berfungsi sebagai subjek dalam proses pembelajaran.

Peran guru hanya mewakili dari seorang teman (partnership) yang

baik bagi muridnya. Adapun posisi realitas dunia menjadi medium atau

objek “yang disadari” (coznizable). Disinilah manusia itu belajar dari

hidupnya. Dengan begitu manusia dalam konsep pendidikan Freire

mendapati posisi sebagai subjek aktif. Manusia kemudian belajar dari

realitas sebagai medium pembelajaran.

Proses belajar yang berasaskan pendidikan kritis saat ini dikenal

sebagai “structural experiences learning cycle”. Metode ini

memungkinkan seseorang untuk mencapai pemahaman dan kesadaran

atas realitas sosial dengan partisipasi langsung atau tidak. Partisipasi

tersebut memungkinkan setiap pesertanya mampu bertindak. Belajar dari

realitas atau pengalaman yang dimaksud adalah keadaan nyata

masyarakat atau pengalaman seseorang atau kelompok yang terlibat

dalam kenyataan yang ada. Akibatnya, tidak ada otoritas pengetahuan

seseorang yang lebih tinggi dari yang lainnya. Keabsahan pengetahuan

seseorang ditentukan oleh pembuktiannya dalam realitas tindakan atau

pengalaman langsung,bukan pada retorika teoritik.

Prinsip “praxis” menjadi kerangka dasar sistem dan metodologi

pendidikan kaum tertindas Freire. Setiap waktu dalam prosesnya,

pendidikan ini merangsang kearah pengambilan suatu tindakan,


28

kemudian tindakan tersebut direfleksikan kembali, dan dari refleksi

tersebut direfleksikan kembali untuk mengambil tindakan baru yang

lebih baik. Demikian seterusnya proses daur ulang tindakan dan pikiran

yang berlangsung terus menerus sepanjang hidup.

Dari proses tersebut dapat ditemukan bahwa keduanya menjadi

subjek, maka terciptalah suasana dialogis yang bersifat inter subjek untuk

memahami realitas bersama.

C. Kesadaran Kritis Sebagai Puncak

Kata “consciesntization” berakar dari kata “consciesness”.43

Adapun consciesness menurut Freire adalah totalitas dari akal budi,

perasaan, emosi, keinginan; jasmani,sadar akan dunia dan diri sendiri,

menangkap dunia arah tujuan diri.44

Kesadaran diri dalam proses transformasi merupakan suatu bentuk

kesadaran manusia untuk kembali menemui fitrahnya. Dalam perspektif

Islam, “kesadaran” jiwa (nafs) berasal dari kata “Sudr” yang berarti dada

atau “qalb” (hati), yaitu pengetahuan tentang al-Haq, tentang dirinya dan

keberadaannya dimuka bumi ini yang dapat disentuh oleh nafs yang suci.

Kesadaran manusia berperan dalam menciptakan kembali realitas

materialitas. Kesadaran tersebut dikondisikan oleh realitas sebagaimana

dialami dan dihantarkan melalui pikiran-bahasa. Kesadaran masyarakat

yang tertutup dan tertindas bersifat intransitif (pengingkaran eksistensi

manusia).
43
Pedagogi Hati, h. 109-110
44
DR. Mukhtar Sholihin, DR. Rosihan Anwar, h. 41
29

Keadaan kesadaran yang tertindas menimbulkan masalah

epistomologi (atau bisa dikatakan cara yang salah dalam mengetahui)

yang bersifat historis. Kesadaran bukan hanya tiruan atau cermin

dariyang nyata. Situasi yang ada tidak akan abadi dan tidak menjadi

subjek penentu pemilik kesadaran. Karena bagaimanapun juga, manusia

lebih unggul dari dunia atau sejarah. Dan yang nyata bukan hanya

kontruksi kesadaran yang berubah-rubah.

Kesadaran hanyalah jalan setapak menuju kesatuan yang dialektis,

dimana solidaritas antara subjektivitas dan objektivitas dapat ditemukan,

sehingga tidak akan terjadi kesalahan epistomologi; idealisme subjektif

dan objektivisme mekanistis.

Sesungguhnya Imam Al-Ghazali mengakui potensialitas yang

dimiliki oleh akal untuk mengungkap kebenaran dan makna. Baginya,

objek akal adalah segala sesuatu yang ada (realitas), dimana semua esensi

tidak terhalang untuk dicerna oleh akal, kecuali akal sendiri yang

menutupnya dari segala sifat yang dapat inherent kepadanya.

Kesalahan berfikir bagi Ghazali tidak terletak pada akal, namun

karena adanya khayalan (bayang-bayang) dan keraguan. Freire

menekankan bahwa kesadaran akan realitas haruslah kritis, jika tidak ia

akan menjadi kesadaran yang subjektif (palsu) yang berarti mengingkari

realitas objektif.

Kesadaran kritis adalah intensionalitas (keterarahan)yang ditandai

dengan adanya pengertian manusia mengenai semua hubungan kausal


30

suatu situasi dan kekuatan refleksi untuk ikut dalam sejarah. 45Suatu

kesadaran yang benar-benar terarah kepada dunia adalah kesadaran yang

menggabungkan refleksi dengan tindakan yang bertujuan pembebasan

manusia. Tindakan manusia adalah sesuatu yang menandakan bersatunya

jiwa dan raga.

Teori mengantarkan pada pandangan mengenai dualitas antara

alam idealita dan realita. Dalam pandangan Iqbal, idealita dan realita

adalah dua hal yang memiliki potensi penting untuk mengantarkan

manusia pada penemuan jati dan pengembangan diri. 46 Manifestasi

kesadaran diri terlihat melalui seluruh prilaku dan pikirannya yang

senantiasa berpusat pada kesadaran akan kehambaannya dihadapan

tuhan.47

Dengan kata lain, pengendalian diri sendiri merupakan bentuk

kesadaran manusia akan fitrahnya sebagai makhluk yang dulunya dengan

jujur mengakui Allah sebagai tuhannya. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu

mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah

mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman):

"Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau

Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu)

agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani

Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"

45
DR. Mukhtar Sholihin, DR. Rosihan Anwar, h. 135
46
DR. Mukhtar Sholihin, DR. Rosihan Anwar, h. 136
47
Istilah berasal dari tim kerja Freire di Brasil (read Dennis Collin, h. 114).
31

(QS; 7:172). Keadaan kesadaran manusia digambarkan Freire melalui

satu analogi dari tata bahasa (transivitas).

Kesadaran transitif terjadi saat manusia mengalami kenyataan


sebagai masalah. Analogi transifitas Freire yang mengandung tingkat
kesadaran manusia yang berbeda menunjukkan bahwa tindakan manusia
tergantung pada pemahaman mereka pada kenyataan. Kesadaran transitif
kritis dicapai melalui suatu proses permanen yang disebut
“Conscientizacao”.48

Dalam hal ini proses pembebasan memiliki indikasi seperti;

optimisme, resistensi dan kritis. Dengan berkonsentrasi pada peran

kesadaran dalam proses pemerdekaan maka kebebasan dari penindasan

dapat dimudahkan dengan membuat penindasan itu “lebih menindas”

saat orang menyadari penindasannya. Kesadaran kelas atas ketertindasan

membuat manusia memahami realitas historis sebagai sesuatu yang dapat

ditransformasi.

Filsafat pendidikan Freire bertumpu pada keyakinan, manusia secara

fitrah mempunyai kapasitas untuk mengubah nasibnya. Dengan

demikian, tugas utama pendidikan sebenarnya mengantarkan peserta

didik menjadi subjek.

Untuk mencapai tujuan ini, proses yang ditempuh harus

mengandaikan dua gerakan ganda; meningkatkan kesadaran kritis peserta

didik sekaligus berupaya mentransformasikan struktur sosialyang

menjadikan penindasan itu berlangsung. Sebab,kesadaran manusia itu

berproses secara dialektis antara diri dan lingkungan.

48
Hassan Hanafi, Islamologi 3: dari Teosentris ke Antroposentris. (Yogyakarta: LkiS, 2004) Cet.
I, h. 10.
32

Untuk itulah emansipasi dan transendensi tingkat kesadaran itu

harus melibatkan dua gerakan ganda tersebut sekaligus. Meski Freire

jarang berbicara mengenai sekolah atau sistemnya, bukan berarti dia

pemikir anti-sekolah seperti Ivan Illich. Justru karya Freire “memandang

dan menekankan pendidikan sebagai alat pencapai perubahan sosial.

Pendidikan adalah nilai-cara terpenting bagi proses pembebasan

manusia”.49

Guru, dalam pandangan Freire, tidak hanya menjadi tenaga

pengajar yang memberi intruksi kepada peserta didik, tetapi mereka

harus memerankan dirinya sebagai pekerja kultural. Proses pembelajaran

merupakan relasi antara peserta didik yang bersifat subyek-subyek,

bukan subyek-obyek. Mereka harus sadar, pendidikan itu mempunyai

dua kekuatan sekaligus; sebagai aksi kultural untuk pembebasan atau

sebagai aksi kultural untuk dominasi dan hegemoni dan sebagai medium

untuk memproduksisistem sosial yang baru atau sebagai medium untuk

mereproduksi status quo.

