Anda di halaman 1dari 51

DOKUMEN

KAJIAN RISIKO BENCANA


KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
KABUPATEN OGAN ILIR
TAHUN 2019-2024

DISUSUN OLEH:
BADAN PENANGGULANGAN BENCANA DAERAH
KABUPATEN OGAN ILIR

1
2
RINGKASAN EKSEKUTIF

Kondisi daerah dengan kerentanan kebakaran hutan dan lahan


yang tinggi di Kabupaten Ogan Ilir mengharuskan Kabupaten Ogan Ilir
untuk melaksanakan pengelolaan pengurangan risiko bencana yang lebih
terarah, terpadu, dan menyeluruh. Upaya tersebut dapat didukung dengan
adanya pengkajian risiko bencana Kabupaten Ogan Ilir.
Kompleksitas dan tingginya risiko bencana di Kabupaten Ogan Ilir
membutuhkan peningkatan kapasitas dalam menghadapi berbagai
ancaman tersebut. Peningkatan kapasitas dijalankan melalui pengambilan
kebijakan-kebijakan dalam penanggulangan bencana di Kabupaten Ogan
Ilir. Rekomendasi kebijakan tersebut dikelompokkan ke dalam 2 (dua)
kebijakan, yaitu kebijakan administratif yang berlaku umum untuk seluruh
bencana, dan kebijakan teknis per bencana. Arahan sasaran untuk kedua
strategi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Memperkuat ketersediaan cadangan anggaran untuk pelaksanaan


penanganan darurat bencana daerah sehingga mampu memenuhi
kebutuhan dasar dan melindungi kelompok-kelompok rentan terhadap
dampak bencana dan juga teralokasikan untuk pemulihan fasilitias
kritis;

2. Menjamin ketersediaan kualitas maupun kuantitas sumber daya yang


terkait dengan PRB pada BPBD dan/atau institusi terkait PB lainnya;

3. Menjamin penerapan Dokumen KRB yang telah mempertimbangkan


risiko lintas batas dalam upaya PRB lintas batas daerah;

4. Adanya kebijakan daerah yang mengarusutamakan kajian risiko


bencana sebagai dasar pertimbangan pembangunan dan penanaman
modal;
5. Membangun metode riset kebencanaan daerah untuk menurunkan
rasio pemakaian anggaran untuk pemulihan pasca bencana;
6. Memperkuat mekanisme dan prosedur-prosedur terkait kedaruratan
bencana berdasarkan hasil evaluasi terhadap operasi kedaruratan
bencana;

3
7. Menyusun program-program perencanaan bidang perekonomian dan
produksi terkait upaya pengurangan risiko bencana yang mampu
mendorong aktivitas masyarakat dalam pengurangan risiko bencana.

Sasaran rekomendasi dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) strategi


penanggulangan bencana untuk masa pra, saat, dan setelah terjadinya
bencana. Strategi tersebut adalah peningkatan efektivitas pencegahan dan
mitigasi bencana, peningkatan kesiapsiagaan dan penanganan darurat
bencana, serta peningkatan kapasitas pemulihan bencana.

4
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana bahwa salah satu penyelenggaraan
penanggulangan bencana adalah pengurangan risiko bencana (Pasal
35). Kegiatan pengurangan risiko bencana dilakukan untuk mengurangi
dampak buruk yang mungkin timbul terutama dilakukan dalam situasi
sedang tidak terjadi bencana. Jadi pengurangan risiko bencana adalah
upaya sistematis untuk mengembangkan dan menerapkan kebijakan,
strategi dan tindakan yang dapat mengurangi kerentanan dan risiko
bencana yang dihadapi masyarakat, guna menghindari dan membatasi
dampak negatif dari bencana. Kebijakan pengurangan risiko bencana
biasanya memiliki dua tujuan, yakni untuk meningkatkan kesiapsiagaan
dalam menghadapi bencana dan menjaga agar kegiatan pembangunan
dapat mengurangi kerentanan masyarakat terhadap bahaya.
Asap merupakan masalah nasional yang mengancam setiap
tahun. Asap disebabkan oleh terjadinya proses pembakaran baik lahan
maupun hutan. Secara umum, tingkat kadar asap tergantung dari
banyak titik api (fire spot) yang berpotensi membakar area hutan dan
lahan. Semakin banyak titik api (fire spot) di suatu wilayah yang rentan
terbakar, maka semakin besar potensi kebakaran yang menimbulkan
asap. Dampak yang ditimbulkan asap sangat mengkhawatirkan bagi
kesehatan, selain itu sangat menganggu aktivitas berbagai sektor. Asap
dengan kadar ISPU (Indeks Standar Pencemaran Udara) > 200 ppm
dari aspek kesehatan akan berakibat pada kondisi kesehatan
masyarakat yang beRisiko, sedangkan dari aspek transportasi dilihat
dari sisi jarak pandang yang akan berdampak pada kelancaran
transportasi terutama untuk penerbangan. Demikian pula dari aspek
lainnya dimana asap yang ditimbulkan dari kebakaran lahan dan hutan
akan memiliki implikasi yang cukup luas.

5
Dampak negatif dan kerusakan lingkungan terjadi bilamana
aktivitas ekploitasi sumberdaya alam oleh manusia yang merubah
fungsi dan tutupan lahan tidak memperhatikan kemampuan dan daya
dukung lingkungan sekitarnya (Puspitahati et al., 2013). Sebagai contoh,
hilangnya vegetasi hutan secara efektif dapat menurunkan
evapotranspirasi, kelembaban tanah, infiltrasi dan memperbesar surface
runoff, sehingga mengkibatkan pengaruh yang signifikan terhadap
karakteristik debit aliran mantap sungai (Muchtar dan Abdulah, 2008).
Hal ini dipastikan akan mengganggu keseimbangan air alamiah yang
ada di lokasi tersebut.
Kabupaten Ogan Ilir merupakan salah satu kabupaten di provinsi
di Sumatera Selatan yang mempunyai potensi bencana asap, dari
historis bencana asap yang pernah terjadi, di kabupaten ini umumnya
ditimbulkan oleh adanya fire spot-fire spot yang berasal dari
beberapa wilayah yang ada di kabupaten ini,. Pada bulan Agustus
sampai dengan akhir Nopember merupakan bulan yang memiliki curah
hujan yang relatif kecil dibandingkan dengan bulan lainnya. Hal ini
memiliki potensi yang besar terhadap bencana alam berupa kebakaran
hutan dan lahan serta pertanian masyarakat yang akan mengakibatkan
timbul asap dengan kadar ISPU yang cukup beragam sesuai dengan
tingkat kebakaran yang terjadi di tiap wilayah yang berpotensi
tersebut.
Selain itu, pemacunya juga terjadi dengan banyaknya jumlah hot
spot yang banyak Untuk mengurangi dampak bencana sangat
memerlukan Kajian Risiko Bencana (KRB), kajian Risiko ini akan
menjadi landasan konkret bagi kegiatan atau tindakan-tindakan
penanggulangan bencana khususnya pengurangan risiko bencana. Hal
ini dikarenakan aspek-aspek pengurangan risiko bencana dimasukan
ke dalam Rencana Kerja Tahunan Satuan Kerja Perangkat Daerah
(SKPD) di Kabupaten Ogan Ilir ; yang merupakan kajian dasar dan
pada akhirnya akan diturunkan pada kegiatan Rencana Aksi Daerah

6
(RAD) yang merupakan strategi yang disusun Pemerintah Kabupaten
Ogan Ilir untuk mengurangi risiko bencana.

1.2. Tujuan
Kajian Risiko Bencana Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumatera
Selatan ini disusun sebagai landasan dan strategi yang kuat serta
pedoman dalam pengambilan keputusan dan penyusunan kegiatan dan
program prioritas bagi pengurangan risiko bencana yang melibatkan
stake holder (pemerintah, swasta, dan masyarakat). Adapun tujuan
disusunnya kajian Risiko Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan ini
adalah :
1. Sebagai Landasan untuk upaya Pengurangan Risiko Bencana
(PRB) ; Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten
Ogan Ilir

2. Pedoman bagi institusi terkait dalam pelaksanaan upaya


Pengurangan Risiko Bencana (PRB) Bencana Bencana
Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten Ogan Ilir

3. Saran kebijakan dan peningkatan kapasitas untuk


mengurangi dan mengelola Risiko Bencana Kebakaran Hutan
dan Lahan ke dalam kerangka kebijakan, hukum, regulasi dan
perencanaan serta Meningkatkan kapasitas dalam
mempersiapkan diri menghadapi situasi darurat dan sistem
tanggap di Kabupaten Ogan Ilir
4. Dasar perencanaan pengembangan Pengurangan Risiko
Bencana (PRB) Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di
Kabupaten Ogan Ilir.
5. Memastikan komparabilitas analisis paparan risiko di seluruh
Kabupaten Ogan Ilir untuk menjamin tersedianya dukungan
politik dan keuangan bagi langkah-langkah penangulangan
dan mitigasi bencana Kebakaran Hutan dan Lahan

7
1.3 Ruang Lingkup
Kajian Risiko Bencana Kabupaten Ogan Ilir merupakan panduan
penyelenggaraan pengurangan risiko bencana (PRB) yang disusun
berdasarkan kajian risiko Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan serta
kondisi terkini penyelenggaraan pengurangan Risiko bencana (PRB) di
Kabupaten Ogan Ilir. Panduan dijabarkan dalam visi, misi, kebijakan
program dan berbagai kegiatan serta alokasi anggaran yang menjadi
mandat Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir dalam penyelenggaraan
pengurangan Risiko bencana (PRB) selama lima tahun ke depan.
Selain itu panduan ini juga menjabarkan mekanisme yang mampu
menjamin penerapan, pemantauan, dan evaluasi

1.3 Landasan Hukum


Kajian Risiko Bencana Kabupaten Ogan Ilir ini dibuat berdasarkan
landasan hukum yang berlaku di Indonesia dan Provinsi Sumatera Selatan
serta Kabupaten Ogan Ilir. Landasan hukum tersebut adalah:
1. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Pengurangan Risiko
bencana (PRB) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007
Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4723);
2. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Pengurangan Risiko bencana (PRB) (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 42, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4828);
3. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan
dan Pengelolaan Bantuan Bencana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2008 Nomor 43, Tambahan lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4829)

8
3.4 Pengertian
Untuk memahami Kajian Risiko Bencana ini, maka disajikan
pengertian-pengertian kata dan kelompok kata sebagai berikut:
a. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan
masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau
nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda,
dan dampak psikologis.
b. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian
upaya pelaksanaan penanggulangan bencana mulai dari tahapan
sebelum bencana, saat bencana hingga tahapan sesudah bencana
yang dilakukan secara terencana, terpadu, terkoordinasi dan
menyeluruh.
c. Pengurangan risiko bencana (disaster risk reduction) adalah
segala tindakan yang dilakukan untuk mengurangi kerentanan dan
meningkatkan kapasitas terhadap jenis bahaya tertentu atau
mengurangi potensi jenis bahaya tertentu.
d. Penanggulangan bencana (disaster management) adalah upaya
yang meliputi: penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko
timbulnya bencana; pencegahan bencana, mitigasi bencana, kesiap-
siagaan, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi.
e. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Ogan Ilir, yang
adalah badan Pemerintah Kabupaten Ogan ilir yang melakukan
penyelenggaraan penanggulangan bencana di Kabupaten Ogan Ilir
f. Status keadaan darurat bencana adalah suatu keadaan yang
ditetapkan oleh pemerintah untuk jangka waktu tertentu atas dasar
rekomendasi badan yang diberi tugas untuk menanggulangi
bencana.
g. Korban bencana adalah orang atau kelompok orang yang
menderita atau meninggal dunia akibat bencana.

9
h. Bahaya (hazard) adalah situasi, kondisi atau karakteristik biologis,
klimatologis, geografis, geologis, sosial, ekonomi, politik, budaya dan
teknologi suatu masyarakat

di suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu yang berpotensi


menimbulkan korban dan kerusakan.
i. Kerentanan (vulnerability) adalah tingkat kekurangan kemampuan
suatu masyarakat untuk mencegah, menjinakkan, mencapai
kesiapan, dan menanggapi dampak bahaya tertentu. Kerentanan
dapat berupa kerentanan fisik, ekonomi, sosial dan tabiat, yang
dapat ditimbulkan oleh beragam penyebab.
j. Kemampuan (capacity) adalah penguasaan sumber-daya, cara dan
kekuatan yang dimiliki penduduk, yang memungkinkan mereka
untuk, mempersiapkan diri, mencegah, menjinakkan,
menanggulangi, mempertahankan diri serta dengan cepat
memulihkan diri dari akibat bencana.
k. Risiko (risk) bencana adalah potensi kerugian yang ditimbulkan
akibat bencana pada suatu wilayah dan kurun waktu tertentu berupa
kematian, luka, sakit, jiwa terancam, hilangnya rasa aman,
mengungsi, kerusakan atau kehilangan harta, dan gangguan
kegiatan masyarakat.
l. Pencegahan (prevention) adalah upaya yang dilakukan untuk
mencegah terjadinya sebagian atau seluruh bencana.
m. Mitigasi (mitigation) adalah upaya yang dilakukan untuk
mengurangi risiko bencana dengan menurunkan kerentanan
dan/atau meningkatkan kemampuan menghadapi ancaman
bencana.
n. Mitigasi fisik (structure mitigation) adalah upaya dilakukan untuk
mengurangi risiko bencana dengan menurunkan kerentanan
dan/atau meningkatkan kemampuan menghadapi ancaman bencana
dengan membangun infrastruktur.
o. Mitigasi non-fisik (non structure mitigation) adalah upaya yang

10
dilakukan untuk mengurangi risiko bencana dengan menurunkan
kerentanan dan/ atau meningkatkan kemampuan menghadapi
ancaman bencana dengan meningkatkan kapasitas pemerintah dan
masyarakat dalam menghadapi bencana.
p. Kesiap-siagaan (preparedness) adalah serangkaian kegiatan yang
dilakukan untuk mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian
serta melalui langkah yang tepat guna dan berdaya guna.
q. Peringatan dini (early warning) adalah upaya pemberian
peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang
kemungkinan terjadinya bencana pada suatu tempat oleh lembaga
yang berwenang.
r. Tanggap darurat (emergency response) bencana adalah upaya
yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk
menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan
penyelamatan, evakuasi korban dan harta benda,

pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi,


penyelamatan, serta pemulihan pra-sarana dan sarana.
s. Bantuan darurat (relief) bencana adalah upaya memberikan
bantuan untuk memenuhi kebutuhan dasar pada saat keadaan
darurat.
t. Pemulihan (recovery) adalah upaya mengembalikan kondisi
masyarakat, lingkungan hidup dan pelayanan publik yang terkena
bencana melalui rehabilitasi.
u. Rehabilitasi (rehabilitation) adalah perbaikan dan pemulihan
semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat
yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama
untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek
pemerintahan dan kehidupan masyarakat pada wilayah
pascabencana.
v. Rekonstruksi (reconstruction) adalah pembangunan kembali
semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada wilayah

11
pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun masyarakat
dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan
perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban,
dan bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek
kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
w. Pengungsi adalah orang atau sekelompok orang yang terpaksa atau
dipaksa keluar dari tempat tinggalnya untuk jangka waktu yang
belum pasti sebagai akibat dampak buruk bencana.
x. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, dan/atau
badan hukum.
y. Prosedur tetap adalah serangkaian upaya terstruktur yang
disepakati secara bersama tentang siapa berbuat apa, kapan,
dimana dan bagaimana cara penanganan bencana.
z. Sistem penanganan darurat bencana adalah serangkaian jaringan
kerja berdasarkan prosedur-prosedur yang saling berkaitan untuk
melakukan kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat
kejadian bencana untuk mengurangi dampak buruk yang
ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi
korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan
pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta pemulihan prasarana
dan sarana.

12
BAB II KONDISI KEBENCANAAN

2.1. Gambaran Umum Wilayah


Kabupaten Ogan Ilir yang memiliki luas wilayah 2.666,07 km2 atau

seluas 266.607 hektar, secara fisik geografis terletak diantara 30 02'

sampai 30 48' LS dan diantara 1040 20' BT sampai 1040 48' BT.
Kabupaten Ogan Ilir mempunyai batas wilayah administrasi sebagai
berikut:
Sebelah Utara : berbatasan dengan Kabupaten Banyuasin,
Kota Palembang dan Kabupaten MuaraEnim
Sebelah Selatan : berbatasan dengan Kabupaten OKU dan OKU
Timur
Sebelah Timur : berbatasan dengan Kabupaten OKI dan OKU
Timur
Sebelah Barat : berbatasan dengan Kab Muara Enim dan Kota
Prabumulih
Sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Ilir Nomor 22
Tahun 2005 tentang Pembentukan dan Susunan Organisasi Kecamatan
dalam Kabupaten Ogan Ilir, jumlah kecamatan dalam Kabupaten Ogan Ilir
sebanyak 16 kecamatan, dan sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Ogan Ilir
Nomor 21 Tahun 2006 tentang Pemekaran Kelurahan dan Perubahan
Status Desa Menjadi Kelurahan, serta Peraturan Bupati Ogan Ilir Nomor 44
Tahun 2006 tentang Pembentukan dan Pemekaran Desa di Kabupaten
Ogan Ilir, maka jumlah desa adalah 227 desa dan kelurahan adalah 14
kelurahan. Kecamatan terluas adalah Kecamatan Rambang Kuang dengan

luas 528,82 km2 diikuti Kecamatan Indralaya Utara seluas 472,33 km2,

Kecamatan Muara Kuang seluas 300,75 km2, Kecamatan Tanjung Batu

seluas 263,75 km2, Kecamatan Lubuk Keliat seluas 207,67 km2,

Kecamatan Payaraman seluas 180,57 km2, Kecamatan Pemulutan dengan

luas 116,92 km2, Kecamatan Indralaya seluas 101,22 km2. Sedangkan

13
kecamatan tersempit adalah Kecamatan Rantau Panjang yang luasnya

mencapai 40,85 km2 dan Kecamatan Sungai Pinang dengan luas 42,62

km2.
Desa terbanyak adalah desa di Kecamatan Pemulutan sebanyak
25 desa, Kecamatan Indralaya dengan 17 desa dan 3 kelurahan,
Kecamatan Tanjung Batu 19 desa dan 2 kelurahan, Kecamatan Tanjung
Raja 15 desa dan 4 kelurahan.

Tabel 2.1
Luas Wilayah Administrasi Kecamatan,
Jumlah Desa dan Kelurahan dalam
Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2018

Luas ilayah Jumla Jumlah


W h
No Kecamatan Km2 Hektar Desa Keluraha
n

1. Indralaya 101,22 10.122 17 3

2. Indralaya Utara 472,33 47.233 15 1


3. Indralaya Selatan 100,26 10.026 14 -
4. Pemulutan 116,92 11.692 25 -
5. Pemulutan Barat 66,00 6.600 11 -
6. Pemulutan Selatan 61,49 6.149 15 -
7. Tanjung Batu 263,75 26.375 19 2
8. Payaraman 180,57 18.057 11 2
9. Tanjung Raja 70,41 7.041 15 4
10. Sungai Pinang 42,62 4.262 12 1
11. Rantau Panjang 40,85 4.085 12 -
12. Muara Kuang 300,75 30.075 13 1
13. Rambang Kuang 528,82 52.882 13 -
14. Lubuk Keliat 207,67 20.767 10 -
15. Rantau Alai 62,16 6.216 13 -
16. Kandis 50,25 5.025 12 -
Total Kab. Ogan Ilir 2.666,07 266.60 227 14
7

Sumber : BPS Kabupaten Ogan Ilir

14
Gambar 2.1 Luas Wilayah Kabupaten Ogan Ilir
Sumber : BPS Kabupaten Ogan Ilir
Wilayah bagian utara Kabupaten Ogan Ilir merupakan hamparan
dataran rendah berawa yang sangat luas mulai dari Kecamatan
Pemulutan, Pemulutan Barat, Pemulutan Selatan, sampai Indralaya
Selatan. sedangkan Kecamatan Tanjung Batu, Payaraman, Lubuk Keliat,
Rambang Kuang dan Muara Kuang dengan dataran yang bertofografi
datar sampai bergelombang dengan ketinggian sampai 14 meter dari
permukaan air laut. Wilayah daratan Kabupaten Ogan Ilir mencapai 65 %
serta wilayah berair dan rawa-rawa sekitar 35 %. Derajat keasaman tanah
berkisar antara pH 4,0 sampai pH 6,0.

15
Gambar. 2.2. Peta Administrasi Kabupaten Ogan Ilir

Kabupaten Ogan Ilir dialiri oleh satu sungai besar yaitu sungai
ogan yang mengalir mulai dari Kecamatan Muara Kuang, Rantau Alai,
Tanjung Raja, Rantau Panjang, Indralaya, Pemulutan Selatan,
Pemulutan Barat dan Pemulutan yang bermuara di Sungai Musi
Kertapati Kota Palembang. Sedangkan sungai kecil antara lain sungai
kelekar, sungai rambang, sungai kuang, sungai randu yang bermuara di
sungai ogan, dan sungai Keramasan yang bermuara di Sungai Musi
Palembang. Danau yang ada berupa Danau Lebung Karangan yang
terletak di sebelah barat Desa Tanjung Sejaro Kecamatan Indralaya,
serta rawa sungai Kelekar yang dijadikan objek wisata alam di Tanjung
Putus Kota Indralaya.
Jenis penggunaan lahan di Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2013 terdiri

16
dari lahan yang sudah diusahakan mencapai 156,985 hektar atau 69,28
%, belum diusahakan sebanyak 27,965 ha atau 12,341 % dan tanah
lainnya sebesar 41,657 ha atau 18,38 %. Jenis penggunaan lahan
yang sudah diusahakan meliputi Lahan sawah, yang terdiri dari sawah
tadah hujan 2,250 ha atau 1,00 % dan lahan sawah rawa lebak 64,970
ha atau 28,67 %, sedangkan lahan bukan sawah terdiri dari tegal/kebun
19,384 ha atau 8,55 %, ladang/huma 5,463 ha atau 2,41 %, perkebunan
57,308 ha atau 25,29 % dan hutan rakyat 7,610 ha atau 3,36 %,
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Ogan Ilir 2007- 2017 yang telah disahkan dengan Peraturan Daerah
Kabupaten Ogan Ilir Nomor 21 Tahun 2007, terbagi ke dalam kawasan
budidaya, kawasan lindung dan kawasan lainnya. Kawasan budidaya
yang terdiri dari kawasan kehutanan, permukiman dan kawasan
pertanian, perkebunan, peternakan dan perikanan tersebar di seluruh
kecamatan. Kawasan lindung terdiri dari kawasan Daerah Aliran Sungai,
dan Kawasan Penyangga Sumber Daya Air seperti Lebak Polder.
Kawasan industri dibagi menjadi kawasan industri besar yang
terletak pada wilayah desa Pegayut dan desa Ibul Besar Kecamatan
Pemulutan, serta di jalur lintas timur Palembang-Kota Indralaya di
kawasan jalan lurus km 20, kawasan industri kecil kerajinan rakyat
terletak di sekitar Kecamatan Tanjung Batu dan Kecamatan Indralaya
Selatan. Kawasan industri berbahan baku pertanian terletak di kawasan
agropolitan Kecamatan Indralaya Utara yang luas seluruhnya sekitar
22.000 hektar beusat di Desa Bakung di AgroTechnoPark (ATP) Binaan
Kementerian Riset dan Teknologi RI. Sedangkan kawasan pendidikan
diletakkan di sekitar Universitas Sriwijaya seperti TK Negeri Pembina
Indralaya, SMAN 1 Unggulan dan SMK Negeri di Indralaya Utara dan
sekitar Pondok Pesantren Raudhatul Ulum di Desa Sakatiga Kecamatan
Indralaya seperti MAN Sakatiga dan SMP Islam teadu. Selain itu juga
ditetapkan kawasan Kota Teadu Mandiri (KTM) Transmigrasi di Sungai
Rambutan dan Parit Kecamatan Indralaya Utara.

17
2.1.1 Demografi
Pada tahun 2016 tercatat jumlah penduduk Kabupaten Ogan Ilir
sebanyak 414.504 jiwa, sedangkan di tahun 2017 mengalami kenaikan
menjadi 419.773 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,27. Jumlah
penduduk yang selalu bertambah tiap tahunnya, sedangkan luas wilayah
yang tidak mengalami pemekaran menyebabkan tingkat kepadatan
penduduk di Kabupaten Ogan Ilir sebesar 155,47 jiwa/km2, kemudian naik
menjadi 157,45 jjiwa/km2 di tahun 2017. Ini berarti pada setiap kilometer
persegi dihuni oleh sebanyak sekitar 157 orang penduduk. Kepadatan
tertinggi terjadi di Kecamatan Tanjung Raja yakni 624,53 jiwa, dan
kepadatan terendah terjadi di kecamatan Rambang Kuang dengan 41,16
jiwa/km2.

Gambar 2.2 Grafik Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis


Kelamin
Sumber : BPS Kabupaten Ogan Ilir, 2017

18
Kabupaten Ogan Ilir memiliki penduduk suku asli Ogan Ilir dan
suku pendatang dari berbagai daerah di Indonesia. Adapun suku asli
Penduduk Kabupaten Ogan Ilir terdiri dari:
(1) Suku Ogan : meliputi penduduk di sepanjang sungai Ogan mulai dari
Desa Munggu sampai ke Embacang Kecamatan Muara Kuang dan
Lubuk Keliat. Bahasa yang dipergunakan adalah Bahasa Ogan.
(2) Suku Pegagan : meliputi penduduk di Kecamatan Tanjung Raja, Rantau
Panjang, Sungai Pinang, Rantau Alai, Kandis, Pemulutan, Pemulutan

Barat, Pemulutan Selatan, Indralaya dan Indralaya Selatan. Bahasa yang


terkenal adalah Bahasa Pegagan.
(3) Suku Penesak : atau disebut suku Meranjat, meliputi penduduk di
Kecamatan Tanjung Batu dan Payaraman serta sebagian Kecamatan
Lubuk Keliat (desa-desa ex Kecamatan Tanjung Batu) berbahasa Melayu
Palembang atau dikenal dengan Bahasa Meranjat.
Suku pendatang seperti suku Jawa dan Sunda kebanyakan berada di
Kecamatan Inderalaya Utara, Rantau Alai dan Muara Kuang. Bahasa
yang mereka gunakan adalah bahasa sunda atau jawa dan untuk
pergaulan dengan penduduk setempat menggunakan Bahasa Indonesia.

2.1.2 Topografi
Wilayah Kabupaten Ogan Ilir terdiri memiliki topografi yang relatif
datar dengan kemiringan lereng berkisar dari 0-5 % . Sedangkan
ketinggian wilayah di Kabupaten Ogan Ilir berkisar antara 0 – 50 meter
diatas permukaan laut.
Wilayah bagian utara Kabupaten Ogan Ilir merupakan hamparan
dataran rendah berawa yang sangat luas mulai dari Kecamatan
Pemulutan sampai Indralaya, sedangkan Kecamatan Tanjung Batu dan
Muara Kuang relatif tinggi dengan tofografi tertinggi diatas 10 meter dari
permukaan air laut. Wilayah daratan mencapai 65% dan rawa 35%.

19
Tabel 2.2
Daerah Aliran Sungai (DAS) di Wilayah Kabupaten Ogan Ilir

No Nama DAS Luas (KM2) Debit


1. Ogan 19.75 3
538 /
detik

Sumber : PU PR Kab. Ogan Ilir


2.1.3 Geologi
Geologi Regional Kabupaten Ogan Ilir secara tatanan stratigrafi
termasuk dalam sub cekungan Palembang, dan merupakan bagian dari
cekungan Sumatera Selatan yang terbentuk pada zaman tersier, hingga
diakhiri dengan endapan holosen.
Stratigrafi Regional Kabupaten Ogan Ilir dari tua ke muda terdiri atas
endapan gunung api, endapan sedimen dan endapan permukaan antara
lain Formasi Muara Enim (TMPM), Formasi Kasai (QTK) dan endapan
permukaan (Qs dan Qa).
Morfologi Kabupaten Ogan Ilir berdasarkan pengamatan topografi
dan litologi penyusunnya dapat dibagi menjadi 2 satuan morfologi yaitu,
Morfologi Bergelombang dan Morfologi Dataran.
Ditinjau dari aspek geologi, Kabupaten Ogan Ilir terdiri atas lima
formasi geologi, yaitu formasi alluvial, formasi Palembang anggota bawah,
formasi Palembang anggota tengah, formasi palembang anggota atas dan
formasi bahan gunung api muda Tugu Mulyo.
Struktur geologi yang kompleks seperti patahan, lipatan dan
ketidak-stabilan tanah, tidak ditemui di kabupaten ini. Dalam hubungan ini
dapat dinyatakan bahwa seluruh wilayah OI aman dari kemungkinan
bahaya longsor atau gangguan aktifitas geologis terutama gempa bumi.
Kendala utama bagi wilayah OI, berupa resiko erosi-sedimentasi
yang menimbulkan pendangkalan pada hampir seluruh sungai utama,
akibat kemerosotan pengelolaan DAS. Untuk menekan laju pengendapan
oleh erosi, setiap kegiatan pembangunan di daerah aliran sungai perlu
melalui pendekatan konservasi tanah dan air.

20
2.1.4 Iklim
Iklim di Ogan Ilir termasuk iklim tropis, musim kemarau antara bulan
Mei sampai Oktober dan musim hujan dari bulan Nopember sampai April.
Curah hujan rata-rata 2550 mm/tahun dengan simpangan baku 394mm.
Curah hujan bulanan tertinggi 339,4 mm dan terendah 102 mm. Evaporasi
potensial ( ef ) rata-rata pertahun daerah Ogan Ilir berkisar antara 1400
mm sampai dengan 1500mm.
Curah hujan rata-rata pertahun berkisar antara 1.096 mm, dan

jumlah hari hujan 66 per tahun. Suhu udara harian berkisar antara 230 C

sampai 320 Celcius serta rata-rata kelembapan udara harian berkisar


antara 69 % sampai 98 %.

2.2 Kebakaran Hutan dan Lahan


Kebakaran hutan dan lahan biasanya disebabkan karena faktor
manusia seperti pembukaan lahan pertanian baru dengan cara pembakaran,
baik yang dilakukan secara perorangan maupun kelompok tanpa ijin atau
menyalahi peraturan yang ada. Potensi risiko pada masyarakat berupa
kerugian harta benda, kerusakan hutan, kerusakan lahan pertanian,
perkebunan, perternakan, dan rumah penduduk. Potensi risiko pada
pemerintahan berupa kerusakan hutan lindung, hutan wisata dan taman
hutan rakyat (tahura), hutan tanaman industri, sarana dan prasarana umum.
Asap yang merupakan efek dari kebakaran hutan dan lahan
merupakan masalah nasional yang mengancam setiap tahun. Asap
disebabkan oleh terjadinya proses pembakaran baik lahan maupun
hutan. Secara umum, tingkat kadar asap tergantung dari banyak titik api
(fire spot) yang berpotensi membakar area hutan dan lahan. Semakin
banyak titik api (fire spot) di suatu wilayah yang rentan terbakar, maka
semakin besar potensi kebakaran yang menimbulkan asap. Dampak
yang ditimbulkan asap sangat mengkhawatirkan bagi kesehatan, selain
itu sangat menganggu aktivitas berbagai sektor. Asap dengan kadar

21
ISPU (Indeks Standar Pencemaran Udara) > 200 ppm dari aspek
kesehatan akan berakibat pada kondisi kesehatan masyarakat yang
beRisiko, sedangkan dari aspek transportasi dilihat dari sisi jarak
pandang yang akan berdampak pada kelancaran transportasi terutama
untuk penerbangan.

Gambar 2.3
Peta Sebaran Area/Lahan Kebakaran Tahun 2015 (LAPAN)

2.2.1 Profil Bencana Asap Akibat Kebakaran Lahan dan Hutan


Sesuai dengan tekstur lahan di Kabupaten Ogan Ilir yang
cenderung landai, dengan kondisi vegetasi lahan berupa lahan gambut
dan banyak ditumbuhi oleh berbagai tanaman baik tanaman hutan,
tanaman perkebunan maupun tanaman lainnya dan letak geografis yang
memiliki fenomena klimatologi yang spesifik, maka bencana alam yang
pernah dan sering terjadi di Kabupaten Ogan Ilir cukup beragam, yakni
berupa banjir, kekeringan, asap akibat kebakaran lahan dan hutan, angin
kencang (puting beliung), longsor.
Berdasarkan intensitas kejadian, cakupan area bencana, dan

22
implikasi yang ditimbulkan, maka bencana asap yang disebabkan oleh
karena kabakaran lahan dan hutan paling luas cakupan wilayah yang
terkena dampak asap tersebut, dan lama serta intensitas kejadian yang
paling sering. Hal tersebut disebabkan oleh karena sebaran asap sangat
tergantung pada jumlah titik panas (hot spot), arus dan kecepatan angin
yang terjadi pada saat kebakaran lahan dan hutan tersebut terjadi.

Gambar 2.3.

Peta Risiko Bencana Karhutla Sumatera Selatan


Sumber : BPBD Prov.Sumsel

2.2.2 Total Luasan Area Bekas Terbakar Tahun 2019


Total Luasan Areal Bekas Terbakar Kabupaten Ogan Ilir, Agustus,
September, Oktober 2019 berdasarkan pantuan Satelit Landsat 8 OLI
TIRS dan Satelit Sentinel 2A dan Sentinel 2B, adalah sebagai berikut :

23
Tabel 2.3
Lokasi dan Total Luasan Area Bekas Terbakar di
Kabupaten Ogan Ilir Tahun 2019

Luasan Hotspot
No Kecamatan Agustus September Oktober
Terbakar (Ha)

1 Indralaya 252 42 108


2 Indralaya Selatan 454
3 Indralaya Utara 2.806
4 Lubuk Keliat 2.523
5 Muara Kuang 2.102 17 98 98
6 Payaraman 42
7 Pemulutan 1.653 34 49 48
8 Pemulutan Barat 994
9 Pemulutan 459
Selatan
10 Rambang Kuang 120
11 Rantau Alai 572 5 6 6
12 Tanjung Batu 899 19 49 49
13 Tanjung Raja 202
Total 13.078 117 108 309
Luasan

24
BABIII PENGKAJIAN RISIKO BENCANA

3.1 Umum
Pengkajian risiko bencana merupakan bagian terpenting yang
digunakan sebagai dasar penyelenggaraan penanggulangan bencana di
Kabupaten Ogan Ilir. Ini disebabkan karena pengkajian risiko bencana
adalah sebuah pendekatan untuk memperlihatkan potensi dampak negatif
yang mungkin timbul akibat suatu potensi bencana yang mengancam.
Potensi dampak negatif tersebut dihitung berdasarkan tingkat kerentanan
dan kapasitas kawasan tersebut sehingga pengkajian risiko bencana
sangat berkaitan dengan kajian bahaya, kerentanan dan kapasitas.
Hubungan ketiga komponen tersebut dengan risiko atau dampak yang
ditimbukan oleh bencana dapat dilihat sesuai dengan pendekatan berikut.
𝑉
R≈Hx𝐶

Keterangan :
R : Risk (Risiko bencana)
H : Hazard (Bahaya)
V : Vulnerability (Kerentanan)
C : Capacity (Kapasitas)
Dari pendekatan tersebut terlihat kerentanan dan kapasitas
berbanding terbalik dalam menentukan risiko bencana. Risiko terjadi
karena adanya bahaya, kerentanan terhadap bencana yang tinggi,
sedangkan kapasitas daerah berada pada tingkatan rendah. Semakin
tinggi kerentanan dan semakin rendah kapasitas daerah, maka semakin
tinggi risiko atau dampak negatif yang ditimbulkan oleh bencana. Kajian
risiko merupakan salah satu wadah untuk menentukan potensi besaran
bahaya, kerentanan, kapasitas, dan risiko Kabupaten Ogan Ilir terhadap
bencana. Berdasarkan pengkajian komponen tersebut dilihat potensi
jumlah jiwa yang terpapar, kerugian harta benda, dan kerusakan
lingkungan akibat bencana. Hasil kajian tersebut diharapkan mampu
menjadi dasar yang memadai bagi daerah utnuk menyusun rekomendasi

25
kebijakan penanggulangan becnana dan menjadi dasar yang kuat dalam
upaya pengurangan risiko bencana di Kabupaten Ogan Ilir untuk dapat
memperkecil ancaman kawasan, mengurangi kerentanan kawasan yang
terancam, meningkatkan kapasitas kawasan yang terancam.

