Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum kewarisan Islam mendapat perhatian besar, karena soal warisan sering
menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan bagi keluarga yang ditinggal mati
pewarisnya. Naluriah manusia yang menyukai harta benda (QS Ali Imran [3]:14) tidak jarang
memotivasi seseorang untuk menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan harta benda
tersebut, termasuk di dalamnya terhadap harta peninggalan pewarisnya sendiri. Kenyataan
demikian telah ada dalam sejarah umat manusia, hingga sekarang. Terjadinya kasus-kasus
gugat waris di pengadilan, baik di Pengadilan Agama maupun Negeri, menunjukan fenomena
ini.

Turunnya ayat-ayat Al-Qur’an yang mengatur pembagian warisan yang


penunjukannya bersifat pasti (qath’iy al-dalalah) adalah merupakan refleksi sejarah dari
adanya kecenderungan materialistis umat manusia, di samping sebagai rekayasa sosial (social
engineering) terhadap sistem hukum yang berlaku pada masyarakat Arab pra-Islam waktu itu.
Surat Al-Nisa’ [4]:11-12 misalnya, diturunkan untuk menjawab tindakan kesewenang-
wenangan saudara Sa’ad ibn al-Rabi’ yang ingin menguasai kekayaan peninggalannya ketika
Sa’ad tewas di medan peperangan.

Turunnya ayat tersebut, menurut al-Nawawy, merupakan awal penentuan bagian


warisan dalam Islam. Dalam riwayat Ahmad, al-Nasa’i dan al-Daruqutni disebutkan bahwa

Rasulullah SAW. Bersabda:

"Pelajarilah oleh kalian Al-Qur’an dan ajarkanlah kepada orang lain, dan
pelajarilah ilmu faraidh dan ajarkanlah kepada orang lain. Karena aku adalah manusia
yang bakal terenggut (kematian), sedangkan ilmu akan dihilangkan. Hampir dua orang yang
bertengkar tentang pembagian warisan tidak mendapatkan seorang pun yang dapat memberi
fatwa kepada mereka.” (Riwayat Ahmad, al-Nasa’i, dan al-Daruquthni).
Hadits tersebut mengisyaratkan keprihatinan Rasulullah SAW. Bahwa dalam
pembagian warisan atas harta si mati tidak jarang menjadi pemicu terjadinya pertengkaran.
Karena itulah, Islam mengatur agar misi ajarannya dapat memberi rasa keadilan dan
kesejahteraan bagi pemeluknya. Allah mengutus Rasul-Nya adalah untuk menebar rahmat
kepada seluruh penghuni alam ini (QS Al-Anbiya’ [21]:107). Sejauh mana hukum kewarisan
Islam dapat dipahami telah dapat mewujudkan rasa keadilan, memang menuntut kearifan dan
kedalaman pemahaman tersendiri. Karena Islam menentukan bagian yang diterima
perempuan (QS Al-Nisa’[4]:11-12). Untuk itu, memahami hukum kewarisan Islam
diperlukan wawasan kesejarahan, paling tidak sistem sosial dan sistem hukum yang
melingkupi ketika awal Islam diturunkan.1

Kompilasi memperkenalkan sistem kewarisan pengganti kedudukan terdapat dalam


pasal 185 KHI. Ketentuan ini, dibanding dalam hukum kewarisan versi fikih-fikih terdahulu,
merupakan perkembangan baru.2 Kedudukan ahli waris pengganti di Indonesia pernah
menjadi polemik para ahli hukum Islam di Indonesia, yakni antara Hazairin dan Mahmud
Yunus, sehingga sampai kini masih tampak perbedaan pendapat dalam literatur hukum
kewarisan Islam.3 Oleh karena tersebut diatas, Tulisan ini ingin memaparkan terkait
pelaksanaan ahli waris pengganti di indonesia dan ingin membuktikan bahwa maqasid al-
syari’ah dapat dijadikan dasar normatif hukum islam dalam pemberlakuan ahli waris
pengganti pasal 185 KHI.

B. fokus masalah

1. Bagaimana kedudukan hukum ahli waris pengganti di Indonesia?


2. Bagaimana ahli waris pengganti perspektif maqashid al-syari’ah?
3. Bagaimana pelaksanaan ahli waris pengganti di Indonesia?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kedudukan hukum ahli waris pengganti yang berlaku di Indonesia
2. Untuk mengetahui ahli waris pengganti perspektif maqashid al-syari’ah
3. Untuk mengetahui pelaksanaan ahli waris pengganti di indonesia

1
Ahmad rofiq, “hukum perdata islam di indonesia”, (Jakarta: raja grafindo persada, 2013) 282
2
Ibid, 331
3
Zainuddin ali, “pelaksanaan hukum waris di indonesia”, (Jakarta: sinar grafika, 2008) 50
BAB II

PEMBAHASAN

A. kedudukan hukum ahli waris pengganti di Indonesia

Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan yang lebih
tepat adalah perpindahan hak kemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan
siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing (Ps. 171
huruf a KHI).