Metode penyadaran perlu diterapkan guna memberikan kesadaran

kepada peserta didik dalam menyerap nilai-nilai pendidika melalui

konsep al-Amru bil Ma’ruf wa an-Nahyu ’an al-Munkar,50 yang

merupakan pesan moral, kesabaran dan perdamaian. Konsep ini

mencakup nilai demokrasi dalam pendidikan. Bukanlah suatu aib jika

guru mendengarkan dan melaksanakan pendapat murid. Karena hakikat


49
Dennis Collin, h. 134
50
M. Suyudi, Pendidikan dalam Perspektif Al-Qur’an. Cet. I, (Yogyakarta: Mikrah, 2005) h. 73-
78
33

dalam pendidikan adalah mengkaji, mencari, mengantarkan pada

kebaikan dan mencegah keburukan. Oleh sebab itu peringatan boleh

datang dari semua pihak (guru dan murid).

3. Teknik Memahami pendidikan Paulo Freire

Tujuan pendidikan menurut UU Sistem pendidikan nasional yaitu

pendidikan yang mampu menjadikan manusia Indonesia seutuhnya,

manusia yang memiliki kemandirian serta tanggung jawab yang tinggi.

Namun, yang menjadi pokok pemikiran sistem pendidikan Freire yaitu

bagaimana pendidikan itu dapat memberikan kebebesan bagi terdidik.

Bagaimana pendidikan itu dapat membebaskan terdidik dari

kebudayaan bisu serta membebaskan terdidik dari

ketertindasan. Itulah makna dari pendidikan yang membebaskan menurut

Paulo Freire. Jika pendidikan seperti yang digagas Freire itu dalam

kontekstualisasinya di negara Indonesia dapat dilaksanakan suatu sistem

Pendidikan Multikultural.

Multikultural itu diartikan sebagai suatu keragaman kebudayaan.

Namun, secara terminologi pendidikan multikultural berarti proses

pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan

heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku dan

aliran agama.51

Pendidikan multikultural itu sejatinya lahir dikarenakan munculnya

suatu permasalahan dalam pendidikan. Dewasa ini, banyak timbul suatu


51
Zainiyati, 2007, h. 136
34

permasalahan pendidikan berupa banyaknya kekerasan yang terjadi di

dunia pendidikan. Dalam berita yang diperoleh dari Kompas (2014)

kekerasan sering terjadi di tempat yang selama ini dianggap sebagai

surga bagi anak-anak, yakni di sekolah.

“Kekerasan sering terjadi di dua lokasi itu, rumah dan sekolah,”


ujarnya. Untuk mencegah kekerasan yang terjadi di tempat yang
seharusnya aman bagi anak itu, lanjut Arist, peran serta masyarakat
menjadi salah satu ujung tombaknya. Ironisnya lagi, kematian yang
menimpa Renggo Khadafi (10), setelah dianiaya kakak kelasnya, saya, di
dalam kelas SD Negeri 9 Makasar, Jakarta Timur, tak memberikan
pelajaran bagi pengajar di sekolah itu. Kepala SDN 9 Makasar Sri
Hartini, saat ditemui Kompas, berdalih tak ada kesalahan dalam
pengawasan terhadap siswa dan menilai saya anak yang baik, Sabtu
(05/07/2014).52

Hampir setiap bulan terjadi satu kali tawuran. Ini sudah


memprihatinkan dan harus segera dicegah agar aksi meresahkan ini tidak
terjadi lagi,’ kata Zain seusai upacara Deklarasi Anti kekerasan
SMA/SMK dan MA se-Kota Magelang, di GOR Samapta, Rabu
(26/11/2014).53

Dari beberapa kasus di atas dapat diartikan sebagai suatu

permasalahan yang timbul dalam pendidikan. Adanya siswa yang

meninggal dikarenakan dianiaya kakak kelasnya, hal ini merupakan suatu

bentuk penindasan yang dilakukan dalam pendidikan.

Dimana kakak kelas sebagai penguasa berlaku

sebagai penindas yang seenaknya saja memperlakukan adik kelas sebagai

objek penindasan mereka. Dan adik kelas hanya dapat membisu dan tak

mampu mengungkap bahkan memberontak. Tentu pendidikan yang

seperti itu sangatlah menindas dan jauh dari kata kebebasan.


52
Kompas, 2014
53
Kompas,2014
35

Lalu pada kasus kedua yaitu terjadinya tawuran di kalangan pelajar di

Indonesia menunjukkan suatu bentuk penindasan pula. Penindasan

dimana antar golongan yang melakukan tawuran berlaku seolaholah

mereka dalam posisi sebagai penguasa. Hal tersebut jelas sekali bahwa

kebebasan sangat sulit untuk didapatkan dalam pendidikan. Sehingga

pendidikan multikultural diupayakan dapat mengatasi permasalahan yang

terjadi.

Pendidikan Multikultural merupakan respon terhadap perkembangan


keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi
setiap kelompok. Secara luas pendidikan multikultural itu mencakup
seluruh siswa tanpa membeda-bedakan kelompoknya seperti gender,
etnik, ras, budaya, strata sosial dan agama.54

Seperti makna dari multikultural itu sendiri bahwa pendidikan

multikultural disini merupakan suatu penyelenggaraan pendidikan itu

harus memberikan kebebasan bagi siswa dalam bidang keragaman

budaya. Artinya, pendidikan itu hak bagi seluruh warga negara Indonesia

tanpa terkecuali tanpa memandang perbedaan budaya.

Pendidikan multikultural menurut Aarifudin dimaknai sebagai suatu

pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang

menyeluruh yang membongkar kekurangan, kegagalan, dan praktik-

praktik diskriminasi dalam proses pendidikan. Maka pendidikan ini

seyogyanya berisikan tentang tema-tema mengenai toleransi.55

Sehingga apa yang menjadi tujuan dari pendidikan sesuai pemikiran

Freire yaitu pendidikan yang membebaskan, itu dapat terwujud dengan

54
Zainiyati, 2007, h. 137
55
Arifudin,pendidikan multicultural,2007, h. 3
36

timbulnya sikap toleransi yang dimiliki anak didik. Dengan sikap

toleransi inilah tidak akan ada lagi kelompok yang menjadi penguasa dan

kelompok yang menjadi objek (penindasan). Selain itu, yang terpenting

dalam arti pendidikan yang membebaskan disini yaitu terdidik bebas

memilih dari segala jenis keragaman budaya yang ada. Namun, harus

memperhatikan poin pentingnya.

Pendidikan yang membebaskan sejatinya pendidikan yang mampu

mengeluarkan fitrah manusia dari kekangan dan intimidasi. Dimana

manusia berada dalam suatu kebudayaan bisu yang sebenarnya mereka

ingin sekali menuntut hak-hak mereka.

Pendidikan yang membebaskan tidak lain akan melahirkan

masyarakat yang demokratis. Manusia yang bebas mengutarakan

pendapat, bebas menuntut hak-hak asasinya. Disini dapat ditunjukkan

bahwa di Indonesia terdapat suatu sistem pendidikan demokrasi. Pada

hakikatnya, pendidikan demokrasi adalah sosialisasi nilai-nilai demokrasi

supaya dapat diterima dan dijalankan oleh warga Negara.56

Tujuan dari pendidikan demokrasi itu sendiri yaitu untuk

mempersiapkan terdidik agar bertindak dan berperilaku demokratis

melalui aktivitas penanaman pengetahuan, kesadaran, dan nilai-nilai

demokrasi. Pendidikan demokrasi ini memberikan ruang bagi terdidik

dalam mengembangkan sikap mandiri, aktif, kreatif, kritis dan tanggung

jawab. Sejatinya demokrasi adalah suatu hal yang berhubungan dengan

56
Sunarto, 2013, h. 46
37

hak yang dimiliki individu. Dimana terdidik diberikan kebebasan untuk

memilih, berpendapat, serta berekspresi.

Dalam pembelajarannya terdidik bebas dalam mengekspresikan ide-

idenya mengenai ilmu pengetahuan. Sehingga terbentuklah pribadi yang

mandiri, aktif, kritis, kreatif dan tanggung jawab. Maka sejalan dengan

konsep pendidikan yang digagas oleh Freire. Namun, kelemahannya jika

guru belum dapat memberikan inovasi dan pembelajaran yang menarik

maka anak didik pun akan sulit mengembangkan kreativitasnya.

Dalam konteks inilah guru juga dituntut untuk dapat

mengembangkan kreativitas dan inovasinya. Agar anak didik sejalan

dengan inovasi guru yang mencerminkan sikap kreatif, aktif, mandiri,

dan bertanggung jawab. Jadi, apa yang menjadi tujuan pendidikan yaitu

untuk mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya itu dapat terwujud.