3.2 Metodologi
Pengkajian risiko bencana disusun berdasarkan acuan Peraturan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 02 Tahun 2012
tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana dan referensi
pedoman lainnya yang ada di kementerian/lembaga di tingkat nasional.
Aturan tersebut sebagai dasar menentukan parameter-parameter setiap
perhitungan indeks pada komonen bahaya, kerentanan dan kapasitas.
Metode yang digunakan dalam pengkajian tersebut seperti gambar
berikut.

Gambar 3.1 Metode Pengkajian Risiko Bencana

Sumber : Perka BNPB Nomor 02 Tahun 2012

Berdasarkan gambar metode pengkajian risiko bencana diatas


dilihat bahwa perencanaan penanggulangan bencana didasari oleh

26
pemetaan risiko bencana. Peta risiko bencana diperoleh dengan melihat
peta bahaya, peta kerentanan dan peta kapasitas. Masing-masing peta
tersebut dikaji melalui komponen-komponen penentunya. Peta bahaya
didapatkan setelah pengkajian probabilitas dan intensitas kejadian, peta
kerentanan didapatkan melalui pengkajian sosial budaya, ekonomi, fisik
dan lingkungan, sedangkan peta kapasitas didapatkan melalui pengkajian
kelembagaan kebijakan, peringatan dini, peningkatan kapasitas, mitigasi
dan kesiapsiagaan. Masing-masing komponen untuk komponen untuk
pengkajian tersebut mengacu pada parameter tertentu sebagai dasar
tolak ukur bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan sehingga
dasar penentuan paramater merupakan dasar untuk menentukan hasil
kajian yang diproleh.

Bencana akan terjadi dan menimbulkan dampak kerugian bila skala


dari ancaman terlalu tinggi, kerentanan terlalu besar, dan kapasitas serta
kesiapan yang dimiliki masyarakat atau pemerintah tidak cukup memadai
untuk mengatasinya. Ancaman atau bahaya tidak akan menjadi bencana
apabila kejadian tersebut tidak menimbulkan kerugian baik fisik maupun
korban jiwa. Secara teknis, bencana terjadi karena adanya ancaman dan
kerentanan yang bekerjasama secara sistematis serta dipicu oleh faktor-
faktor luar sehingga menjadikan potensi ancaman yang tersembunyi muncul
ke permukaan sebagai ancaman nyata.
Nilai risiko bencana tergantung dari besarnya ancaman dan
kerentanan yang berinteraksi. Interaksi ancaman, kerentanan dan faktor -
faktor luar menjadi dasar untuk melakukan pengkajian risiko bencana
terhadap suatu daerah. Kajian risiko bencana menjadi landasan untuk
memilih strategi yang dinilai mampu mengurangi risiko bencana.
Kajian risiko bencana dilakukan dengan melakukan identifikasi,
klasifikasi dan evaluasi risiko melalui beberapa langkah, yaitu :

1. Pengkajian Ancaman;
Pengkajian ancaman dimaknai sebagai cara untuk memahami

27
unsur-unsur ancaman yang berisiko bagi daerah dan masyarakat.
Karakter-karakter ancaman pada suatu daerah dan masyarakatnya
berbeda dengan daerah dan masyarakat lain. Pengkajian karakter
ancaman dilakukan sesuai tingkatan yang diperlukan dengan
mengidentifikasikan unsur-unsur berisiko oleh berbagai ancaman di
lokasi tertentu.

2. Pengkajian Kerentanan;
Pengkajian kerentanan dapat dilakukan dengan menganalisa
kondisi dan karakteristik suatu masyarakat dan lokasi penghidupan
mereka untuk menentukan faktor-faktor yang dapat mengurangi
kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana. Kerentanan
dapat ditentukan dengan mengkaji aspek keamanan lokasi
penghidupan mereka atau kondisi-kondisi yang diakibatkan oleh
faktor-faktor atau proses-proses fisik, sosial ekonomi dan lingkungan
hidup yang bisa meningkatkan kerawanan suatu masyarakat
terhadap ancaman dan dampak bencana.
3. Pengkajian Kapasitas;
Pengkajian kapasitas dilakukan dengan mengidentifikasikan status
kemampuan individu, masyarakat, lembaga pemerintah atau non
pemerintah dan aktor lain dalam menangani ancaman dengan sumber
daya yang tersedia untuk melakukan tindakan pencegahan, mitigasi,
dan mempersiapkan penanganan darurat, serta menangani kerentanan
yang ada dengan kapasitas yang dimiliki oleh masyarakat tersebut.
4. Pengkajian dan Pemeringkatan Risiko
Pengkajian dan pemeringkatan risiko merupakan pengemasan
hasil pengkajian ancaman, kerentanan dan kemampuan/ketahanan
suatu daerah terhadap bencana hal tersebut diperlukan untuk
menentukan skala prioritas tindakan yang dibuat dalam bentuk rencana
kerja dan rekomendasi guna mengurangi risiko bencana.

28
3.3` Pemetaan Risiko Bencana
3.3.1 Kebakaran Hutan dan Lahan
Kajian ancaman bencana Kebakaran Hutan dan Lahan di Kabupaten
Ogan Ilir ditekankan pada penentuan zona rawan kebakaran hutan dan lahan
dengan metode kualitatif, yaitu dengan menggunakan data jenis hutan dan
lahan. Analisis tersebut digunakan dalam menentukan zona atau daerah-
daerah yang rawan bencana kebakaran hutan dan lahan dengan indeks
ancaman bencana adalah sebagai berikut :
Tabel 3.3
Indeks Ancaman Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan

Kelas Indeks Bobot


No Komponen Rendah Sedang Tinggi Total

1 Jenis Hutan dan Lahan Hutan Lahan


Perkebunan Padangrumput 50

2 Iklim Penghujan Penghujan- kemarau 50

Sumber : BNPB

Hasil pengolahan data untuk Risiko Bencana Kebakaran Hutan


dan Lahan di Kabupaten Ogan Ilir disajikan pada gambar 3.3 berikut ini .

Gambar 3.2 Peta Risiko Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan

29
Prioritas program pengurangan risiko pencapaiannya adalah :
1. Memastikan bahwa pengurangan risiko bencana menjadi sebuah
prioritas pemerindah Kabupaten Ogan Ilir dengan dasar
kelembagaan yang kuat untuk pelaksanaannya, dengan indikator
pencapaian :
a. Kerangka hukum dan kebijakan pemerintah Kabupaten Ogan Ilir
untuk pengurangan risiko bencana telah ada dengan
tanggungjawab eksplisit ditetapkan untuk BPBD Kabupaten
Ogan Ilir dan semua SKPD Terkait
b. Tersedianya sumber daya yang dialokasikan khusus untuk
kegiatan pengurangan risiko bencana di semua SKPD

c. Terjalinnya partisipasi dan desentralisasi komunitas melalui


pembagian kewenangan dan sumber daya pada tingkat lokal
d. Berfungsinya forum/jaringan daerah khusus untuk pengurangan
risiko bencana

2. Tersedianya Kajian Risiko Bencana Daerah berdasarkan data


bahaya dan kerentanan untuk meliputi risiko untuk sektor-sektor
utama daerah; dengan indikator :
a. Tersedianya kajian risiko bencana daerah berdasarkan data
bahaya dan kerentanan untuk meliputi risiko untuk sektor-sektor
utama daerah
b. Tersedianya sistem-sistem yang siap untuk memantau,
mengarsip dan menyebarluaskan data potensi bencana dan
kerentanan-kerentanan utama
c. Tersedianya sistem peringatan dini yang siap beroperasi untuk
skala besar dengan jangkauan yang luas ke seluruh lapisan
masyarakat
d. Kajian risiko daerah mempertimbangkan risiko-risiko lintas batas
guna menggalang kerjasama antar daerah untuk pengurangan
risiko

30
3. Terwujudnya penggunaan pengetahuan, inovasi dan pendidikan
untuk membangun ketahanan dan budaya aman dari bencana di
semua tingkat dengan indikator :
a. Tersedianya informasi yang relevan mengenai bencana dan
dapat diakses di semua tingkat oleh seluruh pemangku
kepentingan (melalui jejaring, pengembangan sistem untuk
berbagi informasi, dst)
b. Kurikulum sekolah, materi pendidikan dan pelatihan yang relevan
mencakup konsep-konsep dan praktik-praktik mengenai
pengurangan risiko bencana dan pemulihan
c. Tersedianya metode riset untuk kajian risiko multi bencana serta
analisis manfaat-biaya (cost benefit analysist) yang selalu
dikembangkan berdasarkan kualitas hasil riset
d. Diterapkannya strategi untuk membangun kesadaran seluruh
komunitas dalam melaksanakan praktik budaya tahan bencana
yang mampu menjangkau masyarakat secara luas baik di
perkotaan maupun pedesaan.

4. Mengurangi faktor-faktor risiko dasar; dengan indikator :


a. Pengurangan risiko bencana merupakan salah satu tujuan dari
kebijakan- kebijakan dan rencana-rencana yang berhubungan
dengan lingkungan hidup, termasuk untuk pengelolaan sumber
daya alam, tata guna lahan dan adaptasi terhadap perubahan
iklim
b. Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan pembangunan sosial
dilaksanakan untuk mengurangi kerentanan penduduk yang
paling berisiko terkena dampak bahaya
c. Rencana-rencana dan kebijakan-kebijakan sektoral di bidang
ekonomi dan produksi telah dilaksanakan untuk mengurangi
kerentanan kegiatan-kegiatan ekonomi
d. Perencanaan dan pengelolaan pemukiman manusia memuat

31
unsur-unsur pengurangan risiko bencana termasuk
pemberlakuan syarat dan izin mendirikan bangunan untuk
keselamatan dan kesehatan umum (enforcement of building
codes)
e. Langkah-langkah pengurangan risiko bencana dipadukan ke
dalam proses- proses rehabilitasi dan pemulihan pascabencana
f. Siap sedianya prosedur-prosedur untuk menilai dampak-dampak
risiko bencana atau proyek-proyek pembangunan besar,
terutama infrastruktur.
5. Memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana demi respon yang
efektif di semua tingkat, dengan indikator :
a. Tersedianya kebijakan, kapasitas teknis kelembagaan serta
mekanisme penanganan darurat bencana yang kuat dengan
perspektif pengurangan risiko bencana dalam pelaksanaannya
b. Tersedianya rencana kontinjensi bencana yang berpotensi terjadi
yang siap di semua jenjang pemerintahan, latihan reguler
diadakan untuk menguji dan mengembangkan program-program
tanggap darurat bencana
c. Tersedianya cadangan finansial dan logistik serta mekanisme
antisipasi yang siap untuk mendukung upaya penanganan
darurat yang efektif dan pemulihan pasca bencana
d. Tersedianya prosedur yang relevan untuk melakukan tinjauan
pasca bencana terhadap pertukaran informasi yang relevan
selama masa tanggap darurat
Berdasarkan pengukuran indikator pencapaian ketahanan daerah
maka kita dapat membagi tingkat tersebut kedalam 5 tingkatan, yaitu :

 Level 1 Daerah telah memiliki pencapaian-pencapaian kecil dalam


upaya pengurangan risiko bencana dengan melaksanakan beberapa
tindakan maju dalam rencana-rencana atau kebijakan
 Level 2 Daerah telah melaksanakan beberapa tindakan pengurangan
risiko bencana dengan pencapaian-pencapaian yang masih bersifat

32
sporadis yang disebabkan belum adanya komitmen kelembagaan
dan/atau kebijakan sistematis.
 Level 3 Komitmen pemerintah dan beberapa komunitas tekait
pengurangan risiko bencana di suatu daerah telah tercapai dan
didukung dengan kebijakan sistematis, namun capaian yang diperoleh
dengan komitmen dan kebijakan tersebut dinilai belum menyeluruh
hingga masih belum cukup berarti untuk mengurangi dampak negatif
dari bencana.
 Level 4 Dengan dukungan komitmen serta kebijakan yang menyeluruh
dalam pengurangan risiko bencana disuatu daerah telah memperoleh
capaian-capaian yang berhasil, namun diakui masih ada keterbatasan
dalam komitmen, sumber daya finansial ataupun kapasitas operasional
dalam pelaksanaan upaya pengurangan risiko bencana di daerah
tersebut.
 Level 5 Capaian komprehensif telah dicapai dengan komitmen dan
kapasitas yang memadai disemua tingkat komunitas dan jenjang
pemerintahan.

3.4 Analisis Ketahanan Kabupaten Ogan Ilir


Ketahanan Kabupaten Ogan Ilir dalam mengurangi risiko bencana
dapat diklasifikasikan berdasarkan prioritas Fokus kebijakan
penanggulangan bencana diperoleh berdasarkan analisis indeks ini.
1. Memastikan bahwa pengurangan risiko bencana menjadi sebuah
prioritas Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir, dengan dasar kelembagaan
yang kuat untuk pelaksanaannya. Komitmen terhadap penanggulangan
bencana telah dimiliki oleh Kabupaten Ogan Ilir dengan terbentuknya
BPBD Kabupaten Ogan Ilir. Komitmen ini telah dipertegas dalam bentuk
peraturan lainnya dengan menyediakan berbagai sumber daya untuk
mewujudkan komitmen ini. Walau masih sangat terbatas, sumber daya
ini telah tersebar diseluruh jenjang pemerintah.Namun demikian
penyebaran sumber daya ini masih terkesan hanya untuk mengikuti

33
aturan dari pemerintah pusat tanpa ada pemahaman makna dari
penyebaran sumber daya tersebut. Hal ini dapat dilihat dari
pemanfaatan sumber daya tersebut serta pemberian kewenangan yang
masih bersifat sentralistik di pemerintahan.

Partisipasi masyarakat dan komunitas lain belum didorong dan


diberikan ruang yang cukup luas dalam perencanaan, pemanfaatan dan
pengawasan sumber daya ini. Tidak hanya untuk sumber daya ,
kewenangan untuk terlibat langsung dalam upaya pengurangan risiko
bencana juga belum didelegasikan kepada komunitas hingga di tingkat
lokal. Kondisi ini mengakibatkan lambatnya pertumbuhan ketahanan
daerah ditingkat lokal dalam mengurangi risiko bencana.
Forum pengurangan risiko bencana yang dapat mempercepat
pertumbuhan ketahanan daerah belum berfungsi efektif. Forum baru
dibentuk di tingkat Provinsii dimana sebagian anggota masih belum
memahami fungsi-fungsi forum dalam mempercepat peningkatan
ketahanan. Sebagai lembaga non formal, forum diharapkan dapat
menembus birokrasi dan kendala anggaran dengan memanfaatkan
seluruh sumber daya dan kekuatan yang dimiliki oleh anggota forum.
2. Tersedianya Kajian Risiko Bencana Daerah berdasarkan data bahaya
dan kerentanan untuk meliputi risiko untuk sektor-sektor utama daerah
3. Terwujudnya penggunaan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk
membangun ketahanan dan budaya aman dari bencana di semua
tingkat, dan belum tersedianya kurikulum terkait pengurangan risiko
bencana baik pada lembaga pendidikan formal, informal dan non formal
menyebabkan pembangunan budaya keselamatan menjadi sedikit
terlambat di Kabupaten Ogan Ilir. Namun demikian perlu dicatat bahwa
inisiatif untuk mengembangkan kurikulum ini ke dalam mata pelajaran
yang sudah ada pada lembaga pendidikan formal sedang digalang oleh
Kabupaten Ogan Ilir Selatan. Inisiatif ini perlu dikembangkan lagi untuk
penggunaan di lembaga pendidikan informal dan non formal.
Sebagai langkah lain dalam pengembangan budaya keselamatan

34
adalah penggunaan ilmu praktis yang dapat diterapkan diseluruh segi
kehidupan masyarakat untuk mengurangi timbulnya jumlah korban saat
bencana dan mengurangi biaya pemulihan akibat bencana.
Pengembangan ilmu praktis yang dapat diterapkan oleh masyarakat ini
menjadi tanggungjawab lembaga riset baik ditingkat lokal, nasional
maupun internasional.

4. Mengurangi faktor-faktor risiko dasar


Masyarakat dengan penghasilan rendah biasanya tinggal dan
bergantung penghidupannya di daerah rentan. Oleh karena itu
pengembangan sektor produksi dan ekonomi diprioritaskan untuk
daerah rentan dan masyarakat yang bergantung pada daerah tersebut.
Tidak hanya pengembangan sektor produksi dan ekonomi, pemerintah

juga perlu mendukung masyarakat tersebut dengan jaringan


pengamanan sosial yang memadai dan mengarahkan pembentukan
kemandirian secara finansial dari masyarakat di daerah rentan.
Pemerintah Kabupaten Ogan Ilir telah melaksanakan beberapa
proyek terkait pengamanan sosial dan kesehatan. Namun fokus proyek
belum diarahkan secara khusus kepada masyarakat berisiko tinggi di
daerah rentan. Selain itu perlindungan terhadap faktor-faktor risiko lain
dapat dilaksanakan dengan menerapkan aturan dan kebijakan yang
berhubungan dengan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya
alam serta dengan mempertimbangkan kemampuan adaptasi daerah
terhadap perubahan iklim yang sedang terjadi. Hal ini membutuhkan
konsistensi dengan mengadaptasikannya kepada rencana pengelolaan
lingkungan dan tata guna lahan. Hal ini telah mulai dilaksanakan oleh
sebagian besar pemerintah Kabupaten Ogan Ilir termasuk pemerintah
provinsi Sumatera Selatan. Namun perlu komitmen kuat untuk
menjalankan perencanaan ini. Termasuk penggunaan metode reward
and punishment dalam mengimplementasikan perencanaan tersebut.
Untuk memastikan tidak adanya peningkatan risiko bencana yang

35
disebabkan oleh pembangunan, Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan
perlu melaksanakan mekanisme untuk menilai dampak risiko yang
ditimbulkan oleh pelaksanaan proyek pembangunan berskala besar. Hal
ini tidak hanya untuk menjamin keselamatan penduduk di sekitar
proyek, namun juga untuk menjamin keselamatan investasi pemilik
modal dari risiko bencana yang mungkin ditimbulkannya.
Tidak hanya untuk proyek pada skala besar, mekanisme ini juga
perlu dilaksanakan untuk pembangunan daerah hunian masyarakat.
Pembangunan daerah hunian baru ini harus mampu melindungi
masyarakat penghuninya dari ancaman bencana. Demikian halnya
untuk pembangunan daerah hunian baru pada masa pemulihan
bencana. Pembangunan daerah hunian ini perlu mempertimbangkan
unsur pengurangan risiko sehingga tidak muncul risiko bencana yang
lama sekaligus menghindari kemungkinan paparan risiko baru di daerah
hunian baru tersebut.

36
BAB IV REKOMENDASI

Berdasarkan kajian risiko bencana kebakaran hutan dan lahan


Kabupaten Ogan Ilir perlu dilakukan upaya pengurangan risiko
merupakan salah satu pelaksanaan penanggulangan bencana. Upaya
tersebut harus tersusun di dalam program dan kegiatan yang menjadi
prioritas bagi pengurangan risiko bencana. Prioritas program terpetakan
di dalam kegiatan-kegiatan yang lebih detail untuk dapat segera
dilaksanakan.

4.1 Kebijakan dan Program


Penyusunan kajian risiko bencana kebakaran hutan dan lahan
diproses dengan beberapa langkah. Langkah-langkah tersebut antara
lain: merumuskan prioritas program yang disusun oleh semua pihak,
mempertimbangkan aspek berkelanjutan dan partisipasi dari semua
pihak terkait serta membuat komitmen yang kuat dengan
mengedepankan tindakan-tindakan yang harus diprioritaskan, sehingga
bisa dijadikan landasan yang kuat untuk melaksanakan komitmen
bersama mengurangi risiko bencana di kabupaten Ogan Ilir.
Kebijakan-kebijakan pengurangan risiko bencana yang diambil adalah:
1. Meletakkan upaya pengurangan risiko bencana sebagai prioritas
daerah yang pelaksanaannya didukung oleh sistem dan
kelembagaan yang kuat;
2. Mengidentifikasi, mengkaji dan memantau risiko bencana serta
pelaksanaan mitigasi bencana termasuk sistem peringatan dini
yang berbasis pada kearifan lokal;
3. Memanfaatkan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk
membangun kesadaran keselamatan diri dan ketahanan
terhadap bencana pada semua tingkatan masyarakat
4. Mengurangi faktor-faktor penyebab risiko bencana sehingga
tingkat kerentanan bencana pada setiap aspek dapat dikurangi;

37
5. Meningkatkan kesadaran, kesiapsiagaan dan kepedulian
pemerintah dan masyarakat dalam menghadapi bencana
sehingga dapat mengurangi dampak yang timbul akibat bencana;
6. Meningkatan kapasitas pemerintah dan masyarakat dalam upaya
penanggulangan bencana.

Program-program pengurangan risiko bencana yang harus


dilakukan adalah:

1. Program Pengembangan Komunikasi dan Informasi dan Media


Massa;

2. Program Peningkatan Kualitas Produk Hukum Daerah;


3. Program Perencanaan Pembangunan Daerah;
4. Program Pengembangan Data dan Informasi;
5. Program Penelitian dan Pengembangan;
6. Program Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan
Ketatalaksanaan Pemerintah Daerah;
7. Program Perbaikan/Pemeliharaan Saluran Irigasi dan
Drainase”dikawasan yang serring terjadi kebakaran hutan dan
lahan.
8. Program Pengembangan Detail Tata Ruang Kawasan dan
Rencana Rinci Kawasan;
9. Program Peningkatan Kesiapsiagaan dan Pengendalian Bahaya
Kebakaran kebakaran hutan dan lahan
10. Program Pemeliharaan Sarana dan Prasarana Pemerintahan;

4.2 Upaya dan Rencana Aksi


Undang-undang Dasar 1945 mengamanatkan bahwa Negara
Republik Indonesia berkewajiban untuk melindungi segenap segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia tumpah darah.
Untuk mewujudkan hak-hak masyarakat atas perlindungan tersebut,
Pengurangan Risiko bencana mempunyai prinsip atas penyusunan dan

38
pelaksanaan upaya dan rencana aksi bagi pengurangan risiko bencana.
Beberapa prinsip tersebut adalah:
a. Penanggulangan bencana bukan lagi menjadi tanggung
jawab pemerintah semata tetapi menjadi kewajiban bersama
dengan masyarakat Provinsi Sumatera Selatan.
b. Masyarakat sebagai obyek dan subyek bagi pelaksanaan
pengurangan risiko bencana mempunyai hak yang sama
dalam menyampaikan usulan dan gagasan yang akan
dimasukan di dalam prioritas program yang disusun
pemerintah Kabupaten Ogan Ilir
c. Semua pihak mempunyai persepsi/pemahaman yang sama
dan mempunyai komitmen yang kuat untuk melaksanakan
upaya dan rencana aksi yang telah dirumuskan, agar dalam
pelaksanannya tidak terjadi benturan dan berjalan sesuai
tujuan yang diharapkan;
Dengan berdasarkan kepada kebijakan pengurangan risiko
bencana, maka upaya dan rencana aksi yang dilakukan sebagai
terjemahan dari kebijakan tersebut, meliputi:
1. Pengurangan risiko bencana sebagai prioritas daerah yang
didukung oleh sistem dan kelembagaan yang kuat, pelaksanaannya
meliputi:
a. Kelembagaan daerah dan kerangka hukum
1) Menyusun atau memperkuat mekanisme pengurangan risiko
bencana yang terpadu dengan melibatkan seluruh Instansi
horisontal (SKPD-SKPD terkait) dan instansi vertikal.
2) Integrasi pengurangan risiko bencana ke dalam kebijakan
dan perencanaan pembangunan, termasuk perencanaan
sektoral dan multi sektoral;
3) Mengadopsi atau memodifikasi hukum yang mendukung
pengurangan risiko bencana, termasuk peraturan dan
mekanisme untuk memberikan insentif bagi kegiatan-kegiatan

39
pengurangan risiko dan mitigasi bencana;
4) Mengenali karakteristik dan kecenderungan pola risiko
bencana lokal, melaksanakan desentralisasi kewenangan dan
sumber daya untuk pengurangan risiko kepada tingkatan
pemerintahan yang lebih rendah;

b. Sumber daya
1) Mengkaji kapasitas sumber daya manusia yang ada dan
menyusun rencana serta program peningkatan kapasitas
sumber daya manusia untuk memenuhi kebutuhan di masa
mendatang;
2) Mengalokasikan sumber daya untuk penyusunan dan
pelaksanaan kebijakan, program-program, hukum dan
peraturan dalam upaya pengurangan risiko bencana;
3) Pemerintah harus menunjukkan kemauan politik yang kuat
untuk menerapkan upaya pengurangan risiko bencana yang
terpadu ke dalam program pembangunan.

c. Partisipasi Masyarakat
Secara sistematis melibatkan masyarakat dalam upaya
pengurangan risiko bencana termasuk dalam pengambilan
keputusan di dalam proses pemetaan masalah, perencanaan,
implementasi, pemantauan, dan evaluasi, melalui pembentukan
jejaring termasuk jejaring relawan, pengelolaan sumber daya yang
strategis, penyusunan peraturan hukum dan pendelegasian
otoritas.

2. Identifikasi dan kajian terhadap risiko bencana serta pelaksanaan


mitigasi bencana, pelaksanaannya meliputi:
a. Pengkajian risiko bencana pada tingkatakabupaten
1) Mengembangkan, memperbarui dan menyebarluaskan
informasi risiko bencana kepada para pengambil kebijakan

40
dan masyarakat umum;
2) Mengembangkan sistem indikator risiko bencana dan
keberhasilan penanganan bencana yang akan membantu
para pengambil keputusan dalam mengkaji dampak bencana;
3) Merekam, menganalisis, merangkum dan menyebarluaskan
informasi statistik mengenai kejadian bencana, dampak dan
kerugian;
4) Mengumpulkan dan melakukan standarisasi data dan
informasi statistik mengenai risiko, dampak dan kerugian
bencana.

b. Mitigasi Bencana dan Peringatan Dini


1) Mengembangkan sistem peringatan dini termasuk petunjuk
tindakan yang harus dilakukan pada saat ada peringatan
bencana yang memasukan nilai- nilai kearifan lokal;
2) Melakukan peninjauan berkala dan memelihara sistem
informasi sebagai bagian dari mitigasi bencana;
3) Melakukan penguatan kapasitas yang menunjukkan bahwa
sistem peringatan dini terintegrasi dengan baik dalam
kebijakan pemerintah dan proses pengambilan keputusan
serta kesadaran masyarakat;
4) Memperkuat koordinasi dan kerjasama multi sektor dan multi
pemangku kepentingan dalam rantai mitigasi bencana;
5) Mendukung pengembangan dan peningkatan basis data
serta pertukaran dan penyebarluasan data untuk keperluan
pengkajian, pemantauan dan peringatan dini.

3. Pemanfaatan pengetahuan, inovasi dan pendidikan untuk


membangun kesadaran keselamatan diri dan ketahanan terhadap
bencana, pelaksanaannya meliputi:

41
a. Manajemen Informasi dan Pertukaran Informasi
1) Menyediakan informasi risiko dan pilihan perlindungan
bencana yang mudah dipahami terutama untuk masyarakat di
daerah berisiko tinggi;
2) Memperkuat jaringan ahli bencana, pejabat berwenang dan
perencana antar sektor dan wilayah, dan menyusun atau
memperkuat prosedur untuk memanfaatkan keahlian dalam
menyusun rencana pengurangan risiko bencana;
3) Meningkatkan dialog dan kerjasama antar para ahli dan
praktisi di bidang pengurangan risiko bencana;
4) Meningkatkan pemanfaatan dan penerapan informasi terkini,
komunikasi dan teknologi untuk mendukung upaya
pengurangan risiko bencana;
5) Dalam jangka menengah, mengembangkan direktori,
inventarisasi sistem pertukaran informasi di tingkat lokal,
nasional, regional dan internasional;
6) Institusi yang berhubungan dengan pengembangan
infrastruktur perkotaan harus menyediakan informasi
mengenai pemilihan konstruksi, pemanfaatan lahan atau jual
beli tanah;

b. Pendidikan dan Pelatihan


1) Memasukkan unsur pengetahuan pengurangan risiko
bencana yang relevan pada kurikulum sekolah;
2) Mempelopori implementasi pengkajian risiko dan program-
program kesiapsiagaan bencana di sekolah-sekolah;
3) Mempelopori penerapan program dan kegiatan minimalisasi
dampak bencana di sekolah-sekolah;
4) Mengembangkan program-program pelatihan dan
pembelajaran pengurangan risiko bencana pada sektor
tertentu (perencana pembangunan, penanggung jawab

42
keadaan darurat dan pemerintah Kabupeten Sumatera
Selatan);
5) Mempelopori pelatihan-pelatihan berbasis masyarakat
dengan penekanan pada aturan-aturan bagi sukarelawan;
6) Menyediakan akses pelatihan dan pendidikan yang sama
bagi perempuan dan konstituen rentan lainnya.

c. Penelitian
1) Membangun metode lanjutan untuk pengkajian prediksi
bencana multi risiko dan analisis sosio-ekonomi serta cost-
benefit dalam kegiatan pengurangan risiko bencana;
2) Memperkuat kapasitas teknis dan ilmiah untuk
mengembangkan dan menerapkan metodologi, kajian dan
model pengkajian kerentanan, serta dampak bencana
kebakaran hutan dan lahan.

d. Kepedulian Publik
Memperkuat peran media dalam membangun budaya
kesiapsiagaan bencana dan meningkatkan keterlibatan
masyarakat.

4. Pengurangan faktor-faktor penyebab risiko bencana, pelaksanaannya


meliputi:

a. Manajemen sumber daya alam dan lingkungan


1) Memperkuat pemanfaatan ruang yang baik dan kegiatan
pembangunan yang mengurangi risiko dan kerentanan;
2) Menerapkan pendekatan manajemen sumber daya alam dan
lingkungan terpadu yang berhubungan dengan upaya
pengurangan risiko bencana.

b. Pengembangan sektoral dan penguatan infrastruktur kota


1) Menggabungkan perencanaan pengurangan risiko bencana

43
dalam sektor kesehatan untuk menciptakan lingkungan yang
bebas dari dampak bencana;
2) Melindungi dan memperkuat fasilitas-fasilitas publik (sekolah,
rumah sakit, dll) agar tidak rentan terhadap bencana;
3) Menyatukan pengurangan risiko bencana dalam pemulihan
paska bencana dan proses rehabilitasi;
4) Meminimalkan risiko bencana dan kerentanan yang
diakibatkan oleh perpindahan manusia dan keanekaragaman
budaya;
5) Membangun mekanisme pendanaan risiko bencana seperti
asuransi bencana;
6) Memfasilitasi kerjasama dengan pihak swasta dan
meningkatkan partisipasi swasta dalam kegiatan
pengurangan risiko bencana.
c. Perencanaan tata guna lahan dan pengaturan teknis lainnya
1) Memasukkan aspek pengkajian risiko bencana ke dalam
perencanaan pemukiman tahan bencana;

2) Mengintegrasikan pengurangan risiko bencana dalam


prosedur perijinan dan perencanaan pembangunan
infrastruktur, termasuk kriteria desain, standarisasi struktur
bangunan dan pelaksanaan kegiatan tersebut;
3) Menyusun pedoman dan perangkat pengawasan
pengurangan risiko bencana dalam konteks kebijakan dan
perencanaan pemanfaatan lahan dan meningkatkan
pemanfaatan perangkat-perangkat ini;
4) Mengintegrasikan pengkajian risiko bencana ke dalam
perencanaan pengembangan wilayah.
.
5. Peningkatan kesadaran, kesiapsiagaan dan kepedulian pemerintah
dan masyarakat dalam menghadapi bencana, pelaksanaannya
meliputi:

44
a. Memperkuat kebijakan, kemampuan teknis dan kelembagaan
dalam penanggulangan bencana termasuk yang
berhubungan dengan teknologi, pelatihan, sumber daya
manusia dan lain-lain;
b. Mendukung dialog dan pertukaran informasi dan koordinasi
antara lembaga- lembaga yang menangani mitigasi bencana,
pengurangan risiko bencana, tanggap darurat,
pembangunan, dan sebagainya pada semua tingkatan;
c. Menyiapkan atau mengkaji ulang dan secara periodik
memperbarui rencana kesiapan bencana serta kebijakan dan
rencana tanggap darurat pada semua tingkatan;
d. Mengupayakan diadakannya dana darurat, logistik dan
peralatan untuk mendukung tanggap darurat bencana,
pemulihan dan langkah-langkah kesiapsiagaan bencana;
e. Membangun mekanisme khusus untuk menggalang
partisipasi aktif dan rasa memiliki dari para pemangku
kepentingan terkait termasuk masyarakat.

6. Peningkatan kapasitas pemerintah dan masyarakat dalam upaya


penanggulangan bencana, pelaksanaannya meliputi:
a. Mendukung pengembangan dan pelestarian infrastruktur, ilmu
pengetahuan, teknologi, kapasitas teknis dan institusi yang
diperlukan dalam penelitian, pengamatan, analisis,
pemetaan, pelatihan dan apabila memungkinkan perkiraan
bencana, kerentanan dan dampak bencana di masa
mendatang;
b. Mendukung peningkatan metode ilmiah dan teknis serta
kapasitas pengkajian risiko, pemantauan dan peringatan dini
melalui penelitian, kerjasama, pelatihan dan peningkatan
kapasitas teknis;

c. Peningkatan kapasitas sumber daya alam, sistem perangkat

45
hukum dan partisipasi masyarakat dalam upaya
penanggulangan bencana;
d. Menciptakan dan memperkuat kapasitas merekam,
menganalisis, merangkum, menyebarluaskan dan saling
bertukar data dan informasi ;
e. Meneliti, menganalisis dan melaporkan perubahan jangka
panjang dalam hal peningkatan kerentanan dan risiko serta
kapasitas masyarakat dalam merespons bencana.

46
BAB V PENUTUP

Pelaksanaan Pengurangan Risiko Bencana membutuhkan komitmen


kuat secara politis maupun teknis. Beberapa strategi advokasi dalam
dokumen ini diharapkan dapat membangun komitmen tersebut secara
optimal pada seluruh jenjang Kabupaten Ogan Ilir hingga terbangun dan
terlestarikannya budaya aman terhadap bencana di masyarakat sesuai
dengan Visi Penanggulangan Bencana Kabupaten Ogan Ilir.

Dokumen ini perlu selalu dievaluasi dan disesuaikan dengan


perkembangan dan perubahan-perubahan lingkungan serta kemajuan yang
mempengaruhi terjadinya bencana. Selain proses evaluasi, dokumen ini
juga perlu diterjemahkan menjadi Rencana Aksi Daerah (RAD) untuk
Pengurangan Risiko Bencana. Rencana Aksi ini juga memberikan ruang
bagi para mitra pemerintah untuk turut serta untuk berkontribusi dan
berpartisipasi aktif dalam pembangunan budaya aman terhadap bencana di
Kabupaten Ogan Ilir.

47
LAMPIRAN 1.
PETA RISIKO BENCANA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
KABUPATEN OGAN ILIR

48
LAMPIRAN 2.
PETA BAHAYA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
KABUPATEN OGAN ILIR

49
LAMPIRAN 3.
PETA KAPASITAS DAERAH
BENCANA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
KABUPATEN OGAN ILIR

50
LAMPIRAN 4.
PETA KERENTANAN
BENCANA KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
KABUPATEN OGAN ILIR

51

Anda mungkin juga menyukai