Anda di halaman 1dari 20

Fasilitas Pendidikan ABK

Oleh:

KRISTINA NUR APRENTI


(1401418144)

PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Anak-anak berkebutuhan khusus, adalah anak-anak yang memiliki keunikan tersendiri
dalam jenis dan karakteristiknya, yang membedakan mereka dari anak-anak normal pada
umumnya. Keadaan inilah yang menuntut adanya penyesuaian dalam pemberian layanan
pendidikan yang dibutuhkan. Keragaman yang terjadi, memang terkadang menyulitkan guru
dalam upaya pemberian layanan pendidikan yang sesuai. Namun apabila guru telah memiliki
pengetahuan dan pemahaman mengenai cara memberikan layanan yang baik, maka akan
dapat dilakukan secara optimal.
Pada bagian unit ini saudara akan mengkaji beberapa prinsip layanan pendidikan untuk
anak berkebutuhan khusus, yang dilangkapi dengan beberapa ilustrasi yang akan
memudahkan saudara untuk mengkajinya. Selain itu juga akan disampaikan pendekatan-
pendekatan pembelajaran yang sesuai untuk anak berkebutuhan khusus. Fasilitas
pembelajaran juga akan menjadi salah satu bahan kajian pada unit ini untuk mendukukung
layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus. Untuk memperdalam kajian saudara dalam
unit ini, saudara juga diminta untuk mengerjakan latihan-latihan yang disediakan. Dengan
demikian usai mengikuti kajian ini saudara akan memiliki pengetahuan dan keterampilan
dalam memberikan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
1.2 Rumusan Masalah
a. Apa saja prinsip-prinsip layanan anak berkebutuhan khusus ?
b. Apa saja pendeketan layanan anak berkebutuhan Khusus ?
c. Apa saja fasilitas anak berkebutuhan khusus
1.3 Tujuan
a. Untuk mengetahui prinsip-prinsip layanan ABK
b. Untuk mengetahui pendekatan setiap ABK
c. Untuk mengetahui fasilitas setiap ABK
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Prinsip-Prinsip Layanan ABK


Ilustrasi 1
Ani anak tunanetra, ia bersama temannya sesama tunanetra belajar di sekolah luar biasa.
Ia saling membantu dalam menggunakan reglet untuk menyalin apa yang diceriterakan oleh
gurunya. Gurunya dengan sabar mendekati mereka satu persatu sampai ia yakin mampu
menyalin dengan benar. Sementara Ida, juga tunanetra. Ida belajar bersama temannya anak
awas di SMA. Ida, dibacakan teks oleh temannya, dan direkam dalam kaset. Pada suatu
waktu, Ida mempunyai problem untuk memahami simbol kimia. Guru Kimia, dengan sabar
berkonsultasi dengan guru pembimbing khusus tentang penulisan braille untuk simbol kimia
yang dipermaslahkan. Akhirnya dengan bimbingan guru pembimbing khusus, Ida dapat
memahami simbol-simbol kimia.
Ilustrasi 2
Iwan, anak tunarungu berat. Ia belajar di kelas khusus dengan menggunakan komunikasi
total. Beberapa saat kadang guru mengajarkan bunyi kepada Iwan dengan berhadapan dan
menempelkan punggung tangannya ke leher guru untuk ikut merasakan suara yang
diucapkan oleh guru, dan Iwan diminta mengucapkan dengan merasakan getaran tangan
yang ditempelkan ke lehernya. Dengan pelan-pelan akhirnya Iwan dapat menirukan bunyi
yang diucapkan oleh guru walaupun tidak sempurna.
Ilustrasi 3
Yoyok, anak tunadaksa yang menggunakan kursi roda. Bersama teman yang lain ia
belajar di kelas. Sesekali ia disuruh guru untuk mengerjakan soal di depan dengan
menggunakan kursi rodanya. Yoyok tampak lincah, dan temannya sesama cacat saling
memberikan bantuan dan saling mendukung.
Berdasarkan illustrasi tersebut memberikan gambaran kepada kita betapa variasinya anak
berkebutuhan khusus dalam memperoleh layanan pendidikan. Untuk itu ada beberapa
prinsip dasar dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus pada umumnya
yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pendidikan. Prinsip dasar tersebut menurut
Musjafak Assjari (1995) adalah sebagai berikut:
1. Keseluruhan anak (all the children)
Layanan pendidikan pada anak berkebutuhan khusus harus didasarkan pada
pemberian kesempatan bagi seluruh anak berkebutuhan khusus dari berbagai derajad,
ragam, dan bentuk kecacatan yang ada. Dengan layanan pendidikan diharapkan anak
dapat mengembangkan potensi yang dimilikinya seoptimal mungkin, sehingga ia
dapat mencapai hidup bahagia sesuai dengan kecacatannya. Konsekuensi dari ini,
guru seyogyanya bersifat kreatif. Guru dituntut mencari berbagai pendekatan
pembelajaran yang cocok bagi anak . Pendekatan tersebut disesuaikan dengan
keunikan dan karakteristik dari masing-masing kecatatan.