B. Pembentukan Karakter

1. Pengertian Karakter

Dalam kamus Bahasa Indonesia pembentukan berasal dari kata

"bentuk yang berarti lengkung, lentur, bangun, gambaran, rupa,

wujud, dan lain sebagainya". Dan pembentukan menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia adalah" proses, cara, pembuatan, atau cara

membentuk".57 Secara harfiah karakter artinya 'kualitas mental dan

moral, kekuatan moral, nama atau reputasi'. Menurut kamus Besar

57
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia
(edisi ketiga, Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 152
38

Bahasa Indonesia" karakter adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau

budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain baik tabiat

maupun watak.58

Istilah karakter dihubungkan dan dipertukarkan dengan istilah etika,

ahlak, dan atau nilai dan berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi

“positif” bukan netral.59

Dari pengertian di atas dapat dipahami bahwa karakter identik dengan

akhlak, sehingga karakter rnerupakan nilai-nilai perilaku manusia yang

universal yang meliputi seluruh aktivitas manusia, baik dalam rangka

berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama manusia,

maupun dengan lingkungan, yang terwujud dalam pikiran, sikap,

perasaan, perkataan, dan perbuatan.60 Berdasarkan norma-norma agama,

hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dari konsep karakter ini

muncul konsep pendidikan karakter (character education).

Oleh karena itu Pendidikan karakter secara lebih luas dapat diartikan

sebagai pendidikan yang mengembangkan nilai budaya dan karakter

bangsa pada diri peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan

karakter sebagai karakter dirinya, menerapkan nilai-nilai tersebut dalam

kehidupan dirinya sebagai anggota masyarakat, dan warga negara yang

religius, nasionalis, produktif, dan kreatif.

Konsep tersebut harus disikapi secara serius oleh pemerintah dan

masyarakat sebagai jawaban dari kondisi riil yang dihadapi bangsa


58
Muhammad Ali,h. 103-104
59
Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendiknas, Kerangka Acuan Pendidikan Karakter, 2010, h. 9
60
Aziz, Pendidikan Karakter, (Jakarta: Erlangga, 2009) h. 43
39

Indonesia akhir-akhir ini yang ditandai dengan maraknya tindakan

kriminalitas, memudarnya nasionalisme, munculnya rasisme,

memudarnya toleransi beragama serta hilangnya religiusitas

dimasyarakat, agar nilai- nilai budaya bangsa yang telah memudar

tersebut dapat kembali membudaya ditengah-tengah masyarakat.

Salah satu upaya yang dapat segera dilakukan adalah memperbaiki

kurikulum dalam sistem pendidikan nasional yang mengarahkan pada

pendidikan karakter secara nyata Namun selama ini proses pembelajaran

yang terjadi hanya menitik beratkan pada kemampuan kognitif anak

sehingga ranah pendidikan karakter yang tercantum dalam tujuan

pendidikan nasional tersebut hanya sedikit atau tidak tersentuh sama

sekali.

Hal ini terbukti bahwa standar kelulusan untuk tingkat sekolah dasar

dan menengah masih memberikan prosentase yang lebih banyak terhadap

hasil Ujian Nasional dari pada hasil evaluasi secara menyeluruh terhadap

semua mata pelajaran. Pendidikan karakter bukanlah berupa materi yang

hanya bisa dicatat dan dihafalkan serta tidak dapat dievaluasi dalam

jangka waktu yang pendek, tetapi pendidikan karakter merupakan sebuah

pembelajaran yang teraplikasi dalam semua kegiatan siswa baik

disekolah, lingkungan masyarakat dan dilingkungan dirumah melalui

proses pembiasaan, keteladanan, dan dilakukan secara

berkesinambungan.
40

Oleh karena itu keberhasilan pendidikan karakter ini menjadi

tanggung jawab bersama antara sekolah, masyarakat dan orangtua.

Evaluasi dari Keberhasilan pendidikan karakter ini tentunya tidak dapat

dinilai dengan tes formatif atau sumatif yang dinyatakan dalam skor.

Tetapi tolak ukur dari keberhasilan pendidikan karakter adalah

terbentuknya peserta didik yang berkarakter; berakhlak, berbudaya,

santun, religius, kreatif, inovatif yang teraplikasi dalam kehidupan

disepanjang hayatnya.

Oleh karena itu tentu tidak ada alat evaluasi yang tepat dan serta

merta dapat menunjukkan keberhasilan pendidikan karakter. Konfigurasi

karakter sebagai sebuah totalitas proses psikologis dan sosial-kultural

dapat dikelompokan dalam:

1) Olah Hati (Spiritual and emotional development).

2) Olah Pikir (intellectual development).

3) Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic

development).

4) dan Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity

development).

Keempat proses psikososial (olah hati, olah pikir, olah raga, dan

olahrasa dan karsa) tersebut secara holistik dan koheren memiliki saling

keterkaitan dan saling melengkapi, yang bermuara pada pembentukan

karakter yang menjadi perwujudan dari nilai-nilai luhur.61

61
Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendiknas, h. 9
41

Pendidikan karakter menjadi salah satu akses yang tepat dalam

melaksanakan character building bagi generasi muda; generasi yang

berilmu pengetahuan tinggi dengan dibekali iman dan bertakwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, cakap, kreatif, mandiri, dan

menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung- jawab.

Pendidikan karakter menurut para ahli :

Menurut Kementerian Pendidikan Nasional bahwa, pendidikan


karakter merupakan pendidikan yang mengembangkan karakter bangsa
pada diri atau pribadi peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan
karakter sebagai karakter dirinya, serta menerapkan nilai-nilai dan karakter
tersebut dalam kehidupannya, baik sebagai anggota masyarakat maupun
warga negara yang memiiki nilai dan karakter religius, nasionalis,
produktif dan kreatif.62

Pendidikan Karakter menurut Lickona adalah pendidikan bagaimana


cara membentuk kepribadian seeorang melalui penerapan pendidikan budi
pekerti , sehingga mampu menghasilkan karakter positif dalam tindakan
nyata yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati
hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya. Aris Toteles berpendapat
bahwa karakter itu erat kaitannya dengan kebiasaan yang kerap
dimanefestasikan dalam tingkah laku.63

Menurut Elkind dan Sweet pendidikan karakter merupakan suatu cara


ataupun upaya yang secara sengaja dilakukan untuk membantu manusia
memahami dan peduli akan nilai-nilai etis dan asusila, kita juga akan
berpikir bagaimana cara mendiidk agar anak kita memiliki kaarkter yang
positif serta beretika baik, hal ini jelas bahwa kita ingin mereka mampu
secara mandiri untuk menilai apa itu kebenaran, sangat peduli tentang apa
itu kebenaran/hak-hak, dan kemudian melakukan apa yang mereka percaya
menjadi yang sebenarnya, bahkan dalam menghadapi tekanan dari tanpa
dan dalam godaan. 64

Sedangkan menurut Koesoema pendidikan karakter merupakan nilai-


nilai dasar yang harus dihayati jika sebuah masyarakat mau hidup dan
bekerjasama secara damai. Nilai-nilai seperti kebijaksanaan,
penghormatan terhadap yang lain, tanggung jawab pribadi, perasaan

62
Kementerian Pendidikan Nasional,2010,h.4
63
Mahmud,Pendidikan karakter, 2017,h.27
64
Mahmud,Pendidikan Karkter,2017.h.27
42

senasib, sependeritaan, pemecahan konflik secara damai, merupakan nilai-


nilai yang semestinya diutamakan dalam pendidikan karakter . 65

Menurut Ramli pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang

sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Bertujuan untuk

membentuk kepribadian anak, agar menjadi manusia yang baik maupun

warga masyarakat serta warga Negara yang baik.

Dari beberapa pengertian yang telah dijelaskan oleh beberapa tokoh

diatas maka peneliti dapat memberikan kesimpulan bahwa pendidikan

karakter adalah suatu kegiatan atau upaya yang dilakukan untuk

membentuk dan mengembangkan karakter maupun kepribadian seseorang

agar mampu menjadi diri sendiri serta warga masyarakat maupun bangsa

yang baik.

2. Prinsip – prinsip Pendidikan Karakter

Kementrian Pendidikan Nasional memberikan rekomendasi prinsip

untuk mewujudkan pendidikan karakter yang efektif sebagai berikut:66

a. Mengenalkan nilai-nilai dasar etika yang berlandaskan karakter .

b. Mengidentifikasi karakter secara keseluruhan agar dapat mencakup

pemikiran, perasaan serta sikap dan tingkah laku.

c. Menggunakan pendekatan yang tajam, proaktif dan efektif untuk

membangun karakter

d. Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian .

e. Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan

perilaku yang baik.


65
Mahmud,Pendidikan Karakter,2017,h.28
66
Kementrian Pendidikan nasional, prinsip Pendidikan karakter
43

f. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna dan menantang

yang menghargai semua peserta didik, membangun karakter mereka,

dan membantu mereka untuk sukses.

g. Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri pada para peserta didik.

h. Memfungsikan seluruh staf sekolah sebagai komunitas moral yang

berbagi tanggung jawab untuk pendidikan karakter dan setia pada nilai

dasar yang sama. Adanya pembagian kepemimpinan moral dan

dukungan luas dalam membangun inisiatif pendidikan karakter.

i. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam

usaha membangun kaarkter

j. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru

karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan peserta

didik

Berdasarkan pada prinsip-prinsip yang direkomendasikan oleh

Kemendiknas tersebut,

Budimasyah berpendapat bahwa program pendidikan kaarketr di

sekolah perlu dikembangkan dengan berlandaskan pada prinsip-prinsip

sebagai berikut:67

a. Pendidikan karakter di sekolah harus dilaksanakan secara

berkelanjutan (kontinuitas). Hal ini mengandung arti bahwa proses

pengembangan nilai-nilai karakter merupakan proses yang panjang ,

mulai sejakawal pserta didik masuk sekolah hingga mereka lulus

sekolah pada suatu pendidikan.


