Modul Toleransi Dalam Keberagaman (Instruktur) Ok
Modul Toleransi Dalam Keberagaman (Instruktur) Ok
S esi perkenalan tidak hanya berisi perkenalan dari seluruh peserta, panitia,
fasilitator dan narasumber, tetapi juga sekaligus dijadikan sarana untuk
membangun suasana keakraban, keterbukaan, kesetaraan (musawah) dan
kebersamaan. Acara perkenalan seperti ini penting dilakukan karena diantara para
peserta, panitia, fasilitator, dan narasumber belum kenal, sehingga masih ada
sekat-sekat diantara mereka. Disamping itu, satu sama lain belum bisa bersikap
terbuka dan saling percaya serta masih dibebani oleh kecurigaan dan perasaan
superior dan inferior akibat adanya hirarkhi sosial yang dibawa dari tempat
masing-masing. Acara perkenalan ini juga dapat difungsikan sebagai proses awal
untuk masuk ke materi pelatihan secara umum.
Tujuan
Di akhir sesi perkenalan ini peserta diharapkan :
1. Terbangun suasana akrab, cair, terbuka dan saling percaya satu sama lain
sehingga memudahkan dalam proses-proses selanjutnya;
2. Peserta, panitia, fasilitator, dan narasumber bisa saling mengenal satu sama
lain, baik persamaan maupun perbedaan-perbedaannya;
3. Tumbuh rasa setara diantara mereka, tidak ada yang lebih superior maupun
inferior;
4. Tumbuh suasana dinamis, aktif dan partisipatif dalam mengemukakan
pendapat, bertanya, maupun berargumentasi; dan
5. Seluruh peserta sudah memiliki kesiapan mental untuk memasuki pelatihan.
Pokok Bahasan
1. Persiapan menuju materi pelatihan;
2. Perkenalan seluruh peserta, panitia, fasilitator dan nara sumber;
3. Identifikasi masalah yang terkait dengan materi pelatihan.
Bahan/ Alat
Kertas HVS, kertas plano, spidol sejumlah peserta, dan lakban.
Waktu
2 jam (120 menit) efektif
Langkah-langkah
1. Bukalah sesi dan jelaskan pentingnya perkenalan sebagai awal dari proses
pelatihan;
2. Tanyakan kepada peserta mengenai apa saja yang perlu diperkenalkan dan
bagaimana bentuk perkenalannya;
3. Usulkan kepada peserta suatu jenis perkenalan yang lebih akrab dan bisa
mengenal paling banyak karakter peserta. Yaitu, masing-masing kelompok
diminta untuk berhadapan (satu kelompok dua orang). Jika pesertanya ganjil,
ada satu kelompok yang berisi 3 orang. Masing-masing kelompok diminta
memperkenalkan minimal 5 identitas yang sama dan 5 identitas yang berbeda;
4. Beri waktu 5 menit untuk berkenalan satu-sama lain;
5. Masing-masing kelompok memperkenalkan diri;
6. Fasilitator memberi catatan terhadap perkenalan dan menyimpulkan apa hasil
perkenalan tadi;
7. Fasilitator berdialog dengan peserta mengenai problem intoleransi yang terjadi
di daerah masing-masing. Apa saja masalahnya, bagaimana kejadiannya, siapa
pelaku dan korbannya, serta apa saja yang telah dilakukan untuk mengatasi
masalah tersebut; dan
8. Fasilitator menyimpulkan hasil identifikasi masalah, lalu menutup sesi sambil
menjelaskan apa materi sesi berikutnya.
Tujuan
Kontrak belajar ini bertujuan untuk:
1. Membangun komitmen bersama mengenai aturan dan tata tertib pelatihan;
2. Menyepakati mengenai apa yang diharapkan dari pelatihan dan apa kontribusi
masing-maisng peserta agar harapan tersebut dapat diwujudkan; dan
3. Menjadikan kesepakatan, komitmen dan harapan di atas sebagai bahan
evaluasi di akhir pelatihan.
Pokok Bahasan
1. Pemetaan harapan peserta mengenai pelatihan dan bagaimana mewujudkan
harapan tersebut;
2. Pemetaan mengenai kekhawatiran peserta terhadap pelatihan dan bagaimana
menghindarinya; dan
3. Penyusunan kesepakatan mengenai materi, waktu, jadwal, dan tata tertib
pelatihan.
Metode
Metode yang dipakai dalam perkenalan dan kontrak belajar adalah diskusi
kelompok dan brainstorming
Bahan /Alat
Kertas Plano, kertas kecil (HVS), Spidol, White board
Langkah-langkah
1. Fasilitator membuka sesi dan menjelaskan pentingnya kontrak pelatihan;
2. Fasilitator membagi peserta menjadi tiga kelompok. Masing-masing
mendiskusikan tentang: (a) harapan terhadap pelatihan ini, meliputi proses:
materi, metode, fasilitatoir, narasumber, bahan-bahan bacaan, pengelolaan
waktu, dan lain-lain; (b) kekhawatiran terhadap pelatihan; dan (c) kontribusi
yang dapat diberikan peserta agar proses pelatihan berjalan lancar;
3. Fasilitator memberi waktu kepada peserta untuk mendiskusikan materi
masing-masing;
4. Presentasi hasil diskusi kelompok;
5. Fasilitator memandu peserta untuk menjadikan hasil diskusi kelompok sebagai
tata tertib pelatihan;