2. Kenyataan (reality)
Pengungkapan tentang kemampuan fisik dan psikologis pada masing-masing anak
berkebutuhan khusus mutlak untuk dilakukan. Hal ini penting, mengingat malalui
tahapan tersebut pelaksanaan pendidikan maupun pelaksanaan rehabilitasi dapat
memberikan layanan yang sesuai dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-
masing anak berkebutuhan khusus. Dasar pendidikan yang menempatkan pada
kemampuan masing-masing anak tunadaksa inilah yang dimaknai sebagai dasar yang
berlandaskan pada kenyataan (reality)
3. Program yang dinamis (a dynamic program)
Pendidikan pada dasarnya bersifat dinamis. Pendidikan dikatakan dinamis karena
yang menjadi subjek pendidikan adalah manusia yang sedang tumbuh dan
berkembang, yang di dalamnya terdapat proses yang bergradasi, berkesinambungan
untuk mencapai sasaran pendidikan. Dinamika dalam proses pendidikan terjadi
karena subjek didiknya selalu berkembang, sehingga penyesuaian layanan harus
memperhatikan akan perkembangan yang terjadi pada subjek didik. Dinamika dapat
pula terjadi pada perkembangan ilmu pengetahuan. Kedua kenyataan ini menuntut
guru untuk mengkaji teori-teori pendidikan yang berkembang setiap saat.
Memperhatikan kedua dinamika tersebut layanan pendidikan seharusnya
memperhatikan karakteristik yang cukup heterogen pada anak dengan segala
dinamikanya.
4. Kesempatan yang sama (equality of opportunity)
Pada dasarnya anak berkebutuhan khusus diberikan kesempatan yang sama untuk
mengembangkan potensinya tanpa memprioritaskan jenis-jenis kecacatan yang
dialaminya. Titik perhatian pengembangan yang utama pada anak berkebutuhan
khusus adalah optimalisasi potensi yang dimiliki masing-masing anak melalui
jenjang pendidikan yang ditempuhnya. Hal-hal yang bersifat teknis berkaitan dengan
sarana dan prasarana sekolah disesuaikan dengan kenyataan yang ada. Kesempatan
yang sama dalam memperoleh pendidikan menuntut penyelenggara pendidikan bagi
anak berkebutuhan khusus untuk menyediakan dan mengusahakan sarana dan
prasarana pendidikan sesuai dengan kebutuhan anak dan variasi kecacatannya.
5. Kerjasama (cooperative)
Pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus tidak akan berhasil mengembangkan
potensi mereka mana kala tidak melibatkan pihak-pihak yang terkait. Beberapa pihak
yang terkait yang paling utama adalah orangtua. Orangtua anak berkebutuhan khusus
perlu dilibatkan dalam merancang dan menyelenggarakan program pendidikan.
Selain orangtua, pihak lain yang terkait adalah dokter, psikolog, psikhiater, pekerja
sosial, ahli terapi okupasi, dan ahli fisioterapi, konselor, dan tokoh masyarakat
utamanya mempunyai perhatian dalam dunia pendidikan anak.
Selain kelima prinsip tersebut di atas, ada prinsip lain yang juga perlu diperhatikan dalam
penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Prinsip-prinsip tersebut
adalah:
1) Prinsip kasih sayang
Sebagai manusia, anak berkebutuhan khusus membutuhkan kasih sayang dan
bukan belas kasihan. Kasih sayang yang dimaksudkan merupakan wujud
penghargaan bahwa sebagai manusia mereka memiliki kebutuhan untuk diterima
dalam kelompok dan diakui bahwa mereka adalah sama seperti anak-anak yang
lainnya. Perubahan lingkungan dari lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang ke
lingkungan sekolah pada awal anak masuk sekolah merupakan peristiwa yang
menentukan bagi perkembangan anak selanjutnya.
2) Prinsip keperagaan
Anak berkebutuhan khusus ada yang memiliki kecerdasan di bawah jauh rata-rata.
Keadaan ini berakibat anak mengalami kesulitan dalam menangkap informasi, ia
memiliki keterbatasan daya tangkap pada hal-hal yang konkret, ia mengalami
kesulitan dalam menangkap hal-hal yang abstrak. Untuk itu, guru dalam
membelajarkan anak hendaknya menggunakan alat peraga yang memadai agar anak
terbantu dalam menangkap pesan. Alat-alat peraga hendaknya disesuaikan dengan
bahan, suasana, dan perkembangan anak.
3) Kemampuan anak
Heteroginitas mewarnai kelas-kelas pendidikan pada anak berkebutuhan khusus,
akibatnya masing-masing subjek didik perlu memperoleh perhatian dan layanan yang
sesuai dengan kemampuannya. Kemampuan yang dimaksud meliputi keunggulan-
keunggulan apa yang ada pada diri anak, dan juga aspek kelemahan-kelemahannya.
Proses pendidikan yang berdasar pada kemampuan anak akan lebih terarah
ketimbang yang berdasar bukan pada kemampuan anak, seperti keinginan orangtua
atau tuntutan paket kurikulum. Orangtua memang memiliki anaknya, tetapi
seringkali terjadi orangtua kurang dan tidak mengetahui kemampuan anaknya.
