Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Prokrastinasi Akademik

1. Pengertian Prokrastinasi Akademik

Secara etiologis atau menurut asal katanya, istilah prokrastinasi berasal dari

bahasa latin yaitu pro atau forward yang berarti maju, dan crastinus atau tomorrow

yaitu hari esok, ini berarti prokrastinasi adalah maju pada hari esok. Sedangkan

secara etimologis prokrastinasi adalah suatu mekanisme untuk mengatasi

kecemasan yang berhubungan dengan bagaimana cara memulai atau melengkapi

suatu pekerjaan dan dalam hal membuat keputusan (Fiore, dalam Tatan, 2012).

Bangsa Mesir Kuno mengartikan prokrastinasi menjadi dua arti, yaitu

menunjukkan suatu kebiasaan yang berguna untuk menghindari kerja yang penting

dan usaha yang impulsif. Prokrastinasi juga menunjukkan suatu arti kebiasaan yang

berbahaya akibat kemalasan dalam menyelesaikan suatu tugas yang penting untuk

nafkah hidup, seperti mengerjakan ladang ketika waktu menanam sudah tiba. Jadi

pada abad lalu, prokrastinasi berarti positif bila menunda sebagai upaya konstruktif

untuk menghindari upaya kompulsif, tanpa pemikiran yang matang, dan bermakna

negatif bila dilakukan karena malas atau tanpa tujuan yang pasti (Ghufron &

Risnawita, 2010).

Prokrastinasi dalam American College Dictionary (Burka & Yuen, 1983)

berasal dari kata procrastinate yang diartikan menunda untuk melakukan hingga

waktu atau hari berikutnya. Menurut Solomon & Rothblum (dalam Aini &

Mahardayanti, 2011), prokrastinasi adalah suatu kecenderungan untuk menunda

16
17

baik dalam memulai maupun menyelesaikan kinerja secara keseluruhan untuk

melakukan aktivitas lain yang tidak berguna, sehingga kinerja menjadi terhambat,

tidak pernah menyelesaikan tugas tepat waktu, serta sering terlambat dalam

menghadiri pertemuan-pertemuan.

Secara umum prokrastinasi didefinisikan sebagai kecenderungan perilaku

untuk memulai sesuatu dengan lambat dan membawa konsekuensi buruk bagi

penderitanya (Dewitte & Schouwenburg dalam Kartadinata & Tjundjing, 2008).

Pada kalangan ilmuan, istilah prokrastinasi digunakan untuk menunjukkan suatu

kecenderungan menunda-nunda penyelesaian suatu tugas atau pekerjaan

(Zimberoff & Hartman dalam Ghufron & Risanawati, 2010). Menurut Solomon &

Rothblum (dalam Aini & Mahardayanti, 2011), prokrastinasi adalah suatu

kecenderungan untuk menunda dalam memulai maupun menyelesaikan kinerja

secara keseluruhan untuk melakukan aktivitas lain yang tidak berguna, sehingga

kinerja menjadi terhambat, tidak pernah menyelesaikan tugas tepat waktu, serta

sering terlambat dalam menghadiri pertemuan-pertemuan.

Menurut Silver (dalam Ghufron & Risnawita, 2010), seseorang yang

melakukan prokrastinasi tidak bermaksud untuk menghindari atau tidak mau tahu

dengan tugas yang dihadapi. Akan tetapi hanya menunda-nunda untuk

mengerjakannya sehingga menyita waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan

tugas. Penundaan tersebut menyebabkannya gagal menyelesaikan tugasnya tepat

waktu. Ellis dan Knaus (dalam Ghufron & Risnawita, 2010), mengatakan bahwa

prokrastinasi merupakan kebiasaan penundaan yang tidak bertujuan dan proses

penundaan tugas yang sebenarnya tidak perlu dilakukan. Hal ini terjadi karena

adanya ketakutan untuk gagal dan berpandangan bahwa segala sesuatu harus
18

dilakukan dengan benar. Penundaan yang telah menjadi respons tetap atau

kebiasaan dapat dipandang sebagai suatu trait prokrastinasi. Burka dan Yuen

(dalam Gufron & Risnawita, 2010), menegaskan kembali dengan menyebutkan

adanya keyakinan-keyakinan irasional yang dimiliki oleh seorang prokrastinator.

Seorang prokrastinator memiliki pandangan bahwa suatu tugas harus diselesaikan

dengan sempurna sehingga membuatnya merasa lebih aman untuk tidak

melakukannya dengan segera. Karena jika segera mengerjakan tugas akan

menghasilkan sesuatu yang tidak maksimal. Dengan kata lain, penundaan tersebut

sudah merupakan suatu pola yang menetap yang selalu dilakukan seseorang ketika

menghadapi suatu tugas dan penundaan tersebut disebabkan oleh adanya

keyakinan-keyakinan yang irasional dalam memandang tugas-tugas yang penting

dan bermanfaat (sebagai tugas yang primer). Akan tetapi, dengan sengaja menunda-

nunda secara berulang-ulang (kompulsif), hingga muncul perasaan tidak nyaman,

cemas, dan merasa bersalah dalam dirinya.

Suatu penundaan dikatakan sebagai prokrastinasi apabila penundaan itu

dilakukan pada tugas yang penting, berulang-ulang secara sengaja, dan merasa

tidak nyaman secara subjektif dirasakan oleh seorang prokrastinator (Solomon &

Rothblum, dalam Gufron & Risnawita, 2010). Ferrari membagi prokrastinasi

menjadi dua, yakni (1) functional procrastination, yaitu penundaan mengerjakan

tugas yang bertujuan untuk memperoleh informasi yang lebih lengkap dan akurat;

(2) disfuctional procrastination, yaitu penundaan yang tidak bertujuan, berakibat

jelek, dan menimbulkan masalah (Gufron & Risnawita, 2010).

Ada dua bentuk prokrastinasi yang disfunctional berdasarkan tujuan

melakukan penundaan, yaitu decisional procrastination adalah suatu penundaan


19

dalam mengambil keputusan. Bentuk prokrastinasi ini merupakan sebuah anteseden

kognitif dalam menunda untuk melakukan suatu pekerjaan dalam menghadapi

situasi yang dipersepsikan penuh stres. Prokrastinasi dilakukan sebagai bentuk

coping yang digunakan untuk menyesuaikan diri dalam perbuatan keputusan pada

situasi-situasi yang dipersepsikan penuh stres. Jenis prokrastinasi ini terjadi akibat

kegagalan dalam mengidentifikasikan tugas, yang kemudian menimbulkan konflik

dalam diri individu sehingga akhirnya seseorang menunda untuk memutuskan

memutuskan masalah. Decisional procrastination berhubungan dengan kelupaan

dan kegagalan dalam proses kognitif, akan tetapi, tidak berkaitan dengan kurangnya

tingkat intelegensi seseorang. Pada avoidance procrastination atau behavioral

procrastination adalah suatu penundaan dalam perilaku tampak. Penundaan

dilakukan sebagai suatu cara untuk menghindari tugas yang dirasa tidak

menyenangkan dan sulit untuk dilakukan. Prokrastinasi dilakukan untuk

menghindari kegagalan dalam menyelesaikan pekerjaan yang akan mendatang.

Avoidance procrastination berhubungan dengan tipe self presentation, keinginan

untuk menjauhkan diri dari tugas yang menantang, dan impulsive (Ferrari dkk.,

1995).

Prokrastinasi dapat terjadi pada semua area atau jenis pekerjaan (Burka &

Yuen, 1983). Prokrastinasi akademik dan non akademik sering menjadi istilah yang

digunakan oleh para ahli untuk membagi jenis-jenis tugas yang sering dilakukan

oleh prokrastinator (Fibrianti, 2010).

Prokrastinasi non akademik adalah jenis penundaan yang dilakukan pada

jenis tugas nonformal atau tugas yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari,

misalnya tugas rumah tangga, tugas kantor, dan sebagainya. Prokrastinasi akademik
20

adalah jenis penundaan yang dilakukan pada jenis tugas formal yang berhubungan

dengan akademik, misalnya tugas sekolah atau kursus (Ferrari dkk., 1995).

Sedangkan menurut Aitken (dalam Ferarri dkk., 1995), prokrastinasi akademik

adalah jenis penundaan yang dilakukan pada jenis tugas formal yang berhubungan

dengan tugas akademik atau kinerja akademik, misalnya menulis paper, membaca

buku-buku pelajaran, membayar SPP, mengetik makalah, mengikut perkuliahan,

mengerjakan tugas sekolah atau tugas kursus, belajar untuk ujian, mengembalikan

buku ke perpustakaan, maupun membuat karya ilmiah.

Menurut Glenn (dalam Ghufron & Risnawita, 2010) jenis tugas yang sering

menjadi objek prokrastinasi akademik adalah tugas yang berhubungan dengan

kinerja akademik perilaku-perilaku yang dicirikan dalam penundaan tugas

akademik dipilih dari perilaku lainnya dan dikelompokkan menjadi unsur perilaku

akademik. Adapun Sollomon & Rothblum (dalam Ghufron & Risnawita, 2010),

menyebutkan enam area akademik untuk melihat jenis-jenis tugas yang sering

diprokrastinasi oleh pelajar, yaitu tugas mengarang, belajar menghadapi ujian

membaca, kerja administratif, menghadiri pertemuan, dan kinerja akademik secara

keseluruhan.

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa prokrastinasi akademik adalah kecenderungan perilaku untuk

menunda-nunda secara sengaja dan berulang baik dalam memulai maupun

menyelesaikan tugas yang berhubungan dengan tugas akademik, sehingga kinerja

menjadi terhambat, dan tidak dapat menyelesaikan tugas akademik tepat waktu.
21

2. Aspek-aspek Prokrastinasi Akademik

Aspek-aspek prokrastinasi akademik didasarkan pada pendapat Ferarri

dkk., (1995), yang mengatakan bahwa sebagai perilaku penundaan, prokrastinasi

akademik dapat termanifestasikan dalam indikator tertentu yang dapat diukur dan

diamati ciri-ciri tertentu, di antaranya:

a. Penundaan untuk memulai dan menyelesaikan tugas.

Mahasiswa prokrastinator memiliki kecenderungan untuk memulai

maupun menyelesaikan tugas akademiknya.

b. Keterlambatan dalam mengerjakan.

Mahasiswa yang melakukan prokrastinasi akan mengalami

keterlambatan dalam menyelesaikan tugas akademiknya.

c. Kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja aktual dalam

menyelesaikan tugas.

Mahasiswa yang melakukan prokrastinasi akan kesulitan untuk

menyelesaikan tugas akademik dalam batas waktu yang telah

ditentukannya sendiri sebagai target. Mahasiswa memiliki target untuk

menyelesaikan tugas akademik dalam jangka waktu tertentu namun pada

kenyataannya mahasiswa belum dapat menyelesaikan tugas

akademiknya.

d. Melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan daripada

mengerjakan dan menyelesaikan tugas.

Mahasiswa yang melakukan prokrastinasi cenderung untuk

melakukan hal lain yang dianggap lebih menyenangkan. Sehingga tanpa


22

disadari menyita banyak waktu yang seharusnya digunakan untuk

mengerjakan dan menyelesaikan tugas akademiknya.

Millgram (dalam Fibrianti, 2009), berpendapat bahwa prokrastinasi

meliputi empat aspek, yaitu:

a. Melibatkan unsur penundaan, baik untuk memulai maupun

menyelesaikan tugas.

