Anda di halaman 1dari 5

Komune Paris dan Materialisme Historis

indoprogress.com/2019/05/komune-paris-dan-materialisme-historis/

Komune Paris dan Materialisme Historis 8 May 2019 Fransesco Hugo Harian May 8,
IndoPROGRESS 2019

Kredit ilustrasi: Libcom.org

PADA awal September 1870, prajurit Kekaisaran Prancis yang kewalahan melawan pasukan
Kerajaan Prussia di Pertempuran Sedan, harus menerima imbasnya. Kaisar Napoleon III
beserta ratusan ribu prajuritnya menyerah dan ditawan dalam perang antara Perancis
dengan Prussia, yang kini bernama Jerman. Berita memalukan itu terhembus hingga Paris.
Kekaisaran pun dengan segera ditumbangkan. Prancis dipimpin oleh Republik Ketiga
dengan pemerintahan baru yang dinamakan Gouvernement de la Défense nationale atau
Pemerintahan Pertahanan Nasional yang digawangi politisi Paris bernama Leon Gambetta
dengan memilih Louis-Jules Trochu sebagai presidennya. Meski sudah resmi terlihat kalah,
Prancis tidak berniat menyerah. Masih ada serangkaian pertempuran yang dihadapi. Maka
serdadu Kerajaan Prussia yang menang kuat terus merangsek masuk ke dalam pertahanan
hingga menembus Paris. Pemerintah memanfaatkan orang-orang sipil yang dipersenjatai
untuk ikut berperang mempertahankan kota. Namun keadaan tak berjalan dengan
semestinya. Terkepung oleh Prussia, pusat pemerintahan pun dipindahkan ke Tours.
Setelah menyerah pada Januari 1871, roda pemerintahan berganti, namun nasib warga
kota Paris terus menerus menanti dengan tak pasti.

1/5
Di tengah udara dingin dan perut yang kelaparan, warga Paris berunjukrasa menuntut
pertanggungjawaban negara akan warganya. Berkali-kali permintaan untuk membentuk
pemerintahan independen pun tak dihiraukan. Akhirnya sekelompok warga yang berasal
dari kelas pekerja miskin ibukota beserta Garde Nationale atau Garda Nasional, yang
semestinya mempertahankan Paris dari serangan Prussia memberontak melawan
pemerintah sendiri. Mereka membentuk komite sentral untuk melakukan voting yang
menentukan untuk tidak mengindahkan perintah dari pemerintah pusat. Sehingga pada 18
Maret 1871, ketika tentara regular ingin melucuti meriam-meriam yang ada di Monmartre,
Garda Nasional malah menolak dan membunuh kedua jenderalnya. Dalam keadaan kacau
balau, pemerintahan nasional dan tentara regularnya pun mundur meninggalkan kota
karena gencatan senjata dengan Prussia.

Kelas pekerja Paris yang rata-rata merupakan pendukung seorang tokoh sosialis kala itu,
Louis Auguste Blanqui, segera mengetahui hal itu dan langsung menguasai objek-objek
strategis kota: gudang mesiu, stasiun kereta, kantor polisi, markas tentara dan gedung-
gedung pemerintahan. Keesokan paginya, komite sentral melakukan rapat di Hotel de Ville
dan bendera merah dikibarkan dari jendelanya, menggantikan bendera tiga warna nasional
Perancis, yang menandakan kemenangan bagi rakyat pekerja Paris yang siap untuk
berdikari.

Kelas elite kota meninggalkan bangunan-bangunan megahnya, tentara nasional


mengosongkan posnya dan pemerintahan di kota Paris kosong melompong. Kini hanya
warga Paris yang lengkap dengan mesiu di kantung pakaian lusuhnya, senjata di lengannya
dan meriam-meriam bersiaga mempertahankan kotanya. Mereka membangun pertahanan
dari batu-bata yang khas untuk memblokade pasukan republik apabila kembali menyerang.
Bendera merah berkibar di atas bangunan-bangunan Kota Paris menggantikan bendera tiga
warnanya. Kota ini pun dikuasai oleh sekolompok orang-orang dari kelas pekerja yang
termasuk dalam kelompok sosialis, anarkis, dan revolusioner lainnya yang merupakan
bagian dari Internasional Pertama. Orang-orang ini berhasil menciptakan sesuatu yang
selama ini berada di angan-angan setiap kepala para pemikir revolusioner.

Dalam beberapa catatan, Komune Paris berhasil mengimplementasikan cita-cita suatu


bentuk masyarakat baru melalui sidang pertamanya pada 28 Maret. Antara lain dengan
memisahkan negara dengan agama, pengampunan utang sewa, penghapusan kerja malam
hari di bakery, pengembalian alat-alat kerja para pekerja yang digadaikan di pegadaian,
memberikan hak bagi para pekerja untuk mengelola bisnis para tuannya yang telah
melarikan diri, dan yang terpenting adalah pembentukan dewan. Anggota yang menjadi
dewan pada Komune Paris merupakan delegasi dan bukanlah representasi, sehingga bisa
kapan saja ditarik dari dewan apabila tidak lagi mendelagasikan kepentingan para
pemilihnya. Tidak ada presiden, perdana menteri, panglima, atau struktur-struktur
ketokohan lainnya.