6. Fasilitator menyandingkan mengenai kesepakatan di atas dengan alur materi
pelatihan, dalam rangka untuk mengetahui seberapa jauh perbedaan antara
harapan peserta dengan alur yang sudah disiapkan; dan
7. Fasilitator menutup sesi sambil menjelaskan materi berikutnya.
M
ateri ini berisi tentang sejarah toleransi dalam Islam, yaitu masa
awal Islam hingga masa modern. Pemahaman terhadap sejarah
yang bernuansa toleransi tersebut diharapkan dapat memberi
keyakinan baru tentang toleransi sebagai warisan masa lalu yang mesti dijadikan
teladan. Dalam sesi ini, arus-arus toleransi dalam Islam akan dihadirkan secara
lebih mendalam, sehingga peserta dapat menjadikannya sebagai keniscayaan
dalam kehidupan kontemporer. Di sini, arti penting memelihara tradisi lama yang
baik menjadi kata kunci yang ditekankan kepada para peserta.
Tujuan
1. Menjelaskan tentang pentingnya toleransi dalam masyarakat yang majemuk,
baik dari segi agama, suku, ras, maupun bahasa;
2. Memberikan gambaran praktik-praktik toleransi dalam sejarah Islam di masa
lalu hingga masa kini. Karena itu, eksplorasi sejarah Islam harus disampaikan
secara sederhana, mudah dan mendalam; dan
3. Meyakinkan peserta, bahwa toleransi baik dari segi ajaran maupun sejarahnya,
bukanlah hal baru bagi Islam. Sejarah Islam sangat akrab dengan yang
namanya toleransi. Dan ajaran Islam juga tidak asing dengan toleransi. Bahkan
dalam beberapa hal tertentu, ajaran Islam adalah toleransi itu sendiri.
Pokok Bahasan
1. Toleransi pra Islam. Sebelum Nabi Muhammad saw. diangkat sebagai Rasul,
contohnya, orang-orang Arab Mekah sudah berkenalan dengan banyak
penganut agama dan keyakinan. Setiap tahun orang-orang dari luar Mekah
berdatangan ke kota itu untuk mengunjungi "Pasar Nusiman Ukhaz", sebuah
forum bagi para penyair Arab untuk memperlombakan syair mereka dan bagi
para pedagang untuk menawarkan barang dagangan mereka. Di antara
Metode
Sesi ini akan menggunakan metode ceramah-dialog dan diskusi kelompok
Waktu
2 jam pembelajaran / JPL (120 menit) Efektif
Langkah-Langkah
1. Fasilitator membuka sesi dan menjelaskan tujuan dan pokok-pokok bahasan;
2. Fasilitator meminta peserta untuk menjelaskan pengalaman masing-masing
tentang toleransi dalam komunitas masing-masing. Fasilitator menanyakan
kepada peserta:
Apakah Anda mempunyai pengalaman toleransi dalam komunitas Anda
khususnya komunitas masyarakat, masjid, atau mushola?
3. Fasilitator merangkum pengalaman peserta dalam praktek toleransi;
4. Fasilitator mempersilahkan kepada narasumber untuk menjelaskan sejarah
toleransi dalam tradisi Islam. Penjelasan ini dalam rangka membuktikan
kepada peserta bahwa toleransi merupakan praktik keberagamaan yang
dipraktikkan oleh Nabi Muhammad saw.;
5. Fasilitator membuka sesi dialog dan tanya jawab dengan peserta tentang
khazanah toleransi dalam Islam. Pada sesi ini dibuka untuk 4 orang penanya;
6. Fasilitator mempersilahkan narasumber untuk menjawab pertanyaan,
komentar, dan tanggapan dari peserta;
7. Fasilitator membuka kembali sesi dialog dan tanya jawab untuk sesi kedua
untuk 4 orang penanya;
8. Fasilitator mempersilahkan narasumber untuk menjawab pertanyaan, komentar
dan tanggapan peserta; dan
9. Fasilitator merangkum dan membuat kesimpulan umum dari sesi ini.
Tujuan
Setelah mengikuti sesi ini, peserta diharapkan dapat:
1. Memiliki pemahaman yang baik, cukup, dan mendalam tentang toleransi
dalam perspektif agama-agama;
2. Memiliki pemahaman yang baik, cukup, dan mendalam soal pandangan Al-
Qur’an tentang toleransi, sehingga peserta semakin terdorong untuk
memahami toleransi dan keberagaman;
3. Memahami hakikat pandangan hadits Nabi Muhammad saw. tentang toleransi,
sehingga dapat menampilkan pandangan yang cocok dalam khazanah hadits;
dan
4. Memahami pandangan para ulama terdahulu tentang toleransi, sehingga
peserta dapat memahami komitmen para ulama dalam membangun masyarakat
yang toleran.