Mahasiswa prokrastinator cenderung tidak segera dan menunda

untuk memulai maupun mengerjakan tugasnya hingga selesai.

b. Menghasilkan akibat-akibat yang lebih jauh, misalnya keterlambatan

menyelesaikan tugas.

Mahasiswa yang memiliki kecenderungan melakukan prokrastinasi

akan lebih mengahdapi deadline karena kehilangan banyak waktu

sehingga mengalami keterlambatan tidak dapat mengerjakan tugasnya

dengan maksimal dan mengalami keterlambatan dalam menyelesaikan

tugasnya.

a. Melibatkan suatu tugas yang dipersepsikan oleh pelaku prokrastinasi

sebagai tugas yang penting untuk dikerjakan.

Mahasiswa mengetahui bahwa pengerjaan dan penyelesaian skripsi

merupakan tugas yang penting. Tetapi mahasiswa cenderung menunda-

nunda dan tidak segera mengerjakan dan menyelesaikan skripsinya dan

bahkan mengerjakan hal lain yang tidak penting.

b. Menghasilkan keadaan emosional yang tidak menyenangkan, misalnya

perasaan cemas, bersalah, marah, dan panik.


23

Mahasiswa secara emosional merasakan ketidaknyamanan dan

diikuti dengan kerisauan karena melakukan prokrastinasi.

Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek

prokrastinasi akademik meliputi penundaan untuk memulai dan menyelesaikan

skripsi, keterlambatan dalam mengerjakan dan menyelesaikan skripsi, kesenjangan

waktu antara rencana dan kinerja aktual, dan melakukan aktivitas lain yang lebih

menyenangkan daripada mengerjakan skripsi, melibatkan suatu tugas yang

dipersepsikan oleh pelaku prokrastinasi sebagai tugas yang penting untuk

dikerjakan, dan menghasilkan keadaan emosional yang tidak nyaman.

Berdasarkan uraian aspek-aspek prokrastinasi di atas, dalam penelitian ini

peneliti menggunakan aspek-aspek prokrastinasi akademik yang dikemukakan oleh

Ferrari dk., (1995), yaitu penundaan untuk memulai dan menyelesaikan skripsi,

keterlambatan dalam mengerjakan dan menyelesaikan skripsi, kesenjangan waktu

antara rencana dan kinerja aktual, dan melakukan aktivitas lain yang lebih

menyenangkan daripada mengerjakan skripsi. Karena keempat aspek tersebut lebih

dapat menggambarkan prokrastinasi yang mengakibatkan keterlambatan dalam

penyelesaian skripsi sehingga menyebabkan kelulusan mahasiswa tertunda sesuai

dengan permasalahan yang dialami oleh mahasiswa yang menjadi subjek dalam

penelitian ini. Penggunaan aspek-aspek tersebut juga didukung oleh penelitian

yang dilakukan oleh Aini dan Mahardayani (2011), tentang kontrol diri dan

prokrastinasi akademik dalam menyelesaikan skripsi yang menemukan hubungan

negatif yang sangat signifikan antara kontrol diri dengan prokrastinasi akademik

dalam menyelesaikan skripsi.


24

3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Prokrastinasi Akademik

Menurut Ferrari (dalam Ghufron & Risnawita, 2010), faktor-faktor yang

mempengaruhi prokrastinasi dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu faktor

eksternal dan faktor internal.

1) Faktor Internal

Faktor internal adalah faktor-faktor yang terdapat dari dalam diri individu

yang dapat mempengaruhi prokrastinasi. Faktor-faktor itu meliputi kondisi fisik

dan kondisi psikologis individu.

a. Kondisi Fisik Individu

Faktor dari dalam diri individu yang turut mempengaruhi

munculnya prokrastinasi akademik adalah keadaan fisik dan kondisi

kesehatan individu, misalnya fatigue. Seseorang yang mengalami fatigue

akan memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk melakukan

prokrastinasi daripada yang tidak. Tingkat intelegensi yang dimiliki

seseorang tidak mempengaruhi perilaku prokrastinasi. Walaupun sering

prokrastinasi disebabkan oleh adanya keyakinan-keyakinan yang irasional

yang dimiliki seseorang.

b. Kondisi Psikologis individu

Menurut Millgram dkk., (dalam Ghufron & Risnawita, 2010), trait

kepribadian individu yang juga turut mempengaruhi munculnya perilaku

penundaan misalnya regulasi diri (self regulation) dan tingkat kecemasan

dalam berhubungan sosial. Besarnya motivasi yang dimiliki seseorang juga

akan mempengaruhi prokrastinasi secara negatif. Semakin tinggi motivasi


25

intrinsik yang dimiliki individu ketika menghadapi tugas, maka semakin

rendah kecenderungannya untuk melakukan prokrastinasi akademik.

2) Faktor Eksternal

Faktor eksternal adalah faktor –faktor yang terdapat dari luar diri individu

yang mempengaruhi prokrastinasi. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Andarini

& Fatma (2013), menemukan bahwa faktor eksternal yang mempengaruhi

prokrastinasi akademik adalah dukungan sosial. Dalam penelitiannya Andarini &

Fatma menemukan bahwa terdapat hubungan negatif yang sangat signifikan antara

dukungan sosial dengan prokrastinasi akademik. Selain itu, menurut Ferarri dkk

(dalam Ghufron & Risnawita, 2010), terdapat berbagai faktor eksternal individu

yang dapat mempengaruhi prokrastinasi, faktor-faktor itu dapat berupa gaya

pengasuhan orang tua dan lingkungan yang kondusif, yaitu lingkungan yang

lenient.

a. Dukungan Sosial

Dukungan sosial dapat diartikan sebagai informasi yang diperoleh

dari orang lain bahwa individu dicintai, diperhatikan, dihargai, dan

dipandang sebagai hubungan dalam komunikasi dan saling

bertanggungjawab. Dukungan sosial juga merupakan sebuah cara untuk

menunjukkan kasih sayang, kepedulian, dan penghargaan untuk orang

lain.

b. Gaya Pengasuhan Orang Tua

Hasil penelitian Ferrari dan Ollivate (1994), menemukan bahwa

tingkat pengasuhan otoriter ayah menyebabkan munculnya

kecenderungan perilaku prokrastinasi yang kronis pada subyek


26

penelitian anak wanita, sedangkan tingkat pengasuhan otoritatif ayah

menghasilkan anak wanita yang bukan prokrastinator. Ibu yang

memiliki kecenderungan melakukan avoidance procrastination

menghasilkan anak wanita yang memiliki kecenderungan untuk

melakukan avoidance procrastination pula.

c. Lingkungan Yang Lenient

Prokrastinasi akademik lebih banyak dilakukan pada lingkungan

yang rendah akan pengawasan daripada lingkungan yang penuh

pengawasan (Millgram dkk, 1992).

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa

faktor yang mempengaruhi prokrastinasi akademik secara garis besar dapat

dikategorikan menjadi dua macam, yaitu faktor internal dan faktor eksternal

individu. Faktor internal individu yang dapat mempengaruhi prokrastinasi

akademik yang akan diteliti penelitian ini adalah regulasi diri, sedangkan faktor

eksternal yang dapat mempengaruhi prokrastinasi yang akan diteliti dalam

penelitian ini adalah dukungan sosial.

Regulasi diri merupakan upaya individu untuk mengatur diri dalam suatu

aktivitas dengan mengikutsertakan kemampuan metakognisi, motivasi, dan

perilaku aktif. Dengan regulasi diri yang baik yang dimiliki seorang mahasiswa

yang sedang mengerjakan skripsi, maka diharapkan mahasiswa mampu

menampilkan serangkaian tindakan yang ditujukan untuk pencapaian target dengan

melakukan perencanaan terarah, mengorganisasikan, memotivasi diri,

meningkatkan kepercayaan diri, menyeleksi sesuatu yang harus didahulukan serta

memanfaatkan lingkungan dengan sebaik-baiknya (Ichsan, 2015). Selanjutnya,


27

melalui dukungan sosial misalnya berupa perhatian, mahasiswa akan lebih

mempunyai kemantapan diri yang baik serta memiliki sikap yang dapat menerima

kenyataan, dapat mengembangkan kesadaran diri, berpikir positif, memiliki

kemandirian, dan mempunyai kemampuan untuk memiliki serta mencapai segala

sesuatu yang diinginkan, sehingga dapat mengurangi perilaku prokrastinasi dalam

mengerjakan skripsi.

B. Regulasi Diri

1. Pengertian Regulasi Diri

Regulasi diri bila dalam bahasa Inggris adalah self regulation. Self artinya

diri dan regulation adalah terkelola. Regulasi diri merupakan salah satu komponen

penting dalam teori kognitif sosial (social cognitive theory). Albert Bandura adalah

orang yang pertama kali mempublikasikan teori belajar sosial pada awal 1960-an.

Pada perkembangannya kemudian diganti namanya menjadi teori kognitif sosial

pada 1986 dalam bukunya berjudul Foundations onf Thought and Action: A social

Cognitive Theory (Ghufron & Risnawita, 2010). Konsep tentang regulasi diri ini

menyatakan bahwa individu tidak dapat secara efektif beradaptasi terhadap

lingkungannya selama tidak mampu membuat kontrol pada proses psikologi dan

perilakunya.

Zimmerman (Ghufron & Risnawita, 2010), berpendapat bahwa regulasi diri

berkaitan dengan pembangkitan diri baik pikiran, perasaan, serta tindakan yang

direncanakan dan adanya timbal balik yang disesuaikan pada pencapaian tujuan

personal. Menurut Schunk & Ertmer (Ghufron & Risnawita, 2010), regulasi diri

merupakan proses yang berputar. Gambaran perputaran ini dilukiskan oleh


28

Zimmerman dengan tiga tahap pengelolaan. Pertama, forethougt phase (pemikiran

sebelumnya), yaitu performansi aktual yang mendahului dan berkenaan dengan

proses pengumpulan langkah untuk suatu tindakan. Kedua, performance vilitional

control phase, yaitu mencakup proses yang terjadi sebelum belajar yang

mempengaruhi perhatian dan perilaku. ketiga, selama self-reflection phase terjadi

setelah performansi individu merespons pada usahanya. Pengertian regulasi diri

yang lain dijabarkan oleh Purdie dkk, teori pengelolaan diri memfokuskan perhatian

pada mengapa dan bagaimana individu berinisiatif dan mengontrol terhadap segala

perilakunya sendiri.

Regulasi diri berkaitan dengan bagaimana individu mengaktualisasikan

dirinya dengan menampilkan serangkaian tindakan yang ditujukan pada pencapaian

target. Menurut Zimmerman (1989), regulasi yang dihasilkan mengacu pada

pikiran, perasaan dan tingkah laku untuk pencapaian target dengan melakukan

perencanaan terarah.

Berdasarkan pengertian regulasi yang telah diuraikan di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa regulasi diri adalah upaya individu untuk mengatur diri dalam

sebuah aktivitas dengan mengikutsertakan metakognisi, motivasi, dan perilaku

aktif. Regulasi diri berkaitan dengan bagaimana individu mengaktualisasikan

dirinya dengan menampilkan serangkaian tindakan yang ditujukan pada pencapaian

target.

