Anda di halaman 1dari 12

STATUS UJIAN

TINEA KRURIS

Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik


Di Bagian Ilmu Kulit dan Kelamin Rumah Sakit Bethesda
Pada Program Pendidikan Dokter Tahap Profesi Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Duta Wacana

Disusun Oleh:
Ni Komang Ayulia Sari
42220635

Dosen Pembimbing
dr. Dwi Retno Adiwinarni,Sp.KK(K)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
2023
BAB I
STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
 Nama : Nn. INK
 Nomor RM : 01-01-XX-XX
 Usia : 19 tahun
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Tanggal Lahir : 25 Desember 2003
 Pendidikan Terakhir : SMA
 Pekerjaan : Mahasiswa
 Status Perkawinan : Belum Menikah
 Alamat : Jalan Pangeran Tendean, Surakarta, Jawa Tengah
 Tanggal Periksa : 19 April 2023

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara langsung kepada pasien di ruang Poliklinik Kulit dan
Kelamin Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta pada tanggal 19 April 2023
 Keluhan Utama
Bercak kemerahan dan terasa gatal pada pantat dan selangkangan bagian kanan.
 Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluhkan adanya bercak kemerahan yang disertai dengan gatal pada
pantat kanan dan selangkangan bagian kanan sejak dua bulan yang lalu. Pasien
sebelumnya telah menggunakan obat salep betason tetapi tidak sembuh dan lesi
semakin melebar. Kemudian telah berobat 2 minggu yang lalu di Poliklinik Kulit
dan Kelamin Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Pasien kontrol kembali pada
hari ini 19 April 2023 dengan keadaan bercak sudah mengalami perbaikan dan
sudah tidak merasa gatal.
 Riwayat Penyakit Dahulu
a. Keluhan Serupa : Dua tahun lalu di area pantat dan selangkangan
b. Asma : (-)
c. Alergi : (-)
d. Tuberkulosis : (-)
e. Diabetes Melitus : (-)
f. Riwayat Penyakit Lain : (-)
 Riwayat Penyakit Keluarga
Ibu mengalami keluhan yang sama di area leher. Keluarga tidak ada yang memiliki
penyakit metabolik.
 Riwayat Pengobatan
Pasien sebelumnya telah menggunakan salep betason.
 Gaya Hidup
a. Merokok : (-)
b. Alkohol : (-)
c. Napza : (-)
d. Pola makan : Tiga kali sehari, nafsu makan baik
e. Kebersihan Diri : Baik

C. PEMERIKSAAN FISIK
 Keadaan Umum : Baik
 Kesadaran : Compos mentis, E4V5M6
 Tanda Vital : Tidak dilakukan
 Status Generalis
a. Kepala : Tidak terdapat lesi
b. Wajah : Tidak terdapat lesi
c. Leher : Tidak terdapat lesi
d. Thorax : Tidak terdapat lesi
e. Abdomen : Tidak terdapat lesi
f. Ekstremitas Atas : Tidak terdapat lesi
g. Ekstremitas Bawah : Terdapat lesi sesuai deskripsi ukk
h. Genitalia : Tidak terdapat lesi
 Status Lokalis Dermatologis
Terdapat lesi pada glutea kanan dan inguinalis kanan berupa patch
hiperpigmentasi, tidak teratur, batas tegas, bentuk lonjong, susunan polisiklik, dan
terdisitribusi lokalisata.
Lesi Gluteus Kanan Lesi Inguinal Kanan

D. DIAGNOSIS BANDING
1. Tinea Kruris
2. Candidiasis Kutis
3. Eritrasma
4. Psoriasis

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat diusulkan yaitu KOH 20%

F. DIAGNOSIS KERJA
Tinea Kruris

G. TATALAKSANA
R/Itraconazole Caps 200 mg No.XXX
S.1.d.d Caps.I

R/Miconazole Cr 2% Tube No.I


S.2.d.d.u.e

H. EDUKASI
1. Menjaga kebersihan diri
2. Mematuhi pengobatan yang diberikan
3. Menggunakan pakaian yang tidak ketat dan menyerap keringat
4. Hindari penggunaan handuk atau pakaian yang bergantian dengan orang lain
5. Hindari untuk menggaruk lesi

I. PLANNING
Kontrol kembali apabila obat sudah habis dan tidak ada perbaikan

J. PROGNOSIS

Quo ad vitam : bonam

Quo ad funcitionam : bonam

Quo ad sanatiionam : bonam


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. ANALISIS KASUS
 SUBJEKTIF
Seorang pasien wanita berusia 19 tahun datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin
Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta dengan keluhan terdapat bercak kemerahan
yang disertai dengan gatal pada pantat kanan dan selangkangan bagian kanan sejak
dua bulan yang lalu. Gatal bersifat konsisten selama gejala muncul dan pasien
mengaku sering menggunakan pakaian dalam ketat saat beraktivitas. Riwayat
pengobatan pasien menggunakan salep betason tetapi tidak mengalami perubahan.
Pasien pernah mengalami keluhan yang sama pada bagian pantat dua tahun yang
lalu.