Pokok Bahasan
Bahan/Alat
Spidol, kertas plano, LCD, Al-Qur’an, hadits, dan kitab-kitab kuning
Waktu
120 menit waktu efektif
Langkah-langkah
1. Fasilitator membuka sesi dan menjelaskan tujuan dan pokok bahasan;
2. Fasilitator membagi peserta dalam 3 kelompok dan menjelaskan hal-hal yang
didiskusikan dalam kelompok masing-masing;
3. Fasilitator memberikan tugas kepada setiap kelompok untuk mencari dan
mendiskusikan ayat-ayat, hadits, pendapat ulama, pandangan agama-agama
tentang toleransi. Adapun pembagian tugas kelompok sebagai berikut:
a. Kelompok 1 : mencari ayat-ayat tentang toleransi
b. Kelompok 2 : mencari hadits-hadits tentang toleransi
c. Kelompok 3 : mencari pendapat ulama dan pandangan agama-
agama tentang toleransi
4. Fasilitator mempersilahkan setiap kelompok untuk menyampaikan hasil
diskusinya dengan durasi waktu 10 menit;
5. Fasilitator merangkum secara umum hasil diskusi kelompok;
6. Fasilitator mempersilahkan kepada narasumber untuk menjelaskan secara
lebih luas tentang toleransi dalam Islam, khususnya dalam pandangan al-
Qur’an, hadits, ulama, dan pandangan agama-agama tentang toleransi;
7. Fasilitator membuka sesi tanya jawab kepada para peserta untuk tiga orang
penanya;
8. Fasilitator mempersilahkan narasumber untuk menjawab pertanyaan dari
peserta; dan
9. Fasilitator menutup sesi.
اَك َن النَّ ُاس ُا َّم ًة َّوا ِحدَ ًة ۗ فَ َب َع َث اهّٰلل ُ النَّ ِبنّٖي َ ُمبَرِّش ِ ْي َن َو ُمنْ ِذ ِر ْي َن ۖ َو َا ْن َز َل َم َعهُ ُم
ْال ِك ٰت َب اِب لْ َح ّ ِق ِل َي ْحمُك َ بَنْي َ النَّ ِاس ِف ْي َم ا ا ْختَلَ ُف ْوا ِف ْي ِه ۗ َو َم ا ا ْختَلَ َف ِف ْي ِه ِااَّل
اذَّل ِ ْي َن ُا ْوت ُْو ُه ِم ْۢن ب َ ْع ِد َما َج ۤا َءهْت ُ ُم الْ َب ِ ّينٰ ُت ب َ ْغ ًي ا ۢ بَيْهَن ُ ْم ۚ فَهَ دَ ى اهّٰلل ُ اذَّل ِ ْي َن ٰا َمنُ ْوا
ٍ ِل َما ا ْختَلَ ُف ْوا ِف ْي ِه ِم َن الْ َح ّ ِق اِب ِ ْذ ِن ٖه ۗ َواهّٰلل ُ هَي ْ ِد ْي َم ْن يَّشَ ۤا ُء ِاىٰل رِص َ ٍاط ُّم ْس َت ِقمْي
Manusia itu (dahulunya) satu umat. Lalu Allah mengutus para
Satu umat dan nabi (untuk) menyampaikan kabar gembira dan peringatan.
beraga, Nabi sebagai Dan diturunkan-Nya bersama mereka Kitab yang mengandung
landasan toleransi kebenaran, untuk memberi keputusan di antara manusia
tentang perkara yang mereka perselisihkan. Dan yang
berselisih hanyalah orang-orang yang telah diberi (Kitab),
setelah bukti-bukti yang nyata sampai kepada mereka, karena
kedengkian di antara mereka sendiri. Maka dengan kehendak-
Nya, Allah memberi petunjuk kepada mereka yang beriman
tentang kebenaran yang mereka perselisihkan. Allah memberi
petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki ke jalan yang lurus
(Q.S. Al-Baqarah:213)
ِانَّٓا َا ْن َزلْنَ ا التَّ ْو ٰرى َة ِفهْي َ ا ُه دً ى َّون ُ ْو ٌۚر حَي ْ مُك ُ هِب َ ا النَّ ِبيُّ ْو َن اذَّل ِ ْي َن َا ْس لَ ُم ْوا ِلذَّل ِ ْي َن
َه اد ُْوا َو َّالراَّب ِن ُّي ْو َن َوااْل َ ْح َب ُار ِب َم ا ْاس ُت ْح ِف ُظ ْوا ِم ْن ِك ٰت ِب اهّٰلل ِ َواَك ن ُْوا عَلَ ْي ِه
ُشهَدَ ۤا َۚء فَاَل خَت ْ َش ُوا النَّ َاس َوا ْخ َش ْو ِن َواَل ت َ ْش رَت ُ ْوا اِب ٰ يٰيِت ْ ثَ َمنً ا قَ ِل ْياًل َۗو َم ْن ل َّ ْم
حَي ْ مُك ْ ِب َمٓا َا ْن َز َل اهّٰلل ُ فَ ُاو ٰلۤى َك مُه ُ ْال ٰك ِف ُر ْو َن
Sungguh, Kami yang menurunkan Kitab Taurat; di dalamnya
ِٕ
Taurat sebagai (ada) petunjuk dan cahaya. Yang dengan Kitab itu para nabi
petunjuk dan cahaya yang berserah diri kepada Allah memberi putusan atas perkara
orang Yahudi, demikian juga para ulama dan pendeta-pendeta
mereka, sebab mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab
Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu
janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah
kepada-Ku. Dan janganlah kamu jual ayat-ayat-Ku dengan
harga murah. Barangsiapa tidak memutuskan dengan apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir (Q.S.