2. Aspek-aspek Regulasi Diri

Zimmerman (dalam Ghufron & Risnawita, 2010), berpendapat bahwa

regulasi diri mencakup tiga aspek, yaitu meta kognitif, motivasi, dan perilaku.
29

a. Metakognitif

Metakognisi adalah pemahaman dan kesadaran tentang proses kognitif

atau pikiran tentang berpikir. Selanjutnya zimmerman mengatakan bahwa

metakognisi merupakan suatu proses penting, hal ini dikarenakan pengetahuan

seseorang tentang kognisinya dapat membimbing dirinya mengatur dan menata

peristiwa yang akan dihadapi dan memilih strategi yang sesuai agar dapat

meningkatkan kinerja kognitifnya ke depan (Matlin dalam Ghufron &

Risnawita, 2010). Metakognisi mengacu pada pengetahuan seseorang terhadap

kognisi yang dimilikinya dan pengaturan pada kognisi tersebut ( Flavell dalam

Ghufron & Risnawita, 2010). Selanjutnya Schak (dalam Ghufron & Risnawita,

2010), menambahkan bahwa pengetahuan tentang kognisi meliputi

perencanaan, pemantauan, dan perbaikan dari performansi atau perilakunya.

Zimmerman & Pons 9dalam Ghufron & Risnawita, 2010), menambahkan

bahwa poin metakognitif bagi individu yang melakukan regulasi diri adalah

individu merencanakan, mengorganisasi, mengukur diri, dan menginstruksikan

diri sebagai kebutuhan selama proses perilakunya, misalnya dalam

mengerjakan skripsi.

b. Motivasi

Devi & Ryan (dalam Ghufron & Risnawita, 2010), mengemukakan

bahwa motivasi adalah fungsi dari kebutuhan dasar untuk mengontol dan

berkaitan dengan kemampuan yang ada pada setiap individu. Zimmerman &

Pons (dalam Ghufron & Risnawita, 2010), menambahkan bahwa keuntungan

motivasi ini adalah individu memiliki motivasi intrinsik, otonomi, dan

kepercayaan diri tinggi terhadap kemampuan dalam melakukan sesuatu.


30

c. Perilaku

Perilaku dalam hal ini menurut Zimmerman & Schank (dalam Ghufron

& Risnawita, 2010), merupakan upaya individu untuk mengatur diri,

menyeleksi, dan memanfaatkan maupun menciptakan lingkungan yang

mendukung aktivitasnya. Pada perilaku ini individu memilih, menyusun, dan

menciptakan lingkungan sosial dan fisik seimbang untuk mengoptimalkan

pencapaian atas aktivitas yang dilakukan.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa aspek regulasi

diri terdiri dari metakognisi, yaitu bagaimana individu mengorganisasi,

merencanakan, dan mengukur diri dalam beraktivitas. Motivasi mencakup strategi

yang digunakan untuk menjaga diri atas rasa kecil hati. Berkaitan dengan perilaku

adalah bagaimana individu menyeleksi, menyusun dan memanfaatkan lingkungan

fisik maupun sosial untuk mendukung aktivitasnya.

C. Dukungan Sosial Teman Sebaya

1. Pengertian Dukungan Sosial Teman Sebaya

Gottlib (dalam Smet, 1994), menyatakan bahwa dukungan sosial terdiri dari

informasi atau nasehat verbal maupun non verbal, bantuan nyata atau tindakan yang

diberikan oleh keakraban sosial atau didapat karena kehadiran orang lain dan

memunyai manfaat atau efek perilaku bagi pihak penerima. Sejalan dengan

pendapat tersebut, (Cobb dalam Andarini & Fatma, 2013), mengemukakan

dukungan sosial dapat diartikan sebagai informasi yang diperoleh dari orang lain

seperti keluarga, orang tua, dan teman sebaya yang membuat individu merasa
31

bahwa individu dicintai, diperhatikan, dihargai, dan dipandang sebagai hubungan

dalam komunikasi dan saling bertanggungjawab.

Cohen dan Syme (dalam Puspita, 2012), mendefinisikan dukungan sosial

secara lebih umum yaitu segala sumber daya yang diberikan oleh orang lain.

Dukungan sosial menurut Gibson (dalam Handayani & Anromeda, 2017), adalah

kesenangan, bantuan, yang diterima seseorang melalui hubungan formal dan

informal dengan orang lain atau kelompok. Pierce ( Robert Kail & John Cavanaugh,

2000) mendefinisikan dukungan sosial sebagai sumber emosional, informasional

atau pendampingan yang diberikan oleh orang-orang di sekitar individu untuk

menghadapi setiap permasalahan dan krisis yang terjadi sehari- hari dalam

kehidupan. Dimatteo (2004), mendefinisikan dukungan sosial sebagai dukungan

atau bantuan yang berasal dari orang lain seperti keluarga, teman, tetangga, teman

kerja dan orang- orang lainnya.

Bozo dkk., (dalam Andarini & Fatma, 2013), menyatakan dukungan sosial

dapat melindungi individu dari gangguan kesehatan mental. Dukungan sosial

tersebut dapat diperoleh dari anggota keluarga, teman sebaya, anggota kelompok,

institusi setempat, dan lingkungan sekitar.

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa

dukungan sosial teman sebaya merupakan dukungan informasi baik verbal maupun

non verbal, bantuan langsung atau tidak langsung yang diterima dari teman sebaya

yang membuat mahasiswa merasa diterima dan dicintai. Peneliti memilihi sumber

dukungan sosial dari teman sebaya karena dukungan sosial teman sebaya adalah

yang relevan misalnya bagi mahasiswa perantau yang dapat dikatakan jauh dari

keluarga dan orang tua.


32

2. Aspek-aspek Dukungan Sosial Teman Sebaya

House (dalam Andarini & Fatma, 2013), membagi dukungan sosial menjadi

empat aspek:

a. Dukungan emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan

perhatian terhadap orang yang bersangkutan.

b. Dukungan penghargaan, terjadi lewat ungkapan hormat atau penghargaan

positif untuk orang itu.

c. Dukungan instrumental, mencakup bantuan langsung pada orang

bersangkutan sesuai dengan yang dibutuhkan.

d. Dukungan informatif, mencakup nasehat, petunjuk, saran-saran, atau

umpan balik.

Weiss (dalam Maslihah, 2011), membagi dukungan sosial ke dalam enam

bagian yang berasal dari hubungan dengan individu lain, yaitu: guidance, reliable

alliance, attachment reassurance of worth, social integration, dan opportunity to

provide nurturance. Komponen-komponen itu sendiri dikelompokkan ke dalam 2

bentuk, yaitu instrumental support dan emotional support.

a. Instrumental Support

1) Reliable alliance, merupakan pengetahuan yang dimiliki individu

bahwa dia dapat mengandalkan bantuan yang nyata ketika dibutuhkan.

Individu yang menerima bantuan ini akan merasa tenang karena ia

menyadari ada orang yang dapat diandalkan untuk menolongnya bila ia

menghadapi masalah dan kesulitan.


33

2) Guidance (bimbingan) adalah dukungan sosial berupa nasehat dan

informasi dari sumber yang dapat dipercaya. Dukungan ini juga dapat

berupa pemberian feedback (umpan balik) atas sesuatu yang telah

dilakukan individu.

b. Emotional Support

1) Reassurance of worth; Dukungan sosial ini berbentuk pengakuan atau

penghargaan terhadap kemampuan dan kualitas individu (Cutrona dkk,

dalam Maslihah, 2011). Dukungan ini akan membuat individu merasa

dirinya diterima dan dihargai. Contoh dari dukungan ini misalnya

memberikan pujian kepada individu karena telah melakukan sesuatu

dengan baik.

2) Attachment ; Dukungan ini berupa pengekspresian dari kasih sayang dan

cinta yang diterima individu (Cutrona, dkk, dalam Maslihah, 2011) yang

dapat memberikan rasa aman kepada individu yang menerima.

Kedekatan dan intimacy merupakan bentuk dari dukungan ini karena

kedekatan dan intimacy dapat memberikan rasa aman.

3) Social Integration; Cutrona, dkk. (dalam Maslihah, 2011) dikatakan

dukungan ini berbentuk kesamaan minat dan perhatian serta rasa

memiliki dalam suatu kelompok.

4) Opportunity to provide nurturance; Dukungan ini berupa perasaan

individu bahwa ia dibutuhkan oleh orang lain.

Berdasarkan penjelasan mengenai aspek-aspek dukungan sosial di atas,

dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dukungan sosial adalah dukungan

emosional, penghargaan, instrumental, dan dukungan informasi.


34

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan aspek-aspek dukungan sosial

yang dikemukakan oleh House ( Andarini & Fatma, 2013), yaitu , (1) dukungan

emosional, mencakup ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian terhadap orang

yang bersangkutan, (2) dukungan penghargaan, terjadi lewat ungkapan hormat atau

penghargaan positif untuk orang itu, (3) dukungan instrumental, mencakup bantuan

langsung pada orang bersangkutan sesuai dengan yang dibutuhkan, dan (4)

dukungan informatif, mencakup nasehat, petunjuk, saran-saran, atau umpan balik.

D. Hubungan Antara Regulasi Diri dan Dukungan Sosial Teman Sebaya


dengan Prokrastinasi Akademik dalam Menyelesaikan Skripsi

Adler (dalam Alwisol, 2007), berpendapat bahwa setiap orang memiliki

kekuatan untuk bebas menciptakan gaya hidupnya sendiri-sendiri. Manusia itu

sendiri yang bertanggung jawab tentang siapa dirinya dan bagaimana bertingkah

laku. Manusia memiliki kekuatan kreatif untuk mengontrol kehidupannya,

bertanggung jawab mengenai tujuan finalnya, menentukan cara memperjuangkan

mencapai tujuan itu, dan menyumbang minat sosial. Kekuatan diri kreatif itu

membuat setiap manusia menjadi manusia bebas, bergerak menuju tujuan yang

terarah. Pendapat tersebut menunjukkan bahwa setiap individu pada dasarnya

memiliki kemampuan untuk mengatur dan mengontrol dirinya, tergantung individu

tersebut mengatur kehidupannya dan bertanggung jawab terhadap tingkah lakunya

sendiri yang disesuaikan dengan tujuan hidupnya.

Selama proses pengerjaan dan penyelesaian skripsi, mahasiswa sering

mengalami berbagai hambatan sehingga muncul keraguan dalam diri tentang

kemampuan untuk menyelesaikan skripsinya. Hal ini dipengaruhi oleh keadaan


35

mahasiswa yang dituntut mempertanggung jawabkan karya ilmiah yang telah

menjadi kewajibannya, namun hal itu tidak dapat dilakukan dengan baik karena

munculnya kemalasan sehingga memunculkan prokrastinasi dalam diri mahasiswa.

Zimmerman (1989), berpendapat bahwa regulasi diri berkaitan dengan

pembangkitan diri baik pikiran, perasaan serta tindakan yang direncanakan dan

adanya timbal balik yang disesuaikan pada pencapaian tujuan personal. Aspek atau

komponen yang termasuk dalam pengelolaan diri atau regulasi diri terdiri dari

metakognisi, motivasi dan perilaku.

Aspek-aspek regulasi diri menurut Zimmerman (1989), antara lain

metakognitif. Metakognitif adalah pemahaman dan kesadaran tentang proses

kognitif. Mahasiswa yang memiliki metakognitif akan menyelesaikan tugas dengan

baik. Hal tersebut dapat dilakukan karena mahasiswa mampu merencanakan,

mengorganisasi, dan mengukur dirinya. Misalnya bagaimana mahasiswa mengatur

jadwal pengerjaan skripsi yang kontinum, membaca referensi, dan memiliki target

waktu untuk menyelesaikan skripsi. Dengan adanya metakognisi yang baik itu

maka dapat menekan salah satu aspek prokrastinasi akademik menurut Ferarri

(1995), yaitu menunda baik untuk memulai maupun menyelesaikan tugas (skripsi),

dan menekan kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja sehingga prokrastinasi

dalam menyelesaikan skripsi berkurang.

Aspek regulasi diri yang selanjutnya menurut Zimmerman (1989), adalah

motivasi. Motivasi adalah fungsi dari kebutuhan dasar untuk mengontrol dan

berkaitan dengan kemampuan yang ada pada setiap individu. Dengan adanya

motivasi yang tinggi pada mahasiswa, maka dapat membantu mahasiswa

mengontrol kemampuannya dan memperkuat keinginannya untuk dapat


36

menyelesaikan skripsinya dengan segera. hal ini dapat menekan salah satu aspek

prokrastinasi akademik menurut Ferarri (1995), yaitu penundaan dan keterlambatan

dalam menyelesaikan tugas (skripsi), sehingga dapat juga membantu menurunkan

prokrastinasi akademik dalam menyelesaikan skripsi.

Aspek yang terakhir regulasi diri menurut Zimmerman (1989), adalah

perilaku. Aspek ini terkait dengan upaya mahasiswa untuk menyeleksi, menyusun,

memanfaatkan dan menciptakan lingkungan fisik maupun sosial yang mendukung

aktivitas penyelesaian skripsi. Jika perilaku mahasiswa dapat terarah sesuai dengan

uraian di atas, maka mahasiswa dapat menurunkan tingkat prokrastinasi akademik

dalam menyelesaikan skripsi dengan menekan salah satu aspek prokrastinasi

akademik menurut Ferarri (1995), yaitu melakukan aktivitas lain yang lebih

menyenangkan namun sebetulnya hal tersebut tidak perlu dilakukan karena tidak

memberikan manfaat. Mahasiswa dapat lebih mengarahkan perilakunya untuk

mencapai tujuannya yaitu menyelesaikan skripsi.

Regulasi diri berkaitan dengan bagaimana individu mengaktualisasikan

dirinya dengan menampilkan serangkaian tindakan yang ditujukan pada pencapaian

target. Dengan adanya regulasi diri yang baik, mahasiswa mampu menampilkan

serangkaian tindakan yang ditujukan untuk pencapaian target dengan melakukan

perencanaan terarah, mengorganisasikan, memotivasi diri, meningkatkan

kepercayaan diri, menyeleksi sesuatu yang harus didahulukan serta memanfaatkan

lingkungan dengan sebaik-baiknya (Ichsan, 2015). Sehingga tingkat prokrastinasi

akademik dalam menyelesaikan skripsi dapat diminimalisir.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa regulasi diri besar

pengaruhnya terhadap kecenderungan perilaku prokrastinasi akademik pada


37

mahasiswa dalam menyelesaikan skripsi. Hal tersebut didukung oleh penelitian

yang dilakukan oleh Misdarly, dkk. (2015), yang menemukan hubungan negatif

yang signifikan antara regulasi dan prokrastinasi akademik. Regulasi diri yang

lemah mendorong mahasiswa untuk memiliki kecenderungan melakukan

prokrastinasi akademik. Sebaliknya regulasi yang tinggi dapat membantu

mahasiswa untuk menekan aspek-aspek prokrastinasi akademik sehingga tingkat

prokrastinasi akademik berkurang.

Proses pengerjaan skripsi sering kali diidentikkan dan dipersepsikan oleh

mahasiswa sebagai tugas yang menekan dan menguras pikiran para mahasiswa

sehingga menimbulkan perilaku prokrastinasi. Biasanya pada saat menghadapi

peristiwa-peristiwa yang menekan, seorang individu membutuhkan dukungan

sosial (Cobb dalam Wirandi & Supriadi, 2015). Terbentuknya perilaku

prokrastinasi dalam menyelesaikan skripsi, selain disebabkan oleh faktor internal

juga dipengaruhi oleh faktor eksternal (Ferrari dkk, 1995). Faktor eksternal itu

dapat berupa dukungan sosial. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh

Andarini & Fatma (2013), yang menemukan bahwa terdapat hubungan negatif yang

sangat signifikan antara dukungan sosial dengan prokrastinasi akademik.

Mahasiswa yang ingin menyelesaikan tugasnya selain harus mempunyai

motivasi yang tinggi juga membutuhkan dukungan sosial dari orang-orang di

sekitarnya. Individu membutuhkan dukungan sosial untuk berbagai persoalan yang

dihadapinya. Dukungan sosial tersebut dapat berupa semangat, kepercayaan,

keyakinan, kesempatan untuk bercerita, meminta pertimbangan, bantuan maupun

nasehat guna mengatasi permasalahan yang dihadapi. Menurut Fusiler (Hartanti,

2002), dukungan sosial memberikan perasaan berguna pada individu karena dengan
38

dukungan sosial yang diterima individu merasa dirinya dicintai dan diterima.

Dukungan yang diberikan oleh keluarga, teman dan sahabat serta lingkungan

sekitar diharapkan akan membantu mahasiswa menyelesaikan studinya yang

ditempuhnya secepat mungkin. Dukungan sosial bisa didapatkan dari berbagai

sumber.

Dukungan sosial merupakan bentuk komunikasi verbal maupun nonverbal

antara dua orang atau lebih yang memberi menghadirkan perasaan nyaman pada

mahasiswa dan perasaan mampu mengendalikan keadaan yang dihadapi (Mattson

& Hall, dalam Pradinata & Susilo, 2016). Dukungan sosial teman sebaya yang

diterima mahasiswa dapat berupa perhatian yang dapat memberikan efek positif

secara emosional, penghargaan yang dapat membuat dan mendorong mahasiswa

merasa yakin terhadap kemampuannya, informasi yang dibutuhkan dan bantuan

langsung sehingga kesulitan yang dirasakan oleh mahasiswa berkurang (Mattson &

Hall, dalam Pradinata & Susilo, 2016).

Santrock (dalam Pradinata & Susilo, 2016), menyatakan yang menjadi salah

satu aspek penting bagi mahasiswa adalah dukungan sosial teman sebaya. Hal ini

disebabkan oleh tahap perkembangan pada mahasiswa kebanyakan berada pada

tahap remaja akhir yang memiliki orientasi untuk membangun hubungan sosial

terhadap lingkungan sekitar seperti teman sebaya baik sejenis maupun lawan jenis

(Gunarsa & Gunarsa, dalam Pradinata & Susilo, 2016). Selanjutnya Steel, (dalam

Pradinata & Susilo, 2016), dalam bukunya yang membahas mengenai prokrastinasi

menyarankan agar mahasiswa memperoleh dukungan sosial melalui peer groups

untuk menghindari prokrastinasi akademik. Hal tersebut juga dinyatakan oleh


39

Ferrari (1995), bahwa salah satu faktor eksternal yang memicu prokrastinasi adalah

lemahnya dukungan sosial.

Stres pada mahasiswa dalam pengerjaan tugas-tugas akademik dapat

menyebabkan timbulnya perilaku penundaan pada mahasiswa yang bersangkutan

(Burka & Yuen, 1983). Penundaan atau penghindaran (procrastination or

avoidance) dilakukan individu sebagai suatu bentuk respons mal adaptif dari

problem-focused coping yang digunakan untuk menyesuaikan diri terhadap situasi

yang dipersepsikan penuh stres (Kendall & Hammen, 1998). Penundaan atau yang

lebih dikenal dengan istilah prokrastinasi merupakan salah satu bentuk coping

stress yang tidak efektif karena pada akhirnya akan menyebabkan tingkat stres

meningkat (Tice & Baumeister, 1997). Dukungan sosial mempengaruhi kesehatan

individu dengan memberi perlindungan dalam melawan efek negatif dan stres

tingkat tinggi (Sarafino,1998). Ketika mahasiswa mengalami stres, dukungan sosial

akan mengembangkan “buffers” yang berguna untuk menghadapi stres. Sebuah

penelitian menyatakan bahwa dukungan sosial dapat mengurangi tekanan akibat

aktivitas yang menimbulkan stres pada mahasiswa (Sarafino, 1998).

Dukungan sosial dapat melindungi dari stres akibat tekanan-tekanan

permasalahan yang terjadi, khususnya terhadap stres yang berhubungan dengan

tugas akademik yang dihadapi mahasiswa dalam menyelesaikan skripsi. Dukungan

sosial juga dapat mengurangi stres pada mahasiswa yang diakibatkan oleh

permasalahan yang dialami mahasiswa dalam tugas akademiknya sehingga dapat

mengurangi terjadinya prokrastinasi (Smith & Renk, 2007). Mahasiswa dengan

dukungan sosial yang tinggi akan mempunyai pikiran lebih positif terhadap situasi

yang sulit, seperti saat pengerjaan tugas-tugas akademik bila dibandingkan dengan
40

individu yang memiliki tingkat dukungan sosial yang rendah (Fibrianti, 2009).

Selanjutnya Bozo dkk. (dalam Andarini & Fatma, 2013), menyatakan dukungan

sosial dapat melindungi individu dari gangguan kesehatan mental. Dukungan sosial

tersebut dapat diperoleh dari anggota keluarga, teman sebaya, anggota kelompok,

institusi setempat, dan lingkungan sekitar.

Berdasarkan pernyataan para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa

dukungan sosial seperti dukungan sosial teman sebaya memiliki hubungan dengan

prokrastinasi akademik. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan

oleh Pradinata dan Susilo (2016), yang menemukan hubungan negatif yang

signifikan antara dukungan sosial teman sebaya dengan prokrastinasi akademik.

Karena dengan adanya dukungan sosial teman sebaya, mahasiswa akan menerima

dukungan emosional yang meliputi ungkapan empati, kepedulian, dan perhatian,

dukungan penghargaan, bantuan secara langsung, dan dukungan informatif seperti

nasehat, petunjuk dan umpan balik. Hal-hal tersebut dapat menghadirkan perasaan

positif secara emosional, membuat mahasiswa merasa dicintai dan dihargai, serta

membuat mahasiswa merasa yakin terhadap kemampuannya sehingga dapat

membantu mahasiswa menghindari prokrastinasi akademik.

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini terbagi menjadi satu hipotesis

mayor dan dua hipotesis minor.


41

Hipotesis mayor :

1. Terdapat hubungan antara regulasi diri dan dukungan sosial teman sebaya

secara bersama-sama dengan prokrastinasi akademik dalam menyelesaikan

skripsi.

Hipotesis minor :

2. Terdapat hubungan negatif antara regulasi diri dengan prokrastinasi akademik.

Yang artinya semakin tinggi tingkat regulasi diri maka semakin rendah tingkat

prokrastinasi akademik. Sebaliknya, semakin rendah tingkat regulasi diri maka

semakin tinggi tingkat prokrastinasi akademik.

3. Terdapat hubungan negatif antara dukungan sosial teman sebaya dengan

prokrastinasi akademik. Yang artinya semakin tinggi tingkat dukungan sosial

teman sebaya maka semakin rendah tingkat prokrastinasi akademik.

Sebaliknya, semakin rendah tingkat dukungan sosial teman sebaya maka

semakin tinggi tingkat prokrastinasi akademik.

Anda mungkin juga menyukai