Anda di halaman 1dari 14

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Prokrastinasi Akademik

2.1.1 Pengertian Prokrastinasi Akademik

Menurut Ferrari (dalam Zhella), prokrastinasi berasal dari bahasa Latin

yaitu procrastinare. Kata procrastinare memiliki awalan pro yang berarti

bergerak maju ke depan dan akhiran crastinus yang berarti kepunyaan hari

esok. Istilah prokrastinasi ini pertama-tama dikemukakan oleh Brown dan

Holtzman (dalam Rizvi, 1996) untuk menunjuk pada suatu kecenderungan

menunda-nunda menyelesaikan suatu tugas atau pekerjaan.

Ellis dan Knaus (dalam Zhella, 2012) mengemukakan bahwa

prokrastinasi adalah kebiasaan penundaan yang tidak bertujuan dan proses

penghindaran tugas, yang hal itu sebenarnya tidak perlu dilakukan seseorang

karena adanya ketakutan untuk gagal, serta adanya pandangan bahwa segala

sesuatu harus dilakukan dengan benar. Penundaan telah menjadi respon tetap

atau kebiasaan dapat dipandang sebagai suatu kebiasaan (trait) prokrastinasi.

Berdasarkan pendapat dari para tokoh tersebut dapat disimpulkan

bahwa prokrastinasi adalah suatu tindakan menunda untuk menyelesaikan

suatu tugas atau pekerjaan yang tidak bertujuan dan memperlambat pekerjaan

sampai titik kenyamanan yang dialaminya.


Prokrastinasi merupakan suatu penundaan yang dilakukan seseorang

dalam berbagai bidang. Salah satunya adalah bidang akademik. Prokrastinasi

akademik adalah penundaan yang dilakukan secara sengaja dalam

menyelesaikan tugas atau pekerjaan, baik memulai maupun menyelesaikan

tugas yang berhubungan dengan bidang akademik.

Solomon dan Rothblum (dalam Ilfiandra, 2006) secara jelas membagi

kinerja tugas akademik dalam beberapa area yang lebih spesifik, yaitu:

a. Tugas mengarang meliputi penundaan melaksanakan tugas menulis


makalah, laporan atau tugas mengarang lainnya.
b. Tugas belajar menghadapi ujian meliputi penundaan belajar ketika
menghadapi ujian tengah semester, akhir semester atau kuis.
c. Tugas membaca meliputi menunda membaca buku, jurnal, referensi
yang berkaitan dengan tugas akademik.
d. Tugas administratif meliputi menyalin catatan kuliah, mendaftarkan diri
dalam presensi, daftar praktikum.
e. Menghadiri pertemuan akademik meliputi penundaan atau
keterlambatan menghadiri kuliah, praktikum, dan lain-lain.
f. Kinerja akademik secara keseluruhan meliputi menunda kewajiban
mengerjakan atau menyelesaikan tugas-tugas akademik secara
keseluruhan.

Berdasarkan teori di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja tugas

akademik diantaranya tugas mengarang, tugas belajar menghadapi ujian, tugas

administratif, menghadiri pertemuan akademik, dan kinerja akademik

keseluruhan. Penundaan atau prokrastinasi yang sering dilakukan akibat

banyaknya tugas akademik yang harus dipenuhi.

2.1.2 Indikator Prokrastinasi Akademik


Menurut Schouwenburg (dalam Yemima Husetiya, 2010)

mengemukakan indikator prokrastinasi akademik adalah sebagai berikut:


(a) Penundaan pelaksanaan tugas-tugas akademik, (b) Kelambanan dan

keterlambatan dalam mengerjakan tugas akademik, (c) Ketidaksesuaian antara

rencana dengan performansi aktual, dan (d) Melakukan aktivitas lain yang

lebih menyenangkan.

Menurut Yemima Husetiya (2010) indikator prokrastinasi akademik

adalah terlambat mengerjakan tugas, tidak melaksanakan tugas dengan

sengaja, menyelesaikan tugas namun tidak tuntas, mengulur waktu dalam

mengerjakan tugas, menyelesaikan tugas namun tidak sesuai rencana, dan

mengerjakan tugas dalam waktu yang lama.

2.1.3 Jenis-jenis Prokrastinasi Akademik

Menurut Ferrari (dalam Ilfiandra, 2006) bentuk-bentuk prokrastinasi

ada dua yaitu: (a) Prokrastinasi Fungsional dan (b) Prokrastinasi

Disfungsional. Prokrastinasi fungsional merupakan penundaan mengerjakan

tugas dengan tujuan memperoleh informasi lengkap dan akurat. Sedangkan

prokrastinasi disfungsional merupakan penundaan menyelesaikan tugas yang

merupakan prioritas tinggi tanpa didasari oleh alasan yang masuk akal.

Ferrari (dalam Zhella, 2012) mengemukakan bahwa ada dua bentuk

prokrastinasi disfungsional berdasarkan tujuan dalam melakukan penundaan,

yakni:

a. Decisional Procrastination
Decisional Procrastination adalah suatu penundaan dalam mengambil
keputusan. Bentuk prokrastinasi ini merupakan sebuah anteseden
kognitif dalam menunda untuk mulai melakukan suatu kerja dalam
menghadapi situasi yang dipersepsikan penuh stres (Ferrari dalam
Rizvi, 1997). Decisional Procrastination berhubungan dengan
kelupaan, kegagalan, proses kognitif, akan tetapi tidak berkaitan
dengan intelegensi seseorang.
b. Avoidance Procrastination
Avoidance Procrastination atau Behavioral Procrastination adalah
suatu penundaan dalam perilaku yang tampak. Penundaan dilakukan
sebagai suatu cara untuk menghindari tugas yang dirasa tidak
menyenangkan dan sulit untuk dilakukan. Avoidance Procrastination
berhubungan dengan tipe Self Presentation, keinginan untuk
menjauhkan diri dari tugas yang menantang, dan implusiveness.

Berdasarkan pemaparan tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa

bentuk prokrastinasi dibagi menjadi dua yakni prokrastinasi fungsional dan

disfungsional. Sedangkan prokrastinasi disfungsional sendiri dibedakan

menjadi dua yakni Decision Procrastination dan Avoidance Procrastination.

Menurut Wyk (dalam Ilfiandra, 2010) terdapat tiga karakteristik prokrastinasi

yaitu: 1) vocious cycles, 2) unrealistic sense of time, 3) dependence of

inspiration.

1. Vocious cycles (lingkaran setan), artinya prokrastinasi merupakan


sebuah siklus yang diawali oleh penolakan terhadap tugas karena
alasan malu atau mengkritik diri, kemudian menyebabkan pekerjaan
terlantar yang akhirnya juga meningkatkan rasa malu, dan umpan balik
negatif terhadap pekerjaan juga akhirnya meningkatkan penundaan.
2. Pandangan yang tidak realistik terhadap waktu (unrealistic sense of
time), hasil studi menunjukkan bahwa para procrastinator memandang
waktu secara berlebihan atau mengabaikan waktu sehingga rencana
yang dibuat sering tidak realistis.
3. Mengandalkan inspirasi (dependence of inspiration), para
prokrastinator sering berpikir „tommorow I will be in better mood’.
Terdapat dua kesalahan dari pikiran semacam ini, yaitu seseorang akan
dapat bekerja dengan baik kalau sudah terinspirasi dan kalau
dikerjakan besok akan lebih terinspirasi.
Berdasarkan pemaparan tokoh, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga

karakteristik prokrastinasi yakni 1) vocious cycles, 2) unrealistic sense of

time, 3) dependence of inspiration.

2.1.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prokrastinasi Akademik


Stell (dalam Ilfiandra, 2010) mengemukakan empat faktor
prokrastinasi, yaitu:
1. Anxiety, fear of failure, perfectionism
Seseorang melakukan prokrastinasi terhadap tugas karena takut dan
stress. Konsekuensinya adalah seseorang yang rentan terhadap stress
cenderung mengalami prokrastinasi. Terdapat sejumlah kondisi yang
menyebabkan seseorang cemas, diantaranya adalah keyakinan tak
rasional, seperti takut gagal dan selalu ingin kesempurnaan.
2. Self handicapping
Seseorang mengalami prokrastinasi ketika menempatkan hambatan
sebagai penghalang dari kinerja terbaik. Motivasi dalam self
handicapping adalah untuk mempertahankan harga diri dengan
mencari-cari alasan eksternal.
3. Rebeliousness
Menurut literatur klinis (dalam Ilfiandra, 2006), penentangan
(rebeliousness), permusuhan (hostility), dan ketidaksetujuan
(disagreeableness) merupakan motivasi utama untuk prokrastinasi.
Seseorang yang memiliki ciri kepribadian seperti ini memandang
bahwa tuntutan ekspternal merupakan sesuatu yang mengancam
sehingga perlu dijauhi.
4. Discounted expectancy theory
Seseorang akan melakukan terlebih dahulu sesuatu yang lebih
menyenangkan atau tujuan yang lebih dekat. Konsekuensinya
seseorang cenderung prokrastinasi terhadap tugas-tugas yang sulit.

Menurut pemaparan tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa ada

empat faktor yang mempengaruhi prokrastinasi yakni Anxiety; fear of

failure;perfectionism, Self handicapping, Rebeliousness, dan Discounted

expectary theory.
Menurut Gufron (dalam Ilfiandra, 2006) mengemukakan faktor-faktor

yang mempengaruhi prokrastinasi akademik dapat dikategorikan menjadi dua

macam, yaitu faktor internal dan eksternal.

Faktor internal, yaitu faktor dari individu yang meliputi kondisi fisik

dan psikologis. Kondisi fisik dan kesehatan yang mempengaruhi munculnya

prokrastinasi adalah fatigue. Tingkat intelegensi tidak mempengaruhi perilaku

prokrastinasi, walaupun prokrastinasi sering disebabkan oleh keyakinan tak

rasional seseorang. Trait psikologi yang turut mempengaruhi munculnya

prokrastinasi adalah self regulation dan tingkat kecemasan dalam

berhubungan sosial. Besarnya motivasi juga mempengaruhi prokrastinasi

akademik secara negatif, semakin tinggi motivasi ekstrinsik maka semakin

rendah kecenderungan prokrastinasi. Faktor kontrol diri yang rendah juga

menjadi penyebab prokrastinasi akademik.

Faktor eksternal, yaitu gaya pengasuhan orang tua dan lingkungan

yang kondusif. Hasil penelitian Ferrari dan Ollivete menemukan bahwa gaya

pengasuhan ayah yang otoriter menyebabkan munculnya kecenderungan

perilaku prokrastinasi, sedangkan gaya pengasuhan otoritatif tidak

menyebabkan prokrastinasi. Ibu yang memiliki kecenderungan melakukan

‘avoidance procrastination’ menyebabkan anak wanita yang juga memiliki

kecenderungan untuk melakukan „avoidance procrastination’ pula.

Prokrastinasi akademik lebih banyak dilakukan pada lingkungan yang rendah

dalam pengawasan dari pada lingkungan yang penuh pengawasan. Tingkat,


jenjang sekolah, lokasi sekolah tidak mempengaruhi perilaku munculnya

perilaku prokrastinasi akademik seseorang.

Berdasarkan teori di atas, dalam pengambilan data akan menggunakan

teori yang dikemukakan oleh Gufron. Teori tersebut menyatakan bahwa faktor

yang menyebabkan prokrastinasi adalah faktor internal dan eksternal.

2.1.5 Penanganan Prokrasinasi Akademik

Boice (dalam Ilfiandra, 2006) mengemukakan sepuluh prinsip dasar

efikasi diri untuk membantu prokrastinator, yaitu:

1) Bersikap tenang dan sabar sebelum menulis.


2) Sebelum merasa siap menulis, kumpulkan informasi, susun dan buat
kerangka gagasan.
3) Rinci tugas ke dalam aktivitas harian.
4) Berhenti dan lakukan istirahat ketika diperlukan.
5) Seimbangkan antara kerangka gagasan dengan kerja aktual.
6) Cermati pikiran dan kebiasaan negatif selama mengerjakan tugas.
7) Kelola emosi selama bekerja dengan cara menghindari sikap tergesa-gesa
dan supervisial.
8) Hindari melibatkan emosi yang terlalu berlebihan dalam pekerjaan.
9) Ijinkan orang lain mengkritisi hasil pekerjaan.
10) Hindari upaya menghamburkan energi, seperti bekerja sampai kelelahan
dan tidak toleran terhadap kritik.

Berdasarkan pemaparan tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa ada

sepuluh prinsip dasar efikasi diri untuk membantu prokrastinator dalam upaya

lepas dari prokrastinasi.

2.2 Olahraga

2.2.1 Pengertian Olahraga

Giriwijoyo (2012) mengemukakan bahwa olahraga adalah serangkaian

gerak raga yang teratur dan terencana untuk memelihara gerak (yang
berarti mempertahankan hidup) dan meningkatkan kemampuan gerak (yang

berarti meningkatkan kualitas hidup).

Depkes (2014) mengemukakan olahraga adalah suatu bentuk aktivitas

fisik yang terencana dan terstruktur, yang melibatkan gerakan tubuh berulang-

ulang dan ditujukan untuk meningkatkan kebugaran jasmani.

Berdasarkan dari kedua teori tersebut olahraga adalah suatu bentuk

aktivitas yang terencana dan terstruktur yang bertujuan memelihara gerak dan

meningkatkan kemampuan gerak.

2.2.2 Manfaat Olahraga

Olahraga dilakukan oleh masyarakat tidak memandang usia, baik

anak-anak, dewasa maupun lanjut usia. Banyaknya peminat untuk berolahraga

tentunya tidak terlepas dari manfaat yang mereka peroleh. Berikut ini

dijelaskan beberapa manfaat berolahraga.

Menurut Depkes (2014) manfaat olahraga adalah:


1. Meningkatkan kerja dan fungsi jantung, paru dan pembuluh darah.
2. Meningkatkan kekuatan otot dan kepadatan tulang.
3. Meningkatkan kelenturan (fleksibilitas) pada tubuh sehingga dapat
mengurangi cedera.
4. Meningkatkan metabolisme tubuh untuk mencegah kegemukan dan
mempertahankan berat badan ideal.
5. Mengurangi resiko terjadinya berbagai penyakit.
6. Meningkatkan sistem hormonal melalui peningkatan sensitifitas
hormon terhadap jaringan tubuh.
7. Meningkatkan aktivitas sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit
melalui peningkatan pengaturan kekebalan tubuh.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan mengenai manfaat

kegiatan olahraga, diantaranya olahraga sangat baik bagi kesehatan, dan

memberi kesegaran jasmani.

2.2.3 Jenis dan Komponen Olahraga

Olahraga terdiri dari dua jenis. Menurut Depkes (2014), olahraga

terdiri dari olahraga aerobik dan anaerobik. Aerobik adalah olahraga yang

dilakukan secara terus-menerus dimana kebutuhan oksigen masih dapat

dipenuhi tubuh. Misalnya: jogging, senam, renang, bersepeda. Anaerobik

adalah olahraga dimana kebutuhan oksigen tidak dapat dipenuhi seluruhnya

oleh tubuh. Misalnya: angkat besi, lari sprint 100 M, tenis lapangan, bulu

tangkis.

Menurut Bompa (dalam Devi Tirtawirya, 2012), olahraga terdiri dari

beberapa komponen yakni intensitas, volume, density, complexity, recovery,

dan interval. Keenam hal itu merupakan hal yang harus dipahami seseorang

dalam melakukan kegiatan olahraga supaya tujuan olahraga dapat tercapai.

a) Intensitas
Menurut Bompa (dalam Devi Tirtawirya, 2012) intensitas merupakan
komponen kualitatif kerja atlet dalam waktu tertentu juga merupakan
komponen penting dari pelatihan. Senada dengan itu menurut
Sukadiyanto (dalam Devi Tirtawirya, 2012) intensitas adalah ukuran
yang menunjukkan kualitas suatu rangsang atau pembebanan. Semakin
tinggi intensitas, seorang atlet harus lebih melakukan kerja per satuan
waktu. lntensitas adalah fungsi dari kekuatan impuls saraf atlet bekerja
saat latihan. Kekuatan stimulus tergantung pada kecepatan, beban kinerja,
dan variasi interval atau istirahat di antara pengulangan. Kerja otot dan
keterlibatan Sistem Syaraf Pusat menentukan intensitas konsentrasi
maksimum selama pelatihan atau kompetisi. Penting untuk mengakui
elemen psikologis latihan dan mengakui bahwa event olahraga yang
membutuhkan aktivitas fisik rendah, seperti menembak, memanah, dan
catur memiliki tingkat intensitas tertentu.
b) Volume
Menurut Bompa (dalam Devi Tirtawirya, 2012) volume adalah
komponen utama pelatihan volume adalah prasyarat kuantitatif untuk
piestasi teknis, taktis, dan fisik yang tinggi. Volume latihan, kadang-
kadang tidak akurat disebut durasi pelatihan, karena yang disebut volume
adalah sebagai berikut:
a. Waktu atau durasi Pelatihan
b. Jarak yang ditempuh atau berat angkatan per unit waktu
c. Pengulangan dari latihan atau elemen teknis atlet melakukan dalam
waktu tertentu.
Volume dapat diartikan jumlah aktivitas total dalam latihan, artinya
bahwa jumlah total aktivitas yang dihitung dari durasi, jarak tempuh
maupun pengulangan dalam latihan. Volume juga mengacu pada jumlah
pekerjaan yang dilakukan selama latihan atau fase latihan. Di dalam
latihan olahraga volume dibedakan menjadi dua jenis antara lain Relative
volume dan absolute volume. Volume relatif mengacu pada jumlah total
waktu kelompok atlet atau tim selama proses pelatihan khusus atau fase
pelatihan. Volume absolute mengukur jumlah pekerjaan dan performa
atlet individu per unit waktu, biasanya dinyatakan dalam menit.
c) Density
Bompa (dalam Slamet Widodo, 2010) menyatakan bahwa densitas
merupakan suatu frekuensi dimana atlet dihadapkan pada sejumlah
rangsang persatuan waktu. Densitas berkaitan erat dengan frekuensi
dan waktu latihan. Rasio antara frekuensi latihan dan interval
istirahat menunjukkan densitas dari latihan.
d) Complexity
Kerumitan bentuk latihan yang dilaksanakan dalam satu latihan. Bompa
(dalam Devi Tirtawirya, 2012) mengemukakan, kompleksitas dari suatu
keterampilan membutuhkan 18 koordinasi, dapat menjadi penyebab yang
penting dalam menambah intensitas latihan. Keterampilan teknik yang
rumit atau sulit, mungkin akan menimbulkan permasalahan dan akhirnya
akan menyebabkan tekanan tambahan terhadap otot, khususnya selama
tahap dimana koordinasi syaraf otot berada dalam keadaan lemah.
Semakin sulit bentuk latihan semakin besar juga perbedaan individual
serta efisiensi mekanismenya.
e) Recovery
Menurut Bompa (dalam Devi Tirtawirya, 2012) recovery adalah waktu
yang diperlukan untuk pemulihan/recovery antara periode pembebanan
latihan. setiap individu membutuhkan waktu recovery yang berbeda,
tergantung dari kemampuan kardiovasculer dari masing-masing individu.
semakin baik kardiovascular maka semakin cepat waktu yang dibutuhkan
untuk recovery.
f) Interval
Menurut Bompa (dalam Devi tirtawirya 2012) interval beban merupakan
waktu antara pembebanan yang satu dengan pembebanan berikutnya.
Interval beban sering juga diartikan yaitu waktu istirahat yang diberikan
setelah pembebanan. Menurut Suharno (1993) interval merupakan
serentetan latihan yang diselingi dengan istirahat tertentu. Interval
dilakukan secara berulang-ulang sesuai dengan masa latihannya.
Menurut Bompa (dalam Devi Tirtawirya, 2012), interval dalam latihan
diperlukan untuk:
a. Menghilangkan kelelahan
b. Melaksanakan proses adaptasi sendiri
c. Proses kompensasi untuk mendapatkan efek latihan positif

2.2.4 Kelelahan dan Overtraining dalam Olahraga


Menurut Giriwijoyo (2012) kelelahan merupakan kondisi menurunnya

kapasitas kerja yang disebabkan oleh melakukan pekerjaan. Kelelahan dapat

menurunkan kinerja dari individu. Jika kinerja individu menurun akan

menyebabkan penundaan pengerjaan tugas yang dimilikinya (prokrastinasi).

Kelelahan dibagi menjadi 2 tipe, yaitu kelelahan mental dan kelelahan

fisik. Kelelahan mental adalah kelelahan yang merupakan akibat dari kerja

mental, kelelahan ini disebabkan oleh kejemuan sebab kurangnya minat.

Sedangkan kelelahan fisik disebabkan oleh kinerja fisik atau kerja otot.

Giriwijoyo (2012) mengemukakan penyebab kelelahan adalah:


1. Sumber daya habis atau tidak dapat diperoleh.
2. Tertimbunnya sampah olahdaya di dalam tubuh.
3. Terganggunya keseimbangan elektrolit/asam-basa didalam cairan tubuh.
4. Terganggunya keseimbangan pemasukan dan pengeluaran air didalam
tubuh.
Berdasarkan pemaparan tokoh di atas, dapat disimpulkan bahwa ada

empat penyebab kelelahan yakni habisnya berkurangnya cairan dalam tubuh

secara drastis dan habisnya sumber daya.

Menurut Giriwijoyo (2012) overtraining adalah bentuk kronis dari

kelelahan patologis dalam olahraga. Overtraining disebabkan oleh harapan

yang berlebihan, yang melebihi kapasitas fungsional otak menjadi pemicu

terjadinya neurosis (overtraining) ini. Harapan yang berlebihan ini disebabkan

oleh:

1. Proses perangsangan yang berlebihan yang disebabkan oleh karena


volume, intensitas, dan kompleksitas latihan dari olahraga-olahraga
tersebut.
2. Proses penghambatan yang berlebihan dari gerakan-gerakan yang tidak
diperlukan pada saat membentuk gerakan-gerakan baru dan halus, atau
oleh terjadinya pengaruh diferensiasi rangsangan.
3. Mobilitas proses syaraf yang berlebihan atau perubahan-perubahan pada
“stereotype yang dinamis”.

Berdasarkan pemaparan tokoh di atas dapat disimpulkankan bahwa

pemicu overtraining adalah proses perangsangan yang belebihan, proses

penghambat yang berlebihan, dan mobilitas syaraf yang berlebihan.

Semua proses-proses ini akan menyebabkan terjadinya exhaustion

(kelelahan) dari otak setelah melakukan olahraga yang berlebihan secara

tersendiri maupun dalam kaitannya dengan faktor-faktor lain. Sports neurosis

(kelelahan saraf) dapat juga terjadi bila ada depresi terhadap fungsi cortex

cerebri, yang merupakan dampak dari peran panjang fisik yang sedang

dilakukan yang menyebabkan stress saraf.


2.3 Pengaruh Kegiatan Olahraga terhadap Prokrastinasi Akademik

Proses olahraga yang dilakukan secara rutin dan teratur, akan

meningkatkan kebugaran jasmani seseorang. Hal ini akan menyebabkan

seorang menjadi terampil, kuat dan efisien dalam gerakannya. Namun

semakin rutin melakukan olahraga maka akan berdampak pada kelelahan pada

tubuh.

Kelelahan pada tubuh akan menimbulkan bergesernya waktu untuk

kegiatan akademik. Tugas banyak, deadline, ulangan harian, bahkan harus

membagi semuanya itu dengan beristirahat. Kadang siswa juga merasa tidak

yakin akan kemampuan yang dimilikinya, kondisi yang demikian membuat

mereka tidak berani untuk meminta bantuan atau pendapat kepada orang lain.

Rasa lelah setelah berolahraga, banyaknya beban tugas, serta perasaan takut

gagal akan meningkatkan motivasi untuk melakukan prokrastinasi akademik.

2.4 Hasil Penelitian yang Relevan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Andika Desma Prastya Dinata

(2012) mengenai “Perbedaan Prokrastinasi Akademik Antara Mahasiswa yang

Aktif dengan yang Tidak Aktif dalam Organisasi Lembaga Kemahasiswaan di

Kalangan Mahasiswa Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana” dengan sampel sebanyak 139

mahasiswa aktif. Hasil yang diperoleh nilai signifikansi sebesar 0.342

(p>0,05) yang artinya tidak terdapat perbedaan prokrastinasi akademik yang


signifikan antara mahasiswa yang aktif dengan yang tidak aktif dalam

organisasi Lembaga Kemahasiswaan di kalangan mahasiswa Pendidikan

Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya

Wacana .

Penelitian yang dilakukan oleh Pradita Windra Sukmono (2009)

dengan subjek 112 mahasiswa. Sebaran data subjek untuk prokrastinasi

akademik menunjukkan (KS-Z = 0,512 p = 0,956), sedangkan untuk sebaran

data keaktifan dalam lembaga kemahasiswaan menunjukkan (KS-Z = 0,753; p

= 0,622), keduanya menunjukkan sebaran data normal. Sebaran data linier

juga ditunjukkan oleh data keaktifan dalam lembaga kemahasiswaan dan

prokrastinasi akademik (F = 2,423 dan p= 0,124). Metode analisis data dalam

penelitian ini menggunakan teknik analisis data Pearson Correlation. Hasilnya

menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara keaktifan dalam

lembaga kemahasiswaan dengan prokrastinasi akademik pada mahasiswa

yang aktif dalam kegiatan lembaga kemahasiswaan yang ada di Universitas

Islam Indonesia (r =-0,151 dengan p = 0,056).

2.5 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Ada pengaruh

yang signifikan kegiatan olahraga terhadap prokrastinasi akademik siswa

kelas XI Teknik Permesinan 3 SMK Muhammadyah Kota Salatiga Tahun

Ajaran 2013/2014.

Anda mungkin juga menyukai