2/5
Apa boleh dibuat, kejayaan proletariat itu nyatanya hanya seumur jagung. Setelah melalui
serangkaian pertempuran mempertahankan kota, pada akhirnya tanggal 21 Mei di tahun
yang sama, tentara nasional Prancis berhasil kembali memasuki Paris. Berbanding lima
banding satu dengan kekuatan tentara Prancis, pertahanan para warga komune pun
tumbang. Minggu itu merupakan minggu berdarah yang disebut juga dengan La semaine
sanglante, karena dibantainya ribuan warga komune. Seorang sejarawan Prancis, yang juga
seorang penyintas bernama Maxi du Camp, mencatat enam ribu hingga tujuh ribu jiwa
hilang dieksekusi tentara nasional. Beberapa aktivis yang lolos akhirnya melarikan diri,
diasingkan dan bahkan dihukum mati. Walau di kota lainnya seperti di Lyon, Saint Etiene,
dan Marseille juga lahir suatu komune, pada akhirnya mereka pun ditumpas habis tak
bersisa bahkan sejarah sekalipun.

Meski saya tidak menceritakan detilnya secara lengkap, namun Anda pasti mampu
memahami apa yang terjadi di Paris kala itu. Anda bisa menemukan catatan-catatan
lengkap yang diberikan oleh Victor Hugo, Emile Zola, Karl Marx dan Friedrich Engels bahkan
hingga Lenin dan Trotsky yang menceritakan kisah herok tersebut. Kali ini saya akan
mengulas sedikit beberapa hal yang bisa kita pelajari dari Komune Paris, yang sempat lahir
hampir dua abad yang lalu. Terlihat jadul dan sepele, namun hal inilah yang selalu kita
lewatkan, khususnya dalam belajar Marxisme. Pertama, kondisi apa yang memungkinkan
komune itu lahir; dan kedua, hal apa saja yang perlu dievaluasi dari komune itu.

Tentu saja kita mesti memahami latar kondisi Prancis kala itu. Pertama yaitu peperangan
antara Prancis dan Prussia yang menjadi pemicu utama lahirnya gejolak di masyarakat.
Ketidakstabilan politik, kemiskinan dan ketidakpuasan. Inilah kombinasi utama yang
memungkinkan Komune Paris lahir. Dibentuknya Garda Nasional yang menguasai
persenjataan serta pasukan terlatih juga menentukan keberhasilan suatu pemberontakan
bersenjata yang membuat warga kota berdaulat. Selain itu, Paris di masanya didominasi
oleh kelas pekerja yang hidup dalam ketimpangan dengan para elite kota. Satu letupan
provokasi bisa memicu amukan yang besar. Prancis juga memiliki sejarah panjang revolusi.
Sejak Revolusi 1789, pasang surut kekuasaan terus terjadi. Hal ini terlihat dari masih
hadirnya kaum Jacobin di samping kaum anarkis dan sosialis pada hari-hari pemberontakan
communard di Paris. Warga kota saat itu betul-betul memanfaatkan kesempatan yang ada
untuk mengambilalih kota mereka dan merdeka. Sehingga dua aspek, kondisi objektif
seperti keadaan masyarakat di masa itu dan kondisi subjektif semisal aktivitas-aktivitas atau
gejolak sosial masyarakat kala itulah yang memungkinkan munculnya Komune Paris.

Dalam hal menerbitkan program-programnya, Komune Paris merupakan pemerintahan


dengan program paling modern di masanya. Antara lain pembatasan waktu bekerja dan
hak penuh pekerja atas perusahaan. Dua kebijakan yang pastinya menggetarkan kaki dan
bulu kuduk para kapitalis sampai hari ini. Meski begitu heroiknya bentuk masyarakat ini,
terdapat beberapa aspek yang saya pikir kurang dalam melengkapi kemenangan
perjuangan kelas itu, sehingga hanya bertahan kurang lebih dua bulan saja.
3/5
Pertama, tentu karena belum tersedianya infrastruktur komunikasi yang baik. Antara Paris
dengan kota-kota lainnya seperti Lyon dan Marseille kesulitan untuk berkomunikasi. Andai
WhatsApp atau Instagram sudah hadir, revolusi mungkin saja tidak hanya meledak di Prancis,
namun ke seluruh penjuru Eropa dan dunia. Lewat grup WhatsApp mungkin komite sentral
bisa mengoordinir anggota komune dan pasukan bersenjatanya. Melalui Instagram Story
mungkin saja unggahan para communard bisa menggerakkan simpati warga dunia. Sebab
komunikasi serta media sosial menjadi aspek paling utama dalam pergerakan dan
koordinasi. Apalagi soal agitasi dan propaganda, media komunikasi adalah kuncinya.

Kedua yaitu belum dipersiapkannya rencana pertahanan pangan. Warga kota tentu
membutuhkan pasokan bahan makanan dari kawasan penyangga seperti perdesaan,
sementara daerah-daerah tersebut berada di bawah kekuasaan Republik Prancis. Sehingga
tanpa pangan, suatu bentuk masyarakat apapun tak mungkin bisa bertahan lama. Andai
kala itu para communard mampu mengembangkan pertanian perkotaan dengan hidroponik
dan pertanian vertikal, barangkali Komune Paris akan bertahan lebih lama. Karena pangan
merupakan poin penting dalam kemandirian, sebab karena dari laper orang bisa menjadi
baper. Kita mesti belajar lagi dari pengalaman Kuba mempertahankan kekuatan pangannya
di masa krisis.

Ketiga, merupakan kenyataan bahwa belum matangnya strategi dan taktik pertahanan
bersenjata dalam komune. Jelaslah bahwa personil Garda nasional jumlahnya terbatas dan
penduduk bersenjata lainnya hanyalah milisi amatir yang jumlahnya tidak sebanding
dengan tentara nasional Prancis. Meski pada 2 April sebanyak lima batalion berusaha
menumbangkan pemerintahan di Versailes, namun setibanya di seberang sungai mereka
disambut oleh desingan peluru tentara nasional dan segera dipukul mundur. Bayangkan
bila di kala itu mereka telah memiliki disiplin militer yang tinggi lengkap dengan badan
intelijen, cyber team dan drone. Barangkali mereka sudah bisa memprediksi pergerakan
musuh dan kemungkinan terjadinya pertempuran. Sehingga tak perlu adanya pertempuran
sia-sia yang mengorbankan ribuan jiwa.

Tiga poin yang baru saja saya ceritakan merupakan kelemahan-kelemahan yang membuat
Komune Paris mudah ditumpas, setidaknya dari sudut pandang saya sendiri. Sudah pasti di
saat itu telepon genggam smartphone belum ditemukan, rekayasa pertanian belum
mencapai tahap gemilangnya, dan militer masih dalam tahap yang sederhana. Kemajuan-
kemajuan teknologi dan organisasi yang saya ceritakan tadi tentu belum ditemukan di abad
ke-19 yang lalu. Lantas apakah hari ini di abad ke-21 ini kita juga belum memilikinya? Tentu
jawabnya tidak. Sejarah hari ini telah mencapai titik di mana manusia hampir dapat
menjawab ribuan pertanyaan dan sejuta kegalauan para leluhurnya, ya terkecuali jodoh
dan kematian.

4/5
Sehingga bila keterbatasan mampu dilampaui, lalu mungkinkah Komune Paris dibangun
kembali hari ini? Menurut saya belum tentu. Selain kondisi subjektif yang diupayakan
manusia, terdapat pula kondisi objektif sebagai faktor penentu yang membedakan hari ini
dengan dua abad yang lalu. Layaknya batu yang bergelinding dari suatu bukit, sejarah tidak
berjalan linier tapi tak tertebak dan acak. Lagipula siapa pula yang peduli soal komune
menenteng senjata berat untuk mempertahankan kelurahan atau kecamatannya?
Bukankah nonton Game of Thrones atau nyinyir di Twitter lebih menarik dan mudah
dilakukan? Maka latar kisah hari ini sudah tak lagi sama dengan latar yang terjadi di masa
Komune Paris. Sejarah bukanlah garis lurus yang berprogres menjadi lebih baik di setiap
tahapnya, namun suatu proses acak pasang-surut dan turun-naiknya fase-fase kehidupan.
Setiap sejarah punya kisahnya sendiri.

Komune Paris mungkin hadir karena adanya International Workingmen’s Association atau
Internasional Pertama yang digagas para kiri macam Marx, Engels, Proudhon, Blanqui,
Garibaldi, Bakunin dan lainnya. Namun Internasional Pertama bukanlah penentu utama
dari hadirnya Komune Paris, melainkan Perang Prancis-Prussia itulah yang menentukannya.
Dari Komune Paris kita belajar bahwa materialisme historis merupakan keniscayaan, bahwa
daya upaya manusia mampu menentukan jalannya sejarah, meski acaknya sejarah memiliki
kekuasaan mutlak terhadap semua mahkluk yang berjalan di atas muka bumi. Selain itu
Komune Paris memberikan bukti bahwa suatu dunia yang baru yang lebih baik itu dapat
diciptakan. Khususnya dengan kemajuan sains hari ini dan semakin melunjaknya
kapitalisme yang menggerogoti tulang kita. Seiring dengan bulan May Day 2019, izinkan
saya sekadar menuliskan mantra sakti yang bila dipekikan bersama-sama akan membikin
hatimu bergetar: Kelas Pekerja Sedunia, Bersatulah!***

5/5

Anda mungkin juga menyukai