Al-Maidah: 44)
Keragaman َو ِم ْن ٰايٰ ِت ٖ ٓه َا ْن َخلَ َقمُك ْ ِّم ْن تُ َر ٍاب مُث َّ ِاذَٓا َانْمُت ْ بَرَش ٌ تَ ْنتَرِش ُ ْو َن
merupakan salah
مُث َّ َانْمُت ْ ٰهُٓؤ اَل ۤ ِء تَ ْق ُتلُ ْو َن َانْ ُف َس مُك ْ َوخُت ْ ِر ُج ْو َن فَ ِريْقً ا ِ ّمنْمُك ْ ِ ّم ْن ِداَي ِرمِه ْۖ ت َٰظهَ ُر ْو َن
عَلَهْي ِ ْم اِب اْل ِمْث ِ َوالْ ُعدْ َو ِ ۗان َوا ِْن يَّْأت ُْومُك ْ ُارٰس ٰ ى تُ ٰفدُ ْومُه ْ َوه َُو ُم َح َّر ٌم عَلَ ْيمُك ْ ِاخ َْراهُج ُ ْم
Perdamaian adalah ْ ۗ َافَتُْؤ ِمنُ ْو َن ِب َب ْع ِض ْال ِك ٰت ِب َوتَ ْك ُف ُر ْو َن ِب َب ْع ٍۚض فَ َم ا َج َز ۤا ُء َم ْن ي َّ ْف َع ُل ٰذكِل َ ِمنْمُك
ۗ ِ ِااَّل ِخ ْز ٌي ىِف الْ َح ٰيو ِة ادلُّ نْ َيا َۚوي َ ْو َم الْ ِق ٰي َم ِة يُ َرد ُّْو َن ِاىٰٓل َا َش ِّد الْ َع َذ
kontrak pertama
manusia dengan ُ اب َو َم ا اهّٰلل
Tuhan ِبغَا ِف ٍل مَع َّا تَ ْع َملُ ْو َن
Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (sesamamu),
dan mengusir segolongan dari kamu dari kampung
halamannya. Kamu saling membantu (menghadapi) mereka
dalam kejahatan dan permusuhan. Dan jika mereka datang
kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal kamu
dilarang mengusir mereka. Apakah kamu beriman kepada
sebagian Kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian (yang
lain)? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang
berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam
kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan
kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah
terhadap apa yang kamu kerjakan (Q.S. Al Baqarah: 85)
Iman kepada para قُ ْولُ ْوٓا ٰا َمنَّا اِب هّٰلل ِ َو َم ٓا ُا ْن ِز َل ِالَ ْينَ ا َو َم ٓا ُا ْن ِز َل ِاىٰٓل ِا ْب ٰرمٖه َ َو ِامْس ٰ ِع ْي َل َو ِاحْس ٰ َق
Nabi sebagai salah
satu bentuk toleransi َوي َ ْع ُق ْو َب َوااْل َ ْس َب ِاط َو َمٓا ُا ْويِت َ ُم ْوىٰس َو ِعيْىٰس َو َمٓا ُا ْويِت َ النَّ ِبيُّ ْو َن ِم ْن َّرهِّب ِ ْ ۚم اَل
ن ُ َف ّ ِر ُق بَنْي َ َا َح ٍد ِ ّمهْن ُ ْ ۖم َوحَن ْ ُن هَل ٗ ُم ْس ِل ُم ْو َن
Katakanlah, “Kami beriman kepada Allah dan kepada apa
yang diturunkan kepada kami, dan kepada apa yang diturunkan
kepada Ibrahim, Ismail, Ishak, Yakub dan anak cucunya, dan
S
esi ini mengelaborasi model-model praksis toleransi yang pernah terjadi
di beberapa negara, baik dalam konteks hubungan intern agama maupun
antar umat beragama. Model praksis toleransi yang berkembang pun
sangat beragam: ada model dialog; model kerjasama; model pemberdayaan; model
advokasi; model solidaritas; dan model komunitas (perkampungan pesantren).
Model-model seperti ini bisa dijadikan sebagai pelajaran, bahkan bisa dijadikan
contoh untuk diterapkan di Indonesia.
Tujuan
1. Menunjukkan pada peserta bahwa praksis-praksis toleransi bukan sesuatu
yang sama sekali asing di Indonesia;
2. Merangsang peserta untuk mengambil inspirasi dalam melakukan praksis
toleransi;
3. Mencari model praksis toleransi yang bisa diterapkan di masyarakat; dan
4. Mengembangkan budaya toleran di masyarakat.
Pokok Bahasan
1. Model Toleransi Berbasis Dialog
2. Model Toleransi Berbasis Kerjasama.
3. Model Toleransi Berbasis Pemberdayaan (Advokasi).
4. Model Toleransi Berbasis Solidaritas Kemanusiaan.
5. Model Toleransi Berbasis Komunitas (Lingkungan).
6. Model Toleransi Berbasis Pesantren
Metode
Langkah-Langkah
1. Fasilitator membuka dan menjelaskan tujuan dan pokok-pokok bahasan
model-model praksis toleransi. Sesi ini menekankan pentingnya perilaku
toleransi dalam kehidupan sehari-hari dengan cara belajar dari pengalaman
orang lain, atau belajar dari model-model praksis toleransi yang pernah terjadi
di negara lain.
2. Fasilitator mempersilahkan narasumber untuk menceritakan seputar
pengalaman praksis toleransi berbasis Kyai dan pesantren. Adapun poin-poin
yang akan ditanyakan kepada narasumber :
a. Bagaimana pengalaman Anda dalam membangun praktik toleransi di
kalangan pesantren?
b. Seperti apa bentuk gerakan toleransi yang Anda bangun?
c. Kenapa Kiai dan pesantren sebagai basis gerakan toleransi?
d. Kelompok mana saja yang terlibat dalam kegiatan Anda?
e. Bagaimana respon masyarakat dan pemerintah setempat?
f. Sejauh mana efek dari toleransi yang Anda bangun terhadap hubungan
antar agama?
3. Fasilitator mempersilahkan peserta untuk berdialog dengan narasumber dalam
rangka pendalaman materi /pengalaman toleransi. Fasilitator mengarahkan dan
memfokuskan dialog peserta dengan narasumber seputar tahapan dan strategi
membangun toleransi berbasis Kyai dan pesantren.
4. Fasilitator mempersilahkan narasumber untuk menjawab pertanyaan dan
komentar peserta. Jawaban narasumber diarahkan pada kesimpulan materi
pembahasan, agar adanya suatu pemahaman yang mendalam di kalangan
peserta.
5. Fasilitator melakukan brainstorming terhadap peserta untuk menggali model-
model praksis toleransi berdasarkan pengalamannya masing-masing. Peserta
diarahkan untuk menceritakan pengalamannya untuk bisa dijadikan salah satu
Pendahuluan
Beberapa tahun terakhir ini masyarakat Indonesia disuguhi berbagai
peristiwa dan serentetan konflik di tanah air yang mengejawantah pada
radikalisme dan militansi perilaku dengan berbagai simbol keagamaan yang
kental dan atraktif, semisal tragedi Banjarmasin 1998, Poso 1998-2000,
DAFTAR PUSTAKA
MATERI
Model Toleransi Berbasis Pemberdayaan (Advokasi)
SEJARAH ADVOKASI PLURALISME AGAMA:
STUDI KASUS ADVOKASI AGAMA LELUHUR DI INDONESIA
Husni Mubarok
Pendahuluan
November 2017, dekade kedua reformasi di Indonesia, adalah bulan
bersejarah bagi penghayat agama leluhur. Mahkamah Konstitusi (MK)
mengabulkan uji materi para penghayat agama leluhur atas pasal 61 ayat 1 dan
pasal 64 ayat 1 Undang-Undang Administrasi dan Kependudukan (Adminduk)
2013, revisi atas UU tahun 2006. Para penghayat agama leluhur menggugat pasal
tersebut karena kedua pasal tersebut menjadi rujukan bagi diskriminasi yang
mereka alami selama ini, yakni kehilangan akses layanan publik karena persoalan
pada kolom agama Kartu Tanda Penduduk (KTP). MK menyatakan bahwa agama
pada kedua pasal tersebut bertentangan dengan UUD dan tidak berkekuatan
hukum sepanjang tidak termasuk kepercayaan. Atas dasar keputusan tersebut,
kedua pasal tersebut gugur. Putusan MK tersebut berimplikasi bahwa pemerintah
Indonesia kini wajib menambahkan pilihan pada kolom agama pada KTP, yakni
“aliran kepercayaan” bagi penghayat kepercayaan.
Putusan MK di atas merupakan tonggak kepada para penghayat
kepercayaan, yang selama ini termarjinalkan. Pada level kebijakan berbagai pihak
telah melakukan beragam cara untuk mengubah kebijakan agar lebih ramah
terhadap kelompok rentan.1 Usaha tersebut, sayangnya, seringkali tidak memenuhi
harapan dan menghasilkan perubahan seperti direncanakan. Pada UU tahun 2003
tentang Pendidikan Nasional, misalnya, mengandung pasal yang berpotensi
Endnote:
1
Lihat Zainal A. Bagir. “Defamation of Religion Law in Post- Reformasi Indonesia: Is
Revision Possible?” Australian Journal of Asian Law, 13 (2), (2013); Jeremy Menchik.
“Productive Intolerance: Godly Nationalism in Indonesia.” Comparative Studies in Society and
History, 56 (3), (2014): 591-621.
2
M. Sirozi. “Secular–Religious Debates on the Indonesian National Education System:
Colonial Legacy and a Search for National Identity in Education.” Intercultural Education, 15
(2), (2004): 123-137.
3
Melissa Crouch. “Implementing the Regulation on Places of Worship in Indonesia: New
Problems, Local Politics and Court Action.” Asian Studies Review, 34 (4), (2010): 403-419.
4
Lihat S. Butt & T. Lindsey, The Constitution of Indonesia: a Contextual Analysis
(Bloomsbury Publishing, 2012); Melissa Crouch. “Constitutionalism, Islam and the Practice of
Religious Deference: The Case of the Indonesian Constitutional Court.” Australian Journal of
Asian Law, 16 (2) (2016).
5
Ihsan Ali-Fauzi, S.R. Panggabean, N.G. Sumaktoyo, H.T., Anick, H. Mubarok & S.
Nurhayati, Kontroversi Gereja di Jakarta (Jakarta: Centre for the Study of Islam and Democracy,
2011); Melissa Crouch. “Implementing the Regulation on Places of Worship in Indonesia: New
Problems, Local Politics and Court Action.” Asian Studies Review, 34(4), (2010): 403-419.
6
Lihat D. Candraningrum. “Unquestioned Gender Lens in Contemporary Indonesian
Shari‘ah Ordinances (Perda Syariah).” Al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, 45 (2), (2007):
289-
320. A. Salim. “Muslim Politics in Indonesia’s Democratization: The Religious Majority and
the Rights of Minorities in the Post New Order Era.” Indonesia: Democrarcy and the Promise of
Good Governance, (2007): 115-137; M. Buehler. “The rise of shari’a by- laws in Indonesian
districts: An indication for changing patterns of power accumulation and political corruption.”
South East Asia Research, 16 (2), (2008): 255-285; R. Bush. “10 Regional Sharia Regulations in
Indonesia: Anomaly or Symptom?” in G. Fealy& S. White, (Eds.), Expressing Islam: Religious
life and politics in Indonesia. (Institute of Southeast Asian Studies, 2008); Ihsan Ali-Fauzi & Saiful
Mujani, Gerakan Kebebasan Sipil: Studi dan Advokasi Kritis Ata Perda Syariah. (Jakarta:
Freedom Institute, 2009).
7
Lihat Muhammad Afdillah, Dari Masjid ke Panggung Politik; Studi Kasus Peran Pemuka
Agama dan Politisi dalam Konflik Kekerasan Agama antara Komunitas Sunni dan Syiah di
Sampang Jawa Timur (Master thesis, Universitas Gadjah Mada: 2013); N. Farabi. Hambatan
Pemulangan Pengungsi Internal Syiah Sampang dan Ahmadiyah Lombok (Yogyakarta: Doctoral
dissertation, Universitas Gadjah Mada: 2014).
8
C. Koerner & W. D. Putro. “The Socio-Legal Construction of Ahmadiyah as a Religious
Minority by Local and National Government Policy: Restrictions before the Law, a Challenge for
Religious Freedom in NTB, Indonesia.” International Journal of Indonesia Studies, issue 4
(2017).
9
S. R. Panggabean & Ihsan Ali-Fauzi, Pemolisian konflik keagamaan di Indonesia (Jakarta:
Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Paramadina: 2014).
10
Samsul Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia
(Yogyakarta: CRCS UGM, 2017).
11
J. Moulder. “ The Defence Act and Conscientious Objection.” Philosophical Papers, 7
(1), (1978): 25-50.
DAFTAR PUSTAKA
Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang diciptakan berbeda-beda dan beragam
(majemuk-multkultur) yang merupakan sesuatu yang mutlak (sunnatullah) dari
Allah. Namun, acapkali ciptaan yang “mutlak” ini dalam faktanya sering dijadikan
sebagai konflik dan ketegangan antarsesama manusia. Walaupun, juga tidak
dipungkiri bahwa hakikat manusia cenderung menghendaki adanya perubahan
pada dirinya sebagai makhluk sosial, sehingga kehidupan manusia senantiasa
mengalami gerak dinamis yang berbeda dari waktu ke waktu baik yang mencakup
kepribadian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Tetapi yang
menjadi persoalan bahwa nilai kemajukan (multikultural) yang ada di dalam
manusia sering dilanggar bahkan diingkari (Siradj, 1999: 203).
Padahal, manusia dan masyarakat tidak dapat dipisahkan karena secara
bersama-sama menyusun kehidupan. Manusia menghimpun diri menjadi satuan
sosial-budaya, menjadi masyarakat. Masyarakat manusia melahirkan,
menciptakan, menumbuhkan, dan mengembangkan kebudayaan: “tidak ada
manusia tanpa kebudayaan, sebaliknya tak ada kebudayaan tanpa manusia; tidak
ada masyarakat tanpa kebudayaan, tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat”.
Berangkat dari pengalamannya manusia dengan kesadarannya mendorong
menyusun rumusan, batasan, definisi, dan teori tentang kegiatan-kegiatan
DAFTAR PUSTAKA
Al-Razi, Abu Bakar. 1978. al-Thibb al-Ruhani, Tahkik ‘Abd Al-Lathif Al-Ghaid,
Kairo: Maktabat al-Nahdat al-Mishriyyat.
An-Nahlawy, Abdurrahman. 1965. Usus al-Tarbiyah al-Islamiyah wa Thuruq
Tadrisiha, Damaskus: Dar al-Nahdhal al-Arabiyah.
Azra, Azyumardi. 2002. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernitas Menuju
Milenium Baru, Ciputat: Logos Wacana Ilmu.
Hidayat, Moh. Noor. 2015. Internalisasi Nilai-nilai Multikultural dalam Tafsîr Al-
Razi pada Pengembangan Pendekatan Pembelajaran Tafsir, jurnal Studi
Agama dan Masyarakat, Vol. 11, No. 1.
Mahfud, Choirul. 2016. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2010. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta:
Kencana Prenada Media.
Nata, Abudin. 2013. Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers.
Ramayulis. 2013. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia.
Siradj, Said Aqil. 1999. Islam Kebangsaan: Fiqh Demokratik Kaum Santri,
Jakarta: Pustaka Cinganjur.
Sunarto. 2017. Sistem Pembelajaran PAI Berwawasan Multikultural. Jurnal Al-
Tadzkiyah. Vol. 8 No. 2.
Zuharini, dkk. 2012. Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
kepercayaannya. 3
Negara juga tidak hanya melindungi dan memberi kebebasan, akan tetapi
juga mendukung dan memberikan bantuan kepada umat beragama
untuk memajukan kehidupan agamanya tanpa menimbulkan konflik dan
kerugian bagi umat agama lain.