67
Budimasyah,Prinsip Pendidikan Karakter,2010,h.68
44

b. Pendidikan karakter hendaknya dikembangkan melalui semua mata

pelajaran (terintgrasi), melalui pengembanagn diri dan budaya suatu

satuan pendidikan. Pembinaan karakter bangsa dilakukan dengan

mengintegrasikan dalam seluruh mata pelajaran, sehingga semua mata

pelajaran diarahkan pada pengembangan nilai-nilai karakter tersebut.

Pengembangan nilai karakter juga dapat dilakukan dengan melalui

pengembangan diri, baik melalui konseling maupun kegiatan

ekstrakurikuler, seperti kegiatan kepramukaan dan lain sebagainya.

c. Sejatinya nila-nilai karakter tidak diajarkan (dalam bentuk

pengetahuan), jika hal tersebut diintgrasikan dalam mata pelajaran.

Kecuali bila dalam bentuk mata pelajaran agama (yang didalamnya

menganudng ajaran) maka tetap diajarkan dengan proses, pengetahuan

(knowing), melakukan (doing), dan akhirnya membiasakan (habit).

d. Proses pendidikan dilakukan peserta didik dengan secara aktif dan

menyenangkan. Proses ini menujukkan bahwa proses pendidikan

karakter dilakukan oleh peserta didik bukan oleh guru. Sedangkan

guru menerapkan prinsip “tu wuri handayani” dalam setiap perilaku

yang ditunjukkan oleh agama.

3. Urgensi, Tujuan dan Fungsi Pendidikan Karakter

A. Urgensi Pendidikan Karakter

Kebijakan pemerintah melalui Kemendikbud tentang pendidikan

karakter kurikulum 2013 perlu mendapat apresiasi yang baik. Apalagi jika
45

dilakukan penerapan pendidikan karakter anak usia dini, maka pembentukan

kepribadian dapat membawa manfaat yang luar biasa.

Adapun urgensi atau arti pentingnya pendidikan karakter bagi siswa

dapat dijelaskan sebagai berikut ini:68

a) Pendidikan karakter adalah cara paling tepat untuk memastikan

para siswa memiliki karakter dan kepribadian yang baik dalam

hidupnya.

b) Pendidikan karakter ini dapat meningkatkan prestasi akademik

peserta didik.

c) Beberapa siswa tidak mampu membentuk karakter yang baik untuk

dirinya sendiri di tempat lain.

d) Pendidikan karakter mampu membentuk individu yang

menghormati dan menghargai orang lain dan hidup dalam

masyarakat yang heterogen.

e) Pendidikan karakter berperan sebagai usaha dalam mengatasi akar

masalah moral-sosial, yaitu ketidakjujuran, kekerasan,

ketidaksopanan, etos kerja rendah, dan lain-lain.

f) Merupakan cara terbaik untuk membentuk perilaku individu

sebelum masuk ke dunia kerja/ usaha.

g) Sebagai cara untuk mengajarkan nilai-nilai budaya yang

merupakan bagian dari kerja suatu peradaban.

68
Kemendikbud,urgensi pendidikan karakter kurikulum,2013
46

Adanya gagasan program pendidikan karakter di Indonesia, bisa

dimaklumi, karena proses pendidikan selama ini dirasakan belum

berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan,

banyak yang menyebut pendidikan telah “gagal”, karena banyak

lulusan lembaga pendidikan (Indonesia) termasuk sarjana yang pandai

dan mahir dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, akan tetapi

tidak memiliki mental yang kuat, bahkan mereka cenderung amoral.

Bahkan dewasa ini juga banyak pakar bidang moral dan agama

yang sehar-hari mengajar tentang kebaikan, tetapi perilakunya tidak

sejalan dengan ilmu yang diajarkannya. Sejak kecil, anak-anak

diajarkan menghafal tentang bagusnya sikap jujur, berani, kerja keras,

keberishan, dan jahatnya kecurangan, akan tetapi nilai-nilai kebaikan

itu diajarkan dan diujikan hanya sebatas pengetahuan yang dituliskan

kertas (teori) serta dihafal sebagai bahan yang wajib dipelajari, karena

diduga akan keluar dalam kertas soal ujian.

Disinilah bisa kita pahami, mengapa ada kesenjangan antara

praktik pendidikan dengan karakter peserta didik. Bisa dikatakan,

dunia pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang

sangat pelik. Kucuran dana anggaran dalam pendidikan yang sangat

besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu

memecahkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yakni

bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, yang beriman,


47

bertaqwa, professional, berkarakter, sebagaimana diinginkan dalam

tujuan pendidikan nasional.

Hamka seorang ilmuwan muslim yang sangat terkenal dalam salah

satu tulisannya memberikan gambaran kepada kita tentang sosok

individu manusia yang pandai tetapi tidak memiliki pribadi (karakter)

yang unggul, beliau berkata, banyaknya orang-rang pandai dan cerdas

yang memiliki bermacam-macam gelar akan tetapi orang-orang

tersebut hatinya mati karena kurangnya pengetahuan pendidikan

karakter pada diri mereka, orang-orang tersebut mati dan diam seperti

batu karena tidak adanya karakter yang melandasi kehidupan mereka.

B. Tujuan Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa

yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran,

bergotong royong, berjiwa patrotik, berkembang dinamis, berorientasi

ilmu pengerahuan dan teknologi yang semuanya dijiwai oleh iman dan

taqwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.Tujuan

Pendidikan Karakter.

Pasal 3 UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003,

bahwa, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan

membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam

rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusiayang

beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak


48

mulia,sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga

negara yangdemokratis serta bertanggung jawab.

Menurut Kesuma tujuan pendidikan karakter dalam aturan

sekolah yakni sebagai berikut:69

a. Menguatkan dan mengembangkan nilai-nilai kehidupan yang

dianggap penting dan perlu sehingga menjadi kepribadian atau

kepemilikan peserta didik yang khas sebagaimana nilai-nilai yang

dikembangkan.

b. Mengoreksi perilaku peserta didik yang tidak bersesuaian dengan

nilai-nilai dikembangkan oleh sekolah.

c. Membangun koneksi yang harmonis dengan keluarga dan

masyarakat dalam memerankan tanggung jawab pendidikan

karakter secara bersama.

Sedangkan menurut Kemendiknas tujuan pendidikan karakter

antara lain :

a. Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai

manusia dan warga negara yang memiliki nilai-nilai budaya dan

karakter bangsa.

b. Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji

dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya

bangsa,yang religious.

c. Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta

didik sebagai generasi penerus bangsa.


69
Kesuma, tujuan pendidikan karakter,2013
49

d. Mengembangkan kemampuan peserta didik untuk menjadi manusia

yang mandiri, kreatif, dan berwawasan kebangsaan.

e. Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai

lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan

persahabatan.70

Berdasarkan dari berbagai pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa

tujuan pendidikan karakter adalah membentuk, menanamkan,

memfasilitasi, dan mengembangkan nilai-nilai positif pada anak sehingga

menjadi pribadi yang unggul dan bermartabat.

C. Fungsi Pendidikan Karakter

Fungsi Pendidikan Karakter untuk mengembangkan potensi dasar

dalam diri manusia sehingga menjadi individu yang berpikiran baik,

berhati baik, dan berperilaku baik. Untuk membangun dan memperkuat

perilaku masyarakat yang multikultur.

Serta fungsi pendidikan karakter yang lain, di antaranya :

a) Mengembangkan potensi dasar manusia agar menjadi individu

yang berhati, berpikiran, dan berperilaku baik.

b) Membangun dan memperkuat perilaku masyarakat, dalam hal ini

masyarakat Indonesia yang multikultural.

c) Membangun dan meningkatkan peradaban bangsa.71

70
Kemendiknas,pendidikan karakter kurikulum,2013
71
Kemendiknas,pendidikan karakter kurikulum,2013
50

4. Upaya Pembentukan Karakter

“Manusia hanya dapat menjadi sungguh-sungguh melalui

pendidikan dan pembentukan diri (character) yang berkelanjutan. Manusia

hanya dapat dididik oleh manusia lain yang juga dididik oleh manusia

yang lain”, begitu kata Immanuel Kant. Artinya bahwa, pendidikan dan

pembentukan karakter sejak awal munculnya pendidikan oleh para ahli

dianggap sebagai hal yang niscaya dan saling berhubungan.

John Dewey, sebagaimana dikutip oleh Frank G. Goble, pernah

berkata “Sudah merupakan hal lumrah dalam teori pendidikan bahwa

pembentukan watak atau karakter merupakan tujuan umum pengajaran dan

pendidikan budi pekerti di sekolah.72 Pendidikan karakter pada hakikatnya

ingin membentuk individu menjadi seorang pribadi bermoral yang dapat

menghayati kebebasan dan tanggung jawabnya, dalam relasinya dengan

orang lain dan dunianya di dalam komunitas pendidikan.

Pembentukan karakter adalah sebuah proses yang dilakukan dalam

pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai dasar karakter pada seseorang

untuk membangun kepribadian tersebut, baik itu nilai karakter antara

manusia dengan Tuhannya, nilai karakter yang harus ada terhadap sesama

manusia, lingkungnnya maupun nilai karakter diri pribadi seseorang.

Sehingga manusia betul-betul menyadari fitrahnya maupun

fungsinya di dunia ini sampai pada akhirnya tercipta suatu kehidupan yang

aman dan damai serta sarat akan makna tanpa adanya tindakan yang hanya

72
Frank G. Goble, Mazhab Ketiga: Psikologi Humanistik Abraham Maslow,
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1991), h. 270.
51

akan berujung pada kesia-siaan. Pembentukan karakter yang dimaksud

adalah pembentukan kepribadian secara keseluruhan. Pembentukan mental

secara efektif dialihkan dengan memperhatikan faktor kejiwaan sasaran

yang akan dibina.

Pembentukan karakter yang dilakukan meliputi pembentukan

moral, pembentukan sikap dan mental yang pada umumnya dilakukan

sejak anak masih kecil. Pembentukan mental merupakan salah-satu cara

untuk membentuk akhlak manusia bermoral, berbudi pekerti yang luhur

dan bersusila, sehingga seseorang dapat terhindar dari sifat tercela sebagai

langkah penanggulangan terhadap timbulnya kenakalan remaja.

Pembentukan sikap, pembinaan moral dan pribadi pada umurnnya

terjadi melalui pengalaman sejak kecil. Agar anak mempunyai kepribadian

yang kuat dan sikap mental yang sehat serta akhlak yang terpuji, semuanya

dapat diusahakan melalui penglihatan, pendengaran maupun perlakuan

yang diterimanya.

Pembentukan akhlak merupakan tumpuan perhatian pertama dalam

misi Islam. Untuk menciptakan manusia yang berakhlak mulia, Islam telah

mengajarkan bahwa pembentukan jiwa harus lebih diutamakan dari pada

pembentukan fisik atau pembentukan pada aspek-aspek lain, karena dari

jiwa yang baik inilah akan lahir perbuatan-perbuatan yang baik yang pada

gilirannya akan menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan pada seluruh

kehidupan manusia lahir dan batin.


52

Dalam sejarah Islam yaitu dalam tahapan dakwah di Makkah,

Rasul Muhammad SAW menjalani aktivitas dakwahnya di Makkah dalam

dua tahap dengan membentuk karakter para sahabat.

Menurut Quraisy Shihab, manusia yang dibentuk karakternya

adalah “Makhluk yang mempunyai unsur-unsur jasmani (material) dan

akal dan jiwa (inmaterial).Dengan membentuk akalnya menghasilkan

keterampilan dan yang paling penting adalah pembentukan jiwa yang

menghasilkan kesucian dan akhlak. Dengan demikian, terciptalah manusia

dimensi dalam suatu keseimbangan”.73

Ada tiga langkah dalam merubah dan membentuk karakter

seseorang yaitu:

a) Pengosongan, berarti mengosongkan benak pemikiran seseorang dari

berbagai pemikiran yang salah, menyimpang, tidak berdasar, baik dari

segi agama maupun agama yang lurus.

b) Pengisian, berarti mengisi kembali benak pikiran seseorang dengan

nilai-nilai baru dari sumber keagamaan, yang membentuk kesadaran

baru, logika baru, arah baru, dan lensa baru dalam cara memandang

berbagai masalah.

c) Doa, berarti bahwa seseorang harus senantiasa mengharapkan akan

pencerahan ilahi dalam cara berfikir.74

73
Quraish Shihab, Membumikan Al- Quran, (Bandung: Mizan, 1994), h. 56.
74
Anis Matta, Membentuk Karakter Cara Islam, http://keyanaku.hlogspot.com
dalam google.com. diakses pada tanggal 1 Mei 2014 18
53

Adapun ciri-ciri orang yang memiliki karakter, ada 5 kriteria,


yakni: pertama, apabila orang tersebut memegang teguh nilai-nilai
kehidupan yang berlaku secara universal, kedua, memiliki komitmen kuat
dengan memegang prinsip kebenaran hakiki, ketiga, dia harus mandiri
meski menerima masukan dari luar, keempat, teguh akan pendirian yang
benar, kelima memiliki kesetiaan yang solid.75

C. Implementasi Konsep Pendidikan Paulo Freire dalam Pembentukan

Karakter Siswa

Konsep dalam pemikiran Paulo Freire adalah Pendidikan yang

membebaskan, artinya meningkatkan kesadaran kritis peserta didik

sekaligus berupaya mentransformasikan struktur sosial yang menjadikan

penindasan itu berlangsung. Sebab,kesadaran manusia itu berproses secara

dialektis antara diri dan lingkungan.

Sehingga dalam diri peserta didik perlunya di tanamkan dalam

pembentukan Pendidikan karakter yang akan mempengaruhi dalam

pembelajaran yang benar-benar merdeka dan membebaskan. Namun

semua warga sekolah maupun pemangku kebijakan Pendidikan juga harus

ikut andil dalam menyeragamkan Pendidikan yang tidak hanya bergaya

seperti bank tapi menata sistem yang progesif dalam kesadaran

transformatif kritis.

Pendidikan karakter dapat diimplementasikan melalui beberapa

strategi dan pendekatan yang meliputi :76

a. Pengintegrasian nilai dan etika pada setiap mata pelajaran.

75
Ratna Megawati, Membangun SDM Indonesia Melalui Pendekatan Holistik
Berbasis Karakter h. l
76
Fitri,Pendidikan karakter.h.35
54

b. Internalisasi nilai positif yang ditanamkan oleh semua warga sekolah

(kepala sekolah, guru, dan orang tua).

c. Pembiasan dan latihan, dengan komitmen dan dukungan berbagai

pihak, institusi sekolah dapat mengimplementasikan kegiatan-kegiatan

positif seperti salam, senyum, dan sapa setiap hari saat anak dating dan

pulang sekolah.

d. Pemberian contoh/teladan.

e. Penciptaan suasana berkarakter disekolah.

f. Pembudayaan adalah tujuan institusional suatu lembaga yang ingin

mengimplementasikan pendidikan karakter disekolah.

Tujuan utama dalam pendidikan adalah membentuk karakter yang baik

seperti yang telah dijelaskan dalam UU Sisdiknas tentang fungsi dan

tujuan pendidikan, karena penanaman dan pembentukan karakter sangatlah

penting demi masa depan anak bangsa, Oleh karenanya banyak sekolah-

sekolah yang menerapkan pendidikan karakter sebagai tujuan utama yakni

mendidik siswa-siswanya agar menjadi manusia bermartabat baik dan

berbudi pekerti luhur.

Al-Qur’an menjelaskan bahwa setiap manusia, baik individu maupun

kolektif, bertanggung jawab atas segala yang mereka perbuat. Sudah

seharusnya manusia menjaga dirinya dari prilaku keji, yang semua itu

memiliki konsekuensi. Ketika seseorang atau kelompok sadar penuh akan

gerak-geriknya, maka “takwa” dalam arti sebenarnya telah tercapai.77

77
Fazlur Rahman, Major Themes of The Qur’an, second edition, (Minneapolis: Bibliotheca
Islamica, 1994), h. 28-31
55

Belajar dari realita maupun pengalaman merupakan situasi konkrit dari

tatanan sosial ataupun keterlibatan individu dalam realita yang ada. Pada

akhirnya tak akan pernah ditemukan otoritas pengetahuan seseorang

atasyang lainnya. Otentitas pengetahuan seseorang yang ada ditentukan

oleh kesesuaian dalam perbuatan ataupun pengalaman secara langsung,

bukan teori belaka.

Kesadaran seseorang secara natural terdiri atas dua aspek; ketuhanan

dan kemanusiaan. Bagi Islam, aspek pertama berarti kesadaran atas

kehambaannya kepada sang pencipta dan yang kedua berarti kesadaran

sebagai pengikut Muhammad. Sesungguhnya lima rukun Islam

mengimplikasikan secara horizontal akan tingkat kesadaran manusia. 78

Doktrin jihad- termasuk humanisasi- dalam Islam adalah suatu orientasi

untuk pembebasan dengan konsep keesaan Allah dapat diterjemahkan

sebagai keutuhan manusia dalam keadilan. Manifestasi kesadaran diri

muncul tatkala perilaku manusia dan pemikirannya selalu berporos pada

penghambaan diri kepada sang pencipta

Kebebasan berfikir sesuatu nilai yang sangat dirindukan dan

didambakan setiap insan pemikir. Sketsa pemikiran Friere mencoba

mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan yang bebas dalam pendidikan.

Nilai kemanusiaan yang bebas adalah yang bernafaskan kreativitas berfikir

dalam membangun komunikasi yang positif, inovatif, konstruktif dan

produktif guna melahirkan amal saleh. Dengan pemikiran yang bebas

tersebut, akan mampu melahirkan karaya-karya yang sangat spektakuler


78
Arhamedi Mahzar, Integralisme,h. 109
56

dalam mengartikulasi nilai-nilai kehidupan yang penuh makna sehingga

pemikiran tersebut akan membumi dan menjaman.

BAB III

METODOLOGI DAN LAPORAN HASIL PENELITIAN

A. Metode Penelitian
57

Menurut Cholid Nurbuko & Abu Achmadi Metodologi penelitian berasal


dari kata Methode yang artinya cara yang tepat melakukan sesuatu, dan Logos
yang artinya ilmu atau pengetahuan. Jadi metodologi adalah cara melakukan
sesuatu dengan menggunakan pemikiran untuk suatu tujuan. Sedangkan
"Penelitian" adalah kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan
menganalisis sampai menyusun laporan.79

Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah penelitian dengan

pendekatan Deskriptif Kualitatif. Deskriptif yaitu suatu rumusan masalah

yang akan memandu penelitian untuk mengeksplorasi atau memotret situasi

sosial yang akan diteliti secara menyeluruh luas dan mendalam.

Menurut Bogdan dan Taylor yang dikutip oleh Lexy. J. Moleong

pendekatan kualitatif adalah “prosedur penelitian yang menghasilkan data

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku

yang diamati”.80

Hal-hal yang berkaitan dengan metode penelitian ini meliputi:

1. Sumber dan Jenis Data

Data adalah “kenyataan yang menggambarkan suatu kejadian serta

merupakan suatu bentuk yang masih mentah yang belum dapat bercerita

banyak sehingga perlu diolah lebih lanjut melalui suatu model untuk

menghasilkan informasi”.81

a. Sumber Data

Adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

data primer dan data sekunder.


79
Cholid Nurbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara, 2015), h. 1
80
Lexy. J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2007),
h. 4
81
Nawassyarif, "Sistem Informasi Pengolahan Data Ternah Unit Pelaksana Teknik Produksi dan
Kesehatan Hewan Berbasis Web", Jurnal Jintek, Vol.2, No.1, (Februari 2020), h. 34.
58

1) Data primer

“Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung

peneliti dari subyek penelitian”.82

Data primer dalam penelitian ini adalah data yang didapat

dari hasil wawancara peneliti dengan Kepala Sekolah, 2 guru, dan

2 Orang tua peserta didik, serta hasil dari observasi yang dilakukan

oleh peneliti pada kegiatan pembelajaran didalam maupun diluar

kelas yang berhubungan dengan konsep Pendidikan Paulo Freire

dalam pembentukan karakter.

Dalam hal ini peneliti memperoleh data atau informasi

langsung dari Kepala Sekolah, Guru, dan Orang Tua melalui

wawancara dengan menggunakan instrumen yang telah ditetapkan.

2) Data Sekunder

Menurut sugiyono dalam Vina herviani Data sekunder adalah

“sumber data yang diperoleh dengan cara membaca, mempelajari

dan memahami melalui media lain yang bersumber dari literature,

buku-buku serta dokumen”. 83

Dokumen yang digunakan meliputi Profil sekolah, Visi Misi

Sekolah, Struktur Organisasi, RPPH (Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran Harian), Penilaian, dan Sarana Prasarana. Untuk

82
Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), h. 84
83
Vina Herviani, "Tinjauan Atas Proses Penyusunan Laporan Keuangan Pada Young
Enterpreneur Academy Indonesia Bandung", Jurnal Riset Akuntansi, Vol.8, No.2, (Oktober
2016), h. 23.
59

memperkuat penemuan dan melengkapi informasi yang telah

dikumpulkan melalui wawancara langsung dan observasi langsung.

b. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

deskriptif kualitatif yang artinya data berupa kata-kata atau gambar

bukan angka. Dengan tujuan untuk menggambarkan secara sistematis

fakta dan karakteristik suatu subyek peneliti secara tepat.

Dalam hal ini Peneliti menjadi alat pengumpul data yang utama.

Pendekatan Kualitatif ini dilakukan karena peneliti berupaya untuk

mendiskripsikan situasi yang berlangsung secara alamiah dan apa

adanya serta mencatat segala hal dan fenomena yang menjadi temuan

peneliti.

Penelitian ini bersifat menjabarkan secara detail segala hal yang

ditemui peneliti dalam proses penelitian dan mencoba menguraikan

secara jelas bagaimana Implementasi Konsep Pendidikan Paulo Freire

dalam pembentukan karakter siswa di MIM 12 SUMURAGUNG.

2. Metode Pengumpulan Data

“Pengumpulan data adalah suatu proses yang dilakukan dalam

penelitian guna mengumpulkan data baik data primer maupun data

sekunder”.84

84
Syofian Siregar, Statistik Parametik Untuk Penelitian Kuantitatif (Jakarta: PT. Bumi Aksara,
2017), h. 39.
60

“Teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan

melakukan observasi, wawancara, dan studi dokumentasi”. 85

Metode pengumpulan data merupakan bagian penting dalam

melakukan penelitian, karena data yang terkumpul akan dijadikan bahan

analisis dalam penelitian. Sehingga akan membantu peneliti untuk

menemukan jawaban atas permasalahan yang telah ditetapkan pada

penelitian ini.

Metode pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti dalam

penelitian ini terdiri dari :

a. Observasi

Observasi adalah Teknik pengumpulan data yang menggunakan

pengamatan dan pencatatan terhadap keadaan suatu ojek yang diteliti.

Adapun beberapa hal yang akan diobservasi yaitu tentang

Implementasi Pendidikan Paulo Freire dalam pembentukan karakter

siswa di MIM 12 SUMURAGUNG.

Peneliti mencatat semua yang terjadi selama penelitian

berlangsung. Lembar observasi ini dijadikan pedoman oleh peneliti

supaya dapat melakukan penelitian dengan lebih jelas dan terarah,

sehingga data yang diperoleh mudah untuk dikelola. Dalam observasi

ini peneliti akan melakukan observasi pada siswa dan siswi serta guru

dalam pelaksanaan pembelajaran.

85
Ditha Prasanti, "Penggunaan Media Komunikasi Bagi Remaja Perempuan Dalam Pencarian
Informasi Kesehatan", Jurnal Lontar, Vol.6, No.1, (Januari-Juni, 2018), h. 17.
61

b. Wawancara

Esterberg dalam Sugiyono menyatakan bahwa wawancara adalah

“pertemuan dua orang untuk bertukar informasi melalui tanya jawab

sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu”.86

Wawancara dilakukan untuk mengetahui dan melengkapi data dan

upaya memperoleh data yang tepat dan akurat dan sumber data yang

tepat. Sasaran dalam wawancara ini adalah Kepala Sekolah, Guru, dan

Orang tua. Wawancara ini digunakan untuk mengetahui bagaimana

Implementasi Pendidikan Paulo Freire dalam pembentukan karakter

siswa di MIM 12 SUMURAGUNG.

Tabel 3.1

Narasumber Penelitian

No Narasumber Jabatan Data yang digali


1. M. Abdul Kepala MIM 12 1. Konsep Pendidikan Paulo Freire di
Rokhim, S.Pd.I SUMURAGUNG MIM 12 SUMURAGUNG
2. Pembentukan Karakter siswa di
MIM 12 SUMURAGUNG
3. Implementasi konsep Pendidikan
Paulo Freire dalam pembentukan
karakter siswa MIM 12
SUMURAGUNG
2. Nursalim,S.Pd Wali kelas 4 A 1. Konsep Pendidikan Paulo Freire di
dan Sarana MIM 12 SUMURAGUNG
Prasarana 2. Pembentukan Karakter siswa di
MIM 12 SUMURAGUNG
3. Implementasi konsep Pendidikan
Paulo Freire dalam pembentukan
karakter siswa MIM 12
SUMURAGUNG

86
Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfaeta, 2018), h. 114.
62

3. Irwan Fauzi, Wali kelas 4B 1. Konsep Pendidikan Paulo Freire di


S.Pd MIM 12 SUMURAGUNG
2. Pembentukan Karakter siswa di
MIM 12 SUMURAGUNG
3. Implementasi konsep Pendidikan
Paulo Freire dalam pembentukan
karakter siswa MIM 12
SUMURAGUNG
4. Sukmawati Wali Murid kelas 1. Konsep Pendidikan Paulo Freire di
4A MIM 12 SUMURAGUNG
2. Pembentukan Karakter siswa di
MIM 12 SUMURAGUNG
3. Implementasi konsep Pendidikan
Paulo Freire dalam pembentukan
karakter siswa MIM 12
SUMURAGUNG
5. Siti Nurul Wali Murid 1. Konsep Pendidikan Paulo Freire di
Khoiriyah Kelas 4B MIM 12 SUMURAGUNG
2. Pembentukan Karakter siswa di
MIM 12 SUMURAGUNG
3. Implementasi konsep Pendidikan
Paulo Freire dalam pembentukan
karakter siswa MIM 12
SUMURAGUNG

c. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan instrumen untuk mengumpulkan data


tentang peristiwa-peristiwa atau kejadian yang telah didokumentasikan
dokumen dapat berupa tulisan gambar karya-karya seseorang studi
dokumentasi merupakan perlengkapan dari wawancara dan observasi.87

Studi dokumentasi dalam penelitian ini diperlukan untuk

mempertajam analisis penelitian yang berkaitan dengan Implementasi

87
Moleong Lexy J., Metodologi, h. 4.
63

Implementasi konsep Pendidikan Paulo Freire dalam pembentukan

karakter siswa MIM 12 SUMURAGUNG.

3. Teknis Analisa Data

Menurut Sugiyono dalam Nuning Indah Pratiwi Analisa data


adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi,
dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan
ke dalam unitunit, melakuakn sintesa, menyusun dalam pola, memilih
mana yang penting dan akan dipelajari, dan membuat kesimpulan
sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain.88

Setelah dilakukan penelitian data yang dikumpulkan masih

merupakan data mentah sehingga perlu diolah dan dianalisis terlebih

dahulu guna menghasilkan informasi yang jelas. Teknik ini terdiri dari

tiga alur yang secara terus menerus berlangsung, yaitu: pengumpulan

data, reduksi data, display data dan menarik kesimpulan.

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

analisis kualitatif yang digunakan peneliti sebagaimana yang

dikemukanakan Miles dan Hubberman dalam Sugiyono bahwa

pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan langkah terakhir

adalah penarikan kesimpulan. Dengan langkah-langkah tersebut sebagai

berikut :

Gambar 3.1 : Komponen Analisis Data

Data Data
Collection Display

88
Nuning Indah Pratiwi, "Penggunaan Media Video Call Dalam Teknologi Komunikas", Jurnal
Ilmiah Dinamika Sosial, Vol.1, No. 2, (Agustus 2017), Hal 215-216.
64

Data
Reduction
Data
Drawaing/Verifying

1) Data Collection (Pengumpulan Data)

Pengumpulan data pada penelitian kualitatif dilakukan melalui

observasi, wawancara mendalam, dan dokumentasi atau gabungan

ketiganya (triangulasi), pada tahap awal peneliti melakukan

penjelajahan secara umum terhadap subjek penelitian, semua yang

dilihat dan didengar dicatat dan direkam semua sehingga

memperoleh banyak data dan bervariasi.

2) Data Reduction (Reduksi Data)

Reduksi data adalah merangkum, memilih hal-hal pokok yang

memfokuskan pada hal-hal penting, dicari tema dan polanya dan

membuang yang tidak perlu. Dengan demikian data yang telah

direduksikan memberikan gambaran yang lebih jelas dan

mempermudah peneliti untuk pengumpulan data selanjutnya dan

mencarinya bila di perlukan.


65

Reduksi data dalam penelitian ini adalah aktivitas memilih data

yang di anggap relevan yang berkaitan dengan Implementasi

konsep Pendidikan Paulo Freire dalam pembentukan karakter siswa

MIM 12 SUMURAGUNG..

3) Display Data (Penyajian Data)

Display data adalah menyajikan data pokok, sehingga dapat

memberikan gambaran yang lebih tajam mengenai hasil

pengamatan wawancara, serta dokumentasi. Display data dalam

penelitian ini dengan cara penyajian data pokok yang mencakup

keseluruhan hasil penelitian. Untuk menyajikan data dalam

penelitian kualitatif adalah dengan teks yang bersifat naratif.

Display data memiliki tujuan untuk memudahkan dalam

mendeskripsikan suatu peristiwa, sehingga memudahkan peneliti

untuk mengambil suatu kesimpulan.

4) Conclution Drawing/Verification (Verifikasi Penarikan

Kesimpulan)

Menurut Miles and Huberman dalam Sugiono mengemukakan

bahwa:

Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara


dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat tetapi
apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal didukung
oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat pengumpulan data
maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang
kredibel.89

4. Teknik Pengecekan Keabsahan Data


89
Sugiyono, Metode, h. 204
66

Menurut Sugiyono dalam Nuning Indah Pratiwi yaitu Dalam


memperoleh keakuratan dalam penelitian, peneliti menggunakan teknik
triangulasi. Triangualasi diartikan sebagai teknik pengumpulan data yang
bersifat menggabungkan dari berbagai teknik pengumpulan data dan
sumber data yang telah ada, Triangulasi menggunakan sumber dan
teknik.90

Keabsahan data dalam penelitian Kualitatif merupakan salah satu

bagian yang sangat penting, untuk mengetahui kebenaran data dan hasil

penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan teknik

triangulasi dalam pengumpulan data maka data yang akan di peroleh akan

lebih konsisten, sehingga menjadi suatu data yang valid dan dapat di

pertanggung jawabkan. Dalam hal ini peneliti menggunakan observasi

partisipatif, wawancara mendalam dan dokumentasi untuk sumber yang

sama secara bersamaan. Hal ini dapat di gambarkan sebagai berikut :

Gambar 3.2 : Triangulasi Sumber

Kepala
Sekolah

Wawancara Guru
Mendalam

Orang Tua

90
67

Gambar 3.3 : Triangulasi Teknik

Observasi Partisipatif

Wawancara
Sumber Data
Mendalam

Dokumentasi

Keabsahan data dalam penelitian kualitatif merupakan salah satu bagian

yang sangat penting untuk mengetahui kebenaran data dan hasil penelitian

yang telah dilakukan oleh peneliti, dengan menggunakan teknik triangulasi

dalam pengumpulan data maka data yang diperoleh akan lebih konsisten

sehingga menjadi suatu data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan triangulasi teknik.

B. Laporan Hasil Penelitian

1. Gambaran Umum Obyek Penelitian

a. Sejarah Singkat Satuan Lembaga MI MUHAMMADIYAH 12

Lembaga MIM 12 Sumuragung merupakan lembaga yang

didirikan oleh persyarikatan Muhammadiyah dan para donatur

Ds.Sumuragung Kec.Sumberrejo . Melihat perkembangan anak-anak

terutama di bawah dua belas tahun di Sumberrejo yang memerlukan

penanganan khusus sebelum masuk ke SMP/MTs, maka didirikanlah


68

MIM 12 Sumuragung yang berdiri tanggal 06 Mei 1958 yang

beralamatkan di Jl. Raya Kanor No.425 Ds.Sumuragung

Kec.Sumberrejo dengan SK NO.E1/045-IV/1978 di Tanda tangani

oleh Drs.HAIBAN,HS.

Perubahan pembangunan gedung semakin baik, yang dulunya 1

gedung sekarang bertambah 1 bangunan lagi sebelah barat yaitu kelas

1,3,4 sebagai tempat kegiatan peserta didik dan pendidik untuk

melakukan pembiasaan sholat, baik sholat wajib maupun sunnah dan

pembelajaran KBM.

Peserta didik MIM 12 Sumuragung berasal dari keluarga yang

beragam. Alhamdulillah dengan berkembangnya waktu MIM 12

semakin dikenal di kalangan masyarakat banyak. Karena pelayanan di

lembaga MIM 12 lebih mengutamakan rasa nyaman, dan aman serta

lebih memprioritaskan pencapaian perkembangan peserta didik untuk

mencapai tujuan sesuai dengan tahapan perkembangan anak.

b. Profil Lembaga MI MUHAMMADIYAH 12 Sumuragung

1. Nama : MI MUHAMMADIYAH 12

2. NPSN : 60718145

3. NSM : 111235220086

4. Status MI : Swasta

5. Alamat MI : Jl. Raya Kaor No.425

6. Desa : Sumuragung

7. Kecamatan : Sumberrejo
69

8. Kabupaten : Bojonegoro

9. Propinsi : Jawa Timur

10. Kode Pos : 62191

11. Tahun mulai beroperasi : 1958

12. Status Tanah : Milik Sendiri

13. Luas Tanah : 957 M2

14. SK Pendirian Lembaga : E1/045-IV/1978

15. Akreditasi : B

16. Waktu Penyelenggaraan : Pagi

17. Nama Kepala MI : M. Abdul Rohim, S.Pd,I

18. No.SK Kepala MI : MI.086/13.22/MIM12/SK/01/

VII/2023

19. TMT Kepala TK : 01 Juli 2027

20. NRG : 080282170780

21. NUPTK : 1361755656200013

22. NPK : 3776790030028

23. Email Lembaga : mimuhammadiyah12@gmail.com

24. Status Akreditasi :B

25. Jumlah Rombel :

a) Kelas 1 : 30 Anak (2 Rombel)

b) Kelas 2 : 40 Anak (2 Rombel)

c) Kelas 3 : 40 Anak (2 Rombel)

d) Kelas 4 : 36 Anak (2 Rombel)


70

e) Kelas 5 : 26 Anak (1 Rombel)

f) Kelas 6 : 25 Anak (1 Rombel)

c. Visi, Misi dan Motto MI MUHAMMADIYAH 12

1) Visi MI MUHAMMADIYAH 12 Sumuragung

Terbentuknya Kader yang Tangguh, Berakhlak Mulia Serta

Berprestasi dalam IMTAQ dan IPTEK.

2) Misi MI MUHAMMADIYAH 12 Sumuragung

a) Mewujudkan Generasi yang kuat lahir dan batin melalui

metode bimbingan dan latihan berdasarkan Al-Qur’an dan As-

Sunnah.

b) Mengembangkan perilaku yang baik melalui kegiatan

Bimbingan Sosial dan Keagamaan.

c) Meningkatkan prestasi akademik dan non akademik melalui

kegiatan mutu pembelajaran.

3) Motto MI MUHAMMADIYAH 12 Sumuragung

Tangguh, Berakhlak Mulia, Berprestasi

d. Data Peserta Didik Kelas 4 MIM 12 Sumuragung

Tabel 3.1

Daftar Nama Peserta Didik Kelas 4

No Nama Tempat, Jenis Kelas/


Tanggal Lahir Kelamin Kelompok
1 Achmad Syifaul Bojonegoro, L 4A
71

Qolbi
4/12/2013
2 Ainun Nuzula Bojonegoro, P 4B
Azzahra 7/10/2013
3 Albi Abbasy Fachry Bojonegoro, L 4A
Niko 21/12/2013
4 Amira Al Mumtazah Bojonegoro, P 4B
4/8/2013
5 Aninda Nathania Bojonegoro, P 4A
Nahda 21/12/2013
6 Annisa Salsabilla Bojonegoro, P 4B
17/01/2014
7 Chelsea Almira Bojonegoro, P 4B
Ramadhani 11/7/2013
8 Citra Kirana Syach Bojonegoro, P 4A
Hari 14/05/2014
9 Elenia Putri Nur Bojonegoro, P 4B
Jannah 31/01/2014
10 Fathin An Nisa' Bojonegoro, P 4B
29/05/2014
11 Gusti Rafhael Tuban, L 4B
Devickal Prasraya 24/12/2013
12 Hafidz Aldan Bojonegoro, L 4B
Azqalana 18/10/2013
13 Hafif Zuhdi Alawi Bojonegoro, L 4B
16/01/2014
14 Iftina Assyabiya Bojonegoro, P 4A
Rafifa 15/01/2014
15 Jihan Talita Zahrani Bojonegoro, P 4A
7/6/2013
16 Khalisa Shidqia Bojonegoro, P 4A
Qurrotaa`Yun 29/05/2014
17 Kiana Adistya Bojonegoro, P 4B
Necolea Khanza 29/04/2014
18 Lena Alviana Zahra Bojonegoro, P 4A
30/09/2013
72

19 Luqman Hakim Bojonegoro, L 4B


Ayyasi 14/08/2013
20 M. Zidan Octa Bojonegoro, L 4A
Pratama 31/10/2013
21 Moch Ilhan Irfani Bojonegoro, L 4A
22/11/2013
22 Moch.Andrio Kavie Bojonegoro, L 4B
El-Azzam 16/03/2013
23 Mochammad Dimas Bojonegoro, L 4A
Raditya Saputra 23/08/2013
24 Muhammad Fatoni Bojonegoro, L 4A
24/10/13
25 Nabila Sofie Firdausy Bojonegoro, P 4B
21/07/2013
26 Nasya Kalila Bojonegoro, P 4A
Ramadhani 23/07/2013
27 Ruhil Khairizza Bojonegoro, P 4A
Ihwan 7/4/2014
28 Saskia Ayu Syach Bojonegoro, P 4A
Hari 14/05/2014
29 Savira Millah Izzati Bojonegoro, P 4B
6/6/2013
30 Siti Gisella Hafizah Bojonegoro, P 4A
20/02/2014
31 Trianda Setya Bojonegoro, L 4A
Pramunindita 13/04/2013
32 Vikki Rahmat Bojonegoro, L 4A
Maulana 23/09/2013
33 Yella Putri Bojonegoro, P 4B
Ramadhani 28/07/2013

Tabel 3.2

Rekapitulasi Jumlah Peserta Didik Kelas 4 MIM 12 Sumuragung

No Kelompok L P Total
1 4A 8 10 18
73

2 4B 5 10 15
3 Jumlah 4A, 4B 13 20 33

e. Pendidik dan Tenaga Kependidikan MIM 12 Sumuragung


Tabel 3.3
Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan

No Nama L/P Jabatan Pendidikan


Terakhir
1 M. Abdul Rohim, S.Pd.I L Kepala MI S1
2 Angghita Maya Periwi,S.Pd P Guru S1
3 Hindun Nur Aini P Guru SLTA
4 Ninik Yuli Kastiani,S.Pd P Guru S1
5 Nursalim,S.Pd L Guru S1
6 Siti Nur Faida,S.Pd P Guru S1
7 Nisa’ul Khoiroh P Guru S1
8 Hj. Sriyanti,S.Ag P Guru S1
9 Dwi Sekar Sari P Guru SLTA
10 Siti Nur Lela P Guru SLTA
11 Agus Setiawan L Guru S1
12 Aldi Setiawan L Guru SLTA
13 Aldi Ardiansyah L Guru SLTA
14 Irwan Fauzi L Guru S1
15 Herlina Agustin P Guru S1
16 Sri Utami P Guru S1
17 Adjar Yulistiharjo L Guru S2
18 Drs. Ghofar L Guru S1

f. Struktur Organisasi MIM 12 Sumuragung


74

Gambar 3.4
Bagan Struktur Organisasi

KETUA YAYASAN
Retno Eni Lustiyowati

KEPALA MI KETUA KOMITE


------
M. Abdul Rokhim, Suyadi
S.Pd
TATA USAHA
Agus Setiawan,S.E

WALI KELAS WALI KELAS WALI WALI WALI


2A KELAS 3A WALI KELAS KELAS 6
1A KELAS 5
Hj. Sriyanti, Dwi Sekar 4A Siti Nur
Angghita Nisa’ul
Nursalim, S.Pd
Maya P, S.Pd S.Pd Sari Khoiro,S.Pd Faida,S.Pd

WALI KELAS WALI KELAS GURU GURU


1B WALI KELAS WALI KELAS 4B MAPEL MAPEL
Nink Y.K, 2B 3B Irwan Fauzi, Aldi Aldy
Hindun N.A Siti Nur Lela
S.Pd S.Pd Setiawan Ardiansyah

GURU MAPEL GURU MAPEL GURU MAPEL GURU MAPEL


Herlina Agustin Sri Utami Adjar Yulistiharjo Drs.Ghofar

PESERTA DIDIK

g. Sarana dan Prasarana MIM 12 Sumuragung

Tabel 3.5

Jenis dan Jumlah Ruangan

Jumlah Kondisi
No Jenis Ruangan Ruangan Baik Rusak Rusak
75

Ringan Berat
1 Ruang Kelas 10 10
2 Ruang Kantor 1 1
3 Aula 1 1
4 Gudang 1 1

Tabel 3.6

Infrastruktur

Kondisi
No Jenis Ruangan Jumlah Baik Rusak Rusak
Ringan Berat
1 Pagar Depan 1 1
2 Tiang Bendera 1 1
3 Bak Sampah 10 10 1
4 Tempat Cuci Tangan 4 4

Tabel 3.7

Sanitasi dan Air Bersih

Kondisi
No Jenis Ruangan Jumlah Baik Rusak Rusak
Ringan Berat
1 KM/WC Peserta Didik 3 3
2 KM/WC Guru 1 1

Tabel 3.7

Sarana Outdoor dan Alat Permainan Edukatif (APE) Luar

No Fasilitas Jumlah Kondisi


1 Lapangan sepak bola 1 Baik
2 Papan Tenis Meja 1 Rusak Ringan
76

3 Lapangan Bulu Tangkis 1 Baik

Tabel 3.8

Alat Mesin Kantor


No Fasilitas Jumlah Kondisi
1 Komputer 1 Baik
2 Printer 1 Baik
3 Sound System 2 Baik
4 Microphone 4 3 Baik, 1 Rusak
Ringan
5 LCD 1 1 Baik
6 Layar Proyektor 1 Rusak Ringan

2. Penyajian Data

Pada bab ini peneliti akan menyajikan data berdasarkan hasil

observasi, wawancara, dan dokumentasi yang telah dilakukan oleh

peneliti sebagaimana yang telah tertuang dalam rumusan masalah pada

bab 1 yaitu tentang Konsep Pendidikan Paulo Freire di MIM 12

Sumuragug, Pendidikan Karakter Siswa di MIM 12 Sumuragung,

Implementasi Konsep Pendidikan Paulo Freire dalam pembentukan

karakter siswa di MIM 12 Sumuragung .

a. Konsep Pendidikan Paulo Freire

Untuk mengetahui Konsep Pendidikan Paulo Freire guru

MIM 12 Sumuraung kepada peserta di di MIM 12 Sumuragung,


77

DAFTAR PUSTAKA
Umiarso Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam perspektif Barat dan Timur
(Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2011), h. 7.
A. Weherno Susanto, Pendidikan dan Peningkatan Martabat Manusia (Tarbiyah
IAIN Sunan Ampel Malang, Juli-September, 1995), h. 36.

Rosdiana, Muzakkir, Fitrah Perspektf Hadis dan Implikasinya terhadap Konsep


Pendidikan Islam Mengenai Perkembangan Manusia, Jurnal Al-Musannif. Vol. 1,
No. 2. 2019 (Juli-Dwsember), h. 103.
Wiji Suwarno, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2006), h. 20
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 2-4.
Sikdiknas No. Tahun 2003 (Bandung: Fokus Media, 2003), h. 33

Umiarso Zamroni, Pendidikan Pembebasan dalam perspektif Barat dan Timur


(Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2011), h. 7.

Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2016), h. 11-
12.

Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2016), h. 11-
12.

Ejournal, https://informatika.unsiyah.ac.id, pendidikan Karakter

Anda mungkin juga menyukai