 OBJEKTIF
1. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada bagian pantat dan selangkangan
ditemukan lesi berupa patch hiperpigmentasi, tidak teratur, batas tegas, bentuk
lonjong, susunan polisiklik, dan terdisitribusi lokalisata.

2. Pemeriksaan Penunjang
Dilakukan pemeriksaan dengan kerokan kulit dan KOH 20% untuk melihat
agen penyebab infeksi. Pemeriksaan KOH dilakukan dengan cara kulit
dibersihkan terlebih dahulu menggunakan alcohol swab kemudian dikerok
menggunakkan skapel steril nomer 15 pada bagian lesi yang aktif. Setelah
dilakukan kerokan pada lesi, spesimen kemudian diletakan pada objek glass
dan diteteskan larutan KOH 20% lalu ditutup menggunakan deck glass.
Kemudian, tunggu 3-5 menit hingga cairan mengering dan diperiksa dibawah
mikroskop dengan perbesaran 40x. Hasil pemeriksaan KOH terdapat adanya
hifa panjang (gambaran double contur atau dua garis lurus sejajar dan
transparan), bersekat atau bersepta dan arthospora (spora berderet dan
merupakan pecahan-pecahan ujung hifa) yang bisa dipastikan adanya penyakit
kulit akibat jamur.
3. Assesment
Tinea Kruris
4. Plan
Penanganan tinea kruris dapat dilakukan tatalaksana yaitu :
a. Penatalaksanaan Umum
- Menanggulangi faktor predisposisi
- Menjaga kelembapan kulit
- Mengurangi kontak dengan air
- Menggunakan pakaian yang tidak ketat, nyaman dan menyerap keringat
b. Penatalaksanaan Khusus
- Pemberian obat antijamur sistemik yaitu Itraconazole 200 mg/hari
selama 2 minggu
- Pemberian obat antijamur topikal yaitu krim Miconazole 2 % dengan
diaplikasikan 2 kali sehari selama 4-6 minggu.
c. Edukasi
- Menjaga kebersihan diri
- Mematuhi pengobatan yang diberikan
- Menggunakan pakaian yang tidak ketat dan menyerap keringat
- Hindari penggunaan handuk atau pakaian yang bergantian
- Hindari untuk menggaruk lesi

Penegakan diagnosis dapat dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan


fisik, serta pemeriksaan penunjang yang mendukung. Pasien merupakan
perempuan berusia 19 tahun datang dengan keluhan keluhan terdapat bercak
kemerahan yang disertai dengan gatal pada pantat kanan dan selangkangan bagian
kanan sejak dua bulan yang lalu. Gatal bersifat konsisten selama gejala muncul dan
pasien mengaku sering menggunakan pakaian dalam ketat saat beraktivitas.
Riwayat pengobatan pasien menggunakan salep betason tetapi tidak mengalami
perubahan. Pasien pernah mengalami keluhan yang sama pada bagian pantat dua
tahun yang lalu. Pada riwayat penyakit keluarga, Ibu pasien mengalami keluhan
yang sama pada area leher. Selain itu, pasien juga menjaga kebersihan diri dengan
selalu mandi 2 kali sehari. Gambaran ujud kelainan kulit yang didapatkan yaitu,
terdapat lesi pada glutea kanan dan inguinalis kanan berupa patch hiperpigmentasi,
tidak teratur, batas tegas, bentuk lonjong, susunan polisiklik, dan terdisitribusi
lokalisata.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan status lokalis dermatologis dapat
disimpulkan bahwa pasien mengalami tinea kruris. Tinea kruris merupakan infeksi
yang diakibatkan oleh jamur dermatofita seperti Trichophyton sp, Epidermophyton
sp dan Microsporum sp. Pada tinea kruris penyebab yang paling umum yang sering
terjadi yaitu Trichophyton rubrum dan Epidermophyton floccosum. Faktor resiko
yang dapat mengakibatkan terjadinya tinea kruris adalah produksi keringat
berlebihan, penggunaan pakaian dalam yang ketat, higenitas yang buruk dan
kondisi pasien yang immunocompromised. Patogenesis infeksi dermatofit
melibatkan interaksi yang kompleks antara host, agen dan lingkungan. Faktor-
faktor yang mempengaruhi infeksi tersebut adalah penyakit yang mendasari
(diabetes melitus, limfoma, status immunocompromised atau usia yang lebih tua
karena dapat menghasilkan dermatofitosis yang parah, meluas, atau membandel)
serta beberapa area tubuh lebih rentan terhadap perkembangan infeksi dermatofita
seperti area intertriginosa (lipatan kulit) karena produksi keringat berlebih dan PH
basa mendukung pertumbuhan jamur.
Dermatofitosis adalah penyakit infeksi jamur superfisialis pada jaringan yang
mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, dan
kuku yang disebabkan golongan jamur dermatofita. Dermatofita menempel pada
jaringan keratin, melepaskan enzim (keratinase, metalloprotease, dan protease
serin) dan menghasilkan enzim lipase dan ceramide yang produksinya di induksi
oleh substrat tempat mereka berkembang. Enzim yang dilepaskan, selain memutus
ikatan jaringan keratin juga berperilaku sebagai antigen dan menginduksi berbagai
tingkat peradangan. Akibatnya, kerusakan jaringan merupakan kombinasi dari aksi
enzimatik dari dermatofita. Infeksi dermatofita melibatkan tiga langkah utama
yaitu fase penempelan (diawali dengan perlekatan ke keratinosit dimana jamur
superfisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat pada jaringan
keratin di antaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan flora normal
lain, asam lemak yang diproduksi oleh kelenjar sebasea bersifat fungistatik), fase
invasi (penetrasi melalui antara sel setelah terjadi perlekatan spora harus
berkembang dan menembus stratum korneum pada kecepatan yang lebih cepat
daripada proses deskuamasi dan dibantu oleh sekresi enzim) dan fase respon
(perkembangan respon host serta derajat inflamasi dipengaruhi oleh status imun
pasien dan organisme yang terlibat).
Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosis dermatofitosis yang dilakukan
secara rutin adalah pemeriksaan mikroskopik dengan KOH 20% yang bertujuan
untuk mengidentifikasi struktur jamur dan teknik ini memiliki sensitivitas hingga
40% dan spesifisitas hingga 70%. Pada sediaan KOH tampak adanya hifa panjang
(gambaran double contur atau dua garis lurus sejajar dan transparan), bersekat atau
bersepta dan arthospora (spora berderet dan merupakan pecahan-pecahan ujung
hifa). Pada pemeriksaan kultur jamur merupakan metode diagnostik yang lebih
spesifik dan biasanya digunakan hanya pada kasus yang berat serta tidak merespon
pada pengobatan sistemik.
Tatalaksana tinea kruris menggunakan obat antifungal topikal maupun
sistemik. Infeksi jamur superfisial umunya merespon pengobatan topikal pada lesi
dan setidaknya 2 cm melebihi lesi sebanyak 1-2 kali sehari selama 2-4 minggu.
Pengobatan yang umumnya digunakan yakni golongan alilamin, azoles,
benzilamin, ciclopirox, dan tolnaftate. Pengobatan topikal pilihan pada tinea kruris
adalah golongan alilamin yakni Terbinafin 1% krim 1 kali per hari selama 1-2
minggu. Obat golongan ini bersifat fungisidal, namun obat golongan Alilamin
tidak tersedia di Fasilitas Kesehatan Tingkat 1. Pengobatan topikal alternatif dapat
diberikan obat golongan Azole seperti Ketokonazol dan Mikonazol 2% krim yang
bersifat fungistatik. Pengobatan sistemik diberikan jika lesi kronik atau luas. Obat
pilihannya adalah Terbinafin oral 1 kali 250 mg per hari selama 2 minggu. Namun
terbinafin tablet tidak tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat 1 sehingga
alternatif terapi sistemik lainnya adalah golongan azol yakni Ketokonazol tablet
200 mg per hari selama 7-10 hari atau Itrakonazol capsul 200 mg per hari selama 2
minggu atau Griseofulvin tablet 500 mg perhari atau 10-25 mg per kgBB selama 2-
4 minggu.
Selain pemberian tatalaksana farmakologis pasien dapat diberikan edukasi
yaitu menjaga kebersihan diri, mematuhi pengobatan yang diberikan,
menggunakan pakaian yang tidak ketat dan menyerap keringat, hindari penggunaan
handuk atau pakaian yang bergantian dengan orang lain dan hindari untuk
menggaruk lesi.

B. ANALISIS DIAGNOSIS BANDING


1. Candidiasis Intertrigo
a) Definisi : Kandidiasis kutis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh
Candida sp yang dapat mengenai daerah intertriginosa, serta daerah perianal.
Pada candidiasis intertrigo letak lesinya di daerah lipatan ketiak, lipat paha,
intergluteal, lipat payudara, antara jari tangan atau kaki, glans penis, dan
umbilikus.
b) Etiologi : Faktor mekanis dan infeksi sekunder seperti suhu panas dengan
maserasi berperan sentral dalam proses ini. Lipatan kulit melawan gaya gesek
konstan yang menghasilkan iritasi dan kemungkinan erosi pada kulit yang
meradang. Selanjutnya, kelembaban menumpuk di daerah intertriginosa yang
terkena mengembangkan tempat akan untuk berkembangnya infeksi sekunder.
c) Manifestasi Klinis : Lesi akan tampak sangat merah, tanpa adanya central
healing, dan lesi biasanya melibatkan skrotum serta berbentuk satelit. Lesi
dapat disertai skuama dan dapat ditemui vesikel atau pustul disekitarnya.
a) Pemeriksaan Penunjang : KOH 20% dapat dilakukang dengan melakukan
kerokan harus diambil dari tepi aktif lesi, dan larutan kalium hidroksida
(KOH) 20% ditambahkan. Adanya hifa dan atau tunas ragi, jika dilihat dengan
mikroskop cahaya, menunjukkan adanya infeksi jamur. Jika presentasinya
tidak biasa atau terapi gagal, pertimbangkan untuk melakukan biopsi.

2. Eritrasma
b) Definisi : Eritrasma adalah infeksi kulit superfisial yang disebabkan oleh
Corynebacterium minutissimum, bakteri gram positif katalase positif tanpa
spora. Infeksi bakteri umumnya memberikan gambaran klinis berupa lesi pada
area intertriginosa, menyebabkan gatal, skuama, dan eritema.
c) Etiologi : Faktor lingkungan dan inang yang meningkatkan risiko eritrasma
adalah tinggal dilingkungan yang lembab, keringat berlebih, diabetes,
kebersihan yang buruk, usia lanjut dan obesitas.
d) Manifestasi Klinis : Eritrasma sering ditemukan pada lipat paha dengan lesi
berupa eritema dan skuama tapi dengan mudah dapat dibedakan dengan tinea
kruris menggunakan lampu wood dimana pada eritrasma akan tampak
fluoresensi merah (coral red).
e) Pemeriksaan Penunjang : Lampu wood dapat membantu diagnosis eritrasma.
Namun, jika tidak ada lampu yang tersedia, dapat memulai pengobatan empiris
berdasarkan pemeriksaan ukk. Fluoresensi warna merah disebabkan oleh
coproporphyrin yang diproduksi oleh bakteri.
3. Psoriasis
a) Definisi : Psoriasis adalah peradangan pada kulit yang menyebabkan kulit
bersisik, menebal, mudah terkelupas, dan kadang juga terasa gatal. Psoriasis
biasanya muncul dibagian lutut, siku, punggung bagian bawah, dan kulit
kepala.
b) Etiologi : Etiologi pastinya tidak diketahui, tetapi dianggap sebagai penyakit
autoimun yang dimediasi oleh limfosit T. Cedera berupa trauma mekanik,
kimia, dan radiasi menginduksi lesi psoriasis. Obat-obatan tertentu seperti
klorokuin, lithium, beta-blocker, steroid, dan NSAID dapat memperburuk
psoriasis. Selain faktor itu
c) stress psikologis, alkohol, merokok, obesitas, dan hipokalsemia merupakan
faktor pemicu psoriasis lainnya.
d) Manifestasi Klinis : Lesi pada psoriasis akan tampak lebih merah dengan
skuama yang lebih banyak serta lamelar. Ditemukannya lesi pada tempat lain
misalnya siku, lutut, punggung, lipatan kuku, atau kulit kepala.
e) Pemeriksaan Penunjang : Diagnosis ditegakkan berdasarkan morfologi klinis
dan lokasi lesi.
DAFTAR PUSTAKA

Groves JB, Nassereddin A, Freeman AM. Eritrasma. [Diperbarui 2022 8 Agustus]. Di dalam:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): Penerbitan StatPearls; 2023 Jan- . Tersedia
dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513352/

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/1186/2022


tentang Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat
Pertama. Dermatofitosis.

Nair PA, Badri T. Psoriasis. [Diperbarui 6 Apr 2022]. Di dalam: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): Penerbitan StatPearls; 2023 Jan-. Tersedia dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK448194/

Nobles T, Miller RA. Intertrigo. [Updated 2022 Sep 19]. In: StatPearls [Internet]. Treasure
Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK531489/

Menaldi SL, Bramono K, Indriatmi W, et al. (2016). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi
Ketujuh. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Widati S, Soebono H, Nilasari H, et al. (2017). Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis
Kulit dan Kelamin di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin Indonesia (PERDOSKI).

Wiederkehr M, Schwartz R. Tinea Cruris. 2018. In: Medscape [Internet]. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/1091806-medication#1

Anda mungkin juga menyukai