Mereka menganggap sama pada semua anaknya.
Oleh karena itu, sebelum dan selama proses pendidikan orangtua perlu disertakan
dalam proses pendidikan anaknya, sehingga kemampuan dan perkembangannya
dapat diikutinya. Selain itu, guru n harus mampu menterjemahkan tuntutan
kurikulum terhadap heteroginitas kemampuan masing-masing subjek didik.
4) Pembiasaan
Penanaman pembiasaan pada anak normal lebih mudah bila dibarengi dengan
informasi pendukungnya. Hal ini tidak mudah bagi anak berkebutuhan khusus.
Pembiasaan bagi anak berkebutuhan khusus membutuhkan penjelasan yang lebih
konkret dan berulang-ulang. Hal ini dilakukan karena keterbatasan indera yang
dimiliki oleh anak berkebutuhan khusus dan proses berpikirnya yang kadang lambat.
Untuk itu, pembiasaan pada anak berkebutuhan khusus harus dilakuakn secara
berulang-ulang dan diringi dengan contoh yang konkret.
5) Latihan
Latihan merupakan cara yang sering ditempuh dalam pendidikan bagi anak
berkebutuhan khusus. Latihan sering dilakukan bersamaan dengan pembentukan
pembiasaan. Porsi latihan yang diberikan kepada anak berkebutuhan khusus
disesuaikan dengan kemampuan yang dimilikinya. Pemahaman akan kemampuan
anak dalam memberikan latihan pada diri subjek didik akan membantu penguasaan
keterampilan yang telah dirancangkan lebih dahulu. Latihan yang diberikan tidak
melebihi kemampuan anak, sehingga anak senang melakukan kegiatan yang telah
diprogramkan oleh pengelola pendidikan.
6) Pengulangan
Karakteristik umum anak berkebutuhan khusus adalah mudah lupa. Oleh karena
itu, pengulangan dalam memberikan informasi perlu memperoleh perhatian
tersendiri. Pengulangan diperlukan untuk memperjelas informasi dan kegiatan yang
harus dilakukan anak. Meskipun hal ini sering menjemukan, tetapi kenyataan mereka
memerlukan demi penguasaan suatu informasi yang utuh.
7) Penguatan
Penguatan atau reinforcement merupakan tuntutan untuk membentuk perilaku
pada anak. Pemberian penguatan yang tepat berupa pujian, atau penghargaan yang
lain terhadap munculnya perilaku yang dikehendaki pada anak akan membantu
terbentuknya perilaku. Pujian yang diberikan padanya akan memiliki arti tersendiri
dalam pencapaian usaha keberhasilan. Secara psikologis akan memberikan
penghargaan pada diri subjek didik, bahwa dirinya mampu berbuat. Penghargaan ini
akan memberikan motivasi pada diri mereka. Bila ini terjadi, anak akan berusaha
untuk menampilkan prestasi lain.
2.2 Pendekatan Layanan Pendidikan
Secara umum, dikenal adanya dua pendekatan yang sering dilakukan dalam memberikan
layanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, yaitu (1) pendekatan
kelompok/klasikal, dan (2) pendekatan individual. Pendekatan kelompok, memilki kelebihan
dalam hal pelaksanaan dari segi waktu, tenaga, dan biaya. Dari segi waktu, tentunya tidak
harus menyediakan waktu khusus bagi setiap individu siswa, demikian pula untuk tenaga
dan biaya.
Sedang kelemahananya berkenanaan dengan efektifitas pembelajaran, yang sudah barang
tentu kurang efektif untuk anak-anak berkebutuhan khusus dalam pencapaian tujuan
kompetensinya. Lain halnya dengan pendekatan individual, pencapaian kompetensi yang
diharapkan tentu akan lebih baik dan lebih efektif, sesuai dengan kondisi dan kemampuan
masing-masing anak. Selain itu, guru juga akan mudah memantau perkembangan dan
kemajuan yang telah dicapai, serta memberikan bantuan yang dibutuhkan.
Selain pendekatan individu dan pendekatan kelompok, bagi anak berkebutuhan ada
pendekatan lain yang berorientasi ke pencapaian hasil belajar anak, yaitu pendekatan
remidial dan pendekatan akseleratif. Pendekatan remidial bertujuan untuk membantu anak
berkebutuhan khusus dalam upaya mencapai kompetensi yang ditentukan dengan lebih
menekankan pada hambatan atau kekurangan yang ada pada anak berkebutuhan khusus.
Pendekatan remidial didasarkan pada bagian-bagian sub kompetensi yang belum dicapai
oleh anak. Melalui pendekatan remidial anak dilatih dan didorong secara indivudal untuk
nmenutup kekurangan yang ada pada dirinya dengan memperhatikan kemampuan yang ia
miliki.
Pada pendekatan akseleratif bertujuan untuk mendorong anak berkebutuhan khusus,
utamanya anak berbakat untuk lebih lanjut menguasai kompetensi yang ditetapkan berdasar
assesmen kemampuan anak. Pendekatan akselerasi juga lebih bersifat individual.
1. Anak Berkelainan Fisik
Anak-anak berkebutuhan khusus yang mengalami kelainan fisik, yang dalam
konteks ini meliputi, anak tunanetra, anak tunarungu, dan anak tunadaksa
membutuhkan layanan pendidikan dengan pendekatan dan strategi khusus, yang
secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut:
1) Anak Tunanetra
Annastasia Widjajanti dan Imanuel Hitipeuw, (1995) menyatakan bahwa
layanan khusus bagi anak tunanetra meliputi:
a. Penguasaan braille.
Penguasaan braille yang dimaksud adalah kemampuan untuk
menulis dan membaca braille. Keterampilan menulis berkaitan dengan
penggunaan alat tulis braille, yaitu reglet, mesik ketik braille; penulisan
huruf, angka, kombinasi angka dan huruf, dan komputer braille,
sedangkan membaca lebih berkaitan dengan keterampilan membaca dari
berbagai media tulisan.
b. Latihan orientasi dan mobilitas
Latihan orientasi dan mobilitas adalah jalan dengan pendamping
awas, latihan jalan mandiri, latihan jalan dengan menggunakan alat bantu
jalan (tongkat dan sign guide). Selain itu juga perlu penguasaan latihan
bantu diri di kamar mandi dan WC, di kamar makan, di kamar tidur, di
dapur,di kamar tamu, sampai mampu mandiri ke sekolah dan tempat
yang lain.
c. Penggunaan alat bantu dalam pembelajaran berhitung dan matematika
Meliputi cubaritma, papan taylor frame, abacus (sempoa) dalam
operasi penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, dan beberapa
komsep matematikan braille.
d. Pembelajaran pendidikan jasmani bagai anak tunanetra.
Pembelajaran pendidikan jasmani bagi anak tuna netra
menggunakan pendidikan jasmani adaftif. Adaftasi yang dilakukan
berkaitan dengan jenis kecacatan anak, kemampuan fisik anak, dan
memodifikasi sarana dan prasarana olah raga meliputi ukuran
lapangan/lintasan, alat yang digunakan dalam olah raga, dan aturan yang
dipakai.
2) Anak Tunarungu
Layanan pendidikan yang spesifik bagi anak tuna rungu adalah terletak
pada pengembangan persepsi bunyi dan komunikasi. Hallahan dan Kauffman,
(1988) menyatakan bahwa ada tiga pendekatan umum dalam mengajarkan
komunikasi anak tunarungu, yaitu: Ada beberapa cara dalam mengembangkan
kemampuan komunikasi anak tunarungu, yaitu:
a. Metode oral,
Anak tunarungu dapat berkomunikasi secara lisan (verbal) dengan
lingkungan orang mendengar. Dalam hal ini perlu partisipasi lingkungan
anak tunarungu untuk berbahasa secara verbal. Dalam hal ini Van Uden,
menyarankan diterapkannya prinsip cybernetik, yaitu prinsip yang
menekankan perlunya suatu pengontrolan diri. Setiap organ gerak bicara
yang menimbulkan bunyi , dirasakan dan diamati sehingga hal itu akan
memberikan umpan balik terhadap gerakannya yang akan menimbulkan
bunyi selanjutnya.
b. Membaca ujaran.
Dalam dunia pendidikan membaca ujaran sering disebut juga
dengan membaca bibir (lip reading). Membaca ujaran yaitu suatu
kegiatan yang mencakup pengamatan visual dari bentuk dan gerak bibir
lawan bicara sewaktu dalam proses bicara. Membaca ujaran mencakup
pengertian atau pemberian makna pada apa yang diucapkan lawan bicara
di mana ekspresi muka dan pengetahuan bahasa turut berperan.
Ada beberapa kelemahan dalam menerapkan membaca ujaran,
yaitu (1) tidak semua bunyi bahasa dapat terlihat pada bibir, (2) ada
persamaan antara berbagai bentuk bunyi bahasa, misalnya bahasa bilabial
(p,b,m), dental (t,d,n) akan terlihat mempunyai bentuk yang sama pada
bibir, (3) lawan bicara harus berhadapan dan tidak terlalu jauh, (4)
pengucapan harus pelan dan lugas.
c. Metode manual.
Metode manual yaitu cara mengajar atau melatih anak tunarungu
berkomunikasi dengan isyarat atau ejaan jari. Bahasa manual atau bahasa
isyarat mempunyai unsur gesti atau gerakan tangan yang ditangkap
melalui penglihatan atau suatu bahasa yang menggunakan modalitas
gesti-visual.
d. Ejaan jari.
Ejaan jari adalah penunjang bahasa isyarat dengan menggunakan
ejaan jari. Ejaan jari secara garis besar dapat dikelompokan dalam tiga
jenis, yaitu (1) ejaan jari dengan satu tangan (onehanded), (2) ejaaan jari
dengan kedua tangan (twohanded), dan (3) ejaan jari campuran dengan
menggunakan satu tangan atau dua tangan.
e. Komunikasi total.
Komunikasi total merupakan upaya perbaikan dalam mengajarkan
komunikasi bagi anak tunarungu. Istilah komunikasi total pertama hali
dicetuskan oleh Holcomb (1968) dan dikembangkan lebih lanjut oleh
Denton (1970) dalam Permanarian Somad dan Tatti Hernawati (1996).
Komunikasi total merupakan cara berkomunikasi dengan menggunakan
salah satu modus atau semua cara komunikasi yaitu penggunaan sistem
isyarat, ejaan jari, bicara, baca ujaran, amplifikasi, gesti, pantomimik,
menggambar dan menulis serta pemanfaatan sisa pendengaran sesuai
kebutuhan dan kemampuan seseorang.
3) Anak Tunadaksa
Layanan pendidikan yang spesifik bagi anak tunadaksa adalah pada bina
gerak. Untuk memberikan layanan bina gerak yang tepat diperlukan dukungan
terapi, khususnya fisioterapi untuk memulihkan kondisi otot dan tulang anak
agar tidak semakin menurun kemampuannnya. Selain itu dukungan untuk bina
diri diperlukan terapi okupasi dan bermain. Menurut Frieda Mangunsong, dkk
(1998) layanan pendidikan bagi anak tunadaksa perlu memperhatikan tiga hal,
yaitu :
a. Pendekatan multidisipliner dalam program rehabilitasi anak tunadaksa
Pendekatan multidisipliner merupakan layanan pendidikan yang
melibatkan berbagai ahli terkait secara terpadu dalam rangka
mengoptimalkan memampuan yang dimiliki oleh anak. Beberapa ahli
terkait memberikan layanan rehabilitasi adalah ahli medis (dokter),
dokter tulang, dokter syaraf, ahli pendidikan, psikolog, pekerja sosial,
konselor, ahli fisioterapi, ahli terapi okupasi, ahli pendidikan khusus.
Dalam program rehabilitasi dikenal empat stadium, yaitu pertama,
stadium akut antara 0 – 6 sejak menderita. Pada stadium ini merupakan
stadium “survival”, berjuang untuk bertahan hidup. Kedua, stadium sub
acut: 6 – 12 minggu, merupakan stadium perawatan rutin, pemberian
fisioterapi dan terapi okupasi agar perkembangan otot dapat pulih dan
tumbuh walaupun minimal. Ketiga, stadium mandiri; pada stadium ini
anak lebih diarahkan untuk memperoleh keterampilan kerja untuk
kehidupan mendatang. Keempat, stadium “after care”; pada stadium ini
anak dipersipkan kembali ke rumah atau ke sekolah untuk mengikuti
program pendidikan selanjutnya.
b. Program pendidikan sekolah
Program pendidikan sekolah bagai mereka yang tidak mengalami
kelainan mental relatif sama dengan anak normal, hanya bina gerak
masih terus dikembangkan melalui fisioterapi dan terapi okupasi,
utamanya untuk perbaikan motoriknya. Orientasi pembelajaran juga lebih
bersifat individu, walaupun dapat juga secara klasikal. Bagi anak cerebral
palcy, binagerak masih terus diupayakan agar anak memperoleh
perkembangan yang optimal.
c. Layanan bimbingan dan konseling
Layanan bimbingan dan konseling diarahkan untuk
mengembangkan “self-respect” (menghargai diri sendiri). Sunarya
Kartadinata, (1998/1999) menyatakan bahwa anak tunadaksa perlu
mengembangkan self-respect, yaitu menghargai diri sendiri dengan cara
menerima diri sesuai dengan apa adanya, sehingga anak merasa bahwa
dirinya adalah sebagai seorang pribadi yang berharga.
2. Anak Berkelainan Mental Emosional
Layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang mengalami kelainan
mental-emosional meliputi anak tunagrahita dan anak tunalaras.
1) Anak Tunagrahita
Pendekatan layanan pendidikan bagi anak tunagrahita lebih diarahkan pada
pendekatan indivudual dan pendekatan remidiatif. Pendekatan individual didasarkan
pada asesment kemampuan anak untuk mengembangkan sisa potensi yang ada dalam
dirinya. Tujuan utama layanan pendidikan bagi anak tunagrahita adalah penguasaan
kemampuan aktivitas kehidupan sehari-hari dalam mengelola diri sendiri. Untuk
mencapai itu perlu pembelajaran mengurus diri sendiri dan pengembangan
keterampilan vocational terbatas sesuai dengan kemampuannnya.
Layanan pendidikan khusus bagi anak tunagrahita meliputi latihan senso motorik,
terapi bermain dan okupasi, dan latihan mengurus diri sendiri. Pendekatan
pembelajaran dilakukan secara individual dan remidiatif. Perkembangan kemampuan
anak berdasarkan tingkat kemampuan kornitifnya. Anak yang ber IQ 55 – 70 berbeda
dengan yang ber IQ 35 – 55. dalam sebaran IQ tersebut juga berbeda dalam layanan
masing-masing.
2) Anak Tunalaras
Pendekatan layanan pendidikan bagi anak tunalaras untuk pembelajaran akademik
relatif sama dengan anak normal. Khusus untuk kelainan perilakunya, pendekatan
pendidikan bagi anak tunalaras menggunakan pendekatan bimbingan dan konseling
serta terapi. Penggunaan pendekatan terapi sangat bergantung pada jenis dan tingkat
problem perilaku yang dimiliki oleh anak tunalaras. Selain pendekatan terapi, dalam
pembelajaran khusus untuk anak tunalaras adalah binapribadi-sosial anak. Mata
pelajaran ini diarahkan untuk membina perilaku positif anak tunalaras dalam
kaitannya dengan perilaku dirinya dan perilaku dalam berhubungan dengan orang
lain.
2.3 Macam-Macam Fasilitas ABK
Illustrasi 1
Atik, anak tuna netra, ia turun dari kendaraan unum terus berjalan memasuki halaman
sekolah dengan menggunakan tongkatnya. Sesekali ia berhenti untuk mengenali bagian
gapura dengan meraba di sisi gapura yang tertulis huruf braille tentang arah mereka masuk.
Ia masuk ke halaman sekolah secara hati-hati. Kebetulan di pojok gedung ada tulisan braille
yang menunjukkan arah ke ruang kelas mereka. Sisi gedung dibuat tumpul agar tidak
mencederai anak-anak. Akhirnya Atik sampai di ruang kelas, dan ia duduk di kursi depan
terus mengeluarkan reglet untuk mempersiapkan diri mengikuti pelajaran hari itu. Sepuluh
menit kemudian, pelajaran dimulai.
Hari itu pelajaran IPA tentang berbagai bentuk binatang. Guru menyiapkan speciment
binatang dari berbagai jenis dengan proporsi yang seimbang. Masing-masing speciment
binatang diminta untuk diraba dan diamati. Sesekali guru mencontohkan suara dari binatang
tersebut, dan karakteristik lain dari binatang yang sedang di bahas. Anak-anak mencatat
karakteristik tersebut dengan riglet dan kertas braillonnya.
1. Fasilitas Pendidikan Untuk Anak Tunanetra
a. Huruf Braille
Huruf Braille merupakan fasilitas utama penyelenggaraan pendidikan bagi
anak tunanetra. Huruf Braille ditemukan pertama kali oleh Louis Braille. Ia
menyusun tulisan yang terdiri dari enam titik dijajarkan vertikal tiga tiga. Dengan
menempatkan titik tersebut dalam berbagai posisi maka terbentuklah seluruh
abjad. Dengan menggunakan tulisan tersebut akan mempermudah para tuna netra
membaca dan menulis.
b. Tongkat putih
Tongkat putih merupakan fasilitas pendukung anak tunanetra untuk
orientasi dan mobilitas. Dengan tongkat putih anak tunanetra berjalan untuk
mengenali lingkungannya. Berbagai media alat bantu mobilitas dapat berupa
tongkat putih, anjing penuntun, kacamata elektronik, tongkat elektronik.
c. Laser cane (tongkat laser)
Tongkat laser adalah tongkat penuntun berjalan yang menggunakan sinar
infra merah untuk mendeteksi rintangan yang ada pada jalan yang akan dilalui
dengan memberi tanda lisan (suara).
2. Fasilitas pendidikan untuk anak tunarungu
Fasilitas penunjang untuk pendidikan anak tunarungu secara umum relatif sama
dengan anak normal, seperti papan tulis, buku, buku pelajaran, alat tulis, sarana
bermain dan olahraga. Namun karena anak tunarungu mempunyai hambatan dalam
mendengar dan bicara, maka mereka memerlukan alat bantu khusus. Alat bantu
khusus tersebut antara lain menurut Permanarian Somad dan Tati Hernawati, 1996
adalah hearing aids, audiovisual, tape recorder, cermin.
a. Hearing Aids (alat bantu dengar)
Alat bantu dengar ada bermacam-macam, yaitu yang diselipkan di
belakang telinga, di dalam telinga, dipakai pada saku kemeja (pocket), atau yang
dipasang pada bingkai kaca mata. Dengan menggunakan alat bantu dengar
(hearing aids) anak tunarungu dapat berlatih mendengakan, baik secara individual
maupun secara kelompok. Anak tunarungu yang menggunakan alat bantu dengar
diharapkan mampu memilih suara-suara mana yang diperlukan, dan dengan
bantuan mimik dan gerak bibir dari guru (speech therapist), maka anak tunarungu
dapat berlatih menangkap arti dari apa yang diucapkan oleh guru atau orang lain.
b. Audiovisual
Alat bantu audiovisual dapat berupa film, video-tapes, TV. Penggunaan
audiovisual tersebut sangat bermanfaat bagi anak tunarungu, karena mereka dapat
memperhatikan sesuatu yang ditampilkan sekalipun dalam kemampuan
mendengar yang terbatas. Sebagai contoh, penayangan film-film pendidikan, film
ilmiah populer, film kartun, dan siaran berita TV dengan bahasa isyarat.
c. Tape Recorder
Tape recorder sangat berguna untuk mengontrol hasil ucapan yang telah
direkam, sehingga kita dapat mengikuti perkembangan bahasa lisan anak
tunarungu dari hari ke hari dan dari tahun ke tahun. Selain itu, tape recorder
sangat membantu anak tunarungu ringan dalam menyadarkan akan kelainan
bicaranya, sehingga guru artikulasi lebih mudah membimbing mereka dalam
memperbaiki kemampuan bicara mereka. Tape recorder dapat pula digunakan
untuk mengajar tunarungu yang belum bersekolah dalam mengenal gelak-tawa,
suara-suara hewan, perbedaan antara suara tangisan dengan suara omelan, dan
sebagainya.
d. Cermin
Cermin dapat digunakan sebagai alat bantu anak tunarungu dalam belajar
mengucapkan sesuatu dengan artikulas yang benar. Di samping itu, anak
tunarungu dapat menyamakan ucapannya melalui cermin dengan apa yang
diucapkan oleh guru atau Artikulator (speech therapist). Dengan menggunakan
cermin, Artikulator dapat mengontrol gerakan-gerakan yang didak tepat dari anak
tunarungu, sehingga mereka menyadari dalam mengucapkan konsonan, vokal,
kata-kata, kalimat secara benar.
3. Fasilitas Pendidikan Untuk Anak Tunagrahita
Fasilitas pendidikan untuk anak tunagrahita relatif sama dengan falilitas
pendidikan untuk anak umum di sekolah dasar dan fasilitas pendidikan di taman
kanak-kanak. Fasilitas pendidikan lebih diarahkan untuk latihan sensomotorik dan
pembentukan motorik halus. Walaupun demikian fasilitas yang berkaitan dengan
pembinaan motorik kasar juga perlu disediakan secara memadai. Secara garis besar
fasilitas pendidikan yang harus disesuaikan dengan karakteristik anak tunagrahita
adalah:
a. Fasilitas pendidikan yang bekaitan latihan sensorimotor
Fasilitas pendidikan dan penunjang pendidikan bagi anak tunagrahita yang
berkaitan dengan latihan sensomotorik di antaranya:
1) berkaitan dengan visual: berbagai bentuk benda, manik-manik, warna, dsb.
2) berkaitan dengan perabaan dan motorik tangan: manik-manik, benang,
crayon, wash, lotion, kertas amril, dsb.
3) berkaitan dengan pembau: kamper, minyak kayu putih, dsb. berkaitan
dengan koordinasi: menara gelang, puzzle, meronce, dsb.
b. Fasilitas pendidikan yang berkaitan dengan aktivitas kehidupan keseharian
Fasilitas yang berkaitan dengan kehidupan keseharian (Activity Daily
Leaving) berupa permainan untuk mendukung aktivitas kehidupan sehari-hari
atau peralatan untuk latihan kehidupan sehari-hari, di antaranya:
1) latihan kebersihan dan gosok gigi
2) latihan berpakaian, bersepatu
3) permainan dengan boneka dan alat lainnya, dsb.
c. Fasilitas pendidikan yang berkaitan dengan latihan motorik kasar
Fasilitas yang berkaitan dengan latihan motorik kasar di antaranya dapat
berupa:
1) latihan bola kecil
2) latihan bola besar
3) permainan keseimbangan, dsb.
4. Fasilitas Pendidikan Untuk Anak Tunadaksa
Fasilitas pendidikan untuk anak tunadaksa berkaitan dengan prasarana dan sarana
langsung yang diperlukan dalam layanan pendidikan anak tunadaksa. Prasarana yang
dirancang untuk anak tunadaksa hendaknya memenuhi tiga kemudahan (Musjafak
Assjari, 1995), yaitu mudah keluar masuk, mudah bergerak dalam ruangan, dan
mudah mengadakan penyesuaian. Sesuai dengan ketentuan tersebut, bangunan
seyogyanya menghindari model tangga, bila terpaksa harus disediakan lief, lantai
tidak banyak reliefnya, tidak banyak lubang, lebar pintu harus sesuai, kamar mandi
dan WC memungkinkan kursi roda dan treepot bisa masuk, ada parallel bars, dinding
kelas di lengkapi dengan parallel bars, meja dan kursi anak disesuaikan dengan
kelainan anak. Fasilitas pendukung pendidikan yang berkaitan dengan diri anak
adalah:
1) Brace
Brace merupakan alat bantu gerak yang digunakan untuk memperkuat otot
dan tulang. Brace biasanya digunakan di kaki, punggung, atau di leher.
Fungsi brace berguna untuk menyangga beban yang tertumpu pada otot atau
tulang. Brace terbuat dari kulit yang kaku atau plastik yang tebal dilapisi kain
atau sepon atau karet pada tepi dan pinggirannya agar tidak terjadi decubitus
(lecet) pada jaringan yang kontak langsung.
2) Crutch (kruk)
Kruk adalah alat penyangga tubuh yang ditumpukan pada tangan atau
ketiak untuk menyangga beban tubuh. Kruk terbuat dari kayu, pipa besi, pipa
aluminium, atau pipa stainless steel yang berbentuk bulat setinggi ukuran
tubuh pemakainya. Pada bagian atas tempat yang kontak dengan ketiak atau
tangan diberi spon atau karet agar lunak dan tidak menyebabkan lecet bila
dipakai.
3) Splint
Splint berasal dari bahasa Inggris yang berarti spalk ( bahasa Belanda).