Secara terminologi, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian


warisan, mengetahui bagian-bagian yang diterima dari harta peninggalan itu untuk setiap ahli
waris yang berhak. Dalam redaksi lain, Hasby Ash-Shiddieqiy mengemukakan, hukum
kewarisan adalah hukum yang mengatur siapa-siapa orang yang mewarisi dan tidak mewarisi,
penerimaan bagian setiap ahli waris dan cara-cara pembagiannya. Berbeda dengan dua
definisi di atas, Wirjono Prodjodikoro menjelaskan, warisan adalah soal apa dan bagaimana
berbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia
meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.

Hukum kewarisan, sering dikenal dengan istilah faraidh, bentuk jamak dari kata
tunggal faraidh, artinya ketentuan. Hal ini karena, bagian-bagian warisan yang menjadi hak
ahli waris telah dibukukan dalam Al-Qur’an. Meskipun dalam realisasinya, sering tidak tepat
secara persis nominalnya, seperti masalah radd atau ‘aul.4

Dari perincian ahli waris dan bagian masing-masing, baik menurut golongan Ahlus
Sunnah atau golongan Syi’ah terlihat bahwa ada ahli waris dengan kedudukan tertentu dan
bagian yang sudah ditentukan dalam Al-Qur’an yaitu anak, ayah, ibu, saudara, suami atau
istri. Kedudukan mereka sebagai ahli waris adalah murni karena hubungannya dengan
pewaris, bukan karena menempati kedudukan ahli waris yang lain. Kelompok ahli waris
dalam bentuk ini dapat disebut ahli waris langsung.
Disamping itu, terlihat pula bahwa di antara ahli yang disebutkan di atas ada yang
berhak menerima warisan disebabkan oleh karena tidak adanya ahli waris yang
menghubungkannya kepada pewaris. Mereka menjadi ahli waris menempati ahli waris
penghubung yang sudah tidak ada lagi itu. Mereka adalah cucu menempati kedudukan anak;
kakek menempati kedudukan ayah; nenek menempati kedudukan ibu; saudara seayah
4
Ahmad rofiq, “hukum perdata islam di indonesia”, (Jakarta: raja grafindo persada, 2013) 281
menempati kedudukan saudara kandung; anak saudara menempati kedudukan saudara;
paman menempati kedudukan kakek; anak paman menempati kedudukan paman.
Ahli waris kelompok terakhir ini, kedudukan dan bagiannya memang tidak dijelaskan
di dalam Al-Qur’an. Kedudukan mereka sebagai ahli waris dan bagiannya dapat dipahami
melalui perluasan pengertian ahli waris yang disebutkan langsung di dalam Al-Qur’an.
Pengertian anak diperluas kepada cucu; pengertian ayah diperluas kepada kakek; pengertian
ibu diperluas kepada nenek (disamping juga penjelas dari sunnah Nabi); pengertian saudara
diperluas kepada anak saudara.
Dari dasar hukum dan cara mereka menjadi ahli waris, mereka dapat disebut sebagai
ahli waris pengganti. Tentang sejauh mana kedudukan mereka sebagai ahli waris dalam
hubungannya dengan ahli waris langsung yang digantikannya, baik dari segi bagian yang
mereka terima atau kekuatan mereka dalam menutup orang lain, tidak ada petunjuknya secara
pasti dalam Al-Qur’an atau dalam hadits Nabi. Dalam hal ini Allah SWT menyerahkan
penyelesainnya kepada akal manusia.

Dari pembahasan tersebut di atas kelihatannya para pemikir dan mujtahid terdahulu
berpendapat bahwa kelompok yang disebut ahli waris pengganti itu, hak yang mereka terima
bukanlah hak yang seharusnya diterima oleh ahli waris yang digantikannya seandainya
mereka masih hidup. Hal ini berarti mereka tidak sepenuhya menggantikan kedudukan ahli
waris yang menghubungkannya kepada pewaris. Mereka menerima hak karena
kedudukannya terhadap pewaris, sebagaimana berlaku pada ahli waris langsung.5

Mencermati bagian-bagian warisan dalam kompilasi, diperoleh kesan bahwa hukum


kewarisan dalam kompilasi hanya mengemukakan secara garis besarnya saja, yang mengacu
kepada persoalan-persoalan yang sering muncul di dalam masyarakat. Dan penyelesaian
akhirnya, kompilasi lebih mengarahkan masyarakat agar menempuh perdamaian dalam
pembagian warisan, atau menyerahkan pembagian itu kepada pengadilan agama.

Kompilasi memperkenalkan sistem kewarisan pengganti kedudukan, dalam pasal 185:

a. Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada pewaris maka kedudukannya dapat
digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173.
b. Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang
sederajat dengan yang diganti.

5
Amir Syarifuddin, “Hukum Kewarisan Islam”, (Jakarta: kencana, 2008) 270
Ketentuan ini, dibanding dalam hukum kewarisan versi fikih-fikih terdahulu,
merupakan perkembangan baru. Dalam hukum kewarisan Islam yang berkembang di
Indonesia, atau meminjam komentar Hazairin atas fikih Syafi’i, keberadaan ahli waris
pengganti lebih banyak diposisikan sebagai dzawi al-arham. Yaitu kerabat yang memiliki
hubungan darah, tetapi karena posisinya yang tidak ditentukan untuk menerima bagian maka
ia tidak berhak mendapatkannya. Lebih-lebih kalau ahli waris yang menghubungkannya
kepada yang telah meninggal itu adalah garis perempuan, jadilah ia dzawi al-arham.
Perhatikan diagram ini:
1. Keterangan:
P
P = pewaris
A = anak perempuan meninggal terlebih dahulu

A B B = anak perempuan ½ + radd (kembaran)


C = cucu laki-laki garis perempuan, dzawi al-arham

2. P Keterngan:
P = pewaris
D = anak perempuan 1/2
D E
E = anak laki-laki meninggal terlebih dahulu
F = cucu perempuan garis laki-laki 1/6 (sebagai pelengkap 2/3)

3. P Keterangan:
P = pewaris
G = anak laki-laki menerima seluruh harta (sisa)
G H H = anak laki-laki meninggal lebih dahulu
I = cucu laki-laki garis laki-laki mahjub

I
Pada diagram tersebut, apabila diselesaikan menurut kompilasi, atau mawali dalam
term yang digunakan Hazairin, maka bagian yang diterima oleh ahli waris pengganti, yang
sedianya jika dari garis perempuan dzawi al arham adalah:
1. C = (cucu laki-laki garis perempuan) menerima 1/3 atau separuh dari bagian dua anak
perempuan 2/3.
B = menerima 1/3
2. D = 1/3
F= 2/3 (bagian maksimal) karena anak laki-laki menerima dua kali bagian perempuan.
3. G = menerima ½
I = menerima ½
Dasar hukum penyelesaian pembagian warisan bagi ahli waris pengganti didasarkan
pada firman Allah SWT surat An-Nisa’ ayat 33:
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib
kerabat, kami jadikan pewaris-pewarisnya. (QS An-Nisa’ [4]:33).”

Hazairin menerjemahkan ayat tersebut sebagai berikut: “Bagi mendiang anak, Allah
mengadakan mawali sebagai ahli waris dalam harta peninggalan ayah atau mak dan bagi
mendiang aqrabun, Allah mengadakan mawali sebagai ahli waris dalam harta peninggalan
sesama aqrobunnya”.
Lebih lanjut Hazairin menjelaskan : ” Saya berpendapat bahwa maksud “mengadakan
mawali untuk si Fulan” itu ialah bahwa bagian si Fulan, yang akan diperolehnya, seandainya
dia hidup, dari harta peninggalan itu, dibagi-bagikan kepada mawali nya itu, bukan sebagai
ahli warisnya tetapi sebagai ahli waris – ahli waris bagi maknya atau ayahnya yang
meninggalkan harta itu”.

Dengan demikian, bagian yang diterima oleh ahli waris pengganti, bukan karena
statusnya sebagai ahli waris yang memiliki hubungan langsung dengan si pewaris, tetapi
semata-mata karena harta yang diterima itu, sedianya merupakan bagian yang diterima ayah
atau ibunya.6

Sebagai contoh adalah kasus ahli waris yang terdiri dari seorang anak perempuan
yang mengurus kepentingan ayahnya dalam keadaan sakit atau senang, cucu perempuan
melalui anak laki-laki yang sama sekali belum mengenal kakeknya yang ayahnya telah lebih
dahulu meninggal. Maka menurut cara penggantian, ahli warisnya adalah anak perempuan
dan cucu yang menggantikan ayahnya (anak laki-laki). Bagian masing-masing adalah:
 Untuk anak perempuan adalah1/3 dari harta yang ditinggalkan. Untuk cucu
perempuan adalah 2/3 (hak anak laki-laki yang digantikan).

6
Ahmad rofiq, “hukum perdata islam di indonesia”, (Jakarta: raja grafindo persada, 2013), 330
 Pertanyaannya: apakah ini adil, anak perempuan yang paling berjasa terhadap kakek si
pemilik harta menerima separuh dari cucu yang sama sekali tidak tahu-menahu
dengan si kakek? Bandingkan bila dibagi menurut hukum kewarisan islam atau fikih:
 Untuk cucu perempuan:1/6 (bersama dengan seorang anak perempuan)
 Untuk anak perempuan: ½ kemudian sisanya sebanyak 1/3 untuk anak dengan hak
radd, keseluruhannya menjai 5/6.
Rasanya ini cukup adil terhadap anak perempuan dan tidak zalim terhadap cucu
karena ia masih berhak meskipun tidak berjasa.
Dari penjelasan tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa penerapan penggantian
adalah hasil ijtihad yang dapat diterapkan bila keadilan mengkehendaki dan cara apapun yang
diikuti tidak melanggar hal yang pokok dalam islam. Bila keadilan mengkehendaki dalam
keadaan tertentu plaat svervulling yang diberlakukan dan dalam keadaan lain bila keadailan
mengkehendaki penggantian versi fikih yang dilakukan.7
Seorang anak atau lebih dari seorang, baik laki-laki maupun perempuan yang
menggatikan kedudukan orang tuanya sebagai ahli waris, pewarisnya ditentukan dalam garis
hukum Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 33a, b, dan c. Garis hukum tersebut, mengatur ahli
waris pengganti (mawali) bagi harta warisan ibu-ayah, bagi harta warisan keluarga dekat, dan
bagi harta warisan tolan seperjanjian. Namun, bagian masing-masing ahli waris pengganti itu
merujuk kepada ketentuan Al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 11, 12, dan 176.
Kedudukan ahli waris pengganti di Indonesia pernah menjadi polemik para ahli
hukum Islam di Indonesia, yakni antara Hazairin dan Mahmud Yunus, sehingga sampai kini
masih tampak perbedaan pendapat dalam litelatur hukum kewarisan Islam. Misalnya, H.M.
Tahir Azhary pada prinsipnya sependapat dengan Hazairin bahwa cucu laki-laki dan cucu
perempuan melalui anak laki-laki dan anak perempuan menggantikan kedudukan orang
tuanya yang lebih dahulu meninggal dari pewarisnya. Berbeda dengan uraian H. Umar
Syihab yang pada prinsipnya cenderung sependapat dengan Ibn Qudamah dan Ibn Hazm
mengenai ahli waris pengganti. Ibn Qudamah berpendapat bahwa cucu laki-laki dan cucu
perempuan melalui anak perempuan yang meninggal lebih dahulu dari orang tuanya tidak
mendapat bagian harta warisan karena bukan termasuk ahli waris pengganti.8
Yang dimaksud penggantian disini adalah ahli waris dzaul arham menerima hak
kewarisan menurut apa yang diterima oleh ahli waris terdekat yang menghubungkannya
kepada pewaris, baik ia sebagai dzaul furudh atau sebagai ashabah. Pendapat ini dipegang

7
Amir Syarifuddin, “Hukum Kewarisan Islam”, (Jakarta: kencana, 2008) 275
8
Zainuddin Ali, “Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) 50
oleh ulama Hambali dan berlaku pula di kalangan ulama Maliki dan ulama Syafi’I mutaakhir.
Golongan yang berpendapat seperti ini dalam fikih disebut ahlu at-tanzil. Cara pewarisan
menurut sistem penggantian ini, ialah yang dalam BW disebut kewarisan “bij
plaatsvervullings”.9
Garis pokok penggantian dalam hukum kewarisan Islam ditentukan oleh Al-Qur’an
surah An-Nisa’ ayat 33 bahwa “ hubungan pertalian darah antara orang tua (ayah atau ibu)
dengan anaknya disatu pihak, dan hubungan anak dengan orang tuanya di lain pihak sebagai
hubungan paling dekat (akrab). Demikian juga hubungan seoorang kakak dengan adiknya
atau hubungan adik dengan kakaknya (hubungan bersaudara) saling mewarisi bila salah
seorang meninggal dengan tidak meninggalkan anak dan orang tua di satu pihak. Di lain
pihak hubungan antara kakak dengan adiknya atau hubungan adik dengan kakaknya tidak
saling mewarisi bila salah seorangg meninggal dengan meninggalkan anak (keturunan) dan
orang tua (ayah atau ibu).
Hubungan darah tersebut, membentuk konsekuensi saling menggantikan kedudukan
sebagai subjek dan objek dalam peristiwa kewarisan. Misalnya seorang anak sebagai ahli
waris meninggal lebih dahulu dari pewaris (ayahnya), kedudukannya sebagai ahli waris
digantikan oleh keturunannya yang menjadi ahli waris ayahnya itu (kakek). Demikian juga,
bila ayah atau ibu sudah meninggal dunia lebih dahulu, kedudukannya dapat digantikan oleh
ayahnya atau ibunya (kakek atau nenek pewaris) menjadi ahli waris.
Ahli waris kelompok ketiga disebut dzawul arham oleh Ahlus sunnah, disebut mawali
atau ahli waris pengganti oleh Hazairin. Dzawul arham menurut Ahlus sunnah laki-laki dan
perempuan tidak berlaku ketentuan bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang
perempuan pada kasus tertentu. Misalnya, cucu perempuan melalui anak perempuan yang
orang tuanya meninggal lebih dahulu dari kakeknya dimasukkan kelompok dzawul arham,
sedangkan menurut Hazirin, dalam kasus yag demikian kakek dan nenek ke atas, para
anggota garis sisi pertama, kedua, ketiga, dan seterusnya beserta keturunan mereka, baik laki-
laki maupun perempuan dimasukkan dalam kelompok mawali atau ahli waris pengganti dan
berlaku ketentuan bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan.
Demikian juga dalam seleksi kelompok ahli waris, Hazairin menggunakan hukum
keutamaan, sedangkan Ahlus sunnah pada hakikatnya menggunakan hukum selektif dalam
pengelompokan ahli waris.
Ahli waris kelompok ketiga yang disebutkan diatas, bila penulis bandingkan
pelaksanaanya di Kabupaten Donggala dengan pelaksanannya di negara yang penduduknya
9
Amir Syarifuddin, “Hukum Kewarisan Islam”, (Jakarta: kencana, 2008) 250
mayoritas muslim di dunia, maka tampak persesuaiannya dalam hal kepewarisan (mawali
istilah Hazairin dan dzawul arham istilah ahlus sunnah). Persesuaian itu terjadi disebabkan
oleh sumber hukum kewarisan Islam, yaitu Al-Qur’an dan hadits Rasulullah berlaku
universal dalam masyarakat msulim, baik di negara Islam maupun di negara non- Islam.
Meskipun terdapat persesuaian dalam banyak hal, tampak pula perbedaan dalam cara atau
dengan status (terhalangnya) cucu-cucu pewaris yang ayah atau ibu mereka meninggal lebih
dahulu dari pewaris untuk menerima harta warisan apabila pewaris tersebut mempunyai
seorang anak laki-laki atau dua orang anak perempuan; pendapat mazhab-mazhab itu didasari
oleh pemikiran bahwa tertutupnya lapisan kedua dari keturunan garis lurus ke bawah seorang
anak laki-laki atau dua orang anak perempuan dari lapisan pertama karena mereka dekat
kepada pewaris dari segi tingkatannya. Di pihak lain mengacu pada golongan syiah, Hazairin,
dan murid-muridnya yang berpendapat bahwa anak laki-laki dan anak perempuan melalui
anak pewaris yang meninggal lebih dahulu dari si pewaris menggantikan kedudukan ayah
atau ibunya yang sudah meninggal untuk menerima warisan dari pewarisnya (istilah Hazairin
ahli waris pengganti). Pedapat mereka didasari oleh penafsiran kata mawali dalam Al-Qur’an
Surah An-Nisa’ ayat 33, yaitu terdapat ahli waris pengganti, bagi ayah, ibu, dan anak. Selain
itu, mereka menafsirkan kata walad dalam pengertian anak dan keturunannya.

Selain perbedaan tersebut, juga disebabkan oleh perbedaan hasil ijtihad dari para
mujtahid itu di suatu tempat dengan tempat lainnya dan perbedaan budaya hukum ( legal
culture) yang berlaku di suatu waktu dan tempat lainnya. 10 Masyarakat muslim yang
mendiami Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelesaikan kedudukan ahli waris
pengganti berdasarkan pasal 185 Kompilasi Hukum Islam melalui instruksi presiden tanggal
10 juni 1991.

B. Ahli waris pengganti perspektif maqashid al-syari’ah

Pada prinsipnya, maslahat dunia dan mafsadatnya bisa diketahui dengan akal pikiran
manusia, sehingga begitu pula perintah dan larangan Allah Swt, bisa dipahami oleh hamba
karena perintah dan larangan Allah tersebut di bangun di atas maslahat. Allah menjelaskan

10
Zainuddin Ali, “Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) 61
hal ini secara eksplisit dalam beberapa firmannya, diantaranya firman Allah Swt dalam surah
Al-A’raf (7): 157 dan juga surah Al-A’raf (7): 33.

Asy-Syatibi menyebutkan beberapa hal untuk mengenali maqashid syari’ah, yaitu:

1. Memahami maqashid syari’ah sesuai dengan ketentuan bahasa arab karena nash-nash
Al-qur’an dan Al-hadits menggunakan bahasa arab.
2. Memahami al-awamir wa an-nawahi (perintah dan larangan) Allah Swt, karena
dibalik perintah atau larangan terkandung maksud dan tujuan.11
Dari definisi yang juga disampaikan asy-syatibi bahwa maslahat adalah setiap perkara
yang memberikan kemanfaatan dan menghapus kemudharatan. Maka penulis bisa
menyimpulkan: “setiap maqashid (tujuan) dalam maqashid syariah adalah setiap maslahat
baik berupa manfaat yang dicapai atau madharat yang dihindarkan, jadi substansi maqashid
syariah adalah maslahat”.
Harus diakui bahwa ahli waris pengganti tidak dikenal dalam fikih yang ditulis oleh
para ulama. Ia merupakan produk hukum baru yang bertujuan agar para cucu pancar
perempuan beroleh hak kewarisan dikarenakan selama ini mereka masuk dalam dzawul
arham. Sementara para cucu pancar lelaki beroleh hak kewarisan. Kenyataan ini sebenarnya
juga merupakan produk ijtihad ulama klasik sebagaimana yang mereka sepakati.
Ketentuan terhadap para cucu perempuan tidak beroleh hak kewarisan atau hanya
dimasukkan dalam dzawul arham juga tidak ditemukan dalam teks al-quran maupun as-
sunnah seperti halnya adanya produk hukum baru seperti ahli waris pengganti. Fakta tersebut
membuktikan bahwa persoalan kewarisan pada bagian tertentu sesungguhnya tidak lepas dari
produk ijtihad. Dalam konteks inilah, kemaslahatan sebagai prinsip dari maqashid syari’ah
dilibatkan untuk membuat fakta bahwa ahli waris pengganti diadakan bertujuan agar para
cucu pancar perempuan beroleh hak kewarisan sebagaimana layaknya para cucu pancar lelaki
baik ia lelaki atau perempuan. Berdasar itu pula bahwa anggapan ahli waris pengganti dalam
pasal 185 KHI adalah pemikiran Hazairin yang mengadopsinya dari B.W sebenarnya tidak
tepat. Hal ini dikarenakan sistem ahli waris pengganti dalam KHI masih berbeda dengan
kehendak Hazairin maupun yang ada pada B.W yang dikenal dengan ahli waris pergantian
(bij plaatsvervulling).
Studi maqashid syariah bila diterapkan pada masalah ahli waris pengganti dapat
dilihat dari dua segi, pertama menemukan maqashid al-syariah di antara teks al-quran tentang

11
Oni sahroni dan Adiwarman A, “maqashid bisnis dan keuangan islam: sintesis fikih dan ekonomi”, (Jakarta:
RajaGrafindo persada, 2016) 47
kewarisan nasabiyah, kedua memahaminya sebagai produk ijtihad karena kepentingan
maslahat dengan model istinbath maqasid al-syari’ah. Di sini hasilnya adalah berwujud al-
fiqh senagai produk ijtihad.
Anak turun kebawah merupakan anak turun langsung yang harus dipelihara,
dilindungi keberadaan mereka (hifz al-nasl) melewati perlindungan atau pemeliharaan harta
(hifz al-mal). Di sini maqasid al-syari’ah menjadi terlihat sekali sebagaimana maksud dari
ayat kewarisan Q.S. Al-Nisa: 9.

Dalam konteks demikian, Maqasidh Al syariah yang terkandung pada ayat tersebut
amat jelas betapa harta diperlukan sebagai alat maslahah bagi para keturunan. Keberadaan ini
pula yang diistilahkan oleh Syathibi dalam penjelasan Ahmad al raisuni dengan istilah
mewujudkan kemaslahatan, memelihara, melindungi manusia. Ini relevan dengan maksud
dari norma yang ada pada pasal 185 Kompilasi Hukum Islam yang dapat dikatakan sebagai
produk hukum yaitu al fiqh. Pasal 185 yaitu berbunyi (1) ahli waris yang meninggal lebih
dahulu dari pada sipewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali
mereka yang tersebut dalam pasal 173. (2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi
dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Agar tidak terjadi multi tafsir terhadap pasal 185 KHI di atas, di samping untuk
menyempurnakan materi Pasal tersebut maka perlu di muat aturan setidaknya pada
penjelasan pasal 185 KHI sebagai berikut :

(1) ahli waris pengganti hanya berlaku untuk anak turun ke bawah, tidak untuk menyamping
maupun ke atas.

(2) kelelakian orang yang digantikan akan digantikan oleh ahli waris pengganti sesuai jalur
pancar lelaki. Demikian pula keperempuannya orang yang digantikan akan digantikan oleh
ahli waris pengganti sesuai jalur pancar perempuan.

(3) Para ahli waris pengganti hanya memperoleh sisa bagian fard dari orang yang sederajat
yang diganti yakni ahli waris langsung. Perngertian yang sederajat adalah anak-anak
langsung dari mayyit yaitu laki-laki atau perempuan atau sedemikian rupa secara bertingkat.

(4) Bila bersama mereka ada anak lelaki langsung pewaris maka dibuatlah taksiran seolah ada
saudaranya yang hidup dengan tetap menggunakan sistematika ashabah yaitu anak lelaki
langsung diikuti oleh jalur pancar-pancar perempuan berdasar asas berimbang dua banding
satu antara lelaki dengan perempuan.
(5) Jika tidak ada waris lain kecuali para cucu pancar lelaki dan pancar perempuan, maka
mereka bersama-sama memperoleh bagian sesuai jalur pancar mereka, yaitu pancar lelaki
pada jalur pancar lelaki dan perempuan sedang sesama pancar berbagi dua banding satu
antara lelaki dengan perempuan.

Merealisasikan Maqashid al Syariah dalam konteks kewarisan ini hanya terbatas pada
kemampuannya untuk mengetengahkan konsep ayat-ayat kewarisan dalam tujuannya pada
kemaslahatan kekerabatan terutama yang berhubungan genetik (nasabiyah). Konsep ini tak
menjadikan suatu pertentangan dengan teks Al-Alqur'an . Meskipun ia terlihat melampaui
dari suatu kajian istinbath usul fiqih yang sering berkutat pada semiotika kebahasaan. Ia
merupakan model terapan baru mencoba pada sisi lain dari kajian usul fikih. Hal ini
ditegaskan oleh jasser auda bahwa Maqashid al-Syari'ah bukan bagian dari ilmu. Usul fiqih
yang sering terfokus pada kajian lahiriah teks. Dengan demikian pula, pendapat yang
menyatakan bahwa aturan tentang ahli waris pengganti tidak didasarkan pada ketentuan Al-
Qur'an adalah keliru. Melewati kajian Maqashid al - Syari'ah terlihat jelas betapa aspek dari
tujuan Al-Qur'an dapat disikapi dan direalisasikan untuk memelihara keturunan, perlindungan
diri mereka melewati pemberian hak kewarisan (hifz al-nasl wa al- mal).12

C. Pelaksanaan ahli waris pengganti di Indonesia

Apabila hukum waris dalam pelaksanaan dibicarakan, penulis mengungkapkan salah


satu wilayah kabupaten di Indonesia, yaitu kabupaten Donggala untuk dijadikan studi kasus.
Dalam menguraikan pelaksanaan hukum kewarisan dimaksud terkhusus kepada pelaksanaan
ahli waris pengganti dapat diungkapkan berdasarkan contoh putusan yang dikeluarkan oleh
Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama.
Kedudukan cucu, baik cucu melalui anak laki-laki maupun cucu melalui anak
perempuan yang lebih dahulu meninggal dari pewarisnya dalam pelaksanaan pembagian
harta warisan adalah ahli waris pengganti, yang menggantikan kedudukan orang tuanya (baik
ayahnya maupun ibunya) yang lebih dahulu meninggal dari pewarisnya. Putusan pengadilan
negeri dan pengadilan agama di kabupaten donggala yang salah satu contoh putusannya akan
diuraikan, menetapkan bahwa cucu sebagai ahli waris pengganti dari orang tuanya yang lebih
dahulu meninggal dari pewarisnya. Putusan itu diantanya:
1) Mia v. H. Toni, putusan nomor 31/Pdt.G/1990/Pn. Palu, 24 september 1990.
2) Ardan cs v. Hj. Hapipa cs, Putusan Nomor 59/Pdt.G/1992/Pn. Palu, 29 Maret 1993
12
Akhmad Sukris Sarmadi, ahli waris pengganti pasal 185 KHI dalam perspektif Maqashid Al-Syari’ah, (Al-
manahij: Vol. VII No. 1, 2013) 69
3) Tasmiah v. H. Rusni H. Kando cs, Putusan Nomor 32/Pdt.G/1993/Pn. Palu, 28 September
1993.
4) Abdul hay v. Djunuddin bin Tabogo, putusan pembagian harta warisan Nomor
189/Pdt.G/1991/PA. Palu, 14 Agustus 1991
5) Maryam v. Husen cs, putusan pembagian harta warisan Nomor 79/Pdt.G/1993/PA. Palu,
28 Juli 1993.
Putusan pengadilan negeri dan pengadilan agama di kabupaten donggala mencerminkan
persesuaian mengenai kedudukan cucu sebagai ahli waris pengganti dari orang tuanya yang
lebih dahulu meninggal dari pewaris.13
Maryam v. Husen cs, putusan pembagian harta warisan Nomor 79/Pdt.G/1993/PA. Palu,
28 Juli 1993. Maryam dalam perkara ini anak perempuan melalui saudara perempuan yang
meninggal lebih dahulu dari pewarisnya; sedang Husen cs adalah saudara sekandung Zainab
(ibu Maryam) yang menguasai harta peninggalan saudaranya (Talha). Oleh karena itu,
Maryam menggugat husen cs berdasarkan hukum islam ke pengadilan agama kabupaten
donggala untuk memperoleh hak warisannya.
Pada gugatan tersebut, dinyatakan bahwa Talha meninggal tahun 1975 di banawa.
Ahli waris yang ditinggalkannya terdiri atas 2 (dua) orang saudara laki-laki, seorang anak
perempuan melalui saudara perempuan pertama yang meninggal lebih dahulu dari
pewarisnya, 2 (dua) orang anak perempuan bersama seorang anak laki-laki melalui saudara
perempuan kelima yang meninggal lebih dahulu dari pewarisnya, 3 (tiga) orang anak laki-laki
bersama 3 (tiga) orang anak perempuan melalui saudara laki-laki ketujuh yang meninggal
lebih dahulu dari pewarisnya; harta warisan yang ditinggalkannya terdiri atas kebun kelapa
245 pohon, tanah sawah 11.024 m2, dan sebuah rumah tempat tinggal bersama tanahnya.
Harta warisan itu, penggugat belum memperoleh warisannya dan dikuasai oleh saudara laki-
laki dan saudara perempuan pewaris. Tergugat menguasai harta tersebut dan tidak
memberikan kepada penggugat karena termasuk ahli waris yang diungkapkan oleh hokum
adat lama daomo nimana tomate atau dzawul arham ala ahlussunnah, hubungan pewaris
dengan ahli waris mempunyai kekerabatan.

Berdasarkan gugatan penggugat dan jawaban tergugat serta keterangan saksi-saksi


dan bukti-bukti dalam persidangan, terungkap bahwa penggugat belum memperoleh harta
warisan. Oleh karena itu, hakim memutuskan bbahwa penggugat dan tergugat mendapat
bagian harta warisan berdasarkan ketentuan hokum kewarisan islam, yaitu bagian seorang

13
Zainuddin Ali, “Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia”, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008) 227
anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan, dan bagian ahli waris
pengganti sama dengan bagian yang diterima oleh ahli waris yang digantikan bila ia masih
hidup. Pengadilan agama Palu, putusan pembagian harta warisan Nomor 79/Pdt.G/1993/PA.
Palu, mempunyai pertimbangan hokum: Alquran Surah An-nisaa’ ayat 176, pasal 49 Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989, dan pasal 184, 185 Kompilasi Hukum Islam.14

14
Ibid, 220
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Kompilasi memperkenalkan sistem kewarisan pengganti kedudukan terdapat dalam


pasal 185 KHI. Ketentuan ini, dibanding dalam hukum kewarisan versi fikih-fikih terdahulu,
merupakan perkembangan baru. Keberadaan ahli waris pengganti lebih banyak diposisikan
sebagai dzawi al-arham. Bila keadilan mengkehendaki dalam keadaan tertentu plaat
svervulling yang diberlakukan dan dalam keadaan lain bila keadilan mengkehendaki
penggantian versi fikih yang dilakukan.

Setiap maqashid (tujuan) dalam maqashid syariah adalah setiap maslahat baik berupa
manfaat yang dicapai atau madharat yang dihindarkan, jadi substansi maqashid syariah
adalah maslahat. Dengan demikian pula, pendapat yang menyatakan bahwa aturan tentang
ahli waris pengganti tidak didasarkan pada ketentuan Al-Qur'an adalah keliru. Melewati
kajian Maqashid al - Syari'ah terlihat jelas betapa aspek dari tujuan Al-Qur'an dapat disikapi
dan direalisasikan untuk memelihara keturunan, perlindungan diri mereka melewati
pemberian hak kewarisan (hifz al-nasl wa al- mal).

Dalam menguraikan pelaksanaan hukum kewarisan dimaksud terkhusus kepada


pelaksanaan ahli waris pengganti dapat diungkapkan berdasarkan contoh putusan yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Donggala sebagai studi kasus..
Putusan pengadilan negeri dan pengadilan agama di kabupaten donggala mencerminkan
persesuaian mengenai kedudukan cucu sebagai ahli waris pengganti dari orang tuanya yang
lebih dahulu meninggal dari pewaris.
DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainuddin. 2008. Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta.
Rofiq, Ahmad. 2013. Hukum Perdata Islam di Indonesia. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Sahroni, Oni dan Adiwarman A. 2016. Maqashid Bisnis dan Keuangan Islam: Sintesis Fikih
dan Ekonomi. RajaGrafindo Persada. Jakarta.
Sarmadi, Akhmad Sukris. 2013. Ahli Waris Pengganti pasal 185 KHI dalam Perspektif
Maqashid Al-Syari’ah. Al-manahij. Vol. VII No. 1
Syarifuddin, Amir. 2008. Hukum Kewarisan Islam. Kencana. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai