JAKARTA – Belakangan ini dunia pendidikan kembali dihebohkan dengan kasus viralnya
video pemukulan guru terhadap siswa di SMK Kesatrian Purwokerto. Video tersebut
menunjukan seorang guru sedang menampar siswanya, kemudian dilanjutkan dengan video
klarifikasi yang mengisyaratkan ada korban lainnya, yaitu 9 siswanya lainnya. Sekjen
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purno menyampaikan keprihatinanya terhadap
peristiwa ini.
Menyikapi lebih lanjut, Heru mengatakan dalam ketentuan Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 74 Tahun 2008, guru memiliki kebebasan memberikan sanksi kepada peserta
didiknya yang melanggar norma atau peraturan. Sanksi tersebut dapat berupa teguran atau
peringatan, baik lisan maupun tulisan, serta hukuman yang bersifat mendidik sesuai dengan
kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.
“Jadi jelaslah bahwa hukuman dalam bentuk kekerasan fisik maupun verbal tidak dapat
dibenarkan, dan bahkan berpotensi menjadi tindakan pidana, yaitu melanggar Undang-
Undang Perlindungan Anak,” ungkapnya.
Selanjutnya, Heru menuturkan dari pantaun FSGI banyak guru yang beranggapan bahwa
tindakan kekerasan yang dilakukan atas nama mendisiplinkan tidak akan melanggar Hak
Asasi Manusia (HAM), karena merasa setiap orang juga dilindungi HAM. “Tapi guru lupa
bahwa pada saat dirinya bertugas atau mengajar guru adalah representasi negara sesuai UU
No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yang berfungsi sebagai aparatur negara atau pejabat publik
yang wajib menghormati dan melindungi hak asasi orang lain atau muridnya, oleh karena itu
guru tidak sedang dilindungi oleh HAM,” tutup Heru.
Tugas Studi Kasus Pengelolaan Pendidikan Kelompok 11
( Putri Andini, Silvy Aulia Putri dan Siti Nurhaliza)
1. Menurunnya Tren Kasus Covid-19 di Indonesia juga Menurunkan Kualitas
Pembelajaran
(Mahasiswa prodi Pendidikan Agama Islam (PAI), Fakultas Tarbiyah, IAIN Parepare)
OPINI— Pandemi Covid-19 yang menyerang seantero dunia ini telah membawa dampak
yang begitu besar terhadap berbagai aspek kehidupan. Mulai dari aspek kesehatan, sosial
kemasyarakatan, hingga aspek pendidikan. Dampak yang terjadi pun beragam, mulai dari
dampak positif yang sifatnya konstruktif hingga dampak negatif yang sifatnya destruktif.
Salah satu dampak negatif pandemi covid-19 yang terjadi pada aspek pendidikan ialah
terjadinya penurunan kualitas pembelajaran.
Suatu pembelajaran dapat dikatakan berkualitas apabila peserta didik mampu mencapai
tujuan pembelajaran yang telah dirancang sebelumnya, baik dalam ranah pengetahuan, sikap,
ataupun keterampilannya (Daryanto, 2011: 54). Dalam pencapaian tujuan pembelajaran
tersebut, maka diperlukanlah kurikulum sebagai sistem sekaligus juga merupakan pedoman
dalam pelaksanaan suatu pembelajaran (Muhammedi, 2016: 49). Dalam sejarahnya,
kurikulum di Indonesia telah berganti sebanyak 10 kali. Tanpa mengabaikan faktor politik
sebagai faktor penyebab utamanya, pergantian kurikulum ini tentunya dimaksudkan pula
untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.
Hingga saat sebelum terjadinya pandemi, kurikulum nasional yang berlaku ialah Kurikulum
2013 (K-13). Namun pada saat terjadinya pandemi, Nadiem Makarim selaku Mendikbud
memberikan tiga opsi kurikulum yang dapat digunakan oleh sekolah pada kondisi tertentu.
Opsi kurikulum ini antara lain: Tetap mengacu pada kurikulum nasional, menggunakan
kurikulum darurat, dan melakukan penyederhanaan secara mandiri terhadap kurikulum
(Kompas.com, 08/08/2020).
Kini kasus covid-19 di Indonesia sudah tidak sebanyak dengan kasus pekan sebelumnya.
Akan tetapi, apabila dilihat dari skala global maka sesungguhnya pandemi belumlah berakhir
karena jumlah kasus covid-19 akhir-akhir ini meningkat di 85 negara (dw.com, 29/10/2021).
Tugas Studi Kasus Pengelolaan Pendidikan Kelompok 11
( Putri Andini, Silvy Aulia Putri dan Siti Nurhaliza)
1. Peralihan KBM daring ke KBM luring menjadi salah satu penyebab menurunnya
kualitas pembelajaran
Tren kasus covid-19 di Indonesia yang menunjukkan penurunan kasus telah membuat
beberapa sekolah melaksanakan Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) secara luring setelah
hampir dua tahun melaksanakan KBM daring. Alhasil yang menjadi sorotan kemudian
adalah bagaimana kualitas pembelajaran peserta didik, apakah mengalami penurunan atau
peningkatan. Namun dari beberapa sekolah yang penulis pantau, temuan yang ditemukan
ialah terdapat penurunan kualitas pembelajaran yang salah satu penyebabnya adalah
peralihan sistem pembelajaran daring ke luring.
Kebanyakan peserta didik telah terbiasa stagnan saat proses pembelajaran daring berlangsung
ditambah lagi dengan minimnya dorongan untuk membangun konstruksi pemikiran peserta
didik tersebut, dengan kata lain peserta didik hanya menginginkan untuk disuapi. Pernyataan
“iya pak/bu” dan “terimakasih pak/bu” telah menghiasi ruang-ruang dimana KBM daring
dilaksanakan. Peserta didik hanya menyimak materi pelajaran tanpa betul-betul memahami
esensi materi pelajaran yang dipelajarinya. Penerapan metode resitasi/penugasan yang
dianggap sebagai metode terbaik saat KBM daring berlangsung pun tak seindah das sollen
yang diharapkan. Dan kesemuanya ini telah berlangsung selama hampir dua tahun.
Beralihnya KBM daring ke KBM luring tidak serta merta membawa perubahan yang
signifikan dalam kualitas pembelajaran. Hal yang menjadi kebiasaan peserta didik dalam
menyikapi KBM daring di atas ikut terbawa saat KBM luring mulai dilaksanakan kembali.
Kurikulum yang sejatinya menghendaki student-centered learning (pembelajaran berpusat
pada peserta didik) tampaknya sulit untuk direalisasikan secara menyeluruh saat ini
dikarenakan konstruksi berpikir peserta didik yang kurang terasah sehingga tenaga pendidik
selaku salah satu pelaksana kurikulum kesulitan dalam menerapkan metode-metode
pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dan di beberapa kasus lebih memilih
menggunakan metode pembelajaran yang masih berpusat pada guru dan ini merupakan salah
satu indikasi menurunnya kualitas pembelajaran.