Alat ini bertujuan untuk meletakkan anggota tubuh pada posisi yang benar
agar anggota tubuh yang sakit tidak salah bentuk . Ada dua macam splint,
yaitu splint untuk anggota tubuh bagian atas (tangan) dan splint untuk
anggota tubuh bagian bawah (kaki).
4) Wheel chair (kursi roda)
Menurut bentuknya, kursi roda dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kursi
roda yang roda besarnya di depan, dan kursi roda yang roda besarnya di
belakang. Kursi roda yang roda besarnya di depan dapat berputar di tempat
yang sempit. Kursi roda yang roda besarnya di belakang, dapat masuk kolong
tempat tidur, sehingga memudahkan untuk berpindah tempat. Selain fasilitas
pendukung tersebut di atas, fasilitas lain yang mendukung pendidikan untuk
anak tunadaksa adalah ruangan terapi dan peralatan terapi. Terapi yang
berkaitan langsung dengan anak tunadaksa adalah fisioterapi, terapi bermain,
dan terapi okupasi.
5. Fasilitas Pendidikan Untuk Anak Tunalaras
Fasilitas pendidikan untuk anak tunalaras relatif sama dengan fasilitas pendidikan
untuk anak normal pada umumnya. Fasilitas ruangan kelas tidak menggunakan
benda-benda kecil yang terbuat dari bahan yang keras, sehingga mempermudah
mereka untuk mengambil dan melemparnya. Fasilitas lain lebih berkaitan dengan
ruangan terapi dan sarana terapi. Terapi tersebut meliputi:
a) Ruangan fisioterapi dan peralatannya
Peralatan fisioterapi lebih diarahkan pada upaya peregangan otot dan
sendi, dan pembentukan otot. Misalnya: barbel, box tinju, wash
b) Ruangan terapi bermain dan peralatannya
Peralatan terapi bermain lebih diarahkan pada model terapi sublimasi dan
latihan pengendalian diri. Misalnya puzzle, boneka
c) Ruangan terapi okupasi dan peralatannya
Peralatan terapi okupasi lebih diarahkan pada pembentukan keterampilan
kerja dan pengisian pengisian waktu luang sesuai dengan kondisi anak.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Prinsip dasar layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah sebagai
berikut yaitu Keseluruhan anak (all the children), kenyataan (reality), program yang
dinamis (a dynamic program) , kesempatan yang sama (equality of opportunity),
kerjasama (cooperative), kasih sayang, keperagaan, kemampuan anak, pembiasaan,
latihan, pengulangan, dan penguatan.
Secara umum, pendekatan layanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan
khusus ada dua, yaitu (1) pendekatan kelompok/klasikal, dan (2) pendekatan individual.
Pendekatan kelompok, memilki kelebihan dalam hal pelaksanaan dari segi waktu, tenaga,
dan biaya. Sedangkan pendekatan individual, pencapaian kompetensi yang diharapkan
tentu akan lebih baik dan lebih efektif, sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-
masing anak. Selain itu, jika berorientasi ke pencapaian hasil belajar anak, ada dua
pendekatan yang digunakan dalam layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus, yaitu
pendekatan remidial dan pendekatan akseleratif. Pendekatan remidial bertujuan untuk
membantu anak berkebutuhan khusus dalam upaya mencapai kompetensi yang
ditentukan dengan lebih menekankan pada hambatan atau kekurangan yang ada pada
anak berkebutuhan khusus. Pendekatan remidial didasarkan pada bagian-bagian sub
kompetensi yang belum dicapai oleh anak.
Fasilitas pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus bergantung pada
karakteristik masing-masing anak. Fasilitas pendidikan bagi anak tunanetra adalah braille
dan peralatan orientasi mobilitas, serta media pelajaran yang menungkinkan anak untuk
memanfaatan fungsi perabaan dengan optimal. Fasilitas pendidikan bagi anak tunarungu
meliputi audiometer, hearing aids, telephone-typewriter, mikro komputer, audiovisual,
tape recorde, spatel, cermin. Fasilitas pendidikan untuk anak tunagrahita adalah latihan
sensomotorik dan pembentukan motorik halus. Fasilitas pendukung pendidikan untuk
anak tunadaksa berkaitan dengan aksesibilitas gedung dan ruangan dan fasilitas
fisioterapi, terapi bermain, dan terapi okupasi. Selain itu, bagi anak tunadaksa adalah
fasilitas mobilisasi meliputi kruk, splint, brace, dan kursi roda. Fasilitas pendukung
pendidikan bagi anak tunalaras lebih berkaitan dengan fasilitas terapi bermain, terapi
okupasi, dan fisioterapi.
3.2 Saran
Dari uraian materi diatas sudah sangat jelas bahwa anak berkebutuhan khusus itu
beragam. Jadi sebagai seorang guru sebelum melakukan suatu pendekatan terhadap
peserta didik tersebut harus mengetahui terlebih dahulu anak tersebut termasuk dalam
anak kebutuhan khusus yang mana. Dengan demikian, agar mempermudah dalam
melakukan pendekatan sesuai dengan kebutuhannya serta bisa mencapai tujuan yang
diharapkan dari pendekatan-pendekatan yang dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai