Anda di halaman 1dari 24

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Variabel Terikat

Prokrastinasi akademi

Istilah prokrastinasi berasal dari bahasa latin yaitu procrastinatinare dengan

berawalan pro memliki arti mendorong maju atau bergerak maju dan berakhiran

crastinus yang memiliki arti keputusan hari esok. Jika digabungkan berarti

“menanggukan” atau “menunda sampai hari berikutnya” menurut DeSimone

(dalam ferrari, johnson & Simon, 1995: 150)

Ellis dan Knaus (1977: 152) mengatakan bahwa prokrastinasi adalah

kebiasaan menunda mengerjakan tugas yang tidak memiliki tujuan dan proses

penghindaran tugas yang seharusnya tidak perlu dilakukan. Hal ini terjadi karena

adanya ketakutan untuk gagal dan pandangan bahwa segala sesuatu harus

dilakukan dengan benar. Penundaan yang telah menjadi respon tetep atau

kebiasaan dapat dipandang sebagai trait prokrastinasi

Prokrastinasi dapat dilakukan pada beberapa jenis pekerjaan. Peterson

(Gufron, 2003) mengemukakan bahwa seseorang dapat melakukan prokrastinasi

pada hal tertentu saja atau pada semua hal, sedangkan jenis-jenis tugas yang

ditunda oleh prokrastinator, yaitu pembuatan keputusan, tugas rumah tangga,

aktivitas akademik, pekerjaan kantor dan sebagainya. Prokastinasi akademik


merupakan prokastinasi situasional yang berhubungan dengan tugas akademik

(Harris & Sutton, 1983).

Solomon & Rothblum (1986) mendefinisikan prokrastinasi akademik sebagai:

1) hampir selalu atau selalu menunda tugas akademik, dan 2) hampir selalu atau

selalu mengalami pengalaman kecemasan dengan tugas akademik. Lay, Knish,

dan Zannata (1992) mengemukakan perilaku khusus yang berkontribusi terhadap

prokrastinasi mahasiswa yaitu kurang latihan atau persiapan, kurangnya usaha,

dan tidak sesuainya adegan kinerja, khususnya dalam persiapan. Perilaku lain

yang berkontribusi terhadap prokrastinasi adalah sabotase diri atau

‘selfhandicapping’ yaitu memilih untuk mengerjakan tugas namun kemudian

malah menyebabkan menunda mengerjakan tugas.

Prokrastinasi akademik dan non akademik sering menjadi istilah yang

digunakakan oleh para ahli. Prokrastinasi akademik adalah penundaan pada tugas

formal yang berhubungan dengan tugas akademik, sedangkan prokrastinasi non

akademik penundaan tugas sehari-hari, misalnya tugas rumah tangga, tugas sosial,

tugas kantor, dan sebagainya. 8 Beswick & Mann (1994) mengartikan prokratinasi

akademik sebagai “delay beginning or completing an intended course of action”.

Sedangkan Solomon & Rothblum (1984) mengartikannya “delay in conjunction

with subjective discomfort”.

Prokrastinasi akademik terdiri dari enam unsur yaitu 1) tugas mengarang,

meliputi penundaan melaksanakan tugas menulis makalah, laporan atau tugas

mengarang lainnya, 2) belajar menghadapi ujian, meliputi penundaan belajar

ketika menghadapi ujian tengah semester, akhir semester atau kuis, 3) membaca,
menunda membaca buku, jurnal, referensi yang berkaitan dengan tugas akademik,

4) tugas administratif, meliputi menyalin catatan kuliah, mendaftarkan diri dalam

presensi, daftar praktikum, 5) menghadiri pertemuan, penundaan atau

keterlambatan menghadiri kuliah, praktikum, dan lain-lain, dan 6) kinerja

akademik secara keseluruhan, menunda kewajiban mengerjakan atau

menyelesaikan tugas-tugas akademik secara keseluruhan.

Solomon & Rothblum (1984) mengemukakan beberapa faktor yang

berkorelasi dengan prokrastinasi akademik, yaitu : 1. manajemen waktu yang

buruk, 2. lokus kendali diri, 3. Perfeksionis, 4. takut gagal, 5. menghindari tugas.

Menurut Ferrari dkk 1995 (dalam Ghufron, 2003: 39) faktor-faktor yang

mempengaruhi prokrastinasi akademik dapat dikategorikan menjadi dua yaitu:

A. Faktor Internal

Faktor internal merupakan faktor-faktor yang terdapat dalam diri

individu yang dapat mempengaruhi prokrastinasi. Faktor-faktor tersebut

yaitu:

1. Kondisi fisik individu

Faktor dalam diri individu yang dapat mempengaruhi muncuknya

prokrastinasi akademik yaitu kondisi fisik dan kesehatan individu,

misal kelelahan apabila seseorang mengalami kelelahan individu

itukan terjadi kecenderungan yang lebih tinggi untuk melakukan

prokrastinasi

2. Kondisi psikologis individu


Sifat kepribadian individu merupakan salah satu hal yang turut

mempengaruhi munculnya perilaku prokrastinasi akademik, misal

trait kemampuan sosial yang tercermin dalam self regulation dan

tingkat kecemasan dalam berhubungan sosial. Motivasi yang

dimiliki seseorang individu juga akan mempengaruhi tingkat

prokrastinasi.

B. Faktor eksternal

Faktor-faktor yang terdapat di luar diri individu yang dapat

mempengaruhi prokrastinasi akademik. Faktor-faktor tersebeut yaitu:

1. gaya pengasuhan orang tua

2. kondisi lingkungan

Adapun menurut Biordi (dalam Hannah, 2023: 34) faktor yang mempengaruhi

prokrastinasi ada tiga macam yaitu:

1. karakteristik tugas

karakteristik tugas ini merujuk pada persepsi individu mengenai

tugas apakah membosankan atau menyenangkan karena hal

tersebut dapat mempengaruhi individu untuk menunda

menyelesaikan tugas.

2. faktor kepribadian seseorang

individu yang memiliki kepercayaan diri yang rendah akan

cenderung melakukan prokrastinasi akademik

3. faktor situasional
gangguan atau distraksi lingkungan akan mempengaruhi individu

untuk melakukan prokrastinasi.

Dampak Prokrastinasi Akademik

Menurut Gufron (2003), faktor-faktor yang mempengaruhi prokrastinasi

akademik dapat dikategorikan menjadi dua macam, yaktu faktor internal dan

eskternal. Faktor eksternal, yaitu faktor dari dalam diri individu yang meliputi

kondisi fisik dan psikologis. Kondisi fisik dan kesehatan yang mempengaruhi 10

munculnya prokrastinasi adalah fatigue.

Tingkat intelegensi tidak mempengaruhi perilaku prokartinasi, walaupun

prokrastinasi sering disebabkan oleh keyakinan tak rasional seseorang. Trait

psikologis yang turut mempengaruhi munculnya prokrastinasi adalah self

regulation dan tingkat kecemasan dalam berhubungan sosial. Besarnya motivasi

juga mempengaruhi prokrastinasi akademik secara negatif, di mana semakin

tinggi motivasi ekstrinsik maka semakin rendah kecenderungan prokrastinasi

akademik, selain itu faktor kontrol diri yang rendah juga turut mempengaruhi

kecenderungan prokrastinasi akademik. Faktor eksternal, yaitu gaya pengasuhan

orang tua dan lingkungan yang kondusif.

Hasil penelitian Ferrari dan Ollivete menemukan bahwa gaya pengasuhan

ayah yang otoriter menyebabkan munculnya kecenderungan perilaku

prokrastinasi, sedangkan gaya pengasuhan otoritatif tidak menyebabkan

prokrastinasi. Ibu yang memiliki kecenderungan melakukan ‘avoidance


procrastination’ menyebabkan anak wanita yang juga memiliki kecenderungan

untuk melakukan ‘avoidance procrastination’ pula. Kondisi lingkungan yang

leniet prokrastinasi akademik lebih banyak dilakukan pada lingkungan yang

rendah dalam pengawasan daripada lingkungan yang penuh pengawasan. Tingkat,

jenjang sekolah, lokasi sekolah tidak mempengaruhi perilaku munculnya perilaku

prokrastinasi akademik seseorang.

Dari literature yang ada, konsekuensi prorakstinasi akademik antara lain:

prestasi rendah (Burka & Yuan, 1983; Ferarri et al. 1995; Knaus, 1998; Tice

Baumeister, 1997), tingginya tingkat ketidakhadiran kuliah/bolos (Semb, Glick &

Spencer, 1979; Solomon & Rothblum, 1986), rendahnya kehadiran dan putus 11

sekolah (Knaus, 1998). Namun, prokrastinasi akademik tidak selalu melahirkan

konsekuensi seperti ini. Sebagai contoh, Pychyl, Morin, dan Salmon (2000)

menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam indeks prestasi belajar

antara siswa yang mengalami prokrastinasi dan tidak. Menurut Mochec dan

Munchik (Wyk, 2004), prokrastinasi memiliki konsekuensi konkrit dan

emosional. Termasuk konsekuensi konkrit adalah (a) missed deadline, (b) lost

opportunities, (c) lost income, (d) lower productivity, (e) waste of time, dan (f)

lost of standing among associates. Sedangkan konsekuensi emosional

prokrastinasi adalah (a) lower morale, (b) heightened stress, (c) frustration and

anger, dan (d) lower motivation.

2.2 Variabel Bebas

Kontrol diri
Aspek-Aspek Kontrol Diri Kontrol diri adalah upaya mengesampingkan

atau menghambat reaksi otomatis, kebiasaan, atau perilaku yang dibawa sejak

kecil, desakan-desakan, emosi, atau hasrat yang dapat menganggu pencapaian

tujuan utama. Kontrol diri ini dilakukan secara sungguh-sungguh termasuk

dengan cara mengubah pikiran, perasaan, maupun tindakan-tindakan demi

pencapaian tujuan besar dan jangka panjang (Ramdhani, 2018). Ghufron (2016)

mengemukakan bahwa Kontrol diri merupakan suatu kecakapan individu dalam

kepekaan membaca situasi diri dan lingkungannya. Selain itu, kontrol diri juga

adalah kemampuan untuk mengontrol dan mengelolah faktor-faktor perilaku

sesuai dengan situasi dan kondisi untuk menampilkan diri dalam melakukan

sosialisasi kemampuan untuk mengendalikan perilaku agar sesuai untuk orang

lain, menyenangkan orang lain, selalu konform dengan orang lain, dan menutupi

perasaannya.

Goldfried dan Merbaum (Ghufron, 2016) juga mendefinisikan kontrol diri

sebagai suatu kemampuan untuk menyusun, membimbing, mengatur, dan

mengarahkan bentuk perilaku yang dapat membawa individu ke arah konsekuensi

positif. Messina & Messina (Gunarsa, 2009), menyatakan bahwa kontrol diri

adalah seperangkat tingkah laku yang berfokus pada keberhasilan mengubah diri

pribadi, keberhasilan menangkal pengerusakan diri (self destructive), perasaan

mampu pada diri sendiri, perasaan mandiri (autonomy) atau bebas dari pengaruh

orang lain, kebebasan menentukan tujuan, kemampuan untuk memisahkan

perasaan dan pikiran rasional, serta seperangkat tingkah laku yang terfokus pada

tanggung jawab atas diri pribadi.


Skiner (Alwisol, 2009) kontrol diri merupakan tindakan diri dalam

mengontrol variabel-variabel luar yang menentukan tingkah laku dan tingkah laku

dapat dikontrol melalui berbagai cara yaitu menghindar, penjenuhan, stimuli yang

tidak disukai, dan memperkuat diri. Lazarus (Thalib, 2010) menjelaskan bahwa

kontrol diri menggambarkan keputusan individu melalui pertimbangan kognitif

untuk menyatukan perilaku yang telah disusun guna meningkatkan hasil dan

tujuan tertentu sebagaimana yang diinginkan. Sedangkan Gleitman mengatakan

bahwa kontrol diri merujuk pada kemampuan seseorang untuk melakukan sesuatu

yang ingin dilakukan tanpa terhalangi baik oleh rintangan maupun kekuatan yang

berasal dari dalam diri individu. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat

disimpulkan bahwa kontrol diri adalah suatu aktivitas dalam pengendalian tingkah

laku, pola pikir, sebelum melakukan suatu tindakan. Pengendalian tingkah laku

mengandung makna, yaitu melakukan pertimbangan-pertimbangan terlebih

dahulu sebelum memutuskan sesuatu dalam bertindak.

Aspek-aspek kontrol diri

Secara umum, kontrol diri dibedakan atas tiga kategori utama berdasarkan

konsep Averill (Thalib, 2017), yaitu :

1. Mengontrol Perilaku (behaviour control)

Mengontrol perilaku merupakan kesiapan tersedianya suatu respons yang

dapat secara langsung memengaruhi atau memodifikasi suatu keadaan yang

tidak menyenangkan. Kemampuan mengontrol perilaku ini diperinci menjadi

dua komponen, yaitu mengatur pelaksanaan (regulated administration) dan

kemampuan memodifikasi stimulus (stimulus modifiability).


2. Mengontrol Kognitif (cognitive control)

Mengontrol kognitif merupakan kemampuan individu dalam mengolah

informasi yang tidak diinginkan dengan cara menginterpretasi, menilai, atau

menghubungkan suatu kejadian dalam suatu kerangka kognitif sebagai

adaptasi psikologis atau mengurangi tekanan. Mengontrol kognitif dibedakan

atas dua komponen, yaitu:

1) Kemampuan untuk memperoleh informasi. Informasi yang dimiliki

individu mengenai suatu keadaan akan membuat individu mampu

mengantisipasi keadaan melalui berbagai pertimbangan objektif.

2) Kemampuan melakukan penilaian. Penilaian yang dilakukan individu

merupakan usaha untuk menilai dan menafsirkan suatu keadaan dengan

memerhatikan segi-segi positif secara subjektif.

3. Mengontrol Keputusan Mengontrol keputusan merupakan kemampuan

seseorang untuk memilih hasil atau suatu tindakan berdasarkan pada sesuatu

yang diyakini atau disetujuinya. Mengacu pada aspek-aspek kontrol diri,

sebagaimana dikemukakan oleh Thalib (2017), dapat disimpulkan bahwa

kemampuan kontrol diri mencakup; a. Kemampuan mengontrol perilaku b.

Kemampuan mengontrol stimulus c. Kemampuan mengantisipasi suatu

peristiwa atau kejadian d. Kemampuan menafsirkan peristiwa atau kejadian,

dan e. Kemampuan mengambil keputusan.

Berdasarkan penjelasan diatas peneliti menyimpulkan bahwa aspek-aspek

kontrol diri terdiri atas: kemampuan mengontrol perilaku, kemampuan


mengontrol kognitif, kemampuan mengantisipasi dan menafsirkan suatu kejadian,

dan kemampuan mengontrol keputusan.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kontrol Diri

Ghufron dan Risnawita (2016) menjelaskan faktor-faktor yang

mempengaruhi kontrol diri secara garis besar terdiri dari faktor internal dan faktor

eksternal :

1. Faktor Internal

Faktor internal yang ikut andil terhadap kontrol diri adalah usia. Semakin

bertambah usia seseorang, maka semakin baik kemampuan mengontrol diri

seseorang itu.

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal ini diantaranya faktor lingkungan kleuarga lingkungan

keluarga terutama orangtua menentukan bagaimana kemampuan mengontrol

diri seseorang.

Hasil penelitian nasichah menunjukkan bahwa persepsi remaja terhadap

penerapan disiplin orangtua yang 17 semakin demokratis cenderung diikuti

tingginya kemampuan mengontrol dirinya. Sedangkan faktor-faktor menurut

Elkind dan Weiner Dini (2008) terdapat 3 faktor yang mempengaruhi kontrol diri

individu yaitu:

1. Pola asuh, bahwa sebagian besar pertimbangan sosial kontrol diri ini bentuk

oleh disiplin orang tua pada anak.

2. Faktor kognitif Individu tidak dilahirkan dalam konsep yang benar dan salah

atau dalam suatu pemahaman tentang perilaku yang diperbolehkan dan di


larang. Hal ini berkaitan dengan faktor kognitif. Kemasakan kognitif yang

terjadi selama masa pra sekolah dan masa kanak-kanan secara bertahap dapat

meningkatlan kapasitas individu untuk membuat pertimbangan sosial dan

mengontrol perilaku individu tersebut. Dengan demikian ketika beranjak

dewasa individu yang telah memasuki perguruan tinggi akan mempunyai

kemampuan berfikir yang lebih kompleks dan kemampuan intelektual yang

lebih besar.

3. Religiusitas Religiusitas dapat memiliki beberapa konsekuensi positif

termasuk variabel kepribadian seperti kecemasan, kontrol diri, keyakinan

irasional, depresi dan sifat kepribadian lain. Hasil penelitian Carter,

McCullough & Carver, (2012) menunjukkan Religiusitas memiliki hubungan

yang positif dengan kontrol diri, karena seseorang yang memiliki tingkat

religius yang tinggi percaya bahwa setiap tingkah laku yang mereka lakukan

selalu diawasi oleh Tuhan, sehingga mereka cenderung 18 memiliki self

monitoring yang tinggi dan pada akhirnya memunculkan kontrol diri dalam

dirinya.

Dengan demikian bisa disimpulkan faktor-faktor yang mempengaruhi

kontrol diri terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal.

2.3 Kerangka Konseptual

2.4 Hipotesis
Hipotesis yang dikemukakan dalam penelitian ini berdasarkan

kerangka konseptual yang ada sebagai berikut adanya hubungan negatif

antara kontrol diri dengan prokarstinasi akademik mahasiswa skripsi yang

aktif berorganisasi. Semakin rendah kontrol diri maka semakin tinggi

prokrastinasi akademik, dan sebaliknya semakin tinggi kontrol diri semakin

rendah prokrastinasi akademik.


BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian kuantitatif. Menurut Sugiyono (2015) metode penelitian kuantitatif

adalah metode penelitian tradisional, karena metode ini sudah cukup lama

digunakan sehingga sudah menjadi tradisi sebagai metode untuk penelitian.

Metode ini disebut sebagai metode posivistik karena berdasarkan pada filsafat

positivisme, metode ini sebagai metode ilmiah/ scientific karena telah memenuhi

kaidah-kaidah ilmiah yaitu konkrit/empiris, obyektif, terukur, rasional, dan

sistematis. Metode ini juga disebut discover, karena dengan metode ini dapat

ditemukan dan dikembangkan berbagai iptek baru. Metode ini disebut kuantitatif

karena data-data berupa angka-angka dan analisis menggunakan statistik.

Sedangkan Azwar (2017) mengemukakan bahwa penelitian yang memakai

metode kuantitatif menekankan analisisnya pada data-data numerik (angka) yang

dikumpulkan melalui prosedur pengukuran dan diolah dengan metode analisis

statistika, semua variabel yang terlibat harus diidentifikasi dengan jelas dan

terukur. Metode kuantitatif digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel

tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data

bersifat kuantitatif atau statistik dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah

ditetapkan (Sugiyono, 2015).


Seorang peneliti dalam sebuah penelitian kuantitatif dapat melakukan

penelitian dengan fokus terhadap variabel saja.

3.2 Variabel Penelitian

Variabel yang akan diuji pengaruhnya dalam penelitian ini adalah variabel

dependen (Y), dimana variabel ini yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat

dari adanya variabel bebas. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah

kontrol diri. Sedangkan variabel independen (X) adalah Prokrastinasi

akademik.

Definisi operasional

Prokrastinasi

Prokrastinasi adalah salah satu kecendrungan untuk menghindari atau

menunda-nunda suatu pekerjaan secara berulang-ulang, penundaan tersebut

dapat menimbulkan hal yang negatif, karena melakukan penundaan pada tugas

yang penting. Seseorang yang memiliki kesulitan untuk melakukan sesuatu

sesuai drngan batasan waktu yang telah ditentukan, sering mengalami

keterlambatan. Prokrastinasi umum diukur menggunakan pure procrastination

scale (PPS). Skala PPS ini merupakan ekstraksi tiga skala prokrastinasi yaitu

general procrastination scale (GPS), adult inventory of procrastination (AIP),

decisional procrastination questionnaire (DPQ). PPS merupakan skala

prokrastinasi yang dirancang mengukur prokrastinasi sebagai sebuah

konstruk berdimensi tunggal (unidimensional) melalui 12 butir pengukuran

(Steel, 2010).

Kontrol diri
kontrol diri merupakan kemampuan individu dalam mengatur,

mengendalikan, membimbing dan mengarahkan baik dari dalam diri maupun dari

luar individu, yang bertentangan dengan tingkah laku. Seseorang yang memiliki

kemampuan dalam mengontrol diri akan mampu menggunakan akal sehat, tetap

bisa memunculkan pandangan positif dan tenang. Pengukuran kontrol diri

dilakukan menggunakan brief self-control scale (tangney, baumeister, & Boone,

2012)

3.3 Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling

3.3.1 Populasi

Populasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu “population” yang berarti

jumlah penduduk. Dalam metode penelitian kata populasi amat populer dipakai

untuk menyebutkan serumpun atau sekelompok objek yang menjadi sasaran

penelitian. Populasi penelitian merupakan keseluruhan (universum) dari objek

penelitian yang dapat berupa manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, gejala,

nilai, peristiwa, sikap hidup, dan sebagainya (Siregar, 2015). Sedangkan Sugiyono

(2015) menjelaskan bahwa populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas

obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.

Arikunto (2014) mendefinisikan populasi sebagai keseluruhan objek

penelitian. Azwar (2017) menjelaskan bahwa populasi penelitian adalah kelompok

subjek yang hendak dikenai generalisasi hasil penelitian. Sebagai suatu populasi,

kelompok subjek tersebut harus memiliki beberapa ciri atau karakteristik bersama
yang membedakannya dengan kelompok subjek yang lain. Populasi dalam

penelitian ini adalah mahasiswa skripsi yang aktif berorganisasi

3.3.2 Sampel dan Teknik Sampling

Subjek pada sampel adalah sebagian dari subjek populasi, dengan kata

lain sampel adalah bagian dari populasi. Setiap bagian dari populasi merupakan

sampel, terlepas dari apakah bagian itu mewakili karakteristik populasi secara

lengkap atau tidak (Azwar, 2017). Sugiyono (2015) menjelaskan sampel

merupakan bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi

tersebut. Sampel merupakan bagian dari populasi, sehingga harus memiliki ciri-

ciri yang yang dimiliki oleh populasinya. Agar hasil penelitian pada sampel dapat

digeneralisasikan pada populasi, maka pengambilan sampel harus betul-betul

representatif. Sampel yang representatif sangat bergantung pada sejauh mana

karakteristik sampel itu sama dengan karakter populasinya. Siregar (2015)

mendefinisikan Sampel adalah suatu prosedur pengambilan data, dimana hanya

sebagian populasi saja yang akan diambil dan dipergunakan untuk menentukan

sifat serta ciri yang dikehendaki dari suatu populasi.

Sugiyono (2015) menjelaskan cara menentukan sampel bergantung pada

tingkat ketelitian atau kesalahan yang dikehendaki. Tingkat ketelitian atau

kepercayaan yang dikehendaki sering tergantung pada sumber dana, waktu dan

tenaga yang tersedia. Makin besar tingkat kesalahan maka akan semakin kecil

jumlah sampel yang diperlukan dan sebaliknya semakin kecil tingkat kesalahan,

maka akan semakin besar jumlah anggota sampel yang diperlukan sebagai sumber

data. Proses pengambilan sampel dari suatu populasi dapat dibedakan menjadi dua
kategori yang sering disebut dengan teknik pengambilan sampel (Siregar, 2015).

Sugiyono (2015) menjelaskan bahwa teknik sampling merupakan teknik

pengambilan sampel yang digunakan untuk menentukan jumlah sampel yang

digunakan dalam suatu penelitian. Pada penelitian ini teknik sampling yang

digunakan oleh peneliti adalah probability sampling dengan jenis simple random

sampling.

Cluster random sampling adalah teknik pengambilan sampel ini

menentukan sampel berdasarkan kelompok wilayah dari anggota populasi

penelitian. Sementara itu simple random sampling adalah cara pengambilan

anggota sampel dari populasi yang dilakukan secara acak tanpa memperhatikan

strata yang ada dalam populasi itu (Sugiyono, 2015). Dalam penelitian ini

penentuan jumlah sampel yang dilakukan oleh peneliti berdasar atar saran yang

dikemukakan oleh Roscoe (dalam Sugiyono, 2015) bahwa ukuran sampel yang

layak dalam penelitian adalah antara 50 sampai dengan 150. Jumlah responden

dalam penelitian ini adalah 100 responden.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan langkah yang amat penting dalam

penelitian, mengingat data yang dikumpulkan akan digunakan untuk pemecahan

masalah yang sedang di teliti atau menguji hipotesis yang telah dirumuskan

(Siregar, 2015). Pendapat lain dari Sugiyono (2015) menjelaskan bahwa metode

pengumpulan data merupakan cara yang dilakukan dalam memperoleh data


diantaranya dengan kuisioner/angket, wawancara, observasi dan dokumentasi.

Teknik penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner.

Kuisioner adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara

memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden untuk

dijawabnya. Peneliti akan memberikan seperangkat pernyataan atau pertanyaan

terkait variabel yang akan diteliti. Kuisioner dapat berupa pertanyaan atau

pernyataan yang terbuka atau tertutup, dapat diberikan kepada responden secara

langsung atau dikiriim melalui pos atau internet (Sugiyono, 2015).

Instrumen Penelitian

Menurut Sugiyono (2015) instrumen penelitian adalah suatu alat yang

digunakan untuk mengatur fenomena alam maupun sosial yang diamati. Dalam

penelitian kuantitatif, kualitas instrumen penelitian berkenaan dengan validitas

dan reliabilitas instrumen dan kualitas pengumpulan data berkenaan dengan

ketepatan cara-cara yang digunakan untuk mengumpulkan data. Oleh karena itu

instrumen yang telah teruji validitas dan reliabilitasnya, belum tentu dapat

menghasilkan data yang valid dan reliabel apabila instrumen tersebut tidak

digunakan secara tepat dalam pengumpulan datanya.

Instrument yang digunakan oleh peneliti adalah alat ukur berupa skala.

Sugiyono (2015) mendefinisikan bahwa skala pengukuran adalah kesepakatan

yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan panjang-pendeknya interval

yang ada dalam alat ukur sehingga alat ukur tersebut bila digunakan dalam

pengukuran alat menghasilkan data kuantitatif yang mana dengan skala

pengukuran ini, nilai variabel yang diukur dengan instrumen tertentu dapat
dinyatakan dalam bentuk angka. Bentuk skala pengukuran yang digunakan dalam

penelitian ini adalah skala ordinal dari Likert.

Siregar (2015) mendefinisikan bahwa skala Likert adalah skala yang dapat

digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang tentang suatu

objek atau fenomena tertentu. Variabel yang akan diukur dijabarkan dari variabel

menjadi dimensi, dari dimensi menjadi indikator, dan dari indikator dijabarkan

menjadi sub-indikator yang dapat diukur, akhirnya sub-indikator dapat dijadikan

tolak ukur untuk membuat suatu pertanyaan/pernyataan yang perlu dijawab oleh

responden.

Sugiyono (2015) mengungkapkan bahwa skala Likert memiliki dua bentuk

pernyataan, yaitu pernyataan positif (favourable) dan negatif (unfavourable) serta

memiliki lima alternatif jawaban yakni SS (Sangat Setuju), S (Setuju), N

(Netral/Ragu-ragu), TS (Tidak Setuju), dan STS (Sangat Tidak Setuju) dengan

rentang skor 1 sampai skor 5.

Tabel 3.5 Penilaian skala dengan model skala Likert

Bentuk Pernyataan

Favourable Unfavourable

Respon Skor Respon Skor

Sangat Setuju (SS) 5 Sangat Setuju (SS) 1

Setuju (S) 4 Setuju (S) 2

Tidak Setuju (TS) 2 Tidak Setuju (TS) 4

Sangat Tidak Setuju (STS) 1 Sangat Tidak Setuju (STS) 5

3.4. Skala Kontrol diri


Penyusunan skala kecemasan didasarkan pada aspek-aspek dari teori

kepatuhan. Skala kecemasan yang digunakan dalam penelitian ini disusun

berdasarkan empat aspek yang dikemukakan oleh Haber & Runyon (1984) yaitu,

aspek kognitif, aspek motorik, dan aspek somatik, dan aspek afektif.

3.6.1 Uji Validitas Alat Ukur

Validitas menurut Azwar (2017) berasal dari kata validity yang

mempunyai arti sejauhmana akurasi suatu tes atau skala dalam menjalankan

fungsi pengukurannya. Pengukuran dikatakan mempunyai validitas yang tinggi

apabila menghasilkan data yang secara akurat memberikan gambaran mengenai

variabel yang diukur seperti yang dikehendaki oleh tujuan pengukuran tersebut.

Menurut Azwar (2017) valid tidaknya suatu pengukuruan tergantung pada

kemampuan alat ukur tersebut dalam mencapai tujuan pengukuran yang

dikehendaki dengan tepat. Sisi lain yang terdapat dalam pengertian validitas

adalah aspek kecermatan pengukuran yang mana suatu hasil ukur disebut valid,

tidak sekedar merupakan data yang tepat menggambarkan aspek yang diukur akan

tetapi juga memberikan gambaran yang cermat mengenai variabel yang diukur.

Sugiyono (2015) menyatakan instrumen yang valid berarti alat ukur yang

digunakan untuk mendapatkan data (mengukur) itu valid. Hasil penelitian yang

valid bila terdapat kesamaan antara data yang terkumpul dengan data yang

sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. Pengujian validitas dibagi menjadi

tiga jenis, yaitu validitas konstrak, validitas isi, dan validitas eksternal.
Jenis validitas yang digunakan di penelitian ini adalah validitas konstrak.

Uji validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap

kelayakan atau relevansi isi tes melalui rasional oleh panel yang berkompeten atau

melalui expert judgment (Azwar, 2017). Uji validitas isi dalam penelitian ini

dilakukan dengan meminta pertimbangan dari dosen pembimbing skripsi.

Pertimbangan tersebut diperoleh dari item-item yang layak digunakan sebagai alat

ukur.

Semua alat ukur yang dinyatakan benar-benar valid ketika nilai koefisien

korelasi mencapai > 0,03 (Azwar, 2015). Salah satu cara yang bisa dilakukan

adalah menggunakan validitas eksternal. Validitas eksternal instrumen diuji

dengan cara membandingkan (untuk mencari kesamaan) antara kriteria yang ada

pada instrument dengan fakta-fakta empiris yang terjadi di. Apabila terdapat

kesamaan antara kriteria dalam instrument dengan fakta di lapangan, maka dapat

disimpulkan instrumen tersebut mempunyai validitas eksternal yang tinggi

lapangan (Sugiyono, 2014).

Pengujian validitas item alat ukur dalam penelitian ini dilakukan dengan

cara mengukur korelasi antara variabel atau item dengan skor total item dengan

rumus korelasi product moment menggunakan teknik pengujian correlate

bivariate dengan bantuan SPSS (Statistic Product and Several Solution) 23.0 for

Windows. Apabila item yang memiliki indeks daya dikriminasi sama dengan atau

lebih besar dari pada 0,30 jumlahnya melebihi jumlah item yang direncakan untuk

dijadikan skala, maka kita dapat memilih item-item yang memiliki indeks daya

diskriminasi tertinggi. Sebaliknya apabila jumlah yang diinginkan tidak dapat


mempertimbangkan untuk menurunkan sedikit bata kriteria 0,30 menjadi 0,25

atau paling tidak disarankan 0,20, maka jumlah item yang diinginkan tidak

tercapai (Azwar dalam Herawati & Edi, 2016).

3.6.2 Uji Reliabilitas Alat Ukur

Azwar (2017) mengungkapkan bahwa walaupun istilah reliabilitas memiliki

berbagai nama lain seperti konsistensi, keterandalan, keterpercayaan, kestabilan,

keajegan, dan sebagainya, namun gagasan pokok reliabilitas ialah sejauhmana

hasil suatu proses pengukuran dapat dipercaya. Suatu pengukuran yang mampu

menghasilkan data yang memiliki tingkat reliabilitas tinggi disebut sebagai

pengukuran yang reliabel. Pengukuran yang hasilnya tidak reliabel tentu tidak

dapat dikatakan akurat karena konsistensi menjadi syarat bagi akurasi. Uji

reliabilitas bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengukuran tetap konsisten

apabla dilakukan dua kali atau lebih terhadap gejala yang sama dengan

menggunakan alat ukur yang sama pula (Siregar, 2015).

Uji realibilitas penelitian ini menggunakan konsistensi internal, yaitu

dilakukan dengan mencoba alat ukur satu kali pada individu yang dianggap

homogen, kemudian data yang diperoleh dianalisis dengan teknik tertentu. Teknik

yang digunakan dalam penelitian ini yaitu koefisien Alpha Cronbach dengan

menggunakan aplikasi SPSS 23.0 dengan melihat tabel realibility statistic.

Adapun klasifikasi skor reliabilitas menurut Periantolo (2015) sebagai berikut:

Tabel 3.6 Klasifikasi Skor Reliabilitas

Skor Klasifikasi

≥ 0,9 Sangat Bagus


0,8 - 0,89 Bagus

0,7 – 0,79 Cukup Bagus

0,6 – 0,7 Kurang Bagus

< 0,6 Tidak Bagus

3.6.3 Uji Asumsi

Herawati dan Edi (2016) menjelaskan bahwa uji asumsi adalah persyaratan

statsitik yang harus dipenuhi pada analisis regresi linier sederhana dan berganda

yang berbasis Ordinary Least Square (OLS). Jadi analisis regresi yang tidak

berdasarkan OLS tidak memerlukan persyaratan asumsi misalnya regresi logistik

atau regresi ordinal. Demikian juga tidak semua uji asumsi harus dilakukan pada

analasis regresi linier.

a. Uji Normalitas

Susanto dan Sugiyono (dalam Herawati dan Edi, 2016) uji normalitas

dilakukan untuk mengetahui sampel yang diambil berasal dari populasi yang

berdistribusi normal. Pengujian asumsi ini menggunakan uji Kolmogorov-

Smirnov untuk mengetahui distribusi data pada tiap-tiap variabel normal atau

tidak. Dasar pengambilan keputusan dalam uji normalitas adalah jika nilai

signifikansi > 0,05 maka data berdistribusi normal dan apabila nilai signifikansi <

0,05 maka data tidak berdistribusi normal.

b. Uji Linieritas

Herawati dan Edi (2016) menyatakan bahwa secara umum uji linieritas

bertujuan untuk mengetahui apakah variabel mempunyai hubungan yang linier


secara signifikan atau tidak. Data yang baik seharusnya terdapat hubungan yang

linier antara variabel X dengan variabel Y. Dasar pengambilan keputusan dalam

uji linieritas adalah jika nilai signifikansi > 0,05 maka hubungan antara variabel X

dengan Y adalah linier dan jika nilai signifikansi < 0,05 maka hubungan antara

variabel X dengan Y adalah tidak linier.

Anda mungkin juga menyukai