Adanya toleransi antar umat beragama merupakan hal yang sangat penting,
sebab keberadaan toleransi dapat menciptakan kerukunan hidup antar umat
beragama. Toleransi merupakan awal adanya kerukunan, tanpa adanya toleransi
tidak mungkin ada sikap saling menghormati, mengasihi dan gotong-royong
antar umat beragama. Tetapi pada masa sekarang ini toleransi sering disalah
artikan dengan mengakui kebenaran semua agama.4 (Ahmad Azhar Basyir, 1993
: 240). Sehingga tidak jarang ada orang mengikuti perayaan keagamaan lain
tanpa diketahui, apakah itu acara biasa atau acara meriah dengan dalih toleransi.
Islam merupakan agama yang lengkap dan sempurna ajarannya meliputi
seluruh aspek kehidupan termasuk di dalamnya tentang hubungan antar manusia
yang dapat menciptakan kerukunan di antara mereka. Islam mengakui adanya
titik temu yang bersifat esensial dari berbagai agama, khususnya agama-agama
Samawi yakni kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai landasan
berhubungan dengan hal-hal yang suci 9(Saparlan, 1990 : 8). Dari definisi yang
disampaikan oleh Emile Durkhem di atas dikembangkan lagi menjadi empat
unsur yang saling berkaitan, antara lain :
1. Unsur kepercayaan atau keyakinan manusia tentang bentuk dunia alam
ghaib, hidup, mati dan nyata
2. Unsur emosi atau getaran jiwa yang menggerakkan manusia mempunyai
masa cipta dan karya keagamaan.
3. Unsur rituis atau upacara keagamaan yang bertujuan mencari
4. hubungan dengan dunia ghaib berdasarkan sistem kepercayaan yang
diyakininya
5. Unsur kesatuan atau solidaritas kelompok keagamaan yang
2. Pengertian Toleransi
Toleransi adalah suatu istilah yang berasal dari bahasa Inggris tolerance,
selanjutnya kata ini dipopulerkan dalam bahasa Indonesia menjadi toleransi yang
berarti sikap membiarkan lapang dada di dalam bahasa arabnya biasa
dikatakan ikhtimal tasaamukh yang artinya sikap membiarkan lapang dada 14.
Agama,19.
Dari paragraf di atas dapat diketahui bahwa dalam agama Budha telah
mengajarkan kepada umatnya sejak dahulu tentang toleransi umat Budha tidak
diperbolehkan untuk mencemooh agama lain, mereka dianjurkan untuk
menghormati agamanya sendiri juga agama lain. Selain itu agama Budha tidak
melarang umatnya mendengarkan ajaran dari agama lain, tanpa melalaikan ajaran
agamanya sendiri.
Conflict) 20.
Telah dijelaskan di muka bahwa negara Indonesia mengakui keberadaan
enam agama, dengan adanya enam macam agama ini tidak mudah untuk
mempersatukannya. Tetapi meskipun begitu hubungan antar berbagai agama di
Indonesia ini bervariasi, antara Hindu - Budha terjalin hubungan yang harmonis
begitu juga antar keduanya dengan Islam. Islam, Katholik, Prostestan dan Kong
Hu Cu mewarisi hubungan sejarah yang tidak menggembirakan sebelum
menginjakkan kaki masing-masing di bumi Indonesia, telah terlibat dalam
Dari ayat di atas dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia itu dengan
keadaan dan derajat yang sama, sedangkan yang membedakan di antara
mereka adalah takwa mereka kepada Allah SWT. Dengan demikian orang yang
paling bertakwalah yang mendapat tempat yang mulia di sisi Allah. Oleh sebab
itu sebagai mahluk ciptaan Allah yang paling mulia di antara makhluk-makhluk
ciptaan Allah yang lain, manusia tidak seharusnya menunjukkan sikap fanatisme
golongan dan mengutamakan kepentingan pribadi tanpa melihat kepentingan
yang lebih besar, yaitu keutuhan dan kesatuan umat dan bangsa.
Fenomena-fenomena seperti inilah yang oleh Nabi Muhammad SAW
disebut sebagai sikap ashabiyah yang dianggap sebagai satu ciri kejahiliyahan .
Dengan ajaran tentang persatuan dan persamaan umat manusia, maka Rasullulah
juga amat mementingkan kerukunan dalam pergaulan dan kehidupan yaug
bersifat majemuk dalam masyarakat yang beranekaragam perbedaannya. Dalam
menciptakan kerukunan tersebut, Rasullulah mewujudkan dengan cara
mempersaudarakan kaum Muhajirin dari Mekkah dan kaum Anshor yang
merupakan penduduk asli dari Madinah. Sedangkan untuk menjalin kerukunan
dengan orang-orang non Muslim, Rasullulah membuat Piagam Madinah yang
tersohor itu, yang merupakan dasar dari hubungan dan kerjasama yang harmonis
antar umat Islam, ahli kitab dan suku-suku Arab yang belum memeluk Agama
Samawi. Piagam Madinah ini dibuat oleh nabi setelah nabi Hijrah dan tinggal di
Yastrib (Madinah), pada tahun 622 M. Menurut Hamidullah, piagam itu terdiri
dari Mukadimah, 10 Bab dan 47 pasal, yang mengandung 2 (dua) unsur yang
sangat penting, antara lain:
1. Mengatur hubungan antara sesama umat Islam, antara golongan
DAFTAR PUSTAKA
A.H. Hasanuddin, Cakrawala Kuliah Agama, Al Ikhlas, Surabaya, 1402 H.
Abdurrahman Wahid, Dialog Kritik dan Identitas Agama, Penerbit
Dian/lnterfidei, Cet I, Jakarta.
Ahmad Azhar Basyir, Refleksi atas Persoalan Ke-Islaman Seputar Filsafat
Hukum, Politik, Ekonomi, Penerbit Mizan, Cet I, Bandung, 1993.
Alamsyah Ratu Perwiranegara, Pembinaan Kerukunan Hidup Umat
Beragama, Departemen Agama RI., Jakarta, 1982.
Al-Khatib al-Baghdadi, Ahmad Ibn Ali, Tarikh Baghdad, Beirut Daar al-
Kutub al-‘Ilmiyah, 1417 H.
Al-Mubarakfurry, Shaffty al-Raman, Al-Rahiiq a-Makhtum, Riyadh, Maktabah
Daar al- Salam, 1412 H.
Badruddin Hsubky, KH, Bid’ah-Bid’ah di Indonesia, Gema Insani Pres, Cet II,
Jakarta, 1994.
Bey Arifin H., Hidup Sebelum Mati, CV Kinta, Cet III, Jakarta, 1992.
Burhanuddin Daya, Hubungan Antar Agama di Indonesia, Ulumul Qur’an, No.
4, Vol. IV, 1993.
BP-7, Undang-undang Dasar, Pedoman Penghayatan Pengamalan Pancasila,
Garis- garis Besar Haluan Negara 1993.
Departemen Agama RI., Dinamika Kerukunan Hidup Baragama Di Daerah,
Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, Depag RI, Jakarta,
1979/1980.
, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Mahkota, Surabaya, 1989.
, Hasil Musyawarah Antar Umat Beragama, Proyek Pembinaan
Kerukunan Hidup Beragama, Jakarta, 1982-1983.
, Hasil Musyawarah Antar Umat Beragama, Proyek Pembinaan
Kerukunan Hidup Beragama, Jakarta, 1982-1984.
, pekan Orientasi Antar Umat Beragama dengan Pemerintah,
Proyek Pembinaan Kerukunan Hidup Beragama, Jakarta, 1980-1981.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai
Puataka, Cet II, Jakarta, 1989.
Hendropuspito, Sosiologi Agama, Kanisius, Cet VII, Yogyakarta, 1991.
Imam Munawir, Sikap Islam Terhadap Kekerasan Damai, Toleransi dan
Solidaritas, PT. Bina Ilmu, Cet I, Surabaya, 1984.
Jalalluddin Abdurrahman Abu Bakar As – Suyuti, Imam, Al Jami As-Shoghir,
juz II, Darul Fikri, Bairut, TT.
Jamin Roham, Abu, Tanya Jawab Populer Islam Kristen, Media Dakwah, Cet I,
Jakarta, 1993.
Pendahuluan
Dalam konteks Indonesia, pendidikan toleransi, pendidikan yang dapat
mencetak peserta didik mempunyai kearifan lokal, atau menghasilkan peserta
didik yang berpandangan inklusif, penting untuk diwujudkan. Indonesia,
melebihi kebanyakan negara-negara lain, merupakan negara yang tidak saja
multisuku, etnik dan agama, tetapi juga multibudaya. Kemajemukan tersebut
pada satu sisi merupakan kekuatan sosial dan keragaman yang indah apabila satu
sama lain bersinergi dan saling bekerja sama untuk membangun bangsa. Namun,
pada sisi lain, kemajemukan tersebut apabila tidak dikelola dan dibina dengan
tepat dan baik akan menjadi pemicu dan penyulut konflik dan kekerasan yang
dapat menggoyahkan sendi- sendi kehidupan berbangsa. Peristiwa Ambon dan
Poso, misalnya, merupakan contoh kekerasan dan konflik horizontal yang telah
menguras energi dan merugikan tidak saja jiwa dan materi tetapi juga
mengorbankan keharmonisan antar sesama masyarakat Indonesia.
Semenjak reformasi digulirkan, diskursus pluralisme dan
multikulturalisme di negeri ini terus mengemuka dan berkembang pesat. Terkait
dengan masalah tersebut sikap hidup toleran menjadi penting. Toleransi
dipandang bisa menjadi perekat baru integrasi bangsa yang sekian lama tercabik-
cabik. Integrasi nasional yang selama ini dibangun berdasarkan politik
kebudayaan lebih cenderung seragam dianggap tidak lagi relevan dengan kondisi
dan semangat demokrasi global. Desentralisasi kekuasaan dalam bentuk otonomi
daerah semenjak 1999 adalah jawaban bagi tuntutan demokrasi tersebut. Namun,
desentralisasi sebagai keputusan politik nasional ternyata kemudian disadari tidak
begitu produktif apabila dilihat dari kacamata integrasi nasional suatu bangsa
besar yang isinya beraneka ragam suku bangsa, etnis, agama, dan status sosial.
Tipologi Pesantren
Secara etimologis, “pesantren” berasal dari pe-santri-an yang berarti
tempat santri; asrama tempat santri belajar agama; atau pondok. Dikatakan pula,
pesantren berasal dari kata santri, yaitu seorang yang belajar agama Islam,
dengan demikian pesantren mempunyai arti tempat orang berkumpul
untuk belajar agama Islam.
Sementara itu, secara terminologis, pondok pesantren merupakan institusi
sosial keagamaan yang menjadi wahana pendidikan bagi umat Islam yang ingin
mendalami ilmu-ilmu keagamaan. Pondok pesantren dalam terminologi
keagamaan merupakan institusi pendidikan Islam, namun demikian pesantren
mempunyai icon sosial yang memiliki pranata sosial di masyarakat. Hal ini